• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Teknologi Penginderaan Jauh Dalam Pendugaan Luas Bidang Dasar Tegakan dan Kerapatan Tegakan (Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Teknologi Penginderaan Jauh Dalam Pendugaan Luas Bidang Dasar Tegakan dan Kerapatan Tegakan (Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM PENDUGAAN LUAS BIDANG DASAR TEGAKAN DAN

KERAPATAN TEGAKAN

(Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabnpaten Lampung Barat, Propinsi

Oieh :

ANUYG KURNIAWAN E01499009

DEPARTEMEN MANAJEMEX HIJTAN FAKULTAS I(EHUTAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Anung Kurniawan (E01499009). PENGGUNAAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM PENDUGAAN LUAS BIDANG DASAR TEGAKAN DAN JCERAPATAN TEGAKAN (Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung), di bawah bilnbingan Ir. Ahinad Hadiib. MS. dan Dra. Nininrr Pusuaningsih, M S .

Salah satu daerah yang rneiniliki areal agroforestri kopi yang cukup luas adalah Keca~natan Surnberjaya, Kabupaten Larnpung Barat, Propinsi Lainpung. Masyarakat di Surnberjaya sebagian besar meiniliki m a s pencaharian sebagai petaili kopi. Meningkatnya luas lahan agroforestri kopi di Surnberjaya berper~garuh terhadap peningkatan penutupan pohon yang ada. Untuk mengetahui tingkat penutupan pohon di suati~ areal dapat digunakan faktor-faktor biofisik yang dirniliki oleh tegakan hutan. Faktor biofisik yang digunakan dala~n penelitian ini ada dua, yaitu : Luas Bidang Dasar Tegakan (LBDT) dan Kerapatan Tegakan (S~und de~~sity). Pengukuran kedua factor tersebut apabila dilakukan secara langsung di lapangan untuk areal yar..g luas akan memcrlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Salah satu alternatifnya adalah penggcnaan teknologi penginderaan jauh. Berdasarkaii penelitian-penelitian yang dilakukan sebeluillnya terdapat hubungan antara faktor biofisik tegakan hutan dengan data penginderaan jauh.

Penelitian ini bertujuan untuk inenentukan model yang paling tepat yang dapat digunakan dalarn pendugaan luas bidang dasar tegakan (LBDT) dan kerapatan tegakan (Stand Density) dengan menggunakan data citra satelit serta mene~tukan tingkat penctupan pcbov yang ada rli hiltan a!am dan ai lahan agroforestri (kebun kopi multistrata).

Data yang digunakan dalain penelitian ini berupa : citra SPOT ~nultispektral 2002, citra SPOT Pankromatik 2002, orthophoto foto udara tahun 1993 DEM (Digilul E/ei~a/ioiz !dc~~el; Samberjzya dar. dztz lapazgar? yang berupa LRDT dan kersvatan tegakan.

Metode yang digunakan dalain penelitiail ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitll :

(4)

Pengolahan citra satelit ada empat tahap yaitu : koreksi geometris, koreksi radiometris, koreksi topografis dan ekstraksi nilai reflektan citra satelit dan nilai NDVI (Nor~itulized

Difference

Vegetution Irzdex). Analisis data dibagi menjadi tiga yaitu : analisis hubungan antara luas bidang dasar tegakan (LBDT) dan kerapatan tegakan (KT) dengan nilai spektral citra satelit, pembuatan peta luas bidang dasar tegakan (LBDT) dan kerapatan tegakan (KT) Kecamatan Su~nberjaya serta analisis tingkat penutupan pohon di hutan alaln dan di kebun kopi multistrata.

Pengarnbilan data lapangan dilakukan dengan metode pengembangan vmiuhle urea tran.rect (Sheil el ul., 2003). Transek berukuran 60 In x 40 m dan terdiri dari 12 sel dengan ukuran 10 m x 20 111. Transek ditempatkan di kebun kopi multistrata (30

transek) dan di hutan alam (10 transek). Data yang dialnbil di lapangan adalah data luas bidang dasar tegakan (LBDT) dan kerapatan tegakan (KT) untuk tanaman kehutanan dengan diameter batang 2 10 cm. Koreksi topografis dilakuka~i dengan ~netode Lambert, Minnaert dan pengembangan (e.ste~zded) Minnaert. Nilai reflektan yang diekstrak a d a l ~ h nilai reflektan citra SPOT multispektral 2002 setelah koreksi radio~netris dan setelah koreksi topografis. Analisis data untuk rnengetahui hubungan antara data lapangan (LBDT dan KT) dan nilai reflektan citra SPOT inultispektral dilakukan dengan metode analisis regresi linier sederhana. Model regresi terbaik dilihat dari nilai R~ tinggi dan nilai RMSE (Root Mean Square Error) rendah.

Hasil analisis regresi linier sederhana antara data LBD'T dengan data nilai reflektal: citra SPOT rnultispektral menunjukkan bahwa model terbaik adalah model yang ~nenggunakan nilai reflektan band I setelah koreksi topografis Minnaert sebagai peubah bebas. Model penduga LBDT tersebut yaitu : LBDT = - 1534,6 Band 1 Minnnaert

+

158,95 dengan R~ = 60,9 % dan RMSE = 12,57 m2/Ha. Untuk hasil analisis regresi sederhana data KT dengan data nilai reflektan citra SPOT rnultispektral, model terbaik adalah model cod el yang ~nenggunakan nilai reflektan band 1 setelah koreksi torografis Minnaert sebagai peubah bebas. Model penduga KT yaitu : KT = - 17155 Band 1 Minnaert + 1855,2 dengan R~ = 68,2 Oh dan RMSE =
(5)

tidak dapat menduga secara akurat data LBDT dan KT di lapangan. Kedua model tersebut hanya dapat memberikan gambaran kondisi penutupan pohon di lapangan.

(6)

PENGGUNAAN TEICNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM PENDUGAAN LUAS BIDANG DASAR TEGAKAN DAN

KERAPATAN TEGAKAN

(Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)

Skr ipsi

Sebugui Srtlnk Sntu Synrrrt urztuk Menzperolelt Gelar Sarjurzn Kelzutnrtnn

pndu Frtkultns Keltutartorz, Irzstitut Pertnniun Bogor

Oleh :

ANUNG KURNIAWAN E01499009

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS IG3XUTAPu'AlV INSTITUT I'ERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Penelitian : PENGGUNAAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM PENDUGAAN LUAS BIDANG DASAR TEGAKAN DAN KERAPATAN TEGAKAN (Studi Kasus di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, i-ropinsi Lampung).

Nama Mahasiswa : Anung Kumiawan

N R P : E01499009

Program Studi : Manajemen Hutan

Menyetujui, Dosen Pembimbing I

Ir. Ahmad Hadiib. MS. NIP. 130 516 500

Dosen Pembimbing 11

I,.

Dra. ~ ~ n m i P u s ~ a n i n g s i h , M.Si NIP. 131 918 662

(8)

Penulis dilahirkan di Boyolali pada tanggal 14 Maret 1981 dari pasangan Sirnun dan Sri Suparni sebagai anak pertarna dari dua bersaudara. Pada tahun 1987 penulis memulai pendidikan dasar di SDN 3 Mandiraja Kulon dan menyelesaikannya pada tahun 1993. Pendidikan lanjutan tingkat pertama penulis telnpuh di SMPN 1 Banjarnegara dari tahun 1993 sarnpai tahun 1996. Pendidikan lanjutan tingkat rnenengah atas diselesaikan di SMUN Banjarnegara dari tahun 1996 salnpai tahun 1999.

Tahun 1999 penulis diterilna sebagai salah satu rnahasiswa di Jurusan Manajeriien Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor). Bidang lninat yang dipilih pada saat perkuliahan adalah bidang Perencanaan Hutan.

Selarna rnasa perkuliahan, penulis aktif pada kegiatan kepecintaalarnan dan rnenjadi anggota oraganisasi RIMPALA (Rirnbawan Pecinta Alarn) Fakultas Kehutanan, IPB. Penulis juga pernah aktif di organisasi IFSA (Ii?/errzu/ionul i70res/ry ,S/iic/e~z/ '.s A~~ociulion).

Tahun 2002 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Hutan (PUK) di jalur Cilacap (KPH Banyurnas Barat) - Baturraden (KPH Banyurnas Timur) dan Praktek Urnurn Pengelolaan Hutan (PUPH) bersama dengan lnahasiswa dari Universitas Gadjah Mada di Getas

(KPH

Ngawi). Tahun 2003 penulis tnelaksanakan kegiatan Praktek Lapangan (PKL) di PT. INHUTANI I1 Unit Kalirnantan Selatan.
(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melnberikan Rahinat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat inenyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian yang dilakukan penulis mengambil judul "Penggunaan Teknologi Penginderaan Jauh Dalarn Pendugaan Luas Bidang Dasar Tegakan dan Kerapatan Tegakan (Studi Kasus di Kecamatan Surnbejaya, Kabupaten Lainpung Barat, Propinsi Lainpung)". Penelitian ini dilakukan atas biaya dari ICRAF (In/er~zotionul Cenlre for Reseurclz in Agrqforeslry).

Penelitian dan penulisan karya ilmiah yang penulis lakukan tidak akan selesai tanpa bantuan dari banyak pihak oleh karena itu penulis inenyampaikan rasa terilna kasih yang sebesar-besarnya kepada :

I . Bapak Silnun dan Ibu Sri Supami serta adikku Anang Setiawan yang telah ineinberikan dorongan moral dan material serta kasih sayangnya.

2. Ir. Ah~nad Hadjib; MS. dan Dra. Nining Puspaningsili, M.Si. yang telah lnemberikan biinbingan dan arahan kepada penulis selama melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

3. Ir. Lina Karlinasari, M.Sc.F. selaku penguji dari Departemen Teknologi Hasil Hutan dan DR. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku penguji dari Departemen IConsewasi Sulnberdaya Hutan.

4. ICRAF (Internu/io~zul Centre for Xeseurcl7 in Agrojure.stry) yang telah inemberikan bantuan dana dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian tian menyelesaikan karya iimiah ini.

5. Ir. Bruno Verbist, M.Sc. atas biinbingan dan diskusinya selaina pengolahan data di kantor ICRAF SEA Bogor.

(10)

7. Mas Rudi, Mbak Aris dan Mbak Vita yang telah membantu penulis selama pengalnbilan data di Sumberjaya.

8. Selurut staff ICRAF SEA Bogor atas kekeluargaannya.

9. Nia Rachmawati, S.Hut. yang telah rnernberikan semangat dan kasih sayangnya pada penulis.

13. Bramwidigdy:, S. zitas ba~tuan dan kei-jasa~nanya selerna rnelakukan penelitian ini

1 I . Nina Ayu M. Yang telah rllernbantu penulis pada saat rnelaksanakan serninar dan

ujian ko~nprehensif

12. Keluarga besar Manajernen Hutan '36 atas kekeluargaannya.

13. YYZers (keluarga besar kost YYZ) yang telah lnernberikan rasa nyarnan ketika tinggal di Bogor.

14. Ternan-teman di organisasi RIMPALA dan IFSA yang telah rnernberikan sesuatu yang "lain" pada penulis.

Penulis rnenyadari karya ilrniah ini lnasih jauh dari sempuma, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka. Sernoga karya il~niah ini berrnanfaat dan berguna bagi pengelolaan hutan di lnasa yang akan datang.

Bogor, Mei 2004

(11)

DAFTAR IS1

Nalaman

IWTA PENGANTA I

. . .

DAPTAR IS 111

DAFTAR GAMBAR \ i

. .

DAFTAR TABEL \'I I

...

DAFTAR LAMPIRAN \'III

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan ... . . . . . ...

:.

. . . . 3

U. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIA

4

A. Letak dan Posisi Geografis 4

B. Ikliln 4

C. Tanah 4

5 6

F. Penutupan Lahan 6

G.

Keadaan Sosial Ekonolni ... ...

.

.

... 7

UI.TINJAUAN PUSTAKA 1 1

A. Konsep Dasar Penglnderaan Jauh 11

B. Penginderaan Jauh Satelit ...

..

... .... .. ... . ... , , , ... . . . 12

C. Koreksi Geometris

....

... . . . . . . . . . . 16

D. Koreksi Radiolnetris 18

E. Koreksi Topografis 19

F. Luas Bidang Dasar Tegakan 22

(12)

H. Indeks Vegetasi ... 23 . .

I. Analisis Regresi ...

.

.

.

... ... 23

J. Aplikasi Penginderaan Jauh dalarn Pendugaan Faktor Biofisik Hutan ... 24

I\'. METODE PENELITIA 27

A. Lokasi dan Waktu Penelitian 27

B. Bahan dan Ala 27

. .

C. Metode Penelrtran ... 28

I . Pengarnbilan Data Lapangan (Grozlrzd Clzeck) ... ... ... .... 28

2. Pengolahan Citra Dijita 33

a) Koreksi Geolnetrik 33

b) Koreksi ~adiornetrik 34

C) Koreksi Topografis ... 36 d) Ekstraksi Nilai Reflektan Citra Satelit dan Nilai NDVI (Norn7ulized

/l$Jer.ence f"ege/(l/ioi7 I~zcle~x).. ... ... . . . . ... 40 . .

3. Analrsrs Data ... 41 a j Analisis I-lubungan Antara Nilai Reflektan Citra Satelit dan Data

Lapangan (LBDT dan Kerapatan Tegakan): ... 41

b) Pernbuatan Peta Luas Bidang Dasar Tegakan dan KerapatanTegakan Kecarnatan Surnberjaya ...

.

.

... 43 c) Analisis Tingkat Penutupan Pohon di Hutan Alarn dan di Kebun Kopi

Multistrata ... 44

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 46

A. Pengalnbilan Data Lapangan (Grour7d Clzeck) ... .. . . 49 ...

B. Pengolahan Citra Dijltal ... 49 1. Koreksi Geornetrik ... 49

2. Koreksi Radioinetrik ... 50

3. Koreksi Topografis .. ... 5 1 4. Ekstraksi Nilai Reflektan Citra Satelit dan Nilai NDVI (Nornzulized

(13)

.

.

C. Analisis Data .. ... 59 1. Analisis Hubungan Antara Nilai Reflektan Citra Satelit dan Data

Lapangan (LBDT dan Kerapatan Tegakan) ... 59

a) Luas Bidang Dasar Tegakan (LBDT) 59

b) Kerapatan Tegakan 62

2. Pembuatarl Peta Luas Bidang Dasar Tegakan dan KcrcpatanTegaktin Keca~natan Sumberjaya ... 64 3. Analisis Tingkat Penutupan Pohon di I-Iutan Alarn dan di Kebun Kopi

Multistrata ... 65 D. Sulnber Kesalahan Pendugaan Luas Bidang Dasar Tegakan (LBDT) dan

Kerapatan Tegakan (KT) ... 70

VI. KESI3IPULAN DAN SARAN 73

73 73

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1 Peta topografi Kecamatan Sumberjaya 5

2 Beberapa tipe penutupan lahan yang dominan di Kecamatan Sumberjaya ... 8 3 Pengaruh kondisi topografis terl~adap nilai reflektan ... 20

4 Sudut-sudut daiam penghitungan iluminasi 2 1

5 Ilustrasi penempatan transek di lapangan 32

6 Bagan alir penelitian 45

7 Transek di hutan alam ... 48 8 Transek di kebun kopi multistrata ... 48 9 Nilai reflektan band 1 di hutan alam dan kebun kopi multistrata setelah koreksi

geometris dan topografis 54

10 Nilai reflektan band 2 di hutan alam dan kebun kopi multistrata setelah kcreksi

geornetris dan topografis 55

1 1 Nilai reflektan band 3 di hutan alam dan kebun kopi multistrata setelah koreksi geometris dan topografis

....

... 56 12 Nilai NDVI dj hutan alam dan kebun kopi multistrata setelah koreksi geometris

dan topografis .. ... ... ..

.

.

... ... ...

..

. . .

.

58 13 Grafik hubungan antara LBDT dan reflektan band 1 koreksi topografis

Minnaert .... . .

. . .

. . .

.

. . .

. . . .

. . . . .. . , ... , .. ... ... ... 61 14 Grafik hubungan antara kerapatan tegakan dengan reflektan band 1 koreksi

topografis Minnaert 63

15 Histogcan, hzsi: ovcr.luy pzta LBDT di h t a n alam dan k e b x kcpi m.~!tistrata dengan hasil klasifikasi citra SPOT Multispektral ... 68 16 Histogram hasil overluy peta KT di hutan alam dan kebun kopi multistrata

(15)

DAFTAR TABEL

Nornor Teks IIalarnan

1 Luas beberapa tipe pengynaan lahan di Sulnberjaya tahun 2000 ... 6

2

Data kependudukan kecalnatan Sulnberjaya lama 9

3 Karakteristik beberapa generasi satelit SPOT 14

4 Karakteristik masing-~nasing band yang digunakan sensor satelit SPOT

Multispektral 15

5 Statistik transek di lapangan 46

6 Nilai RMSE proses rektifikasi 50

7 Besaran yang digunakan dalaln proses koreksi radiolnetris ...

...

....

.

50 8 Konstanta yang digunakan dalaln lnetode ex~etzded Minnaert ... 52 9 Statistik nilai NDVI pada transek di kebun kopi multistrata dan hutan alam

..

57 10 Rekapitulasi hasil analisis regresi linier sederhana LBDT dengan nilai

reflektan dan NDVI ... 60 11 Rekapitulasi hasil analisis reyesi sederhana KT dengan nilai reflektan

dan NDVI 62

12 Luas tiap kelas peta LBDT dan KT 65

13 Luasan hasil overlay peta LBDT dengan beberapa t i p penutupan hasil

klasifikasi citra SPOT Multispektral ... 66 14 Luasan hasil overlay peta KT dengan beberapa tipe penutupan hasil klasifikasi

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Te ks Halaman

1 Rekapitulasi pengambilan data lapangan 79

2 Titik kontrol lapangan (GCP) citra SPOT Pankromatik 2002 ... 80

3 Titik kontrol lzpangan (GCP) citra SPOT Multispektral 2002 ... 81

4 Gambar persebaran GCP pada proses koreksi geometrik ... 82

5 Garnbar hasil koreksi geometris ... 83

6 Koreksi radiometrik citra SPOT Multispektral 2002 ...

.

.

.

84 7 Perhitungan konstanta minnaert (k) tiap band citra SPOT Multispektral

8 Perhitungan koreksi topografis metode lCx/eizded Minnaert ... .. ... .. ... 9 Beberapa tarnpilan citra SPOT Multispektral setelah koreksi radiometris dan

topografis serta peta Illu~ninasi buatan

10 Nilai reflektan tiap transek setelah koreksi radiornetris dan topogafis 1 1 Analisis regresi linier sederhana model terbaik

...

12 Peta luas bidang dasar tegakan Kecalnatan Sumberjaya, Lampung Barat, Lampung Taiiun 2002 ...

...

.

.

... ... ...

13 Peta kerapatan tegakan Keca~natan Sumberjaya, Latnpung Barat, Lampung Tahun 2002 ...

14 Peta hasil klasifikasi citra SPOT Multispektral 2002

15 Peta LBDT huran alaln dan kebun kopi (hasil overlay) ...

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laju pertambahan penduduk di Indonesia yang begitu cepat telah meinberikan pengaruh yang besar terhadap laju penggunaan sumber daya alam tennasuk penggunaan su~nber daya hutan. Tekanan dzri berb~gai sekto; kehidapan te:hada:, sumber daya hutan cukup tinggi akibat kebutuhan yang selalu bertainbah. Konversi lahan hutan dianggap sebagai upaya untuk ineinenuhi kebutuhan tersebut. Hasil konversi lahan hutan uisumnya digunakan sebagai lahan pertanian dan peinukiinan. Nainun tetap saja pelaksanaan konversi hutan ~nasih beluin inencukupi kebutuhan hidup manusia.

Salah salu upaya untuk meinberdayakan lahan yang ada yaitu dengan sisteln Agroforestri. Menurut Lundgren dan Raintree dalam Hairiah el ul. (2003) agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistein-sistein dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan inengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bainbu dll.) dengan tanaman pertanian danlatau hewan (ternak) danlikan, yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai koinponen yang ada.

Salah satu daerah yang inemiliki areal agroforestri yang cukup luas adalah Kecainatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lainpung. Masyarakat di Sumberjaya sebagian besar meiniliki mata pencaharian sebagai petani kopi. Mereka menanam kopi di pekarangan rumah maupun di lahan-lahan hutan alain yang sengaja inereka buka untuk dijadikan kebun kopi. Hasil studi yang dilakukan oleh Dinata (2001), dengan luas total citra satelit yang diklasifikasi 736,605

km',

menunjukkan terjadinya penurunan luasan hutan yang cukup drastis di Sulnberjaya dari 176,91 km2 luas hutan pada tahun 1986 berkurang menjadi 92,44 k~n' pada tahun 2000. Pengurangan luas hutan ini sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian yang berupa kebun kopi. Penutupan kopi ineningkat pesat dari hanya sekitar 58 %
(18)

Konversi hutan alam menjadi kebun kopi di Kecarnatan Sumberjaya menjadi pangkal dari konflik yang timbul antara masyarakat dengan pihak Departemen Kehutanan. Menurut pihak Departemen Kehutanan deforestasi (konversi hutan) rnerupakan penyebab hilangnya fungsi hutan, di lain pihak masyarakat sekitar hutan inembutuhkan lahan pertanian untuk meinenuhi kebutuhan hidupnya (Verbist el a/., 2003). Konflik ini seharusnya tidak perlu terjadi apabiia inasyarakat lnau ineilerapkan sistem agroforestri dengan tepat di lahan pertaniannya. Penerapan sistem ayoforestri di lahan pertanian akan inernberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat dan ~ n e ~ n b ~ r i k a n fungsi-fungsi lain yang dapat iilenggantikan sebagian fungsi hutan yang hilang. Namun perlu dipahami bahwa tidak selnua fungsi yang hilang itu dapat dipulihkan inelalui penerapan sistem agoforestri (Widianto et al., 2003)

.

Salah satu masalah yang perlu menjadi perhatian adalah tingkat penutupan pohon yang ada di areal agroforestri, inasalah inilah yang dijadikan obyek dalam penelitian ini.

Sebagian besar petani kopi di ' Suinberjaya telah inenerapkan teknik

Agroforestri di kebun kopinya. Mereka menanain beberapa tanaman kehutanan di sela-sela tanainan kopi. Tanaman kehutanan yang biasanya ditana~n berupa Gamal (Gliricidiu sepizr~n), Dadap (Erytlzri~~a szrbunzbruns), Sengon (J'aruseriatzt/ze.s falcafuria), Lamtoro (Lezrcaenu lezrcocepl~alu), dan beberapa tanaman lainnya.

Sistem ayoforestri ini telah menghasilkan penutupan pohon yang cukup lebat (Agus ef al., 2001). Nainun tidak semua kebun yang di dalamnya telah diterapkan sistern agroforestri meiniliki penutupan pohon yang lebat, banyak petani yang hanya menanam sedikit pohon karena mereka mengganggap penutupan pohon yang lebat akan mengurangi produksi kopi.

(19)

dan Kerapatan Tegakan (Stand dens@). LBDT dan kerapatan tegakan lebih mudah diukur di lapangan dan mampu memberikan informasi tentang tingkat penutupan pohon dengan baik. Pengukuran kedua faktor tersebut apabila dilakukan secara langsung di lapangan untuk areal yang luas akan memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Salah satu altematifnya adalah pengynaan teknologi penginderaan jauh.

Menurut Iverson et al. (1989) sejak diluncurkannya satelit pengainat bulni sipil pertaina kali (Landsat 1) pada tahun 1972, penginderaan jauh satelit telah mernberikan informasi yang cukup menarik tentang struktur dan fungsi yang ada di hutan. Pendugaan struktur hutan dan kerapatan tegakan dengan inenggunakan data penginderaan jauh penting untuk dilakukan untuk fungsi keilinuan dan tujuan pengelolaan areal (Vierling, 2002). Penelitian yang dilakukan sebelulnnya menyatakan bahwa hubungan antara data penginderaan jauh dengan faktor biofisik tegakan hutan memberikan hasil yang cukup baik. Namun perbedaan rentang spektral yang dimiliki oleh tiap sensor satelit ternyata menyebabkan perbedaan hasil yang diperoleh. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis mencoba untuk n~enggunakan data dari citra satelit untuk meinpelajari hubungan antara nilai spektral citra dengan faktor biofisik (LBDT dan kerapatan tegakan) yang ada di hutan alain dan di lahan agroforestri (kebun kopi multisrata). Penggmaan data citra satelit dan faktor biofisik tersebut diharapkan mainpu menggambarkan tingkat penutupan pohon yang ada di hutan alam dan di lahan agroforestri di Kecamatan Sumberjaya.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menentukan model yang paling tepat yang dapat digunakan dalain pendugaan luas bidang dasar tegakan (LBDT) dan kerapatan tegakan (Stund Den.rity) dengan menggunakan data citra satelit.

(20)

11. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Posisi Geografis

Kecamatan Sumberjaya tnerupakan bagian dari wilayah Kabupaten Lalnpung Barat, Propinsi Lampung. Pada tahun 2000, Kecamatan Sutnberjaya dimekarkan tnenjadi dua yaitu Kecamatan Sumberjaya di wilayah Ti~nur dan Kecaniatan Way Tenong di wilayah barai. Secara geogafis terletak antara 4"45' - 5"15' LS dan

104°i 5 - 104' BT. Batas adlninistratif Kecamatan Sumbe rjaya lama, yaitu: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bukit Bangit

*

Sebeiah Timur berbatasan dengan Kecatnatan Bukit Ketnuning Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau Punggung Sebelah Rarat berbatasan dengan Kecamatan Sekincau

Batas-batas Kecamatan Sumberjaya lama berimpitan dengan batas sub DAS Way Besai, terletak di bagian hulu DAS Tulang Bawang, dcngan luas kurang lebih 478 Km2 (Agus e/ ul., 200 1).

B. lMim

Sumberjaya tennasuk dalam tipe iklim Af menurut klasifikasi iklim Koppen atau tipe A berdasarkan Schmidt-Ferguson, yaitu tidak ~nemiliki bulan kering. Menurut klasifikasi Oldeman, Sumberjaya termasuk dalam zona B1 dengan jumlah bulan basah (CH > 200 mm) = 7 bulan dan jumlah bulan kering (CH < 100 mm) = 1 bulan. Curah hujan rata-rata tahunan 2.614 mmltahun. Suhu udara rata-rata harian 21,2" C, dengan suhu udara terendah 20,3" C dan tertinggi 21, 7' C. Ke!ernbaban relatif berkisar antara 80 - 89 %. Musim hujan terjadi antara bulan November - Mei, sedangkan musim kering terjadi antara bulan Juni - September (Agus e t a / . , 2001).

C. Tanah

(21)

Humitropepts, Dystropepets, Dystrandepts dan Tropaquepts. Humitropepts dan Dystropepts meinpunyai kandungan organik yang tinggi, Dystrandepts didominasi abu vulkanik vitrik dan Tropaquepts bercirikan regim kelembaban aguik dan perbedaan temperatur tahunan < 5" C pada inusim panas dan dingin (Agus et al., 2001).

D. Fisiografis

[image:21.599.211.494.415.681.2]

Bentang alam di Keca~natan Suinberjaya bemariasi dari wilayah yang cukup datar hingga berbukit dan bergunung-gunung. Ketinggian tempat di Kecamatan Sumberjaya berkisar antara 700 - 1700 m dpl. Puncak-puncak gunung disekeliling Sumberjaya antara lain : Gunung Subhanallah (1.623 mdpl), Gunung Tangkit Tebak (2.115 mdpl) di Timur, Gunung Tangkit Begelung (1.213 mdpl) di Tenggara dan Gunung Sekincau (1.718 mdpl) di Barat. Di tengah wilayah Kecamatan Sumberjaya terdapat Bukit Rigis dengan ketinggian (1.395 mdpl). Jenis bentang alain bukit-bukit berpola wilayah bergelombang, terdapat di sebagian kecil wilayah Sumberjaya bagian tengah, tepatnya di sebelah Utara Bukit Rigis.

(22)

E.

Hidrologi

Sungai utama di Keca~natan Sumberjaya adalah sungai Way Besai. Sungai ini lnemiliki beberapa anak sungai diantaranya Way Petai dan Way Ringki. Aliran anak- anak sungai di wilsyah sub Das Way Besai secara umum berbentuk dendritik sedangkan untuk anak-anak sungai di sekitar Gunung Sekincau, pola alirannya berbentuk radial. I-Iulu surigai yang ada di sub DAS Way Besai berassl dari Gunung Tangkit Tebak, dengan anak sungai utalna Way Tenong, menuju ke barat dan kemudian ke utara inenuju sungai utamanya, Way Besai. Rata-rata debit bulanan Way Besai yang luas Sub DASnya sekitar 43.985 ha, berkisar antara 11 - 33 mi/dt. Debit terkecil terjadi di bular. Agustus sedangkan debit terbesar di bulan Januari (Agus el ul., 2001).

F. Penutupan Lahan

Keca~natan Sumberjaya merupakan salah satu wilayah penghasil kopi di Propinsi La~npung, oleh karena itu tipe penutupan lahan di wilayah Sumberjaya didominasi oleh tipe penutupan lahan yang berupa kopi (Cefeu clierzop/zor.u).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinata, (2001) dengan mengklasifikasikan citra Landsat ETM tahun 2000 menghasilkan beberapa tipe penggunaan lahan di Sumberjaya.

[image:22.602.139.494.480.692.2]
(23)

Hutan alam yang masih ada di Sumberjaya adalah hutan alam yang terdapat di Bukit Rigis. Berdasarkan h a i l pengumpulan data dengan menggunakan transek di Bukit Rigis vegetasi yang mendominasi berupa jenis-jenis pohon hutan tropis, yang berupa : Rasamala (Alfingiu excelsu), Pasang (Qtrercus sp.), Medang, Bayur (Pferospernzuin sp.), Kelat dan dari famili Dipterocarpaceae. Hutan di Bukit Rigis termasuk dalam hutan sub pegunwgan. Luas hutan alam di Bukit Rigis semakin berkurang karena adanya tekanan dari kegiatan pembukaan lahan oleh masyarakat.

Selain areal kopi yang cukup luas di Sumberjaya, tipe penutupan yang h a s lainnya adalah sawah, lahan kosong, semak belukar dan padang rumput. Sawah terdapat di sekitar daerah aliran sungai dengan topografi yang relatif datar dan ada pula sawah yang mengandalkan pengairan dari hujan. Lahan kosong, semak belukar dan padang rumput banyak terdapat di wilayah di selatan Sumberjaya, daerah ini dibiarkan kosong karena cukup rawan. Areal lahan kosong juga merupakan tempat ~nencari makan gajah pada musim tertcntu, sehingga petani malas untuk menggarap lahan tersebut.

Gainbar 2 menunjukkan beberapa tipe penutupan lahan yang dominan di Sumberjaya, yang berupa : hutan alam di Bukit Rigis, kebun kopi multistrata, kebun kopi monokultur dan persawahan. Daerah di sekitar hutan alam telah berubah menjadi tipe penutupan yang lain, masyarakat sekitar hutan alam menebang hutan alam untuk dijadikan kebun kopi.

G. Keadaan Sosial Ekonomi

Nama Kecamatan Sumberjaya diresmikan oleh Presiden Sukarno pada tanggal

(24)
[image:24.602.172.542.79.328.2]

Gambar 2. Beberapa tipe penutupan lahan yang dominan di Kecamatan Sumberjaya

(25)

dan etnis Lampung asli. Tabel 2 menunjukkan data kependudukan di Kecamatan

Sumberjaya.

Sumber pendapatan utama sebagian besar penduduk Sumbejaya berasal dari

sektor pertanian, terutama dari budidaya kopi dan kebun campuran. Sumbangan

budidaya kopi terhadap kegiatan ekonomi penduduk tidak terbatas pada hasil

produksi kopi semata, akan ietapi juga terbukanya lapangan pekerjaan di sektor

perdagangan dan jasa (pengangkutan).

Sebagian besar penduduk berpendidikan Sekolah Dasar. Ketersediaan fasilitas

pendidikan masih relatif sedikit, sebagian besar berupa fasilitas pendidikan dasar (54

SD dengan 533 guru), sedangkan fasilitas pendidikan menengah (SLTP dan SLTA)

julnlahnya relatif terbatas; 4 buah dengan 96 guru dan 4 buah SLTA dengan 60 guru.

[image:25.595.142.507.341.691.2]
(26)

Lanjutan tabel 2

(27)

111. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni unluk mernperoleh infonnasi tentang suatu obyek atau fenomena, ~nenggunakan suatu alat perekaman dari suatu kejauhan, dilnana pengukuran dilaksanakan ranpz melakukan kontak secara Esik dertgan obyek alau feno~nena yang dikaji (Mu~zuul ofl?enzote Selzsing, 1983 dalarn Howard, 1996).

Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan alat pengindera atau alat pengulnpul data atau sensor. Berbagai sensor pengumpul data dari jarak jauh, umumnya dipasang pada wahana (Plulforllz) yang berupa pesawat terbang, balon, satelit atau wahana lainnya (Purwadhi, 2001).

Menurut Jaya (2002) penginderaan jauh bisa dilakukan karena adanya variasi sebagai berikut:

1) Variasi Spektral (Specfr.al vaii~fion)

Variasi reflehansi spektral yang terdapat pada spektrurn biru, hijau, merah, inframerah dekat, sedang dan termal serta gelombang mikro (micru~l.uve) memungkinkan suatu obyek dengan mudah dikenali karena ulnuinnya suatu obyek mempunyai reflektansi spektral yang berbeda-beda.

2)

Variasi Spasial (Spallul v r ~ r ~ a l ~ o n )

Variasi ukuran dan bentuk suatu obyek di lapangan seperti blok, lingkaran, garis, titik dan yang lainnya yang me~nungkinkan ta~npaknya obyek-obyek seperti kota, jalan, re1 kereta api dan sebagainya.

3) Variasi Waktu (Tenzpor.ul var.rutio~z)

Frekuensi overpuss dari satelit menyebabkan terjadinya perekaman suatu lokasi lebih dari satu kali dalarn kurun waktu yang relatif pendek me~nungkinkan dilakukannya analisa multiwaktu.

(28)

Rentang spektral yang umum digunakan dalam penginderaan jauh untuk mengindera atau merekam sumberdaya yang terdapat di permukaan bumi umumnya berkisar antara 0,4 pm dan 12 pm (mencakup sinar tampak dan inframerah) clan antara 30 m ~ n dan 300 mm yang sering disebut dengan gelo~nbang lnikro (nzicrowave). Pada daerah sinar tampak dan inframerah dekat dan sedang, energi yang direfleksikan dan direka~n oleh sensor sangat bergantung kepada sifat-sifat obyek yang bersangkutan, seperti pisnentasi, kadar air, dan struktur sel, daun atau percabangan dari vegetasi, kandungan mineral dan kadar air tanah serta tingkat sedimentasi pada air. Pada daerah inframerah tetmal, kapasitas panas dan sifat-sifat dari pennukaan lnaupun di bawah pennukaan tanah yang mempengaruhi kekuatan radiasi yang dideteksi oleh sensor (Jaya, 2002).

B. Penginderaan Jauh Satelit

Teknik penginderaan jauh satelit jauh berkembang sangat pesat sejak diluncurkannya satelit pengideraan jauh ERTS (Eartlz Resources Technolog)/ Salellr~e) pada tahun 1972. Satelit ini kemudian dikenal dengan nama Landsat (Lurzd Sa/eNr/e) (Howard, 1996). Perkembangan sistem penginderaan jauh khususnya dalam penggunaan sensor dan cara perekaman datanya, telah diikuti dengan pengembangan dalam cara pengolahan dan analisis datanya (Punvadhi, 2001).

Setiap citra dijital penginderaan jauh satelit yang dihasilkan oleh setiap sensor mempunyai sifat khas datanya. Sifat khas data tersebut dipengaruhi oleh sifat orbit satelit, sifat dan kepekaan sensor penginderaan jauh terhadap panjang gelo~nbang elektromagnetik, jalur transmisi yang digunakan, sifat sasaran (obyek) dan sifat sumber tenaga radiasinya. Sifat orbit satelit dan cara operasi sensornya dapat mempengaruhi resolusi dan ukuran piksel datanya (Punvadhi, 2001).

(29)

1) Resolusi Spasial

Resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari suatu bentuk Cfeature) pemukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk pemukaan di sekitamya atau yang ukurannya bisa diukur.

2) Resolusi Spektral

Resolusi spek:ral diartiksii sebagai dimensi d a i ~ jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif terhadap sensor.

3) Resolusi Radiolnetrik

Resolusi radiometrik adalah ukuran sensitifitas sensor untuk membedakan aliran radiasi (radiaiztJlm) yang dipantulkan atau diemisikan dari suatu obyek di per~nukaan burni.

4) Resolusi Temporal

Resolusi temporal adalah frekuensi suatu sistem sensor merekam suatu areal pang sama (revisif).

Sistem perekaman data penginderaan jauh dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu sistem pasif dan sistem aktif. Penginderaan jauh satelit sistem pasif menggunakan sumber tenaga yang berasal dari matahari atau sumber lain. Contoh data satelit sistem pasif, antara lain : (1) Data satelit Landsat dengan sensor RBV

(lietuuz Beanz Vidicon), MSS (Multispectral Scanner) dan TM (Tlzenzatic Mapper) ;

(2) Data satelit SPOT (Systinze Probatoi~e d'Observation de la Terre) dengan sensor HRVIXS (Haute Rksol~~tio~z Visible1 mullispeclral mode) dan HRVIP (Huule Rksolz~/ion Visible/ Panclzro~~zatic mode); (3) Data satelit NOAA (National Oceanic Ao~zospheric Ad~ninistrafion) denga sensor AVHRR (Advanced Very Higlz Resolution Radionzeter) (4) Data satelit JERS-1 (Japan Eurtlz Resources SateNile) dengan sensor VNIR (Visible Near lnfa R e 4 dan S W E (Sl~ort Wave lnfru Red) serta beberapa data dari satelit yang lain (Punvadhi,2001). Selanjutnya Punvadhi (2001) menyatakan bahwa penginderaan jauh sistem aktif menggmakan tenaga elektomagnetik yang dibangkitkan oleh sensor radar (Rudio Delecling and Ranging).

(30)

Ariane. SPOT 1 diluncurkan pada tanggal 21 Februari 1986 dari Stasiun Peluncuran Kouro di Guyana. Satelit SPOT merupakan satelit penginderaan jauh pertama yang menggunakan dua sensor yang berbentuk sapu (Puslzbroonz) dengan teknik penyiaman (Scanning) dan dilengkapi telemetri untuk mengirimkan data ke stasiun penerilna di bulni (Purwadhi, 2001).

Hingga haat ini satelit SPOT ielah memi!iki 3 generasi, generasi terakhii satelit SPOT yaitu SPOT 5. Berikut disampaikan karakteristik satelit SPOT dari beberapa generasi :

Tabel 3. Karakteristik beberapa generasi satelit SPOT

/

Karakteristik

I

SPOT5

1

SPOT 4

1

SPOT 1 , 2 and 3

1

I I I

I

1: Februari 1986 Waktu Peluncuran

Roket Peluncur

Orbit

Ketinggian di ekuator

I I

Mei 2002

Ariane 4

Sun-synchronous

822 km

ekuator

I I I

2 Pankromatik (5 m),

10130 a.m.

I I I

Maret 1998

Ariane 4

Sun-synchronous

10:30 a.m. Waktu melintas;

98.7O 2: Januari 1990

3: September 1993

Ariane 213 Sun-synchronous 10:30 a.m. 98.7' -- Sudut Inklinasi Kecepatan

Jumlab band spektral

yang digunakan dan

Resolusi Spasial

822 km I

I 822 km

98.7'

7,4 kps 7,4 kps

Kesohsi temporzl

I~uage ~ ~ ~ J U I J J ~ C . T

7.4 kps

yang di-gabungkan

untuk meng-hasilkan

resolusi 2,5 m

.

3 Multispektral (10 m) 1 short-wave infrared

2 HRV Instrumen Sensor

1

2 HRG

(20 m)

26 hari

8 bit

2 HRVIR

1 Pankromatik (10 m)

3 Muliispekral (20 n)

r 1 short-wave infrared

(20 m)

.

1 Pankromatik ( I 0 m)

-

3 Multispektral

(20 m)

26 hari

8 bit

26 hari

[image:30.595.121.543.272.672.2]
(31)
[image:31.602.120.538.91.374.2]

Tabel 4. Karakteristik masing-masing band yang digunakan sensor satelit SPOT Lanjutan tabel 3

Karakteristik

Rentang Spektral

lmasing swath

Telemetri

citra (8 GHz)

Akurasi lokasi

absolut (tanpa

Ground control point,

1

Band 1

1

I

(kondisi kehijauan vegetasi). Puncak

I

multispektral

I

I

I

membantu pernbedaan jenis

1

SPOT 1 , 2 and 3 P: 0.50 - 0,73 pm

B1: 0,50 - 0,59 pm

8 2 : 0,151 - 0,68 bm

8 3 : 0,78 - O,S9 pm

6 0 krn x 60 km

to 80 km

50 Mbps

< 350 m (rnis)

daerah datar)

SPOT 5 P: 0,48 - 0,71 ym

B1 : 0,50 - 0,59 pm B2: 0,61 - 0,68 pm

8 3 : 0,78 - 0,89 ym

B4- 1,58 - 1,75 pm

60 km x 60 km

to 80 km

2 x 50 Mbps

< 50 m (rms)

Kegunaanlaplikasi Biomassa dan kandungan khloropil Daerah Panjang

Gelombang Sinar tampak (hijau)

Sinar tampak

(me~ah)

Band 2

tumbuhan.

Infra merali dekat 0.79 - 0.89 pm

I

Identifikasi akumulasi biomassa dan 1

SPOT 4

P: 0,50 - 0,73 pm BI: 0 3 0 - 0,59 ym 8 2 : 0,61 - 0,68 pm

B3: 0,78 -0,89 pm

B4: 1,58 - 1,75 pm

60 km x 60 km to 80 km

50 Mbps

< 350 ~n ( m s )

Band Satelit SPOT 0.50 - 0.59 pm

I

/

Band 3

1

I

batas-batas daratan dan perairai:.

I

0.61 - 0.68 pm

I

I

/

Terjadi kontras antara daun hidup

I

reflektansi ada pada ?. 0,51 pm Diskriminasi vegetasi. Band pada

daerah yang menyerap khlornpil

(maks pada h. 0.66 pm) yang dapat

(32)

Lanjutan tabel 4

Daerah Panjang Gelombang

/

(SPOT 4 dan SPOT 5)

1

I

(kelembaban) permukaan, deliniasi

/

I

kadar air permukaan :anah.

I

Band 4

I

I

batas-batas perbedaan presipitasi.

I

Band Satelit

SPOT

lnfra merah sedans

I

I

1

Sensitif terhada!, kadar air tanaman

/

Kegunaanlaplikasi

1.58 - 1.75 pm

1

Pendeteksian kandungan air

1

I

1

dan tanali, dan kerapatan tegakan.

1

Suinber : Jaya (2002)

C. Koreksi Geometris

Menurut Jaya (2002) sistem penginderaan jauh yang telah dikembangkan sampai saat ini bukanlah sistein yang sempurna. Bentilk relief perrnukaan bumi yang begitu kompleks tidak bisa direkam secara sempuma oleh sensor penginderaan jauh karena sensor umumnya mempunyai keterbatasan resolusi spasial, spektral, temporal dan radiometrik. Data yang direkatn pada uinuliinya masih inengandung distorsi atau kesalahan baik geometrik lnaupun radiometrik.

Berdasarkan sumbernya, kesalahan geometrik dapat dikelomnokkan menjadi dua tipe, yaitu kesalahan internal dan kesalahan eksternal. Kesalahan internal disebabkan oleh :

1) Pembelokan arah penyinaran menyebabkan distorsi panoramik (look angle)

2 ) Abrasi sub-sistem optik karena kemiringan cermin penyiarn (Scul? nzir.i.01.)

sehingga cakupan tidak tegak lurus

3) Sistem penyiaman (Scanning systenz) yang tidak linier karena kecepatan cermin penyiam barubah yang mengakibatkan pergeseran lokasi setiap pixel. Kesalahan eksternal disebabkan oleh :

(33)

2) Perubahan posisi wahana terhadap obyek karena gerakan berputar (roN), menggelinding ipitclz), dan berhelok @m), yang mengakibatkan terjadinya distorsi atau bising acak (rundonz)

3) Rotasi bumi gerakan putaran bumi saat pengambilan data, sehingga mengakibatkan obyek miring ke arah barat.

4) Kelengkungan bumi mengakibatkan ukuran piksel yang direkam menjadi berubah, karena terjadinya sudut pada arah perekarnan (uccros [rack), yaitu antara piksel yang direkam di titik nadir dengan piksel pada saat sensor stunner melakukan penyiaman.

Kesalahan geometrik menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu kesalahan sisternatis dan kesalahan rundon1 (acak) (Punvadhi, 2001, Lillesand dan Kiefer, 1994).

1) Kesalahan sisternatis

Kesalahan sistematik bisanya lebih mudah dikoreksi dengan menggunakan model matematis yang berdasarkan data sebelum peluncuran.

2) Kesalahan random (acak)

Kesalahan acak hanya dapat dikoreksi dengan menggunakan titik kontrol lapangan (Ground Control I'ointlGCP) yang tersebar lnerata pada citra.

Koreksi geometris disebut juga dengar. proses rektifikasi citra. Rektifikasi merupakan proses untuk memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga memiliki proyeksi yang sama dengan peta. Proses rektifikasi dilakukan dengan dua cara yaitu :

rektifikasi citra ke peta dan rektifikasi citra ke citra (Jaya, 1997).

(34)

Lillesand dan Kiefer (1994) menyatakan bahwa dalam proses rektifikasi terjadi proses resamnpling yaitu penempatan kembali pisel-piksel citra lama pada posisi yang telah dikoreksi pada citra baru. Ada tiga macam proses resanzpling, yaitu

: nearest neigborhood, bilinear dan cubic convulation. Proses yang sering digunakan adalah nearesl neiglzborlzood.

D. Koreksi Radiometris

Jumlah pantulan radiasi elektromagnetik yang ditangkap oleh sensor satelit diwujudkan dalam bentuk nilai digital (ljigital Nunzber/2)N) pada. citra. Energi tersebut berasal dari radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi. Pantulan radiasi elektromagnetik yang diterirna oleh sensor satelit tidak hanya berasal dari pantulan permukaan bumi saja, pantulan energi tersebut masih dipengaruhi oleh faktor- faktor yang lain. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain: kondisi atlnosfer pada saat citra direkam, scene illunziiza/ion, variasi pandangan secara geolnetri dan karakteristik respon sensor (Lillesand dan Kiefer, 1994). Jadi sebenamya energi yang diterima oleh sensor satelit berupa akurnulasi dari efek-efek yang ditimbulkan oleh faktor-faktor di atas. Oleh karena itu untuk memperoleh nilai pantulan sebenarnya (nilai reflektan) dari permukaan bumi citra asli ( r u ~ ~ inluge) perlu dikoreksi radiometrik. Nilai reflektan menunjukkan jurnlah radiasi energi elektromagnetik yang dipantulkan kembali oleh suatu permukaan bumi.

Kesalahan atau cacat radiometrik merupakan kpsalahan yang berupa pergeseran nilai atau derajat keabuan elemen gambar @isel) pada citra. Penyebab kesalahan radiometrik dibedakan menjadi tiga :

1) Kesalahan pada sistem optik, penyebabnya adalah bagian pembentuk citra buram dan perubahan kekuatan sinyal.

(35)
(36)

Faktor yang sangat berpengaruh dala~n kesalahan topografis adalah sudut azimuth matahari, sudut elevasi matahari, slope dan uspeci permukaan bumi.

Ga~nbar 3. Pengaruh kondisi topografis terhadap nilai reflektan

Koreksi topografis (nonnalisasi topografis) perlu dilakukan sebagai proses awal untuk klasifikasi penutupan vegetasi secara inultispektral dan ~nultite~nporal (Riafio el cl., 2003). Kesulitan utama dala~n penerapan koreksi topoyafis adalah kurangnya metode yang umuin dan dapat digunakan dimana saja, mengingat variasi kondisi topob~afis tiap tempat berbeda-beda.

Metode koreksi topografis dibagi menjadi dua yaitu : metode yang berdasarkan raiiolperbandingan band dan metode pemodelan illuminasi yang meinerlukan Digitcrl Elevufioiz Model (DEM). Metode pertalna lebih mudah karena tidak ~nemerlukan data tambahan. Reflektan diasumsikan berkurang atau bertambah secara proporsional dalam perbandingan dua band. Kekurangannya adalah hilangnya resolusi spektral ketika perbandingan dilakukan. Metode pemodelan illuminasi ~nemerlukan data DEM yang memiliki resolusi sama atau lebih kecil dengan citra yang digunakan. Illurninasi melniliki nilai sama dengan nilai cos sudut incidence (IL

= Cos yi). Di~nena incidence angle (sudut incidence) didefinisikan sebagai sudut

(37)

kecil jumlah radiasi elektromagnetik yang sampai ke permukaan dan semakin kecil radiasi elektromagnetik yang dipantulkan (Teillet e f ul., 1982 dalam Falkenstrom,

[image:37.595.177.469.152.398.2]

1999).

Gambar 4. Sudut-sudut dalam penghitungan ilurninasi

1L = Cos yi = Cos 0,, Cos 0,

+

Sin 0, Sin 01, Cos (rl?, - Q0)

Dimana : Il = llluminasi yi = sudut incidence

0, = slope

0, = sudut zenillz matahari (Io = sudut uzinzutlz matahari

Oo = aspek

(38)

semakin rendah illuminasi, maka semakin tinggi nilai koreksi reflektannya. Metode ini mengakibatkan koreksi yang berlebih (overcorrecl) pada citra. Metode utama dalam metode non-Lambertian yaitu metode Minnaert. Metode Minnaert menganggap bahwa adanya variasi reflektan dalam tiap penutupan berdasarkan variasi sudut incidence. Beberapa metode yang sering digunakan antara lain : metode Lambert, metode Mirinaert, metode E.v;e;~ded Minnaeit dan C - correction.

F. Luas Bidang Dasar Tegakan (LBDT)

Menurut Philip (1994) luas bidang dasar (basal area) pohon adalah luas area lingkaran batang pohon yang diukur pada ketinggian setinggi dada. Pengukuran lsas bidang dasar ulnulnnya dilakukan diluar kulit pohon (oi~er bark).

Luas Bidang Dasar Tegakan (LBDT) merupakan jumlah dari luas bidang dasar (basal urea) pohon hidup yang ada pada suatu tegakan hutan. Satuan LBDT adalah m2/Ha. LBDT adalah parameter yang sangat berguna untuk mernpelajari tegakan hutan. Dapat dikatakan bahwa luas bidang dasar dapat menunjukkan jumlah dan ukuran pohon dalam suatu tegakan. Secara individu luas bidang dasar pohon mempunyai hubungan dengan volume pohon, biomassa, ukuran tajuk, dl]. Demikian pula dengan LBDT akan mempunyai hubungan dengan volume tegakan, biornassa tegakan serta kerapatan tegakan (Brack, 1999).

Pengukuran LBDT dapat dilakukan dengan cara sampling yang dapat dibagi lnenjadi dua, yaitu : fixed area plots (plot tetap) dan variable radius plot (point sampling/angle count). Pada plot tetap DBH tiap pohon diukur dengan menggunakan plot yang berbentuk lingkaran atau persegi dan LBDT dihitung dengan menjumlahkan basal area tiap pohon dalam plot dan dibagi dengan luas plot yang digunakan. Pengukuran dengan menggunakan point sainpling disehut juga dengan plotless san~pling (Brack, 1999).

G. Kerapatan Tegakan (Stand DemiQ)

(39)

Kerapatan tegakan merupakan fungsi dari tiga elemen, yaitu : jumlah pohon, ukuran pohon (batang pohon, tajuk dan akar) dan distribusi spasial di lapangan. Pengukuran terhadap kerapatan tegakan dapat digunakan untuk analisis pertumbuhan pohon dan hasil hutan.

Menurut Young (1982) kerapatan tegakan adalah pemyataan kuantitatif yang inenunjukka~~ tingkat kepadatan pohon dalarn suatu iegakan.

H. Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi adalah angka yang diperoleh dari beberapa koinbinasi band (panjang geloinbang) citra dan memiliki hubungan terhadap karakteristik vegetasi yang ada dalain suatu piksel citra (Ray, 1998). Band yang paling sering digunakan untuk inenghitung indeks vegetasi adalah band inerah dan infra inerah. Kedua band tersebut sensitif terhadap vegetasi.

Kajian bidang penginderaan jauh pada vegetasi hijau lebih banyak tertuju pada reflektansi yang berasal dari gelombang sinar tainpak dan infra merah dekat (Near Infrured). Gelombang ini membentuk hubungan kuat pada spektral dari vegetasi hijau yang sering disebut juga sebagai "red edge". Nilai reflektansi dari sinar tampak dan inframerah dekat akan lebih jelas perbedaannya pada analisis vegetasi hijau bila dibandingkan dengan analisis permukaan tanah (Ray, 1995).

Indeks vegetasi yang digunakan pada penelitian ini adalah NDVI (Nort~~al~zed UiSference Vegetu/ron Index). NDVI diteinukan oleh Rouse el al. pada tahun 1973, namun konsep NDVI sebenamya telah dikemukakan oleh Kriegler et aI. pada tahun 1969 (Ray, 1998). NDVI pada dasamya adalah nilai tengah dari nilai spektral yang didapat dari band merah dan inframerah dekat (Ray, 1995).

I. Analisis Regresi

(40)

peubah bebas dan peubah tidak bebas terdapat nilai korelasi yang menyatakan tingkat bervariasinya kedua peubah secara bersama-sama atau ukuran keeeratan hubungan antara kedua peubah tersebut. Nilai korelasi tersebut dilambangkan dengan R dengan rentang nilai antara -I dan 1. Nilai minus menunjukkan hubungan yang terbalik. Korelasi yang semakin mendekati ke nilai -I atau 1 merupakan korelasi yang terbaik (Steel dan Torrie, i980).

Besaran yang sangat erat hubungannya dengan r adalah koefisien determinasi. Koefisien determinasi sesungguhnya adalah R2, kuadrat koefisien korelasi. Nilai R2 memiliki rentang yang sama dengan nilai R. Nilai R2 inenyatakan proporsi julnlah kuadrat total yang dapat dijelaskan oleh sumber keragama~i yang lain yaitu peubah bebas (Steel dan Torrie, 1980). Nilai R~ yang dapat diterima tergantung dari disiplin ilmu dimana data data diperoleh (Myers, 1990).

Menurut Myers (1990) penggunaan analisis regresi dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu : prediksi, variable screening, spesifikasi model (penjelasan suatu sistem) dan pendugaan parameter. Model linier dapat digunakan sebagai suatu pendekatan dan akan bekerja dengan baik dalam range (rentang) data yang digunakan untuk membangunnya (Myers, 1990).

Menurut Lillesand and Kiefer (1994) hubungan antara data penginderaan jauh dan data biofisik lapangan dapat dianalisis secara statistik. Metode yang digunakan untuk rnenganalisa hubungan antara nilai reflektan dan data lapangan adalah metode analisis regresi. Metode regresi yang sering digunakan dalam pendugaan parameter tegakan hutan termasuk LBDT dan kerapatan tegakan adalah metode regresi linier sederhana (Hyyppa et a/,, 2000; Vierling et aL, 2002; Djumhaer, 2003). Model ini akan lebih stabil karena menggunakan persamaan garis lurus tanpa melakukan modifikasi kurva (Djumhaer, 2003).

J. Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Pendugaan Faktor Biofisik Hutan

(41)

yang signifikan antara band 3 dengan kerapatan pohon, dbh (dlarneter at breast heightldiameter setinggi dada) dan umur pohon.

Hyyppa el al. (2000) telah melakukan perbandingan akurasi kemampuan beberapa citra satelit optik, radar dan foto udara untuk memeperoleh infom.asi tentang tegakan hutan di Finlandia. Untuk pendugaan volume pohon dengan menggunakan citra satelit optik, citra SPOT muitispektral band 1 melxiliki kemampuan yang lebih baik'dibandingkan citra satelit optik yang lain dengan R2 = 0,61. Dalaln pendugaan basal area citra SPOT multispektral juga lnemiliki ke~lampuan yang lebih baik dibandingkan dengan satelit optik yang lain (R2 = 0,44 dan SE = 7,57 m 2 / ~ a ) .

Studi tentang struktur hutan di hutan mangrove dengan menggunakan data penginderaan jauh dilakukan oleh Satyanarayana ef 01. (2001) di India dengan menggunakan data citra IRS - 1C LISS 3. Pengatnbilan data lapangan dilakukan dengan menggunakan metode P o i n ~ Centered Quarler Method (PCQM). Studi tersebut memperoleh hasil adanya korelasi antara NDVI dengan bu.sa1 ureu dan kerapatan pohon. Namun korelasi yang ada masih rendah sehingga tidak dapat digunakan untuk pemetaan busul areu.

Thenkabail (2002) melakukan studi tentang struktur hutan di Afrika Tengah dengan menggunakan citra IKONOS dan Landsat ETM+. Band 4 citra IKONOS memiliki sensitifitas terhadap perubahan kelembaban, struktur hutan dan komposisi spesies. Namun korelasi nilai spektral citra IKONOS dengan struktur hutan (basal area dan kerapatan tegakan) cukup rendah dengan R2 tidak lebih dari 0.339. Penggabungan antara data citra IKONOS dengan data band 5 dan band 7 citra Landsat ETM+ mampu meningkatkan koefisien korelasi antara nilai spektral dengan basal areu (R2 = 0,52) dan dengan kerapatan tegakan (R2 = 0,54).

(42)

memiliki korelasi yang lebih baik ( R Z = 0,625) dibandingkan nilai NDVI (Nornzalized D$erence Vegeiulion Index) (R2 = 0,38) dengan nilai basal area hutan pinus.

Djumhaer (2003) melakukan studi tentang pendugaan LBDT dan LA1 (Leaf

Area Index) agroforest karet di Jambi menggunakan citra Landsat ETM+. Hasil yang

(43)

IV.

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. Kegiatan pengolahan data dilaksanakan di kantor lr7ler~zalronul Cer?ler,foi Reseurcl; in Agrojhreslry (ICRAF) di Bogor. Wziktu ~ n e l i t i a n dimulai pada bulan Juli 2003 - Maret 2004.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalarn penelitian ini berupa data diiital citra satelit dan

___/

foto udara yang rnecakup seluruh wilayah penelitian, beberapa peta pendukung dan data sekunder lainnya. Citra satelit yang digunakan berasal dari satelit SPOT, ada dua citra satelit yaitu : citra satelit SPOT 2 Multispektral liputan tanggal 18 Agustus 2002

/-

---

.. . .
(44)

C. Metode Penelitian

Terdapat tiga hagian utama dalam metode penelitian ini, yaitu : pengambilan data lapangan (ground check), pengolahan citra satelit dan analisis data. Pengolahan citra satelit ada empat tahap yaitu : koreksi geometris, koreksi radiometris, koreksi topografis dan ekstraksi nilai reflektan citra satelit dan nilai NDVI (Norniulized U@krence IJege/a/io~z Index). Analisis dzta dibagi menjedi tigz yaitu : anaiisis hubungan antara luas bidang dasar tegakan (LBDT) dan kerapatan tegakan (KT) dengan nilai spektral citra satelit, pembuatan peta luas bidang dasar tegakan (LBDT) dan kerapatan tegakan (KT) Kecainatan Suinberjaya serta analisis tingkat penutupan pohon di hutan alain dan di kebun kopi multistrata. Tahapan penelitian secara lengkap dapat dilihat pada gainbar 6

1. Pengambilan Data Lapangan (Grou~zd Clteck)

Tujuan kegiatan pengainbilan data lapangan adalah untuk mempero!eh inforinasi rnengenai kondisi lapangan secara nyata. Kegiatan ini dilakukan dengan penempatan transek (jalur pengainatan) di lapangan. Transek dibuat pada dua tipe penutupan vegetasi, yaitu : hutan alain dan lahan agroforestri (kebun kopi campuran atau multistrata). Pengukuran lebih difokuskan pada pengukuran pohon-pohon yang ada di dalam hutan dan kebun kopi multistrata. Parameter yang diukur dalam peinbuatan transek, antara lain : diameter pohon setinggi dada (2 13 cm), spesies pohon, tingkat penutupan kopi, tingkat penutupan pohon dan kemiringan lahan. Tiap transek ditandai dengan menggunakan GPS, agar dapat ditentukan dengan pasti lokasinya di citra satelit.

(45)

tetap lfixed urea), metode ini lebih cepat dan mudah diterapkan di lapangan lneskipun di daerah dengan topografi yang sulit (Sheil e f ul., 2003).

Transek ditempatkan secara acak di lapangan pada dua tipe penutupan lahan yaitu hutan alam dan kebun kopi multistrata. Dua teinpat tersebut dipilih karena salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat penutupan pohon yang ada di huran a:am dan di luar hutzn alarn teruta:na di kebu~? kopi multistrata. Berbagai tipe penutupan kopi multistrata dan hutan alam diusahakan dapat terwakili dengan menempatkan transek secara acak, mengingat letak kebun kopi multistrata tersebar di desa-desa di Kecamatan Sumberjaya.

Untuk inembantu penernpatan transek di lapangan digunakan citra SPOT Pankromatik terkoreksi geometris. Citra SPOT Pankromatik meiniliki resolusi spasial yang lebih baik (2,5 m) bila dibandingkan dengan citra SPOT lnultispektral (20 m). Resolusi spasial yang cukup tinggi akan meinpennudah pencarian lokasi di citra dan di lapangan.

Jarak pohon dalarn plot berpengaruh terhadap lebar transek. Panjang transek yang digunakan yaitu 60

m

(base line) dengan lebar maksirnum 40 In. Transek tersebut dibagi menjadi 12 sel dengan ukuran panjang 10 In dan lebar maksirnum 20 m yang diletakkan di kanan dan kiri buse li~ze. Ilustrasi penempatan transek di lapangan dapat dilihat pada gambar 5.

Pada saat pengambilan data di lapangan prosedur yang harus dilakukan yaitu :

1) Jika lebar sel (jarak datar) telah mencapai L,i, (20 m) tetapi tidak ada pohon dalam jarak tersebut ~ n a k a sel dianggap sebagai sel kosong, lebar sel = L,,. (20 m).

(46)

3 ) Jika lebar sel maksimal Lmt,k, dicapai sebelum diperoleh pohon maksimal r,,,,l;,. lnaka pengambilan data dihentikan dan sel akan rnelniliki pohon sebanyak pohon yang telah didata sebelum mencapai L,,,,kt, lebar sel = L,,l;,

Perhitungan untuk parameter tegakan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

I ) Untuk sel kosong dugaan kerapatan sel, X

,

= 0

2) Untuk sel dengan r,,,k, diperoleh sebelum inencapai LmakS dugaan kerapatan sel ,

X

i

= (r,,,&k, - 1 ) 1 (w

LI),

dimana w = 10 m (lebar sel). Perhitungan untuk tiap pohon yaitu xi = ((r,,ks - 1 ) / r,,,,l;,) / (w Ll)

3) Untuk sel dengan L,,,,I, dicapai sebelum r,,,l;, diperoleh, dugaan kerapatan sel Xi = r1/ (w L,,,,k,).

Untuk pendugaan parameter tegakan diinana tiap pohon akan melnberikan kontribusi, seperti perhitungall Luas Bidang Dasar Tegakan

(busul a r m ) , Kerapata Tegakan dan bioinassa per hektar, maka

perhitungannya adalah sebagai berikut :

1) Variabel pohon ke-j dalaln sel ke-1 disebut dengan yg.

2) Nilai yij dikalikan dengzn nilai x, untuk metnperoleh dugaan untuk tiap pohon. Nilai XI . yi, dari selnua pohon dalam sel dijumlahkan

untuk memperoleh dugaan per sel yang disebut Y i .

3 ) Untuk memperoleh dugaan bagi seluruh sel dalam transek nilai

YI

dirata-ratakan.

LBDS (Luas Bidang Dasar /Husul Arm) tiap pohon dihitung dengan rutnus :

dilnana :

(47)

n

: 3,141592654

d : dbh (Dianteler ur breasl /zeiglzl/Diameter setinggi dada) (m)

Tipe penutupan kopi (penutupan tajuk kopi) dibagi menjadi tiga, yaitu :

0 - 25 %, 25 - 50 % dan > 50 %. Pelnbagian ini didasarkan pada hasil penelitian Widayati (2001), yang melakukan studi penggunaan citra IKONOS untuk klasifikasi penggunaan lahan dan tipe penutupan kopi di Kecamatan Sumberjaya. Tipe penutupan kopi diestiinasi secara visual di lapangan. Untuk tipe penutupan pohon (tajuk pohon) dibagi lnenjadi 5 kelas, yaitu : 0 - 20 %,

20 - 40 %, 40 - 60 %, 60

-

80 % dan 80 - 100%. Sama seperti penutupan kopi, penutupan pohon diestimasi secara visual di lapangan.

Kriteria penutupan kopi :

Kelas 0 -. 25 % : Penutupan tajuk kopi rendahljarang Kelas 25 - 50 % : Penutupan tajuk kopi sedang Kelas > 50 % : Penutupari tajuk kopi tinggilrapat Kriteria penutupan pohon :

Kelas !, - 20 % : Tajuk pohon jarang Kelas 20 - 40 % : Tajuk agak jarang Kelas 40 - 60 % : Tajuk pohon sedang Kelas 60 - 80 % : Tajuk pohon agak rapat Kelas 80 - 100 % : Tajuk pohon rapat

(48)

Ket. : 0 0 : Pohon

[image:48.595.123.504.108.665.2]

0 : Pohon kelirna (r,,l;,) d : Jarak dari base line ,

(49)

2. Pengolahan Citra Dijital a) Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik (rektifikasi) dilakukan untuk memperbaiki citra akibat kesalahan geometris. Rektifikasi dilaksanakan melalui dua macam cara yaitu rektifikasi citra-ke-peta (image-lo-rizup reclijicatiolz) dan rektifikasi citra-ke-citra ( i ~ i z u e - I - z a g e recl[ficalionj (Jaya, 2002). Dalam penelitian ini digunakan teknik rektifikasi citra-ke-citra (inzage to i~?zage reclrficuliorz) dan dilakukan pula proses orthorektifikasi untuk mengkoreksi kesalahan pemiukaan (terrain displucer~zerz~).

Data referensi yang digunakan dalam proses orthorektifikasi adalah orthophoto foto udara tahun 1993 dan data Digilul Elevaliorz Model (DEM) foto udara tahun 1993. Citra SPOT Pankromatik diynakan sebagai data referensi untuk mengkoreksi citra SPOT Multispektral. Citra SPOT Pankromatik dikoreksi terlebih dahulu dengan referensi orthophoto foto udara 1993. Proses orthorektifikasi rnenggunakan modul Orflzoengil7e yang ada di s q f i ~ ~ u r e PC7 Georl~afics 82.3.

Teknik yang digunakan untuk koreksi geometrik yaitu penggunaan sejumlah titik kontrol lapangan (Ground Control Poinl/GCP) pada citra. Secara ringkas, tahapan teknik ini adalah sebagai berikut :

Pemilihan GCP pada citra dengan syarat : tersebar merata di seluruh citra, relatif permanen dan tidak berubah dalam kurun waktu pendek (misal: jalan, jembatan, sudut bangunan dan sebagainya). Jumlah GCP rniniinuln dihitung dengan menggunakan rumus :

dimana :

t = orde dari persalnaan transfonnasi (Jaya, 2002)

(50)

Brown (1997) RMSE dalam koreksi geometris adalah jarak antara koordinat input (source) GCP dengan koordinat GCP yang sama setelah ditransformasi.

RMSE tiap GCP dihitung dengan rurnus :

RMSE total dihitung dengan rumus :

dirnana :

n = Julnlah GCP 1 = GCP ke-i

xi dan yi = koordinat input (source) GCP ke-i

s, danj]? = koordinat setelah ditransformasi GCP ke-i (Smith dan

Brown, 1997)

Jaya (2002) serta Smith dan Brown (1997) ~nenganjurkan agar RMSE < 0,5 piksel.

Citra yang telah terkoreksi geometris digunakan untuk pengecekan lapangan dan pengolahan selanjutnya.

b) Koreksi Radiometris

(51)

Konversi dari DN menjadi nilai radiasi (radiance value)

Tahapan ini bertujuan untuk merubah semua DN yang ada pada citra menjadi nilai radiasi sebenamya yang direkam oleh sensor sebelum diskalakan menjadi

DN.

Persamaan yang digunakan adalah :

dimana :

L = nilai radiasi (radiance value) (w/m2sr pm) X = nilai digital (DN)

A = Abso/tt/e culibra/io~z gain B

-

Ab.vo/z~te culi61'ation ojfiel

Untuk nilai A dan B diperoleh dari data tambahan yang ada di citra

(/zeuderJjle), nilai ofl~e/ ( B ) untuk SPOT = 0 (~.i:n~u~..spo/i~izci~e.fi).

Transformasi radiasi rnenjadi refleklansi permukaan

Transformasi ici bertujuan uztuk n~endapatkan nilai reflektansi yang sebenarnya dipantulkan oleh permukaan burni dengan memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhinya: seperti jarak bumi matahari dan sudut elevasi lnatahari

Persamaan yang digunakan dalam proses ini adalah :

dimana :

P P = reflektansi

L;. = radiasi yang terukur

d' = jarak bulni matahari dalaln satuan astonolnik

(52)

8, = 90'- sudut elevasi matahari = sudut matahari terhadap zenit (Lillesand dan Kiefer, 1994 dan Landsat 7 Science Data Users Hand book)

c) Koreksi Topografis

Koreksi topografis yang dilakukan dalam penelitian ini ada tiga yaitu: rnetode Larnbert (Lambertian), metode Minnaert dan metode Pengembangan Minnaert (non Lambertian). Koreksi topografis memerlukan data tambahan yang berupa DEM (Digital Elevation Model) untuk menghitung sudut incidence. Data DEM yang digunakan harus memiliki resolusi spasial yang lebih besar dari resolusi citra satelit yang akan dikoreksi. Resulosi spasial DEM harus lebih besar agar variasi kondisi topografis di lapangan dapat di koreksi dengan baik.

Metode Larnbert

Metode Lambert merupakan metode yang paling sederhana dalam metode koreksi topografis. Asumsi rnetode Lamberi adalah menganggap setiap pennukaan bumi adalah pemantul baur (dijfuse refleclol.) yang sempuma, pemukaan bumi akan memantulkan energi radiasi matahari yang datang secara seragam ke semua arah (Howard, 1996, Smith dan Brown, 1997). Asumsi yang digunakan dalam metode Lambert memang mudah diterapkan pada saat proses koreksi, namun hasilnya kurang memuaskan. Menurut Lillessnd dar. Klefer (1994) hacpa sediki? pelmuksan yang dapat bertindak sebagai pemantul baur sempuma.

Untuk rnenghitung iluminasi atau cos sudut incidence digunakan rumus : ;L = cos; = cos8, C O S O ~ i. sin 6, siil 6: cos(d7,. - @,)

dimana :

(53)

8, = slope

8, = sudut zenith matahari @ = sudut azimuth rnatahari

@, = aspek

Rutnus ~netode lambert yaitu : B Voh~erved~ Hl/rior7nal, =

cos i dimana :

Bl/nor.nzul, = Nilai kecerahan (Digiiul Nzrnlber) terkoreksi BVobserved, = Nilai kecerahan (Digilul Nunzber.) citra awal cos i = Cosinus sudut incidence

(Smith, dan Brown, 1997dan Riaiio el ul., 2003)

Metode Minnaert

Kondisi topografi yang bervariasi lnengakibatkan pantulan radiasi elektromagnetik permukaan bumi tidak mengikuti kaidah Lambert. Pantulan radiasi elektromagnetik akan mengikuti kaidah perilaku non- Lambertian. Berdasarkan kaidah non-Lambertian reflektansi ben~ariasi untuk setiap permukaan berdasarkan sudut incidence. Pantulan energi matahari dipengaruhi oleh bentuk relief permukaan. Dasar yang digunakan dalsln lnetode Minnazrt sdalsh h i : peneli:iar. y m g dilakuken oleh Minnaert pada tahun 1941 tentang metode pendekatan semiempirik untuk menduga kekasaran permukaan bulan (Riafio el al., 2003). Dalam Smith dan Brown (1997), Minnaert (1941) menyatakan bahwa permukaan yang aialxati tidak ~nelerleksiitan e n e g i inatahai szcara seragam.

(54)

jika suatu permukaan memiliki nilai k = 1 maka permukaan tersebut merupakan pemantul baur yang sempuma (asumsi rnetode Lambert). Nilai k setiap band dalam citra berbeda-beda sehingga harus dihitung secara terpisah.

Perhitungan nilai k dilakukan dengan meregresikan nilai kecerahan (nilai

EN)

citra awal dengan nilai slope dan aspek.

Rumus untuk mencari nilai k yaitu :

log(BJ/'observed, x cos e) = log Bfizurr~zalA'+ k log(cos i cos e) (Smith dan Brown, 1997, Riafio, 2003).

Rumus metode Minnaert yaitu

BVobserven', x cos e B l/norrizal, =

cos' i cos" e

H lfr?orr~zulA = Nilai kecerahan (Lligitul Nunzber) terkoreksi HVobsen~edA = Nilai ke~erahan (Digiful Nuinbei.) citra awal cos i = Cosinus sudut incidence

cos e = Cosinus sudut exitunce atau sudut slope

k = Konstanta Minnaert

(Smith dan Brown, 1997, Riafio, 2003).

Metode Pengembangan Minnaert. (Estended Minnaert)

(55)

Untuk menjalankan metode extended Minnaert perlu dibuat suatu peta illuminasi buatan (IL=cos i). Peta illuminasi dibuat berdasarkan data yang diperoleh dari DEM. Nilai i dikelompokkan menjadi 10 kelas dengan interval 10'. Menurut Jansa, J. (1998) kelas i pada daerah datar dan sangat curam tidak diikutkan dalam proses perhitungan yaitu interval 0 - lo0, SO0- 90" dan > 90". Setiap kelas nilai i dihitung nilai rata-rata reflektan dan standar deviasin~a.

Tahapan dalaln koreksi topografis extended Minnaert yaitu :

Menghitung nilai rata-rata reflektan tiap kelas nilai i dalam citra satelit yang akan digunakan dalaln tahapan selanjutnya.

Menghitung error jika go,,,

I

dan k digunakan. Tahapan ini dilakukan secara berulang untuk memperoleh nilai error yang rendah. Nilai g,,, yang digunakan pada awal proses yaitu nilai rata-rata reflektan seluruh piksel citra. Nilai 1 = 0 dan nilai k = 1 (reflektor selnpurna dalam koreksi Lambert). Pengulangan dilakukan dengan lnenggunakan nilai

aOm,

1,

dan k yang berbeda.

Rumus untuk rnenghitung error yaitu :

vi = g corr * ( / + ( I - 1 ) c o s ~ ) - n z i

dimana :

vi

g

,

,

.

mi

cos i

I

k

SSE

= Perbedaan antara nilai rata-rata reflektan kelas i dengan nilai terkoreksi

= Nilai reflektan terkoreksi

= Rata-rata reflektan kelas i

(56)

Rumus yang digunakan untuk proses koreksi yaitu

- gi

Gambar

Gambar 1. Peta Topografi Kecamatan Sumberjaya
Tabel 1. Luas beberapa tipe penggunaan lahan di Sumberjaya tahun 2000 (Dinata, 2001)
Gambar 2. Beberapa tipe penutupan lahan yang dominan di Kecamatan Sumberjaya
Tabel 2. Data kependudukan Kecamatan Sumberjaya lama
+7

Referensi

Dokumen terkait

13 Hasil belajar dalam penelitian ini ialah bukti usaha yang dilakukan oleh siswa pada materi organisasi kehidupan dengan menggunakan model pembelajaran examples

i) Penggunaan Borang Moderasi Kertas Soalan Peperiksaan (UKM/PPPS/C/P05/AK03/1) bagi menggantikan borang yang lama seperti pada lampiran 4. ii) Proses penghantaran

Berdasarkan pembahasan data, peneliti dapat menarik beberapa simpulan hasil penelitian sebagai berikut. Struktur dalam Serat Pejahipun Patih Suwanda Seri Arjunasasrabahu Jilid

Anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah

 Melakukan pendataan atau pengecekan kembali terhadap berkas rekam medis yang telah selesai digunakan untuk berobat dengan menggunakan laporan pasien harian

Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu organisasi sebagai wadah pengembangan potensi untuk ikut berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai

Dari hasil pengujian sistem, penentuan guru teladan dengan metode Fuzzy-AHP menunjukkan bahwa kriteria yang tadinya subjektif dapat menjadi lebih objektif dengan