• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian awal pengaruh intensitas curah hu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kajian awal pengaruh intensitas curah hu"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Geoaplika (2008)

Volume 3, Nomor 3, hal. 133 – 141

Sri Hartati Soenarmo Imam A. Sadisun Endri Saptohartono

Kajian Awal Pengaruh Intensitas Curah Hujan Terhadap Pendugaan Potensi Tanah Longsor Berbasis Spasial di Kabupaten Bandung, Jawa Barat

Diterima : 10 Juni 2008 Disetujui : 1 Agustus 2008 © Geoaplika 2008

Sri Hartati Soenarmo * Sains Atmosfer, FITB – ITB Jl. Ganesha 10, Bandung E-mail: hartati@geoph.itb.ac.id

Imam A. Sadisun KK Geologi Terapan FITB – ITB

Jl. Ganesha 10, Bandung E-mail: imam@gc.itb.ac.id

Endri Saptohartono Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB

Jl. Ganesha 10, Bandung E-mail: endri-s@yahoo.com

* Alamatkorespondensi

Sari – Bencana tanah longsor di Indonesia umumnya terjadi pada musim penghujan. Hujan memicu tanah longsor melalui penambahan beban lereng dan penurunan kuat geser tanah. Kajian gabungan model infiltrasi Green-Ampt dan model stabilitas lereng telah digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh intensitas curah hujan terhadap stabilitas lereng secara spasio-temporal di Kabupaten Bandung. Kajian model infiltrasi Green-Ampt digunakan untuk mengetahui besarnya air hujan yang masuk ke dalam tanah. Kajian stabilitas lereng dilakukan dengan menggunakan model matematik 2-dimensi, lereng tak hingga, dengan pendekatan kesetimbangan batas dan bidang gelincir. Lebih lanjut, kajian gabungan model infiltrasi dan model stabilitas lereng telah digunakan untuk estimasi waktu ketidakstabilan lereng setelah hujan turun.

Dalam penelitian ini telah dilakukan kajian terhadap tiga tekstur tanah yang berbeda, yaitu tanah pasir, tanah lempung, dan tanah liat. Hasil yang diperoleh merupakan peta kerawanan dugaan stabilitas lereng secara spasio-temporal di Kabupaten Bandung pada saat 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam setelah hujan turun untuk berbagai tekstur tanah yang berbeda.

Kata kunci:, model infiltrasi, tanah longsor, intensitas curah hujan, stabilitas lereng

Abstract – Landslide disasters in Indonesia usually occur during the rainy season. Rainfall triggers the landslides by giving additional loading and reducing shear strength of soils. A combined assessment of the Green-Ampt infiltration model and infinite slope stability model are adopted in this study to analyze the influence of the rainfall intensity to the spatio-temporal slope stability at Bandung Regency. The Green-Ampt infiltration model is applied to measure the amount of rain water infiltration into the soil. Meanwhile, the slope stability analysis using 2-dimensional mathematics model, infinite slope, with limit unstable after the rainfall.

This study is run for three different soil textures, which are sand, clay, and mud. The investigation results are the spatio-temporal maps of landslide susceptibilities at Bandung Regency on 15, 30, 45 minutes, and 1 hour after the rainfall for those different soil textures.

(2)

Pendahuluan

Indonesia yang beriklim marin-monsun tropis diketahui memiliki karakteristik curah hujan rata-rata tinggi (Ramage, 1968; Nakamura dkk., 1994; Soenarmo, 2007). Curah hujan merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya tanah longsor (Kawamoto dkk., 2000; Iverson, 2000; Lan dkk., 2003). Tingginya intensitas curah hujan dapat menambah beban pada lereng sebagai akibat peningkatan kandungan air dalam tanah, yang pada akhirnya memicu terjadinya longsoran (Pierson, 1980; Huang dan Lin, 2002).

Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dikarakterisasi melalui penentukan lokasi, ukuran dan waktu terjadinya tanah longsor (Iverson dan Major, 1986; Iverson, 2000). Di samping itu, penelitian mengenai pengaruh curah hujan terhadap stabilitas lereng telah menjadi topik penelitian cukup intensif di dunia (Yin dkk., 2002; Guzzetti dkk., 2005). Beberapa pendekatan secara empiris telah digunakan dalam menentukan kerawanan bencana tanah longsor akibat pengaruh intensitas dan durasi curah hujan (Caine, 1980). Meskipun demikian, masih ditemukan kesulitan dalam mengukur besaran infiltrasi curah hujan yang mampu mempengaruhi stabilitas lereng (Pradel dan Raad, 1993; Gasmo dkk., 2000). Oleh sebab itu, penelitian tentang pengaruh curah hujan dalam memicu terjadinya tanah longsor dengan penekanan pada kajian stabilitas lereng perlu dilakukan.

Dari sisi metodologi, kajian stabilitas lereng dengan menggunakan model matematik 2-dimensi, lereng tak hingga, telah banyak digunakan (Xie dkk., 2001; Cho dan Lee, 2002; Zhou dkk., 2003) dan telah divalidasi untuk tanah longsor dangkal. Namun, pendekatan tersebut masih belum mampu menjawab kebutuhan kerawanan tanah longsor secara spasio-temporal. Untuk alasan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh intensitas curah hujan terhadap stabilitas lereng secara spasio-temporal dengan menggabungkan kajian hidrologi dan kajian stabilitas lereng, dengan mengambil studi kasus di Kabupaten Bandung.

Metode

Inventarisasi faktor penyebab dan faktor pemicu tanah longsor penting untuk dilakukan. Faktor penyebab tanah longsor antara lain meliputi tekstur tanah, geomorfologi (Sadisun dkk., 2006) dan kondisi lereng atau tutupan lahan (Sidle, 1992; Montgomery dan Dietrich, 1994; Wu dan Sidle, 1995). Selain itu, salah satu faktor pemicu yang penting karena pengaruhnya terhadap laju infiltrasi dan infiltrasi kumulatif yaitu intensitas curah hujan yang tinggi. Kedua faktor tersebut dapat digunakan

untuk mengestimasi stabilitas lereng, menentukan daerah rawan tanah longsor, dan selanjutnya mengestimasi waktu terjadinya tanah longsor. Dalam penelitian ini, peta geologi, peta tekstur tanah, peta rupa bumi dan citra satelit Landsat 7-ETM (yang diambil pada tanggal 12 Mei 2001) digunakan untuk melihat profil permukaan Kabupaten Bandung yang dianggap berpotensi tanah longsor. Data intensitas curah hujan PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Saguling 1998, Stasiun Plengan, Stasiun Cileunca, dan Stasiun Cipanunjang, digunakan untuk estimasi intensitas curah hujan di Kabupaten Bandung. Kemudian, data curah hujan harian dari Pusat Penelitian dan Pengambangan Air, Bandung, tahun 2001 digunakan untuk pendugaan infiltrasi curah hujan.

Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan mengkonversi data rupa bumi DEM (Digital Elevation Model) dan kelerengan. Untuk keperluan pengolahan spasial diperlukan data digital tata guna lahan yang diperoleh dari pemrosesan citra satelit dengan metode Maximum Likehood Enhanced. Dalam penelitian ini digunakan citra komposit band 542. Estimasi durasi dan intensitas curah hujan dilakukan berdasarkan data curah hujan harian menggunakan persamaan yang diperoleh dari hasil pengamatan curah hujan terbesar dunia, WMO (World Meteorological Organisation) (Chow dkk, 1988) (Persamaan 1 dan 2).

Karena Persamaan 1 diperoleh dari hasil pengamatan yang berlaku secara global, perlu dilakukan modifikasi untuk memperoleh nilai durasi dan intensitas curah hujan yang sesuai dengan karakteristik daerah penelitian.

(3)

1 f i

dengan f = laju Infiltrasi (mm/jam), FF = kedalaman infiltrasi total (m), t = waktu (jam), Ks = konduktivitas hidrolik jenuh tanah (mm/jam), ψf = parameter penyerapan batas pembasahan tanah Green-Ampt (mm), i= beda air tanah (mm3/mm3), dan Zw = kedalaman bidang pembasahan (m). Dalam menentukan stabilitas lereng telah digunakan pendekatan model matematika 2-dimensi, lereng tak hingga (Crosta 1998; Cho dan Lee, 2002), sebagaimana terlihat dalam Persamaan 5. Stabilitas lereng dinyatakan dengan faktor keamanan (factor of safety) yang merupakan rasio antara gaya atau momen yang melawan terjadinya longsoran dan gaya yang melongsorkan (Keller, 2000).

sudut geser dalam efektif.

Parameter tekstur tanah yang digunakan dalam model seperti terlihat pada Tabel 1 yaitu contoh tabel properti hidrolik dan geomekanik untuk tanah pasir, tanah lempung, dan tanah liat (Rawls dkk., 1983; Ogden dan Saghafian, 1997).

Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah menimbulkan tambahan pembebanan pada lereng. Selain itu, dengan terbentuknya bidang batas antara daerah resapan dan daerah di bawahnya, berpotensi menjadi bidang gelinciran tanah longsor. Pada penelitian ini, untuk mempermudah perhitungan digunakan asumsi bahwa keadaan pada bidang pembasahan/gelinciran dianggap jenuh dan hanya properti tanah permukaan yang berpengaruh terhadap stabilitas lereng (Lumb, 1975; Crosta 1998). Penelitian ini merupakan simulasi dengan beberapa skenario pengaruh curah hujan terhadap stabilitas lereng berdasarkan variasi durasi curah hujan 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam, dengan variasi intensitas curah hujan 10.4 mm/jam (minimum), 20 mm/jam, 40 mm/jam, 80 mm/jam, dan 100 mm/jam (maksimum), dengan tekstur tanah pasir, tanah lempung dan tanah liat serta pada kemiringan lereng 20%, 30%, dan 40 %, dengan pengaruh tutupan lahan diabaikan.

Hasil dan Pembahasan

Estimasi durasi dan intensitas curah hujan di Kabupaten Bandung, menggunakan modifikasi Persamaan 1 dari data ukur pada tiga stasiun meteorologi tahun 1998, yaitu stasiun Plengan, stasiun Cileunca dan stasiun Cipanunjang. Modifikasi dilakukan secara semi-empiris dengan pengkelasan curah hujan harian (R) untuk menghaluskan hasil estimasi durasi hujan dari data pengamatan, diperoleh Persamaan 6 sampai 12 sebagai berikut:

Hasil estimasi durasi curah hujan terhadap curah hujan harian stasiun Plengan diperoleh korelasi sebesar 0,72 (Gambar 1 (a)), kemudian dilakukan estimasi intensitas curah hujan dengan menggunakan Persamaan 2, diperoleh korelasi sebesar 0,68 (Gambar 1 (b)).

(4)

Stasiun Plengan R = 0,72

Stasiun Plengan R = 0.68

0.0 .Gambar 1.Hasil estimasi durasi (a) dan intensitas curah hujan (b) stasiun Plengan.

Laju Infiltrasi (mm/jam)

Infiltrasi Kumulatif (mm) i max = 100 mm/jam ; d = 1 jam

Gambar 2. Lengkungan estimasi laju infiltrasi (a) dan infiltrasi kumulatif (b), masing-masing untuk tekstur tanah pasir, tanah lempung dan tanah liat.

Tabel 1. Properti hidrolik dan geomekanik tekstur tanah pasir, tanah lempung, tanah liat (Rawls dkk, 1983; Ogden dan Saghafian, 1997; Xie dkk, 2004)

(5)

Tabel 2. Kedalaman bidang pembasahanZw tiap tekstur tanah berbagai kemiringan lereng Kedalaman Bidang Pembasahan (m)

Tekstur Tanah

Kemiringan Lereng (derajat)

10 20 30 40

Pasir 4,9 0,8 0,5 0,4

Lempung 10,2 2,8 1,8 1,4

Liat 79,1 26,4 17,3 14,4

Tabel 3. Estimasi waktu kritis lereng menjadi tidak stabil (dalam jam).

Tekstur Tanah Pasir Tanah Lempung Tanah Liat

Tanah Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng

Intensitas

Factor of Safety T. Lempung i max = 1000 mm/jam ; d = 1 jam

Gambar 3. Lengkungan estimasi kedalaman bidang pembasahan (a) dan stabilitas lereng berdasarkan faktor keamanan/FS (b) untuk berbagai kemiringan lereng.

Kemampuan simulasi model infiltrasi Green-Ampt yang sederhana dan stabil (Qi, 2006) telah digunakan dalam penelitian ini untuk menunjukan profil laju infiltrasi tiap tekstur tanah. Dalam model Green-Ampt, profil kandungan air tanah ditunjukkan dengan tipe piston (bidang batas pembasahan, Zw). Suction head pada bidang batas pembasahan dianggap konstan, di atas bidang batas pembasahan Ks dianggap konstan, kondisi ini tanah dianggap jenuh dari permukaan hingga bidang batas

pembasahan. Gambar 3 (a) merupakan lengkungan kedalaman bidang pembasahan (Zw) terhadap waktu dari tiga tektur tanah, pada intensitas curah hujan maksimum (100 mm/jam) dan durasi 1 jam.

(6)

1998). Kedalaman Zw tiap tekstur tanah dan berbagai kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar 3 (b) adalah lengkungan faktor keamanan (FS) tanah lempung terhadap waktu pada berbagai kemiringan lereng, 1 jam setelah hujan turun. Lengkungan faktor keamanan digunakan untuk menentukan stabilitas lereng pada berbagai intensitas curah hujan, jenis tekstur tanah dan berbagai kemiringan lahan (Iverson, 1991). Lereng dikatakan kritis jika FS = 1. Tiap tekstur tanah memberikan reaksi yang berbeda-beda dalam kecepatan untuk mencapai kondisi kritis. Nilai faktor keamanan terus berkurang terhadap waktu akibat penambahan air ke dalam tanah.

Lereng dalam kondisi kritis dapat dikatakan sebagai kondisi rawan (saat lereng menjadi tidak stabil) terjadinya tanah longsor, sehingga estimasi waktu lereng kritis menjadi penting. Tabel 3 menunjukkan hasil estimasi waktu kritis lereng (dalam jam), pada intensitas 10.4 mm/jam, 20 mm/jam, 50 mm/jam, 80 mm/jam, dan 100 mm/jam, pada kemiringan lereng 10%, 20%, 30%, dan 40%, serta dengan tekstur tanah pasir, tanah lempung, dan tanah liat. Semakin tinggi kemiringan lereng, semakin cepat waktu kondisi kritis tercapai. Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi kemiringan lereng akan meningkatkan tegangan geser tanah yang merupakan fungsi dari kemiringan lereng dan berat lereng. Pengaruh besarnya curah hujan belum tentu mempercepat terjadinya kerawanan, hal tersebut dikarenakan adanya proses genangan, sehingga kandungan air akan berbeda-beda pada tiap tanah tergantung pada besarnya infiltrasi.

Kehandalan model infiltrasi Green-Ampt dalam menduga kedalaman Zw, dan merupakan bidang gelincir model stabilitas lereng tak hingga, telah mampu digunakan untuk menduga waktu kritis terjadinya tanah longsor. Aplikasi lanjutan dari gabungan kajian hidrologi dan geoteknik ini adalah untuk menghasilkan peta dugaan spasio-temporal kerawanan tanah longsor. Hasil ekstrapolasi untuk memperoleh peta spasio-temporal kerawanan tanah longsor ditampilkan pada Gambar 4, digunakan

untuk menduga perkembangan stabilitas lereng atau daerah kerawanan tanah longsor di Kabupaten Bandung, 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam setelah hujan turun, dengan klasifikasi faktor keamanan FS <1 (longsor), FS = 1 - 1,5 (rawan/kritis), dan FS = 1,5 - 2,0 (stabil).

Gambar 5 menunjukkan distribusi spasial waktu kritis terjadinya tanah longsor di Kabupaten Bandung pada berbagai tutupan lahan, 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam setelah hujan turun. Terlihat bahwa daerah yang sangat rawan tanah longsor terhadap bencana tanah longsor tersebar di bagian tepi daerah studi, yaitu bagian utara, sekitar Lembang dan Maribaya, sebagian Pacet, Cicalengka, dan Ciwidey. Sementara itu, daerah yang berpotensi tanah longsor adalah pada deretan Gunung Malabar sekitar Pangalengan dan Gambung. Berdasarkan data kejadian tanah longsor dari Pusat Vulkanologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (Soedradjat, 2006), terlihat bahwa simulasi dalam penelitian ini telah mampu memberikan pendugaan daerah rawan tanah longsor di Kabupaten Bandung dengan cukup baik.

Kesimpulan

Dari seluruh hasil model, perhitungan dan simulasi skenario kajian awal pengaruh intensitas curah hujan terhadap kerawanan tanah longsor di Kabupaten Bandung dapat disimpulkan bahwa :

1. Gabungan model stabilitas infinite slope 2-dimensi dan model infiltrasi serta analisis spasial menghasilkan peta dugaan spasio-temporal tentang stabilitas lereng pada berbagai kemiringan lereng berdasarkan nilai keamanan FS.

(7)

Gambar 4. Stabilitas lereng 15 menit (a), 30 menit (b), 45 menit (c), dan 1 jam setelah hujan.

(8)

Daftar Pustaka

Caine, N., 1980. The rainfall Intensity–duration control of shallow landslides and debris flows. Geografiska Annaler, 62A (1-2): 23-27.

Cho, S. E. dan Lee, S. R., 2002. Evaluation of surficial stability for homo-geneous slopes consi-dering rainfall charac-teristics. J. Geotech Geoenv., ASCE, 128 (9): 756 - 763.

Chow, V. T., Maidment, D. R. dan Mays, L.W., 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill.

Crosta, G., 1998. Regionalization of rainfall thresholds: an aid to landslide hazard evaluation. Environ. Geol., 35(2–3): 131– 145.

Espinoza, R. D., 1999.

Infiltration, The Hand

book of Ground-water Engineering. Chemical Rubber Corp., Boca Raton, Fla.

Fredlund, D. G., Morgenstern, N. R., dan Widger, R. A., 1978. The shear strength of unsaturated soils. Can. Geotech. J., 15: Definitions of Critical Threshold for Different Scenatios. RISK AWARE Action 1.16, IRPI CNR, Perugia, Italy.

Huang, L. J. dan Lin, X. S., 2002. Study on landslide related to rainfall. Journal of Xiangtan Normal University (in Chinese, Natural Science Edition), 24(4): 55 62. Christchurch, New Zealand, Balkema, Amsterdam, hal. 451– 457.

Iverson, R. M., 2000. Landslide triggering by rain infiltration. Water Resources Research, 36(7): 1897–1910. Iverson, R. M. dan Major, J. J.,

1986. Groundwater seepage vectors and the potential for hillslope failure and debris flow mobilization. Water Resources Research, 22(11): 1543–1548. Kawamoto, K., Oda, M., dan

Suzuki, K., 2000. Hydro-geological study of landslides caused by heavy rainfall on August 1998 in Fukushima, Japan. Journal of Natural Disaster Science, 22(1): 13–23.

Keller, E. A., 2000. Environmental Geology. 8th Edition, Prentice Hall.

Lan, H. X., Zhou, C. H., Lee, C. F., Wang, S., dan Wu, F. Q., 2003. Rainfall-induced landside stability analysis in response to transient pore pressure. Science

in China Series, Technological Sciences, 46: 52-68. Hong Kong, hal. 73–87. Lumb, P., 1975. Slope failures in

Hong-Kong. Q. J. Eng Geol., 8: 31–65.

Montgomery, D. R. dan Dietrich, W. E., 1994. A physically based model for the topographic control on shallow landsliding. Water Resour. Res., 30: 1153– 1171.

Nakamura, K., Noerdjito, W. A., dan Hasyim, A., 1994. Regional difference and seasonality of rainfall in Java, with special distribution. J Irrigation

and Drainage

Engineering, ASCE, 123(5): 386–393. Pierson, T. C., 1980. Piezometric

response to rainstorms in forested hillslope drainage depressions. Journal of Hydrology (New Zealand), 19: 1– 10.

Pradel, D. dan Raad, G., 1993. Effect of permeability on surficial stability of homogeneous slopes. J. Geotech. Eng., 119(2): 315–332.

(9)

Infiltration Simulation.

Department of

Agricultural Engineering.

Ramage, C. S., 1968. Role of a tropical “maritime continent” in the atmospheric circulation. Mon. Wea. Rev., 96: 365−370.

Rawls, W. J., Brakensiek, D. L. dan Miller, N., 1983. Green–Ampt infiltration parameters from soils data. J. Hydraul. Eng., 109(1): 62–70.

Sadisun, I. A., Kartiko, R. D. dan Adianto, A. Y., 2006. Landslide frequency analysis in a mountainous area of Weninggalih, West Java, Indonesia; a technical note. Proc. The 35th IAGI Annual Convention and Exhibition, Pekanbaru, Riau, 6 pp.

Sidle, R. C., 1992. A theoretical model of the effects of timber harvesting on slope stability. Water

Resour. Res., 28: 1897– 1910.

Soedradjat, G. M., 2006. Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Soenarmo, S. H., 2007. The ecohydrogeometeorolog ical analysis for Bandung Basin based on the rainfall characteristics and satellite image processing. Proc. Groundwater

Management and Water Resourses Conference, MHI - Bali.

Wu, W. dan Sidle, R. C., 1995. A distributed slope stability model for steep forested basins. Water Resour. Res., 31: 2097– 2110.

Xie, M., Zhou, G., dan Esaki, T., 2001. Landslide hazard assessment using Monte Carlo simulation based on GIS. In: The 10th International

Conference of IACMAG, Arizona, pp. 169–173.

Xie, M., Esaki, T., dan Cai, M., 2004. A time-space based approach for mapping rainfall-induced shallow landslide hazard. Environmental Geology, 46: 840–850.

Yin, Q. L., Wang, Y., dan Tang,

Z. H., 2002.

Mechanism and

dynamic simulation of

landslide by

precipitation.

Geological Science and Technology Information (in Chinese), 21(1): 75– 78.

Zhou, G., Esaki, T., Mitani, Y., Xie, M., dan Mori, J.,

2003. Spatial

(10)

Jurnal Geoaplika (2008)

Volume 3, Nomor 3, hal. 133 – 141

Gambar

Gambar 2. Lengkungan estimasi laju infiltrasi (a) dan infiltrasi kumulatif (b), masing-masing untuk tekstur tanah pasir, tanah lempung dan tanah liat
Tabel 2.  Kedalaman bidang pembasahan Zw tiap tekstur tanah berbagai kemiringan lereng
Gambar 5. Distribusi waktu kritis pada saat lereng tidak stabil.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka mewujudkan visi dan misi dalam tahun 2019, Kantor Camat Muara Tabir Kabupaten Tebo telah merencanakan dan melaksanakan 28 ( dua puluh delapan )

fenomena remaja dewasa sekarang ini sangat tidak terkendali dalam menggunakan smart phone yang akan berdampak buruk terhadap psikologis anak jika tidak dimanfaat

Kemudian, Iskandar memberi ciri-ciri utama penelitian kualitatif, yaitu peneliti terlibat langsung dengan setting sosial penelitian, bersifat deskriftif, menekankan

Namun seiring dengan perkembangan teknologi maka ada beberapa modifikasi pada masing- masing stasiun pengolahan, untuk mendapatkan hasil yang optimal.oleh karena itu, disini

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan,

Batuan ini pada awalnya mengalami proses terombakan kemudian tererosi menjadi suatu material sedimen yang lepas lalu tertransportkan dengan jarak

Hal ini dapat diamati pada kehidupan sehari-hari masyarakat yang selalu mencari informasi mengenai tingkat bunga yang tercipta didalam pasar uang mereka