• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP LONGSORAN LERENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP LONGSORAN LERENG"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TAHUN I

PENELITIAN HIBAH KOMPETENSI

STUDI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP

LONGSORAN LERENG

Tahun ke -1 dari rencana 3 tahun

Dr.Eng. Agus Setyo Muntohar, ST., M.Eng.Sc. NIDN: 0514087501

Jazaul Ikhsan, ST., MT., Ph.D. NIDN: 0524057201

Berdasarkan :

DIPA Kopertis Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sesuai Surat Perjanjian Pelaksanaan

Nomor: 007/HB-LIT/III/2015 tanggal 25 Maret 2015 Nomor SP-DIPA: 023.04.1.673453/2015 tanggal 14 November 2014

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

NOVEMBER 2015

(2)
(3)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 2

A. Latar Belakang ... 2

B. Peta Jalan Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu... 5

B. Pemodelan Numerik Infiltrasi-Rembesan Pada Lereng ... 6

C. Studi Pengaruh Muka Air Tanah Terhadap Stabilitas Lereng ... 10

D. Metode Pemodelan Perubahan Iklim ... 13

E. Model Infiltrasi ... 15

1. Model Infiltrasi Green – Ampt ... 15

2. Model Infiltrasi Satu Dimensi Persamaan Richard ... 17

F. Model Stabilitas Lereng ... 19

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 23

A. Tujuan Penelitian ... 23

B. Manfaat Penelitian ... 23

BAB IV METODE PENELITIAN ... 24

A. Desain Penelitian ... 24

B. Data Curah Hujan ... 26

C. Data Geoteknik Lereng ... 28

D. Analisis Probabilitas ... 32

1. Model Infiltrasi – Stabilitas Lereng ... 32

2. Analisis Realiabilitas Stabilitas Lereng... 33

E. Pemodelan Numerik ... 36

1. Geometri Lereng di Kalisonggo, Kulonprogo... 36

2. Pemodelan Infiltrasi – Rembesan dan Stabilitas Lereng ... 36

3. Proyeksi Hujan Bulanan Rata-Rata pada Tahun 2020 – 2040 ... 38

BAB V HASIL YANG DICAPAI ... 40

A. Luaran Penelitian ... 40

B. Hasil Penelitian ... 40

(4)

2. Stabilitas Lereng Pada Musim Basah Tahun 2000 – 2012 di Kulonprogo ... 45

3. Probabilitas Keruntuhan Lereng Doi Inthanon, Thailand ... 46

4. Pengaruh Infiltrasi Hujan dan Kedalaman Muka Air Tanah ... 50

5. Proyeksi Hujan Bulanan Rata-Rata pada Tahun 2020 – 2040 ... 54

6. Estimasi Stabilitas Lereng Pada Tahun 2020 – 2040 di Kulonprogo ... 57

BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 59

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran A: Surat Dukungan Penelitian dari Kasetsart University, Thailand ... 68

Lampiran B : Naskah – Naskah Publikasi ... 70

(5)

Ringkasan

Pemanasan global yang melanda dunia menyebabkan perubahan iklim dunia. Potensi perubahan iklim meliputi perubahan regional terhadap temperatur, curah hujan, potensi evaporasi, siklon tropik (tropical cyclones) dan badai (IPCC, 2013). Laporan World Meteorological Organization pada tahun 2013 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan curah hujan hingga mencapai 90 mm per bulan untuk wilayah Indonesia seperti ditunjukkan oleh WMO (2014). Untuk regional Indonesia, pada rentang 2006-2014, terjadi perubahan intensitas dan sebaran hujan yang menyebabkan longsor sebagai dampak perubahan iklim. Kondisi geohidrologi dan vegetasi pada lereng berkaitan erat dengan iklim. Sehingga dalam unjuk kerja (performance) lereng tidak hanya dipicu oleh curah hujan semata tetapi oleh siklus iklim yang dapat dimodelkan dari evapotranspirasi dan infiltrasi hujan pada lereng. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh iklim saat ini (present) dan yang akan datang (future) terhadap unjuk kerja lereng. Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahun pelaksanaan. Luaran penelitian pada Tahun Pertama yang telah dicapai adalah publikasi pada (1) International Conference on Landslides and Slope Stability (SLOPE 2015) pada tanggal 27-30 September 2015, (2) 7th Regional Sympsium on Sustainable Infracstructure Develeopment pada tanggal 5-7 November 2015 yang diselenggarakan oleh Kasetsart University (Thailand) – Tokyo Institute of Technology (Japan) – University of Philipne (Philipine) sebagai InvitedSpeaker/Special Guest pada, (3) Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-19

Himpunan Ahi Teknik Tanah Indonesia pada tanggal 24-25 November 2015, dan (4) sebagai

Invited Professor/Scienctist di Department of Civil & Construction Engineering, Taiwan

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemanasan global yang melanda dunia menyebabkan perubahan iklim dunia. Potensi perubahan iklim meliputi perubahan regional terhadap temperatur, curah hujan, potensi evaporasi, siklon tropik (tropical cyclones) dan badai (IPCC, 2013). Laporan World Meteorological Organization pada tahun 2013 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan curah hujan hingga mencapai 90 mm per bulan untuk wilayah Indonesia seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1 (WMO, 2014). Untuk regional Indonesia, pada rentang 2006-2014, terjadi perubahan intensitas dan sebaran hujan yang menyebabkan longsor sebagai dampak perubahan iklim. Gambar 2.2 menyajikan intensitas hujan rerata bulanan di Indonesia dari tahun 1900 hingga 2009. Indonesia menerima intensitas hujan yang tinggi sepanjang tahun dimana puncak musim penghujan (wet season) terjadi pada bulan January dan puncak musim kering (dry season) berada pada bulan Agustus (Hendon, 2003; Lee, 2015).

(7)

(a) Tahun 1900 – 1930 (b) 1930 – 1960

(a) Tahun 1960 – 1990 (b) 1990 – 2009

Gambar 1. 2 Hujan bulanan rata-rata di Indonesia dari tahun 1900 hingga 2009 (World Meteorological Organization, 2014)

Kejadian tanah longsor di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sering terjadi pada area lereng yang ditanami dengan tanaman musim dan produksi seperti kejadian longsor di Banjarmangu (di Banjarnegara, tahun 2006), Mogol (di Karanganyar, tahun 2007), Pasir Jambu Ciwidey (Bandung, tahun 2010), dan Cililin (Bandung, tahun 2013). Hujan secara umum dikenal sebagai faktor pemicu terjadinya tanah longsor (Muntohar and Liao, 2009). Namun demikian, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya longsor seperti kondisi geologi, geomorphologi, geohidrologi, vegetasi penutup lahan, dan sebagainya. Kondisi geohidrologi dan vegetasi pada lereng berkaitan erat dengan iklim. Sehingga dalam unjuk kerja (performance) lereng tidak hanya dipicu oleh curah hujan semata tetapi oleh siklus iklim yang dapat dimodelkan dari evapotranspirasi dan infiltrasi hujan pada lereng.

B. Peta Jalan Penelitian

Skenario model iklim pada unjuk kerja lereng-lereng pada permukiman dan infrastruktur penting lainnya seperti jalan raya sangat diperlukan guna memprediksi kestabilan lereng tersebut. Selain itu dapat digunakan untuk pekerjaan mitigasi dan metode adaptasi terhadap iklim. Berdasarkan perkembangan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kajian tentang model infiltrasi air hujan dan vegetasi masih perlu dikembangkan secara bersamaan. Alur pengembangan penelitian tentang infiltrasi dan vegetasi terhadap stabilitas lereng dapat dibuat seperti pada Gambar 1.3. Target akhir penelitian yang dikembangkan adalah penyusunan Sistem Manajemen Pergerakan Lereng Terpadu (integrated landslides management system).

0 50 100 150 200 250 300

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

R

a

in

fa

ll

(m

m

)

Month

0 50 100 150 200 250 300

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

R

a

in

fa

ll

(m

m

)

Month

0 50 100 150 200 250 300

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

R

a

in

fa

ll

(m

m

)

Month

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

R

a

in

fa

ll

(m

m

)

(8)
(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Kajian terhadap stabilitas lereng yang telah dilakukan sebelumnya dapat dikelompokkan ke dalam 3 klaster seperti pada Gambar 2.1 yaitu: (i) Klaster 1 tentang Pengaruh iklim, (ii) Klaster 2 Pengaruh akar vegetasi, dan (iii) Klaster 3 tentang Peringatan dini. Penelusuran pustaka, tidak ada penelitian di Indonesia yang berkaitan model iklim dan hujan terhadap stabilitas lereng. Dalam lingkup global pengaruh hujan karena iklim telah banyak dikaji pengaruhnya terhadap unjuk kerja lereng antara lain oleh Damiano and Mercogliano (2013), Coe and Godt (2012), Rouainia et al. (2009), Schmidt and Dikau (2004). Dalam klaster kajian pertama, penelitian yang banyak dikaji adalah tentang pengaruh hujan terhadap mekanisme pergerakan lereng yang meliputi kajian terhadap infiltrasi dan kondisi muka air tanah antara lain oleh Muntohar and Liao (2009), Muntohar and Liao (2010), Muntohar and Ikhsan (2013), Muntohar et al. (2013), Muntohar and Saputro (2014), Lee et al. (2009b), Rahardjo et al. (2010a), Tsai (2011), Sarah and Soebowo (2011), Tohari (2013), Tohari et al. (2013). Kajian terdahulu tersebut meliputi kajian terhadap lereng yang ada di lapangan maupun model di laboratorium yang terbatas pada kejadian hujan harian dalam rentang waktu tertentu yang mana tidak memperhatikan siklus hujan atau kala ulang. Model perkiraan hujan untuk cakupan Indonesia telah diusulkan oleh Aldrian et al. (2005), dan Vimont et al. (2010) yang menggunakan downscaling-model dari data stasiun curah hujan.

(10)

Klaster kajian ketiga tentang sistem peringatan dini telah dilakukan untuk menentukan hujan yang memicu terjadinya longsor (rainfall threshold) dan monitoring pergerakan lereng (instrumentation). Batas hujan yang memicu terjadinya longsor telah dikaji oleh penelitian sebelumnya antara lain oleh Aleotti (2004), Guzzetti et al. (2007), dan Muntohar (2008). Peringatan dini dikeluarkan apabila intensitas hujan yang teramati lebih dari batas hujan. Sistem peringatan dini berdasarkan ambang hujan ini lebih bersifat lokal yang berlaku pada regional tertentu. Monitoring pergerakan lereng dengan instrumentasi yang meliputi sensor tekanan air pori (tensiometer), inclinometer, dan pengukur curah hujan (rain gauge) pada lereng yang berpotensi longsor seperti yang dilakukan oleh Liao et al. (2010) dan Tsaparas et al. (2002). Kombinasi antara ambang hujan dengan data yang berasal dari pengamatan dan pengukuran (real-time monitoring) pada jaringan telemetrik hujan dan perkiraan cuaca dapat digunakan untuk mengeluarkan peringatan dini tanah longsor. Prinsip dari sistem ini adalah bila hasil pengukuran curah hujan yang nyata dari waktu ke waktu berimpit atau sama dengan ambang hujan, maka peringatan kejadian longsor dikeluarkan. Namun instrumentasi lereng tersebut memerlukan biaya yang mahal dan peralatan yang rumit. Sehingga instrumentasi pada lereng untuk peringatan dini ini sangat terbatas dan hanya berlaku untuk lereng yang termonitor tersebut.

B. Pemodelan Numerik Infiltrasi-Rembesan Pada Lereng

(11)

rembesan ke bagian kaki (toe) yang menimbulkan adanya rembesan. Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa kuat geser residu tanah lebih sesuai digunakan untuk analisis stabilitas lereng daripada menggunakan parameter kuat geser puncak tanah.

Gambar 2.1 Model analisis infiltrasi pada lereng (Muntohar et al., 2013)

Lee et al. (2009a) membuat suatu model sederhana untuk analisis stabilitas lereng akibat infiltrasi hujan. Penelitian tersebut bertujuan untuk membuktikan model sederhana sebagai evaluasi awal keruntuhan lereng akibat curah hujan. Analisis menggunakan metode numerik dengan aplikasip SEEP/W. Kondisi lereng dan kondisi batasnya seperti disajikan pada Gambar 2.2. Muka air tanah berada pada kedalaman 20 m. Lereng dimodelkan sebagai lereng tak-hingga dengan empat variasi yang tanah yang dievaluasi, yaitu : berpasir, kerikil-berlanau, lanau-berpasir, dan lanau. Masing-masing jenis tanah tersebut memiliki koefisien permeabilitas jenuh (ksat) yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, tekanan air pori negative

(12)

Gambar 2.2 Pemodelan lereng untuk analisis infiltrasi dan rembesan (Lee et al., 2009)

Analisis numerik infiltrasi dan limpasan yang disebabkan oleh curah hujan pada tipe keruntuhan lereng dangkal dalam kondisi tak jenuh dilakukan oleh Cuomo dan Sala (2013). Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap waktu limpasan (time to runoff), waktu keruntuhan lereng (time to failure) , dan laju limpasan permukaan (runoff rates). Lereng yang dikaji berupa tanah homogen dengan tebal lapisan tanah 2 m dan panjang lereng 150 m dengan sudut kemiringan sebesar 20°, 30°, dan 40° (Gambar 2.3a). Gambar 2.5b-c menyajikan kurva kadar air volumetrik dan kurva koefisien permeabilitas yang digunakan dalam analaisis. Kurva kadar air volumetrik didekati dengan model yang diusulkan oleh Van Genuchten (1980). Hasil yang diperoleh menunjukkan waktu untuk limpasan, waktu keruntuhan lereng dan laju limpasan yang sangat dipengaruhi oleh kurva karakteristik air tanah, kondisi awal tanah, intensitas curah hujan dan sudut kemiringan. Selain itu, analisis stabilitas lereng menunjukkan bahwa waktu keruntuhan lereng dapat terjadi dalam waktu yang cepat atau lama bergantung pada parameter kuat geser tanah.

(13)

numerik dengan SEEP/W dan SIGMA/W yang merupakan perangkat lunak GeoSlope 5. Dari hasil analisis numerik disimpulkan bahwa gerakan atau deformasi lereng oleh hujan deras durasi pendek sangat kecil, sehingga bisa dikatakan hujan deras durasi pendek tidak berpengaruh pada gerakan atau deformasi lereng. Karakteristik hujan yang paling berpengaruh pada lereng adalah hujan normal 20 mm/jam yang terjadi selama 61 hari, yang menyebabkan gerakan atau deformasi lereng terbesar, yaitu sebesar 1,01 m pada hari ke-43.

(a)

(b) (c)

Gambar 2.3 (a) kondisi kemiringan lereng (b) kurva karakteristik kadar air (b) kurva konduktivitas hidraulik (Cuomo and Sala, 2013)

(14)

sebagai initial condition atau kondisi awal. Sedangkan analisis stabilitas lereng memasukkan output dari SEEP/W ke dalam program SLOPE/W dengan ditambah parameter-parameter tanah hasil laboratorium. Hasil dari analisis tersebut dikatakan bahwa pada posisi yang sama, kondisi sebelum hujan masih terdapat tekanan air pori negatif (suction) sebesar -74,8 kPa; akibat hujan deras selama 4 jam suction turun menjadi -72,0 kPa; akibat hujan 25 mm dan 40 mm suction turun menjadi -14,2 kPa; akibat hujan 20 mm suction berubah menjadi tekanann air pori positif sebesar 568,7 kPa; akibat hujan deras diikuti hujan normal suction berubah menjadi tekanan air pori positif sebesar 7,9 kPa dan akibat hujan normal diikuti hujan deras suction turun menjadi -41,8 kPa. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hujan normal berdurasi panjang lebih berpengaruh terhadap perubahan tekanan air pori daripada hujan deras berdurasi pendek. Angka aman sebelum hujan sebesar 1,44; angka aman akibat hujan 114 mm selama 4 jam sebesar 1,42; angka aman akibat hujan 25 mm dan 40 mm sebesar 1,208; angka aman akibat hujan 20 mm sebesar 0,98; angka aman akibat hujan deras diikuti hujan normal sebesar 1,39 dan angka aman akibat hujan normal diikuti hujan deras sebesar 1,40. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi yang paling berpengaruh terhadap stabilitas lereng di lokasi tersebut adalah hujan normal 20 mm berdurasi panjang.

Gambar 2. 4 Profil lereng (Subiyanti et al., 2011)

C. Studi Pengaruh Muka Air Tanah Terhadap Stabilitas Lereng

(15)

dan kering akibat perubahan elevasi muka air tanah, tetapi perubahan faktor aman saat curah hujan tidak terpengaruh secara signifikan oleh muka air tanah dekat dengan permukaan tanah karena perubahan suction relatif lebih kecil. Suction yang relatif kecil karena tanah telah mencapai kapasitasnya untuk menerima infiltrasi air hujan dengan intensitas yang lebih tinggi dari 22 mm/jam.

Gambar 2.5 Model lereng untuk studi parametrik (tinggi lereng =15 m dan kemiringan =27°) (Rahardjo et al., 2010b)

Gambar 2.6 Variasi faktor aman lereng untuk berbagai kedalaman muka air tanah (Rahardjo et al., 2010)

(16)

negatif. Model lereng yang dikaji adalah lereng tanah residu di Singapura dengan kemiringan 2H:1V dan tinggi 10m. Hasil dari penelitian ini yaitu pada hujan yang sama , hujan dengan intensitas tinggi dengan durasi yang singkat bukan salah satu faktor yang menghasilkan faktor aman yang rendah. Koefisien permeabilitas tanah merupakan parameter yang menentukan infiltrasi. Untuk lereng dengan permeabilitas tinggi (ksat = 10-4 m/s) tidak mempengaruhi

jumlah hujan kumulatif yang lebih kecil daripada ksat. Sedangkan untuk lereng dengan permeabilitas rendah (ksat = 10-6 - 10-7 m/s), tekanan air pori tidak terlalu berubah selama

hujan, tetapi terjadi kecenderungan untuk meningkat menjadi tekanan air positif setelah hujan kumulatif.

Terjadinya longsor di lereng curam pada tanah residu yang umumnya berada pada daerah tropis dan semi tropik. Terjadinya tanah longsor di lereng dikaitkan dengan banyak faktor. Curah hujan telah dianggap sebagai penyebab utama mayoritas tanah longsor yang terjadi di daerah-daerah mengalami curah hujan yang tinggi. Mekanisme kegagalan lereng bahwa infiltrasi air atau resapan air menyebabkan pengurangan tekanan air pori negative di tanah tak jenuh, sehingga terjadi penurunan kuat geser tanah yag menjadikan lereng tidak stabil. Hossain (2010) menganalisis tekanan air pori negatif akibat curah hujan terhadap stabilitas lereng tanah residual. Sebuah program instrumentasi lapangan dilakukan untuk memantau tekanan air pori negative lapangan (in situ matrix suction) di lereng (Gambar 2.7) menunjukkan bagian lereng dengan lokasi dan letak instrumen yang dipasang pada lereng.

Gambar 2.7 Detail instrumen pada lereng (Hossain, 2010)

(17)

tanah didekat bagian bawah lereng dengan ujung berpori yang tertahan pada kedalaman 6,5 m di bawah permukaan tanah. Studi stabilitas lereng dilakukan dengan memasukkan parameter tanah yang telah diuji dalam laboratorium yaitu dengan kohesi efektif c'= 40 kPa, sudut gesek internal efektif ' = 26,5o dan sudut terkait dengan scution b = 17,8o. Hasil dari penelitian ini

yaitu saturasi parsial tanah memungkinkan untuk mengembangkan matrik hisap. Kohesi tanah jelas meningkat karena matrik hisap meningkat, tekanan air pori di lereng berubah dengan kondisi curah hujan yang bervariasi. Matric suction ada di lereng karena kehilangan kelembaban baik melalui penguapan atau evapotranspirasi. Zona pembasahan yang lebih maju ke permukaan tanah mengakibatkan matric hisap juga mengalami perubahan. Kemudian hasil matrik hisap dianalisis menggunakan SLOPE/W untuk mengetahui berapa faktor aman lereng (Gambar 2.8). faktor aman yang diperoleh yaitu 2,14 dengan rata-rata matrik hisap 30 kPa setelah hujan deras. Untuk kondisi kering, rata-rata matrik hisap sekitar 70 kPa. Hal ini menggamarkan pengaruh matric suction terhadap stabilitas lereng.

Gambar 2. 8 Analisis menggunakan SLOPE/W (Hossain, 2010)

D. Metode Pemodelan Perubahan Iklim

(18)

konsentrasi CO2 di atmosfer (atau dikenal sebagai "sensitivitas iklim ekuilibrium").

Sementara model sederhana juga telah digunakan untuk memberikan perkiraan rata-rata secara global atau regional rata dari respon iklim. Metode GCM yang dihubungkan dengan model wilayah tersarang (nested region), memiliki potensi untuk memberikan perkiraan geografis dan fisik yang konsisten perubahan iklim regional yang diperlukan dalam analisis dampak, sehingga memenuhi Kriteria 2 yaitu physical plausibility.

Metode GCM yang diperkenalkan dalam IPCC (2013) adalah Coupled Model Intercomparison Project fase ke-3 (CMIP5) dan fase ke-3 (CMIP3). Kedua model tersebut didasarkan pada Atmosphere – Ocean General Circulation Models (AOGCM) dan Earth System Model (ESM). Perbedaan mendasar antara CMIP5 dan CMIP3 adalah penetapan scenario emisi yang digunakan dalam simulasi iklim masa yang akan datang pada abad ke-21. Model CMIP3 mensimulasikan iklim didasarkan ada skenario emisi dari Special Report On Emissions Scenarios (SRES) (IPCC, 2000). Sedangkan model CMIP5 mensimulasikan iklim berdasarkan pada Representative Concentration Pathways (RCP). RCP tidak menentukan besaran emisi, tetapi mendefinisikan konsentrasi gas rumah-kaca (greenhouse), aerosols, and dan gas-gas kimia aktif. Dalam perkembangannya skenario emisi (Tabel 2.1) digantikan dengan skenario RCP seperti pada Tabel 2.2 (IPCC, 2014).

Tabel 2.1 Ringkasan skenario emisi untuk simulasi iklim abad ke-21 (IPCC, 2000)

Fokus pada ekonomi Fokus pada lingkungan

Globalisasi Skenario A1.

Pertumbuhan ekonomi cepat (kelompok: A1T, A1B, A1F1) Perubahan temperature : 1,4 – 6,4oC

Skenario B1. Keberlanjutan lingkungan global Perubahan temperature : 1,1 – 2,9oC

Regionalisasi Skenario A2.

Pertumbuhan ekonomi berorientasi regional Perubahan temperatur : 2,0 – 5,4oC

Skenario B2. Keberlanjutan lingkungan lokal Perubahan temperature : 1,4 – 3,8oC

Tabel 2.2 Ringkasan skenario RCP untuk simulasi iklim abad ke-21 (IPCC, 2014)

Skenario Perubahan Temperatur (oC) Perubahan Muka Air Laut (m)

2046 – 2065 2081 – 2100 2046 – 2065 2081 – 2100

RCP 2.6 0,4 – 1,6 0,3 – 1,7 0,17 – 0,32 0,26 – 0,55

RCP 4.5 0,9 –2,0 1,1 –2,6 0,19 – 0,33 0,32 – 0,63

RCP 6 0,8 –1,8 1,4 –3,1 0,18 – 0,32 0,33 – 0,63

RCP 8.5 1,4 –2,6 2,6 –4,8 0,22 – 0,38 0,45 – 0,82

Keterangan :

RCP 2.6 mengasumsikan bahwa emisi gas rumah kaca global tahunan (yang diukur dengan CO2-ekivalen

(19)

E. Model Infiltrasi

1. Model Infiltrasi Green – Ampt

Model Green-Ampt diasumsikan untuk memenuhi kondisi-kondisi sebagai berikut : 1. Tekanan air pori negatif (f) adalah tetap,

2. Perbedaan kadungan air volumetrik () adalah seragam antara sebelum dan sesudah basah,

3. Koefesien konduktivitas hidraulik (k) adalah tetap dan sama dengan konduktivitas hidrolik jenuh (ks)

Mein dan Larson (1973) memberikan sebuah metode untuk menentukan infiltrasi pada kondisi tetap atau intensitas air hujan yang konstan. Akan tetapi, penentuan infiltrasi pada kondisi tidak tetap atau intensitas air hujan yang bervariasi juga dapat dilakukan menggunakan metode ini (Bouwer, 1978; Chow et al., 1988). Infiltrasi kumulatif dihitung dari curah hujan sebagai fungsi waktu. Potensi infiltrasi dapat dihitung dari infiltrasi kumulatif menggunakan Persamaan 2.1. Selama hujan berlangsung, tiga kondisi infiltrasi hujan dapat terjadi, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.9. Kondisi tersebut yaitu :

1. Kondisi (1): Intensitas hujan I(t) lebih besar dari potensi laju infiltrasi potensial f(t) (Gambar 2.9a). Permukaan tanah menjadi jenuh pada keseluruhan interval waktu (t). Sehingga, jumlah air hujan yang terinfiltrasi dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.1.

 

ln

 

f

f s

f

F t t

F t t F t k t

F t

 



     

       

 

 

 

(2.1)

2. Kondisi (2): Intensitas hujan I(t) lebih rendah dibandingkan dengan potensi laju infiltrasi f(t) pada permulaan interval waktu tertentu, tetapi kemudian, menjadi lebih besar dibandingkan dengan potensi laju infiltrasi (Gambar 2.9b). Akibatnya permukaan tanah berubah menjadi jenuh air pada interval waktu tersebut (t). Oleh karena itu, jumlah air hujan yang terinfiltrasi dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi jenuh dapat dihitung menggunakan masing-masing Persamaan 2.2 dan 2.3 yaitu :

 

' .

 

p

s f

t t

s

k F t

I t k



 

 (2.2)

 

 

' .

' p

p

F t F t

t

I t

(20)

3. Kondisi (3): Intensitas hujan I(t) lebih kecil dibandingkan dengan laju infiltrasi potensial f(t) selama selang waktu tertentu (Gambar 2.9c). Pada kondisi seperti ini, permukan tanah berada pada kondisi tak jenuh dan semua air hujan terinfiltrasi ke tanah. Sehingga, jumlah infiltrasi adalah sama dengan intensitas hujan dan hujan terakumulasi.

Gambar 2. 9 Mekanisme infiltrasi dari persamaan Green – Ampt (Dimodifikasi dari Chow dkk., 1988)

Notasi persamaan-persamaan di atas adalah : F(t) = infiltrasi kumulatif pada saat t, I(t) = intensitas hujan pada saat t, f(t) = potensi laju infiiltrasi pada saat t,

0 0 Time In te n si ta s H u ja n , I( t) a ta u L a ju I n fi lt ra si , f( t) (mm /h ) 0 0 Time Intensitas hujan Potensi laju infiltrasi Laju infiltrasi

f(t)

I(t)

t t + t

t

(a) Kondisi: 1

(b) Kondisi: 2

t t + t

t

t’p

tp tp

f(t) I(t)

0

0 Time

(c) Kondisi: 3

f(t) = I(t)

In te n si ta s H u ja n , I( t) a ta u L a ju I n fi lt ra si , f( t) (m m /h ) In te n si ta s H u ja n , I( t) a ta u L a ju I n fi lt ra si , f( t) (mm /h ) Intensitas hujan Potensi laju infiltrasi Laju infiltrasi

(21)

 = beda kadar air tanah = s–i,

f= tinggi tekanan air pori negatif pada bidang pembasahan,

ks = koefisien permeabilitas tanah pada kondisi jenuh air,

t = interval waktu hujan,

t'p = waktu terjadinya genangan pada interval waktu t,

F(t’p) = infiltrasi kumulatif pada saat t’p.

Bidang longsor dapat terjadi pada bidang pembasahan. Maka, dalam penelitian ini, kedalaman bidang longsor dianggap sama dengan kedalaman bidang pembasahan. Sehingga, H = zw yang nilanya ditentukan dari Persamaan 2.4 yang mana akan bervariasi dengan waktu.

 

 

w

F t z t

 (2.4)

2. Model Infiltrasi Satu Dimensi Persamaan Richard

Model infiltrasi satu dimensi didasarkan pada persamaan diferensial Richards (Persamaan 2.5) untuk mensimulasikan pergerakan air dalam media yang jenuh air. Persamaan ini diselesaikan dengan menggunakan metode numerik (Šimůnek et al., 2005). Persamaan dasar infiltrasi satu dimensi adalah sebagai berikut :

 

,

 

1 t

K

t z z

 

   

 

 

      (2.5)

dimana  adalah tinggi tekaanan air porsi (soil water pressure head), () merupakan kadar air volumetrik tanah (volumetric water content), t adalah waktu, z adalah koordinat vertikal dari permukaan tanah (bernilai positif bila ke atas), dan K() adalah koefiesien permeabilitas tak jenuh air. Sifat-sifat hidraulika tanah tak jenuh ari, θ() dan K()), dalam Persamaan (2.4) merupakan fungsi non-linier terhadap tinggi tekanan air pori. Sifat-sifat hidraulika tanah dapat disajikan dalam bentuk model analitik seperti diusulkan oleh Brooks dan Corey (1964), van Genuchten (1980), Vogel and Císlerová (1988), dan Kosugi (1996).

Model Brooks dan Corey (BC)

Fungsi untuk kurva retensi kadar air tanah, θ(), dan koefisien permeabilitas, K(), menurut Brooks dan Corey [(964) seperti diberikan dalam Persamaan 2.6a dan 2.6b.

 

n

r s r

      

(22)

 

 

2 2

l n r s

s r

KK   

 

 

  

  (2.6b)

Dimana r dan s masing-masing adalah kadar air jenuh air dan residu, Ks adalah koefisien

permeabilitas tanah jenuh air,  merupakan inverse dari nilai tekanan udara (air-entry value atau bubbling pressure), n adalah indeks distribusi ukuran pori tanah, dan l adalah parameter konektifitas pori tanah (pore-connectivity parameter) = 2,0 dalam persamaan asal Brooks dan Corey (1964). Parameter-paremeter , n dan l merupakan koefisien-koefisien empirik yang mempengaruhi bentuk dari fungsi hidraulika tanah tanah jenuh.

Model van Genuchten – Mualem (VGM)

Fungsi hidraulika tanah dari van Genuchten (1980) menggunakan distribusi statistika ukuran pori tanah dari model Mualem (1976). Persamaan van Genuchten [1980] seperti dituliskan pada Persamaan 2.7a dan 2.7b.

 

1 n m

r s r

         (2.7a)

 

l 1 1

1m

m 2

s e e

K  K S  S

  (2.7b)

dengan

 

r

e

s r

S   

 

  

 

  (2.7c)

dan, m 1 1n (2.7d)

Persamaan 2.7 di atas mengandung lima parameter independen yaitu r, s, , n, dan Ks.

Mualem (1976) memberikan estimasi parameter konektifitas pori tanah l = 0,5 dalam fungsi hidraulika tanah untuk tanah secara umum.

Model van Genuchten Termodifikasi (MVG)

Vogel dan Císlerová (1988) memodifikasi persamaan van Genuchten (1980) dengan menambah fleksibilitas dalam deskripsi sifat-sifat hidraulika pada kondisi mendekati jenuh air. Fungsi retensi kadar air, θ(), dan koefisien permeabilitas, K(), diberikan dalam Persamaan (2.8a) dan (2.8b) respectively.

 

1 n m

a m a

         (2.8a)

 

k



s

k

k

s k

K K

KK  

 

 

 

(23)

Karakteristik hidraulika untuk model MVG mengandung 9 parameter-parameter yang belum diketahui meliputi θr , θs, θa, θm, α, n, Ks, Kk, dan θk . Paramter-parameter tersebut seperti

diilustrasikan pada Gambar 2.10. Apabila θa= θr, θm= θk= θs dan Kk = Ks, fungsi koefisien

permeabilitas tanah yang diusulkan oleh Vogel dan Císlerová (1988) akan sama dengan model van Genuchten (1980) seperti dalam Persamaan 2.7b.

(a) (b)

Gambar 2. 10 (a) Schematics of the soil water retention and (b)hydraulic conductivity functions.

Model lognormal Kosugi

Kosugi (1996) merumuskan model distribusi lognormal untuk fungsi hidraulika tanah. Model distribusi lognormal diaplikasikan dalam model distribusi ukuran pori tanah yang dituliskan oleh Mualem (1976). Persamaan 2.9 memberikan fungsi kadar air tanah dan koefisien permeabilitas tanah untuk model lognormal Kosudi (1996).

 

1 ln

2 2

r s r erfc

n         

  (2.9a)

 

2

ln 1

2 2 2

l

s e

n

K K S erfc

n  

    

  

  (2.9b)

F. Model Stabilitas Lereng

Pada kebanyakan kondisi di lapangan, lereng sangat panjang sekali, sehingga dalam analisis stabilitas lereng dapat diidealisasikan sebagai lereng tak-hingga (infinite slope). Dalam analisisnya, gaya-gaya yang bekerja ditinjau dalam satu satuan panjang seperti ditunjukkan pada (Gambar 2.11). Gaya geser yang terjadi pada tanah dapat dituliskan:

s 0

Pressure head,

a=r

s

m

W

a

te

r

c

o

n

te

n

t,

H

y

d

ra

u

li

c

c

o

n

d

u

c

ti

v

ity

,

K

Pressure head,

s 0

k

Ks

Kk Mualem’s model

(24)

' n w tan '

c u

t      (2.10)

dengan

t = tegangan geser,

c’ = kohesi,

n = tegangan normal,

uw = tekanan air pori, ’ = sudut gesek internal.

Gambar 2. 11Lereng tak hingga tanpa aliran air rembesan.

Keruntuhan lereng dapat terjadi karena pergerakan tanah di atas bidang AB dari kiri ke kanan (Gambar 2.11).. Besarnya faktor aman dari lereng dengan kedalaman bidang longsor H pada bidang longsor AB dapat ditentukan dengan Persamaan 2.11.

2

' cos tan '

cos sin

t w

t

c H u

FS

H

  

  

 

 (2.11)

dengan,

FS = faktor aman,

uw = tekanan air pori,

t = berat volume total tanah,

c’ = kohesi efektif tanah (kPa),

’ = sudut gesek internal efektif tanah (derajat), H = kedalaman bidang longsor (m)

Rahardjo dkk. (1995) mengusulkan beberapa kemungkinan agihan tekanan air pori akibat infiltrasi dapat terjadi pada lereng seperti disajikan pada Gambar 2.11. Lereng

a

b c

d L

H

W

R Tr

Ta

Na

Nr

F

F

(25)

mengalami keruntuhan pada kedalaman zf, yang berada di atas bidang pembasahan zw. Maka

faktor aman dapat dituliskan kembali seperti pada Persamaan 2.12 hingga 2.14.

a. Permukaan lereng dalam kondisi jenuh. Pada kondisi ini, tekanan air pori negatif berkurang hingga mencapai nol pada permukaan lereng. Pola agihan tekanan air pori seperti ditunjukkan oleh garis a pada Gambar 2.12. Faktor aman diberikan oleh Persamaan 2.12.

tan '

tan ' '

tan sin cos tan

w

t f t w

y c

FS

z z

 

     

   (2.12)

b. Proses penjenuhan hingga bidang pembasahan zw. Pada kondisi ini tekanan air pori

pada bidang longsor mencapai nol. Pola agihan tekanan air pori seperti ditunjukkan oleh garis b pada Gambar 2.13. Faktor aman diberikan oleh Persamaan 2.8.

tan ' '

tan t f sin cos

c FS

z

   

  (2.13)

c. Peningkatan muka air tanah. Pada kondisi ini, tekanan air pori pada bidang pembasahan dipengaruhi oleh kenaikan muka air tanah (garis c dalam Gambar 2.11). Faktor aman diberikan oleh Persamaan 2.14.

tan '

tan ' '

tan sin cos tan

w

t f t

c FS

z

 

     

   (2.14)

(26)

Metode analisis stabilitas lereng dengan model lereng tak-hingga dan pengaruh infiltrasi dapat memperhitungkan pengaruh perubahan tekanan air pori selama proses infiltrasi. Mengacu pada kriteria keruntuhan Mohr–Coulomb untuk tanah tak jenuh air yang dituliskan dalam Fredlund et al. (1978), maka faktor aman lereng dapat dinyatakan dalam Persamaan 2.15.

' tan ' tan

sin cos

b

n a a w

t f

c u u u

FS

z

  

  

   

   (2.15)

dengan,

FS = faktor aman,

t = berat volume total tanah,

c’ = kohesi efektif tanah (kPa),

’ = sudut gese internal tanah (derajat),

zf = kedalaman bidang keruntuhan (m),

 = sudut kemiringan lereng (derajat), uw = tekanan air pori (kPa),

ua = tekanan udara pori (kPa),

(ua - uw) = matric suction (kPa),

n = tegangan normal total (kPa),

(n - ua) = tegangan normal pada bidang keruntuhan (kPa), dan

b = sudut gesek terkait dengan kuat geser tanah akibat peningkatan matric suction

Untuk model kuat geser tanah dalam kondisi tak jenuh air, Vanapalli et al. (1996) mengusulkan hubungan antara kuat geser dan suction dengan memperhitungkan fungsi hidraulika tanah. Maka Persamaan 2.15 dapat dituliskan kembali seperti pada Persamaan 2.16a.

2

' tan '

1

sin cos tan cos

t f t f

c FS

z z

 

     



    

     

(2.16a)

dengan,

 

r

s r

    

  

 (2.16b)

(27)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh iklim saat ini (present) dan yang akan datang (future) terhadap unjuk kerja lereng. Secara rinci tujuan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut ini.

Tahun ke-1 :

(1) Mempelajari pengaruh rekaman hujan terhadap stabilitas lereng, (2) Mengkaji pengaruh hujan pada musim basah terhadap stabilitas lereng,

(3) Mempelajari hubungan antara kedalaman muka air tanah terhadap stabilitas lereng, (4) Menyusun skenario perubahan iklim untuk hujan bulanan rata-rata pada tahun 2020 –

2040 di area D.I. Yogyakarta,

(5) Mengkaji dampak skenario perubahan iklim terhadap stabilitas lereng pada tahun 2020 –

2040.

Tahun ke-2 :

(6) Mengkaji kuat tarik akar rumput dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada lereng, (7) Mempelajari pengaruh akar vegetasi terhadap stabilitas lereng.

Tahun ke-3 :

(8) Mengembangkan dan menvalidasi prosedur model numerik iklim pada lereng.

(9) Menyusun grafik desain praktis guna mengevaluasi unjuk kerja lereng akibat pengaruh hujan, kondisi vegetasi, dan morfologi lereng.

B. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat digunakan :

d. untuk memperkirakan (forecast) kondisi lereng alam (natural slope) dan lereng buatan (engineered slope) di masa yang akan datang.

e. untuk menentukan pemilihan metode mitigasi lereng.

(28)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian secara keselururuhan dapat diilustrasikan dalam diagram alir pada Gambar 4.1. Mengacu pada fishbone diagram tersebut, penelitian dilaksanakan dalam tiga tahun pelaksanaan dengan uraian kegiatan dan target luaran seperti diringkaskan dalam Tabel 4.1. Sedangkan desain penelitian pada Tahun I secara skematik dijelaskan pada Gambar 4.2.

Gambar 4. 1 Diagram alir tahapan pelaksanaan kegiatan.

Kejadian longsor pada lereng di Dusun Kedungrong (Gambar 4.3), Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo pada 21 November 2001 merupakan studi kasus yang menarik untuk dikaji. Pada area ini hampir di setiap musim penghujan terjadi pergerakan tanah. Kajian terhadap mekanisme longsoran dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah dikaji dengan pemodelan numerik oleh Muntohar dan Ikhsan (2012). Pada area ini dilakukan kajian terhadap potensi pergerakan tanah dengan menggunakan model probabilitas setelah kejadian MODEL IKLIM UNTUK

ANALISIS POTENSI LONGSORAN LERENG

Simulasi numerik model iklim pada lereng: Studi kasus lereng alam

(Skenario 1: efek vegetasi diabaikan) Intensitas hujan

harian (dalam 20 tahun)

PERUBAHAN IKLIM DAN LONGSORAN

LERENG

Temperatur

Geologi Kuat geser

Sifat-sifat Hidraulik Permeabilitas

Sifat-sifat Geoteknik Karakeristik

Air-Tanah

Angin Arah

Kecepatan Model Iklim

Global

Model IPCC

Regional MPI RCM

TAHUN I TAHUN II

Efek Vegetasi Terhadap Stabilitas Lereng

Simulasi numerik model iklim pada lereng:

Studi kasus cut-slope (Skenario 2: Efek akar vegetasi)

Pemodelan downscaling

hujan di Yogyakarta

Pangkalan Data Klimatologi, Geoteknik, dan Geologi lereng

TAHUN III

Simulasi numerik model iklim pada lereng: Studi kasus lereng alam

(Skenario 2: Efek akar vegetasi)

Pangkalan Data Vegetasi Penutup

Lereng Review Model Iklim dan

Analisis Stabilitas Lereng

Uji Kuat Geser Jenis Akar

Rasio Luas Akar KarakteristikSerapan Air

Rasio Luas Lahan Tertutup Vegetasi

Jenis Vegetasi Karakteristik Infiltrasi Model Stabilitas

Lereng Saturated model

Saturated-unsaturated Model: Vadose/W

Efek iklim (Vadose/W)

Infiltrasi (SEEP/W)

Defomasi (SIGMA/W) IPCC Model

(29)

longsor pada tahun 2001. Untuk lokasi studi di Dusun Kalisonggo, Kecamatan Kalibawang, Kulonprogo (Gambar 4.3), kajian yang dilakukan adalah pemodelan numerik untuk menentukan pengaruh kedalaman awal muka air tanah terhadap perubahan stabilitas lereng. Karena pada kajian terdahulu oleh tidak memperhatikan kondisi awal muka air tanah (initial groundwater level).

Tabel 4. 1 Uraian kegiatan dan target luaran penelitian tiap tahun

Tahun

Pelaksanaan Uraian Kegiatan Target Luaran

Tahun I 1. review model iklim dan analisis stabilitas lereng,

2. penyusunan pangkalan data klimatologi (hujan, temperatur, angin), 3. pengumpulan dan pengujian laboratorium sifat-sifat geoteknik dan

hidraulik tanah,

4. pengukuran topografi lereng dan potensi bidang pergerakan tanah, 5. analisis downscaling pemodelan hujan, dan

6. simulasi numerik model iklim terhadap stabilitas lereng.

Publikasi Jurnal Terakreditasi/ Seminar Nasional

Tahun II 1. penyusunan pangkalan data vegetasi pada lereng,

2. pengujian laboratorium kuat geser tanah dan akar tanaman pada lereng,

3. pengukuran karakteristik kadar air-tanah-akar di lapangan, 4. pengukuran potensi bidang pergerakan tanah,

Draft Naskah Jurnal Internasional

Tahun III 1. pengukuran karakteristik kadar air-tanah-akar di lapangan, 2. pengukuran potensi bidang pergerakan tanah,

3. simulasi numerik model iklim dan akar tanaman terhadap stabilitas lereng.

Draft

Buku/Monograf tentang Pemodelan Iklim dan Stabilitas Lereng

Gambar 4.2 Diagram alir penelitian pada tahun pertama

Lokasi studi untuk area Doi Inthanon, Thailand (Gambar 4.4) berada di bagian utara Thailand. Kejadian longsoran memiliki kemiripan dengan tipe longsoran di Kulonprogo. Kajian longsoran di area Doi Inthanon dilakukan untuk mengkaji pengaruh rekaman hujan

Review Model Iklim dan Analisis Stabilitas Lereng

Pengambilan dan Analisis Data Hujan Bulanan di Yogyakarta 2001 - 2012

Pengukuran Topografi dan Geologi

Pengumpulan Data dan Pengujian Sifat-Sifat

Geoteknik

Analisis Probabilitas Stabilitas Lereng: Studi Kasus Kulonprogo (Indonesia), Doi

Inthanon (Thailand)

Pemodelan Perubahan

Iklim : Curah Hujan 2020 –

2039 (Metode GCM)

Analisis Probabilitas Stabilitas Lereng

2020-2039 Pemodelan Numerik Stabilitas

(30)
[image:30.595.111.470.382.641.2]

(hyetograph) terhadap stabilitas lereng dengan metode probabilitas. Kajian di lokasi ini merupakan kerjasama dengan Geotechnical Engineering Division, di Department of Civil Engineering, Kasetsart Univeristy, Thailand (Lampiran A).

Gambar 4. 3 Lokasi penelitian di Kulonprogo (Indonesia)

Gambar 4. 4 Lokasi penelitian di Doi Inthanon, Thailand

B. Data Curah Hujan

(31)

7.40.33.LS/110.15.49.BT. Sedangkan data curah hujan untuk wilayah Doi Inthanon disediakan oleh Jotisankasa et al. (2015). Curah hujan diukur dari stasiun hujan terdekat pada tanggal 1 - 14 September 2011. Interval waktu pengukuran curah hujan adalah setiap 5 menit (Gambar 4.6a). Rekan hujan dalam interval waktu 1 jam, dan harian seperti pada Gambar 4.6b dan 4.6c. Kumulatif hujan selaam 2 minggu mencapai 520 mm.

(a) Tahun 1998 (b) Tahun 1999 (c) Tahun 2000

(c) Tahun 2001 (d) Tahun 2002 (e) Tahun 2003

(f) Tahun 2004 (g) Tahun 2005 (h) Tahun 2006

(i) Tahun 2007 (j) Tahun 2008 (k) Tahun 2009

[image:31.595.99.529.187.740.2]

(i) Tahun 2010 (j) Tahun 2011 (k) Tahun 2012

Gambar 4. 5 Distribusi curah hujan harian maksimum Tahun 1998 – 2012 di lokasi Kulonprogo

(32)

(a)

(b)

[image:32.595.188.440.70.588.2]

(c)

Gambar 4. 6 Distribusi hujan lokasi Doi Inthanon (a) hujan 5 menitan, (b) hujan jam-jaman, (c) hujan harian

C. Data Geoteknik Lereng

Lereng yang berlokasi di Dusun Kedungrong, Samigaluh, Kulonprogo memiliki kemiringan rata-rata 22o, dengan kemiringan yang tercuram sebesar 40o. Lereng memiliki lapoisan tanah berupa tanah residu yang berasal dari pelapukan batuan breksi. Ketebalan lapisan tanah rata-rata (H) adalah 8 m, dengan berat volume tanah (γt) 22 kN/m3. Sifat-sifat

geoteknik tanah dan lapisan batuan di lokasi Kedungrong seperti disajikan pada Tabel 4.2.

0 100 200 300 400 500 600 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

C u m u la ti v e R a in fa ll ( m m ) R a in fa ll ( m m /5 m in )

Date (September)

0 100 200 300 400 500 600 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

C u m u la ti v e R a in fa ll ( m m ) R a in fa ll ( m m /h )

Date (September)

0 100 200 300 400 500 600 0 20 40 60 80 100 120

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15

C u m u la ti v e R a in fa ll ( m m ) R a in fa ll ( m m /d )

(33)

Lereng di lokasi Dusun Kalisonggo, Kulonprogo berkisar anatar 20o hingga 40o. Lapisan tanah dengan ketebalan hingga 10 m didominasi oleh lapisan tanah colluvial yang merupakan pelapukan dari batuan breksi-andesit (CH1), lapisan lempung yang berasal dari pelapukan tuffa (CH2), dan lapisan batuan lanau (MH1). Tabel 4.3 menyajikan sifat-sifat geoteknik tanah dan lapisan batuan di lokasi Kalisonggo.

Tabel 4. 2 Parameter tanah untuk lereng di Kedungrong, Kulonprogo

Parameter Tanah Residu Breksi Batuan keras

Kadar air asli, wN(%) 33,2 39,4 40,2

Berat volume tanah, b (kN/m3) 17,7 15,1 14,8

Berat volume kering, d (kN/m3) 13,4 12,1 11,7

Derajat jenu air, Sr (%) 90,1 64,8 41,9

Kadar air volumerik jenuh, s 0,48 0,53 0,50

Koefisien permeabilitas jenuh, ksat (m/s) 1,19x10-4 1,74x10-8 -

Kohesi (puncak), c’ (kPa) 1.7 48 -

Sudut gesek internal (puncak), ’ (_o) 19,6 10 -

Sudut peningkatan kuat geser tak jenuh,b (_o) 15 8 -

Tabel 4.3 Parameter kuat geser dan hidraulika tanah di lokasi Kalisonggso, Kulonprogo

Parameter Tanah MH-1 Tanah CH-1 Tanah CH-2 Batuan keras

Berat volume, γb (kN/m3) 15,95 15,96 15,85

Bedrock

Kohesi, c’ (kPa) 4,875 4,1125 5,45

Sudut gesek internal, ’ 25,5o 7,87o 18,74o

Koefisien permeabilitas jenuh

air, ksat (m/d) 5,63  10

-5 9,62 10-5 2,8 10-4 1,00 10-8

Kadar air volumetrik jenuh air,

sat (m3/m3) 0,592 0,575 0,576 0,299

(34)

(b) (b)

[image:34.595.230.394.250.430.2]

Gambar 4.7 (a) Skema penampang pengujian SWCC menggunakan KU tensiometer, (b) Skema penampang KU tensiometer.

Gambar 4.8 Skema penampang pengujian SWCC menggunakan filter paper.

(a) (b)

Gambar 4. 9 (a) Kurva kadar air volumetrik, (b) Kurva koefisien permeabilitas tanah residu di Kedungrong.

Variabel yang digunakan untuk analisis probabilitas di lokasi Doi Inthanon, berupa topografi dan data geoteknik, diperoleh dari Jotisankasa et al. (2015). Lereng tersusun dari pelapukan atau dekomposisi batuan granite berupa lapisan tanah pasir berlempung (SC) berwarna kemerahan, dan pasir berlanau (SM) berwarna keputih-putihan. Bongkahan batuan

Aluminium base plate

PVC cover

PVC casing KU-T2

Tensiometer

Soil specimen

10 mm MEM pressure sensor

Smooth surfaced acrylic tube

1 bar AEV porous stone Deaired water

Aluminium base plate Soil specimen Aluminium lid

10 mm Filter paper (3 layers)

PVC casing

Suction head, (m)

0.01 0.1 1 10 100 1000

V

ol

ume

tri

c

w

ater

co

ntent,

0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

Uji Lab. model VG

Suction head, (m)

0 200 400 600 800 1000

H

y

draul

ic

conductiv

it

y

,

k(

)

(m/day

)

10-9

10-8

10-7

10-6

10-5

10-4

10-3

10-2

10-1

(35)

granite bercampur dengan lapisan tanah. Lapisan tanah kedap air atau batuan diperoleh hingga kedalaman 2 m. Sifat-sifat geoteknik dari lapisan tanah seperti disajikan pada Tabel 4.4. Kurva karakteristik kadar air tanah seperti disajikan pada Gambar 4.11.

(a) (b)

[image:35.595.85.538.391.709.2]

Gambar 4. 10 (a) Kurva kadar air volumetrik, (b) Kurva koefisien permeabilitas tanah coluvial di Kalisonggo

Tabel 4. 4 Soil properties of the slope

Jenis tanah

Kemiringan lereng

Koefisien permeabilitas

Beda kadar air

Suction zona basah

Kohsi Sudur

gesek

Berat volume tanah

 ks (mm/h)  = s - i f (mm) c' (kPa) ' t (kN/m3)

SM 33o 91.8 0.32 300 10.1 26.7o 21.8

SC 33o 0.4248 0.29 400 15.3 22.7o 20

Gambar 4.11 Kurva kadar air volumetrik tanah untuk lokasi di Doi Inthanton (Jotisanka et al., 2015)

Suction head, (m)

10-2 10-1 100 101 102 103 104 105

Volu

me

tric

W

ate

r C

on

ten

t

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

Uji Lab. MH1

Uji Lab. CH1 Uji Lab. CH2 model VG: Tanah MH1 model VG: Tanah CH1 model VG: Tanah CH2

Suction head, (m)

0 200 400 600 800 1000

H

y

dr

au

lic

c

on

du

c

tiv

ity

, k

x

(m/d

ay

)

10-8

10-7

10-6

10-5

10-4

10-3

10-2

(36)

D. Analisis Probabilitas

1. Model Infiltrasi – Stabilitas Lereng

Analisis infiltrasi 1D dan stabilitas lereng dilakukan berdasarkan model infiltrasi Green

[image:36.595.103.519.263.671.2]

– Ampt sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II Tinjauan Pustaka. Penyelesaian model infiltrasi dijelaskan pada diagram alir Gambar 4.12. Sedangkan penyelesaian tekanan air pori dan stabilitas lereng seperti disajikan pada Gambar 4.13. Diagram alir ini merupakan perbaikan dari alur yang diselesaikan oleh Muntohar dan Liao (2010). Perangat lunak MATLAB version 7.6.0.324 R2008a digunakan untuk penghitungan.

Gambar 4. 12 Diagram alir untuk analisis infiltrasi air hujan pada lereng (Muntohar & Ikhsan, 2013)

START

For initial condition: t0 = 0, F(t0) = 0

For n = 1, 2, 3, … Calculate: F(tn) = R(tn)

f(tn) ≤ I(tn) Calculate: f(tn) [Equation (2.18b)]

(1) Surface saturated: Calculate: F(tn+1) [Equation (2.18a)]

Surface unsaturated (at beginning of interval, tn): Calculate tentative value:

F(tn+1) = I(tn+1).t + F(tn)

Calculate: f(tn+1) [Equation (2.18b)]

Next n

Yes No

Calculate tentative value: f(tn+1) [Equation (2.18b)]

f'(tn+1) ≤ I(tn)

(2) Surface saturated (between interval, t): Calculate: F(t’p) & t’p [Equation (2.20) & (2.21)]

Calculate: zw (tn)

[Equation (3.4)] Yes

(3) Surface unsaturated Calculate: F(tn+1) = I(tn+1).t + F(tn) No

tn+1 = tn + t tn+1 = tn + t

f(t) I(t)

Case (2)

tn tn + t t

t'p

f(t) I(t)

Case (3)

tn tn + t

t f(t)

I(t)

tn tn + t

Case (1)

t

  cos  f 

f t k

F t                              cos cos ln cos f y f f

F t t F t k t

F t t

F t                                           cos cos ln 1 f y f

F t k t

F t                              cos w s i F t z     

  cos  f 

f t k

F t               

  cos  f 

f t k

F t                   .  ' cos sat f p sat k F t

I t k

          ' . ' p p

(37)
[image:37.595.87.508.70.325.2]

Gambar 4. 13 Diagram alir untuk analisis infiltrasi air hujan pada lereng (Muntohar & Ikhsan, 2013)

2. Analisis Realiabilitas Stabilitas Lereng

Keandalan atau reliabilitas (reliability) adalah probabilitas (probability) suatu obyek atau sistem yang unjuk kerjanya memenuhi fungsi yang sesuai untuk suatu kondisi dan periode waktu tertentu (Harr, 1989). Dengan demikin dalam hal ini, reliabilitas suatu lereng merupakan probabilitas yang menyatakan kondisi lereng tetap stabil dibawah kondisi tertentu. Dalam analisis reliabilitas, fungsi unjuk kerja G(X) lereng dapat dinyatakan dengan persamaan faktor aman seperti pada persamaan 4.1.

 

'

cos2

tan '

sin cos

t w w

t w

c z u

G X

z

  

  

 

 ... (4.1)

Variabel X = {x1…n} terdiri atas n variabel acak sebagai parameter masukan dalam analisis

stabilitas lereng. Variabel-variable tersebut adalah Xi = {i,ci', 'i, t,i, Hb,i, ks,i, f,i, i.

Fungsi G(X,t) menyatakan unjuk kerja atau kondisi dari lereng yang merupakan fungsi dari waktu t. Suatu lereng dinyatakan stabil apabila G(X,t) > 0, sebaliknya dinyatakan tidak stabil atau mengalami keruntuhan apabila G(X,t) < 1, dan berada dalam kondisi batas jika G(X,t) = 1, yang mana disebut kondisi batas lereng.

Pada penelitian ini, metode Direct Monte Carlo Simulation (MCS) digunakan untuk menentukan probabilitas keruntuhan. Nilai dari setiap variabel diambil secara acak sebagai

STOP

END Calculate Factor of Safety:

(FS(tn)) [Equation (3.1)]

zw(tn) < H

Time

I(

t)

F

S

FS =1

Calculate Factor of Safety: (FS(tn)) [Equation (3.2)]

Yes No

uw (tn) = 0 (at surface), then uw at failure surface: uwf (tn) =

wf/zw(tn)

uw (tn) < 0 (at surface), then uw at failure surface: uwf (tn) = wf Surface

saturated? No Yes

' tan ' tan ' sin cos

tw w

tw

c z u

FS z

  

  

 

' tan ' tan ' sin cos

t w

t

c H u

FS H

  

  

 

PO

R

E

W

A

T

ER

PR

ESSU

R

E

SL

O

PE

ST

A

B

IL

IT

Y

B

C

PART

PART

(38)

data identically-independent distribution (i.i.d) dari fungsi distribusi probabilitasnya atau probability distribution function (PDF) untuk setiap N –kali simuasi. Jumlah simulasi yang dilakukan adalah N = 10.000. Distribusi setiap parameter didekati dengan fungsi distribusi probabilitas lognormal PDF (Muntohar & Ikhsan, 2012).

Indek reliabilitas β terhadap stabilitas lereng dapat dinyatakan dalam persamaan 4.2. apabila distribusi probabilitas dari faktor aman berupa fungsi distribusi normal. Sedangkan apabila distribusi probabilitas dari faktor aman berupa fungsi distribusi lognormal, nilai  diberikan oleh persamaan 4.3.

 

  ,

,

1

FS X t

FS X t

 

 (4.2)

 

   

   

2

, , ,

2

, ,

ln 1

ln 1

FS X t FS X t FS X t

FS X t FS X t

  

 

 

 

 

 

 

(4.3)

dengan μFS(X,t) dan σFS(X,t) adalah nilai rerata dan deviasi standar dari faktor aman hasil

simulasi Monte Carlo. Kemudian, probabilitas keruntuhan dapat dihitung dari nilai index realibilitas yang telah diperoleh dari persamaan 4.2 atau 4.3 dengan menggunakan persamaan 4.4. Probabilitas keruntuhan didefinisikan sebagai probabilitas untuk faktor aman minimum kurang dari satu yaitu Pf = P(FS < 1).

 

1

f

P     (4.4)

dengan, 

 

 adalah fungsi distribusi kumulatif untuk masing-masing jenis distribusi probabilitas (normal atau lognormal PDF) dari nilai .
(39)

(a) Desember 2000 – Maret 2001 (b) Desember 2001 – Maret 2002

(c) Desember 2002 – Maret 2003 (d) Desember 2003 – Maret 2004

(e) Desember 2004 – Maret 2005 (f) Desember 2005 – Maret 2006

[image:39.595.95.532.68.664.2]

(g) Desember 2006 – Maret 2007 (h) Desember 2007 – Maret 2008

Gambar 4.14 Rekaman curah hujan harian pada musim penghujan basah Desember - Maret

0 200 400 600 800 1000 1200 0 20 40 60 80 100 120 140

12/01/00 01/01/01 02/01/01 03/01/01 04/01/01

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 200 400 600 800 1000 1200 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

12/01/01 01/01/02 02/01/02 03/01/02 04/01/02

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 500 1000 1500 2000 2500 0 20 40 60 80 100 120 140

12/01/02 01/01/03 02/01/03 03/01/03 04/01/03

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 200 400 600 800 1000 1200 0 10 20 30 40 50 60 70 80

12/01/03 01/01/04 02/01/04 03/01/04 04/01/04

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 110 220 330 440 550 660 770 880 990 1100 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

12/01/04 01/01/05 02/01/05 03/01/05 04/01/05

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 120 240 360 480 600 720 840 960 1080 1200 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

12/01/05 01/01/06 02/01/06 03/01/06 04/01/06

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 120 240 360 480 600 720 840 960 1080 1200 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

12/01/06 01/01/07 02/01/07 03/01/07 04/01/07

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 120 240 360 480 600 720 840 960 1080 1200 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

12/01/07 01/01/08 02/01/08 03/01/08 04/01/08

(40)

(i) Desember 2008 – Maret 2009 (j) Desember 2009 – Maret 2010

[image:40.595.98.530.71.357.2]

(k) Desember 2010 – Maret 2011 (l) Desember 2011 – Maret 2012 Gambar 4.14 (Lanjutan)

E. Pemodelan Numerik

1. Geometri Lereng di Kalisonggo, Kulonprogo

Penampang lereng yang dianalisis seperti disajikan pada Gambar 4.15a. Litologi lereng didominasi oleh lapisan lanau (MH-1) dan lempung (CH-1 dan CH-2). Lapisan tidak lolos air berupa batulempung (claystones) berada di bawah lapisan MH-1 sebagai batuan dasar (bedrock). Bidang keruntuhan terdapat pada bidang antara lapisan CH-1 dan MH-1. Parameter kuat geser dan hidraulika masing-masing contoh tanah seperti disajikan pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.10. Profil kuat geser lapisan tanah dan batuan dari hasil uji SPT seperti disajikan pada Gambar 4.15b.

2. Pemodelan Infiltrasi – Rembesan dan Stabilitas Lereng

Pada penelitian ini analisis infiltrasi-rembesan dimodelkan secara numerik dengan menggunakan perangkat lunak SEEP/W (Geoslope International, 2007a). Geometri lereng dan kondisi batas seperti digambarkan pada Gambar 4.15c. Elemen-elemen triangular sebanyak 8485 elemen berukuran lebar 2 m. Curah hujan didefinisikan sebagai unit flux (q) dalam fungsi waktu dengan intensitas seperti pada Gambar 4.16. Unit flux diberikan pada permukaan lereng dengan kondisi batas seepage face review. Sedangkan di bawah lapisan batulempung diberikan kondisi batas no flow sebagai unit flux q = 0 agar terjadi infiltrasi satu arah.

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

12/01/08 01/01/09 02/01/09 03/01/09 04/01/09

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

12/01/09 01/01/10 02/01/10 03/01/10 04/01/10

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

12/01/10 01/01/11 02/01/11 03/01/11 04/01/11

C u m u la ti v e R a in fa ll (m m ) R a in fa ll In te n s ity (m m /d a y ) Date (month/day/year) Daily Rainfall Accumulated Rainfall 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

12/01/11 01/01/12 02/01/12 03/01/12 04/01/12

(41)
[image:41.595.92.540.73.511.2]

(c)

Gambar 4. 15 (a) Litologi lereng di Kalisonggo,(b) Profil nilai N-SPT, (c) Model lereng dan kondisi batas dalam analisis numerik.

Model analisis transient dimana tekanan air pori awal dibangkitkan dari muka air tanah dilakukan dalam interval waktu 1 hari selama 30 hari. Pada penelitian ini, kondisi muka air tanah awal divariasikan 1 m, 2 m, 3 m, 4 m, 5 m, dan 10 m. Untuk mengetahui pengaruh muka air tanah terhadap perubahan tekanan air pori dan stabilitas lereng, ditinjau dari 3 titik di masing-masing potongan yaitu di bagian atas bidang keruntuhan (A), di tengah bidang keruntuhan (B), dan di kaki bidang keruntuhan (C).

Analisis stabilitas lereng dimodelkan dengan SLOPE/W (Geoslope International, 2007b) yang didasarkan pada konsep keseimbangan batas (limit equilibrium). Stabilitas lereng dihitung dengan menggunakan metode Morgenstern – Price (MP) dimana bidang keruntuhan lereng telah ditentukan (fully-specified slip surface). Bidang keruntuhan seperti ditunjukkan pada Gambar 4.14b. Tekanan air pori dari SEEP/W diperhitungkan dalam tegangan geser

BH1 BH2 BH3

BH4

BH5

BH6 BH7

BH8

Gambar

Gambar 4. 3 Lokasi penelitian di Kulonprogo (Indonesia)
Gambar 4. 5 Distribusi curah hujan harian maksimum Tahun 1998 – 2012 di lokasi Kulonprogo
Gambar 4. 6 Distribusi hujan lokasi Doi Inthanon (a) hujan 5 menitan, (b) hujan jam-jaman, (c) hujan harian
Gambar 4.8 Skema penampang pengujian SWCC menggunakan filter paper.
+7

Referensi

Dokumen terkait

lambat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa laju perubahan nilai suction dan saturation pada lereng yang diakibatkan hujan tergantung pada intensitas hujan yang

PENGARUH CURAH HUJAN HARIAN MAKSIMUM BULANAN TERHADAP STABILITAS LERENG STUDI KASUS DESA MANGUNHARJO KECAMATAN.. JATIPURNO

Untuk melihat terjadinya longsoran akibat kenaikan muka air tanah, maka dilakukan evaluasi terhadap tegangan - regangan yang terjadi pada lereng jalan dengan

Mekanisme yang terjadi adalah perubahan iklim mempengaruhi faktor lingkungan seperti perubahan kualitas lingkungan (kualitas iar,udara, dan makanan), penipisan lapisan

Perubahan tersebut juga diikuti dengan adanya tren peningkatan curah hujan (22%) pada bulan-bulan basah (November-Januari) serta penurunan curah hujan (26%) pada

Kajian gabungan model infiltrasi Green-Ampt dan model stabilitas lereng telah digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh intensitas curah hujan

Dari bagan diatas terlihat bagaimana perubahan iklim (suhu dan curah hujan) berpengaruh terhadap volume produksi (laba dan luas lahan) komoditi kelapa sawit dan kopi, yang

Penelitian ini menganalisis kestabilan lereng karena pengaruh hujan harian maksimum bulanan dengan variasi kemiringan lereng menggunakan Metode Lereng Tak Hingga