• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonomi Gumuk Pasir Di Desa Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ekonomi Gumuk Pasir Di Desa Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI GUMUK PASIR

DI DESA PARANGTRITIS, KABUPATEN BANTUL,

PROPINSI YOGYAKARTA

KHUSNUL KHATIMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi Gumuk Pasir di Desa Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

KHUSNUL KHATIMAH. Analisis Ekonomi Gumuk Pasir di Desa Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan AHYAR ISMAIL.

Gumuk pasir merupakan fenomena unik seperti gundukan pasir yang menyerupai bukit dan hanya terdapat di Desa Parangtritis dengan luas 62 ha. Pada tahun 2013, muncul konversi menjadi lahan tambak udang hingga saat ini luasnya mencapai 6,3 ha. Padahal dalam kondisi eksisting, gumuk pasir dapat memberikan nilai manfaat langsung dan manfaat tidak langsung bagi masyarakat setempat. Manfaat tersebut diantaranya sebagai tempat pariwisata, penghasil kayu bakar dan pakan ternak, penahan abrasi, serta pelindung angin bagi lahan pertanian.

Penelitian ini dilakukan di Desa Parangtritis (Kecamatan Kretek), Desa Srigading (Kecamatan Sanden), dan Desa Poncosari (Kecamatan Srandakan). Penelitian ini melibatkan 354 responden, terdiri dari wisatawan, masyarakat, petani, petambak, dan stakeholder. Tujuan umum penelitian adalah menganalisis manfaat dan eksternalitas yang dapat ditimbulkan dari konversi gumuk pasir menjadi budidaya udang, sedangkan tujuan khusus yakni mengestimasi perbandingan nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan jika dikonversi menjadi budidaya udang, mengestimasi eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari budidaya udang, mengestimasi besarnya willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap existence value gumuk pasir, dan merumuskan kebijakan pengelolaan gumuk pasir yang berkelanjutan. Metode analisis yang digunakan yaitu total economic value, analisis pendapatan, change of productivity, replacement cost, contingent valuation method, dan analisis deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan total nilai manfaat gumuk pasir mencapai Rp124.368.658/ha/tahun. Nilai tersebut merupakan akumulasi manfaat sebagai wisata (Rp77.639.361/ha/tahun), kayu bakar (Rp2.164.898/ha/tahun), pakan ternak (Rp3.844.284/ha/tahun), penahan abrasi (24.279.070/ha/tahun), dan pelindung angin (Rp16.441.043/ha/tahun). Total nilai manfaat budidaya udang di kawasan gumuk pasir, yakni Rp99.501.439/ha/tahun. Hasil perbandingan menunjukkan nilai manfaat gumuk pasir pada kondisi eksisting lebih besar 25%. Budidaya udang berpotensi menimbulkan eskternalitas. Akumulasi pencemaran dapat berpotensi menyebabkan penurunan produktivitas sekitar 42%. Selain itu, budidaya udang juga berpotensi menimbulkan eskternalitas bagi masyarakat akibat terjadinya intrusi air asin. Nilai kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan adalah sekitar Rp52.000/RT/bulan. Selanjutnya nilai rata-rata WTP existence value gumuk pasir diperoleh sebesar Rp8.271 sehingga besarnya non-use value dari eksisting gumuk pasir mencapai Rp229.073.616/tahun. Kesediaan membayar WTP dipengaruhi secara signifikan oleh nilai bid, jumlah pendapatan, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan. Dalam penelitian ini, alternatif pengelolaan gumuk pasir secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui kebijakan jangka pendek maupun jangka panjang.

(6)

SUMMARY

KHUSNUL KHATIMAH. Economic Analysis of Sand Dunes at Parangtritis Village, Bantul Regency, Yogyakarta Province. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and AHYAR ISMAIL.

Sand dune is a unique phenomenon, hill-like and is only found in Parangtritis Village with an area of 62 ha. In 2013, there was conversion of sand dune into shrimp pond of which covers area of 6.3 ha at present. Besides, existing sand dune can provide benefit value to the local communities such as tourist destination, firewood and poultry feed producing area, natural retaining wall for abrasion, as well as wind protector for the surrounding agricultural land.

The study was conducted in Parangtritis Village (Kretek Sub-district), Srigading Village (Sanden district), and Poncosari Village (Srandakan Sub-district). The study involved 354 respondents consisted of tourists, communities, farmers, and shrimp farmers. The general objective of the study was to analyze the benefit and externality that may result from the conversion of sand dune into shrimp farming, while the specific objectives namely to estimate the ratio of benefit value between sand dune in its existing state and after it is converted into shrimp farming, to estimate the potential externality that may result from shrimp farming, to estimate the amount of willingness to pay (WTP) for the community concerning the existence value of sand dune, and to formulate policy of sand dune sustainable management. The methods of analysis used were total economic value, income analysis, change of productivity, replacement cost, contingent valuation method, and qualitative descriptive analysis.

The results showed that the total benefit value of sand dune reached Rp124,368,658/ha/year. The value was accumulation of benefit as tourist destination (Rp77,639,361/ha/year), firewood (Rp2,164,898/ha/year), and poultry feed producing area (Rp3,844,284/ha/year), natural retaining wall for abrasion (24,279,070/ha/year), and wind barrier (Rp16.441.043/ha/year). Total benefit value derived from the shrimp farming in sand dune area amounted to Rp99,501,439/ha/year. The comparison showed that the benefit value of the existing sand dune was 25% higher. Shrimp farming is potential to create externality for the shrimp pond owners. Accumulation of pollution can lead to a decrease in productivity of about 42%. In addition, shrimp farming also potentially generated externality for society due to salt water intrusion with possible value of loss reached Rp52,000/household/month. Furthermore, the average value of WTP of existence sand dune was Rp8,271; thus, the amount of non-use value of existing sand dune reached Rp229,073,616/year. WTP is significantly influenced by the value of the bid, the amount of income, education level, and number of dependents. In this study, the alternative management scheme of sand dune can be done through regulation of shrimp culture management, establishment of an institution, and formulating clear framework on sand dune management.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS EKONOMI GUMUK PASIR

DI DESA PARANGTRITIS KABUPATEN BANTUL,

PROPINSI YOGYAKARTA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini yakni dengan judul “Analisis Ekonomi Gumuk Pasir di Desa Parangtritis, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta”.

Penulis menyadari bahwa selama penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec dan Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc dan Dr. Fifi Diana Thamrin, S.P, M.Si selaku penguji pada ujian tesis atas saran dan masukan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, Kakak, Adek, Tante, calon suami, dan seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa, motivasi, dan dukungannya kepada Teh Sofi, Rere, Rany, Amalia, Ghisna, Song family, Nthung family, Roma squad, rekan-rekan Pasca Sarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, dan seluruh sahabat yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Ekonomi Konversi Gumuk Pasir 7

Konsep Nilai Sumberdaya 7

Teknik Valuasi Ekonomi 9

Analisis Pendapatan 12

Eksternalitas Potensial Budidaya Udang 14

Penelitian Terdahulu yang Relevan 16

3 KERANGKA PENELITIAN 17

4 METODE PENELITIAN 19

Tempat dan Waktu Penelitian 19

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Pengambilan Sampel 20

Metode Analisis Data 20

5 DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN 30

Keadaan Wilayah 30

Kependudukan 30

Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian 31

Sektor Pertanian 33

Karakteristik Responden 36

Gambaran Umum Budidaya Tambak Udang 42

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 45

Nilai Manfaat Gumuk Pasir 45

Nilai Manfaat Budidaya Tambak Udang 59

Perbandingan Nilai Manfaat Gumuk Pasir Dan Budidaya Tambak Udang 67 Eksternalitas Potensial Budidaya Tambak Udang 69

Estimasi Existence Value Gumuk Pasir 78

Kebijakan Pengelolaan Gumuk Pasir yang Berkelanjutan 82

(14)

Simpulan 86

Saran 87

DAFTAR PUSTAKA 87

LAMPIRAN 92

RIWAYAT HIDUP 109

(15)

DAFTAR TABEL

1 Pemanfaatan gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan konversi 2 2 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian 20 3 Komposisi penduduk berdasarkan usia di Desa Parangtritis tahun 2015 31 4 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat lulusan pendidikan di Desa

Parangtritis tahun 2015 32

5 Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Parangtritis

tahun 2015 32

6 Luasan dan produksi hasil tanaman bahan makanan Desa Parangtritis

tahun 2015 33

7 Luasan dan produksi hasil perkebunan Desa Parangtritis tahun 2015 34 8 Luasan dan produksi hasil perikanan Desa Parangtritis tahun 2015 34 9 Jumlah hewan peternakan Desa Parangtritis tahun 2015 35 10 Luasan lahan perkebunan Desa Parangtritis tahun 2015 35 11 Karakteristik responden nilai manfaat pariwisata, 2016 36 12 Karakteristik responden nilai manfaat kayu bakar, 2016 37 13 Karakteristik responden nilai manfaat pakan ternak, 2016 37 14 Karakteristik responden nilai manfaat penahan abrasi pantai, 2016 38 15 Karakteristik responden nilai manfaat wind barrier, 2016 38 16 Karakteristik responden petambak udang vannamei, 2016 39 17 Karakteristik responden konsumsi air di kawasan gumuk pasir, 2016 41 18 Karakteristik responden willingness to pay gumuk pasir, 2016 41 19 Frekuensi kunjungan wisatawan ke gumuk pasir Parangtritis, 2016 47 20 Estimasi nilai manfaat wisata gumuk pasir Parangtritis, 2016 49 21 Faktor-faktor penentu jumlah kunjungan wisatawan ke gumuk pasir

Parangtritis, 2016 50

22 Estimasi nilai manfaat hasil kayu bakar gumuk pasir Parangtritis,2016 51 23 Estimasi nilai manfaat hasil pakan ternak gumuk pasir Parangtritis,2016 52 24 Estimasi nilai manfaat penahan abrasi pantai gumuk pasir Parangtritis,

2016 54

25 Estimasi nilai manfaat wind barrier gumuk pasir Parangtritis, 2016 56 26 Estimasi total nilai manfaat gumuk pasir Parangtritis, 2016 57 27 Komponen biaya investasi budidaya udang di gumuk pasir dengan luas

lahan 1 ha, 2016 60

28 Komponen biaya non tunai budidaya udang di gumuk pasir dengan luas

lahan 1 ha, 2016 61

29 Komponen biaya tunai budidaya udang di gumuk pasir dengan luas lahan

1 ha, 2016 63

30 Komponen penerimaan budidaya udang di gumuk pasir dengan luas

lahan 1 ha, 2016 66

31 Komponen pendapatan budidaya udang di gumuk pasir dengan luas

lahan 1 ha, 2016 67

32 Perbandingan nilai manfaat gumuk pasir Parangtritis kondisi eksisting

dengan budidaya tambak udang, 2016 68

(16)

34 Konsumsi air bersih skala RT pada masyarakat di kawasan gumuk pasir,

Desa Parangtritis, 2016 76

35 Perhitungan biaya pengganti air bersih skala RT pada masyarakat di

kawasan gumuk pasir, Desa Parangtritis, 2016 77

36 Faktor penentu WTP existence value gumuk pasir Parangtritis, 2016 80

DAFTAR GAMBAR

1 Grafik Produksi Udang Vannamei Kabupaten Bantul 3

2 Proses terjadinya intrusi air laut di pesisir 16

3 Alur kerangka pemikiran analisis ekonomi gumuk pasir Parangtritis 18

4 Peta Lokasi Penelitian 19

5 Persentase jumlah penduduk Desa Parangtritis menurut jenis kelamin 31 6 Karakteristik responden petambak menurut kepemilikan jumlah kolam 40 7 Karakteristik responden petambak menurut lama berdirinya tambak 40 8 Diagram fishbone pengelolaan gumuk pasir Parangtritis 46 9 Proporsi motivasi kunjungan responden wisatawan ke gumuk pasir

Parangtritis 48

10 Proporsi nilai manfaat eksisting gumuk pasir Parangtritis 58 11 Proporsi tindakan penanggulangan akibat perubahan produktivitas 72 12 Persepsi responden terhadap eksternalitas budidaya udang 75 13 Struktur elisitasi model single-bounded DC-CVM 79 14 Pola pengelolaan gumuk pasir Parangtritis secara berkelanjutan 83

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil output analisis regresi linier berganda 93

2 Biaya investasi budidaya udang di kawasan gumuk pasir 96 3 Biaya tunai budidaya udang di kawasan gumuk pasir 97 4 Biaya non tunai budidaya udang di kawasan gumuk pasir 98 5 Penerimaan budidaya udang di kawasan gumuk pasir 99 6 Perhitungan pendapatan budidaya udang di kawasan gumuk pasir 100 7 Konsumsi air bersih di Dusun Depok, Desa Parangtritis, 2016 101

8 Hasil output analisis regresi logistik 103

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Selain menyediakan barang dan jasa, kawasan pesisir menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat. Di Indonesia, kawasan pesisir telah dimanfaatkan sebagai kawasan wisata dan memiliki fungsi lain seperti penggunaan untuk pemukiman, pertanian, perikanan, pelabuhan, dan lain-lain (Dahuri et al. 1996). Oleh karena itu, kawasan pesisir mudah terkena dampak akibat aktivitas manusia dalam upaya membangun perekonomian. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, akan tetapi saat ini muncul kecenderungan meningkatnya aktivitas pemanfaatan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir (Tuwo 2011).

Salah satu daerah Indonesia yang memiliki kawasan pesisir yakni Kabupaten Bantul. Kawasan pesisir terbentang dari Kecamatan Srandakan, Sanden, dan Kretek dengan luas sebesar 6.446 ha (78% dari total luas lahan pesisir DIY) (BPS Kabupaten Bantul 2014). Kawasan pesisir tersebut memiliki fenomena alam unik yakni lahan pesisir yang berupa gumuk pasir (sand dunes). Lokasi gumuk pasir tepatnya berada di pesisir Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, oleh karenanya disebut sebagai gumuk pasir Parangtritis. Gumuk pasir adalah bentukan alam seperti gundukan-gundukan pasir yang menyerupai bukit (BLH DIY 2013). Gumuk pasir Parangtritis termasuk fenomena yang unik dikarenakan faktor pembentukannya. Gumuk pasir biasanya hanya dapat terbentuk di daerah yang beriklim tropis kering, namun di pesisir Kabupaten Bantul yang beriklim tropis basah gumuk pasir dapat terbentuk dengan baik. Pembentukan gumuk pasir tersebut termasuk jarang terjadi di dunia, bahkan merupakan satu-satunya di Asia Tenggara (Suryanti et al. 2009). Menurut Sunarto (2014), gumuk pasir dapat terbentuk dikarenakan adanya faktor angin yang membawa material pasir ke daerah pesisir. Selain angin, pembentukkan gumuk pasir juga dipengaruhi oleh sinar matahari, vegetasi, dan bentang alamnya.

(18)

2

Keberadaan gumuk pasir Parangtritis saat ini telah terdesak oleh kebutuhan ekonomi masyarakat yang kurang sadar mengenai pentingnya manfaat gumuk pasir terhadap kehidupan mereka. Menurut Saraswati (2004), kawasan gumuk pasir telah mengalami berbagai tekanan di mana dalam pengelolaannya sering kali bertentangan antara kegiatan ekonomi dengan kepentingan konservasi. Pada tahun 2013, masyarakat yang menganggap gumuk pasir sebagai lahan yang tidak produktif mulai melakukan upaya konversi menjadi lahan pertambakan udang. Pada mulanya, kegiatan konversi dilakukan oleh sekelompok masyarakat Desa Parangtritis, kemudian sejak saat itu lahan tambak udang semakin meluas hingga pada bulan Desember 2014 luasnya mencapai 6,30 ha (DKP Kabupaten Bantul 2015). Kegiatan konversi tersebut berdampak serius terhadap keberadaan gumuk pasir. Padahal selama ini gumuk pasir telah memberikan manfaat bagi masyarakat. Secara lebih rinci, berikut ini pemanfaatan gumuk pasir Parangtritis dapat dilihat pada Tabel 1.

Pada kondisi eksisting, kawasan gumuk pasir memberikan manfaat langsung (direct use) dan manfaat tidak langsung (indirect use) bagi masyarakat setempat. Pembentukan gumuk pasir telah berlangsung sejak lama, namun pemanfaatannya sebagai wisata geo-heritage oleh Pemda Kabupaten Bantul baru dimulai pada awal tahun 2014 sehingga pada umumnya masyarakat Indonesia belum mengetahui tentang potensi wisata di kawasan tersebut. Kawasan gumuk pasir juga terdapat sumberdaya berupa kayu dan dedaunan yang dapat dijadikan sebagai pakan tambahan ternak. Sebagian masyarakat menggunakan hasil kayu sebagai bahan bakar sehari-hari. Selain memberikan manfaat ekonomi, gumuk pasir memiliki fungsi ekologi seperti penahan abrasi pantai dan menjadi pelindung angin laut (wind barrier) bagi lahan pertanian yang berada di sekitarnya. Menurut BPBD Kabupaten Bantul (2014), wilayah pesisir Kabupaten Bantul hampir setiap tahun mengalami bencana abrasi pantai. Bahkan pada tahun 2013, bencana abrasi pantai terjadi di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul dan telah menimbulkan kerugian materi yang berupa kerusakan bangunan milik masyarakat. Oleh sebab itu, Pemda Kabupaten Bantul mencanangkan program penanaman pohon cemara udang untuk wilayah pesisir yang tidak memiliki gumuk pasir sebagai pelindung daratan dari ancaman pengikisan gelombang laut. Berbeda dengan kawasan gumuk pasir yang dikonversi menjadi lahan budidaya udang di mana dapat memberikan manfaat berupa hasil produksi udang vannamei. Pemanfaatan gumuk pasir dalam kondisi eksisting dapat dirasakan manfaatnya oleh

Tabel 1 Pemanfaatan gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan konversi

No. Komponen Eksisting Konversi

1. Manfaat

(benefit)

Direct use value : a. Pariwisata b. Hasil kayu bakar c. Hasil pakan ternak Indirect use value :

a. Penahan abrasi b. Wind barrier bagi

lahan pertanian

Hasil produksi komoditas udang vannamei

2. Biaya

(cost)

(19)

3 masyarakat secara luas, berbeda dengan jika dikonversi menjadi lahan budidaya udang maka hanya sebagian kecil masyarakat (pelaku kegiatan konversi) yang dapat merasakan pemanfaatan tersebut.

Berdasarkan Perda Kabupaten Bantul No. 04 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2010 − 2030 yakni Pasal 65 Ayat 4, kawasan gumuk pasir merupakan kawasan strategis lindung yang berfungsi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian, sehingga kegiatan konversi hanya dapat diperbolehkan jika berkaitan dengan kepentingan konservasi. Selain mengestimasi nilai manfaat dan eksternalitas, penelitian ini juga mengestimasi seberapa besar kemampuan masyarakat untuk membayar (willingness to pay) aspek keberadaan (existence) gumuk pasir Parangtritis. Nilai tersebut penting untuk dihitung mengingat gumuk pasir Parangtritis merupakan fenomena alam unik yang satu-satunya terdapat di Asia Tenggara dan memiliki manfaat bagi masyarakat sehingga keberadaannya penting untuk tetap ada di Kabupaten Bantul. Selanjutnya, jika tidak ada keberlanjutan dan ketegasan dari pemerintah setempat, maka pembukaan lahan tambak baru mungkin akan terjadi kembali di kawasan gumuk pasir. Penelitian ini menjadi penting mengingat konflik pemanfaatan gumuk pasir antara para petambak, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karenanya, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah Kabupaten Bantul untuk merumuskan alternatif keberlanjutan kebijakan terkait pengelolaan gumuk pasir Parangtritis agar dapat bermanfaat secara berkelanjutan bagi semua pihak.

Perumusan Masalah

Pada awalnya tambak udang hanya dibudidayakan di Kecamatan Srandakan dan Kecamatan Sanden, di mana sebagian telah memiliki izin dari Pemda Kabupaten Bantul, namun terdapat pula beberapa tambak yang belum memiliki perizinan. Berdasarkan pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa hasil produksi udang vannamei Kabupaten Bantul mencapai 462 ton pada tahun 2011. Produksi udang terus mengalami peningkatan setiap tahun hingga pada tahun 2014 mencapai titik produksi tertinggi di Kabupaten Bantul yakni sebesar 925 ton atau meningkat sebesar 60% jika dibandingkan dengan tahun 2013. Meskipun demikian, peningkatan tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 2015 terjadi penurunan produksi udang hingga jumlah produksinya menjadi 651 ton (DKP Kabupaten Bantul 2015). Secara lebih rinci, produksi udang vannamei Kabupaten Bantul pada tahun 2011 – 2015 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Grafik Produksi Udang Vannamei Kabupaten Bantul 461.954

504.598 579.218

925.418

650.602

0 500.000 1.000.000

2011 2012 2013 2014 2015

P

ro

d

u

k

si

(k

g

)

Tahun

(20)

4

Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bantul, penurunan produksi udang vannamei pada tahun 2015 (Gambar 1) disebabkan karena sebagian tambak udang yang mengalami gagal panen di Kecamatan Srandakan. Kegagalan panen udang terjadi diakibatkan udang terkena serangan penyakit kotoran putih (White Feses Desease). Menurut Samboon et al. (2012) penyakit tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri Vibrio spp. Penyakit yang menyerang udang merupakan dampak dari pengelolaan limbah yang kurang tepat di mana limbah langsung dibuang ke perairan laut. Padahal, kebutuhan tambak terhadap air asin diperoleh dari perairan laut. Jika perairan laut sudah tercemar maka dapat menurunkan kualitas air tambak dan pada kondisi tersebut mendukung pertumbuhan bakteri Vibrio spp. Oleh sebab itu, dalam jangka waktu tertentu pencemaran limbah tambak akan menurunkan produktivitas tambak udang tersebut (Wulandari et al. 2015).

Pada tahun 2013–2014 (Gambar 1), peningkatan produksi udang vannamei di Kabupaten Bantul tidak terlepas dari adanya perluasan areal lahan tambak di kawasan gumuk pasir Parangtritis Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek. Awalnya, pembukaan tambak dibangun di gumuk pasir (zona inti) pada tahun 2013 oleh sekelompok masyarakat dengan luas sekitar 1 ha. Menurut Widodo (2003), gumuk pasir yang tidak produktif secara langsung terhadap perekonomian menjadi faktor pendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan konversi. Sejak budidaya tambak tersebut mulai beroperasi, keberadaannya memicu masyarakat lain untuk membuka lahan tambak baru di kawasan gumuk pasir. Akibatnya, lahan tambak mulai banyak dibangun pada tahun 2014 hingga pada tahun 2016 luasnya mencapai 6,30 (DKP Kabupaten Bantul 2015). Meskipun demikian, tambak udang tersebut ternyata tidak memiliki izin dari Pemda Kabupaten Bantul, disebabkan karena kawasan gumuk pasir (zona inti) merupakan kawasan lindung sehingga tidak diperbolehkan untuk kegiatan ekonomi kecuali untuk kepentingan konservasi.

Pengembangan tambak udang di gumuk pasir telah berlangsung sekitar dua tahun, akan tetapi eksternalitas yang ditimbulkan belum terjadi secara signifikan. Namun, apabila dilihat dalam jangka waktu tertentu, tambak udang berpotensi menimbulkan eksternalitas bagi petambak maupun masyarakat. Menurut Kabid Pengendalian Kerusakan dan Konservasi Lingkungan Kabupaten Bantul, Sunarso mengungkapkan eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan tambak berasal dari air limbahnya. Limbah tersebut ternyata dibuang langsung ke perairan laut melalui pipa-pipa pembuangan yang berada di dalam gumuk pasir. Jika kadar limbah di perairan tinggi maka akan menimbulkan pencemaran, sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan pesisir dan laut sebagai penerima limbah tambak (Hein 2000).

Limbah utama dari kegiatan tambak adalah berasal dari sisa pakan udang yang tidak termakan, bekas kulit karapas (molting), hasil ekskresi udang, dan bangkai udang yang mengendap di dasar tambak. Menurut Barg (1992), semakin tingginya kandungan amonia (NH3) dan nitrit (NO2) pada limbah tambak maka

(21)

5 Selain menimbulkan eksternalitas bagi petambak, budidaya udang juga dapat menyebabkan kerugian bagi masyarakat setempat yang memanfaatkan air tanah. Kebutuhan air tawar, baik petambak maupun masyarakat diperoleh dari kegiatan pengeboran gumuk pasir. Padahal, ketersediaan volume air tanah di gumuk pasir jumlahnya terbatas. Jika terjadi pengambilan air tanah yang berlebihan (over exploitation) maka dapat menyebabkan penurunan permukaan air tanah tawar, sehingga akuifer air tawar dapat tercampur dengan air asin (Garno 2004). Oleh karena itu, budidaya tambak di gumuk pasir potensial menyebabkan intrusi air laut.

Kegiatan konversi gumuk pasir memang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang mengkonversinya. Namun di sisi lain, jika gumuk pasir dibiarkan dalam kondisi eksisting dapat memberikan manfaat yang penting bagi semua pihak. Gumuk pasir yang dialihfungsikan akan menghilangkan manfaat tersebut, bahkan selain merusak alam, konversi akan menimbulkan eksternalitas yang berakibat bagi petambak maupun masyarakat. Pada penelitian ini, estimasi terhadap nilai manfaat dan eksternalitas konversi gumuk pasir menjadi tambak udang diperlukan untuk memberikan rekomendasi bagi Pemda Kabupaten Bantul mengenai keberlanjutan kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul.

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana perbandingan antara nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan jika dikonversi menjadi lahan pertambakan udang?

2. Bagaimana nilai eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari konversi gumuk pasir menjadi lahan pertambakan udang?

3. Berapa besarnya willingness to pay masyarakat terhadap existence value gumuk pasir Parangtritis?

4. Bagaimana rekomendasi kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis yang berkelanjutan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan eksternalitas potensial budidaya udang di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Secara lebih terinci, penelitian ini memiliki tujuan khusus yakni untuk :

1. Mengestimasi perbandingan nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi eksisting dan jika dikonversi menjadi lahan pertambakan udang.

2. Mengestimasi nilai eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari konversi gumuk pasir menjadi lahan pertambakan udang.

3. Mengestimasi besarnya willingness to pay masyarakat terhadap existence value gumuk pasir Parangtritis.

(22)

6

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang ekonomi konversi gumuk pasir menjadi budidaya tambak udang di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek. Informasi dari penelitian ini dapat digunakan oleh:

1. Akademisi dan peneliti, sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya terkait dengan bab penelitian ini.

2. Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai referensi dan bahan informasi dalam merumuskan keberlanjutan kebijakan mengenai upaya pemanfaatan dan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis di Desa Parangtritis Kecamatan Kretek. 3. Masyarakat luas, sebagai bahan informasi untuk menambah pengetahuan

mengenai analisis ekonomi konversi gumuk pasir menjadi budidaya tambak udang.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini menganalisis nilai manfaat dan eksternalitas konversi gumuk pasir menjadi budidaya tambak udang vannamei di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY. Objek yang diteliti adalah gumuk pasir Parangtritis (zona inti) dengan luas 62 ha dan tambak udang vannamei dengan luas 6,30 ha pada tahun 2016. Beberapa alat analisis yang digunakan yaitu teknik valuasi ekonomi, analisis pendapatan, change of productivity (CoP), biaya pengganti (replacement cost), dan contingent valuation method (CVM). Terdapat beberapa batasan pada penelitian ini, yakni sebagai berikut :

1. Nilai manfaat gumuk pasir yang dibandingkan dengan budidaya tambak udang adalah penjumlahan dari nilai manfaat langsung (direct use value) dan nilai manfaat tidak langsung (indirect use value) gumuk pasir.

2. Nilai manfaat langsung yang diestimasi adalah nilai manfaat dari pariwisata, hasil kayu bakar dan pakan ternak bagi masyarakat sekitar.

3. Nilai manfaat tidak langsung yang diestimasi adalah nilai manfaat sebagai penahan abrasi pantai dan pelindung angin (wind barrier) bagi lahan pertanian di sekitarnya.

4. Nilai eksternalitas potensial konversi gumuk pasir menjadi tambak udang hanya diestimasi pada potensi penurunan produktivitas tambak udang dan intrusi air laut pada sumber air tanah masyarakat di kawasan gumuk pasir.

5. Dalam penelitian ini, terdapat lima jenis responden, yaitu :

a. Responden yang terlibat langsung dalam pemanfaatan gumuk pasir.

b. Responden petambak udang vannamei yang berada di gumuk pasir Desa Parangtritis, Kecamatan Kretak.

c. Responden rumah tangga, yakni masyarakat Desa Parangtritis Kecamatan Kretek.

d. Responden petambak udang vannamei non aktif di Desa Poncosari Kecamatan Srandakan.

e. Responden petani lahan pasir di Desa Srigading Kecamatan Sanden.

(23)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ekonomi Konversi Gumuk Pasir

Salah satu fenomena dalam pemanfaatan lahan yakni adanya perubahan penggunaan atau konversi lahan. Konversi lahan juga dapat terjadi di kawasan pesisir. Kawasan pesisir potensial dijadikan sebagai sumber penghasilan masyarakat pesisir sehingga muncul kecenderungan untuk melakukan kegiatan konversi menjadi lahan pertambakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho (2004), kegiatan konversi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni (1) pertumbuhan penduduk, dikarenakan semakin tinggi jumlah populasi maka kebutuhan lahan juga semakin meningkat, (2) keterdesakan ekonomi, di mana mendorong motivasi seseorang untuk mengubah penggunaan lahan agar dapat meningkatkan pendapatan, (3) faktor luar, misalnya intervensi dari pihak luar agar masyarakat melakukan konversi lahan.

Lahan merupakan salah satu dari tiga faktor utama produksi pada ekonomi klasik yakni selain tenaga kerja dan modal. Selain itu, lahan merupakan input utama dalam memproduksi makanan dan menyediakan tempat tinggal. Sama halnya dengan lahan pesisir. Penggunaan lahan pesisir merupakan tulang punggung perekonomian bagi masyarakat pesisir. Konversi lahan pesisir sebenarnya juga diperlukan dan merupakan hal penting dalam pembangunan ekonomi serta kemajuan sosial. Konversi lahan pesisir memang dapat memberikan dampak positif terhadap ekonomi dan sosial, namun dapat pula memberikan dampak negatif terhadap lingkungan pesisir jika dalam kegiatannya tidak mempertimbangkan aspek lingkungan (Wujunjie 2008).

Menurut Tuwo (2011) berbagai masalah lingkungan yang terjadi pada kawasan pesisir merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan pesisir. Konversi lahan pesisir untuk kegiatan perikanan, pertanian, dan pemukiman telah menggeser keberadaan lingkungan pesisir. Kawasan pesisir merupakan lahan yang paling rentan terhadap alih fungsi menjadi budidaya tambak. Terbatasnya lahan pesisir memaksa manusia untuk membangun lahan tambak di wilayah yang berada sangat dekat dengan laut, karena kebutuhan air laut yang lebih mudah dijangkau. Perubahan penggunaan lahan pesisir tersebut juga menjadi masalah di wilayah pesisir Pantai Parangkusumo yakni di kawasan gumuk pasir. Peningkatan jumlah penduduk, harga, dan kebutuhan ekonomi yang terjadi, namun ketersediaan lahan yang terbatas mengakibatkan kebutuhan lahan untuk kegiatan perekonomian cenderung terus meningkat. Lahan pesisir yang tidak produktif secara ekonomi menyebabkan tingginya kecenderungan untuk melakukan alih fungsi lahan sehingga dapat memicu kegiatan yang sama oleh masyarakat lainnya.

Konsep Nilai Sumberdaya

(24)

8

diberikan nilai/harga (price tag) agar dapat diketahui nilai manfaat secara ekonomi dan aset sumberdaya tersebut dapat dievaluasi secara lebih jelas. Jika barang tersebut dapat dijual di pasar, pengukuran dapat mudah dilakukan yakni dengan melihat harga pasar barang tersebut. Lain halnya dengan barang atau jasa ekologi yang tidak ditemukan di pasar maka akan sulit untuk mengukurnya karena membutuhkan teknik penilaian yang kompleks.

Jantzen (2006) menyebutkan mengenai alasan pentingnya penilaian moneter terhadap manfaat SDAL, yakni sebagai berikut :

a. Teknik penilaian SDAL dapat memberikan bukti riil yang dapat dipergunakan untuk mendukung kebijakan konservasi ekosistem dengan mengukur nilai ekonomi yang terkait dengan perlindungan SDAL.

b. Pengukuran nilai ekonomi SDAL merupakan langkah fundamental dalam melestarikan SDAL karena potensi degradasi dan deplesi sumberdaya yang begitu besar sehingga jika dilakukan perhitungan nilai ekonominya dan ditunjukkan secara intensif kepada masyarakat maka kerusakan sumberdaya tersebut dapat diminimalisir dan pemanfaatannya dapat lestari untuk generasi masa depan.

c. Dengan memberikan nilai moneter untuk SDAL, maka nilai manfaat ekonomi yang terkait dengan sumberdaya dapat dibandingkan dengan nilai ekonomi sumberdaya alternatif lainnya.

Konsep nilai sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) sering dibedakan antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan konsep nilai dari aspek ekologi yang memandang bahwa sesuatu memiliki nilai terlepas dari sesuatu tersebut dimanfaatkan atau tidak. Konsep nilai tersebut dapat dikatakan bahwa SDAL memiliki nilai secara alamiah. Sedangkan nilai instrumental merupakan konsep nilai dari aspek ekonomi yang menekankan pada nilai moneter di mana sumberdaya alam dinilai berdasarkan penggunaannya. Menurut Tuwo (2011), nilai dari ekosistem pesisir dapat berarti pentingnya sebagai tempat wisata, pencegah abrasi pantai, pelindung gelombang laut, dan fungsi ekologis lainnya. Nilai Manfaat Gumuk Pasir

Ekosistem gumuk pasir merupakan bagian dari potensi sumberdaya pesisir yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan manusia. Tidak semua wilayah pesisir berbentuk ekosistem gumuk pasir. Gumuk pasir telah memberikan manfaat barang dan jasa bagi masyarakat pesisir. Manfaat tersebut perlu diberikan harga atau nilai moneter untuk mengestimasi nilai manfaat ekonomi gumuk pasir jika dalam kondisi eksisting.

(25)

9 tumbuh di sekitarnya sehingga sebagian masyarakat memanfaatkan ranting pohon sebagai bahan bakar sehari-hari. Selain menghasilkan kayu bakar, gumuk pasir juga menyediakan manfaat berupa beberapa tanaman yang dapat dijadikan sebagai pakan tambahan bagi hewan ternak seperti tanaman gamal, dedaunan pohon cemara udang, jambu mete, dan akasia yang biasanya dikonsumsi hewan ternak sebagai pakan tambahan di samping pakan utama.

Menurut Dahuri et al. (1996), gumuk pasir merupakan sistem perlindungan alamiah (manfaat ekologi) bagi masyarakat. Letak pantai Kabupaten Bantul yang berada di selatan garis Khatulistiwa dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia menyebabkan tingkat gelombang air laut yang cukup tinggi. Gelombang tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pengikisan pantai atau disebut dengan abrasi/erosi pantai. Di pesisir Kabupaten Bantul, sepanjang tahun proses abrasi terjadi sedikit demi sedikit tepatnya di wilayah pesisir yang tidak memiliki gumuk pasir. Bahkan tahun 2013 akibat terakumulasinya proses abrasi telah menimbulkan puluhan bangunan rusak di Desa Srigading (Kecamatan Sanden). Meskipun demikian, kerusakan tersebut tidak terjadi di pesisir Desa Parangtritis, pesisir yang berupa gumuk pasir dapat menahan terjadinya proses pengikisan tersebut (Freski dan Srijono 2013).

Selain abrasi pantai, gumuk pasir juga berfungsi sebagai pelindung angin laut (wind barrier) bagi lahan pertanian di sekitarnya. Gumuk pasir memiliki tinggi hingga mencapai 15 meter sehingga dapat menahan tiupan angin laut yang membawa material uap air asin. Perlindungan tersebut berpengaruh terhadap salinitas (NaCl) lahan pertanian di mana sebagian besar membudidayakan tanaman seperti kacang tanah dan bawang merah. Apabila lahan tersebut kadar garamnya semakin tinggi maka akan berpengaruh terhadap pH tanah yang kemudian akan berdampak pada pertumbuhan tanaman dan nantinya dapat menurunkan produktivitas. Oleh karena itu untuk meminimalisir hal tersebut, petani akan melakukan berbagai upaya pencegahan melalui penambahan biaya produksi untuk memperbaiki kesuburan lahan agar tidak berpengaruh pada pertumbuhan dan produktivitas pertanian. Menurut FAO (2005), terdapat beberapa upaya untuk mengendalikan tingkat salinitas lahan agar kesuburan tanah tetap terjaga kualitasnya, yakni melalui pencucian (leaching) garam di permukaan menggunakan air bersih, pengerukan lapisan yang ada di permukaan untuk membuang endapan garam, penambahan gypsum dan sulfur untuk mengurangi kadar garam, maupun pemberian pupuk kimia lainnya.

Teknik Valuasi Ekonomi

(26)

10

Preference Method (SP) dan Revealed Preference Method (RP). Metode SP dilakukan dengan cara menanyakan langsung atas kesanggupan membayar seseorang terhadap skenario jasa lingkungan yang ditawarkan. Nilai kesanggupan yang diperoleh akan mencerminkan nilai jasa lingkungan dari sumberdaya. Sementara pendekatan RP didasarkan pada perilaku yang teramati atau terungkap terhadap pilihan yang dilakukan dengan kata lain data aktual yang diperoleh dari pengeluaran seseorang dapat dijadikan ukuran WTP terhadap komponen SDAL. Dalam pendekatan RP terdapat metode yang sering digunakan, yakni Travel Cost Method (TCM) (Fauzi 2014).

Menurut Wattage (2011), mengetahui nilai ekonomi ekosistem pesisir merupakan hal yang penting dilakukan sebagai salah satu faktor input kebijakan untuk merancang pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem pesisir yang berkelanjutan. Menurut Munangsihe (1993), keputusan untuk mengembangkan suatu ekosistem dapat dibenarkan (justified) jika pengembangan ekosistem tersebut dapat memberikan nilai manfaat ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan nilai manfaat ekonomi suatu ekosistem jika dibiarkan dalam kondisi eksisting.

Menurut Fauzi (2014), pengukuran direct use value dapat dilakukan dengan metode pengukuran langsung yakni melalui proksi harga pasar (market price) untuk komoditas yang langsung dapat diperdagangkan dari ekosistem yang diteliti. Namun, jika manfaat langsung sumberdaya tidak tersedia di pasar maka dapat menggunakan metode pengukuran tidak langsung seperti pemanfaatan sebagai tempat wisata yang diperoleh melalui metode biaya perjalanan (travel cost method). Beda halnya dengan nilai guna tidak langsung di mana komponen penyusun biasanya melibatkan jasa lingkungan yang tidak dapat dipasarkan sehingga untuk mengukur indirect use value gumuk pasir diperoleh berdasarkan pendekatan biaya pencegahan (prevention cost expenditure) dan back of the envelope (BoE). Selanjutnya penelitian juga menggunakan pendekatan contingent valuastion method yakni melalui willingness to pay (WTP) untuk memperoleh existence value gumuk pasir Parangtritis.

Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)

Metode biaya perjalanan atau Travel Cost Method (TCM) dapat digunakan untuk pengukuran nilai ekonomi secara tidak langsung. TCM menggunakan biaya transportasi atau biaya perjalanan terutama untuk menilai suatu sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai tempat wisata. Biaya perjalanan dan waktu yang dikorbankan individu untuk menuju obyek wisata dianggap sebagai nilai lingkungan yang dibayar oleh individu (KLH 2012). Menurut Fauzi (2014), prinsip dasar metode TCM adalah teori permintaan konsumen di mana nilai yang diberikan individu pada sumberdaya (atribut yang tidak dipasarkan) dapat disimpulkan dari biaya yang dikeluarkan ke lokasi wisata yang dikunjungi.

(27)

11 metode ZTCM di mana didasarkan pada data sekunder. ZTCM membagi pengunjung dalam beberapa zona kunjungan berdasarkan tempat tinggal atau asal pengunjung. Jumlah kunjungan tiap minggu individu di setiap zona dibagi dengan jumlah pengunjung per tahun untuk memperoleh data jumlah kunjungan per seribu penduduk. Penggunaan ZTCM sulit untuk dilakukan di Indonesia karena kebutuhan data sekunder yang sulit untuk diperoleh. Oleh karena itu, ITCM lebih sering digunakan untuk menilai suatu sumberdaya sebagai tempat wisata.

Pendekatan Biaya Pencegahan (Prevention Cost Expenditure)

Pendekatan biaya pencegahan (prevention cost expenditure) dapat digunakan untuk menilai jasa lingkungan suatu sumberdaya yang tidak dapat diduga nilainya, baik pengeluaran aktual maupun potensi pengeluaran. Melalui teknik tersebut, nilai jasa lingkungan dihitung berdasarkan hal-hal yang dilakukan masyarakat untuk melakukan berbagai upaya pencegahan atau pengendalian akibat kerusakan lingkungan, seperti biaya pemeliharaan taman nasional untuk memperbaiki penurunan kualitas air, udara, dan lain-lain. Terdapat beberapa keunggulan dari pendekatan ini, di antaranya (KLH 2012):

a. Kebiasaan manusia untuk mempertahankan sesuatu dapat dengan mudah diamati.

b. Pengeluaran biaya untuk pencegahan cukup mudah untuk didapatkan informasinya karena dapat diamati melalui pasar.

Pendekatan Back of The Envelope (BoE)

Teknik back of the envelope (BoE) adalah salah satu teknik valuasi ekonomi untuk menilai kerusakan lingkungan sebagai akibat dari berkurangnya atau hilangnya suatu sumberdaya sehingga estimasi nilai kerusakan tersebut merupakan proksi untuk menentukan nilai manfaat ekonomi sumberdaya. Teknik BoE mengandalkan teknik perhitungan secara kasar berdasarkan informasi dan komponen-komponen utama yang tersedia. BoE dapat dipergunakan untuk melengkapi beberapa komponen valuasi ekonomi terhadap sumberdaya di mana data sukar diperoleh sehingga metode perhitungan baku tidak tepat jika digunakan. BoE juga dapat digunakan secara ex-ante maupun ex-post terhadap kerugian yang dapat ditimbulkan dari sumberdaya yang telah rusak. Pada analisis ex-ante, BoE banyak digunakan untuk menduga biaya kerusakan atau kerugian ekonomi yang terjadi akibat kerusakan lingkungan.

(28)

12

Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM)

Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode penilaian ekonomi melalui pertanyaan kemauan membayar seseorang atau sering disebut dengan willingness to pay (WTP). Metode tersebut digunakan untuk menentukan nilai ekonomi non-guna (non-use value) suatu sumberdaya dalam rangka perlindungan keanekaragaman hayati (Fauzi 2014). Metode ini memungkinkan suatu komoditas yang tidak dapat diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya. Dengan demikian, nilai ekonomi suatu sumberdaya publik yakni gumuk pasir dapat diukur melalui WTP. Namun, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam teknik CVM (Hanley dan Splash 1993):

a. Pasar hipotetik harus memiliki kredibilitas dan realistik.

b. Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang dan jasa lingkungan yang dimaksudkan dan alat pembayaran untuk mereka.

c. Jika memungkinkan ukuran WTP sebaiknya ditetapkan karena responden sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.

Terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan CVM. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias. Bias tersebut dapat timbul jika penilaian yang diberikan overstate maupun understate dari nilai yang sebenarnya. Sumber bias dapat ditimbulkan oleh tiga penyebab, yakni (1) Bias informasi: nilai hasil tidak terlepas dari informasi yang diberikan kepada responden sehingga nilai WTP individu akan bergantung pada kuantitas dan kualitas peneliti dalam memberikan informasi. (2) Bias strategis: bias ini dapat terjadi apabila ditemui fakta bahwa responden mungkin akan menolak memberikan tanggapan atas pertanyaan dalam survei atau tidak mengungkapkan nilai WTP sebenarnya karena alasan-alasan tertentu. (3) Bias hipotetik: bias dari fakta bahwa dalam survei pasar hipotetik yang diajukan sesungguhnya tidak benar-benar melakukan transaksi.

Penilaian dimaksudkan untuk memperkirakan seberapa besar kemampuan masyarakat untuk membayar (WTP) aspek keberadaan (existence) gumuk pasir Parangtritis. Nilai tersebut penting untuk dihitung mengingat gumuk pasir Parangtritis merupakan fenomena alam unik yang satu-satunya terdapat di Asia Tenggara dan memiliki fungsi ekologi yang penting bagi masyarakat sehingga keberadaannya penting untuk tetap dijaga dan dilestarikan. Namun, keberadaannya saat ini mengalami tekanan ekonomi oleh masyarakat setempat di mana telah terjadi konversi menjadi lahan tambak udang. Oleh karena itu dibutuhkan penilaian terhadap aspek keberadaan (existence) gumuk pasir agar gumuk pasir tetap ada dan berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat setempat. Existence value merupakan nilai yang dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan sumberdaya setelah manfaat lainnya dihilangkan dari analisis. Nilai tersebut berkaitan dengan nilai relijius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam.

Analisis Pendapatan

(29)

13 Manfaat yang dihasilkan jika kawasan gumuk pasir dikonversi menjadi budidaya tambak udang, yakni berupa hasil penjualan komoditas udang yang dibudidayakan. Hasil analisis tersebut selanjutnya dibandingkan dengan nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi eksisting yang telah diubah menjadi nilai moneter. Selanjutnya, hasil perbandingan akan menunjukkan pemanfaatan gumuk pasir yang dapat memberikan net benefit paling tinggi, yakni apakah gumuk pasir dibiarkan dalam keadaan eksisting atau dikonversi menjadi lahan budidaya tambak udang vannamei.

Sama halnya pada penelitian Mayudin (2012), di mana untuk menentukan pendapatan dari pengembangan budidaya tambak dilakukan dengan mengestimasi besarnya manfaat (benefit) yang diperoleh dan besarnya biaya (cost) yang dikeluarkan saat budidaya. Pengukuran nilai manfaat tambak udang menggunakan pendekatan harga pasar atau market price. Harga pasar dimaksudkan untuk menentukan besarnya manfaat tambak melalui harga jual komoditas udang vannamei yang dipasarkan dengan menggunakan harga bersih.

Besarnya nilai penerimaan dan biaya-biaya pada budidaya tambak tergantung dari sistem yang dibudidayakan, yakni apakah tambak tersebut dibudidayakan dengan sistem tradisional, sistem semi intensif, atau sistem intensif. Menurut Kordi (2010), tambak udang sistem tradisional yakni tambak yang pengelolaannya masih sederhana dan tergantung pada alam sehingga pengelolaannya tidak rumit. Pada sistem tradisional, peralatan yang digunakan masih sederhana dan volume pergantian air tidak ditentukan atau tergantung kondisi tambak. Oleh karena itu, produktivitas yang dihasilkan tergolong rendah yaitu antara 0,1 – 2 ton/ha/musim. Pada budidaya tambak semi intensif, selain sebagian masih mengandalkan faktor alam, petambak juga menggunakan sebagian teknologi selama proses budidaya seperti menggunakan kincir atau pompa air dan menambah pakan udang dengan pakan buatan. Tambak udang semi intensif juga melakukan pergantian volume air untuk menjaga tingkat salinitas tambak yakni 5 – 20% per hari dengan jumlah produktivitas sebesar 10 – 12 ton/ha/musim. Berbeda dengan tambak udang intensif di mana memerlukan biaya yang lebih besar karena menggunakan teknologi modern dan lebih banyak menggunakan input produksi (seperti pakan, pupuk, obat-obatan) sehingga total biaya yang dikeluarkan lebih besarsehingga menghasilkan produktivitas yang lebih besar yakni lebih dari 12 ton/ha/musim.

Konsep Biaya

(30)

14

masuk dalam cadangan pelaku usaha budidaya. Oleh karena itu, biaya depresiasi termasuk ke dalam biaya non tunai.

Sugiarto et al. (2007) memformulasikan biaya total pengeluaran (TC) dalam produksi budidaya merupakan penjumlahan dari biaya tunai (BT) dengan biaya non tunai (BNT), berikut ini formulasi penghitungannya :

= +

Peningkatan dan penurunan biaya total (total cost) dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah penggunaan input budidaya dan harga jual komoditas udang. Selanjutnya, jika dibandingkan antara sistem-sistem tambak yang dibudidayakan maka terdapat perbedaan yang nyata pada biaya operasional budidaya tambak udang sistem tradisional dengan sistem intensif. Biaya operasional pada budidaya tambak intensif lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tradisional. Perbedaan tersebut terdapat pada biaya penggunaan peralatan, pakan dan pupuk untuk nutrisi udang.

Konsep Penerimaan

Menurut Boediono (1992), konsep penerimaan (revenue) adalah penerimaan yang diterima, di mana berasal dari hasil penjualan komoditas yang dibudidayakan. Peningkatan dan penurunan penerimaan budidaya tambak dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah hasil budidaya tambak udang dan harga jual udang. Pada dasarnya penerimaan dibedakan menjadi dua jenis, yakni penerimaan kotor dan penerimaan bersih. Penerimaan kotor yakni penerimaan yang berasal dari penjualan hasil produksi budidaya. Penghitungan penerimaan kotor atau total revenue (TR) diperoleh dari perkalian hasil produksi udang vannamei (Qu) dengan harga jual udang vannamei (Pu). Formulasinya dapat ditulis sebagai berikut (Soekartawi 1995) :

= � × u

Konsep penerimaan bersih (Π) atau biasa disebut dengan pendapatan adalah penerimaan yang berasal dari penjualan hasil produksi udang vannamei (TR) setelah dikurangi biaya total yang dikeluarkan atau total cost (TC) selama budidaya tambak udang vannamei. Formulasinya dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi 1995) :

� = −

Penerimaan yang dihasilkan dari budidaya tambak udang tergantung pada sistem budidaya tersebut apakah mengembangkan budidaya dengan sistem tradisional (ekstensif), semi intensif, atau intensif. Menurut Battacharya (2009), penerimaan (revenue) budidaya tambak udang intensif lebih besar jika dibandingkan dengan sistem tradisional maupun semi intensif. Namun, besarnya penerimaan tersebut juga tergantung dari faktor-faktor produksi yang digunakan selama proses budidaya.

Eksternalitas Potensial Budidaya Udang

(31)

15 merugikan bagi orang lain. Sama halnya dengan tambak yang potensial menghasilkan eksternalitas baik bagi produktivitasnya maupun masyarakat. Eksternalitas yang dapat ditimbulkan oleh tambak sebagian besar berasal dari limbahnya di mana masalah yang sering dihadapi yakni menumpuknya substansi pencemar. Limbah tambak merupakan jenis limbah organik karena substansi pencemarnya berupa unsur organik. Limbah tambak berasal dari sisa pakan yang tidak termakan, bangkai udang yang mengendap di dasar tambak, hasil ekskresi, dan bekas kulit (karapas) udang.

Komposisi pakan udang dengan kandungan protein yang tinggi (36-40%), merupakan penyumbang utama limbah tambak karena lebih dari 65% kandungan protein dalam pakan akan terlarut dalam lingkungan air tambak. Menurut Primavera (1994), pada tambak intensif sebesar 35% dari input pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh udang dan sekitar 25−30% dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan dieksresikan oleh udang yang kemudian akan berkontribusi dalam pembentukan limbah organik. Selain itu, udang yang mati saat proses budidaya juga berkontribusi menjadi limbah organik karena udang mengandung kadar protein yang tinggi. Pada proses pertumbuhannya, udang mengalami beberapa kali pengelupasan kulit karapas (molting). Bekas kulit udang yang mengandung senyawa C turut berkontribusi dalam pembentukan limbah organik tambak (Wulandari et al. 2015).

Menurut penelitian Murtiati (1998), substansi organik pada lingkungan air tambak akan terurai menjadi senyawa racun (toxic) bagi udang yakni nitrit (NO2)

dan amonia (NH3). Senyawa amonia juga dihasilkan dari katabolisme protein yang

diekskresikan oleh udang. Keberadaan senyawa-senyawa tersebut di perairan pada konsentrasi tertentu bersifat racun (toxic) bagi udang. Selain itu, makin banyak limbah organik maka semakin besar kebutuhan oksigen bagi mikroba yang mendekomposisinya sehingga kandungan oksigen terlarut di perairan semakin sedikit. Fenomena deplesi oksigen dan timbulnya gas beracun hasil dekomposisi limbah organik merupakan penyebab utama penurunan produktivitas udang. Bahkan pada kondisi tersebut justru menjadi media hidup yang baik bagi kehidupan mikroorganisme termasuk patogen (parasit) sehingga menimbulkan serangan penyakit bagi udang (Garno 2004).

Gumuk pasir yang dikonversi memang berdampak pada kondisi ekonomi seperti penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan tingkat kesejahteraan, akan tetapi juga dapat memberikan eksternalitas negatif terhadap masyarakat sekitarnya. Saat proses budidaya, tambak udang air payau membutuhkan air tawar yang berasal dari pengeboran gumuk pasir. Gumuk pasir memiliki lapisan akuifer air tanah tawar yang terdapat di kedalaman 10–40 m (Widodo et al. 2002). Padahal masyarakat pesisir setempat juga memanfaatkan sumber air tersebut melalui pengeboran yang kemudian dibuat seperti sumur gali. Namun demikian, menurut Purwantara (1996) sumur yang berada sekitar 50−70 m dari garis Pantai Parangtritis dan Pantai Parangkusumo sangat rentan terhadap instrusi air laut.

(32)

16

pendalaman sumur air dapat menyebabkan penurunan permukaan air tanah tawar sehingga akuifer dapat tercampur dengan air asin. Peningkatan pengambilan volume air tanah dapat meningkatkan potensi tercemarnya akuifer oleh instrusi air laut. Secara lebih detail, dapat dilihat Gambar 2.

Gambar 2 Proses terjadinya intrusi air laut di pesisir

Oleh karena itu, instrusi air laut dapat menurunkan kualitas sumber air tanah masyarakat. Tercampurnya air laut sebesar 3−6% akan mengakibatkan air tanah kurang baik digunakan untuk kebutuhan sehari-hari sehingga masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli sumber air tawar lainnya, seperti air galon, air pikulan, atau memasang PDAM.

Penelitian Terdahulu yang Relevan

Bell dan Trinidad (1996) melakukan studi dengan menghitung biaya dan manfaat dari tiga pemanfaatan mangrove di Guayaquil, Ecuador. Ketiga pemanfaatan mangrove yakni keseluruhan hutan mangrove dibiarkan dalam kondisi eksisting (konservasi), hutan mangrove dibiarkan lestari namun sebagian dimanfaatkan sebagai lahan tambak (kelestarian eksploitasi), dan hutan mangrove seluruhnya dialihfungsikan menjadi lahan budidaya tambak (konversi). Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memilih dari tiga pemanfaatan tersebut mana yang memberikan net benefit paling maksimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan yang memberikan net benefit yang paling maksimum adalah dengan melakukan eksploitasi lestari mangrove di mana diperoleh net benefit sebesar US $ 174.106,-. Eksploitasi lestari tersebut yakni sebesar 60% hutan mangrove dibiarkan lestari (konservasi) dan 40% hutan mangrove dikonversi menjadi tambak udang.

(33)

17 ekonomi tambak yakni sebesar Rp 9.401.170/ha/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa hutan mangrove dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar jika dapat dikelola dengan baik. Meskipun demikian, secara finansial adanya konversi tersebut memberikan dampak positif terhadap pendapatan masyarakat pesisir Kabupaten Pangkajen.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ismail et al. (2011) mengenai estimasi kerugian ekonomi masyarakat Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara akibat pencemaran air tanah diperoleh hasil bahwa total biaya pengganti yang dikeluarkan masyarakat untuk membeli sumber air bersih yakni sebesar Rp 2.753.171.625/tahun. Biaya pengganti tersebut terdiri dari pembelian air galon, air pikulan, air ledeng, dan menggunakan sarana kebersihan umum (MCK). Responden umumnya menggunakan lebih dari satu alternatif sumber air bersih pengganti. Selanjutnya penelitian Fachlevi (2015) tentang dampak pertambangan batu bara di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat diperoleh hasil bahwa kegiatan pertambangan memberikan dampak negatif terhadap penurunan kualitas lingkungan sehingga berpengaruh terhadap produktivitas tanaman karet. Estimasi kerugian petani karet yaitu sebesar Rp 1.181.463.429 yang diperoleh melalui pendekatan change of productivity.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yakni objek yang diteliti, lokasi penelitian, dan beberapa metode yang digunakan. Objek dan lokasi penelitian adalah gumuk pasir Parangtritis di Desa Parangtritis. Penelitian mengenai nilai ekonomi gumuk pasir baru pertama kali ini dilakukan. Pada penelitian ini, nilai ekonomi yang dihitung adalah use dan existence value gumuk pasir yang diperoleh melalui teknik valuasi ekonomi dan untuk menghitung nilai manfaat budidaya tambak udang menggunakan analisis pendapatan. Selanjutnya, nilai eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari konversi menjadi budidaya udang menggunakan pendekatan change of productivity dan replacement cost.

3 KERANGKA PENELITIAN

(34)

18

manfaat baik dari sisi ekonomi dan ekologi. Secara skematis, alur kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Alur kerangka pemikiran analisis ekonomi gumuk pasir Parangtritis

Gumuk pasir Parangtritis

di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul

Konversi menjadi budidaya udang

Direct use value : a. Pariwisata b. Hasil kayu bakar c. Hasil pakan ternak Indirect use value : a. Penahan abrasi b. Wind barrier

Change of Productivity dan Replacement Cost Teknik

Valuasi Ekonomi

Analisis Pendapatan Cotingent Valuation

Method (CVM)

Nilai manfaat budidaya tambak udang Nilai manfaat

eksisting gumuk pasir Eksisting

gumuk pasir

Manfaat hasil produksi budidaya

udang vannamei

Perbandingan nilai manfaat gumuk pasir dengan budidaya udang

Nilai eksternalitas potensial konversi menjadi tambak Existence value gumuk

pasir Parangtritis

Rekomendasi kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis yang berkelanjutan

Eksternalitas potensial :

a. Penurunan

(35)

19

4 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Parangtirits, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DIY. Selain itu, penelitian juga dilakukan di Desa Srigading (Kecamatan Sanden) dan Desa Poncosari (Kecamatan Srandakan) Kabupaten Bantul dengan maksud sebagai wilayah observasi pendukung dalam penelitian ini. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut terdapat fenomena alam di mana kawasan pesisir yang berupa lahan gumuk pasir, namun keberadaannya sebagian telah dikonversi menjadi budidaya tambak udang. Selanjutnya, pengambilan data penelitian dilakukan selama sekitar dua bulan, yakni bulan Mei − Juni 2016. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian

Jenis dan Sumber Data

(36)

20

Tabel 2 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

No. Tujuan penelitian Jenis data Sumber data Metode analisis

1. Mengestimasi perbandingan nilai manfaat gumuk pasir dalam kondisi ekstisting dan jika dikonversi menjadi lahan 2. Mengestimasi besarnya WTP

masyarakat terhadap existence value gumuk pasir Parangtritis.

Data primer Responden Contingent Valuation Method

3. Mengestimasi nilai eksternalitas potensial yang dapat ditimbulkan dari konversi gumuk pasir menjadi lahan tambak

4. Merumuskan rekomendasi keberlanjutan kebijakan pengelolaan gumuk pasir Parangtritis

Responden dipilih berdasarkan keterlibatannya secara langsung pada mekanisme sistem dan pengetahuannya terhadap gumuk pasir dan budidaya tambak udang vannamei. Pada penelitian ini, responden adalah masyarakat yang terlibat langsung dalam pemanfaatan gumuk pasir Parangtritis, petambak udang vannamei di Desa Parangtritis dan Desa Poncosari, dan petani pesisir di Desa Parangtritis dan Desa Srigading. Informan kunci (key informant) berasal dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bantul, dan Parangtritis Geomaritime Science Park.

Metode Analisis Data

(37)

21 Teknik Valuasi Ekonomi Gumuk Pasir

Pada penelitian ini, untuk mengestimasi nilai manfaat secara ekonomi gumuk pasir Parangtritis digunakan analisis deskriptif dan teknik valuasi ekonomi. Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi manfaat langsung (direct use) maupun tidak langsung (indirect use) yang dihasilkan oleh gumuk pasir. Menurut Fauzi (2014), terminologi “total” bukan menunjukkan nilai keseluruhan gumuk pasir karena bagaimanapun nilai keseluruhannya sulit dihitung. Asumsi nilai “total” yang dimaksud menunjukkan penjumlahan dua komponen utama, yakni direct use value dan indirect use value. Secara matematis, valuasi ekonomi gumuk pasir diformulasikan sebagai berikut (Perrings et al. 1995):

= + Keterangan :

NMEG = Nilai manfaat ekonomi gumuk pasir (Rp/ha/tahun) NML = Nilai manfaat langsung gumuk pasir (Rp/ha/tahun) NMT = Nilai manfaat tidak langsung gumuk pasir (Rp/ha/tahun) Nilai Manfaat Langsung

Menurut Fauzi (2014), manfaat langsung (ML) atau direct use value adalah nilai ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan in situ dari suatu sumberdaya. Pada penelitian ini, manfaat langsung gumuk pasir yakni digunakan sebagai tempat pariwisata, pengambilan kayu bakar dan pakan ternak bagi masyarakat sekitar. Penilaian manfaat langsung diformulasikan sebagai berikut (Perrings et al. 1995) :

= � + � + �

Keterangan :

NML = Total nilai manfaat langsung gumuk pasir (Rp/ha/tahun) NMw = Nilai manfaat dari pariwisata (Rp/ha/tahun)

NMk = Nilai manfaat dari pengambilan kayu bakar (Rp/ha/tahun) NMp = Nilai manfaat dari pengambilan pakan ternak (Rp/ha/tahun) Pariwisata

Responden yang dijadikan sampel adalah wisatawan yang mengunjungi kawasan gumuk pasir. Dalam hal ini, tujuan pariwisata yang dimaksud mencakup tujuan untuk sandboarding, penelitian, pre-wedding, maupun wisatawan yang sekedar refreshing di kawasan gumuk pasir. Pengambilan responden dilakukan secara purposive dengan pertimbangan masyarakat yang berkunjung ke lokasi wisata gumuk pasir. Menurut Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul, jumlah wisatawan yang berkunjung ke gumuk pasir Parangtritis pada tahun 2015 sebesar 88.400 wisatawan sehingga diperoleh jumlah responden sebesar 100 responden yang ditentukan berdasarkan persamaan Slovin. Secara matematis, persamaan Slovin diformulasikan sebagai berikut :

� = 1 + � Keterangan:

n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi

(38)

22

Pada penelitian ini, untuk menentukan nilai ekonomi wisata gumuk pasir menggunakan Travel Cost Method (TCM). TCM didasarkan pada jumlah biaya yang dikeluarkan selama individu melakukan kegiatan wisata dalam satu kali perjalanan. Formulasi TCM secara matematis dapat ditulis sebagai berikut (Fleming and Averil 2007):

= � + � − ℎ + �

Keterangan:

BP = Total biaya perjalanan (Rp)

BTr = Biaya transportasi selama rekreasi (Rp) BKr = Biaya konsumsi di tempat rekreasi (Rp) BKh = Biaya konsumsi harian (Rp)

BLn = Biaya lain-lain yang dikeluarkan di tempat rekreasi (Rp)

Biaya lain-lain seperti biaya menyewa papan sandboarding, biaya dokumentasi, dan biaya tak terduga yang dikeluarkan selama berwisata di gumuk pasir. Biaya yang dikeluarkan responden untuk mengkonsumsi jasa wisata dari gumuk pasir digunakan sebagai proxy untuk menentukan nilai manfaat wisata. Asumsi dalam perhitungan ini adalah perjalanan yang dilakukan responden merupakan perjalanan tunggal ke kawasan gumuk pasir (bukan perjalanan multitrip) dan harga tiket yang dikeluarkan masing-masing responden adalah sama. Selanjutnya, data biaya perjalanan responden diregresikan pada program software SPSS untuk dilakukan analisis regresi linier berganda sehingga nantinya diperoleh nilai surplus konsumen (SK) per responden, dengan formulasi sebagai berikut (Fauzi 2006) :

� =

���

Keterangan:

SKi = Surplus konsumen responden ke-i Vi = Jumlah kunjungan responden ke-i β1 = Koefisien biaya perjalanan

i = Responden ke-i (1,2,3,..,n)

Biaya yang dikeluarkan responden untuk mengonsumsi jasa dari gumuk pasir digunakan sebagai proxy untuk menentukan nilai manfaat wisata. Selanjutnya dapat diperoleh nilai rata-rata SK per responden per kunjungan, kemudian nilai tersebut dikalikan dengan jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan gumuk pasir dalam waktu satu tahun. Hasil perhitungan total SK merupakan nilai manfaat wisata gumuk pasir Parangtritis.

Analisis Regresi Linier

(39)

23 dan jarak dari tempat tinggal wisatawan hingga ke lokasi gumuk pasir. Model persamaan regresi linier berganda dalam penelitian ini sebagai berikut :

Y = α + β1BPi + β2Pi + β3TPi + β4Ji + єi

Keterangan:

Y = Frekuensi kunjungan responden dalam satu tahun terakhir (kali/tahun) α = Intercept

β1... β4 = Koefisien regresi

BP = Biaya perjalanan (Rp)

P = Jumlah pendapatan (Rp/bulan) TP = Tingkat pendidikan (tahun) J = Jarak (km)

i = Responden ke-i (1, 2, 3, n) є = Galat atau error

Hasil Kayu Bakar

Responden yang dijadikan sampel adalah masyarakat yang melakukan pengambilan kayu di kawasan gumuk pasir. Mereka memanfaatkan kayu untuk dijadikan sebagai bahan bakar sehari-hari yang mengganti kebutuhan minyak maupun gas. Penentuan sampel menggunakan purposive dengan pertimbangan masyarakat yang memanfaatkan gumuk pasir sebagai tempat penyedia kayu bakar dan jumlah responden sebanyak 15 responden. Sampling frame adalah jumlah RT yang mengambil kayu bakar di kawasan gumuk pasir dan jumlahnya sebanyak 64 RT. Perhitungan nilai manfaat sebagai tempat pengambilan kayu bakar dihitung melalui pendekatan harga pasar (market price). Secara matematis, berikut ini modifikasi formulasinya (KLH 2012) :

� =

∑��= �� ×��

� =� � ��

Keterangan :

RNMk = Rata-rata nilai manfaat hasil kayu bakar responden (Rp/RT/tahun) Pk = Frekuensi pengambilan oleh responden (ikat/RT/tahun)

Hk = Harga pasar kayu bakar (Rp/ikat) n = Jumlah responden (RT)

NMk = Total nilai manfaat dari pengambilan kayu bakar (Rp/ha/tahun) JP = Jumlah sampling frame (RT)

Lgm = Luas gumuk pasir (ha) Hasil Pakan Ternak

(40)

24

Responden yang dijadikan sampel adalah masyarakat yang memiliki hewan ternak, baik kambing, domba, maupun sapi. Penentuan sampel menggunakan purposive sampling dan jumlah responden sebanyak 15 responden. Sampling frame adalah jumlah RT yang memiliki hewan ternak dan jumlahnya sebanyak 179 RT. Perhitungan nilai manfaat sebagai tempat pengambilan pakan ternak dihitung melalui pendekatan harga pasar (market price). Secara matematis, berikut ini modifikasi formulasinya (KLH 2012) :

� =

∑��= ��×��

� =� � ��

Keterangan :

RNMp = Rata-rata nilai manfaat hasil pakan ternak responden (Rp/RT/tahun) Pp = Jumlah pakan yang diambil oleh responden (ikat/RT/tahun)

Hp = Harga pasar pakan ternak (Rp/ikat) n = Jumlah responden (RT)

NMp = Total nilai manfaat dari pengambilan pakan ternak (Rp/ha/tahun) JP = Jumlah sampling frame (RT)

Lgm = Luas gumuk pasir (ha) Nilai Manfaat Tidak Langsung

Manfaat tidak langsung (MTL) atau indirect use merupakan manfaat yang diperoleh dari suatu sumberdaya tanpa harus secara aktual mengonsumsinya, seperti manfaat ekologi. Pada penelitian ini, manfaat tidak langsung dari keberadaan gumuk pasir adalah sebagai penahan abrasi pantai dan pelindung angin laut (wind barrier) bagi lahan pertanian di sekitarnya. Penilaian manfaat tidak langsung diformulasikan sebagai berikut (Perrings et al. 1995)

= +

Keterangan :

NMT = Nilai manfaat tidak langsung gumuk pasir (Rp/ha/tahun) NMa = Nilai manfaat sebagai penahan abrasi pantai (Rp/ha/tahun)

NMb = Nilai manfaat sebagai pelindung angin (wind barrier) (Rp/ha/tahun) Penahan Abrasi Pantai

Gambar

Gambaran Umum Budidaya Tambak Udang
Grafik Produksi Udang Vannamei Kabupaten Bantul
Gambar 2  Proses terjadinya intrusi air laut di pesisir
Gambar 3 Alur kerangka pemikiran analisis ekonomi gumuk pasir Parangtritis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ketersediaan airtanah statis di dataran aluvial adalah sebanyak 45.500.000 m³, dataran fluviomarin sebanyak 21.900.000 m³, sedangkan komplek gumuk pasir dan beting gisik

Upaya yang dapat dilakukan adalah penyusunan peraturan yang jelas tentang perlindungan gumuk (perda gumuk) oleh pemerintah daerah, sosialisasi tentang manfaat gumuk bagi

Skripsi yang berjudul Performa Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) pada Tambak Semi Intensif di Desa Purworejo Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur ini

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kawasan Pantai Samas memiliki potensi alam lahan pertanian pasir, gumuk pasir, tempat penangkaran dan konservasi penyu, potensi seni dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa minat pengunjung tertuju pada obyek wisata alam pantai, wisata budaya dan kesenian dan pembentukan gumuk pasir (sand dunes). Pengembangan

Penggunaan lahan hutan lahan kering menurun dari luas tahun 2015 seluas 68,09 Ha atau 48,2% berubah menjadi 66,18 Ha atau 46,90%, karena ada pengaruh dari

Keterkaitan antara ekosistem gumuk pasir sebagai kawasan konservasi dengan kawasan pertambangan menghasilkan dua macam hubungan, yaitu hubungan negatif antara

Hasil identifikasi Hutan Mangrove di Desa Pantai Mekar terdiri dari dua komponen yaitu, manfaat langsung berupa tambak udang, tambak bandeng, tambak rumput laut,