ABSTRACT
3D SEISMIC SEQUENCES INTERPRETATION IN DEEP WATER DEPOSITIONAL ENVIRONMENT ON “SOE” FIELD, PAPUA
By
BERIYAN ADEAM
Eastern Indonesia has a much different geological structure than the other Indonesia’s Region. Eastern Indonesia’s geological structure, especially West Papua, is affected by Indo-Australian Plate which is much older than Eurasian Plate that forms the Western Indonesia. It makes a unique and complicated geological structure in West Papua. Seismic interpretation has been done at intervals Last Cretaceous through to Middle Eocene. Overall, the orientation of its depositional environment is about N135oE. The basin physiography is interpreted on seismic section by flattening the BASE-Z horizon. The clinoform dip angle of Paleocene is about 1.6o (BASE-Z - MID-Z) to 2.5o (MID-Z - TOP-Z). The slope of the Paleocene is quietly flat and long, so that the Paleocene slope-break which is outside the observation area cannot be determined. The MID-Z shelf-edge is in the northern EM-8 wells, while the TOP-Z is in the northern EM-5 wells. In the Late Paleocene to Middle Eocene occurred progradation where the slope is formed has a dip angle of about 4o (BER-A and BER-B) to 6o (BER-C). It slope-break is stopped right at the TOP-Z. Based on seismic data, clinoform that formed in the Middle Eocene cut off by fairly extensive erosion along the Middle Eocene. The erosion also eliminates the shelf-edge of the clinoform in the Middle Eocene. That erosion is identified as the upper boundary of this sequence depositional environment. Depositional environment of Late Cretaceous to Late Paleocene has two segments of the system tract that begins with Lowstand System Tract (LST) between BASE-Z and MID-Z, and followed by Highstand System Tract (HST) between MID-Z and TOP-Z. In between these two segments system tracts is expected there are Transgressive System Tract (TST) which is separates the LST and HST in the Paleocene, but this remains to be proved by clearer seismic data. While progradation in the Middle Eocene is part of the Shelf Margin System Tract (SMST) which is truncated by erosion (TOP-ABC).
ABSTRAK
INTERPRETASI SEISMIK 3D PADA LINGKUNGAN PENGENDAPAN LAUT DALAM PADA LAPANGAN “SOE” DI PAPUA
Oleh
BERIYAN ADEAM
Indonesia Bagian Timur memiliki struktur geologi yang jauh berbeda dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Struktur geologi Indonesia Timur, terutama Papua Barat, dipengaruhi oleh Lempeng Indo-Australia yang umurnya jauh lebih tua dibandingkan dengan Lempeng Eurasia yang membentuk Indonesia Bagian Barat. Hal ini membuat struktur geologi yang unik dan kompleks di Papua Barat. Interpretasi seismik telah dilakukan pada interval Krestaseus Akhir hingga Eosen Tengah. Secara keseluruhan orientasi lingkungan pengendapan ini berada pada N1350E. Fisiografi basin diinterpretasikan pada
seismic section dengan melakukan flattening pada horison BASE-Z. Sudut jatuh
clinoform pada umur Paleosen berkisar antara 1.6o (BASE-Z – MID-Z) hingga 2.5o (MID-Z – TOP-Z). Slope pada umur Paleosen juga cukup landai dan panjang, sehingga slope-break Paleosen yang berada di luar daerah pengamatan tersebut tidak dapat ditentukan. Untuk shelf-edge MID-Z berada di utara sumur EM-8, sedangkan pada TOP-Z berada di utara sumur EM-5. Pada Paleosen Akhir hingga Eosen Tengah terjadi progradation dimana slope yang terbentuk memiliki sudut jatuh sekitar 4o (BER-A dan BER-B) hingga 6o (BER-C). Slope break ini berhenti tepat di TOP-Z. Berdasarkan data seismik, clinoform yang terbentuk pada Eosen Tengah terpotong sebagian oleh erosi yang cukup luas di sepanjang Eosen Tengah. Erosi ini juga menghilangkan shelf-edge dari clinoform pada Eosen Tengah. Erosi tersebut diidentifikasikan sebagai batas atas sekuen lingkungan pengendapan ini. Lingkungan pengendapan pada umur Kretasius Akhir hingga Paleosen Akhir memiliki dua segmen system tract yang diawali dengan Lowstand System Tract (LST) antara BASE-Z dan MID-Z, dan diikuti dengan Highstand System Tract (HST) antara MID-Z dan TOP-Z. Di antara kedua segmen system tract tersebut diperkirakan terdapat Transgressive System Tract (TST) yang memisahkan LST dan HST di umur Paleosen, namun hal ini masih harus dibuktikan dengan data seismik yang lebih jelas lagi. Sedangkan progradation
pada umur Eosen Tengah merupakan bagian dari Shelf Margin System Tract
(SMST) yang terpotong oleh erosi (TOP-ABC).
INTERPRETASI SEKUEN SEISMIK 3D PADA LINGKUNGAN
PENGENDAPAN LAUT DALAM
PADA LAPANGAN “SOE”
DI PAPUA
Oleh
BERIYAN ADEAM
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK
Pada
Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Beriyan Adeam, dilahirkan di Jatimulyo pada tanggal 08 April 1992 dari pasangan Bapak Soeparyono dan Ibu
Endang Mardarita (alm.), yang merupakan anak kedua dari
dua bersaudara.
Penulis mengenyam pendidikan formalnya dimulai sejak
Taman Kanak-kanak (TK) Al-Azhar 3 Jatimulto yang diselesaikan pada tahun
1998, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 1 Jatimulyo pada tahun 2004,
Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 29 Bandar Lampung
pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diselesaikan di
SMAN 9 Bandar Lampung pada tahun 2010.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Teknik Geofisika, Fakultas Teknik,
Universitas Lampung pada tahun 2010 melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi
mahasiswa penulis terdaftar dan aktif di beberapa Organisasi Kemahasiswaan,
seperti Himpunan Mahasiswa Teknik Geofisika Bhuwana (HIMA TG Bhuwana)
sebagai Ketua bidang Sains dan Teknologi pada tahun 2012-2013, American
Association of Petroleum Geologist Student Chapter Unila (AAPG SC Unila)
sebagai Wakil Ketua divisi Publication pada tahun 2013-2014, Himpunan
Mahasiswa Geofisika Indonesia Regional Sumatra (HMGI Reg. Sumatra) sebagai
viii
Geophysicist Student Chapter Unila (SEG SC Unila) sebagai Vice President pada
tahun 2013-2014. Selain itu, penulis juga pernah mendapatkan beasiswa dari
Perusahaan Gas Negara (PGN) sejak tahun 2011 hingga 2013 serta pernah
menjadi Student Volunteer untuk Forum Anggota Muda Persatuan Insinyur
Indonesia (FAM PII) dalam acara Conference ASEAN Federation of Engineering
Organization (CAFEO) 31st di Jakarta.
Pada bulan Oktober 2013, penulis melaksanakan Kerja Praktek (KP) di PT
Pertamina EP Asset 2, Prabumulih dengan mengambil judul “Interpretasi Data Seismik 2D dengan Metode Seismik Inversi untuk Menentukan Perlapisan Bawah Permukaan pada Lapangan X Menggunakan Hampson Russel
Software”. Kemudian pada bulan Agustus 2014, penulis melakukan penelitian
sebagai bahan penyusunan Tugas Akhir di British Petroleum Indonesia. Hingga
akhirnya penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya pada bulan
Januari tahun 2015 dengan skripsi yang berjudul “Interpretasi Sekuen Seismik
Kepada
Almarhumah Ibunda ku tercinta, Endang Mardarita
Ayahanda ku terkasih, Soeparyono
Yang tersayang, kakak perempuan ku Adela Margaret dan suaminya Susanto,
“Karena sesungguhnya sesudah ada kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya
sesudah ada kesulitan ada kemudahan.”
(QS Al-Insyirah: 5-6)
“Barang siapa yang menginginkan dunia, hendaklah ia berilmu, Barang siapa yang
menginginkan akhirat hendaklah ia berilmu, Barang siapa yang menginginkan
kedua-duanya sekaligus, ia pun harus berilmu.”
(Nabi Muhammad SAW)
“Tidak bertindak karena menunggu hilangnya rasa malas adalah bentuk kemalasan
yang lebih parah lagi.”
(Anonim)
“Success is not final, failure is not fatal, it is the courage to continue that counts.”
(Winston Churchill)
“Each person has their own destiny, but they have 99% part to choose their own”
(Beriyan Adeam)
“A journey of a thousand miles begins with a single step”
(Lao Tzu)
“Man jadda wa jada, man shabara zhafira”
xviii
5.4 Interpretasi Stratigrafi Seismik ... 88
VI. KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan ... 113
6.2 Saran ... 114
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1Peta Lokasi Penelitian ... 4
Gambar 2.2 Elemen Tektonik Kepala Burung ... 6
Gambar 2.3 Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng tektonik ... 7
Gambar 2.4 Stratigrafi Papua ... 14
Gambar 3.1 Pemantulan dan pembiasan pada bidang batas dua medium untuk gelombang P ... 15
Gambar 3.2 Impedansi Akustik dan Koefisien Refleksi ... 20
Gambar 3.3 Hubungan Koefisien Refleksi dan amplitudo dan hubungan nilai Impedansi Akustik terhadap amplitudo ... 20
Gambar 3.4 Jenis-jenis wavelet berdasarkan konsentrasi energinya ... 21
Gambar 3.5 Seismogram sintetik ... 24
Gambar 3.6 Diagram Sekuen Stratigrafi ... 26
Gambar 4.1 Data Seismik 3D pada arbitrary seismic line 1 ... 32
Gambar 4.2 Base Map dari Survey Area Lapangan “SOE” ... 33
Gambar 4.3 Diagram Alir ... 34
Gambar 5.1 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-1 ... 36
Gambar 5.2 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-1 terhadap Seismic Volume B land ... 37
xxi
Gambar 5.4 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-2 terhadap Seismic
Volume A off-shore ... 39
Gambar 5.5 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-3 ... 40 Gambar 5.6 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-3 terhadap Seismic
Volume A off-shore ... 41
Gambar 5.7 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-4 ... 42 Gambar 5.8 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-4 terhadap Seismic
Volume A off-shore ... 43
Gambar 5.9 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-5 ... 44 Gambar 5.10 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-5 terhadap Seismic
Volume A off-shore ... 45
Gambar 5.11 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-6 ... 46 Gambar 5.12 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-6 terhadap Seismic
Volume B land ... 47
Gambar 5.13 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-7 ... 48 Gambar 5.14 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-7 terhadap Seismic
Volume B land ... 49
Gambar 5.15 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-8 ... 50 Gambar 5.16 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-8 terhadap Seismic
Volume B land ... 51
Gambar 5.17 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-9 ... 52 Gambar 5.18 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-9 terhadap Seismic
Volume A off-shore ... 53
Gambar 5.19 Picking horizon BASE-Z pada Seismic Volume A off-shore ... 55 Gambar 5.20 Hasil interpolasi horison BASE-Z pada area off-shore ... 56 Gambar 5.21 Hasil gabungan interpolasi horison BASE-Z area off-shore
dan land ... 57
xxii
Gambar 5.23 Hasil interpolasi horison TOP-Z pada area off-shore ... 59
Gambar 5.24 Hasil gabungan interpolasi horison TOP-Z area off-shore dan land ... 60
Gambar 5.25 Picking horizon awalMID-Z pada Seismic Volume A off-shore ... 62
Gambar 5.26 Hasil interpolasi awal MID-Z pada area off-shore ... 63
Gambar 5.27 Perluasan picking horizon MID-Z pada area off-shore bagian Timur dan pada area land ... 64
Gambar 5.28 Hasil revisi dan interpolasi horison MID-Z area off-shore dan land ... 65
Gambar 5.29 Picking horizon pada clinoform BER-A pada Seismic Volume A off-shore ... 67
Gambar 5.30 Picking horizon pada clinoform BER-B pada Seismic Volume A off-shore ... 68
Gambar 5.31 Picking horizon pada clinoform BER-C pada Seismic Volume A off-shore ... 69
Gambar 5.32 Hasil interpolasi dan revisi pada clinoform BER-A area off-shore ... 70
Gambar 5.33 Hasil interpolasi dan revisi pada clinoform BER-B area off-shore ... 71
Gambar 5.34 Hasil interpolasi dan revisi pada clinoform BER-C area off-shore ... 72
Gambar 5.35 Picking horizon pada erosi horison TOP-ABC pada Seismic Volume A off-shore dan Seismic Volume B land ... 73
Gambar 5.36 Hasil interpolasi dan revisi pada erosi horison TOP-ABC area off-shore dan land ... 74
Gambar 5.37 Horison TOP-ABC yang telah direvisi ... 75
Gambar 5.38 Horison BASE-Z secara 3D ... 76
Gambar 5.39 Horison MID-Z secara 3D ... 77
xxiii
Gambar 5.41 Horison BER-A secara 3D ... 78
Gambar 5.42 Horison BER-B secara 3D ... 78
Gambar 5.43 Horison BER-C secara 3D ... 79
Gambar 5.44 Horison TOP-ABC secara 3D ... 79
Gambar 5.45 Seluruh horison secara 3D dengan volum seismik ... 80
Gambar 5.46 Peta isochrones MID-Z terhadap BASE-Z ... 82
Gambar 5.52 Peta cross-section dari keempat arbitrary seismic line ... 89
Gambar 5.53 Arbitrary seismic line 1 ... 90
Gambar 5.54 Arbitrary seismic line 1 dengan atribut seismik Ins. Phase ... 91
Gambar 5.55 Arbitrary seismic line 1 dengan flatten pada BASE-Z ... 92
Gambar 5.56 Arbitrary seismic line 2 ... 94
Gambar 5.57 Arbitrary seismic line 2 dengan atribut seismik Ins. Phase ... 95
Gambar 5.58 Arbitrary seismic line 2 dengan flatten pada BASE-Z ... 96
Gambar 5.59 Arbitrary seismic line 3 ... 97
Gambar 5.60 Arbitrary seismic line 3 dengan atribut seismik Ins. Phase ... 97
Gambar 5.61 Arbitrary seismic line 3 dengan flatten pada BASE-Z ... 98
Gambar 5.62 Arbitrary seismic line 4 ... 98
Gambar 5.63 Arbitrary seismic line 4 dengan atribut seismik Ins. Phase ... 99
xxiv
Gambar 5.65 Interpretasi slope dan lokasi shelf-edge dari MID-Z ... 101 Gambar 5.66 Interpretasi slope dan lokasi shelf-edge dari TOP-Z ... 102 Gambar 5.67 Interpretasi slope serta lokasi shelf-edge dan slope-break
dari horison BER-A ... 104
Gambar 5.68 Interpretasi slope serta lokasi shelf-edge dan slope-break
dari horison BER- B ... 105
Gambar 5.69 Interpretasi slope serta lokasi shelf-edge dan slope-break
dari horison BER- C ... 106
Gambar 5.70 Lokasi shelf-edge dan slope-break serta sudut slope dari
masing-masing horison pada arbitrary seismic line 1 ... 108
Gambar 5.71 Bentuk system track lingkungan pengendapan pada arbitrary seismic line 1 dengan flattening pada BASE-Z ... 111
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bermacam-macam metode penyelidikan digunakan untuk mengungkapkan
keadaan geologi bawah permukaan, khususnya dalam menganalisis cekungan,
patahan, dan lain-lain yang kemungkinan mengandung minyak dan gas bumi
(migas). Metode seismik adalah salah satu metode geofisika yang cukup baik
dalam mencitrakan kondisi bawah permukaan dengan menggunakan prinsip
perambatan gelombang seismik dan relatif rinci tentang struktur interior bumi.
Secara garis besar, metode seismik dibagi menjadi 3 tahap, yaitu akuisisi
data seismik, pengolahan data dan interpretasi data. Ketiga tahapan ini merupakan
bagian yang tidak dapat terpisahkan dan tiap-tiap tahapan harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya karena satu tahapan akan mempengaruhi tahapan yang lainnya.
Artinya, kualitas akuisisi data yang baik akan memberikan hasil yang baik pada
pemrosesan data, yang kemudian menghasilkan interpretasi yang baik yang
mendekati kondisi bawah permukaan bumi. Jadi, setiap tahapannya saling
menunjang (Widiyantoro, 2004).
Stratigrafi cekungan sedimen merupakan respon jangka panjang dari
2
satuan-satuan stratigrafi itu sendiri akan dipengaruhi oleh pola detil penurunan
dan erosi. Satuan primer stratigrafi adalah sekuen pengendapan yang merupakan
paket lapisan yang koheren, secara genetis saling berhubungan dan mempunyai
pelamparan signifikan dalam suatu cekungan. Sekuen pengendapan ini dibentuk
oleh interaksi antara tektonik, sejarah termal, perubahan muka laut, dan suplai
sedimen. Batas sekuen mempunyai peranan kritis dan merupakan bidang
ketidakselarasan atau bidang sebandingnya. Sekuen pengendapan mempunyai arti
kronostratigrafis penting karena mereka terendapkan selama suatu interval waktu
yang dibatasi oleh umur batas sekuen (Sukmono, 1999b).
Dewasa ini, konsep eksplorasi minyak dan gas bumi di Indonesia telah
berpindah dari eksplorasi konservatif yang didominasi Indonesia Bagian Barat ke
arah yang baru “pergi ke Timur, dan lebih dalam”. Eksplorasi hidrokarbon telah
sukses untuk Indonesia Bagian Barat, kini Cekungan Salawati dan Bintuni
menawarkan harapan baru untuk industri minyak dan gas bumi. Beberapa
cekungan baru pun telah ditemukan dan ekplorasi hidrokarbon yang intensif
sedang dilaksanakan (Siburian, 2010).
Lowstand System Tract (LST) terbentuk saat muka air laut relatif turun
dengan cepat dan stabil pada penurunan muka air laut maksimum dan saat aair
laut mulai kembali naik dengan lambat. Sistem ini akan menghasilkan endapan
regresi di pantai dan prodelta serta endapan sungai yang mengisi incissed valley.
Transgressive System Tract (TST) terbentuk saat muka air laut relatif naik
dengan cepat sedangkan suplai sedimen berkurang. TST umumnya kaya akan
shale dan merupakan sumber dari batuan induk yang baik. Highstand System
3
mulai stabil dan menghasilkan shale tipis yang kemudian muka air laut relatif
mulai turun dengan lambat.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari Tugas Akhir ini adalah:
1. Mendapatkan penampang seismik 3D pada Lapangan “SOE”.
2. Mengetahui orientasi serta dip line dari slope dan lokasi shelf-edge serta
slope-break dari masing-masing interval waktu pengendapan berdasarkan
hasil interpretasi lingkungan pengendapan dari data seismik.
3. Mengetahui system track lingkungan pengendapan pada Lapangan “SOE”.
1.3 Batasan Masalah
Dalam tugas akhir ini, penulis mengambil cakupan ruang lingkup Tugas
Akhir yaitu:
1. Penelitian hanya dilakukan pada Lapangan “SOE” dengan batas umur
batuan Krestaseus Akhir hingga Eosen Tengah.
2. Data seismik yang digunakan berupa data seismik 3D post-stack dengan
asumsi bahwa data tersebut telah melalui tahap processing sesuai
prosedur.
3. Penelitian hanya dilakukan hingga penentuan system track dan tidak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geomorfologi Daerah Penelitian
Gambar 2.1 Peta Lokasi Penelitian (Bakosurtanal, 2003)
Secara astronomis, Papua atau Irian Jaya terletak antara 000 19’– 10043’
LS dan 1300 45’ 1500 48’ BT, mempunyai panjang 2400 km dan lebar 660 km.
Secara administratif pulau ini terdiri dari Papua sebagai wilayah RI dan Papua
5
Nugini yang terlatak di bagian timur. Fisiografi Papua dibedakan menjadi tiga
bagian:
1. Semenanjung Barat atau Kepala Burung yang dihubungkan oleh leher
yang sempit terhadap pulau utama (1300– 1350 BT)
menunjukkan bahwa bagian samudra ini merupakan blok kontinen yang
tenggelam. Blok kontinen yang tenggelam di sebelah Utara Papua ini dianggap
sebagai tanah batas “Melanesia”. Ke arah Selatan, Dangkalan Sahul (laut Arafura)
dan selat Torres menghubungkan Papua dengan Australia.
Sejajar dengan Pantai Utara, Kepala Burung terjadi rangkaian pegunungan
yang membujur Timur-Barat antara Salawati dan Manokwari. Ini terbagi oleh
Utara dan Selatan oleh sebuah depresi memanjang. Rangkaian Utara tersusun dari
batuan volkanis neogen dan kuarter yang diduga masih aktif atau volkan Umsini
pada tingkat solfatar. Rangkaian Selatan terdiri dari sedimen tertier bawah dan
pre-tertier yang terlipat kuat. Arahnya Timur-Barat, kemudian melengkung ke
Selatan sampai Pegunungan Lima. Bagian Utara Kepala Burung dipisahkan
terhadap Bagian Selatan (Bombarai) oleh teluk Macculer yang luas tetapi dangkal,
karena sedimentasi yang besar dan di tandai dangkalan yang berisi pulau-pulau,
6
Gambar 2.2 Elemen Tektonik Kepala Burung (Anonymous, 2012)
Struktur elemen penting yang berada di daerah Kepala Burung, antara lain:
1. Sesar Sorong, terletak di sebelah Utara
Sesar Sorong adalah salah satu sesar mayor yang terletak di sebelah Utara
Kepala Burung, dengan arah sesar berarah timur-barat. Jenis Sesar Sorong
ini yaitu sesar mendatar kiri (left-lateral strike-slip fault).
2. Sesar Tarera Aiduna, terletak di sebelah Selatan
Sesar Tarera Aiduna merupakan sesar mayor yang berada di daerah
Kepala Burung dimana sesar ini terletak di sebelah Selatan dengan arah
sesar Barat-Timur.
3. Lengguna Fold-Belt, terletak di sebelah Timur
Lengguna Fold-Belt (LFB) merupakan serangkaian antiklin yang
7
ketika terjadi proses oblique convergent antara Lempeng Pasifik-Indo
Australia. Di sebelah Selatan, LFB ini dipotong oleh sesar Tarera Aiduna.
Pada saat LFB ini terbentuk, mengakibatkan adanya penurunan
(subsidence), sehingga mengalami sedimentasi pada cekungan LFB
sebagian besar tersusun atas kelompok New Guinea Limestone (NGL)
yang mengisi Cekungan Bintuni.
4. Seram Through, berada di sebelah Barat
Palung Seram berada di sebelah Barat Daya Kepala Burung. Sesar ini
terbentuk akibat adanya konvergen Lempeng Australia.
2.2 Struktur Regional Papua
8
Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling
bertumbukan dan serentak aktif (Gambar 2.3). Pada saat ini, Lempeng Samudera
Pasifik-Caroline bergerak ke Barat-Barat Daya dengan kecepatan 7,5 cm/th,
sedangkan Lempeng Benua Indo-Australia bergerak ke Utara dengan kecepatan
10,5 cm/th. Tumbukan yang sudah aktif sejak Eosen ini membentuk suatu tatanan
struktur kompleks terhadap Papua Barat (Papua), yang sebagian besar dilandasi
kerak Benua Indo-Australia.
Periode tektonik utama daerah Papua dan bagian Utara Benua
Indo-Australia dijelaskan dalam empat episode, yaitu (1) periode rifting awal Jura di
sepanjang batas Utara Lempeng Benua Indo-Australia, (2) periode rifting awal
Jura di Paparan Baratlaut Indo-Australia (sekitar Palung Aru), (3)
periode tumbukan Tersier antara Lempeng Samudera Pasifik-Caroline dan
Indo-Australia, zona subduksi berada di Palung New Guinea, dan (4) periode tumbukan
Tersier antara Busur Banda dan Lempeng Benua Indo-Australia. Periode tektonik
Tersier ini menghasilkan kompleks-kompleks struktur seperti Jalur Lipatan
Anjakan Papua dan Lengguru, serta Antiklin Misool-Onin-Kumawa
2.3 Stratigrafi Papua
Geologi Irian Jaya secara garis besar dibedakan ke dalam tiga kelompok
batuan penyusan utama yaitu: (a) batuan kraton Australia; (b) batuan lempeng
pasifik; dan (c) batuan campuran dari kedua lempeng. Litologi yang terakhir ini
batuan bentukan dari orogenesa Melanesia. Batuan yang berasal dari kraton
9
dan tinggi sebagian telah diintrusi oleh batuan granit di sebelah barat, batuan ini
berumur palaezoikum akhir, secara selaras ditindih oleh sedimen paparan
mesozoikum dan batuan sedimen yang lebih muda, batuan vulkanik dan batuan
malihan hingga tersier akhir. Singkapan yang baik dan menerus dapat diamati
sepanjang daerah batas tepi utara dan pegunungan tengah.
Stratigrafi wilayah Papua terdiri atas:
2.3.1 Paleozoic Basement (Pre-Kambium Paleozoicum)
Di daerah Kepala Burung atau Salawati-Bintuni, batuan dasar yang
berumur Paleozoikum terutama tersingkap di sebelah timur kepala Burung yang
dikenal sebagai Tinggian Kemum, serta disekitar Gunung Bijih Mining Access
(GBMA) yaitu di sebelah barat daya Pegunungan Tengah. Batuan dasar tersebut
disebut Formasi Kemum yang tersusun oleh batusabak, filit dan kuarsit. Formasi
ini di sekitar Kepala Burung dintrusi oleh bitit Granit yang berumur Karbon yang
disebut sebagai Anggi Granit pada Trias. Oleh sebab itu Formasi Kemum
ditafsirkan terbentuk pada sekitar Devon sampai Awal Karbon.
Selanjutnya Formasi Kemum ditindih secara tidak selaras oleh Group
Aifam. Di sekitar Kepala Burung group ini dibagi menjadi 3 Formasi yaitu
Formasi Aimau, Aifat dan Ainim. Group ini terdiri dari suatu seri batuan sedimen
yang tak termalihkan dan terbentuk di lingkungan laut dangkal sampai
fluvio-delataik. Satuan ini di daerah Bintuni ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi
10
2.3.2 Sedimentasi Mesozoikum hingga Senosoik a. Formasi Tipuma
Formasi Tipuma tersebar luas di Papua, mulai dari Papua Barat hingga
dekat perbatasan di sebelah Timur. Formasi ini dicirikan oleh batuan
berwarna merah terang dengan sedikit bercak hijau muda. Formasi ini
terdiri dari batu lempung dan batu pasir kasar sampai halus yang berwarna
abu-abu kehijauan dengan ketebalan sekitar 550 meter. Umur formasi ini
diperkirakan sekitar Trias Tengah sampai Atas dan diendapkan di
lingkungan supratidal.
b. Formasi Kelompok Kembelangan
Kelompok ini diketahui terbentang mulai dari Papua Barat hingga Arafura
Platform. Bagian atas dari kelompok ini disebut formasi Jass. Kelompok
Kembelangan terdiri atas lapis batu debu dan batu lumpur karboniferus
pada lapisan bawah batu pasir kuarsa glaukonitik butiran-halus serta
sedikit shale pada lapisan atas. Kelompok ini berhubungan dengan formasi
Waripi dari kelompok Batuan Gamping New Guinea atau New Guinea
Limestone Group (NGLG).
c. Formasi Batu Gamping New Guinea
Selama masa Cenozoik, kurang lebih pada batas Cretaceous dan
Cenozoik, Pulau New Guinea dicirikan oleh pengendapan (deposisi)
karbonat yang dikenal sebagai Kelompok Batu Gamping New Guinea
(NGLG). Kelompok ini berada di atas Kelompok Kembelangan dan terdiri
11
Formasi Fumai Eosen; (3) Formasi Sirga Eosin Awal; dan (4). Formasi
Kais Miosen Pertengahan hingga Oligosen.
2.3.3 Sedimentasi Senosoik Akhir
Sedimentasi Senosoik Akhir dalam basement kontinental Australia
dicirikan oleh sekuensi silisiklastik yang tebalnya berkilometer, berada di atas
strata karbonat Miosen Pertengahan. Di Papua dikenal 3(tiga) formasi utama, dua
di antaranya dijumpai di Papua Barat, yaitu formasi Klasaman dan Steenkool.
Formasi Klasaman dan Steenkool berturut-turut dijumpai di Cekungan Salawati
dan Bintuni.
2.3.4 Kenozoikum
Grup Batu gamping New Guinea, Grup ini dibagi menjadi 4 formasi dari
tua ke muda adalah sebagai berikut: Formasi Waripi, Formasi Faumai, Formasi
Sirga dan Formasi Kais. Formasi Waripi terutama tersusun oleh karbonat
dolomitik, dan batupsir kuarsa diendapkan di lingkungan laut dangkal yang
berumur Paleosen sampai Eosen. Di atas formasi ini diendapkan Formasi Faumai
secara selaras dan terdiri dari batu gamping berlapis tebal (sampai 15 meter) yang
kaya fosil foraminifera, batu gamping lanauan dan perlapisan batu pasir kuarsa
dengan ketebalan sampai 5 meter, tebal seluruh formasi ini sekitar 500 meter.
Formasi Faumai terletak secara selaras di atas Formasi Waripi yang juga
merupakan sedimen yang diendapkan di lingkungan laut dangkal. Formasi ini
terdiri dari batuan karbonat berbutir halus atau kalsilutit dan kaya akan fosil
12
Formasi sirga dijumpai terletak secara selaras di atas Formasi Faumai,
terdiri dari batupasir kuarsa berbutir kasar sampai sedang mengandung fosil
foraminifera, dan batu serpih yang setempat kerikilan. Formasi Sirga ditafsirkan
sebagai endapan fluvial sampai laut dangkal dan berumur Oligosen Awal.
Formasi Kais terletak secara selaras di atas Formasi Sirga. Formasi Kais
terutama tersusun oleh batu gamping yang kaya foraminifera yang berselingan
dengan lanau, batu serpih karbonatan dan batu bara. Umur formasi ini berkisar
antara Awal Miosen sampai Pertengahan Miosen dengan ketebalan sekitar 400
sampai 500 meter.
2.3.5 Miosen sampai Recent.
Pada Miosen sampai recent, di Papua dijumpai adanya 3 formasi yang
dikenal sebagai Formasi Klasaman, Steenkool dan Buru yang hampir seumur dan
mempunyai kesamaan litologi, yaitu batuan silisiklastik dengan ketebalan sekitar
1000 meter. Ketiga formasi tersebut di atas mempunyai hubungan menjari,
Namun Formasi Buru yang dijumpai di daerah Badan Burung pada bagian
bawahnya menjemari dengan Formasi Klasafat. Formasi Klasafat yang berumur
Mio-Pliosen dan terdiri dari batu pasir lempungan dan batu lanau secara selaras
ditindih oleh Formasi Klasaman dan Steenkool. Endapan aluvial dijumpai
terutama di sekitar sungai besar sebagai endapan bajir, terutama terdiri dari
13
2.3.6 Stratigrafi Lempeng Pasifik
Pada umumnya batuan Lempeng Pasifik terdiri atas batuan asal penutup
(mantle derived rock), island-arc volcanis dan sedimen laut dangkal. Di Papua,
batuan asal penutup banyak dijumpai luas sepanjang sabuk Ophiolite Papua,
Pegunungan Cycloop, Pulau Waigeo, Utara Pegunungan Gauttier dan sepanjang
zona sesar Sorong dan Yapen pada umumnya terbentuk oleh batuan ultramafik,
plutonil basik, dan mutu-tinggi metamorfik. Sedimen dalam Lempeng Pasifik
dicirikan pula oleh karbonat laut-dangkal yang berasal dari pulau-arc. Satuan ini
disebut Formasi Hollandia dan tersebar luas di Waigeo, Biak, Pulau Yapen dan
Pegunungan Cycloop. Umur kelompok ini berkisar dari Miosen Awal hingga
Pliosen.
2.3.7 Stratigrafi Zona Transisi
Konvergensi antara lempeng Australia dan Pasifik menghasilkan batuan
dalam zona deformasi. Kelompok batuan ini diklasifikasikan sebagai zona transisi
atau peralihan, yang terutama terdiri atas batuan metamorfik. Batuan metamorfik
ini membentuk sabuk kontinyu (>1000 km) dari Papua hingga Papua New
BAB III
TEORI DASAR
3.1 Gelombang Seismik
Suatu gelombang yang datang pada bidang batas dua media yang sifat
fisiknya berbeda akan dibiaskan, jika sudut datang lebih kecil atau sama dengan
sudut kritisnya dan akan dipantulkan, jika sudut datang lebih besar dari sudut
kritis. Sudut kritis adalah sudut datang yang menyebabkan gelombang dibiaskan
900.
16
Pada saat sebuah gelombang datang P mengenai suatu batas permukaan
antara dua media elastic homogeny isotropis akan terjadi konservasi serta
pembagian energi dari amplitudo gelombang datang P tersebut menjadi komponen
gelombang P dan S. Besar sudut sinar datang, sinar pantul, dan transmisi
mengikuti persamaan Hukum Snellius sebagai berikut:
�
=
sin�1Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan gelombang seismik adalah
sebagai berikut:
Litologi
Perbedaan harga kecepatan pada litologi yang berbeda mempunyai harga
yang tumpang tindih, sehingga sulit untuk menganalisis balik dari data
kecepatan untuk membedakan litologi.
Densitas
Variasi densitas memegang peranan penting pada variasi kecepatan
17
Porositas
Faktor porositas dan kecepatan secara umum dianggap linier jika, porositas
besar, maka volume pori besar, sehingga kekompakan batuan berkurang
dan mengakibatkan kecepatan rendah.
Faktor tekanan dan kedalaman
Tekanan akan semakin bertambah dengan bertambahnya kedalaman.
Pertambahan kedalaman menyebabkan massa batuan semakin besar dan
semakin potensial menekan dan memperkecil ruang pori batuan. Karena
itu kecepatan akan relatif bertambah terhadap kedalaman.
Kandungan fluida
Harga kecepatan akan relatif rendah apabila di dalam pori berisi gas.
3.2 Impedansi Akustik
Impedansi Akustik (IA) atau Acoustic Impedance merupakan sifat yang khas pada batuan yang merupakan hasil perkalian antara densitas (ρ) dengan
kecepatan gelombang seismik (V). Secara matematis persamaan IA adalah
18
Impedansi akustik dianalogikan sebagai acoustic hardness (Sukmono,
1999a). Batuan yang keras (hard rock) dan sukar dimampatkan seperti batu
gamping (limestone) dan granit mempunyai impedansi akustik yang tinggi,
sedangkan batuan yang lunak seperti lempung (clay) yang lebih mudah
dimampatkan mempunyai nilai impedansi akustik yang rendah (Gambar 3.2).
Nilai kontras IA dapat diperkirakan dari amplitudo refleksinya, semakin
besar amplitudonya semakin besar refleksi dan kontras IA-nya. Sebagian besar
hasil penampang IA akan memberikan deskripsi geologi bawah permukaan yang
lebih rinci dan jelas dibandingkan dengan penampang seismik konvensional. IA
dapat mencitrakan batas lapisan dan sebagai indikator litologi, porositas
hidrokarbon, pemetaan litologi, pemetaan dan dapat digunakan untuk deskripsi
karakteristik reservoar.
3.3 Koefisien Refleksi
Koefisien Refleksi (KR) adalah kontras Impedansi Akustik pada batas
lapisan batuan yang satu dengan batuan yang lain. Pada dasarnya setiap koefisien
refleksi dapat dianggap sebuah respon dari wavelet seismik terhadap sebuah
perubahan impedansi akustik (IA) di dalam bumi yang didefinisikan sebagai hasil
perkalian antara kecepatan kompresional dan densitas. Secara matematis,
Koefisien Refleksi meliputi pembagian selisih Impedansi Akustik dengan jumlah
Impedansi Akustik dari dua medium berbeda.
Hal ini akan memberikan persamaan koefisien refleksi pada batas antara
19
Jika harga impedansi akustik suatu lapisan diketahui, maka harga
impedansi akustik lapisan berikutnya adalah;
��
�=
��
1 1+���1−���
�+1
�=1 ... (3.5)
Besar kecilnya nilai Koefisien Refleksi selain tergantung pada Impedansi
Akustik, juga tergantung pada sudut datang gelombang atau jarak
sumber-penerima. Koefisien Refleksi, merupakan cerminan dari bidang batas media yang
memiliki harga Impedansi Akustik yang berbeda. Di dalam seismik refleksi,
Koefisien Refleksi biasanya ditampilkan pada jarak sumber-penerima sama
dengan nol (zero offset). Koefisisen Refleksi, jika dikonvolusikan dengan wavelet
akan menghasilkan tras seismik (Sukmono, 1999a).
Harga Koefisien Refleksi dapat diperkirakan dari amlitudo refleksinya.
Koefisien refleksi berbanding lurus dengan amplitudo gelombang seismik
refleksi, semakin besar amplitudo refleksinya semakin besar koefisien refleksinya
20
Gambar 3.2Impedansi Akustik dan Koefisien Refleksi (Sukmono, 1999a)
Gambar 3.3Hubungan Koefisien Refleksi dan amplitudo dan hubungan nilai Impedansi Akustik terhadap amplitudo (Sukmono, 1999a)
3.4 Wavelet
Wavelet adalah gelombang harmonik yang mempunyai interval amplitudo,
frekuensi, dan fasa tertentu. Berdasarkan konsentrasi energinya wavelet dapat
dibagi menjadi 4 jenis (Gambar 3.4) yaitu:
a. Zero Phase Wavelet
Wavelet berfasa nol (zero phase wavelet) mempunyai konsentrasi energi
maksimum di tengah dan waktu tunda nol, sehingga wavelet ini
mempunyai resolusi dan standout yang maksimum. Wavelet berfasa nol
21
dari semua jenis wavelet yang mempunyai spectrum amplitudo yang
sama.
b. Minimum Phase Wavelet
Wavelet berfasa minimum (minimum phase wavelet) memiliki energi yang
terpusat pada bagian depan. Dibandingkan jenis wavelet yang lain dengan
spektrum amplitudo yang sama, wavelet berfasa minimum mempunyai
perubahan atau pergeseran fasa terkecil pada tiap-tiap frekuensi. Dalam
terminasi waktu, wavelet berfasa minimum memiliki waktu tunda terkecil
dari energinya.
c. Maximum Phase Wavelet
Wavelet berfasa maksimum (maximum phase wavelet) memiliki energi
yang terpusat secara maksimal dibagian akhir dari wavelet tersebut, jadi
merupakan kebalikan dari wavelet berfasa minimum.
Gambar 3.4Jenis-jenis wavelet berdasarkan konsentrasi energinya; (1) mixed phase wavelet, (2) minimum phase wavelet, (3) maximum phase wavelet, dan (4)
22
d. Mixed Phase Wavelet
Wavelet berfasa campuran (mixed phase wavelet) merupakan wavelet
yang energinya tidak terkonsentrasi di bagian depan maupun di bagian
belakang.
Jenis-jenis ekstraksi wavelet yang digunakan antara lain adalah sebagai
berikut;
a. Ekstraksi Wavelet Secara Statistik dari Data Seismik
Jenis ekstraksi wavelet selanjutnya adalah ekstraksi wavelet dari data
seismik secara statistik. Ekstraksi dengan cara ini hanya menggunakan
data seismik dengan masukan posisi serta window waktu target yang akan
diekstrak. Untuk memperoleh korelasi yang lebih baik, maka dilakukan
shifting pada event-event utama., jika perlu dilakukan stretch dan squeeze
pada data sintetik. Namun karena stretch dan squeeze sekaligus akan
merubah data log, maka yang direkomendasikan hanyalah shifting saja.
b. Ekstraksi Wavelet Secara Deterministik
Ekstraksi wavelet dengan cara ini akan memberikan wavelet yang akan
lebih mendekati wavelet sebenarnya dari data seismik. Ekstraksi ini
dilakukan terhadap data seismik sekaligus dengan kontrol data sumur,
sehingga akan memberikan wavelet dengan fasa yang tepat. Namun
ekstraksi ini hanya akan memberikan hasil yang maksimal, jika data sumur
sudah terikat dengan baik. Ekstraksi wavelet secara statistik dan
pengikatan yang baik sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil ekstraksi
23
menghasilkan sintetik dengan korelasi optimal, maka dilakukan shifting
dan bila diperlukan, maka dapat dilakukan stretch dan squeeze, akan tetapi
hal tersebut tidak dianjurkan.
3.5 Seismogram Sintetik
Seismogram sintetik (St) merupakan hasil konvolusi antara deret koefisien
refleksi KR dengan suatu wavelet Wt (Gambar 3.5). Proses mendapatkan
rekaman seismik ini merupakan sebuah proses pemodelan kedepan (forward
modeling), yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut;
St = Wt * KR + n(t) ... (3.6)
Koefisien refleksi diperoleh dari perkalian antara kecepatan gelombang
seismik dengan densitas batuannya. Sedangkan wavelet diperoleh dengan
melakukan pengekstrakan pada data seismik dengan atau tanpa menggunakan data
sumur dan juga dengan wavelet buatan. Seismogram sintetik sangat penting
karena merupakan sarana untuk mengidentifikasi horison seismik yang sesuai
dengan geologi bawah permukaan yang diketahui dalam suatu sumur hidrokarbon.
Identifikasi permukaan atau dasar lapisan formasi pada penampang seismik
memungkinkan untuk ditelusuri kemenerusannya pada arah lateral dengan
memanfaatkan data seismik. Konvolusi antara koefisien refleksi dengan wavelet
seismik menghasilkan model trace seismik yang akan dibandingkan dengan data
24
antara informasi sumur (litologi, kedalaman, dan sifat-sifat fisis lainnya) terhadap
penampang seismik guna memperoleh informasi yang lebih lengkap dan
komprehensif.
Gambar 3.5Seismogram sintetik dihasilkan dari hasil konvolusi wavelet dengan deret Koefisien Refleksi yang diperoleh dari hasil kali densitas batuan dengan
kecepatan Gelombang P nya (Sukmono, 1999a).
3.6 Sifat Fisis Batuan
3.6.1 Densitas
Batuan reservoar merupakan tempat dibawah permukaan bumi yang
menampung minyak dan gas bumi, dengan ruang penyimpanan berupa
rongga-rongga atau pori-pori yang terdapat dalam batuan. Densitas atau nilai kerapatan
matriks merupakan rasio massa persatuan volume. Secara umum besarnya
densitas suatu material dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, banyaknya
mineral atau presentasenya, komposisi kimia dan mineral, suhu dan tekanan,
porositas atau rongga rekahan batuan, serta bentuk cairan atau material yang
25
3.6.2 Porositas
Porositas suatu medium adalah perbandingan volume pori terhadap
volume total seluruh batuan yang dinyatakan dalam persen (%). Suatu batuan
dikatakan mempunyai porositas efektif apabila bagian pori dalam batuan saling
berhubungan satu sama lain dan biasanya lebih kecil dari rongga porositas total.
Pada formasi renggang (unconsolidated formation), besarnya porositas tergantung
pada distribusi ukuran butiran, tidak pada ukuran butiran mutlak. Porositas batuan
berkisar antara 10 – 20 %.
3.6.3 Permeabilitas
Permeabilitas dapat didefinisikan sebagai suatu sifat batuan reservoar
untuk dapat meneruskan cairan melalui pori-pori yang berhubungan tanpa
merusak partikel pembentuk atau kerangka batuan tersebut. Batuan dikatakan
permeabel bila mempunyai porositas yang saling berhubungan, misalnya
pori-pori, kapiler, retakan, dan rekahan. Porositas besar sering memberikan
permeabilitas besar, akan tetapi hal ini tidaklah selalu benar. Parameter yang
berpengaruh terhadap permeabilitas disamping porositas adalah ukuran pori,
bentuk butiran, dan kontinuitas (Harsono, 1997).
3.7 Sekuen dan Fasies Seismik
Sekuen pengendapan adalah sebuah satuan stratigrafi yang terdiri atas
urutan yang relatif selaras dari lapisan batuan yang secara genetik berhubungan
dan dibatasi di bagian atas dan bawah oleh bidang ketidakselarasan atau korelasi
26
yang diidentifikasi dari penampang seismik. Sekuen seismik mempunyai semua
sifat dari sekuen pengendapan dengan batasan kondisi bahwa sifat tesebut dapat
dikenal dari data seismik. Ekspresi seismik dari batas sekuen sangat tergantung
pada kontras IA antara lapisan di atas dan di bawah ketidakselarasan (Mitchum
dkk, 1977).
Analisa fasies seismik adalah deskripsi dan interpretasi dari data seismik
dan geologi dari parameter refleksi yang meliputi konfigurasi, kontinuitas,
amplitudo, frekuensi, dan kecepatan interval. Satu unit fasies seismik adalah suatu
unit seismik 3 dimensi yang tersusun atas kumpulan pola refleksi yang
parameternya berbeda dengan unit fasies di sekitarnya. Setiap parameter dapat
memberikan informasi yang berguna mengenai kondisi geologi terkait (Sukmono,
1999b).
27
3.8 System Tract
System Tract adalah sebuah urutan sistem pengendapan yang terjadi pada
interval waktu yang sama dan masing-masing berhubungan dengan segmen
spesifik dari kurva perubahan muka laut relatif. Untuk mengenali system tract
diperlukan pemahaman mengenai empat faktor utama: eustasi, penurunan
cekungan, suplai sedimen, dan iklim. Eustasi adalah siklus perubahan muka air
laut global yang diukur dari pusat bumi dan telah teramati membentuk siklus
sinusoidal. Penurunan cekungan adalah proses turunnya dasar cekungan akibat
proses tektonik dan merupakan faktor yang paling memengaruhi terbentuknya
ruang akomodasi bagi pengendapan sedimen. Suplai sedimen meliputi faktor
kecepatan dan jumlah sedimen yang mengisi cekungan, kecepatan dan jumlah
karbonat biogenik serta endapan evaporit yang diproduksi in situ. Iklim akan
memengaruhi jenis endapan yang terjadi; silisiklastik, karbonat, evaporit, atau
campurannya (Sukmono. 1999b).
Macam-macam system tract adalah:
a. Highstand System Tract (HST)
HST terendapkan saat kenaikan muka air laut (m.a.l.) relatif mendekati
posisi maksimumnya secara lambat sehingga memungkingkan tersedianya
suplai sedimen yang cukup untuk progradasi dan downlap ke permukaan
marine-condensed section (MCS) di bawahnya. Pada fase awal HST, set
parasekuen (vertikal) yang agradasional dan sigmoidal umumnya
28
terjadinya kecepatan moderat dari kenaikan m.a.l. relatif dan akibatnya
juga kecepatan moderat dari penambahan ruang akomodasi di pinggir
paparan. Pada fasa selanjutnya saat kenaikan eustasi menghilang dan
eustasi mulai turun secara perlahan, bayline akan bergeser secara menerus
dan perlahan ke arah daratan. Akibatnya kenaikan m.a.l. relatif dan
kecepatan penambahan ruang akan semakin menghilang, dan
menghasilkan pengendapan set parasekuen yang progradasional atau oblik.
b. Lowstand System Tract (LST)
LST terendapkan di atas ketidakselarasan tipe-1 saat m.a.l relatif (bayline)
turun secara cepat dari level highstand karena pergeseran ke arah
cekungan dari titik kesetimbangan melampaui garis pantai atau offlap
break. Tergantung pada besar dan kecepatan penurunan m.a.l. dan
batimetri dari cekungan.
c. Transgressive System Tract (TST)
System tract ini dicirikan oleh onlap pantai dari permukaan transgresif
atau first marine flooding surfaces di atas dari LST atau shelf-margin
system tract (SMST). Pengendapan TST ini terjadi sebagai respon dari
suplai sedimen yang berkurang akibat pengaruh parasiklus yang periodik
antara kenaikan dan stillstands m.a.l. relatif. Saat titik kesetimbangan
bergerak secara cepat ke arah daratan, kecepatan kenaikan m.a.l. relatif
meningkat, sehingga menambah ruang akomodasi baru. TST pada
dasarnya terdiri atas parasekuen progradasional yang terdiri atas pola
penipisan dan penghalusan ke atas dari susunan parasekuen retrogradasi
29
saat pendalaman air, mundurnya garis pantai dan berkurangnya suplai
sedimen yang terjadi secara periodik.
d. Shelf-Margin System Tract (SMST)
SMST terendapkan di atas ketidakselarasan tipe-2 atau permukaan
konkordan ekivalennya setelah titik kesetimbangan (yang kebetulan sama
dengan bayline) mulai bergeser ke arah daratan tanpa mengalami
pergeseran shoreline break. Saat titik kesetimbangan dan bayline mulai
bergerak ke arah daratan, pengendapan highstand berhenti dan onlap
pantai (aluvial) secara cepat bergeser ke arah bayline. Karena titik
kesetimbangan tidak pernah bergeser ke arah cekungan melewati garis
pantai, erosi lokal dan sejumlah kecil sedimentasi air dalam terjadi.
Pelapukan dan diagenesa meteorik dapat berkembang di bagian daratan
dari paparan atau platform yang terekspos secara subaerial. Pada saat ini
SMST mulai menghasilkan onlap pantai pada ketidakselarasan tipe-2.
Percepatan naiknya m.a.l. relatif mengakibatkan di fasa awal terjadi
pengendapan parasekuen progradasional yang berevolusi ke arah atas
menjadi pengendapan fasa akhir dari parasekuen agradasional dan
mengakibatkan terbentuknya geometri sigmoidal. SMST yang tebal dapat
mengalami longsoran dan bergerak ke arah cekungan oleh pensesaran
BAB V
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Pra-Interpretasi
Pada BAB ini akan dijelaskan tahapan dan hasil interpretasi data seismik
3D land dan off-shore yang telah dilakukan pada data lapangan “SOE”. Adapun
tahapan yang dilakukan sesuai dengan diagram alir pada BAB sebelumnya yang
dimulai dari pengumpulan data utama awal yaitu Data Seismik 3D dan Data Log
Sumur, seismogram sintetik, well-seismic tie, picking horizon, interpretasi peta
struktur waktu, analisis peta isochrones, interpretasi stratigrafi seismik hingga
diperoleh system tract atau sejarah pengendapannya.
Melalui Gambar 4.2 dapat terlihat peta Survey Area yang meliputi lokasi sumur yang digunakan (EM-1, EM-2, EM-3, EM-4, EM-5, EM-6, EM-7, EM-8,
dan EM-9) serta Seismic Area dimana di bagian Selatan merupakan Data Seismik
off-shore dan di bagian Utara merupakan Data Seismik land.
Dari Data Log Sumur tersebut dibuat seismogram sintetik yang kemudian
dilanjutkan dengan well-seismic tie secara langsung menggunakan perangkat
lunak Syntool. Proses pengikatan data sumur terhadap data seismik dilakukan agar
36
ini dilakukan dengan membuat suatu seismogram sintetik yang dihasilkan dari
konvolusi wavelet dengan deret koefisien refleksi. Proses pengikatan data sumur
merupakan tahap awal dari interpretasi seismik, yang meliputi ekstraksi dan
pemilihan wavelet yang tepat untuk digunakan dalam pembuatan seismogram
sintetik serta mengikatkannya dengan data seismik.
Pada Sumur EM-1 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi
awal 950 ms dan panjang window data 600 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut
dapat dilihat hasilnya pada Gambar 5.1 dimana panjang gelombang 130 ms, lag
time 00, dan phase -1800.
38
Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie
Sumur EM-1 dengan Seismic Volume B land dan diperoleh hasil seperti pada
Gambar 5.2. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-1 memang terlihat kurang baik sehingga hasil well seismic tie
sedikit kurang baik.
Pada Sumur EM-2 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi
awal 1150 ms dan panjang window data 600 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut
dapat dilihat hasilnya pada Gambar 5.3 dimana panjang gelombang 260 ms, lag
time 560, dan phase -300.
Gambar 5.3 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-2
Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie
Sumur EM-2 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada
40
Pada Sumur EM-3 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi
awal 1320 ms dan panjang window data 400 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut
dapat dilihat hasilnya pada Gambar 5.5 dimana panjang gelombang 250 ms, lag
time 240, dan phase -1500.
Gambar 5.5 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-3
Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie
Sumur EM-3 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada
Gambar 5.6. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-3 terlihat sangat baik sehingga hasil well seismic tie sangat
42
Pada Sumur EM-4 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi
awal 1480 ms dan panjang window data 400 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut
kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.7 dimana panjang gelombang 260 ms,
lag time 680, dan phase 00.
Gambar 5.7 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-4
Dari sintetik seismogram tersebut kemudian diakukan well-seismic tie
Sumur EM-4 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada
Gambar 5.8 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-4 terhadap Seismic Volume A off-shore
4
44
Pada Sumur EM-5 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi
awal 1460 ms dan panjang window data 400 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut
kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.9 dimana panjang gelombang 260 ms,
lag time 1200, dan phase -1600.
Gambar 5.9 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-5
Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie
Sumur EM-5 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada
46
Pada Sumur EM-6 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi
awal 1300 ms dan panjang window data 500 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut
kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.11 dimana panjang gelombang 250 ms, lag time 00, dan phase -600.
Gambar 5.11 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-6
Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie
Sumur EM-6 dengan Seismic Volume B land dan diperoleh hasil seperti pada
48
Pada Sumur EM-7 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi
awal 1300 ms dan panjang window data 450 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut
kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.13 dimana panjang gelombang 250 ms, lag time 00, dan phase -1800.
Gambar 5.13 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-7
Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie
Sumur EM-7 dengan Seismic Volume B land dan diperoleh hasil seperti pada
Gambar 5.14. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-7 terlihat kurang baik sehingga hasil well seismic tie sedikit
50
Pada Sumur EM-8 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi
awal 1240 ms dan panjang window data 450 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut
kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.15 dimana panjang gelombang 260 ms, lag time 600, dan phase -900.
Gambar 5.15 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-8
Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie
Sumur EM-8 dengan Seismic Volume B land dan diperoleh hasil seperti pada
Gambar 5.16. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-8 terlihat kurang baik sehingga hasil well seismic tie sedikit
52
Pada Sumur EM-9 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi
awal 1720 ms dan panjang window data 500 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut
kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.17 dimana panjang gelombang 250 ms, lag time 960, dan phase 00.
Gambar 5.17 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-9
Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie
Sumur EM-9 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada
54
5.2 Interpretasi Horison
Dari data ekstraksi wavelet kita dapat melihat bahwa pada area off-shore
memiliki hasil well-seismic tie yang lebih baik daripada di area land. Hal ini
dikarenakan data seismik di off-shore lebih baik dibandingkan data seismik di
land sehingga mempengaruhi hasil well-seismic tie. Setelah seismogram sintetik
dan data sumur diikat dengan data seismik, langkah selanjutnya adalah melakukan
picking horizon yang dipandu oleh data sumur well marker pada perangkat lunak
Seiswork.
Zona interest berada pada umur batuan Paleosen hingga Eosen Tengah,
sehingga untuk batas bawah dilakukan picking pada batas Paleosen Awal
(BASE-Z) dan sebagai guide dilakukan picking pada batas Paleosen Akhir (TOP-Z).
Picking dilakukan dengan interval 32 bin inline dan xline pada area off-shore,
sementara pada area land menggunakan data yang sudah ada dikarenakan data
seismik yang kurang baik dan cukup sulit diinterpretasi untuk area land. Setelah
melakukan picking pada masing-masing BASE-Z dan TOP-Z kemudian dilakukan
56
57
58
59
60
61
Setelah memiliki horison BASE-Z sebagai batas bawah zona interest dan
TOP-Z sebagai guide, kemudian dilakukan picking horizon pada clinoform di
zona Paleosen Tengah (MID-Z) sebagai salah satu zona interest. Picking awal
horison MID-Z dilakukan pada area off-shore di bagian Barat dengan interval 32
bin inline dan xline (Gambar 5.25) kemudian dilakukan interpolasi dari hasil
picking tersebut (Gambar 5.26).
Dengan melihat horison awal MID-Z yang telah diinterpolasi maka
diperlukan perluasan horison karena dari hasil picking horizon awal MID-Z masih
belum menggambarkan zona interest yang diperlukan. Sehingga picking pada area
off-shore dilanjutkan ke bagian Timur dengan interval 64 bin searah hipotesa
orientasi pengendapan serta dilanjutkan ke area land dengan interval 32 bin searah
hipotesa orientasi pengendapan (Gambar 5.27). Dalam melakukan perluasan
picking horizon ini digunakan Atribut Seismik Instantaneous Phase untuk dapat
meningkatkan event refleksi lemah dan meningkatkan kontinuitas event, terutama
pada area land dengan volum seismik yang cukup rumit. Setelah horison MID-Z
diperluas kemudian dilakukan beberapa revisi pada beberapa daerah yang
diperlukan dan dilakukan interpolasi dari hasil keseluruhan picking tersebut
63
64
65
Gambar 5.28 Hasil revisi perluasan horison dengan bantuan atribut seismik instantaneous phase dan interpolasi horison MID-Z area
66
Setelah melakukan piking horizon pada zona interest umur batuan
Paleosen kemudian dilanjutkan hingga ke umur batuan Eosen Tengah. Picking
horizon dilakukan pada clinoform yang berada pada umur batuan Eosen Tengah.
Pada umur batuan Paleosen Akhir hingga Eosen Tengah terlihat 3 (tiga) buah
clinoform pada volume seismik di area off-shore. Sehingga picking horizon
dilakukan pada clinoform horison BER-A, BER-B, dan BER-C. Picking horizon
dilakukan pada masing-masing clinoform dengan interval 16 bin searah hipotesa
orientasi pengendapan. Dari hasil picking horizon tersebut kemudian dilakukan
interpolasi dan dilakukan revisi pada beberapa daerah yang perlu dikoreksi. Untuk
ketiga clinoform ini hanya terdapat pada area off-shore daerah pengamatan saja
dan tidak ditemukan kontinuitasnya di area land.
Dalam melakukan picking horizon pada clinoform BER-A, BER-B, dan
BER-C terdapat suatu horison yang memotong ketiga clinoform tersebut hingga
tidak ditemukan kontinuitasnya di area land. Diperkirakan bahwa telah terjadi
erosi pada umur batuan Eosen Tengah yang telah memotong ketiga clinoform
pada umur batuan dari Paleosen Akhir hingga Eosen Tengah tersebut. Kemudian
untuk menandai batas erosi tersebut dilakukan picking horizon pada TOP-ABC.
Picking horizon dilakukan dengan interval 64 bin serarah hipotesa orientasi
pengendapan (Gambar 5.35). Dari hasil picking horizon tersebut kemudian
dilakukan interpolasi dan direvisi pada beberapa daerah yang perlu dikoreksi
(Gambar 5.36) sehingga diperoleh horison TOP-ABC (Gambar 5.37) yang
68
69
70
Gambar 5.32 Hasil interpolasi dan revisi horison dengan menggunakan atribut seismik instantaneous phase pada clinoform BER-A area
71
Gambar 5.33 Hasil interpolasi dan revisi horison dengan menggunakan atribut seismik instantaneous phase pada clinoform BER-B area
72
Gambar 5.34 Hasil interpolasi dan revisi horison dengan menggunakan atribut seismik instantaneous phase pada clinoform BER-C area
74
Gambar 5.36 Hasil interpolasi dan revisi horison dengan menggunakan atribut seismik instantaneous phase pada erosi horison TOP-ABC
75
76
Setelah memiliki 7 (tujuh) horison tersebut (BASE-Z, MID-Z, TOP-Z,
BER-A, BER-B, BER-C, dan TOP-ABC) kemudian dimbuat visualisasinya secara
3D untuk membantu dalam melakukan interpretasi selanjutnya. Dari hasil
visualisasi secara 3D dapat terlihat dengan jelas bentuk dari ketujuh horison
tersebut dan memperkirakan orientasi pengendapan yang sebenarnya.
77
Gambar 5.39 Horison MID-Z secara 3D
78
Gambar 5.41 Horison BER-A secara 3D
79
Gambar 5.43 Horison BER-C secara 3D