POPULATION EXISTENCE OF Presbytis siamensis IN LEMBAH HARAU NATURE RESERVE WEST SUMATERA
Edrian Junarsa1), Agus Setiawan1), Elly Lestari Rustiati2) 1)
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
2)
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro no.1 Bandar Lampung, 35145
E-mail: Edrianjunarsa@ymail.com
ABSTRACT
Kokah (Presbytis siamensis), protected species can be found in Lambah Harau Nature Reserve. Research was conducted in, May-June 2015, from 05.30-17.00 hours to determine, its group size using concentration count. Its habitat was observed by rapid assessment in 3 locations. The group size is 6-7 individuals. Group composition consists of 1 adult male, 2 adult females, 1-2 young males, 1 young female and 2 infants. Sexual ratio is 1:2. Food plant species include Havea brasiliensis, Ficus benjamina, Garnicia dulciskura dan Arthocarpus elasticus.
The potential predator is Varanus salvator and Spilornis cheela.
KEBERADAAN POPULASI KOKAH (Presbytis siamensis) DI CAGAR ALAM LEMBAH HARAU SUMATERA BARAT
Edrian Junarsa1), Agus Setiawan1), Elly Lestari Rustiati2) 1)
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
2)
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro no.1 Bandar Lampung, 35145
E-mail: Edrianjunarsa@ymail.com
ABSTRAK
Di Cagar Alam Lembah Harau dapat ditemukan kokah (Presbytis siamensis) yang merupakan spesies dilindungi. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015, pada pukul 05.30-17.00 WIB, untuk mengetahui ukuran kelompok kokah dengan menggunakan metode area terkonsentrasi dan kondisi habitat menggunakan metode rapid assessment di tiga lokasi pengamatan. Ukuran kelompok kokah adalah 6-7 individu. Komposisi kelompok kokah terdiri dari jantan dewasa 1 individu, betina dewasa 2 individu, jantan muda 1-2 individu, betina muda 1 individu dan anakan 2 individu. Rasio seksual 1:2. Pohon pakan kokah yaitu Havea brasiliensis, Ficus benjamina, Garnicia dulciskura dan Arthocarpus
elasticus. Predator potensial kokah yaitu Varanus salvator dan Spilornis cheela.
KEBERADAAN POPULASI KOKAH (Presbytis siamensis) DI CAGAR ALAM LEMBAH HARAU SUMATERA BARAT
Oleh
Edrian Junarsa
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN
pada
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
KEBERADAAN POPULASI KOKAH (Presbytis siamensis) DI CAGAR ALAM LEMBAH HARAU SUMATERA BARAT
(Skripsi)
Oleh Edrian Junarsa
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERITAS LAMPUNG
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka penelitian keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat ... 5
2. Presbytis siamensis cana ... 8
3. Presbytis siamensis rhinosis ... 9 4. Presbytis siamensis peanulata ... 10 5. Presbytis siamensis natune ... 11 6. Lokasi penelitian kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015... ... 19 7. Titik pengamatan kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni2015 . ... 32 8. Perjumpaan kelompok kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam
Lembah Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 33 9. Kelompok kokah (Presbytis siamensis) di Titik pengamatan pertama
pada bulan Mei-Juni 2015... ... 34 10.Kelompok kokah (Presbytis siamensis) di Titik pengamatan kedua pada
bulan Mei-Juni 2015. ... ... 36 11.Kelompok kokah (Presbytis siamensis) di Titik pengamatan ketiga pada
bulan Mei-Juni 2015 ... 37 12. Ukuran kelompok kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 38 13.Pohon pakan kokah (a) buah rukam, (b) pohon madang, (c) pohon tarok,
iii
14.Siamang (Hylobates syndactylus) yang ditemui di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 48 15.Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang ditemui di Cagar Alam
Lembah Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 48 16.Biawak (Varanus salvator) yang ditemui di Cagar Alam Lembah Harau
Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 49 17.Elang Bido (Spilornis cheela) yang ditemui di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 50 18.Aktivitas istirahat kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 61 19.Aktivitas makan kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 61 20.Aktivitas berpindah kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 62 21.Aktivitas menelisik kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 62 22.Aktivitas bermain kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 63 23.Individu betina dewasa dan anakan kokah (Presbytis siamensis) di Cagar
Alam Lembah Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 63
24.Individu jantan kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 64 25.Titik pengamatan pertama kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam
Lembah Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 64 26.Titik pengamatan kedua kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam
Lembah Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni 2015 ... 65 27.Titik pengamatan ketiga kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 26
A. Status Kawasan ... 26
B. Letak, Luas dan Batas ... 26
C. Iklim ... 27
D. Topografi ... 27
E. Hidrologi ... 28
F. Aksesbilitas ... 28
G. Vegetasi ... 28
H. Fauna ... 29
I. Potensi Kawasan ... 30
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
A. Kelompok Kokah di Cagar Alam Lembah Harau ... 31
B. Aktivitas Harian Kokah di Cagar Alam Lembah Harau ... 43
C. Keberadaan Satwa dan Gangguan Kokah di Cagar Alam Lembah Harau 46 D. Kokah di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat ... 51
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53
A. Kesimpulan ... 53
B. Saran ... 53
i
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jenis mamalia yang terdapat di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau
Sumatera Barat yang dilindungi oleh UU No.5 tahun 1990 ... 29 2. Jenis burung di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat . 29 3. Jenis kupu-kupu yang terdapat di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau
Sumatera Barat ... 30 4. Perjumpaan kokah (Presbytis siamensis) di Titik pengamatan pertama
pada bulan Mei-Juni 2015 ... 34 5. Perjumpaan kokah (Presbytis siamensis) di Titik pengamatan kedua pada
bulan Mei-Juni 2015 ... 35 6. Perjumpaan kokah (Presbytis siamensis) di Titik pengamatan ketiga pada
bulan Mei-Juni 2015 ... 36 7. Jenis tumbuhan dan bagian yang dimakan kokah (Presbytis siamensis) di
Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni2015 41 8. Perjumpaan satwa lain di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat
MOTTO HIDUP
“
Orang yang paling merugi perbuatannya yaitu orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-
baiknya” (
QS
Al-Kahfi: 103-104)
“
Kerjakan kebaikan meskipun kamu anggap itu kecil, sebab engkau
tidak tahu kebaikan mana yang memeasukanmu ke surga
”
(Hasan
Al-Bashri)
“
Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan
memperoleh banyak kegembiraan yang makin lama makin
bertambah luaas, duka yang mengecil dan menyempit
”
(Musthafa
Shadiq Ar-Rafii)
“
Apapun pikiran uang bisa dibayangkan dan anda percaya, maka
itu bisa dicapai (Napoleon Bunaparte)
“
Tanpa usaha dan doa, mimpi hanyalah angan-angan yang tak
tergapai
”
(Edrian Junarsa)
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa bahagia dan kerendahan hati, Ku persembahkan karya ilmiah ini untuk Ayahanda Endri Bakhtar (alm) dan Ibunda Murtina, S.Pd
tercinta yang telah, membesarkan dan mendidikku serta memberikan doa dan kasih sayangnya sampai saat ini.
Buat Uda dan Uni ku tercinta Nevridedi Endri, S.Hut., M.IL., Eldis Murenda, S.T dan Amylia Yarshinta, S.Ik yang telah menjadi contoh untuk bisa mengikuti hal-hal yang baik serta selalu memberikan dorongan, bantuan
dan doa.
Untuk tulang rusukku dan pelengkap hidupku kelak
Buat para sahabat Celebi (Epen, Dian, Rinaldo, Audy, Rizky blue, Nope, Rita, Maria dan Selvi) yang selalu ada setiap saat untuk saling membantu, berbagi dan cengkrama. Para kawanku yang menyelesaikan sarjana di tempatnya masing-masing (Isan, Andi, Rian, Dimas, Vega, vadel, kitiang
dan Alan) yang berjuang bersama meski berjauhan. Serta semua sahabat dan kawan yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Teman se-angkatan 2011 (Forever) terima kasih atas kebersamaan yang tak kan dilupakan mulai dari awal di Kehutanan hingga sekarang. Serta
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Edrian Junarsa dilahirkan di Kota
Payakumbuh pada tanggal 28 Juni 1993. Penulis
merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari
pasangan Bapak Endri Bakhtar (Alm) dan Ibu Murtina,
S.Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar
(SD) pada tahun 2005 di Sekolah Dasar (SD) Negeri 04
Sicincin Hilir Kecamatan Payakumbuh Timur,
kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Kota Payakumbuh
pada tahun 2005 sampai dengan 2008. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 2 Payakumbuh pada tahun 2011. Pada
tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Lampung (Unila)
melalui jalur Undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SMNPTN) pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa penulis mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa
Kehutanan (HIMASYLVA) dan organisasi eksternal kampus Ikatan Mahasiswa
Minang (IMAMI) Lampung. Penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah
Hidrologi Hutan pada tahun 2013, Penginderaan Jauh Untuk Kehutanan dan
Pengelolaan Jasa Lingkungan pada tahun 2015.
Selama mengikuti perkuliahan di Unila, penulis melaksanakan Praktik Umum
Agroforestry V di Ambon dengan judul “Upaya Konservasi Satwa Liar (Studi Kasus di RPH Kepoh, BKPH Selogender, KPH Randublatung)”. Pada Januari 2015 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Tengor,
Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus.
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Unila, maka penulis menyusun skripsi dengan judul “Keberadaan Populasi Kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan,
SANWACANA
Asslamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, shalawat teriring salam kepada junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW. Alhamdulillah, atas izin-Nya penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul “Keberadaan
Populasi Kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera
Barat” skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan pada Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan
oleh keterbatasan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan guna langkah penulis berikutnya yang lebih baik.
Namun terlepas dari keterbatasan tersebut, penulis mengharapkan skripsi ini akan
bermanfaat bagi pembaca.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan
kemurahan hati dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si. selaku ketua jurusan dan pembimbing
pertama yang telah memberi bimbingan kepada penulis mulai dari awal
penyusunan proposal penelitian sampai skripsi ini terselesaikan.
3. Ibu Dra. Elly L. Rustiati, M.Sc. sebagai pembimbing kedua yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis mulai dari
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Hariyanto selaku dosen penguji, atas saran dan
kritik yang telah diberikan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Ir. Slamet Budi Yuwono, M.S. sebagai pembimbing akademik yang
telah mendukung dan melancarkan selama perkuliahan dan penelitian.
6. Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Barat yang telah memberi
kesempatan untuk penulis melakukan penelitian.
7. Bapak (Alm) dan Ibunda tercinta atas semua kasih sayang, doa, dan sabar
yang tanpa batas. Semoga Allah SWT selalu menaungi Bapak dan Ibu dengan
ridho dan sayang-Nya yang berlimpah. Uda Dedet, Uda Eldi dan Kakak Ami
atas perhatian, dukungan dan bantuannya.
8. Bapak dan Ibu Iwan yang telah bersedia membantu penulis.
9. Tim yang membantu saat penelitian Bapak Limin dan Hasnul Fikri.
10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
saya dalam penyelesaian penyusunan skripsi.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah
diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun
untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandar Lampung, 30 November 2015
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan
sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar
Alam (CA) termasuk ke dalam salah satu kawasan konservasi. Menurut
Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang
karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembang
biakannya berlangsung secara alami yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata.
Cagar Alam Lembah Harau merupakan salah satu dari 22 kawasan konservasi
yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera
Barat. Vegetasi di Cagar Alam Lembah Harau termasuk ke dalam tipe hutan hujan
campuran, selain itu juga merupakan daerah tangkapan air (water catchment)
untuk sungai pada kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau. Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 478/Kpts/Um/8/1979 tanggal 2 Agustus
1979 sebagian kawasan Cagar Alam Lembah Harau yaitu seluas 27,5 ha dialih
fungsikan menjadi Taman Wisata Alam Lembah Harau, sehingga luas Cagar
2
Cagar Alam Lembah Harau merupakan kawasan hutan yang menjadi habitat
satwa liar. Tercatat 16 jenis mamalia dari 12 famili, 8 jenis di antaranya masuk
kategori satwa yang dilindungi berdasarkan UU No.5 tahun 1990 (BKSDA
Sumatera Barat, 2012). Mamalia terutama yang bersifat frugivora memiliki
peranan penting pada ekosistem dalam penyebaran biji yang berpotensi untuk
regenerasi hutan hujan tropis.
Kokah (Prebytis siamensis) merupakan jenis primata Colobinae bersifat folivora
yang hidup di habitat hutan dataran rendah dan dijumpai pada pinggiran atau
muara sungai. Penyebaran kokah yaitu di Sumatera Bagain Timur, Riau, Lubuk
Sikaping, Batam, Malaysia dan Thailand (Supriyatna dan Wahyono, 2000).
Menurut IUCN (2008), kokah dalam Red Data Book IUCN (International Union
for Conservation Nature and Natural Resources) merupakan satwa dilindungi
dengan status hampir terancam (near threatened) dan CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species) menggolongkan kokah ke dalam
Apendix II.
Keberadaan populasi kokah di Cagar Alam Lembah Harau hingga saat ini belum
banyak diketahui masyarakat umum dan belum adanya data serta kajian ilmiah
mengenai keberadaan populasi kokah oleh BKSDA Sumatera Barat. Oleh karena
itu perlu adanya penelitian mengenai keberadaan populasi kokah yang meliputi
ukuran kelompok, komposisi umur, rasio seksual dan habitat kokah di Cagar
3
B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan populasi
kokah yang meliputi ukuran kelompok, komposisi umur, rasio seksual dan habitat
kokah di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat.
C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan populasi kokah yang
meliputi ukuran kelompok, komposisi umur, rasio seksual dan habitat kokah di
Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat.
D.Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan data dasar
yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi pihak pengelola Cagar Alam
Lembah Harau dalam merumuskan kebijakan dan keputusan yang lebih tepat
dalam upaya pelestarian kokah.
E.Kerangka Penelitian
Sumatera merupakan tempat penyebaran primata dengan jumlah terbanyak yaitu
sekitar 14-16 jenis dari 22-33 jenis yang ada di Indonesia (Megantara, 1993 dan
Berliana dkk., 2013). Salah satu hewan primata yang ada di Sumatera adalah
kokah yang termasuk kedalam famili Colobinae. Menurut IUCN (2008), kokah
4
terancam (near threatened) dan CITES menggolongkan kokah ke dalam Apendix
II.
Keberadaan populasi kokah di Cagar Alam Lembah Harau hingga saat ini belum
banyak diketahui masyarakat umum dan belum adanya data serta kajian mengenai
keberadaan populasi kokah oleh BKSDA Sumatera Barat. Oleh karena itu perlu
adanya penelitian mengenai keberadaan populasi kokah yang meliputi ukuran
kelompok, komposisi umur, rasio seksual dan habitat kokah di Cagar Alam
Lembah Harau Sumatera Barat.
Pengambilan data populasi dilakukan dengan menggunakan metode area
terkonsentrasi (consentration count) merupakan metode pengamatan atau
pencacatan yang dilakukan secara langsung dengan kelompok kokah yang
sebaiknya diamati pada saat kelompok sedang melakukan aktivitas bersuara,
makan dan istirahat (Rinaldi, 1992). Pengambilan data mengenai keadaan habitat
kokah dilakukan dengan menggunakan metode penilaian cepat (rapid
assessment). Menurut IUCN (2007), metode rapid assesment adalah berbasis
lapangan yang fokus pada suatu lokasi dan lanskap, sehingga mendapatkan
gambaran secara umum komposisi vegetasi pada daerah pengamatan dengan cara
5
Gambar 1. Kerangka penelitian keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Taksonomi Kokah
Menurut jumlah dan jenis makanannya, primata digolongkan pada dua tipe, yaitu
frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan
daun. Seperti bekantan, kokah yang tergolong ke dalam anak suku Colobinae
termasuk primata folivora atau pemakan daun, artinya lebih banyak makan
dedaunan dibandingkan jenis pakan lainnya (Bismark, 1994).
Berdasarkan Grzimek (1972) dalam Rahayu (2008), famili kedua dari monyet
dunia lama adalah monyet daun (Colobinae) dimana zoologist menganggap
Colobinae sebagai salah satu sub-famili dari Cercopithecidae. Karena jenis
pakannya daun, monyet ini disebut sebagai monyet daun. Kokah merupakan
spesies yang berasal dari sub-famili yang sama. Klasifikasi kokah dalam IUCN
(2008) adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
7
Famili : Cercopithecidae
Genus : Presbytis
Spesies : Presbytis siamensis (Müller & Schlegel, 1841).
B.Morfologi Kokah
Warna rambut bagian tubuh dan ekor kokah umumnya bervariasi, mulai dari
hitam sampai kecoklatan. Panjang tubuh antara 410-500 mm dengan panjang ekor
antara 600-740 mm. Rerata berat tubuh individu dewasa 5 kg (Supriatna dan
Wahyono, 2000).
Presbytis siamensis dibedakan ke dalam 4 anak jenis berdasarkan variasi warna
rambut. Keempat anak jenis tersebut dalam Supriatna dan Wahyono (2000),
adalah sebagai berikut:
1. Presbytis siamensis cana
Presbytis siamensis cana atau lutung paha putih memiliki ciri pada jari kaki dan
setengah dari ekor bewarna coklat kehitaman sampai hitam. Kaki depan, tulang
kering dan betis luar bewarna coklat tua. Tubuh lutung paha putih bagian atas
sampai pertengahan ekor bewarna coklat muda hingga kekuningan. Bagian dalam
lengan bawah terdapat garis putih yang berubah menjadi coklat ketika mendekati
persendian. Ciri pada dahi sampai jambul lutung paha putih yaitu bewarna coklat
8
Gambar 2. Presbytis siamensis cana (www.arkive.org, 2015).
2. Presbytis siamensis rhinosis
Presbytis siamensis rhinosis atau lutung paha putih Pulau Bintan memiliki ciri jari
kaki luar sampai betis luar bewarna hitam kecoklatan. Warna rambut pada bagian
dahi P. siamensis rhinosis yaitu coklat kehitaman berbentuk lingkaran dari telinga
kiri sampai ke telinga kanan. Rambut di bagian belakang kepala lebih panjang dan
bewarna pucat. Bagian ventral tubuh mulai dari dagu, perut, sampai betis bewarna
keperakan. Bagian luar badan mulai dari punggung sampai pertengahan ekor dan
9
Gambar 3. Presbitis siamensis rhinosis (www.arkive.org, 2015).
3. Presbytis siamensis peanulata
Presbytis siamensis peanulata atau chasen’s lutung paha putih memiliki ciri pada
muka bewarna hitam dengan warna putih di seputar mata dan warna kemerahan di
bibir. Bagian punggung dan ekor bagian luar bewarna coklat tua. Rambut di
bawah dagu ada garis bewarna putih. P. siamensis peanula memiliki warna putih
pada pangkal ekor dan paha bagian luar. Lengan luar bewarna coklat kehitaman.
Garis putih memanjang dari pergelangan kaki sampai lengan dalam. Rambut dari
dahi depan membentuk lingkaran mendatar dan menjadi tidak beraturan di bagian
10
Gambar 4. Presbytis siamensis peanulata (www.planet-mammiferes.org, 2015).
4. Presbytis siamensis natune
Presbytis siamensis natune atau lutung Pulau Natuna memiliki ciri pada punggung
sampai ekor bewarna coklat tua sampai hitam. Bagian ventral mulai dari ekor dan
bagian luar kaki sampai dagu bewarna putih kotor. Terdapat garis putih pada kaki
belakang dan memudar sampai telapak kaki. Kaki depan mulai dari pangkal
11
hitam. Warna iris mata pada P. siamensis natune yaitu coklat serta kelopak mata,
moncong dan dagu bewarna putih. Warna muka adalah hitam. Telinga bewarna
hitam, bagian terluar dan bagian dalam bewarna putih atau berbintik-bintik hitam.
Telapak kaki bewarna coklat tua kehitaman. Bayi P. siamensis natune bewarna
putih kecuali di bagian pundak dan telapak bewarna hitam (Gambar 5).
12
Menurut Supriyatna dan Wahyono (2000), keempat anak jenis Presbytis siamensis tersebar sebagai berikut :
1. Presbytis siamensis cana tersebar di Sumatera Timur, mulai dari Tembilahan, Sijunjang, Lubuk Sikaping dan pulau-pulau di kepulauan Riau, seperti Pulau
Kundur, Batam dan Galang.
2. Presbytis siamensis rhinosis tersebar di Pulau Bintan dan Kepulauan Riau.
3. Presbytis siamensis peanulata tersebar di sekitar Kotapinang dan bagian timur Sumatera.
4. Presbytis siamensis natune tersebar di Pulau Natuna Besar dan Bunguran.
C.Populasi dan Habitat Kokah
Populasi adalah kumpulan individu sejenis yang menempati daerah yang sama.
Populasi suatu jenis makhluk hidup pada habitat memiliki kerapatan dan
kepadatan yang berbeda. Jumlah individu sejenis dalam suatu satuan luas daerah
tertentu disebut kepadatan populasi (Sumarwan, 2004). Populasi kokah di Cagar
Alam Lembah Harau saat ini belum diketahui.
Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi suatu spesies atau komunitas
hidup dapat melangsungkan kehidupan (Irwanto, 2006). Nursahid (2000),
menyatakan bahwa primata membutuhkan hutan yang masih bagus, jauh dari
gangguan sehingga satwa tersebut tidak akan bertahan hidup dengan adanya
pembukaan hutan. Menurut Alikodra (2002), untuk mendukung kehidupan satwa
13
makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung dan berkembang
biak, maupun tempat untuk mengasuh anak.
Habitat satwa liar 70% berupa kawasan hutan, sehingga kelestarian habitat
ditentukan oleh pengelolaan hutan. Kawasan hutan yang berstatus seperti cagar
alam, taman nasional dan hutan lindung menjadi faktor penentu menjamin
kelestarian satwa liar dimasa mendatang (Alikodra, 2010).
Komponen yang harus dipenuhi dalam suatu habitat menurut Zulfiqar (2012),
terdiri dari tiga komponen yaitu komponen biotik yang meliputi vegetasi, satwa
liar dan organisme mikro. Selanjutnya komponen habitat yaitu fisik yang meliputi
air, tanah, iklim dan topografi. Komponen kimia dari suatu habitat meliputi
seluruh unsur kimia yang terkandung dalam komponen biotik maupun komponen
fisik.
Menurut Yoakum (1971) dalam Alikodra (1979) dan Handayani (2008), naungan
termasuk dalam komponen penting habitat satwa liar. Naungan dapat ditinjau dari
dua hal yaitu (1) naungan merupakan tempat untuk hidup dan berkembang biak
dan (2) naungan diperlukan satwa liar sebagai tempat berlindung atau
bersembunyi dari bahaya serangan predator.
Habitat kokah menurut Supriyatna dan Wahyono (2000), berada di hutan dataran
rendah, hutan rawa dan hutan bakau. Kokah juga dijumpai di pinggiran atau
14
D.Aktivitas Harian dan Pakan Kokah
Daya dukung habitat dipengaruhi oleh faktor biologis dan faktor fisik lingkungan
yang salah satunya adalah daya dukung sumber pakan. Daya dukung sumber pakan
ditentukan oleh keanekaragaman sumber pakan tersebut. Semakin berlimpah dan
tersebar sumber pakan, maka semakin besar daya dukung habitat. Ketersediaan pakan
sangat mempengaruhi aktifitas satwa liar termasuk kokah (Rahasia dkk., 2013).
Menurut Alikodra (1990), ketersediaan pakan bagi jenis hewan pemakan
tumbuhan tergantung pada kelimpahan dan penyebaran jenis-jenis tumbuhan.
Pakan dan air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan satwa liar. Menurut
jenis makanan yang dimakan, satwa liar dapat dibedakan menjadi tiga golongan,
yaitu herbivora, karnivora dan omnivora. Makanan harus tersedia bagi satwa liar,
jika pakan yang dibutuhkan kurang atau tidak tersedia maka satwa liar akan
berpindah ke daerah baru yang sumber pakannya tersedia (Yoakum, 1971 dalam
Alikodra, 1979 dan Handayani, 2008).
Sebagian besar pakan kokah terdiri dari daun muda, kuncup daun muda dan
kuncup daun. Kokah juga memakan bagian lain dari tumbuhan seperti buah, biji
dan bunga. Kokah diketahui juga mengkonsumsi beberapa jenis serangga
(Supriyatna dan Wahyono, 2000).
Ukuran kelompok pada primata mempengaruhi persaingan terhadap mendapatkan
makanan dalam suatu habitat. Menurut Borries dkk. (2008), ukuran kelompok
yang besar menguntungkan dalam mempertahankan diri dari pemangsa,
15
persaingan antar anggota kelompok dalam mendapatkan makanan juga membatasi
ukuran kelompok dalam kelompok sosial.
Tahapan hidup primata berdasarkan Bennet dkk. (1995), meliputi:
1. Bayi atau infant, secara morfologi ditandai oleh pertumbuhan gigi susu yang
bersamaan dengan perkembangan wajah. Periode ini ditandai dengan masih
bergantung pada induk atau belum disapih.
2. Masa muda (juvenile) merupakan masa antara penyapihan dan masa remaja.
Individu sudah mampu bergerak sendiri, tidak bergantung lagi pada induknya.
Secara fisik, ditandai dengan tumbuhnya gigi permanen pertama serta
pertumbuhan ukuran lengan dan kaki.
3. Dewasa muda atau pra dewasa (young adulthood), merupakan masa antara
kematangan seksual dan kematangan morfologi tubuh. Pada kebanyakan
primata, kematangan seksual terjadi lebih dahulu, lalu diikuti dengan
matangnya pertumbuhan gigi dan rangka badan, sehingga akhirnya mencapai
ukuran tubuh dewasa.
4. Dewasa pertengahan (middle adulthood) ditandai dengan kestabilan morfologi
tubuh, yang telah mengalami perkembangan secara bertahap selama beberapa
tahun. Usia ini berhubungan dengan perkembang biakan atau perkawinan.
5. Dewasa akhir (adulthood) merupakan fase terakhir dari siklus hidup primata.
Pada usia ini, kondisi kesehatan mulai menurun. Selain itu, ditandai dengan
penurunan ukuran tubuh dan berkurangnya keberhasilan dalam menghasilkan
16
Perilaku satwa adalah tindak tanduk yang terlihat dan saling berkaitan, baik secara
individu maupun bersama-sama. Fungsi utama perilaku adalah untuk
menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari dalam maupun
dari luar. Sebagian besar satwa mempunyai pola perilaku yang dapat dicobakan
untuk suatu situasi, dengan demikian mereka belajar menerapkan salah satu pola
yang menghasilkan penyesuaian terbaik (Tanudimadja, 1978).
Menurut Supriyatna dan Wahyono (2000), kokah bersifat arboreal atau hidup di
pohon dan aktif pada siang hari (diurnal). Perpindahan dari dahan ke dahan atau
ke pohon lain, umumnya dilakukan kokah dengan meloncat. Saat berjalan pada
dahan yang besar atau turun di tanah, mereka menggunakan keempat anggota
tubuhnya (quadripedal).
E.Perilaku Sosial
Pada umumnya Presbytis hidup dalam kelompok sistem matrilineal (terkait garis
turunan dari betina) dengan satu jantan. Hanya P. potenziani yang hidup
monogami dan P. thomasi dilaporkan membentuk kelompok matrilineal satu
jantan atau banyak jantan (Newton dan Dunbar, 1994). Kokah hidup berkelompok
yang terdiri dari jantan dominan sebagai pemimpin dan beberapa betina. Jumlah
kelompoknya kecil yaitu 3-6 individu. Kokah bersifat poligami (Supriyatna dan
Wahyono, 2000).
Hampir seluruh jenis primata yang termasuk ke dalam famili Cercopithecideae
memiliki sistem perkawinan poligami, yakni memiliki beberapa ekor betina dewasa
dalam setiap kelompoknya (Mukhtar, 1982 dalam Risdiyansyah, 2006). Menurut
17
dan bergabung dengan kelompok yang terdiri dari jantan-jantan muda. Secara
umum primata terestrial cenderung hidup dalam kelompok yang lebih besar
daripada primata arboreal, hal itu sebagai upaya adaptasi terhadap pemangsa
terestrial yang lebih banyak (Zinner dkk., 2001).
Menurut McFraland (1999), terbentuknya struktur sosial pada satwa diawali dari
individu satwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut
diantaranya adalah kebutuhan dasar yang meliputi makan, minum, bereproduksi,
bergerak dan perilaku sosial. Dalam individu pada jenis yang sama akan memiliki
kebutuhan yang sama dan cara untuk mendapatkan relatif sama. Sehingga dalam
memenuhi kebutuhan tersebut satu individu satwa memerlukan interaksi dengan
individu yang lainnya sehingga terjadilah hubungan antara individu tersebut dan
berlanjut antar beberapa individu yang lebih banyak. Hubungan tersebut akan
menghasilkan perilaku sosial dan akan membentuk struktur sosial dengan
kebiasaan yang diterapkan dalam kelompok tersebut.
Setiap individu akan berinteraksi dengan individu lain di dalam kelompok. Bentuk
interaksi sosial antar individu meliputi perilaku selisik, agonistik, seksual dan
bermain (Van schaik, 1983). Selisik didefinisikan sebagai perilaku membersihkan
kulit atau rambut pasangan oleh seekor individu. Kotoran diambil menggunakan
tangan, mulut, gigi atau lidah (Thierry dkk., 1994).
Agonistik merupakan perilaku penyerangan yang dilakukan oleh individu
terhadap individu lain (Thierry, 1985). Perilaku ini ditandai dengan ancaman
mimik muka, memburu, baku hantam dan diakhiri dengan kekalahan lawan.
18
Memburu ditunjukkan dengan mengejar lawan, sedangkan baku hantam ditandai
dengan adanya kontak fisik dengan lawan (Bismark, 1994). Perilaku seksual
diawali dengan pendekatan jantan dewasa terhadap betina selama beberapa hari
dan dilanjutkan dengan perkawinan (Thierry dkk., 1994). Perilaku bermain
meliputi kejar-kejaran, tarik-menarik ekor atau badan, saling menggigit dan
berguling sambil bergulat serta aktivitas yang dilakukan sendiri seperti berayun
dan memainkan ranting (Bismark, 1994).
F. Penyebaran
Penyebaran populasi merupakan pergerakan individu ke dalam atau ke luar dari
populasi. Penyebaran populasi berperan penting dalam penyebaran secara geografi
dari tumbuhan, hewan atau manusia ke suatu daerah yang belum ditempati.
Penyebaran populasi dapat disebabkan karena dorongan mencari makanan,
menghindarkan diri dari predator, pengaruh iklim, terbawa air atau angin,
kebiasaan kawin dan faktor fisik lainnya (Umar, 2012).
G.Status Konservasi
Menurut IUCN (2008), kokah dalam Red Data Book IUCN (International Union
for Conservation of Nature Resources) merupakan satwa dilindungi dengan status
hampir terancam dan CITES (Convention on International Trade in Endengered
Species of Wild Fauna and Flora) menggolongkan kokah ke dalam Apendix II
yaitu daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah
bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan (Departemen
III. METODE PENELTIAN
A.Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan
di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat (Gambar 6) pada bulan Mei sampai
Juni 2015.
20
B.Objek dan Alat Penelitian
Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah satwa kokah yang berada di Cagar
Alam Lembah Harau Sumatera Barat. Alat yang digunakan yaitu lembar kerja,
binokuler dengan 7x perbesaran, GPS (Global positioning system) Garmin
Montana 350, kamera SLR Canon EOS 50D, arloji atau jam tangan digital Puma,
komputer dan peta lokasi.
C.Batasan Penelitian
Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Areal pengamatan adalah Cagar Alam Lembah Harau yaitu pada pohon pakan
dan pohon naungan kokah.
2. Penelitian dilakukan selama 3 bulan.
3. Waktu pengamatan dilakukan mulai pukul 05.30-17.00 WIB.
4. Pengamatan kokah hanya dilakukan pada kelompok kokah yang ditemukan
pertama kali pada saat survei pendahuluan.
D.Jenis Data
1. Data Primer
Data primer yang digunakan pada penelitian yaitu data ukuran kelompok, rasio
seksual dan komposisi umur kokah di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera
21
2. Data Sekunder
Data sekunder dikumpulkan dari hasil studi literatur dan instansi terkait. Data
sekunder berupa kondisi umum dan peta lokasi Cagar Alam Lembah Harau
Sumatera Barat, serta data pendukung lainnya yang mendukung topik penelitian
keberadaan populasi kokah di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat.
E.Pengumpulan Data
1. Survei Pendahuluan
Survei pendahuluan adalah langkah awal untuk memulai penelitian, tujuan survei
pendahuluan agar peneliti mengetahui kondisi umum lokasi penelitian (Man,
2012). Survei pendahuluan untuk mengumpulkan informasi mengenai keberadaan
lokasi kokah dilakukan dengan cara wawancara dengan masyarakat sekitar hutan,
kemudian dilakukan pengecekan ke lapangan selama satu minggu dengan cara
jelajah.
2. Pengambilan Data di Lapangan
Data yang dicatat selama penelitian adalah jumlah individu dalam kelompok,
jumlah individu pada setiap tingkatan umur, jenis kelamin kokah dan jenis pohon
di titik pengamatan, pengumpulan data menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode Area Terkonsentrasi (consentration count method)
Penelitian mengenai keberadaan populasi kokah di Cagar Alam Lembah Harau
22
ukuran kelompok, rasio seksual dan komposisi umur dalam populasi. Menurut
Alikodra (1990), metode terkonsentrasi dilakukan dengan cara menetapkan
lokasi-lokasi yang sesuai dengan pergerakan dan kondisi lingkungan.
Metode area terkonsentrasi dilaksanakan terkonsentrasi pada suatu titik yang
diduga sebagai tempat dengan peluang perjumpaan satwa tinggi. Misalnya tempat
tersediaanya pakan, air untuk minum dan lokasi tidurnya. Pengamatan dapat
dilakukan pada tempat yang tersembunyi sehingga tidak mengganggu aktivitas
satwa (Bismark, 2011 dan Sartono, 2013).
Data keberadaan populasi kokah meliputi jumlah individu dalam kelompok,
jumlah individu kokah disetiap tingkat umur dan jenis kelamin yang diperoleh
dilapangan dengan metode area terkonsentrasi kemudian dicatat dalam lembar
pengamatan. Lembar kerja mencakup hari, waktu, lokasi, jumlah individu kokah,
jenis kelamin dan keterangan.
b. Metode Rapid Assesment
Pengamatan mengenai keadaan umum habitat kokah di Cagar Alam Lembah
Harau Sumatera Barat menggunakan metode rapid assessment. Menurut IUCN
(2007), rapid assessment adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan
serta mencatat secara cepat dan akurat data pengamatan yang relevan, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif pada lokasi pengamatan untuk mengetahui jenis
pohon pakan, jenis pohon tidur dan jenis pohon tempat kokah melakukan perilaku
23
Metode rapid asessment ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis‐jenis
tumbuhan yang berada di lokasi pengamatan dengan cara menyisir habitat kokah
yang merupakan gabungan dari titik pengamatan populasi di Cagar Alam Lembah
Harau. Penyisiran dilakukan dengan cara berjalan lurus di dalam areal habitat
kokah dan mengamati tumbuhan penyusun vegetasi habitat yang meliputi bagian
depan, belakang, kanan dan samping pengamat, kemudian mengidentifikasi serta
mencatat jenis dan jumlah tumbuhan yang ditemui.
Metode rapid assesment tidak dapat digunakan untuk menghitung pendugaan
populasi. Pengamatan tidak harus dilakukan pada suatu jalur khusus atau lokasi
khusus. Pengamat cukup mencatat jenis‐jenis tumbuhan yang ditemukan
(Bismark, 2011 dan CWMBC, 2013). Lembar pengamatan habitat meliputi
koordinat, nama lokal dan nama ilmiah tumbuhan, fase tumbuhan, jumlah dan
keterangan.
F. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif
merupakan analisis data yang menceritakan dalam bentuk kalimat data hasil
penelitian yang diperoleh. Data yang diperoleh dilapangan meliputi jumlah
individu dalam kelompok, jumlah pada tingkat umur, jenis kelamin dan jenis
pohon di titik pengamatan, kemudian dianalisis. Menurut Badriah (2006), analisis
deskriptif kualitatif yaitu peneliti menggambarkan, menjelaskan dan menguraikan
hasil data yang di dapat di lapangan dan disusun dalam bentuk kalimat ilmiah dan
24
1. Ukuran kelompok
Menurut Kwatrina, Kuswanda dan Setyawati (2013), ukuran kelompok
merupakan jumlah individu dalam kelompok. Data ukuran kelompok
dikumpulkan dengan mencatat jumlah individu dan lokasi spasial sesuai
keberadaan kelompok yang ditemukan.
2. Komposisi Umur
Komposisi umur adalah perbandingan jumlah individu didalam setiap kelas umur
dari suatu populasi (Alikodra, 2002). Komposisi umur dalam penelitian dianalisis
pada tingkat umur anak, muda dan dewasa. Pengamatan komposisi umur
dilakukan dengan memperhatikan ciri yang membedakan individu kokah meliputi
ukuran tubuh dan perilaku sosial. Menurut Bennet dkk. (1995), ciri pada individu
anak (infant) ditandai dengan ukuran tubuh yang masih kecil dan masih
bergantung pada induk. Ciri individu muda (juvenile) yaitu ditandai dengan
individu sudah mampu bergerak sendiri, tidak bergantung lagi pada induknya.
Secara fisik, ditandai dengan tumbuhnya gigi permanen pertama serta
pertumbuhan ukuran lengan dan kaki. Sedangkan pada individu dewasa (adult)
ditandai dengan kestabilan morfologi tubuh, yang telah mengalami perkembangan
secara bertahap selama beberpa tahun. Usia ini telah matang secara seksual yang
berhubungan dengan perkembang biakan atau perkawinan.
3. Rasio Seksual
Nisbah kelamin atau rasio seksual merupakan perbandingan jumlah jantan dengan
25
dilakukan dengan cara memperhatikan ciri pembeda individu jantan dan betina.
Menurut Fedigan (1992), ukuran tubuh ndividu betina relatif lebih kecil dari
individu jantan. Ciri lain yang membedakan yaitu pada individu jantan memiliki
skrotum diantara kedua paha. Rasio seksual kokah dapat dihitung menggunakan
persamaan sebagai berikut:
S = J/B
Keterangan :
S : Rasio Seksual
J : Individu Jantan
B : Individu Betina
4. Habitat
Defenisi habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuah kawasan yang terdiri
dari komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan
dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar. Satwa
liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk
mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan
makanan, air dan pelindung. Habitat yang sesuai untuk suatu jenis, belum tentu
sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa menghendaki kondisi habitat
yang berbeda. Pada penelitian ini dianalisis komponen penyusun habitat yang
meliputi tempat naungan, perilaku sosial dan pakan kokah di Cagar Alam Lembah
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A.Status Kawasan
Kawasan ini ditunjuk berdasarkan Besluit Van Der Gouverneur General Van
Netherlanch Indie No. 15 Stbl 24 tahun 1933 tanggal 10 Januari 1933 dengan
status Nature Reserve (cagar alam) seluas 298 ha. Kemudian berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 478/Kpts/Um/8/1979 tanggal 2 Agustus 1979
sebagian kawasan Cagar Alam Lembah Harau yaitu seluas 27,5 ha dialih
fungsikan menjadi Taman Wisata Lembah Harau, sehingga luas Cagar Alam
Lembah Harau menjadi 270,5 ha (BKSDA Sumatera Barat, 2012).
B.Letak, Luas dan Batas
Berdasarkan letak astronomi kawasan Cagar Alam Lembah Harau berada pada
100º39’10” BT - 100º41’58” BT dan 00º04’39” LS - 00º11’46 LS. Kawasan ini
merupakan hamparan perbukitan dengan dinding curam yang merupakan ciri khas
kawasan ini. Secara administrasi kehutanan, terletak di wilayah kerja Seksi
Konservasi Wilayah I yaitu Resort KSDA Lima Puluh Kota (BKSDA Sumatera
27
Secara administrasi pemerintahan, kawasan ini terletak di dua Nagari yaitu Jorong
Lubuk Limpato di Nagari Tarantang dan Jorong Harau di Nagari Harau yang
termasuk dalam wilayah Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota.
Luas kawasan Cagar Alam Lembah Harau berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 478/Kpts/Um/8/1979 tanggal 2 Agustus 1979 adalah 270,5 ha,
dengan batas sebagai berikut:
1. Bagian Utara : Areal Penggunaan Lain (APL) dan Jorong Harau
2. Bagian Timur : Hutan Lindung
3. Bagian Selatan : Jorong Lubuk Limpato
4. Bagian Barat : Jorong Lubuk Limpato
C.Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan Cagar Alam
Lembah Harau mempunyai tipe A. Pada tahun 2010 jumlah rerata bulan kering
berkisar 4,92 dan jumlah rerata bulan basah berkisar 1,17. Suhu rerata minimum
berkisar 0-17º C dan suhu rerata maksimum berkisar 25-33º C (BKSDA Sumatera
Barat, 2012).
D.Topografi
Kawasan Cagar Alam Lembah Harau terletak pada ketinggian antara 400 mdpl
sampai dengan 800 mdpl. Topografi kawasan ini adalah berbukit, landai dan
28
E.Hidrologi
Cagar Alam Lembah Harau mengalirkan 4 sungai yaitu Batang Simolakama,
Batang Air Putih, Sungai Air Tiris dan Batang Harau. Sungai tersebut mempunyai
peranan penting bagi masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai, terutama
untuk pengairan pertanian, budidaya ikan dan kebutuhan hidup sehari-hari
(BKSDA Sumatera Barat, 2012).
F. Aksesibilitas
Kawasan Cagar Alam Lembah Harau yang berbatasan langsung dengan ruas jalan
negara Payakumbuh-Pekanbaru, sangat mudah dijangkau melalui jalan darat
dengan kondisi jalan beraspal. Berdasarkan klasifikasi jalannya, cagar alam ini
dilalui jalan propinsi, jalan kabupaten, jalan kecamatan, jalan nagari dan jalan
jorong (BKSDA Sumatera Barat, 2012).
G.Vegetasi
Susunan vegetasi kawasan Cagar Alam Lembah Harau merupakan tipe ekosistem
hutan hujan campuran non-Dipterocapaceae (Tim Unit Konservasi Sumber Daya
Alam Sumatera Barat, 2000). Vegetasi hutan kawasan ini didominasi oleh
29
H.Fauna
1. Mamalia
Di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat terdapat 8 jenis mamalia dari 7 famili
yang dilindungi UU No.5 tahun 1990 (BKSDA Sumatera Barat, 2012) (Tabel 1).
Tabel 1. Jenis mamalia yang terdapat di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat yang dilindungi oleh UU No. 5 tahun 1990
No Suku Nama Jenis Nama Indonesia
1. Felidae Panthera tigris sumatrensis Harimau sumatera
2. Felidae Neofelis nebulosa Harimau dahan
3. Ursidae Helarctos malayanus Beruang madu
4. Tapiridae Tapirus indicus Tapir
5. Cervidae Cervus unicolor Rusa
6. Bovidae Capricornis sumatrensis Kambing gunung
7. Tragulidae Tragulus javanicus Kancil
8. Hylobatidae Hylobates syndactilus Siamang Sumber: Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2012
2. Burung
Jenis burung yang dijumpai dalam kawasan yaitu jenis burung pemakan serangga,
jenis burung pemakan buah, biji dan nektar (Tabel 2).
Tabel 2. Jenis burung di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat
No Suku Nama Jenis Nama Indonesia
1. Phasianidae Argusianus argus Kuau
2. Phasianidae Rhyticeros sp Ayam hutan
3. Ciconidae Ciconia episcopus Bangau
4. Accipitridae Haliastur Indus Elang bondol 5. Accipitridae Ictinaetus malayensis Elang hitam 6. Falconidae Falco tinnunculus Alap-alap curasia
7. Alcedinidae Alcedo altis Raja udang
30
3. Kupu-Kupu
Cagar Alam Lembah Harau juga memiliki jenis kupu-kupu yang beragam. Potensi
kupu-kupu ini menjadi daya tarik oleh wisatawan terutama wisatawan
mancanegara (Tabel 3).
Tabel 3. Jenis kupu-kupu yang terdapat di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat
No Nama Jenis Tanaman Pakannya
1 Papilio memnon Papilio demoleus
Jeruk (Citrus sp.)
2 Graphium sarpedon Kulit manis (Cynamomun burmanii)
3 Polyura scheiber Rambutan (Nephelium lappaceum)
4 Papilio palinurus Papilio polytes
Sicerek (Glaucena excavata)
5 Graphium agamemnon Sirsak (Anonna muricata)
6 Trogonoptera brooklana *) Triode helena *)
Triodes amphrysus*) Pachilipta aristolochiae
Tanaman aka (Aristolochiae glaucifolia)
7 Antrophaneura nox Tanaman aka (Apama corymbosa)
8 Papilio karna Papilio demolion
Ulam/Pauh-pauh (Evodia malayana) Sumber: Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2012
I. Potensi Kawasan
Kawasan Cagar Alam Lembah Harau selain memiliki keanekaragaman hayati
berupa flora dan fauna juga memiliki potensi sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan seperti potensi jasa lingkungan. Kawasan ini memiliki sumber air
yang dimanfaatkan sebagai sumber air minum oleh Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM). Sungai yang berada dalam kawasan juga sebagai sumber utama
air terjun pada kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau. Kawasan dikelilingi
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat, terdapat kokah dengan ukuran
kelompok yaitu 6-7 individu. Komposisi kelompok kokah terdiri dari jantan
dewasa 1 individu, betina dewasa 2 individu, jantan muda 1-2 individu, betina
muda 1 individu dan anakan 2 individu. Rasio seksual pada tingkat umur muda
dan dewasa yaitu 1:2. Jenis pakan meliputi Havea brasiliensis, Ficus benjamina,
Garnicia dulciskura dan Arthocarpus elasticus. Predator potensial kokah yaitu
Varanus salvator dan Spilornis cheela.
B.Saran
Saran yang terkait pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah kelompok dan sebaran
kokah (Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat.
2. Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut mengenai anak jenis dari kokah
(Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat.
3. Perlu perhatian untuk satwa liar dilindungi khususnya kokah (Presbytis
54
pemenuhuan sumber pakan dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar hutan
agar bisa ikut melestarikannya.
4. Perlu dibangun pusat pengamatan satwa liar dan pengambilan data secara
kontinyu mengenai ukuran kelompok satwa dilindungi khususya kokah
(Presbytis siamensis) di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat.
5. Perlu meminimalisir aktivitas manusia yang dapat menganggu keaslian
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H. S. 1979. Dasar-Dasar Pembinaan Margasatwa. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
____________. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor.
____________. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid II. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
____________. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia . IPB press. Bogor.
Arkive. 2015. Presbytis siamensis cana, Presbitis siamensis rhinosis dan Presbytis siamensis natune [Gambar]. www.Arkive.org. Diakses pada 6 April 2015.
Badriah, D. L. 2006. Studi Kepustakaan, Menyusun Kerangka Toritis, Hypotesis Penelitian dan Jenis Penelitian.
http://www.kopertis4.or.id/Pages/data%202006/kelembagaan/studi_kepusta kaan_DR%5B1%5D._Dewi.Doc. Diakses Pada 2 Maret 2015.
Bennet, B. T., R. C. Abee dan R. Henrickso. 1995. Nonhuman Primates In Biomedical Researches (Biology and Management). Academic Press. California.
Berliana, Y., Rizaldi dan W. Novarino. 2013. Struktur, Daerah Jelajah dan Makanan Ungko (Hylobates agilis) di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi Universitas Andalas. Jurnal Biologi Universitas Andalas 2(1)-Maret 2013: 25-30 (ISSN: 2303-2162).
Bismark, M. 1994. Studi Ekologi Makan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
56
____________. 2011. Prosedur Operasi Standar Untuk Survey Keragaman Jenis Pada Kawasan Konservasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
BKSDA Sumatera Barat. 2012. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Cagar Alam Lembah Harau Tahun 2013-2022. Balai Konservasi Sumberdaya Alam. Padang.
Borries, C., E. Larney., A. Lu., K. Ossi dan A. Koenig. 2008. Costs of Group Size: Lower Developmental and Reproductive Rates in Larger Groups of Leaf Monkeys. J. Behavioral Ecology. 19:1186–1191.
Bugiono. 2001. Studi Populasi dan Habitat Simpai (Presbytis melalophos Raffles, 1821) di Kawasan Lindung HPHTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Provinsi Riau [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Campbell, N. A., J. B. Reece dan L.G. Mitchell. 2004. Biologi Jilid III. Erlangga. Jakarta.
Cheney, D.L., R. M. Seyfard., B. B. Smuts dan R. W. Wrangham. 1987. The Study Of Primate Society. In: B. B. Smuts,. D. L. Cheney., R. M. Seyfarth., R. W. Wrangham dan T.T. Struhsaker (eds) Primate Societies. The University of Chicago Press. Chicago and London. Pp.1-8.
Clarke, G. L. 1954. Elements of Ecology. Chapman dan Hall. London.
CWMBC. 2013. Perencanaan Dan Perancangan Survey Keanekaragaman Hayati. Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation. Bandung.
Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dephut. Jakarta.
Dharmawan A., Ibrohim., H. Taurita., H. Suswono dan P. Susanto. 2005. Ekologi Hewan. Universitas Negeri Malang. Malang.
Emlen, S. T. dan L. W. Oring. 1977. Ecology, Sexual Selection, and The Evolution of Mating Systems. J. Science, 197, 215-223.
Fakhri, K., B. Priyono dan M. Rahayuningsih. 2012. Studi Awal Populasi dan Distribusi Macaca fascicularis raffles di Cagar Alam Ulolanag. Unnes J Life Science 1 (2) (2012).
57
Fitri, R., Rizaldi dan W. Novarino. 2013. Kepadatan Populasi dan Struktur Kelompok Simpai (Presbytis melalophos) serta Jenis Tumbuhan Makanannya di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 2(1) – Maret 2013 : 25-30 (ISSN : 2303-2162).
Fleagle, J. G. 1988. Primate Adaption and Evolution. Academic Press. Harcout Brace and Company. New York.
Grzimek, B. 1972. Grzimek Animal Life Encuclopedia. Van Nostrand Reinhold Company. New York.
Handayani, Y. D. 2008. Struktur Vegetasi Habitat Simakobu (Simias concolor) di Area Siberut Conservation Program (SCP), Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Irwanto. 2006. Perencanaan Perbaikan Habitat Satwa Liar Burung Pasca Bencana Alam Gunung Meletus. Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara.
Iskandar, S. 2006. Penggunaan Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Hutan Rasamala (Altingia exelsa Noronha, 1790) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Conservation International Indonesia. Jakarta.
IUCN, The World Conservation Union. 2007. Pedoman dan Metodologi Rapid Assessement untuk Kerusakan Ekosistem Darat Pesisir Akibat Tsunami. IUCN Publications Services Unit. Cambridge.
IUCN. 2008. IUCN Red List Treatened Species. <www.iucnredlist.org> . Diakses 5 Maret 2015.
Kwatrina, R. T., W. Kuswanda dan T. Setyawati. 2013. Sebaran dan Kepadatan Populasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) di Cagar Alam Dolok Sipirok dan Sekitarnya, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi vol. 10 No. 1, April 2013: 81-91.
Man, P. 2012. Laporan Penelitian : Keanekaragaman Jenis Primata di Kawasan Hutan Lindung Boven Lais Desa Batu Roto Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu. Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Megantara, E. N. 1993. Status Primata Indonesia Tantangan Bagi Konservasi Jenis. Makalah pada Simposium dan Seminar Primata. Bogor.
58
McNaughton, S. J dan L. L. Wolf. 1992. Ekologi Umum Edisi 2. Diterjemahkan oleh Pringgoseputro, Sunaryo dan B. Srigundono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Mukhtar, A. S. 1982. Penelitian Pola Pergerakan (Macaca fascicularis, Raffles,1821) di Taman Wisata dan Cagar Alam Penanjung Pangandaran, Jawa Barat [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Murai, T. 2004. Social Behaviors of All-Male Proboscis Monkeys When Joined by Females. J. Ecological Research 19(4):451-4.
Napier, J. R dan P.H. Napier. 1985. The Natural History of The Primates. The MIT Press. Cambridge. 412 hlm.
Nasrulla, A. F. 2009. Estimasi Kepadatan Populasi Surili (Presbytis comata) di Curug Cileat, Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas MIPA UPI. Bandung.
Newton, P dan R. Dunbar. 1994. Colobine Monkey Society. Pp. 311-346 in A. Davies, J. Oates, eds. Colobines: Their Ecology, Behaviour and Evolution. Cambridge University Press. Cambridge.
Nurhamiyawan, E. N. L., B. 2013. Prihandono dan Helmi. Analisis Dinamika Model Kompetisi Dua Populasi yang Hidup Bersamaan di Titik
Kesetimbangan Tidak Terdefenisi. Buletin Ilmiah Mat. Stat. dan
Terapannya (Bimaster). Volume 02. No.3 (2013), hal 197-204.
Nursahid, R. 2000. Perdagangan Primata Ancaman Serius Bagi Kelestarian Primata. Prosiding Seminar Primatologi Indonesia 2000: Konservasi satwa primata. 67 -71. Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Planetmammiferes. 2015. Presbytis siamensis peanulata [Gambar]. www.planet-mammiferes.org. Diakses pada 6 April 2015.
Rahasia, R. F., J. S. Tasirin., M. A. Langi dan S. Sumarto. 2013. Potensi Tumbuhan Pakan Alami Bagi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Hutan Lindung Gunung Masarang. e-Journal Unsrat. Vol 4, No 5 (2014).
Rahayu, N. R. T. 2008. Identifikasi Endoparasit Saluran Pencernaan Simakobu (Simias concolor siberru) dan Joja (Presbytis potenziani siberu) di Siberut Utara [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
59
Rinaldi, D. 1992. Penggunaan Metode Triangle dan Consentration Count dalam Penelitian Sebaran Populasi Gibbon (Hylobatidae). Jurnal Media Konservasi vol. IV, Oktober 1992: 9-12.
Risdiyansyah. 2006. Studi Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Condong Darat Desa Rangai Kecamatan Ketibung Kabupaten Lampung Selatan [Skripsi]. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Sartono, A. 2013. Laporan Kajian Flora dan Fauna Pada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation. Bandung.
Silk, J. B dan G. R. Brown. 2002. Sex Ratio in Primate Groups. Procedings of The National Academy of Science 99(17):11252-11255.
Stier, K. B. 2000. Primate Behavior Ecologi. Allyn dan Bacon. Boston.
Subagyo. 2008. Pola Aktivitas Harian Lutung (Presbytis cristata, Raffles 1821) di Hutan Sekitar Kampus Pinang Masak, Universitas Jambi. J. Biospecies Vol 1 No 1 Februari 2008.
Sujatnika. 1992. Studi Habitat Surili (Presbytis aygula) dan Pola Penggunaan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Kawasan Haurbentes Jasinga [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Sumarwan. 2004. Sains Biologi SMP jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Supriyatna, J dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Syaukani. 2012. Study of Population and Home Range of Thomas Langur (Presbytis thomasi) at Soraya Research Station, Leuser Ecosystem. Jurnal Natural. Vol.12, No.1.
Tanudimadja, K. 1978. Ethology. Sub Proyek Latihan Animal Wild Life Conservation. Bogor.
Tarumingkeng, R. C. 1994. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Thierry, B. 1985. Patterns of Agonistic Interactions in Three Species of Macaque (Macaca mulatta, M. fascicularis, M. tonkeana). J. Aggressive Behavior 11:223-233.
60
Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat. 2000. Laporan Identifikasi Unggulan Potensi Cagar Alam Lembah Harau. Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat. Padang.
Tobing, I. S. L. 2002. Respon Primata Terhadap Kehadiran Manusia di Kawasan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi Vol 6 (1) : 99 – 105.
Umar, M. R. 2012. Penuntun Praktikum Ekologi Umum. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Van Schaik, C. P., M. A. van Noordwijk., R. J. de Boer dan I. Tonkelaar. 1983. The Effect of Group Size on Time Budgets and Social Behaviour in wild Long-Tiled Macaques (Macaca fascicularis). J. Behav Ecol Sociobiol 13:173-181.
Van Schaik, C. P dan E. Mirmanto. 1985. Spatial Variation in The Structure and Litterfall of a Sumatran Rain Forest. J. Biotropica 17: 196-205.
Wilson, W. L dan C. C. Wilson. 1975. Spesies-specific Vocalization and The Determination of Phylogenetic Affinities of The Prsbytis aygula-melalophos Group in Sumatera. University of Washington Seatle. Washington. Pp : 459-463.
Wirdateti., A. N. Pratiwi., D. Diapari dan A. S. Tjakradidjaja. 2009. Perilaku Harian Lutung (Trachypithecus cristatus, Raffles 1812) di Penangkaran Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi-Bogor. Jurnal Zoo Indonesia 2009. 18(1):33-40 ISSN 0215-191x.
Yoakum, J. 1971. Habitat Management for The Bighorn Sheep. 1st Ann. North American Bighorn Conf. Proc. 1:158-162.
Zinner, D., F. Pela´ez dan F. Torkler. 2001. Distribution and Habitat Associations of Baboons (Papio hamadryas) in Central Eritrea. International Journal of Primatology. 22 (3) :397-413.