ANALISIS SPASIAL IKLIM TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2009 - 2012
TESIS
Oleh
LAMBOK SINAGA 117032170/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
SPATIAL ANALYSIS OF CLIMATE ON THE INCIDENCE OF LUNG TUBERCULOSIS IN SERDANG BEDAGAI REGENCY
IN PERIOD OF 2009-2012
THESIS
By
LAMBOK SINAGA 117032170/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
ANALISIS SPASIAL IKLIM TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2009 - 2012
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
LAMBOK SINAGA 117032170/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : ANALISIS SPASIAL IKLIM TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2009 - 2012 Nama Mahasiswa : Lambok Sinaga
Nomor Induk Mahasiswa : 117032170
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)
Anggota
(dr. Taufik Ashar, M.K.M)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 07 Mei 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc Anggota : 1. dr. Taufik Ashar, M.Kes
PERNYATAAN
ANALISIS SPASIAL IKLIM TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2009 - 2012
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2014
ABSTRAK
Penyakit Tb paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai. Fluktuasi angka prevalensi dalam kurun waktu empat tahun, yang pada tahun 2009 menunjukkan angka prevalensi sebesar 74/100.000, tahun 2010 sebesar 113/100.000, tahun 2011 sebesar 87/100.000 dan tahun 2012 sebesar 129/100.000 jumlah penduduk. Salah satu faktor yang paling besar terhadap epidemiologi TB paru adalah faktor lingkungan. Keseluruhan faktor lingkungan tersebut secara parsial memberikan kontribusi terhadap kejadian TB paru per individu, dan secara keseluruhan menjadi gambaran kejadian kasus TB Paru di suatu wilayah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara iklim dengan kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai dengan mengamati daerah pesisir dan daerah bukan pesisir dengan menggunakan studi ekologi melalui pendekatan spasial dengan menggunakan data sekunder. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan menggunakan uji korelasi Sperman dan Pearson, dan multivariat dengan menggunakan uji analisis regresi linier berganda pada taraf kepercayaan 95 %, serta analisis spasial dengan tehnik Overlay.
Hasil penelitian ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak ada korelasi antara variabel yang diteliti. Hasil uji regresi linier berganda diketahui bahwa kelembaban udara (p=0,013) dan lama penyinaran matahari (p=0,012) adalah faktor iklim yang paling dominan mempengaruhi kejadian Tb paru di daerah bukan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009-2012. Dari hasil secara spasial variabel iklim berpengaruh terhadap fluktuasi kejadian Tb paru di Kecamatan Perbaungan dan Tebing Sahbandar.
Disarankan kepada Dinas Kesehatan, perlu berkomunikasi dengan BMKG agar dapat mengantisipasi peningkatan kejadian penyakit infeksi yang disebabkan oleh keadaan iklim terutama penyakit Tb paru dan melakukan peningkatan kemampuan menggunakan program pemetaan, agar dapat memutuskan rantai penularan Tb paru dan faktor yang mempengaruhinya.
ABSTRACT
Lung tuberculosis becomes the maun health problem in Serdang Bedagai Regency. The fluctuation of prevanlence rate in the period of four years which showed the prevalence rate of the population was 74/100.00 in 2009, 113/100.000 in 2010, 87/100.000 in 2011 dan 129/100.000 in 2012. One of the most important factors of the epidemiology of lung tuberculosis is enviroment. Partially, the factor of enviroment contributes to the incidence of lung tuberculosis individually, and simulataneously it becomes the description of incidence of lung tuberculosis in a region.
The objective of research was to find out the correlation between climate and the incidence of lung tuberculosis in Serdang Bedagai Regency by observing the coastal area dan no-coastal are by using ecology study through spatial approach with secondary data. The data were analyzed by using univariate analysis and bivariate analysis with Spearman dan Pearson correlation test, and multivariate analysis with multiple linear regression tests at the level of reliability of 95 %, as well as spatial analysis with Overlay techique.
The result of the research showed that, statistically, there was no correltion among the studied variables. The result of multiple linear regression analysis showed that humidity (p=0,013) and the lengfh of sunshine (p=0,012) were the climate factor which had the most dominant influence on the incidence of lung tuberculosis in the non-coastal area of Serdang Bedagai Regency in period of 2009-2012. Based on the spatial result, it was found that the variable of climate influenced the fluctuation of the incidence of lung tuberculosis in Perbaungan District dan Tebing Sahbandar.
It it recommended that the Health Service communicate with BMKG to anticipate the increase of incidence infection, especially in the incidence of lung tuberculosis, caused by climate and improve the capability of making mapping program in order to break off the link of lung tuberculosis transmission and the factors which influenced it.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Berkat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Analisis Spasial Iklim terhadap Kejadian Tb di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ”.
Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan
akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas
Sumatera Utara.
Penulis dalam menyusun tesis ini, menyadari begitu banyak mendapat
dukungan, bimbingan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis
ini dapat diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
pembimbing dengan sabar dan tulus serta banyak memberikan perhatian,
dukungan, pengertian dan pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis
ini.
5. Ir. Evi Naria, M.Kes dan Ir. Indra Chahaya, M.Si selaku komisi penguji yang
telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.
6. Seluruh Dosen Minat Studi Manejemen Kesehatan Lingkungan Industri,
Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,
yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.
7. Dr. Helmi Iskandar Sinaga, M. Kes, selaku Kepala Bidang Pengendalian Masalah
Kesehatan Dinas Kesehatan Serdang Bedagai yang telah memberikan izin dan data
penelitian.
8. Ayi Sudrajat, S.P, M.Si selaku petugas pada Stasiun BMKG Sampali yang telah
memberikan informasi dan data keadaan iklim Kabupaten Serdang.
9. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Minat Studi Manajemen Kesehatan
Lingkungan Industri.
Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada keluarga tercinta
Ayahanda Johnson Sinaga dan Ibunda Rumintang Lumban Gaol yang telah
memberikan dukungan moral dan moril sehingga penulis mendapatkan
pendidikan terbaik.
Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis curahkan kepada Isteri
Sinaga dan Juan Estomihi Sinaga yang penuh pengertian dan kesabaran, serta
turut memberikan doa dengan rela kehilangan banyak waktu bersama dalam
masa-masa menempuh pendidikan ini dan banyak sekali memberikan motivasi
serta dukungan moril kepada penulis agar dapat menyelesaikan pendidikan.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan yang ada,
untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Juli 2014 Penulis
Lambok Sinaga 117032170/IKM
DAFTAR ISI
2.1.4 Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian TB Paru ... 16
2.2 Iklim dan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 21
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 40
4.3.2 Uji Normalitas Data Daerah Bukan Pesisir ... 81
4.4 Analisis Bivariat ... 82
4.4.1 Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru di daerah Pesisir dan Bukan Pesisir ... 82
4.4.2 Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru di Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir ... 85
4.4.3 Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian Tb paru di Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir ... 89
4.4.4 Korelasi Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb paru di Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir... 91
4.4.5 Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb paru di Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir ... 95
4.5 Analisis Multivariat ... 98
4.5.1 Faktor Iklim Paling Dominan yang Mempengaruhi Kejadian Tb paru pada Daerah Bukan Pesisir ... 98
4.6 Analisis Spasial ... 100
4.6.1 Overlay Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 101
4.6.3 Overlay Curah Hujan dengan Kejadian Tb paru di
Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 103
4.6.4 Overlay Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 106
4.6.5 Overlay Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 106
BAB 5. PEMBAHASAN ... 109
5.1. Gambaran Iklim Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009 – 2012 ... 109
5.1.1 Gambaran Suhu Udara Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 110
5.1.2 Gambaran Kelembaban Udara Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 112
5.1.3 Gambaran Curah Hujan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 113
5.1.4 Gambaran Lama Penyinaran Matahari Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012... 115
5.1.5 Gambaran Kecepatan Angin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 116
5.1.6 Gambaran Kejadian Tb paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 117
5.2. Korelasi Iklim dengan Kejadian Tb paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 118
5.1.1 Korelasi Suhu Udara Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 119
5.1.2 Korelasi Kelembaban Udara Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 120
5.1.3 Korelasi Curah Hujan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 121
5.1.4 Korelasi Lama Penyinaran Matahari Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012... 122
5.1.5 Korelasi Kecepatan Angin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 123
5.3. Faktor Iklim yang Mempengaruhi Kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009 – 2012 ... 124
5.4. Analisis Spasial ... 126
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 128
6.1. Kesimpulan ... 128
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Definisi Operasional ... 42
4.1 Jumlah Penduduk di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009
-2012 ... 48
4.2 Jumlah Penduduk pada Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Sei
Rampah, Kecamatan Tanjung Beringin, Kecamatan Sipispis, Kecamatan Tebing Sahbandar dan Kecamatan Kotarih Tahun 2009-2012 ... 49
4.3 Variasi Suhu Udara (0C) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 50
4.4 Distribusi Suhu Udara (0C) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 51
4.5 Variasi Kelembaban Udara (%) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang
Bedagai Tahun 2009-2012 ... 53
4.6 Distribusi Kelembaban Udara (%) Daerah Pesisir Kabupaten
Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 54
4.7 Variasi Curah Hujan (mm) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang
Bedagai Tahun 2009-2012 ... 56
4.8 Distribusi Curah Hujan (mm) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 57
4.9 Variasi Lama Penyinaran Matahari (%) Daerah Pesisir Kabupaten
Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 58
4.10 Distribusi Lama Penyinaran Matahari (%) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 60
4.11 Variasi Kecepatan Angin (knot) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang
4.12 Distribusi Kecepatan Angin (knot) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 62
4.13 Jumlah Kejadian Tb paru (kasus) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 64
4.14 Distribusi Kejadian Tb paru (kasus) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 65
4.15 Variasi Suhu Udara (0C) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang
Bedagai Tahun 2009-2012 ... 66
4.16 Distribusi Suhu Udara (0C) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 67
4.17 Variasi Kelembaban Udara (%) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 68
4.18 Distribusi Kelembaban Udara (%) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 69
4.19 Variasi Curah Hujan (mm) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 70
4.20 Distribusi Curah Hujan (mm) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 71
4.21 Variasi Lama Penyinaran Matahari (%) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 73
4.22 Distribusi Lama Penyinaran Matahari (%) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 74
4.23 Variasi Kecepatan Angin (knot) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten
Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 75
4.24 Distribusi Kecepatan Angin (knot) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 76
4.25 Jumlah Kejadian Tb paru (kasus) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten
4.26 Distribusi Kejadian Tb paru (kasus) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 79
4.27 Uji Normalitas Data Variabel – variabel Penelitian Tahun
2009-2012 Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai ... 80
4.28 Uji Normalitas Data Variabel – variabel Penelitian Tahun
2009-2012 Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai ... 81
4.29 Analisis Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun
2009-2012 ... 82
4.30 Analisis Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru Daerah Pesisir dan Bukan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 86
4.31 Analisis Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian Tb paru Daerah Pesisir dan Bukan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 .. 89
4.32 Analisis Korelasi Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb paru Daerah Pesisir dan Bukan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun
2009-2012 ... 92
4.33 Analisis Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb paru Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 97
4.34 Hasil Uji Analisis Regresi Linier Berganda Variabel Penelitian
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Teori Simpul Kejadian Penyakit ... 18
2.2 Modifikasi Kerangka Teori Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Tuberkulosis oleh Murti (2003) dan Achmadi
(2005) ... 38
2.3 Kerangka Konsep Penelitian ... 39
4.1 Peta Administrasi Kabupaten Serdang Bedagai Menurut
Kecamatan ... 47
4.2 Grafik Jumlah Penduduk di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun
Tahun 2009 – 2012 ... 48
4.3 Grafik Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru Daerah
Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 83
4.4 Grafik Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian Tb Paru Daerah
Bukan Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 85
4.5 Grafik Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru
Daerah Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 87
4.6 Grafik Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru
Daerah Bukan Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 88
4.7 Grafik Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian Tb Paru Daerah
Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 90
4.8 Grafik Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian Tb Paru Daerah
Bukan Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 91
4.9 Grafik Korelasi Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb
Paru Daerah Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 93
4.10 Grafik Korelasi Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb
4.11 Grafik Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb Paru
Daerah Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 96
4.12 Grafik Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb Paru
Daerah Bukan Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 97
4.13 Overlay Rata-rata Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru
Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 102
4.14 Overlay Rata-rata Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru
Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 104
4.15 Overlay Rata-rata Curah Hujan dengan Kejadian Tb paru
Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 105
4.16 Overlay Rata-rata Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian
Tb Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 107
4.17 Overlay Rata-rata Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb paru
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Analisis Univariat ... 138
2. Uji Normalitas ... 144
3. Uji Korelasi ... 149
4. Analisis Regresi Berganda ... 164
5. Data BMKG ... 165
6. Data Sekunder Tb paru Dinas Kesehatan Kab. Serdang Bedagai ... 171
7. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 175
7. Surat Telah Menyelesaikan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai ... 176
ABSTRAK
Penyakit Tb paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai. Fluktuasi angka prevalensi dalam kurun waktu empat tahun, yang pada tahun 2009 menunjukkan angka prevalensi sebesar 74/100.000, tahun 2010 sebesar 113/100.000, tahun 2011 sebesar 87/100.000 dan tahun 2012 sebesar 129/100.000 jumlah penduduk. Salah satu faktor yang paling besar terhadap epidemiologi TB paru adalah faktor lingkungan. Keseluruhan faktor lingkungan tersebut secara parsial memberikan kontribusi terhadap kejadian TB paru per individu, dan secara keseluruhan menjadi gambaran kejadian kasus TB Paru di suatu wilayah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara iklim dengan kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai dengan mengamati daerah pesisir dan daerah bukan pesisir dengan menggunakan studi ekologi melalui pendekatan spasial dengan menggunakan data sekunder. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan menggunakan uji korelasi Sperman dan Pearson, dan multivariat dengan menggunakan uji analisis regresi linier berganda pada taraf kepercayaan 95 %, serta analisis spasial dengan tehnik Overlay.
Hasil penelitian ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak ada korelasi antara variabel yang diteliti. Hasil uji regresi linier berganda diketahui bahwa kelembaban udara (p=0,013) dan lama penyinaran matahari (p=0,012) adalah faktor iklim yang paling dominan mempengaruhi kejadian Tb paru di daerah bukan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009-2012. Dari hasil secara spasial variabel iklim berpengaruh terhadap fluktuasi kejadian Tb paru di Kecamatan Perbaungan dan Tebing Sahbandar.
Disarankan kepada Dinas Kesehatan, perlu berkomunikasi dengan BMKG agar dapat mengantisipasi peningkatan kejadian penyakit infeksi yang disebabkan oleh keadaan iklim terutama penyakit Tb paru dan melakukan peningkatan kemampuan menggunakan program pemetaan, agar dapat memutuskan rantai penularan Tb paru dan faktor yang mempengaruhinya.
ABSTRACT
Lung tuberculosis becomes the maun health problem in Serdang Bedagai Regency. The fluctuation of prevanlence rate in the period of four years which showed the prevalence rate of the population was 74/100.00 in 2009, 113/100.000 in 2010, 87/100.000 in 2011 dan 129/100.000 in 2012. One of the most important factors of the epidemiology of lung tuberculosis is enviroment. Partially, the factor of enviroment contributes to the incidence of lung tuberculosis individually, and simulataneously it becomes the description of incidence of lung tuberculosis in a region.
The objective of research was to find out the correlation between climate and the incidence of lung tuberculosis in Serdang Bedagai Regency by observing the coastal area dan no-coastal are by using ecology study through spatial approach with secondary data. The data were analyzed by using univariate analysis and bivariate analysis with Spearman dan Pearson correlation test, and multivariate analysis with multiple linear regression tests at the level of reliability of 95 %, as well as spatial analysis with Overlay techique.
The result of the research showed that, statistically, there was no correltion among the studied variables. The result of multiple linear regression analysis showed that humidity (p=0,013) and the lengfh of sunshine (p=0,012) were the climate factor which had the most dominant influence on the incidence of lung tuberculosis in the non-coastal area of Serdang Bedagai Regency in period of 2009-2012. Based on the spatial result, it was found that the variable of climate influenced the fluctuation of the incidence of lung tuberculosis in Perbaungan District dan Tebing Sahbandar.
It it recommended that the Health Service communicate with BMKG to anticipate the increase of incidence infection, especially in the incidence of lung tuberculosis, caused by climate and improve the capability of making mapping program in order to break off the link of lung tuberculosis transmission and the factors which influenced it.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara epidemiologi, Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Jumlah terbesar kasus tuberkulosis paru terjadi di Asia
Tenggara sebesar 40%, diikuti regional Afrika (26%), Pasifik Barat (19%), dan
terendah pada regional Eropa (3%). Pada regional Asia Tenggara, negara tertinggi
prevalensi TB Paru adalah Myanmar yaitu 525 per 100.000 penduduk, diikuti
Bangladesh sebesar 411 per 100.000 penduduk, dan Indonesia menempati urutan
ke lima yaitu dengan prevalensi sebesar 289 per 100.000 penduduk (WHO, 2012).
WHO (2009) melaporkan bahwa, bakteri penyebab tuberkulosis paru
membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahunnya. Tahun 2002 – 2020 diperkirakan
sekitar 1 milyar manusia akan terinfeksi, dengan kata lain pertambahan jumlah
infeksi lebih dari 56 juta setiap tahunnya.
Sejak DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dicanangkan tahun 1995 di Indonesia, penanggulangan tuberkulosis paru mengalami
keberhasilan. Keberhasilan pemerintah dalam menerapkan strategi DOTS
menunjukkan adanya kemajuan, dari 22 negara yang termasuk high burden country, dimana Indonesia pada tahun 2009 menduduki rangking kelima setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria yang sebelumnya dilaporkan sebagai
Namun keberhasilan tersebut tidak menjadi patokan bahwa tuberkulosis
paru dapat dilupakan keberadaannya di Indonesia. Dalam Strategi Nasional
Pengendalian tuberkulosis paru di Indonesia 2010-2014, Kementerian Kesehatan
masih mengganggap bahwa beberapa penyakit menular antara lain, tuberkulosis,
Demam Berdarah Dengue (DBD), diare, malaria, HIV/AIDS tetap merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Agar tujuan penanggulangan TB dapat tercapai
dengan baik maka ditetapkan program jangka panjang, yaitu menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian penyakit tuberkulosis paru dengan cara
memutuskan rantai penularan (Kemenkes, 2011).
Yang menjadi skala prioritas program-program kesehatan, sesuai dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Periode 2010-2014,
dengan sasaran lebih spesifik yaitu menurunkan prevalensi tuberkulosis paru dari
235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Persentase kasus
baru yang ditemukan saat ini (73%) dan target 2014 menjadi (90%) serta
persentase kasus baru yang disembuhkan kondisi saat ini (85%) dan target 2014
menjadi (88%) (Kemenkes, 2011).
Walaupun upaya penurunan angka kesakitan dan angka kematian penyakit
tuberkulosis paru sudah dilakukan, tidak menunjukkan hasil yang memuaskan,
berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, diketahui angka kejadian
tuberkulosis Paru cenderung bervariatif disetiap propinsi, dan berfluktuasi setiap
tahunnya. Dari penemuan kasus suspek tuberkulosis paru, diketahui selama kurun
terjadi penurunan sebesar 82 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 2006 dan
tahun 2009 terjadi penurunan sebesar sebesar 7 per 100.000 penduduk
dibandingkan tahun 2008. Pada tahun 2010 angka ini terjadi peningkatan sebesar
57 per 100.000 penduduk dibandingkan pada tahun 2009, dan sampai dengan
triwulan kedua tahun 2011, angka penjaringan suspek sebesar 550 per 100.000
penduduk. Keadaan ini mendekripsikan bahwa insidensi tuberkulosis paru masih
menjadi trend permasalahan penyakit menular di Indonesia, dan pada tahun 2011,
angka prevalensi semua tipe tuberkulosis sebesar 316,562 per 100.000 penduduk
dengan angka CDR 82,2 % (Kemenkes, 2012).
Begitu juga dengan prevalensi tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang
Bedagai. Berdasarkan Data Profil Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai (2012),
menunjukkan bahwa selama kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir 2009-2012,
terjadi fluktuasi prevalensi tuberkulosis paru. Tahun 2009 prevalensi tuberkulosis
paru sebesar 74 per 100.000 penduduk tahun 2010 prevalensi tuberkulosis paru
mengalami kenaikan yaitu sebesar 113 per 100.000 penduduk, tahun 2011
prevalensi tuberkulosis paru mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar
87 per 100.000 penduduk tetapi masih diatas tahun 2009, sedang tahun 2012
prevalensi mengalami kenaikan yaitu 129 per 100.000 penduduk.
Salah satu faktor yang dinilai mempunyai peran paling besar terhadap
epidemiologi tuberkulosis paru adalah faktor lingkungan. Penelitian Musadad
(2006) menjelaskan bahwa faktor lingkungan fisik rumah dalam meningkatkan
bakar, dan kepadatan hunian, dan faktor lingkungan sosial juga menjadi faktor
terjadinya peningkatan kasus tuberkulosis paru seperti keadaan sosial ekonomi,
budaya, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, serta faktor-faktor bersumber individu
lainnya seperti status gizi, umur, pendidikan dan jenis pekerjaan (Helper, 2010).
Keseluruhan faktor lingkungan tersebut secara parsial memberikan
kontribusi terhadap kejadian tuberkulosis paru per individu, dan secara
keseluruhan menjadi gambaran kejadian kasus tuberkulosis paru di suatu wilayah.
Deskripsi kejadian tuberkulosis paru dapat digambarkan berdasarkan karakteristik
wilayah yang didasarkan pada karakteristik individu penderita tuberkulosis paru,
karakteristik lingkungan fisik seperti iklim, dan keadaan cuaca lainnya secara
kewilayahan. Deskripsi keadaan tuberkulosis paru secara kewilayah ini menjadi
masukan dalam upaya pengendalian tuberkulosis paru secara kewilayahan dan
nasional. Menurut Ahmadi (2011) faktor lingkungan fisik seperti kelembaban
udara, suhu, kecepatan angin dan faktor sinar matahari merupakan unsur penting
dari lingkungan untuk mendekripsikan keadaan kesehatan penduduk suatu
wilayah.
Pendekatan spasial juga dinilai efektif dalam mengambarkan keadaan
surveilans epidemiologi tuberkulosis paru. Secara umum sistem surveilans
epidemiologi yang lazim digunakan sekarang adalah merujuk pada pengumpulan
data secara parsial disetiap wilayah kerja puskesmas, dan hanya mengandalkan
tenaga supervisor tuberkulosis paru yang ditunjuk oleh puskesmas, dan sistem
karena tidak terintegrasi dengan sistem komputer atau sistem yang dapat
menjustifikasi keadaan sesungguhnya termasuk keadaan iklim wilayah. Menurut
Murti (2003) kegiatan surveilans meliputi pengumpulan data, analisis berupa
distribusi kasus, tren penyakit, karakteristik demografik penderita yang kemudian
didiseminasikan secara teratur pada pihak yang berwenang untuk mendukung
pengambilan keputusan (decision making). Penggunaan SIG akan sangat membantu di bidang kesehatan masyarakat sehingga menjadi lebih terorganisir
untuk menganalisa aspek spasial dan temporal dari penyebaran penyakit. Data
lokasi dan pola yang dihasilkan oleh SIG dapat membantu di bidang epidemiologi
diantaranya memberi petunjuk lokasi paling tepat untuk pemberian intervensi
kesehatan yang efektif (Royal Tropical Institute, 2009). Pendekatan spasial sangat
beralasan, karena penyebaran suatu penyakit, terutama penyakit menular sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Jika suatu daerah terjangkit suatu penyakit
menular, maka terdapat kemungkinan bahwa daerah sekitarnya akan tertular
penyakit ini pula (Hartanto, 2010).
Pendekatan spasial dalam mendeskripsikan kejadian tuberkulosis paru suatu
wilayah dinilai penting, karena mengingat risiko spasial (ruang/wilayah) seperti
iklim,suhu dan lainnya mempunyai peran terhadap fluktuasi kasus tuberkulosis
paru. Penelitian Aprisa, et.al (2004) di Kota Yogya menemukan ada perbedaan
signifikan kejadian tuberkulosis paru di masing-masing wilayah di Kota Yogya,
dengan DOTS dapat ditingkatkan pada wilayah-wilayah dengan risiko tinggi
tuberkulosis.
Fenomena kejadian tuberkulosis paru di Provinsi Sumatera Utara juga
sangat bervariatif, termasuk di Kabupaten Serdang Bedagai. Data iklim dari BPS
Kabupaten Serdang Bedagai (2012), menunjukkan bahwa selama kurun waktu
2010-2011, terjadi fluktuasi keadaan iklim di Kabupaten Serdang Bedagai. Tahun
2010 rata-rata suhu udara adalah 28,4 0C dan maksimum 32,1 0C, dengan
kelembaban 83%, dan curah hujan 134 mm, dan kasus tuberkulosis paru sebanyak
665 kasus, sedangkan tahun 2011 suhu udara minimum menurun menjadi 27,0 0C,
dan maksimum 32,7 0C, dan curah hujan menjadi 92 mm dengan kasus
tuberkulosis paru menurun menjadi 586 kasus. Berdasarkan fenomena tersebut di
atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis spasial
iklim terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai,
sehingga dapat dijadikan bahan masukan dan rekomendasi untuk upaya
penanggulangan tuberkulosis paru yang tepat guna, efektif dan efesien.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan fakta bahwa tuberkulosis paru masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat, dan belum adanya pendekatan spasial dalam penerapan
surveilans epidemiologi di Kabupaten Serdang Bedagai, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana analisis spasial iklim terhadap kejadian
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan analisis spasial iklim
terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai tahun
2009-2012.
1.4. Hipotesa
Ho : Tidak ada hubungan iklim dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten
Serdang Bedagai tahun 2009-2012.
Ha : Ada hubungan iklim dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten
Serdang Bedagai Tahun 2009-2012.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai; sebagai bahan
masukan bagi pengambilan kebijakan dalam penanggulangan penyakit
tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai
b. Bagi ilmu pengetahuan; hasil penelitian ini dapat menjadi informasi
ilmiah dalam bidang kesehatan lingkungan.
c. Bagi Peneliti; menambah pengetahuan dan pengalaman baru dalam
menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis dengan perangkat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kejadian Tuberkulosis Paru 2.1.1. Batasan
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi
kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu
pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
(Djojodibroto, 2009). Mycobacterium tuberculosis berbentuk basil sedikit melengkung, dan sifatnya aerob. Kuman ini memiliki dinding sel dengan
penyusun struktur dinding sel paling tinggi adalah lipid. Pada pengecatan gram,
kuman ini resisten, namun dengan pegecatan fuchsin, kuman ini dapat menyerap
warna dan tidak mudah diuraikan warnanya dengan asam-alkohol. Oleh karena
itu, bakteri ini disebut sebagai bakteri tahan asam (Aditama, 2006).
2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang sejarahnya dapat
dilacak sampai ribuan tahun sebelum masehi. Sejak zaman purba, penyakit ini
dikenal sebagai penyebab kematian yang menakutkan. Sampai pada saat Robert
Koch menemukan penyebabnya, penyakit ini masih termasuk penyakit yang
mematikan. Saat itu, masih dianut paham bahwa penularan tuberkulosis paru
dan lalat. Hingga tahun 1960, paham ini masih dianut di Indonesia (Djojodibroto,
2009).
Walaupun upaya memberantas tuberkulosis paru telah dilakukan di
Indonesia, tetapi angka insiden maupun prevalensi tuberkulosis paru di Indonesia
tidak pernah turun. Dengan bertambahnya penduduk, bertambah pula jumlah
penderita tuberkulosis paru, dan kini Indonesia adalah negara peringkat kelima
terbanyak di dunia dalam jumlah penderita tuberkulosis paru. Dengan
meningkatnya infeksi HIV/AIDS di Indonesia, penderita tuberkulosis akan
meningkat pula. Karena diperkirakan seperempat penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis, pada tahun 1993 WHO mencanangkan tuberkulosis sebagai
kedaruratan global (Djojodibroto, 2009).
2.1.3. Patogenesis dan Patologi
Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara (airborne disease) secara langsung dari penderita tuberkulosis paru kepada orang lain. Dengan demikian,
penularan penyakit tuberkulosis paru terjadi melalui hubungan dekat antara
penderita dan orang yang tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan
tidur atau ruang kerja yang sama. Penyebar penyakit tuberkulosis sering tidak tahu
bahwa ia menderita sakit tuberkulosis. Droplet yang mengandung basil
tuberkulosis paru yang dihasilkan dari batuk dapat melayang di udara hingga
kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tadi
terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada dinding sistem
droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus mana pun ; tidak ada
predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil
tuberkulosis akan membentuk suatu fokus infeksi primer berupa tempat
pembiakan basil tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan
reaksi inflamasi (Djojodibroto, 2009). Bentuk bakteri Mycobacterium
Tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang merupakan batang ramping, kurus, dan
tahan akan asam atau sering disebut dengan BTA (batang tahan asam). Dapat
berbentuk lurus ataupun bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 µm dan lebar 0,2 –
0,5 µm yang bergabung membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung pada
kondisi lingkungan (Ginanjar, 2008).
Kuman tuberkulosis paru cepat mati dengan sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat domant (tertidur lama) selama beberapa
tahun (Kemenkes, 2011). Masa inkubasi tuberkulosis paru biasanya berlangsung
dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tubuh hingga mencapai jumlah 103 – 104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler. Selama
berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman tuberkulosis
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitasi terhadap tuberculin
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primen
Berdasarkan aspek gejala, diketahui tuberkulosis paru mempunyai gejala
utama berupa batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih.
Gejala lain yang sering dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas dan nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
turun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam tanpa kegiatan dan demam
meriang lebih dari sebulan. Gejala-gejala tersebut dijumpai pula pada penyakit
paru selain tuberculosis (Kemenkes, 2011).
Adapun gambaran klinik penderita tuberkulosis paru dapat dibagi atas :
1) Gejala Sistemik
Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam, demam
tersebut berlangsung pada waktu sore dan malam hari, disertai dengan keluar
keringat dingin meskipun tanpa kegiatan, kemudian kadang hilang. Gejala ini
akan timbul lagi beberapa bulan seperti demam influenza biasa dan kemudian juga
seolah-olah sembuh (tidak demam lagi). Gejala lain adalah malaise (seperti perasaan lesu) yang bersifat berkepanjangan kronik, disertai rasa tidak enak
badan, lemah dan lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin
kurus, pusing, serta mudah lelah.
2) Gejala Respiratorik
Adapun gejala respiratorik atau gejala saluran pernapasan adalah batuk.
Batuk bisa berlangsung terus menerus selama 3 minggu atau lebih, hal ini terjadi
sputum, dahak ini kadang bersifat mukoid atau purulent. Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk darah, hal ini disebabkan karena pembuluh
darah pecah akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk darah inilah yang sering membawa penderita ke dokter (Achmadi, 2008).
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA Positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen hasilnya
positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu
(SPS) diulang :
a. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita di
diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA Positif.
b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, maka pemeriksaan
dahak ulangi dengan SPS lagi.
Bila tiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum
luas (misal : kotrimoksasol atau amoksisillin) selama 1 – 2 minggu, bila tidak ada
perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan tuberkulosis paru, ulangi
pemeriksaan dahak SPS.
a. Kalau hasil SPS positif, maka didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru
BTA positif.
b. Kalau hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
1) Bila hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, di diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA negatif rontgen positif
2) Bila hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, penderita tersebut
bukan tuberkulosis paru
Berdasarkan aspek penularan tuberkulosis paru, diketahui sumber
penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis paru
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut (Depkes, 2007).
Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif. Risiko
penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk berisiko terinfeksi tuberkulosis paru selama satu tahun. ARTI sebesar 1 %, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi
antara 1-3 %. Infeksi tuberkulosis dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin
Secara individu, diketahui banyak variabel yang menjadi faktor risiko
kejadian tuberkulosis paru, antara lain faktor jenis kelamin. Widoyono (2008),
menjelaskan bahwa seseorang penderita tuberkulosis paru dengan BTA positif yang derajat positifnya tinggi berpotensi menularkan penyakit tuberkulosis paru. Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular tuberkulosis paru adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah). Berbagai penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan faktor risiko kejadian
tuberkulosis paru mengindikasikan hasil yang inkonsisten karena adanya
perbedaan lokasi dan tempat penelitian.
Ratnasari (2005) menunjukkan hasil bahwa tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, kepadatan hunian dan intensitas pencahayaan merupakan faktor risiko
tuberkulosis paru, sedangkan kebiasaan merokok, luas ventilasi dan riwayat
kontak bukan merupakan faktor risiko tuberkulosis paru. Hal ini bertentangan
dengan penelitian Mahmudah (2003) yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru. Serta pada
penelitian Simbolon (2007) menunjukkan bahwa luas ventilasi dan riwayat kontak
merupakan faktor risiko tuberkulosis paru.
Kartasasmita (2009), faktor risiko terjadinya infeksi tuberkulosis antara
lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan tuberkulosis aktif
sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti
asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien
tuberkulosis dewasa aktif. Sumber infeksi tuberkulosis pada anak yang terpenting
adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA
positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko
tinggi terinfeksi tuberkulosis. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin
besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.
Lienhard (2003), penelitian mengenai faktor risiko untuk terjadinya infeksi
tuberkulosis di Gambia mendapatkan bahwa prevalensi uji tuberkulin positif pada
anak laki laki dan perempuan tidak berbeda sampai adolesen, setelah itu itu lebih
tinggi pada anak laki laki. Hal ini diduga akibat dari peran social dan aktivitas
sehingga lebih terpajan pada lingkungan, atau karena secara bawaan lebih rentan,
atau adanya faktor predisposisi terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat.
Selanjutnya kontak dengan pasien tuberkulosis merupakan faktor risiko utama,
dan makin erat kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di rumah
(household contact) dengan anggota keluarga yang sakit tuberkulosis sangat berperan untuk terjadinya infeksi tuberkulosis di keluarga, terutama keluarga
terdekat. Faktor lain adalah jumlah orang serumah (kepadatan hunian), lamanya
tinggal serumah dengan pasien, pernah sakit tuberkulosis, dan satu kamar dengan
2.1.4. Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru
Faktor lingkungan sangat berkontribusi untuk mempengaruhi keadaan
kesehatan seseorang seperti yang dikemukakan H.L. Blum (1974) dalam
Notoadmodjo (2008) yaitu status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor:
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Dari keempat
komponen tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor lingkungan paling besar
memberikan kontribusi terhadap terjadinya suatu penyakit, yaitu sebesar 40%
sedangkan yang paling kecil adalah pelayanan medis sebesar 10%.
Pendapat lain yang memperkuat bahwa faktor lingkungan memiliki
kontribusi yang besar terhadap terjadinya suatu penyakit dapat dipelajari pada
teori simpul kejadian penyakit yang dikemukakan Achmadi (2005) dimana suatu
penyakit itu terjadi oleh karena adanya interaksi antara faktor lingkungan dan
faktor kependudukan. Timbulnya suatu penyakit pada masyarakat tertentu pada
dasarnya merupakan hasil interaksi antara penduduk setempat dengan berbagai
komponen di lingkungannya. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
berinteraksi dengan pangan, udara, air serta serangga. Apabila berbagai komponen
lingkungan tersebut mengandung bahan berbahaya seperti beracun, ataupun bahan
mikroba yang memiliki potensi timbulnya penyakit, maka manusia akan jatuh
sakit dan dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Bulto (2006), iklim adalah salah satu faktor yang dapat menimbulkan
kondisi yang memudahkan perkembangan beberapa penyakit yang disebabkan
kematian, oleh karena penyakit bounded terhadap ekosistem, dan manusia bagian dari sebuah ekosistem. Sementara itu kejadian penyakit merupakan inti
permasalahan kesehatan, dan kesehatan merupakan salah satu kontributor utama
penyebab kemiskinan. Hasil telaahan juga mengindikasikan, ada tiga variabel
utama yang harus dilakukan secara simultan, yaitu: pendidikan, kesehatan dan
pengendalian kemiskinan (perbaikan ekonomi). Berbagai tinjauan kepustakaan
lainnya juga menyebutkan bahwa iklim bermakna kehidupan. Perubahan iklim
akan diikuti perubahan ekosistem. Atau tata kehidupan yang pada akhirnya
merubah pola hubungan interaksi antara lingkungan dan manusia yang berdampak
terhadap derajat kesehatan masyarakat. Hubungan iklim dengan penyakit
merupakan hubungan yang rumit. Dua aspek dasar pengaruh iklim dengan
penyakit, yaitu: hubungan faktor iklim terhadap organisme penyakit atau
penyebarannya, dan pengaruh cuaca dan iklim terhadap ketahanan tubuh. Banyak
penyakit yang berhubungan dengan iklim atau musim tertentu, terutama dengan
suhu dan kelembaban. Sejumlah parasit hanya dapat menginfeksi manusia di
daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab.
Variabel-variabel yang merupakan komponen iklim menurut Achmadi
(2008), seperti: suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, kelembaban ruang,
kemarau panjang dan curah hujan mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran
berbagai spesies mikroba dan parasit serta berbagai variabel kependudukan.
Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap patogenesis berbagai penyakit yang
perubahan iklim adalah terhadap potensi peningkatan kejadian timbulnya penyakit
yang ditularkan oleh nyamuk, seperti: demam berdarah, malaria, dan sebagainya.
Hubungan antara lingkungan, kependudukan dan determinan iklim serta
dampaknya terhadap kesehatan dapat digambarkan kedalam teori simpul kejadian
penyakit atau paradigma kesehatan lingkungan yang pada hakekatnya juga
merupakan model patogenesis kejadian penyakit. Tidak semua variable
dipengaruhi oleh perubahan iklim. Namun perubahan iklim secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh terhadap model hubungan berbagai variable
kependudukan dan lingkungan tersebut.
Lebih lanjut Achmadi (2008) menyatakan bahwa semua penyakit harus
digambarkan dalam sebuah model dinamika transmisi dengan menggunakan
prosedur tertentu, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.1. berikut.
Gambar 2.1 Teori Simpul Kejadian Penyakit Sumber, Achmadi, (2008)
Berdasarkan gambar 2.2 di atas, maka patogenesis atau proses kejadian
penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yaitu : Sumber
a. Simpul 1 (Sumber Penyakit)
Merupakan titik yang secara konstan maupun sporadis berpotensi meluar
pada manusia. Dalam hal ini berupa virus, bakteri, parasit, atau yang lain (Anies,
2006). Sumber penyakit menular adalah penderita penyakit menular itu sendiri,
atau bisa juga sebuah proses kegiatan, misalnya sumber penyakit tuberkulosis
paru adalah penderita penyakit yang bersangkutan. Selanjutnya sumber penyakit
ini dapat disebut agent penyakit. Agen penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak langsung atau
melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan) (Achmadi, 2008).
b. Simpul 2 (Media Transmisi Penyakit)
Media transmisi penyakit yaitu komponen lingkungan yang dapat
memindahkan agent penyakit, yang pada hakikatnya hanya ada 5 komponen, yaitu
udara, air, tanah (pangan), binatang dan manusia. Media transmisi tidak akan
memiliki potensi penyakit kalau di dalamnya tidak mengandung bibit penyakit
atau agent penyakit. Udara dikatakan memiliki potensi menimbulkan penyakit
kalau di dalamnya terdapat mycobaterium tuberculosis (Achmadi, 2008). Dalam penelitian ini media transmisi yang diteliti adalah suhu udara, kelembaban udara,
c. Simpul 3 (Perilaku Pemajanan)
Agent penyakit, dengan atau tanpa menumpang komponen lingkungan lain,
masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang kita kenal sebagai proses
“hubungan interaktif”. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan
penduduk berikut perilakunya, dapat diukur dalam konsep yang disebut sebagai
perilaku pemajanan atau behavioural exposure. Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi
bahaya penyakit (agent penyakit) (Achmadi, 2008). Misalnya jumlah bakteri
mycobacterium tuberculosis yang terhirup manusia sehat ketika berada dekat dengan penderita tuberkulosis paru saat mengeluarkan batuk yang disertai kuman
tuberkulosis paru.
d. Simpul 4 (Kejadian Penyakit)
Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang potensi bahaya gangguan kesehatan. Seseorang
dikatakan sakit kalau salah satu maupun bersama mengalami kelainan
dibandingkan rata-rata penduduk lainnya. Biasanya kelainan bentuk atau kelainan
fungsi, sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial (Achmadi, 2008).
e. Simpul 5 (Variabel Suprasistem)
Kejadian penyakit masih dipengaruhi oleh variabel iklim, topografi, temporal
dan suprasistem lainnya, yaitu keputusan politik berupa kebijakan makro yang
2.2. Iklim dan Kejadian Tuberkulosis Paru
Salah satu faktor yang berkorelasi terhadap kejadian tuberkulosis paru
adalah faktor lingkungan. Komposisi dari faktor lingkungan tersebut antara lain
adalah iklim. Iklim berpengaruh terhadap agen hidup di lingkungan dalam
terlaksanannya siklus reproduksinya. Misalnya mikroorganisme mempunyai
syarat bagi kehidupan yang optimum, baik temperatur, zat hara, dan lain lain.
Iklim juga berpengaruh terhadap host beserta perilakunya, misalnya mortalitas
dan morbiditas dikatan bervariasi atas dasar iklim, penyakitpun banyak yang
musiman. Tidak hanya penyakit atau agentnya yang dipengaruhi musim, tetapi
ternyata manusia juga mengalami siklus atau mempunyai bioritme yang bervariasi
seiring musim (Soemirat, 2010). Seperti halnya Mycobacterium tuberculosis akan mati jika terkena sinar UV secara langsung dalam waktu 5 menit (Crofton, 2009).
Iklim dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang amat erat, terutama
terjadinya berbagai penyakit menular. Iklim dapat dijadikan predictor kejadian berbagai penyakit menular yang seyogyanya dapat dijadikan petunjuk untuk
melakukan manajemen kesehatan, khususnya manajemen penyakit berbasis
wilayah. Iklim adalah rata-rata cuaca dalam periode yang panjang (bulan, tahun)
pada suatu wilayah tertentu. Rata-rata cuaca meliputi semua gambaran yang
berhubungan dengan suhu, pola angin, curah hujan yang terjadi dipermukaan
bumi (Achmadi, 2008).
Iklim sebagai perwujudan kumulatif keadaan cuaca harian paling sering
temperatur dan presipitasi, tetapi juga sinar matahari dan angin. Apabila variasi
rata-rata iklim digambarkan dalam peta, masalah geografis yang muncul dari
distribusi spasial akan terungkap. Menurut Putri (2008), penggunaan rata-rata
bulanan, dan bukannya rata-rata tahunan, dapat memperlihatkan karakteristik dari
perubahan-perubahan musim. Dan karena rata-rata temperatur tiap bulan biasanya
berbeda dari rata-rata iklim untuk jangka waktu yang panjang, penyimpangannya
dari statistik dari rata-rata juga dapat dihitungkan dan dicantumkan pada peta.
Penelitian Aprisa, et.al (2004), bahwa kecenderungan kluster tuberkulosis
di daerah yang berdekatan dengan sungai. Sedangkan data kuantitatif diperoleh
dengan membuat zona buffer sungai, dan diketahui bahwa 30,32% kasus berada <100m dari sungai; 54,79% kasus berada dalam range <250m dari sungai
(77,66% kasus terjadi dalam jarak <500m dari sungai) dan hanya 22,34% kasus
yang terletak >500m dari sungai.
2.2.1. Suhu atau Temperatur Udara
Suhu merupakan keadaan udara panas atau dingin suatu waktu yang
diperoleh dari hasil pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan. Hubungan
antara iklim dengan kejadian penyakit bisa terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Efek langsung pemanasan global pada kesehatan manusia misalnya
stress akibat kepanasan (heat stress). Selain itu kenaikan temperatur lingkungan juga akan mempengaruhi dampak polusi udara terutama di daerah perkotaan dan
berpengaruh terhadap individu dengan penyakit-penyakit kronik seperti penyakit
Menurut Goul dan Brooker dalam Ruswanto (2010), bakteri
mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 - 40 º C, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-
37 º C.
Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, ada yang tumbuh
pada suhu yang rendah (15oC – 20oC), bahkan ada pula yang tumbuh pada suhu
yang tinggi. Kuman mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu sekitar 37o
2.2.2. Kelembaban Udara
C yang memang kebetulan sesuai dengan suhu tubuh manusia (Depkes,
1999). Penelitian Ruswanto di Kabupaten Pekalongan tahun 2010, terdapat
hubungan signifikan antara kejadian tuberkulosis paru dengan suhu udara ruangan
dalam rumah (OR = 4,354) dan adanya asosiasi antara kejadian tuberkulosis paru
dengan suhu udara di luar rumah (OR = 3,842).
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara.
Kelembaban udara dapat dibedakan menjadi dua yaitu: kelembapan mutlak dan
kelembaban nisbi. Kelembaban mutlak (absolut) ialah jumlah massa uap air yang ada dalam suatu satuan volume di udara. Kelembaban nisbi (relatif) ialah banyaknya uap air di dalam udara berupa perbandingan antara jumlah uap air
yang ada dalam udara saat pengukuran dan jumlah uap air maksimum yang dapat
Menurut Goul & Brooker dalam Ruswanto (2010), bakteri mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari
80 % volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan
media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis.
Kelembaban merupaan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme,
termasuk Mycobacterium tuberculosis sehingga viabilitasnya lebih lama (Achmadi, 2008). Pada waktu bersin atau batuk pasien tuberkulosis paru BTA
positif menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama, dan percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan gelap dan lembab (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Mulyadi tahun 2003 di Kota Bogor
menyebutkan bahwa penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang
keluarga lebih besar dari 60 % berisiko terkena tuberkulosis paru 10,7 kali
dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban
lebih kecil atau sama dengan 60 %.
2.2.3. Curah Hujan
Meningkatnya curah hujan akan berdampak pada perubahan suhu udara
dan kelembaban udara, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan hidup
Menurut Chandra dalam Achmad (2010), curah hujan didefenisikan
sebagai hujan yang jatuh dari atmosfir pada bidang horizontal, sebelum menguap
dan meresap kedalam tanah sebanyak satu liter pada setiap bidang seluas 1 m2
2.2.4. Penyinaran Matahari
.
Pada musim hujan rumah menjadi lembab, dinding dan lantai rumah basah oleh
air hujan yang merembes naik. Pada saat banjir banyak penderita tuberculosis
yang dinyatakan sembuh ternyata kambuh kembali. Bulan-bulan di wilayah tropik
berdasarkan klasifikasi iklim Mohr dikelompokkan menjadi tiga bagian
berdasarkan banyaknya curah hujan, yaitu; bulan dengan curah hujan lebih dari
100 mm, bulan dengan curah hujan antara 60- 100 mm dan bulan dengan curah
hujan kurang dari 60 mm.
Matahari adalah sumber panas bagi bumi. Walaupun bumi sudah memiliki
panas sendiri yang berasal dari dalam, panas bumi lebih kecil artinya
dibandingkan dengan panas matahari. Panas matahari mencapai 60 gram
kalori/cm2, tiap jam, sedangkan panas bumi hanya mencapai 55 gram/cm2 tiap
tahunnya.
Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung dalam
waktu 2 jam, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun (Depkes, 2007).
Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan
ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman
tuberkulosis paru, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi kelembaban
yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya kuman tuberkulosis
paru dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan
langsung yang cukup dari sinar matahari (Soemirat, 2010).
Syarat rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, karena dengan
kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah terutama cahaya
matahari, akan menjadi media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Cahaya matahari minimal masuk kurang lebih 60
lux dan tidak menyilaukan, sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman-
kuman patogen seperti kuman Mycobactrium tuberculosis (Achmadi, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Ruswanto di Kabupaten Pekalongan tahun
2010 menyebutkan dari hasil uji statistik multivariat pencahayaan alami juga
menunjukkan hasil yang signifikan karena nilai OR = 4,385 dengan CI 95%
1,261<OR<15,241, nilai ρ-value = 0,020, sehingga penduduk yang tinggal dalam
rumah yang mempunyai pencahayaan alami < 60 lux mempunyai risiko 4,385 kali
dibandingkan dengan penduduk yang tinggal dam rumah yang mempunyai
2.3.Analisa Spasial
2.3.1. Pengertian Analisa Spasial
Secara umum, analisis spasial adalah suatu teknik atau proses yang
melibatkan sejumlah hitungan dan evaluasi logika (matematis) yang
dilakukan dalam rangka mencari atau menemukan potensi hubungan atau
pola-pola yang (mungkin) terdapat di antara unsur-unsur geografis (yang
terkandung dalam data digital dengan batas-batas wilayah studi tertentu
(Prahasta, 2009).
Analisis spasial merupakan pembuka jalan bagi studi lebih detail dan
akurat, menawarkan pendekatan alternatif untuk menghasilkan, mengutamakan,
dan menganalisis data untuk mencari sebab-sebab serta faktor risiko penyakit
(Achmadi, 2008).
Dalam pengolahan analisis spasial diperlukan data spasial. Data spasial
adalah data yang merepresentasikan fenomena geografis yang memiliki posisi
absolut (koordinat) atau posisi relatif (jarak) di permukaan bumi dan memiliki
atribut tambahan lainnya yang mewakili fenomena tersebut. Data spasial
diekspresikan kedalam bentuk vektor dan raster, di dalam bentuk vektor
diwujudkan dalam point, garis dan poligon, sedangkan dalam bentuk raster
diwujudkan ke dalam grid. Data spasial yang menyangkut persebaran penyakit dan faktor-faktor risikonya merupakan unsur yang sangat penting dalam studi
penyakit dengan populasi dan determinan - determinan dalam lingkungan
(Erlangga, 2009).
Analisa spasial dalam manajemen penyakit berbasis wilayah dapat
dirumuskan sebagai uraian dan analisis kejadian penyakit serta
menghubungkannya dengan semua data spasial yang diperkirakan merupakan
faktor risiko kesehatan, baik lingkungan maupun faktor sosial ekonomi dan
perilaku masyarakat setempat dalam sebuah wilayah spasial, sebagai dasar
manajemen penyakit atau kajian lebih lanjut. Analisa spasial dapat menganalisa
dua hal sekaligus yakni sebuah titik atau lokasi sebuah events dalam hal ini adalah kejadian penyakit (kasus) hubungannya dengan variabel spasial (faktor risiko)
yang mempengaruhinya atau berhubungan pada wilayah spasial atau permukaan
bumi (Achmadi, 2008).
Pemanfaatan analisa spasial untuk melakukan analisa persebaran faktor
risiko baik penyakit infeksi maupun non infeksi, serta penyakit yang ditularkan
oleh binatang nyamuk vektor, pelayanan kesehatan seperti ambulance keliling, rumah sakit, analisa potential hazards lingkungan, pengelompokkan kejadian penyakit, pemetaan informasi kesehatan, data dasar kesehatan masyarakat dan lain
sebagainya. Yang terpenting dasar dari sebuah analisa spasial adalah
menghubungkan sebuah titik dengan berbagai benda atau komponen diatas muka
2.3.2. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Mustopo (2009) menjelaskan, SIG adalah sistem informasi yang
digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah,
menganalisa, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau geospatial, untuk
mendukung pengambilan keputusan dalam suatu perencanaan. Kegunaan dari SIG
adalah dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data
yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data
yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut
dalam bentuk dijital. Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan
data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan
menganalisa informasinya dengan berbagai cara.
SIG dapat merepresentasikan dunia nyata pada monitor komputer
sebagaimana lembaran peta dapat merepresentasikan dunia nyata di atas kertas
(Nazaruddin, 2009).
Komponen utama sistem informasi geografis (SIG) terbagi empat
kelompok yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan
pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke
system lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut. Sistem informasi
geografis (SIG) mempunyai peran penting dalam berbagai aspek kehidupan
dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat
dikumpulkan, diolah dan dianalisis dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi.
pewilayahan (spasial) dan pemodelannya serta permasalahan spasial dapat
dianalisis dengan lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan (Prahasta, 2009).
Pemanfaatan SIG sebagai bagian dari Sistem Informasi Kesehatan bidang
kesehatan adalah sebagai upaya untuk mendeteksi lokasi fenomana spasial dan
dapat menduga penyakit karena lingkungan yang berhubungan dengan manusia
dan hewan, sehingga dapat untuk melindungi kesehatan masyarakat melalui
kewaspadaan yang dini terhadap kemungkinan munculnya fenomena spasial.
Selain itu SIG dapat melihat sumber daya kesehatan, penyakit tertentu dan
kejadian kesehatan lain melalui visualisasi peta menurut lingkungan sekeliling dan
infrastrukturnya. SIG sebagai alat untuk memetakan risiko penyakit, identifikasi
pola distribusi penyakit, memantau surveilan dan kegiatan penanggulangan
penyakit, mengevaluasi aksesbilitas ke fasilitas kesehatan dan memperkirakan
terjadinya wabah penyakit (Nazaruddin, 2009).
2.3.3. Penggunaan ArcView dalam SIG
ArcView adalah salah satu perangkat lunak GIS yang paling populer dan paling banyak digunakan untuk mengelola data spasial dewasa ini.
Software ini dibuat oleh ESRI (Environmental Systems Research Institute), perusahaan yang mengembangkan program Arc/Info. Dengan ArcView kita
dengan mudah dapat melakukan input data, menampilkan data, mengelola
data, menganalisis data, dan membuat peta serta laporan yang berkaitan
ArcView mengorganisasikan sistem perangkat lunaknya sedemikian rupa sehingga dapat dikelompokkan ke dalam beberapa komponen-komponen penting
sebagai berikut: Project merupakan suatu unit organisasi tertinggi di dalam
ArcView mirip projects yang dimiliki oleh bahasa-bahasa pemprograman atau paling tidak merupakan suatu file kerja yang dapat digunakan untuk menyimpan,
mengelompokkan dan mengorganisasikan semua komponen-komponen program:
view, theme, table, chart, layout dan script dalam satu kesatuan yang utuh; theme
merupakan suatu bangunan dasar sistem ArcView, dan juga merupakan kumpulan dari beberapa layer ArcView yang membentuk suatu tematik tertentu; view
mengorganisasikan theme dan merupakan representasi grafis informasi spasial
dan dapat menampung beberapa layer atau theme informasi spasial (titik, garis,
poligon dan citra raster) (Prahasta, 2009).
Software yang digunakan untuk melakukan analisis spasial dalam penelitian ini adalah ArcView versi 9.1 yang dikeluarkan ESRI. Fasilitas yang terdapat dalam ArcView versi 9.1 sangat beragam, sementara pada penelitian ini analisis yang digunakan adalah metode overlay. Melalui overlay dapat diketahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta sehingga nanti akan
menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk
dari irisan beberapa peta dan juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta
yang saling beririsan (As-syakur, 2006).