• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOG) Terhadap Kejahatan Carding Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOG) Terhadap Kejahatan Carding Di Indonesia"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ...1

1.2 Identifikas Masalah...9

1.3 Pembatasan Masalah ...10

1.4 Perumusan Masalah ...10

1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...10

1.5.1 Tujuan Penelitian ...10

1.5.2 Kegunaan Penelitian ...11

1.6 Kerangka Pemikiran, Hipotesis dan Definisi Operasional ...11

1.6.1 Kerangka Pemikiran ...11

1.6.2 Hipotesis ...24

1.6.3 Definisi Operasional ...25

1.7 Metodelogi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ...26

1.7.1 Metodelogi Penelitian ...26

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ...26

(2)

1.9 Sistematika Pembahasan……….……….28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Internasional………..…....30

2.2 Hukum Internasional ………..………...….33

2.2.1 Pengertian dan Proses Ratifikasi Hukum Internasional Ke Hukum Nasional ... 37

2.2.2 Pengertian Ratifikasi ... 38

2.2.3 Tujuan Ratifikasi ... 39

2.2.4 Prosedur Ratifikasi ... 41

2.3 Teori Kriminologi………..………..…….…….. 42

2.4.1 Uraian Mengenai Teori Kriminologi ………....……...……... 45

2.4.2 Ruang Lingkup Kriminologi ……….……....………. 46

2.4.3 Objek Kriminologi ………...…...46

2.4.4.1 Teori Bio-Sosiologis ………...………..…47

2.4.4.2 Teori Kontrol Sosial dan Containment ...48

2.4.4.3 Teori Association Differencial social versi 1947 ...53

2.4.4.4 Teori Labeling...54

BAB III OBJEK PENELITIAN 3.1 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime ...58

3.1.1 Asas Hukum Untuk Dunia Cyber ………...……...… 60

(3)

3.2 Fenomena Carding Di Indonesia ………… ……… …………...….. 67

3.2.1 Pemahaman Mengenai Tindakan Carding ………....……….……....…74

3.3Proses Penangulangan Masalah Carding Yang Bersifat internasional …...…81

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Hubungan Antara Transnational Orgainized Crime Dengan Cyber Crime Khususnya Carding ………..…………...…... 84

4.2 Kerjasama Internasional Apakah Yang Telah Dilakukan Indonesia Dalam Mengatasi Masalah Cyber Crime Khususnya Carding... 85

4.3 Tingkat Kejahatan Carding Di Indonesia Sebelum Indonesia Ikut Meratifikasi Transnational Orgainized Crime Dalam Bentuk Undang-Undang NO 5 Tahun 2009...95

4.4.1 Hubungan Undang-Undang No 20 tahun 2003 Tentang Pencucian Uang dengan Cyber Crime Terutama Carding... 104

4.4.2 Cybercrime Dan Penegakan Hukum Positif Di Indonesia... 105

4.4.3 Kitab Undang Undang Hukum Pidana ... 105

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan………...……….101

5.2 Saran………...………....106

5.2.1 Saran Teoritis ...107

5.2.2 Saran Praktis ...108

(4)
(5)

NIM : 44305010

JUDUL : PENGARUH UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST

TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (UNCATOC)

TERHADAP KEJAHATAN CARDING DI INDONESIA

Disahkan : Bandung, Agustus 2009

Menyetujui, Pembimbing

Andrias Darmayadi, S.IP.,M.Si.

NIP. 4127 35 32 002

Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik UNIKOM

Prof. Dr. J.M.Papasi NIP. 4127.70.00.011

Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hubungan Internasional

Dewasa ini Hubungan Internasional merupakan disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang sedang tumbuh. Proses ini pula mengandung arti sedang berkembang dan sekaligus menunjukkan bahwa bentuk finalnya belum tercapai. Pada dasarnya Hubungan Internasional merupakan interaksi antar aktor suatu negara dengan negara lainnya. Pada kenyataannya Hubungan Internasional tidak terbatas hanya pada hubungan antar negara saja, tetapi juga merupakan hubungan antar individu dengan kelompok kepentingan, sehingga negara tidak selalu sebagai aktor utama tetapi merupakan aktor yang rasional yang dapat melakukan hubungan melewati batas negara.

Hubungan antara Amerika Serikat dan Indonesia merupakan salah satu contoh dari sekian banyak fenomena yang terjadi dalam Hubungan Internasional, aktor hubungan internasional bisa saja merupakan merupakan state actor atau juga aktor non state actor, seperti yang diungkapkan oleh Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani dalam bukunya Pengantar Ilmu Hubungan Internasional:

“Hubungan Internasional didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antar beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara, organisasi internasional, organisasi non -pemerintah, kesatuan sub-nasional seperti birokrasi dan pemerintah domestik serta individu-individu” (Perwita dan Yani 2005: 4).

(7)

Studi hubungan internasional merupakan sebuah bidang studi yang dinamis. Penyebabnya adalah dinamika yang terjadi dalam negara internasional itu sendiri. Hubungan-hubungan atau interaksi antar negara merupakan hal yang paling mendasar dalam hubungan internasional, hal ini dapat dipertegas dengan melihat definisi dari hubungan internasional, yakni hubungan internasional mengacu pada semua bentuk interaksi antara anggota masyarakat yang berlainan, baik disponsori pemerintah maupun tidak.

Menurut Teuku May Rudy dalam bukunya Teori, Etika dan Kebijakan Hubungan Internasional yaitu:

“Hubungan Internasional adalah mencangkup berbagai macam hubungan atau interaksi yang melintasi batas-batas wilayah negara dan melibatkan pelaku-pelaku yang berbeda kewarganegaraan berkaitan dengan segala bentuk kegiatan manusia. Hubungan ini dapat berlangsung baik secara kelompok, maupun perorangan resmi maupun tidak resmi dengan kelompok atau perorangan dari bangsa atau negara lain” (1993: 3).

Dalam kerangka pemikiran digunakan teori hubungan internasional disebabkan oleh suatu hubungan antara negara di perlukan konteks pemahaman terhadap suatu negara tersebut. Dalam melakukan hubungan antara negara dengan negara yang lain yang berperan dalam hubungan antara negara tersebut bukan hanya negara tapi dalam melakukan suatu hubungan dengan negara lain non state actor juga dapat melakukan hubungan dengan negara lain.

Hubungan internasional berawal dari kontak dan interaksi di antara negara-negara di dunia, terutama dalam masalah politik. Namun, seiring dengan perkemban gan zaman, isu-isu internasional mengalami perkembangan. Negara

(8)

atau pun non state actor mulai menunjukkan ketertarikannya akan isu-isu internasional di luar isu politik, seperti isu ekonomi, pendidikan, kesehatan, perdagangan, lingkungan hidup, sosial dan kebudayaan.

Istilah hubungan internasional memiliki keterkaitan erat dengan semua bentuk interaksi di antara masyarakat dari setiap negara, baik oleh pemerintah atau rakyat dari negara yang bersangkutan. Dalam mengkaji ilmu hubungan Internasional, yang juga meliputi kajian ilmu politik luar negeri atau politik internasional, serta semua segi hubungan di antara negara-negara di dunia, juga meliputi kajian terhadap lembaga perdagangan internasional, pariwisata, transportasi, komunikasi dan perkembangan nilai-nilai dan etika internasional.

Hubungan internasional dapat dilihat dari berkurangnya peranan negara sebagai aktor dalam politik dunia dan meningkatnya peranan non state actor. Batas-batas yang memisahkan bangsa-bangsa semakin kabur dan tidak relevan. Bagi beberapa aktor non-negara bahkan batas-batas wilayah secara geografis tidak dihiraukan. Dengan adanya berbagai interaksi dalam dunia internasional membuat negara harus saling berlomba dan berpartisipasi dalam dunia internasional. Hubungan Internasional dapat dimaknai sebagai interaksi yang melibatkan fenomena sosial, menyangkut aspek ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan, yang melintasi batas nasional suatu negara antara aktor-aktor baik yang bersifat pemerintah maupun non-pemerintah, termasuk kajian mengenai kondisi-kondisi relevan mengitari interaksi tersebut.

(9)

2.2 Hukum Internasional

Dalam suatu tatanan internasional tidak dapt dipisahkan oleh sebuah hukum internasional yang sifatnya mengikat sebuah negara. Walaupun hak sebuah negara untuk ikut meratifikasi sebuah hukum internasional, tapi dalam sebuah hukum internasional sebuah negara dapat memenuhi kepentingan negaranya. Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.

Defenisi mengenai hukum internasional yang dikemukakan oleh Starke dapat didefinisikan sebagai

”keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-haidan perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat menaati, dan karenanya, benar-benar di taati secara umum dalam hubungan satu sama lain”(Starke, 1992:3)

Untuk mendukung dan menjelaskan definisi mengenai hukum internasional di atas juga meliputi :

1. Kaidah-kaidah hukum yang berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain dan hubungan dengan negara-negara dan individu.

2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan denngan individu-individu dan badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.

(10)

Dalam penerapanya hukum internasional memiliki beberapa sumber materil berdasarkan penggolongannya, penggolongan sumber hukum internasional meliputi beberapa bagian yaitu:

1. Penggolongan menurut Pendapat Para sarjana Hukum Internasional Para sarjana Hukum Internasional menggolongkan sumber hukum internasional yaitu, meliputi:

1. Kebiasaan. Hukum internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasan. Kaidah-kaidah-kaidah ini pada umunnya telah menjadi suatu proses seharah yang kemudian telah mengalami pengakuan oleh masyarakat internasional. Suatu kebiasaan tradisional yang besar akirnya membentuk suatu traktat dam menjadi sebuah hukum.

2. Traktat. Pengaruh dari suatu terktat dalam memberi arahan terhadap pembentukan kaidah-kaidah internasional bergantung pada sifat traktat yang bersangkutan. Dalam kaitan ini perlu kiranya dibuat perbedaan, meskipun tidak bersifat kaku, diantaranya:

• Traktat-traktat yang membuat hukum (law-making) yang

menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku secara universal dan umum

• Traktat-traktat kontrak (treaty contracs) misalnyasuatu

traktat (perjanjian) antara dua atau beberapa negara yang

(11)

melakukan seuatu bentuk kejasama untuk memenuhi suatu kepentingan dalam suatu negara.

3. Keputusan pengadilan. Pengadilan yudisial internasional permanen yang memiliki yurisdiksi umum adalah International Court of

justice sejak tahun 1946 yang menggantikan kedudukan permanen

Court of international justice yang dibentuk pada tahun 1921.

4. Karya-karya Hukum. Karya-karya hukum bukan suatu sumber hukum yang dapat berdiri sendiri walaupun terkadang sebuah opini hukum mengrahkan pada pembentukan sebuah hukum internasional. Menurut laporan pada sebuah badan ahli Liga Bangsa-Bangsa (yang saat ini diganti menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa) berpendapat bahwa sebuah opini hukum hanya penting sebagai suatu sarana guna menjelaskan kaidah-kaidah hukum internasional. Opini hukum tidak dngan sendirinya mempunyai otoritas, meskipun bisa menjadi sebuah otoritatif apabila kemudian diimasukan dalam kaidah hukum internasional 5. Keputusan Atau Ketetapan Organ-Organ Atau Lembaga

Internasional. Keputusan Atau Ketetapan Organ-Organ Atau Lembaga Internasional dapat membawa arah pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional berbagai cara yang berlainan yaitu:

• Keputusan atau ketetapan merupakan langkah-langkah

dalam evolusi kaidah kebiasaan khususnya

(12)

kaidah yang mengatur fungsi-fungsi konstitusional dari lembaga-lembaga ini.

• Suatu resolusi lembaga internasional yang secara sah

merumuskan prinsip-prinsip atau pengaturan-pengaturan bagi tugas intern dapat memiliki daya berlaku hukum secara penuh sebagai kaidah-kaidah yang di tetapkan mengikat angota-angota lembaga tersebut.

2. Penggolongan menurut Pasal 38 (1) Mahkamah Internasional Sumber Hukum Internasional menurut ketentuan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah terdiri dari :

1. Perjanjian Internasional (International Conventions). Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama, sehingga dengan demikian Hukum Internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara. Namun dalam konverensi wina pada tahun 1969 perjanjian internasional diartikan “perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisi

2. Ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum”. (http://www .theceli.com/index.php?option=com_docman&task=doc_download &gid=248&Itemid=26)

(13)

3. Kebiasaan International. Kebiasaan internasional adalah kenyataan dari praktek umum yang diterima sebagai hukum dalam kancah internasional. Kebiasaan internasional merupakan pengetahuan yang sangat penting untuk sebuah hukum internasional, dalam kebiasaan internasional terdapat dua unsur yaitu:

• Unsur materil berupa praktik penangulangan tindakan,

bisa diklasifikasikan sebagai sebuah kebiasaan.

• Unsur psikologis, dimana tindakan itu memang sudah

seharusnya dilakukan untuk pemenuhan kewajiban yuridis yang tidak termuat dalam sebuah norma tertulis, atau disebut dengan opinion iuris sivencessitatis.

3. Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara- negara beradab.

4. Keputusan Pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui

(Theachings of the most highly qualified publicists). (http://www

.kamushukum.com/kamushukum_entries.php?_kebiasaan%20inter nasional_&ident=5320).

2.2.1 Pengertian dan Proses Ratifikasi Hukum Internasional Ke Hukum Nasional

Sebagai suatu sistem hukum, Hukum Internasional mempunyai beberapa sumber, seperti yang dinyatakan dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, bahwa bagi Mahkamah Internasional yang tugasnya memberi

(14)

keputusan sesuai dengan Hukum Internasional untuk perselisihan yang diajukan kepadanya, akan berlaku :

1. Perjanjian-perjanjian Internasional, baik yang umum maupun yang khusus, yang dengan tegas menyebut ketentuan-ketentuan yang diakui oleh negara-negara yang berselisih.

2. Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktek-praktek umum yang diterima sebagai hukum.

3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa.

4. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran Sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber hukum tambahan.

2.2.1.1 Pengertian Ratifikasi

Ratifikasi atau tanda-tanda yang dilakukan oleh wakil-wakil negara yang turut serta dalam perundingan telah dikenal sejak zaman dahulu, yaitu ketika kepala negara merasa perlu meyakinkan dirinya bahwa wakil/utusan negara yang diberi kuasa penuh itu tidak melampaui batas-batas wewenangnya. Kesulitan berkomunikasi secara tepat waktu itu menyebabkan kepala negara yang bersangkutan tidak dapat terus menerus mengikuti gerak langkah para utusan yang dikirimkannya, sehingga ratifikasi dirasakan perlu sebelum kepala negara dapat mengikat negaranya pada suatu perjanjian internasional. Pada zaman sekarang dengan semakin mudahnya komunikasi berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi alasan di atas sudah mulai berkurang, dan timbul alasan lain untuk mempertahankan lembaga ratifikasi yaitu timbulnya pemerintahan-pemerintahan demokrasi parlementer. Pada saat sekarang ratifikasi menjadi suatu cara bagi

(15)

Lembaga Perwakilan Rakyat untuk meyakinkan dirinya, bahwa wakil-wakil pemerintah yang turut serta dalam perundingan dan menandatangani suatu perjanjian internasional tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja dalam buku beliau Pengantar Hukum Internasional, yang menyatakan bahwa persetujuan (consent) pada suatu perjanjian yang diberikan dengan penandatanganan itu bersifat sementara dan masih harus disahkan/penguatan demikian itu dinamakan ratifikasi.

2.2.1.2 Tujuan Ratifikasi

Sebagaimana diutarakan dimuka bahwa pengesahan suatu perjanjian yang dilakukan oleh wakil atau utusan negara yang turut serta dalam perundingan itu bertujuan untuk meyakinkan diri dari kepala negara yang bersangkutan, bahwa para utusan negara tidak melampau batas-batas kewenangannya. Atau dengan kata lain ratifikasi betujuan untuk memberikan kesempatan kepada negara-negara perserta guna mengadakan peninjauan serta pengamatan secara seksama, apakah suatu negara terikat oleh perjanjian itu atau tidak.

Ratifikasi biasanya dibuat oleh Kepala Negara yang berkepentingan yang kemudian diteruskan dengan pertukaran nota ratifikasi diantara negara-negara peserta perjanjian. Dalam proses sebelum ratifikasi perjanjian terdapat dua kegiatan, yaitu :

1. Pembentukan kehendak negara melalui hukum konstitusinya.

2. Pernyataan kehendak dalam rangka hubungan internasional sesuai dengan praktek diplomatik yang berlaku.

(16)

Melihat dari dua kegiatan tersebut bahwa ratifikasi mempunyai dua pengertian dan mengesahkan suatu treaty dari segi hukum konstitusi dalam negara itu sendiri. Dalam arti ratifikasi ini adalah persetujuan legislatif atau parlemen sebelum diratifikasi oleh eksekutif berdasarkan konstitusi negara masing-masing.

Ratifikasi dalam arti internasional disebut sebagai ratifikasi yang sebenarnya

ratification proper. Ratifikasi ini diselenggarakan oleh organ eksekutif sesudah

persetujuan Parlemen. Dalam ratifikasi ini organ eksekutif sebagai suatu badan yang mewakili suatu negara berhadapan dengan negara-negara peserta perjanjian lainnya. Pernyataan kehendak suatu negara tercantum dalam dokumen ratifikasi

instrument of ratification yang ditandatangani oleh kepala negara atau Menteri

Luar Negeri atau badan eksekutif, selanjutnya dokumen ini dipertukarkan antara negara yang satu dengan negara peserta perjanjiannya. Untuk perjanjian bilateral ratifikasi disimpan atau dideposit pada suatu negara, sedangkan untuk perjanjian multilateral disimpan di sekretariat suatu organisasi internasional.

Jadi ratifikasi dalam arti internasional adalah suatu kegiatan berupa pertukaran atau penyimpanan dokumen ratifikasi, sejak tanggal pertukaran dokumen tersebut lahirlah kewajiban-kewajiban internasional sebagai efek dari ratifikasi. (library.usu.ac.id/download/fh/hukuminter-Rosmi5.pdf)

Namun dalam suatu negara yang menganut Sistem Pemerintahan

Demokrasi Parlementer ratifikasi itu bertujuan memberikan kesempatan kepada

parlemen untuk meyakinkan dirinya, bahwa wakil pemerintah yang turut serta

dalam perundingan dan penandatanganan perjanjian itu tidak melakukan hal-hal

yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum. Dilihat dari segi praktek

(17)

negara-negara tentang ratifikasi terbukti bahwa ratifikasi diperlukan karena beberapa alasan praktis, antara lain :

1. Negara berhak untuk meneliti terlebih dahulu dokumen dokumen yang ditandatangani oleh utusan-utusannya, sebelum menyatakan diri terikat pada suatu perjanjian internasional.

2. Berlandaskan pada kedaulatannya, setiap negra berwenang untuk tidak ikut serta pada suatu perjanjian dengan membatalkan tanda-tanda wakil-wakil yang berkuasa penuh tersebut dengan cara tidak meratifikasi perjanjian yang bersangkutan.

3. Seringkali perjanjian harus disesuaikan terlebih dahulu dengan hukum nasional. Periode antara penandatanganan dan ratifikasi memungkinkan negara penandatanganan sempat merumuskan amandemen dengan cara merumuskan dalam pasal-pasal tentang reservasi.

Dengan penjelasan tersebut ternyata bahwa ratifikasi bukanlah merupakan satu-satunya cara bagi suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional. Tetapi ratifikasi adalah suatu cara yang paling sering digunakan untuk mengikatkan diri pada perjanjian-perjanjian yang dianggap penting.

2.2.1.3 Prosedur Ratifikasi

Dalam konstitusi banyak negara pada umumnya untuk membuat suatu perjanjian internasional kewenangannya adalah ditangan Badan Eksekutif. Tetapi dalam perundang-undangan nasional berbagai negara sering pula diatur sebelum pengesahan dilakukan terlebih dahulu diperlukan persetujuan Badan Legislatif,

(18)

dan jika persetujuan sudah diperoleh baru kemudian ratifikasi menjadi tahap terakhir dari prosedur pengikatan diri suatu negara pada suatu perjanjian internasional. Menurut Sam Suhaidi dalam “Sebuah analisa sebagai jawaban atas pertanyaan sehubungan dengan Pasal 11 UUD 1945 dalam Majalah Padjadjaran No. 3 tahun 1981, menyatakan bahwa pada pokoknya prosedur ratifikasi ini mencakup dua aspek :

1. Tindakan legislatif, yaitu umumnya dengan jalan Undang-Undang sehingga dengan diundangkannya perjanjian itu, maka perjanjian tersebut menjadi mengikat negara dipandang dari segi hokum nasional. 2. Tindakan eksekutif, yaitu sesudah perjanjian ditandatangani oleh

kekuasaan eksekutif, kemudian perjanjian disampaikan kepada badan legislatif untuk memperoleh persetujuannya, yang umumnya berupa undang-undang. Selanjutnya oleh badan eksekutif dibuatlah piagam ratifikasi, dan prosedur ini baru selesai sesuah diadakan pertukaran piagam ratifikasi. (http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads/2007/01/tran s-v1-n2-artikel1-agust2006.pdf)

2.3 Teori Kriminologi

Dalam suatu bentuk tindakan kejahatan selalu muncul tindakan kejahatan yang baru, baik itu bersifat lokal maupun transnasional. Kejahatan yang bersifat transnasional lebih bersifat organized crime atau biasa di sebut kejahatan terorganisir yang dalam melakuakan tindakan kejahatan selalu terorganiosir agar tindakan kejahatan mereka tidak mudah untuk di ketahui oleh pihak-pihak yang

(19)

berwajib. Dalam perkembangannya sebuah tindakan kejahatan mulai berkembang pada awalnya kejahatan hanya mengandalkan fisik tapi pada perkembangannya tindakan kejahatan pada saat ini telah menggunakan teknologi yang dasarnya digunakan untuk tindakan kejahatan tersebut.

Dalam teori kriminologi terdapat beberapa Mazhab dan perkembangan, yaitu: Mazhab Kartografik, Mazhab sosialis. Berikut penjabaran beberapa Mazhab dalam teori kriminologi.

1. Mazhab Kartografik. Peletak dasar Mazab ini adalah Quetelet Dan AM. Guery penganut mashab ini berpendapat bahwasegala kejahatan sebagai ekpresi kondisi sosial tertentu. sistem pemikiran ini bukan hanya meneliti jumlah kriminalitas secara umum saja tetapi melakukan study khusus tentang Juvenile Delequency (kenakalan Remaja). dan mengenai kejahatan profesional yang ada pada saat itu.

2. Mazhab Sosialis. Mashab ini mengacu pada ajaran marx dan Engels yang telah dimulai sejak tahun 1850 yang didasarkan pada masalah ekonomi. Menurut mashab ini kriminalitas adalah konsekuensi dari masyarkat kapitalis akibat sistem ekonomi yang diwarnai dengan penindasan terhadap kaum buruh, sehingga menciptakan faktor-faktor yang mendorong berbagai penyimpangn termasuk kejahatan sesuai dengan ideologinya. Maka mashab ini menampilkan ajaran masyarakat sosialis

(20)

Teori dalam kriminologi adalah penjabaran secara lebih merinci dari aliran yang ada. Boleh dikatakan, bahwa keberadaan teori adalah perwujudan dari eksistensi aliran itu sendiri :

1. MacroTheory adalah teori yang menjelaskan kejahatan dari

struktur sosial dan dampaknya. Dalam teori ini menjelaskan sebuah tindakan kejahatan yang merupakan hasil dari sebuah srtuktur sosial yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah tindakan kejahatan, dalam teori ini juga menjelaskan dampak dari sebuah tindakan kejahatan yang di hasilkan oleh sebuah srtuktur sosial

2. Micro Theory adalah teori yang menjelaskan mengapa seseorang

melakukan kejahatan. Faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan kejahatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: faktor lingkungan, pendidikan yang kurang baik, ekonomi dan lain-lain.

3. Bridging Theory adalah teori yang menjelaskan kejahatan yang

disebabkan dari penggabungan dari kedua teori yaitu teori

MacroTheory dan Micro Theory. Dalam teori ini memenjelaskan

seseorang melakukan tindakan kejahatan dikarnakan adanya penggabungan dari kedua teori diatas. (http://paijolaw.googlepage s.com/PowerKriminologi2.ppt)

Dari pemaparan di atas disimpulkam beberapa klasifikasi teori kriminologi. Secara garis besar teori kriminologi dikategorikan dalam 3 perspektif yaitu:

(21)

• Kejahatan dari faktor biologis dan psychologis dalam prespektif ini

disimpulkan bahwa seseorang melakukan tindakan kejahatan di sebabkan oleh dua faktor yaitu biologis dan psychologis. Faktor biologis mempengaruhi seseorang melakukan tindakan kejahatan disebabkan oleh faktor keturunan dan faktor psychologis dapat mempengeruhi sesorang melakukan sebuah tindakan kejahatan karna faktor kejiwaan.

• Kejahatan dari faktor sosiologis. Dalam prespektif ini menjelasakan

bahwa seseorang dapat melakukan sebuah tindakan kejahatan disebabkan oleh faktor sosiologis atau pergaulan dalam lingkungan di mana tempat tinggal si pelaku tindakan kejahatan berasal

• Kejahatan dari faktor lainnya. Dalam prespektif ini menjelaskan

tindakan kejahatan dapat disebabkan tidak hanya di pengaruhi oleh faktor biologis, psychologis, dan sosiologis. Tetapi ada juga faktor lain yang mendukung seperti: ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. (http://te.effendi.goog lepages.com/PertemuanVIdanVII.pdf)

2.3.1 Uraian Mengenai Kriminologi

Kriminologi berasal dari istilah: crimino, crimen, crime yaitu kejahatan,

logos yaitu pengetahuan, sehingga Kriminologi berarti: suatu ilmu pengetahuan

yang mempelajari sebab-sebab kejahatan, pelaku kejahatan dan cara menanggulangi kejahatan.

(22)

2.3.2 Ruang Lingkup kriminologi Meliputi :

1. Mempelajari manusia sebagai pelaku kejahatan. dalam cakupan ini menjelaskan bahwa manusia sebagai pelaku utama tindakan kejahatan kriminal.

2. Kejahatan sebagai reaksi dari masyarakat. Kejahatan sebagai reaksi dari masyarakat adalah tindakan yang di lakukan akibat dari ketidakpuasan dalam sebuah struktur masyarakat

3. Reaksi masyarakat terhadap penjahat dan tindakan kejahatan yang di lakukan.

2.3.3 Objek Kriminologi

Dalam teori kriminologi memiliki beberapa objek, diantaranya adalah: 1. Para sarjana penganut aliran hukum

• Penjahat itu adalah mereka yang sudah di putuskan oleh

pengadilan sebagai penjahat karena kejahatan yang dilakukan

• Kejahatan adalah perbuatan yang ditetapkan oleh negara

dalam hukum pidana dan diancam sanksi 2. Para sarjana penganut aliran non yudiris

• Kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang di

ciptakan oleh masyarakat

3. Pandangan kriminologi baru tentang kejahatan, penjahat dan reaksi masyarakat

(23)

• Kejahatan perilaku yang menyimpang dengan melihat

kondisi-kondisi sruktural yang ada dalam masyarakat dan menenpatkan perilaku menyimpang dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik dalam masyarakat. (http://fhuk.unand.ac.Id/handout /krimInolo gi.pps)

Hubungan teori kriminologi dengan pelaku kejahatan carding adalah carding

adalah sebuah bentuk tindakan kejahatan yang mempunyai dunia sendiri yang tidak bisa dilepaskan oleh peranan aspek teknologi dan ilmu pengetahuan yang manfaatnya disalah artikan oleh beberapa orang dalam sebuah masyarakat sehingga ilmu pengetahuan tersebut digunakan untuk sebuah tindakan kriminologi. Selain itu objek-objek kriminologi meliputi beberapa teori yaitu:

2.3.4.1 Teori Bio-sosiologis

Hubungan antara teori Bio-Sosiolagis dan kejahatan cyber dimana seorang pelaku tindakan kejahatan yang dihasilkan dari faktor Bio-sosiologis dan antropologis dalam lingkungan masyarakat. Pendalaman teori ini mengacu pada faktor keturunan, pergaulan dan lingkungan dimana seseorang berada, dalam suatu bentuk kejahatan ke tiga faktor trsebut ikut mendukung proses pelaku kejahatan. Faktor keturunan adalah salah satu faktor penting dalam perkembangan seseorang, dalam kehidupan seseorang peran lingkungan adalah salah satu faktor penting dalam membentuk kepribadian seseorang. Dalam lingkup kejahatan cyber

kedua faktor tersebut yaitu faktor keturunan dan faktor lingkungan dalam proses

(24)

belajar untuk menjadi seorang pelaku tindakan kejahatan cyber dimana proses belajar tersebut dihasilkan dari lingkungan di mana pelaku tersebut berada haql ini disebabkan karena tindakan kejahatan cyber adalah salah satu tindakan yang dihasilkan melalui proses belajar. Proses belajar tersebut di hasilkan bukan cuma dari pendidikan formal tapi juga dari sebuah kebiasaan yang di hasilkan oleh lingkungan.

Teori ini di dibangun oleh Enrico Feryy yang merupakan murid dari Cesare Lombrosso yang berpendapat bahwa suatu bentuk tindakan kejahatan sangat dipengaruhi oleh faktor bakat yang timbul dari segi biologis yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang memberikan pengaruh terhadap seorang individu yang akirnya ikut melakukan sebuah tindakan kejahatan. Sehingga dapat di simpulkan dengan menggunakan rumus yaitu: K=B+L. Dalam rumus ini menjelaskan bahwa sebuah kejahatan (K) merupakan hasil akir dari sebuah bakat (B) yang di pengaruhi oleh faktor lingkungan (L) yang pada akirnya menjadi sebuah tindakan kejahatan. (http://wwwgats.blogspot.com/2008/12/kriminologi-i.html)

Dalam sebuah tindakan kriminal faktor selain faktor biologis lingkungan adalah salah satu faktor penting dan menjadi faktor utama, hal ini disebabkan karena seseorang memulai proses belajar di mulai dari lingkungan dimana dia berada sebelum berlanjut ke tahap yang lebih tinggi.

2.3.4.2 TeoriKontrol Sosial dan Containment

Teori ini menjelaskan tindakan kriminal dapat timbul akibat hilangnya suatu norma sosial atau aturan yang ada dalam suatu lingkungan dimana ia berada

(25)

misalnya: keluarga, sekolah dan kelompok sosial di mana seseorang berada. Hubungan teori ini dengan tindakan kejahatan cyber. Seorang pelaku tindakan kejahatan cyber tidak dapat timbul begitu saja, pelaku kejahatan tersebut harus memulai proses belajar baik melaluli pendidikan formal atau melalui suatu kebiasaan yang di peroleh melalui suatu proses sosialisasi dalam lingkungan dimana pelaku tersebut berada. Kejahatan cyber muncul akibat penyelewengan dari suatu ilmu yang dipelajari untuk suatu perkembangan ilmu komunikasi dan teknologi. Dalam teori ini menjelaskan bahwa sebuah tindakan kejahatan di sebabkan oleh hilangnya sebuah aturan atau norma sosial. Dalam sebuah ilmu dapat di gunakan untuk sebuah kepentingan yang berdampak positif tetapi ilmu tersebut dapat juga di kembangkan untuk suatu tindakan kriminal yang di gunakan untuk mencapai sebuah tujuan yang hasilnya merugikan orang lain baik secara fisik maupun materi.

Dalam teori ini ditujukan pada pembahasan bahwa kejahatan dikaitkan dengan Variabel-variabel yang bersifat sosiologis seperti: keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Dalam arti tatanan dalam keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan sangat berpengaruh terhadap pola tingkah laku seseorang, ketika dalam sebuah keluarga, seseorang mulai mengenal pendidikan, namun pendidikan yang di dapatkan dalam keluarga belumlah formal. Ketika berada di dalam wilayah pendidikan yang formal, sesorang mulai mengenal sebuah kelompok yang dominan di lingkungan dimana mereka tempati. Dalam teori ini menekankan pada norma-norma yang berlaku pada lingkungan keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Akan tetapi norma-norma tersebut dapat

(26)

dilanggar ketika seseorang mulai bergaul dalam sebuah kelompok yang dapat merubah prilaku seseorang yang akirnya dapat menimbulkan

Pada dasarnya teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya, teori kontrol disebabkan tiga macam perkembangan dalam kriminologi.

1. Adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal. Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai kriminologi baru dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat (criminal).

2. Munculnya studi tentang “criminal justice” dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem.

3. Teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku anak atau remaja, yakni selfreport survey. Perkembangan berikutnya, selama tahun 1950-an beberapa teorisi mempergunakan pendekatan teori kontrol terhadap kenakalan remaja. Pada tahun 1951, Albert J. Reiss, Jr menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi dengan hasil penelitian dari aliran Chicago dan menghasilkan teori kontrol sosial. Menurut Reiss, terdapat tiga komponen kontrol social dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu :

(27)

1. A lack of proper internal controls developed during childhood. Dalam komponen pertama di jelaskan bahwa seseorang melakukan tindakan kejahatan dikarenakan kurangnya kontrol internal selama masa kanak-kanak sehingga seorang pelaku kejahatan kurang mendapat pendidikan yang baik.

2. A breakdown of those internal controls. Hilangnya sebuah kontrol internal pada seseorang menyebabkan seorang pelaku kejahatan tidak mengerti apa yang dilakukan sehingga kurang pahamnya pada pola sebuah pendidikan sehingga dapat terjadinya sebuah penyelewengan pada tindakan yang menyebabkan pada sebuah tindakan kriminal. 3. An absense of or conflict in social rules provided by important social

group. Dalam komponen ini ditegaskan hilangnya sebuah norma sosial

atau aturan di sebuah lingkungan dapat menyebabkan terjadinya sebuah tindakan kriminal.

Albert J. Reiss, Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal kontroldan sosial control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok social atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma-norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif. Pada tahun 1957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian Commitment individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi

(28)

penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan. Pendekatan lain digunakan Walter Reckless (1961) dengan bantuan rekannya Simon Dinitz. Walter Walter Reckless menyampaikan Contaiment Theory yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja merupakan hasil (akibat) dari interelasi antara dua bentuk kontrol, yaitu internal dan eksternal. Menurut Walter Reckless,

contaiment internal dan eksternal memiliki posisi netral, berada dalam tarikan

sosial lingkungan dan dorongan dari dalam individu. F. Ivan Nye dalam tulisannya yang berjudul Family Relationsip and Delinquent Behavior

mengemukakan teori kontrol tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan melainkan penjelasan yang bersifat kasuistis. F. Ivan Nye pada hakikatnya tidak menolak adanya unsur-unsur psikologis, di samping unsur subkultur dalam proses terjadinya kejahatan. Sebagian kasus delinkuen, menurut F. Ivan Nye disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang tidak efektif. Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. “Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen,” hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi.

Menurut F Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang memadai akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan keinginan. Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus kuat, uga dengan ketaatan terhadap

(29)

hukum. (http://www.badilum.info/images/stories/artikel/kajian_krisis_dan_analiti s_terhadap_dimensi_teori_teori_kriminologi_dalam_prespektif_ilmu_pengetahua n_hukum_pidana_moderen.pdf)

2.3.4.3 Teori Association Differencial social versi 1947

Hubungan teori Association Differencial social versi 1947 dengan tindakan kejhatan cyber adalah dimana para pelaku dalam melakukan kegiatan kejahatan tersebut terdapat berbagai macam proses pembelajaran mengenai tindakan kejahatan tersebut Pada dasarnya teori ini mengatakan bahwa tingkah laku kriminal adalah suatu tindakan yang dipelajari. Tingkah laku kejahatan tersebut di pelajari baik dari proses sosialisai mau pun dalam proses pendidikan. Namun dalam proses pendidikan yang seharusnya di implementasikan dengan baik dan benar menjadi suatu bentuk kriminal dengan tingkat intelektual yang tinggi.

Dalam teori ini Albert Reis menemukan bahwa kesempatan melakukan perbuatan delinquent (kejahatan) tergantung pada apakah teman-temannya melakukan perbuatan yang sama. Dalam teori ini menyatakan bahwa tindakan kriminal yang dilakukan oleh seorang pelaku kejahatan tidak dapat melakukan tindakan kejahatan itu sendiri tetapi tindakan kejahatan yang dilakukan di lakukan secara bersama-sama dengan individu lain yang berada dalam suatu komunitas dimana pelaku tersebut berada. Dalam kejahatan carding seorang carder tidak bisa melakukan carding secara sendiri, baik dimulai dari proses pembelajaran sampai tahap yang lebih tinggi yaitu proses melakukan tindakan kejahatan

(30)

tersebut dan menghasilkan sebuah hasil dari kegiatan tersebut. (http://paijolaw.go oglepages.com/PowerKriminologi2.ppt)

Dalam kasusnya para pelaku kususnya Cyber Crime adalah sebua dinamika kejahatan yang sangat meresahkan, hal ini disebabkan karena dapat merugikan suatu negara. Dalam melakukan kegiatan nya para pelaku cyber

crime sering melakukan motivasi pembenaran diri dengan alas an ingin

mempraktekan ilmu pengetahuannya yang dipelajari dalam pendidikan formal. Dan ditambah lagi suatu alasan pembenaran yaitu sebagai suatu bentuk mata pencaharian.

Dalam penerapanya teori Association Differencial social versi 1947 mnegedepnkan beberapa pernyataan yaitu suatu tindakan kriminal dihasilakan melalui sebuah proses pembelajaran baik berupa pembelajaran formal maupun pembelajaran non formil yaitu melalui sebuah proses yang terjadi melalui suatu kebiasaan dalam sebuah kelompok yang biasa melakukan kegiatan tersebut. Dalam pembelajaran ini para pelaku juga sering mengganggap tindakan kejahatan tersebut sebagai pembelajaran dari ilmu yang di pelajari dalam proses pendidikan formal. Dalam teori ini juga menekankan bahwa tindakan kriminal sama seperti tindakan non-kriminal yang di peroleh melelui sebuah proses pembelajaran. (Wahid dan Labib, 2005:46)

2.3.4.4Teori Labeling

Pada teori ini menyimpulakan bagaimana seseorang di berikan cap atau sebuah lebel. Pemberian cap atau lebel tidak saja diberikan kepada seorang pelaku tindakan kejahatan tapi bisa juga di berikan kepada negara. Dalam teori ini

(31)

ditekankan pada seseorang pelaku kejahatan yang mendapat reaksi dari masyarakat, dan reaksi itu merupakan pemberian cap atau identitas si pelaku kejahatan. Namun dengan terjadinya sebuah tindakan kejahatan yang terjadi dalam suatu negara maka teori labeling ini bisa juga berdampak pada negara tersebut. Dengan tingginya tindakan kejahatan pada suatu negara teori labeling

dapat mempengaruhi hubungan antara suatu negara dengan negara yang lain. Indonesia pada tahun 2006 mendapat penghargaan dari majalah tempo dengan tingkat kejahatan cyber, hal ini tidak seimbang dengan apa yang terjadi di indonesia sendiri, dengan presentase 60% rakyat indonesia yang belum mengenal baik cara penggunaan komputer tetapi dengan presentase tersebut Indonesia mendapat perdikat negara dengan pelaku kejahatan cyber tertinggi di dunia dan menempati urutan pertama.

Dalam teori labeling terdapat dua konsep penting yaitu konsep scondary

deviance dan konsep Primary Devience. Konsep Primary Devience yaitu konsep

penyimpangan awal yang menyebabkan terjadinya suatu tindakan kriminal sedangkan konsep scondary deviance yaitu respon dari tindakan pemberian lebel atau cap kepada seorang pelaku tindakan kriminal

contoh terjdinya scondary deviance yang diawali dengan Primary Devience: 1. Seorang pelaku tindakan kejahatan cyber melakan sebuah tindakan

awal yang menyimpang dari aturan atau hukum yang berlaku misalnya mulai melakukan tindakan spaming untuk mulai merusakan email atau situs pribadi sesorang (Primary Devience)

(32)

2. Akibatnya terjadi reaksi sosial yang informal dari pihak yang dirugikan oleh pelaku tindakan kejahatan tersebut.

3. Pelaku tindakan kejahatan cyber melakukan tindakan berikutnya dengan melakukan pengacakan kode sandi dengan tujuan untuk mengetahui kata sandi agar dapat masuk dan melakukan akses ilegal dengan mengunakan email milik orang lain (Primary Devience).

4. Pelaku tindakan tersebut mulai mendapatkan hukuman formal karna tindakan kejahatannya merugikan pihak lain.

5. Dengan keahlian yang telah di miliki maka pelaku kejahatan cyber

mulai melakukan tindakan yang lebih berat yaitu mencuri data rekening dengan tujuan melakukan kegiatan belanja secara online

dengan mengunakan data rekening yang telah dimiliki melalui tindakan pencurian data rekening (scondary deviance).

6. Pelaku tersebut kembali di hukum yang lebih berat karena tindakan yang dilakukan (scondary deviance).

Dalam perkembangan teori labeling terdapat banyak kritikan, diantaranya kritikan tersebut adalah:

1. Teori ini terlalu diterministik dan menolak pertanggung jawaban individual, penjahat bukanlah robot yang pasif dari reaksi masyarakat.

2. Jika penyimpangan tingkah laku hanya merupakan persoalan reaksi masyarakat, maka bagaimana dengan bentuk kejahatan yang tidak diketahui, tidak terungkap pelakunya.

(33)

3. Teori ini sangat mengabaikan faktor penyebab awal dari munculnya penyimpangan tingkah laku. (Atmasasmita, 1992:52)

Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat di kemukakan beberapa teori sebagai berikut

1. The theory of the uploder and the download berdasarkan teori ini

suatu Negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploding

dan downloading yang diperkirakan bertentangan dengan

kepentingannya

2. Theory the law of the server. Pendekatan ini memperlakukan

dimana webpages secara fisik berlokasi. Dalam teori ini berpendapat perlunya pencatatan untuk mengetahui lokasi sebuah

website di akses.

3. The teory of international spaces. Ruang cyber di anggap sebagai

the fourth space.

(http://www.scribd.com/doc/11654767/Tinjauan-Yuridis-Pembuktian-Cyber-Crime-Dalam-Perspektif-Hukum-P ositif-Indonesia)

(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dengan diratifikasinya konvensi Transnational Orgainized Crime oleh indonesia dalam bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime

yang di implimentasikan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang berpengaruh terhadap tindakan kejahatan cyber terutama carding maka penanganan tindakan kejahatan tersebut akan lebih mudah dan dapat diselesaikan secara baik dan benar. Dengan melakukan aplikasi hukum internasional cyber crime maka para penegah hukum dan pihak yang berwenang dalam menyelesaikan masalah tindakan kejahatan

cyber ini dapat di tindak lanjuti, namun dalam pelaksanaannyan tentu mendapat

banyak hambatan, baik itu berupa struktur maupun infra strukutur yang belum memadai untuk menjerat dan mengadili tindakan kejahatan carding ini. Masalah tersebut belum bisa di atasi denagan baik sesuai seperti yang di harapkan oleh Indonesia sendiri.

Dari hasil penelitaian yang dilakukan maka membuat beberapa point kesimpulan:

(35)

penghambat, namun dalam penyelesaian masih banyak yang berstatus dalam proses dan bahkan ada tunggakan perkara dari beberapa tahun lalu dan sampai saat ini belum selesai atau tuntas. Kasus-kasus yang masih belum di selesaikan yang bersifat tunggakan perkara yang belum terselesaikan tidak terlepas dari persoalan biaya yang di berikan kepada penyidik karena setiap kasus biaya yang di keluarkan relatif sangat kecil untuk mengungkap kasus yang bersifat transnasional seperti cyber crime. 2. Sumber daya manusia adalah salah satu faktor penting dalam

penyelesaian kasus cyber crime yang terjadi di Indonesia. Kurang pahamnya akan sebuah penguasaan teknologi informasi yang mapan oleh pihak yang berwajib sehingga banyak mendapat kesulitan dalam melacak keberadaan para pelaku tindak kejahatan cyber.

3. Kerjasama internasional yang dilakukan sudah terjalin dengan baik tetapi belum maksimal sehingga banyak korban yang berada di luar negeri tidak mendapat penyelasaian kasus yang membuat pihak tidak mendapat kejelasan yang diharapkan.

4. Kurangnya kesadaran akan bahaya tindakan kejahatan cyber oleh masyarakat indonesia sehingga ketika mengetahui letak atau posisi dimana pelaku tindak kejahatan cyber berada tidak ada tanggapan balik dari masyarakat.

(36)

hukum Undang-Undang pidana. Pasal-pasal tersebut yang akan mengadili para pelaku tindakan kejahatan cyber tersebut, dalam satu kasus cyber crime dalam di gunakan bebeapa pasal sekaliligus. Contohnya dalam tindakan kejahatan carding dapat dikenakan dengan padal 362 KUHP tentang pencurian dan KUHP tentang penipuan yaitu378, bahkan sampai saat ini kedua pasal tersebut masih digunakan untuk mengadili tindkan kejahatan carding karna belum Undang– Undang yang di buat kusus belum bisa digunakan karena kurangnya sosialisasi yang digunakan.

6. Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juga ikut membahas mengenai cyber crime karena hasil dari tindak kejahatan tersebut digunakan sebagai kejatan lain seperti: terorisme dan peredaran narkotika.

Berdasarkan kesimpulan diatas , maka hipotesis United Nations Convention

AgainstTransnational Organized Crime (UNCATOC) Yang Diratifikasi Menjadi

Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Pencucian Uang berpengaruh pada proses penanganan masalah Carding di Indonesia dengan meningkatnya kasus

Carding yang terungkap pada tahun (2006-2008)”, teruji bahwa perngaruh

hipotesis United Nations Convention Against Transnational Organized Crime

(37)

5.2 SARAN

Dalam memberikan saran peneliti memberikan dua macam saran yaitu saran teotitis yang bertujuan agar dapat mendalami dan pengetahuna tentang hukum internasional cyber crime dan bagaimana cara menanggulangi masalah tersebut dengan menggunakan kerangka hukum internasional cyber crime. Saran yang kedua adalah saran praktis yang bertujuan agar saran tersebut dapat bermanfaat sebagai tambahan informasi dan pembelajaran bagi peneliti agar dapat menambah pengetahuan dan informasi mengenai permasalahan cyber crime sebagai permasalahan internasional. Berikut uraian saran teoritis dan saran praktis.

5.2.1 Saran Teoritis

Dalam kerangka hukum internasional cyber crime terdapat beberapa point penting yang wajib diperhatikan yaitu: perlunya kerjasama internasional antara satu negara dengan negara yang lain agar dapat memberantas tindakan kejahatan

cyber yang dampaknya sangat merugikan suatu negara baik secara material

maupun kepercayaan dari negara lain. Kejasama yang diharapkan tidak hanya sebatas seminar dan pertukarah informasi, tetapi lebih diharapkan kepada kerjasama konvensional seperti latihan bersama dalam menangulangi masalah kejahatan cyber dan pendalaman mengenai teknologi informasi, hal ini disebabkan karena pemahaman mengenai teknologi informasi masih awam di Indonesia.

(38)

sadar akan dampak dari tindakan cyber yang dapat menggangu hubungan antara satu negara dengan negara yang lain. Saat ini Indonesia telah memiliki undang-undang yang membahas mengenai permasalahan internet dan transaksi elektronik. Namun undang-undang tersebut belum disosialisasikan dengan baik sehingga belum bisa digunakan untuk mengadili para pelaku tindakan kejahatan cyber

khususnya carding. Dalam menanggulangi masalah kejahatan cyber selain petugas yang berwajib yang berperan penting dalam tindakan kejahatan cyber

masyarakat juga dituntut agar bisa bekerja sama dalam membantu pihak berwajib dalam menyelesaikan masalah tersebut

Dalam ikut memberantas tindakan kejahatan kejahatan terorganisasi ikut dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime

(UNCTOC), mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang tingkat

Transnational Organized Crime sangat tinggi. Salah satu bentuk Transnational

Organized Crime yang sangat membuat nama Indonesia cukup dikenal adalah

khususnya Carding. Dengan diratifikasinya United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime (UNCTOC) oleh Indonesia dan bentuk

pengesahaanya melalui Undang No 5 Tahun 2009 yang didalam Undang-Undang tersebut terdapat Undang-Undang-Undang-Undang No 25 Tahun 2003 mengenai Pencucian Uang, maka United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime (UNCTOC) berpengaruh terhadap penanganan masalah carding

(39)

5.2 Saran Praktis

Untuk memberantas tindakakan kejahatan cyber maka di butuhkan penguasaan dalam bidang IT yang mendukung, selain di butuhkan keahlian dalam bidang IT dibutuhkan juga sebuah kepastian hukum khusus yang menbahas mengenai cyber crime. Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang sendiri yang membahas tentang masalah cyber, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia no 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik. Namun undang undang tersebut belum di gunakan untuk menghukum dan mengadili para pelaku tindakan kejahatan carding, hal ini disebabkan karena belum ada sosialisasi yang baik kepada masyarakat. Ketika kita melihat sistim hukum yang ada di negara lain seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang sudah memiliki hukum dan undang-undang yang kusus untuk menindak lanjuti dan menjatuhkan hukuman kepada para pelaku tindakan cyber terutama carding maka mereka dengan mudah menjerat para pelaku tersebut karena sudah ada kepastian hukum yang di miliki.

(40)

Hambatan-hambatan yang ditemukan dalam upaya melakukan penyidikan terhadap cybercrime antara lain berkaitan dengan masalah perangkat hukum, kemampuan penyidik, alat bukti, dan fasilitas komputer forensik. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan yang ditemukan di dalam melakukan penyidikan terhadap cybercrime antara lain berupa penyempurnaan perangkat hukum, mendidik para penyidik, membangun fasilitas forensic

computing, meningkatkan upaya penyidikan dan kerja sama internasional, serta

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2011 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang, melalui program beasiswa dari Pusat Pembinaan

Kesadaran beliau untuk selalu berbuat baik kepada siapa saja tanpa pandang bulu yang didapatkanya dari ajaran sapta darmo membuatnya menjadi orang yang lebih baik dan

Pengertian lain dari Munir Fuady menyatakan, bahwa surat berharga adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan suatu prestasi berupa pembayaran

Vizsgálatok sokasága mutatja ki, hogy Magyarországon hatalmas arányúak az isko

Parameter penurunan mutu yang digunakan pada pendugaan umur simpan bubuk jahe merah adalah perubahan kadar air dan perubahan warna yang dapat diketahui dari

Dalam rangka meningkatkan kapasitas Fasilitator Senior dan Fasilitator Masyarakat agar mampu melaksanakan kegiatan Program Pamsimas dan mendukung keberlanjutannya,

Simpulan: Ibu hamil dengan hiperemesis gravidarum banyak ditemukan pada ibu usia muda, tidak bekerja, pendidikan rendah, multigravida, trimester pertama kehamilan,

hukum, karena penadahan di peroleh dari kejahatan, dapat dikatakan menolong atau mempermudah tindakan kejahatan si pelaku dapat mempersukar pengusutan kejahatan