• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Potensi Produksi Susu pada Kambing Saanen di PT Taurus Dairy Farm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Potensi Produksi Susu pada Kambing Saanen di PT Taurus Dairy Farm"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI POTENSI PRODUKSI SUSU PADA KAMBING

SAANEN

DI PT TAURUS DAIRY FARM

SKRIPSI RISSA FAYUMA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

RISSA FAYUMA. 2008. Evaluasi Potensi Produksi Susu Pada Kambing Saanen di PT Taurus Dairy Farm. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Ir. Afton Atabany, M.Si.

Evaluasi potensi produksi susu dapat dilakukan melalui perhitungan parameter genetik dari masing-masing individu. Parameter genetik ini kemudian digunakan untuk menghitung indikator potensi produksi, yaitu Predicted Breeding Value (PBV) dan Most Probable Producing Ability (MPPA). Untuk menghitung PBV, diperlukan nilai heritabilitas, sementara untuk menghitung MPPA diperlukan ripitabilitas. Dengan mengetahui indikator-indikator ini, maka dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan program pemuliaan.

Penelitian dilakukan pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm, Cicurug-Sukabumi. Penelitian dilakukan selama dua bulan, dari Agustus-September 2007, dengan menggunakan data sekunder dari 118 ekor kambing mulai tahun 1996 sampai 2007.

Sebelum menghitung nilai parameter genetik, produksi susu yang dihasilkan distandarisasi untuk menghindari bias dalam perhitungan. Kambing dikelompokkan berdasarkan tahun dan musim kelahiran. Hal ini dilakukan karena musim dan tahun kelahiran berpengaruh sangat nyata terhadap produksi susu (P<0.01). Selanjutnya dilakukan koreksi terhadap produksi susu dengan membuat titik standarisasi. Produksi susu distandarisasi ke 240 hari dan periode laktasi keempat. Rata-rata produksi susu kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm adalah 322,03 liter. Produksi tertinggi terjadi pada laktasi keempat, yaitu sebesar 338,8 liter.

Nilai heritabilitas dihitung dengan metode saudara tiri sebapak (Paternal Half Sib Correlation) dengan anak per pejantan tidak sama. Nilai ripitabilitas dihitung dengan melakukan analisa ragam antar dan dalam individu. Diperoleh nilai heritabilitas dan ripitabilitas berturut-turut adalah 0,2 dan 0,21. Selanjutnya, dilakukan perhitungan PBV dan MPPA. Nilai pemuliaan terduga (PBV) yang paling tinggi dicapai oleh kambing TDF 82 yaitu sebesar 493,011 liter dengan daya produksi susu tertaksir (MPPA) sebesar 484,682 liter. Peringkat PBV dan MPPA dari masing-masing individu ini kemudian dijadikan sebagai dasar seleksi untuk bibit dan penentuan replacment stock. Jumlah betina yang dijadikan sebagai bibit ditentukan berdasarkan kebijakan perusahaan. Tetapi umumnya 40-50% betina terbaik dijadikan induk untuk menghasilkan replacment stock.

Hasil korelasi Pearson menunjukkan bahwa korelasi antara peringkat MPPA dan peringkat PBV pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm sangat tinggi, yaitu 1,00. Artinya, individu yang memiliki peringkat tinggi pada perhitungan MPPA juga memiliki peringkat yang tinggi pada perhitungan PBV.

(3)

ABSTRACT

Evaluation of Milk Yield Potency of SaanenGoats at PT. Taurus Dairy Farm Fayuma, R., C. Sumantri, and A.Atabany.

The evaluation of milk yield potency can be done by calculating the genetic parameters of the individu. This parameter will be used to predict the MPPA (Most Probable Producing Ability) and PBV (Predicted Breeding Value). Heritability was the parameters to predict MPPA, while ripitability was used to predict PBV. MPPA, PBV, heritability, and ripitability were calculated by the total of milk production. To minimalize the environtment effect and bias in calculating, a correction factor for total milk production should be made. The correction factor that have significant effect in milk production are, length of lactation, lactation periode, season, and year of birth. Milk production was standarized in to 240 days, and the fourth lactation periode. The value of heritability and ripitability are 0.2 and 0.21 respectively. A correlation coeficient between MPPA and PBV is so significant (1.00). This study used the secondary data from 118 Saanen goat at PT. Taurus Dairy Farm. The data were collected from 1996 until 2007. Goat with identification number TDF 82 has the highest rank in PBV and MPPA. The value of its MPPA and PBV are 493.011 litre and 484.682 litre.

(4)

EVALUASI POTENSI PRODUKSI SUSU PADA KAMBING

SAANEN

DI PT TAURUS DAIRY FARM

RISSA FAYUMA

D14104039

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

EVALUASI POTENSI PRODUKSI SUSU PADA KAMBING

SAANEN

DI PT TAURUS DAIRY FARM

Oleh

RISSA FAYUMA

D14104039

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Maret 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc Ir. Afton Atabany, M.Si. NIP. 131 624 187 NIP. 132 133 961

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Agustus 1986 di Bukittinggi Sumatera Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Fauzil Kamil dan Ibu Dra. Yumnafiati.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN 67 Banda Aceh. Pendikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 2 Bukittinggi. Pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMAN 1 Bukittinggi.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Evaluasi Potensi Produksi Susu Pada Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm. Shalawat beriring salam semoga tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Indikator yang dapat digunakan dalam evaluasi potensi produksi susu antara lain adalah MPPA dan PBV. Untuk memperoleh kedua indikator ini, diperlukan perhitungan parameter-parameter genetik yaitu heritabilitas dan ripitabilitas. Produksi susu perlu dikoreksi untuk menghindari bias dalam perhitungan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, dan dapat digunakan dalam pengembangan program pemuliaan.

Bogor, Februari 2008

(8)
(9)

Produksi Susu……… 24

Faktor Koreksi………... 27

Heritabilitas dan Ripitabilitas……… 34

MPPA dan PBV………... 35

Korelasi MPPA dan PBV………. 39

KESIMPULAN DAN SARAN... 41

Kesimpulan……… 41

Saran………. 41

UCAPAN TERIMAKASIH... 42

DAFTAR PUSTAKA... 43

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Keadaan Lokasi Peternakan PT. Taurus Dairy Farm... 18

2. Pengklasifikasian Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm... 19

3. Strukur Populasi Kambing Saanen di PT.Taurus Dairy Farm Pada Bulan September 2007... 20 4. Formulasi Konsentrat... 22

5. Klasifikasi Kandang Kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm... 23

6. Rataan produksi susu per laktasi (240 hari) pada kambing Saanen di PT.Taurus Dairy Farm... 26

7. Sebaran Produksi Susu pada Masing-masing Laktasi Berjalan (Lama Laktasi)... 30

8. Faktor Koreksi 240 Hari untuk Masing-masing Periode Laktasi... 31

9. Faktor Koreksi Periode Laktasi... 33

10. Nilai Heritabilitas dan Ripitabilitas... 34

11. Nilai MPPA dan PBV dari 10% Betina Terbaik Pada Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm... 37 12. Data Induk dari 10% Betina Terbaik Pada Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm... 38 13. Data 50 % Betina Terbaik Sebagai Pengganti ...

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm……… 19

2. Kebun Hijauan PT. Taurus Dairy Farm... 21

3. Kandang Kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm... 24

4. Rata-rata produksi susu pada Masing-masing Laktasi... 26

5. Sebaran Produksi Susu pada Masing-masing Lama Laktasi... 30

6. Tren Faktor Koreksi Lama Laktasi untuk Menstandarisasi Produksi Susu Kepada Produksi 240 hari untuk Masing-masing Periode Laktasi... 31

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Curah Hujan Daerah Cicurug, Sukabumi dari Tahun 1996 sampai September 2007………

45

2. Analisa Ragam Antar dan Dalam Pejantan untuk Pendugaan Nilai Heritabilitas...

46

3.Analisa Ragam Antar dan Dalam Individu untuk Pendugaan Nilai Ripitabilitas...

46

4. Peringkat MPPA dan PBV pada Populasi Kambing Saanen Betina di PT.TaurusDairy Farm...

47

5. Data Kambing Saanen Betina Sebagai Ternak Pengganti di PT. Taurus Dairy Farm...

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan akan protein hewani terus meningkat. Hal ini berkaitan dengan banyaknya fungsi penting yang dimiliki oleh protein, antara lain: sebagai zat pembangun, membantu kecerdasan, dan banyak fungsi-fungsi penting lainnya. Sumber protein hewani sangat beragam, antara lain ialah susu. Untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri, Indonesia masih sangat bergantung pada produk impor terutama dari Australia dan Selandia Baru. Nilai Impor susu dan produk susu terus meningkat dari tahun ke tahun.

Masyarakat Indonesia umumnya lebih memilih mengkonsumsi susu yang dihasilkan oleh sapi perah, dibandingkan dengan ternak-ternak penghasil susu yang lain. Konsumsi susu dari non sapi perah belum populer. Walaupun potensi dari sektor ini cukup besar. Ternak non sapi perah sebagai penghasil susu yang saat ini di kembangkan di Indonesia adalah kambing perah. Bangsa kambing perah yang dapat di kembangkan antara lain adalah Saanen. Kambing Saanen berasal dari Swiss dan memiliki rataan produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa kambing perah lain, sehingga kambing Saanen berpotensi untuk dibudidayakan sebagai ternak penghasil susu yang potensial.

Kambing mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropik yang ekstrim, fertilitas tinggi, interval generasi yang pendek, serta kemampuan memanfaatkan berbagai macam hijauan dengan efisiensi biologis yang lebih tinggi dibandingkan sapi. Kualitas susu kambing tidak kalah dari susu sapi. Susu kambing memiliki butiran lemak yang berdiameter kecil lebih banyak dibandingkan susu sapi sehingga mudah dicerna dan sangat baik diberikan kepada orang yang mengalami gengguan pencernaan ataupun intoleran terhadap susu sapi (Devendra dan Mc. Leroy, 1982).

(14)

menghasilkan susu dengan kualitas dan kuantitas yang optimum. Peningkatan mutu genetik untuk produksi susu dilakukan dengan melakukan seleksi kambing-kambing perah yang akan dijadikan induk dan pejantan. Seleksi ini akan lebih tepat dilakukan jika peternakan tersebut memiliki catatan yang lengkap mengenai produktifitas dari masing-masing individu ternak, yang akan digunakan sebagai pendugaan parameter genetik.

Untuk memperoleh ternak yang berproduksi tinggi, maka perlu dilakukan perbaikan dalam hal manajemen, pakan, dan penerapan program pemuliaan. Kebijakan pemuliaan mencakup dua hal, yaitu seleksi dan persilangan. Metode seleksi dilakukan dengan memilih kambing yang mempunyai kapasitas produksi tinggi (diatas rata-rata populasi). Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi mengenai potensi produksi susu.

Prinsip evaluasi yaitu dengan mengetahui paratemer-parameter genetik, yang kemudian digunakan untuk mengetahui produktifitas ternak tersebut. Indikator yang dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi produksi susu adalah MPPA (Most Probable Producing Ability) dan PBV (Predicted Breeding Value). Kedua indikator ini dihitung berdasarkan produksi susu yang dihasilkan. Untuk menghindari bias dalam perhitungan, maka produksi susu dari masing-masing individu perlu dikoreksi. Dengan mengetahui kedua Indikator ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan program seleksi dan persilangan.

Tujuan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Kambing Saanen

Kambing Saanen berasal dari daerah Swiss Barat. Jenis kambing ini banyak dipelihara sebagai ternak penghasil susu. Produksi susu per ekor dapat mencapai 800 kg dengan kandungan lemak antara 3-4% per masa laktasi yang berlangsung selama 250 hari (Greenwood, 1997). Kambing ini sudah tersebar luas dan biasanya disilangkan dengan kambing lokal untuk memperbaiki mutu genetik kambing lokal (Sodiq dan Abidin, 2002). Menurut Devendra dan Burns (1994), kambing Saanen mempunyai rata-rata produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa kambing perah manapun, dan karena alasan ini bangsa kambing ini telah dimasukkan ke banyak negara. Devendra (1993) mengatakan bahwa kambing Saanen adalah kambing perah yang baik dan dalam banyak hal memberikan penampilan yang baik serta dapat disesuaikan terhadap lingkungan sub-tropik, tetapi peka terhadap sinar matahari yang kuat. Kambing Saanen sangat sensitif terhadap cahaya, sehingga pemeliharaan kambing Saanen di daerah tropis harus menggunakan naungan. Kambing ini banyak tersebar di Australia, India, Malaysia, Cyprus, India bagian barat, Nigeria, venezuela, dan Afrika Selatan (Devendra dan McLeroy, 1982).

Kambing Saanen mempunyai bobot dewasa kelamin sekitar 50-70 kg dan tinggi sekitar 81 cm untuk betina dan 94 cm untuk jantan. Bentuk kepala kecil lancip, dengan leher panjang dan halus, bulu pendek dan berwarna putih, krem pucat dengan bercak-bercak hitam di hidung, telinga dan ambing. Betina Saanen seringkali tidak bertanduk (Greenwood, 1997). Kambing Saanen memiliki telinga tegak dan megarah ke dapan dengan muka lurus dan ramping serta tubuh mempunyai bentuk perah yang bagus dan ambing yang berkembang sangat baik (Devendra dan McLeroy, 1982).

Produksi Susu

(16)

kambing juga tidak kalah dari susu sapi dan sangat baik diberikan kepada orang yang mengalami gangguan pencernaan.

Menurut Devendra dan Burns (1994), rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari, di daerah temperate produksi susunya dapat mencapai 5 kg per ekor per hari. Hasil penelitian Atabany (2001) menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu kambing Saanen di PT Taurus Dairy Farm adalah 355,9 kg dengan lama laktasi 267,41 hari dan produksi per hari 1,29 kg. Menurut Devendra dan McLeroy (1982), kambing Saanen di daerah tropis dapat menghasilkan susu 1,0-3,0 liter/hari dengan periode laktasi sekitar 209 hari. Epun (2003) menunjukkan bahwa kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm memiliki panjang laktasi antara 6 sampai 8 bulan dengan rata-rata produksi 1,78 liter/ekor/hari.

Produksi susu maksimum tercapai pada umur 4 - 5 tahun atau pada laktasi ketiga dan tidak menurun drastis selama tiga tahun berikutnya dimana dianggap hampir semua bangsa kambing berbiak sekali dalam setahun. Susu yang dihasilkan setiap hari akan meningkat sejak induk beranak kemudian produksi akan menurun secara berangsur- angsur hingga berakhirnya masa laktasi. Puncak produksi susu akan dicapai pada hari 21-49 setelah beranak. Produksi susu kambing berkisar 1-3 kg per ekor per hari tergantung bangsa kambing, masa laktasi, suhu lingkungan, pakan, jumlah anak perkelahiran dan tatalaksana pemeliharaan (Atabany, 2002).

(17)

Fakor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi Susu

Kuantitas produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Performans sifat ini tergantung pada gen-gen yang dimiliki, tetapi keadaan lingkungan yang menunjang diperlukan untuk memberikan kesempatan penampilan suatu sifat secara maksimal (Warwick et al., 1990). Schmidt et al. (1988) menjelaskan bahwa produksi susu dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan yang kompleks selain dipengaruhi oleh genetik sapi itu sendiri. Dinyatakan pula bahwa keragaman produksi susu 50% disebabkan oleh kondisi lingkungan dan 50% lagi disebakan oleh daya produksi susu rill (real producing ability).

Musim, tahun dan peternakan merupakan faktor lingkungan yang diperhitungkan dalam pendugaan nilai pemuliaan, karena dianggap ketiga faktor tersebut menyebabkan keragaman produksi susu. Penelitian Anggraeni (1995) pada populasi sapi Fries Holland di PT. Taurus Dairy Farm menunjukkan bahwa tahun beranak merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap produksi susu (82,74%), diikuti oleh panjang laktasi (9,92%), umur beranak, bulan beranak dan periode laktasi. Besarnya pengaruh tahun beranak, kemungkinan terjadi karena adanya perbedaan tata laksana pemeliharaan, pemberian pakan, maupun perubahan mutu genetiknya. Sudono (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas, kuantitas, dan susunan susu adalah: bangsa/rumpun, lama bunting (gestation period), masa laktasi, besar, birahi (estrus), umur, selang beranak (calving interval), masa kering, frekuensi pemerahan, serta pemerahan, dan tata laksana.

(18)

Faktor Koreksi Produksi Susu

Beberapa faktor lingkungan baik internal seperti masa laktasi, umur beranak, frekuensi pemerahan dan masa kosong, ataupun faktor eksternal seperti kondisi perusahaan tempat berproduksi, tahun beranak dan musim beranak dapat memberikan konstribusi terhadap variasi produksi susu dalam satu laktasi. Keadaan ini akan menutupi keragaman produksi susu yang disebabkan oleh keragaman genetik (Anggraeni, 1995). Schmidt dan Van Vleck (1974) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu: (1) lingkungan yang penyebabnya diketahui : umur, musim saat beranak, masa kering dan masa produksi, sehingga produksi perlu dikoreksi: (2) lingkungan yang tidak diketahui penyebabnya, namun berpengaruh terhadap produksi susu, hal ini sulit dibuat faktor koreksinya.

Menurut Miller (1972) ada beberapa faktor yang menyebabkan bias pada uji zuriat, antara lain: umur saat beranak, perbedaan tingkat produksi diantara peternakan, waktu, fluktuasi musim, serta faktor lingkungan dan genetik lainnya. Peternakan merupakan faktor yang menghasilkan bias paling besar. Faktor-faktor yang perlu penyesuaian adalah jumlah pemerahan, intensitas pemerahan, dan periode laktasi (Warwick dan Legates, 1979). Lama hari berproduksi atau masa laktasi antara sapi-sapi betina memperlihatkan keragaman besar. Hasil-hasil yang telah diperoleh menunjukkan bahwa periode laktasi merupakan sumber keragaman yang perlu dipertimbangkan dalam mendapatkan faktor koreksi laktasi lengkap (Anggraeni, 1995). Menurut Devendra dan Burns (1994) tahun musim beranak, jumlah laktasi dan umur pertama kali beranak mempengaruhi produksi susu. Hewan yang beranak dari Januari sampai Juni menghasilkan susu lebih banyak dari yang beranak pada bulan-bulan lainnya. Bangsa dan jumlah laktasi berpengaruh terhadap produksi susu. Jumlah pemerahan setiap hari berpengaruh terhadap produksi susu. Pemerahan dua kali sehari menyebabkan produksi susu meningkat 40 % daripada pemerahan satu kali, pemerahan tiga kali lebih tinggi 5-20 % daripada dua kali dan pemerahan empat kali lebih tinggi 5-10% daripada pemerahan tiga kali.

(19)

mendasar dilakukan pengoreksian dikarenakan perbedaan umur beranak dapat menimbulkan bias dalam evaluasi mutu genetik sapi betina ataupun sapi jantan. Kecuali apabila dilakukan pembakuan. Menurut Miller et.al. (1972) alasan pengoreksian produksi susu terhadap umur beranak berdasarkan sejarahnya di lakukan dengan tujuan (1) menghilangkan bias ketika membandingkan sapi-sapi betina (kelompok sapi betina) dengan umur yang berbeda, (2) menurunkan keragaman contoh karena umur yang tidak sama dan (3) guna mengestimasi produksi susu yang yang mungkin dapat dihasilkan seekor sapi betina dalam kondisi lingkungan lainnya sama kecuali berbeda umur berproduksi. Secara prinsipnya ada 3 metode yang dapat dipakai dalam mendapatakan faktor-faktor koreksi umur (1) metode perbandingan kasar (grosss comparison method, disingkat GC), (2) metode perbandingan berpasangan (Paired comparison method, disingkat PC) dan (3) metode model campuran (Mixed Model Method / Max likelikehood Method), yang menggunakan metode rataan bangsa-umur, menggunakan rataan produksi semua sapi betina dalam bangsa dan umur tertentu yang selanjutnya digunakan sebagai standar pembakuan. Kemudian catatan semua induk dinyatakan sebagai suatu presentase dari raataan bangsa-umur standar.

Heritabilitas

Dalton (1981) menyatakan bahwa heritabilitas merupakan ukuran kekuatan suatu sifat pewarisan yang diturunkan tetua kepada keturunannya. Heritabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari keragaman total suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik. Menurut Warwick et al., (1990) heritabilitas merupakan rasio yang menunjukkan persentase keunggulan tetua yang rata-rata diwariskan kepada keturunannya. Pengertian heritabilitas ada dua macam, yaitu heritabilitas dalam arti luas dan heritabilitas dalam arti sempit. Pengertian heritabilitas dalam arti luas adalah suatu nilai yang menggambarkan berapa bagian dari keragaman fenotipe yang disebabkan oleh pengaruh genetik secara keseluruhan . Hal ini meliputi nisbah antara ragam genetik yang merupakan gabungan dari ragam genetik aditif, dominan dan epistasis dengan ragam fenotipik yang biasa ditulis sebagai H.

(20)

H =

σ

g

+ σ

2d

+ σ

2i

h2 = heritabilitas dalam arti sempit

Dalton (1981) menyatakan bahwa pengaruh gen aditif adalah yang terpenting karena diwariskan kepada keturunan berikutnya. Makin besar pengaruh genetik terhadap suatu sifat makin tinggi nilai heritabilitas sifat tersebut. Genotip ditentukan pada saat pembuahan dan seumur hidup tidak berubah, tetapi ekspresinya dapat berubah karena pengaruh lingkungan dan interaksi antara genotip dan lingkungan. Umumnya hasil susu memang meningkat dengan meningkatnya proporsi gen kambing perah, sebagaimana yang diharapkan dalam pewarisan aditif (Devendra dan Burns, 1983).

(21)

sangat erat kaitannya dalam rencana pemuliaan untuk menaksir nilai pemuliaan suatu individu (Warwick et al., 1990). Ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan yang optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, ternak yang memiliki mutu genetik rendah meski didukung oleh lingkungan yang baik juga tidak akan menunjukkan produksi yang tinggi (Noor, 2000).

Heritabilitas bukan suatu konstanta, karena nilainya dipengaruhi oleh besar komponen aditif dalam pembilang dan komponen ragam genetik dan lingkungan dalam penyebut. Oleh karena itu, nilainya dipengaruhi oleh setiap perbedaan besarnya ragam genetik aditif, yang biasanya timbul karena perbedaan antara gen-gen yang mempengaruhi setiap sifat kuantitatif. Warwick et al. (1990) menyatakan bahwa secara teoritis, heritabilitas dapat berkisar antara 0 sampai 1,0, tetapi angka ekstrim ini jarang diperoleh untuk sifat-sifat kuantitatif ternak. Menurut Noor (2000) nilai heritabilitas dikatakan rendah jika nilainya berada antara 0-0,2, sedang antara 0,2-0,4, dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,4. Nilai heritabitas tinggi menunjukkan perbedaan fenotip hewan sebagian besar disebabkan oleh perbedaan nilai pemuliaan, bukan disebabkan oleh pengaruh kombinasi gen (dominan dan epistasis) maupun pengaruh lingkungan. Jika h2 suatu sifat rendah, maka perbedaan fenotip hanya sedikit dipengaruhi perbedaan nilai pemuliaan dan lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor lainnya. Pendugaan nilai heritabilitas yang tinggi diharapkan dapat mewariskan sifat produksi susu pada keturunannya dengan kemajuan genetik yang dicapai tinggi, sehingga seleksi akan efektif. (Bourdon, 1997). Warwick et al. (1990) dan Martojo (1992) menyatakan bahwa rata-rata heritabilitas produksi susu per laktasi untuk kambing perah adalah 0,30-0,40 dan heritabilitas berbeda antar bangsa dalam lingkungan yang berbeda, atau antara galur dengan cara seleksi yang berbeda. Pallawaruka (1999) menyebutkan bahwa nilai heritabilitas untuk produksi susu adalah 0.25. Sementara, Johansson dan Rendel (1968) menemukan bahwa nilai heritabilitas produksi susu antara 0.2-0.3. Namun dalam kelompok ini, galat bakunya lebih tinggi daripada nilai heritabilitas. Secara umum, tingginya galat baku disebabkan karena jumlah cuplikan data yang sedikit.

(22)

et al. (1990) cara yang paling teliti untuk menentukan h2 suatu sifat dari satu spesies adalah melalui pencatatan selama beberapa generasi dan menentukan kemajuan yang diperolehnya, kemudian dibandingkan dengan sejumlan keunggulan dari tetua terpilih dalam semua generasi dalam percobaan itu. Menurut Pallawarukka (1999) Pendugaan heritabilitas dilakukan berdasarkan persamaan sifat antar individu ternak yang berkerabat, yaitu kemiripan dengan saudara kandung (full sib), saudara tiri (half sib), antara tetua-anak (parent-offspring), dan kembar identik (tetapi biasanya tidak dipakai). Demikian juga yang dinyatakan oleh Warwick et al (1990) menjelaskan beberapa metode yang telah dikembangkan untuk menduga nilai heritabilitas yaitu (1) kemajuan dari program seleksi (2) regresi anak-tetua (parent offspring regression) (3) korelasi saudara tiri sebapak (paternal half sib correlation), 4) analisa saudara kandung (full sib method of analysis), (5) perbandingan kembar identik dan paternal. Menurut Noor (2000) ada empat cara untuk mengestimasi nilai heritabilitas, yaitu dari data kelahiran kembar, heritabilitas nyata, metode regresi dan korelasi, serta ripitabilitas. Derajat kemiripan ternak-ternak di dalam kelompok saudara tiri sebapak (half-sib) yang lebih besar daripada kemiripan antara ternak di dalam kelompok acak di dalam suatu populasi karena merupakan metode penaksiran heritabilitas yang paling banyak digunakan. Metode ini paling murni menggambarkan ragam genetik aditif di bandingkan dengan metode-metode lain apabila digunakan dengan tepat (Johansson dan Rendel 1968).

(23)

Pallawaruka (1999) menyatakan bahwa heritabilitas mengukur tingkat kemiripan turunan-turunan (anak-anak) dengan tetuanya dari sebuah sifat, jika sebuah sifat mempunyai heritabilitas tinggi, maka ternak yang mempunyai performans tinggi cenderung akan menghasilkan anak-anak yang berpeformans tinggi, dan hewan yang berpeformans rendah cenderung menghasilkan turunan-turunan yang berpeformans rendah. Sebaliknya, jika sebuah sifat tidak begitu heritabel, produksi tetua hanya akan mengungkapkan sangat sedikit tentang performans turunan-turunanhya. Heritabilitas digunakan sebagai ukuran kuatnya hubungan antara performans (nilai fenotipik) dan nilai pemuliaan untuk suatu sifat dalam suatu populasi. Heritabilitas adalah suatu ukuran populasi, bukan suatu nilai yang dihubungkan dengan seekor hewan. Demikian pula, heritabilitas bukan suatu yang tetap akan tetapi beragam dari satu populasi ke populasi lain, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya. Jika h2 tinggi, perbedaan

performans hewan disebabkan sebagian besar oleh besarnya perbedaan dalam breeding value (BV), bukan karena perbedaan pengaruh lingkungan. Sebaliknya, jika h2 rendah,

perbedaan dalam performans kurang ditentukan oleh perbedaan dalam BV dan lebih banyak oleh perbedaaan dari faktor-faktor lainnya. a. jika h2 tinggi dipakai seleksi

massal, b. jika h2 rendah, seleksi mempergunakan informasi hasil uji zuriat (progeny

testing) dan silsilah (pedigree). (4) menentukan sitem perkawinan, misalnya jika h2

rendah dianjurkan melakukan silang luar (outbreeding). Ripitabilitas

(24)

untuk menggambarkan akurasi dari pendugaan. Ripitabilitas merupakan sebuah ukuran kekuatan konsistennya, (reliabilitinya) hubungan antara satu catatan performans dan kemapuan berproduksi untuk suatu sifat dalam sebuah populasi.

Menurut Pallawaruka (1999) Nilai ripitabilitas digolongkan kedalam r < 0.2: rendah, r 0.2 – 0.4: sedang, r > 0.4: tinggi. Sedangkan nilai ripitabilitas untuk produksi susu adalah 0.5. Warwick et al.,(1995) dan Martojo (1992) menyebutkan bahwa ripitabilitas untuk produksi susu pada kambing perah adalah 40-70%.

MPPA dan PBV

Menurut Lasley (1978), Most Probable Producing Ability (MPPA) adalah regresi dari pencatatan masa yang akan datang terhadap pencatatan saat ini, atau derajat dimana suatu catatan berulang akan menghasilkan seleksi yang lebih efektif untuk laktasi yang berikutnya. MPPA digunakan untuk mengestimasi kemampuan produksi pada masa yang akan datang, serta untuk mengevaluasi superioritas seekor ternak dalam menghasilkan susu.

Nilai pemuliaan atau breeding value (BV) merupakan faktor utama dalam mengevaluasi keungulan individu dalam populasi ternak. Seleksi ternak sebagai tetua tertuju pada ternak yang memiliki nilai pemuliaan yang lebih tinggi dari populasinya (Lasley, 1978). Schmidt et al.,(1988)menyatakan bahwa nilai pemuliaan menunjukkan besarnya pengaruh gen yang ada pada induk yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Karena setiap individu menunjukkan hanya setengah dari gen yang dimiliki kepada keturunannya, maka kemampuan mewariskan (transmiting ability) individu hanya setengah dari nilai pemuliaannya. Nilai pemuliaan dugaan (Predicted Breeding Value = PBV) sering dinyatakan sebagai simpangan dari rata-rata populasi. Schmidt et al . (1988) menyatakan nilai pemuliaan menunjukkan besarnya pengaruh gen yang ada pada induk yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Setiap individu menurunkan hanya setengah dari nilai pemuliaannya.

(25)

berada, karena nilai ini merupakan perbedaan rataan nilai individu dari populasinya. Falconer (1981) menyatakan bahwa suatu nilai tidak dapat dikatakan nilai pemuliaan tanpa menyebut populasi dimana individu ternak tersebut dikawinkan. Johansson dan Rendel (1968) menyatakan bahwa ada empat informasi dasar untuk menilai nilai pemuliaan, yaitu : ternak itu sendiri, tetua, kerabat, dan keturunan. Semua sumber ini menyediakan informasi mengenai mutu genetik ternak tersebut, karena semua individu tersebut memiliki beberapa gen yang sama dengan ternak itu. Pendugaan nilai pemuliaan sangat erat hubungannya dengan nilai heritabilitas karena nilai ini merupakan proporsi perbedaan performans (fenotipe) suatu sifat yang disebabkan oleh perbedaan nilai pemuliaan sifat tersebut dalam suatu populasi atau merupakan keragaman nilai pemuliaan terhadap keragaman nilai fenotipenya (Bourdon, 1997).

(26)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di PT. Taurus Dairy Farm, kecamatan Cicurug-Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama dua bulan, dari Agustus sampai September 2007.

Materi

Penelitian menggunakan data sekunder yaitu data dari 118 ekor kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm, dengan rincian : 1) data produksi susu dari 18 ekor induk awal yang didatangkan dari Australia pada tanggal 4 April 1996, 2) data produksi susu dari 17 induk awal yang didatangkan dari Semarang pada bulan Februari 1999. 3) data produksi susu dari 45 ekor anak keturunan induk Australia. 4) data produksi susu dari 38 ekor anak keturunan induk Semarang. Data dikumpulkan mulai tahun 1996-September 2007.

Rancangan

Data produksi susu kambing Saanendianalisa secara deskriptif dan statistik. Analisa data

1. Faktor koreksi produksi susu

Faktor koreksi dibuat untuk lama laktasi dan periode laktasi. Analisa data dengan menggunakan analisa ragam dan deskriptif. Rataan kuadrat terkecil dari analisa Model Linear Umum diturunkan dengan menetapkan musim, tahun beranak, lama laktasi dan umur melahirkan sebagai model dalam analisa ragam. Kemudian didapatkan faktor koreksi yang digunakan untuk menstandarisasi produksi total, sehingga diperoleh produksi terkoreksi. Untuk mendapatkan titik standarisasi, dilihat sebaran data produksi susu. Berdasarkan sebaran data, produksi susu distandarisasi ke lama laktasi 240 hari dan periode laktasi keempat.

2. Heritabilitas

(27)

Yik = μ + αi + εik (Becker, 1975)

Keterangan:

Yik = Nilai produksi susu individu anak ke-k pejantan ke -i μ = Rataan Populasi

αi = Pengaruh Pejantan ke-i

εik = Deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol individu anak

ke-k pejantan ke-i

Estimasi Heritabilitas:

h 2= 4σ 2 s (Becker, 1975)

σ2s + σ2w

Keterangan:

σ2s = Pendugaan komponen ragam antar pejantan

σ2w = Pendugaan komponen ragam anak dalam pejantan

3. Ripitabilitas

Ripitabilitas diperoleh dengan melakukan analisa ragam antar dan dalam individu. Model Statistiknya:

Ykm = u + αk+ ekm (Becker, 1975) Keterangan:

Ykm = Hasil pengamatan pada individu ke-k, pengukuran ke-m u = Rataan populasi

σ2w = Pendugaan komponen ragam antar individu

σ2e = Pendugaan komponen ragam pengukuran dalam individu

4. MPPA

(28)

MPPA=H+ (C-H) (Lasley,1978)

Keterangan:

MPPA = Most Probable Producing Ability

H = Average production/rataan produksi di peternakan tersebut n = Jumlah laktasi

r = Ripitabilitas

C = Rataan induk yang ingin kita nilai produksi susunya 5. PBV

Nilai PBV diperoleh berdasarkan rumus:

PBV=H + (C-H) ( Lasley,1978)

Keterangan:

PBV = Predicted Breeding Value

H = Average production/rataan produksi di peternakan tersebut n = Jumlah laktasi dengan menggunakan Pearson Correlation. Matjik (2000) menyatakan bahwa koefisien korelasi sering dinotasikan sebagai r dan nilainya berkisar antara -1 dan 1, nilai r yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan semakin erat hubungan linier antara kedua peubah tersebut, sedangkan nilai r yang mendekati 0 menggambarkan hubungan kedua peubah tersebut tidak linier.

Analisa statistik dan deskriptif dilakukan dengan menggunakan Minitab 14

Version for Window.

Prosedur

Pengambilan data

(29)

masa laktasi, data perkawinan ternak, nomor dan nama pejantan, nomor dan nama induk, nomor dan nama anak, tanggal lahir induk, tanggal beranak induk, tanggal pengeringan induk, data keadaan dan lokasi pemeliharaan, data cuaca serta data pendukung lainnya. Data curah hujan diperoleh dari Pos pengamatan Cicurug Sukabumi, dari tahun 1996 sampai bulan September 2007 yang diperlukan untuk menentukan musim pada waktu kambing beranak.

Peubah yang diamati :

1. Faktor koreksi, yaitu nilai yang digunakan untuk melakukan standarisasi terhadap produksi susu kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm.

2. Heritabilitas, yaitu daya pewarisan suatu sifat, dari tetua kepada keturunannya. 3. Ripitabilitas, yaitu daya pengulanggan suatu sifat.

4. MPPA, menunjukkan daya kemampuan berulang oleh seekor ternak dalam berproduksi.

5. PBV, menunjukkan besarnya pengaruh gen yang ada pada induk yang dapat diwariskan kepada keturunannya.

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum PT. Taurus Dairy Farm

Lokasi dan Letak

Peternakan kambing Saanen terdapat di lingkungan PT. Taurus Dairy Farm di desa Tenjo Ayu, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Luas Areal untuk budidaya kambing Saanen sekitar 6200 m2, yang terdiri atas lapangan

pengembalaan 4200 m2 dan 2000 m2 untuk peralatan dan gudang. Namun, saat ini

lapangan pengembalaan tidak digunakan lagi, hal ini untuk mencegah induk terkena penyakit cacingan. Untuk memenuhi kebutuhan hijauan tersedia kebun rumput yang sama dengan kebun rumput untuk memenuhi kebutuhan hijauan sapi perah. Luas lahan yang digunkaan untuk menanam hijauan ± 32 ha. Rumput yang ditanam adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput raja (Pennisetum thypoides)

Keadaan Geografis PT. Taurus Dairy Farm adalah sebelah utara berbatasan dengan desa Manggis Hilir, sebelah selatan dengan desa Cilayur, sebelah timur berbatasan dengan desa Manggis I dan sebelah barat berbatasan dengan PT. Demina/LPTI.

Tabel 1. Keadaan Lokasi Peternakan PT. Taurus Dairy Farm

(31)

Gambar 1. Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm

Untuk memudahkan manajemen, baik manajemen pakan maupun reproduksi, maka kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin dan berat badan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengklasifikasian Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm

Klasifikasi Keterangan

Kambing masih susu (KMS) kambing berumur 0-4 bulan Kambing lepas sapih (KLS) kambing berumur 4-6 bulan

Dara pra kawin I (DPK I) kambing betina dengan berat badan 25 kg Dara pra kawin II (DPK II) kambing betina dengan berat badan > 25-30 kg Dara pra kawin III (DPK III) kambing betina dengan berat badan >30-38 kg Dara siap kawin (DSK) kambing betina dengan berat badan 39-40 kg Induk kambing betina dengan berat badan ± 45 kg Jantan muda kambing jantan lepas sapih sampai BB > 70 kg Pejantan (Buck) kambing jantan dengan berat badan ± 70-90 kg

(32)
(33)

Pemberian rumput yang berumur 40 hari ditujukan agar palatabilitasnya lebih tinggi, sehingga ketika dimakan oleh kambing, bagian yang tidak dimakan dapat diminimalisir. Rumput yang diberikan, dicacah terlebih dahulu menjadi tiga atau empat bagian secara manual dengan menggunakan sabit. Pemotongan rumput untuk kambing tidak menggunakan alat chopper karena rumput hasil pemotongan dengan chopper

berbau solar dan kambing tidak menyukainya.

Gambar 2. Kebun Hijauan PT. Taurus

Dairy Farm

Pemberian hijauan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 9.00 WIB, dan pada pukul 14.00 WIB. Selain diberikan pakan hijauan, kambing Saanen di PT.Taurus Dairy Farm juga diberikan konsentrat. Air minum diberikan secara ad libitum.

Pemberian pakan hijauan dilakukan secara bertahap tergantung dari umur kambing, agar rumen dapat terbentuk dengan baik. Pemberian rumput untuk anak kambing yang berumur tiga minggu adalah 2 kg per ekor per hari, karena kambing umur tiga minggu masih dalam tahap pengenalan dan belajar memakan rumput. Anak kambing yang berumur satu bulan pemberian rumput sebanyak 4 kg per ekor per hari, untuk anak yang berumur tiga bulan pemberian rumput sebanyak 5 kg per ekor per hari dan kambing yang berumur lima bulan pemberian sebanyak 6 kg per ekor per hari.

(34)

hari digunakan sebagai persediaan untuk malam hari. Pemberian rumput untuk induk kering sama dengan kambing laktasi, yaitu 16 kg per ekor per hari, sedangkan pemberian rumput pada pejantan sebanyak 18 kg per ekor per hari, lebih banyak dari kambing lain. Tingginya jumlah pemberian rumput pada pejantan, karena ukuran tubuh pejantan lebih besar, dan bertujuan untuk meningkatkan fertilitas pada saat mengawini betina.

Selain rumput, diberi hijauan lain yaitu leguminosa. Pemberian leguminosa dan daun-daunan hanya untuk kambing yang sedang laktasi, dengan pemberian satu kali seminggu. Jenis legum yang diberikan berupa daun lamtoro (Leucaena leucocepala). Jenis daunnya berupa gamal (Glirisidia sepium). Penambahan leguminosa pada kambing bertujuan untuk meningkatkan produksi susu.

Pakan Konsentrat

(35)

8 Bospro 0.6 Sumber : Laboratorium dan gudang pakan PT.Taurus Dairy Farm

Pemberian konsentrat pada induk kambing Saanen laktasi dilakukan 4 kali sehari, yaitu pada pukul 4.00 WIB (sebelum pemerahan), 11.00 WIB, 13.00 WIB (dengan ditambah singkong), dan pukul 16.00 WIB (sebelum pemerahan). Sementara, pemberian konsentrat untuk kambing yang tidak laktasi, dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 8.00 WIB, dan 13.00 WIB. Saat ini mulai diberikan pakan tambahan lain, yaitu singkong. Singkong hanya diberikan untuk kambing yang sedang laktasi dengan waktu pemberian dua kali sehari yaitu pagi pukul 11.00 WIB dan siang pukul 13.00 WIB.

Perkandangan

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, kandang kambing di PT. Taurus Dairy Farm sudah memenuhi persyaratan perkandangan yang baik, sebagaimana yang dinyatakan oleh Devendra dan Burns (1994) bahwa kandang yang baik dan paling praktis untuk daerah tropis adalah kandang kambing yang berbentuk panggung.

Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm dipelihara dan diberi pakan di dalam kandang, kecuali anak kambing selain diberi pakan di dalam kandang juga dilepas disekitar kandang untuk makan dan bermain. Sistem pemeliharaan kambing Saanen di PT.Taurus Dairy Farm tergolong peternakan dengan sistem semi intensif, karena ternak dikandangan, dan juga memiliki tempat untuk exercise dan merumput (grassing). Menurut Devendra (1993), sistem pemeliharaan kambing di daerah tropis terdiri atas sistem produksi subsistem, intensif, dan semi intensif. PT. Taurus Dairy Farm memiliki 10 kandang. Pembagian kandang dilakukan berdasarkan performa produksi susu dari masing-masing individu.

Tabel 5. Klasifikasi Kandang Kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm Klasifikasi Kandang Keterangan

Kandang A kandang untuk anak kambing (cempe)

(36)

Kandang C kandang untuk kambing laktasi, dengan produksi susu < 1,5 liter/hari

Kandang D kandang untuk kambing laktasi, dengan produksi susu > 2 liter/hari

Kandang E kandang untuk DSK (Dara Siap Kawin)

Kandang F kandang untuk kambing laktasi, dengan produksi susu < 1 liter/hari

Kandang G kandang untuk induk bunting kering dan kering kandang Kandang H kandang untuk betina lepas sapih – DPK (Dara Pra Kawin) III Kandang I kandang untuk jantan lepas susu – jantan muda

Kandang J kandang untuk pejantan

Gambar 3. Kandang Kambing Saanen pada PT. Taurus Dairy Farm

(37)

sejuk yang sangat peka terhadap sinar matahari dan temperatur tinggi (Devendra dan Burns, 1994).

Kandang dilengkapi tempat pakan berupa palungan panjang terbuat dari papan dengan lebar atas 40 cm, bawah 30 cm, tinggi 40 cm dan tinggi dari lantai kandang 50 cm. Tinggi bak pakan berguna untuk mengguranggi terjadinya kontaminasi feses dan urine. Celah untuk mengeluarkan kepala kambing saat makan berukuran 25 x 25 cm dan terbuat dari besi. Tempat minum berupa drum plastik, yang dibuat terpisah dan diletakkan di tempat pakan.

Produksi Susu

PT. Taurus Dairy Farm merupakan salah satu perusahaan peternakan yang memelihara kambing Saanen dengan tujuan utama untuk produksi susu. Pemerahan dilakukan dua kali sehari secara manual, yaitu pagi hari pada pukul 04.00 WIB dan sore hari pada pukul 16.00 WIB. Susu yang diproduksi dikirimkan ke PT.Yummi Food di Jakarta dalam bentuk beku, untuk diolah menjadi berbagai produk. Kambing tersebut dipelihara dalam kandang individu berdasarkan performa produksi susu, untuk mempermudah pemerahan dan manajemen pakan.

Rataan produksi susu kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm adalah 322,03 liter/ekor/laktasi dengan lama laktasi 240 hari, atau sekitar 1,34 liter/ekor/hari. Menurut Devendra dan Burns (1994) bahwa produksi susu harian kambing di daerah tropis1-3 kg/Hari. Penelitian Herlina (2006) di tempat yang sama menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu kambing Saanenselama satu hari adalah 1,44 liter, lebih tinggi dari pada hasil yang diperoleh dalam penelitian. Hasil penelitian Atabany (2002) pada PT. Taurus Dairy Farm menunjukkan bahwa rataan produksi susu 355.9 kg dengan lama laktasi 267,41 hari dan produksi per hari 1,29 kg. Sementara Epun (2003) mendapatkan bahwa kambing Saanen di PT Fajar Taurus Dairy Farm memiliki panjang laktasi antara 6 sampai 8 bulan dengan rata-rata produksi 1,78 liter/ekor/hari.

(38)

maksimum tercapai pada umur 4 - 5 tahun atau pada laktasi ketiga dan tidak menurun drastis selama tiga tahun berikutnya. Menurut Devendra dan McLeroy (1982), rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari, di daerah temperate produksi susunya dapat mencapai 5 kg per ekor per hari.

Perbedaan rataan produksi susu antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: lingkungan yang kurang mendukung, seperti : iklim, musim, penyakit, penyediaan pakan, pengelolaan usaha, serta perbedaan waktu ketika diadakannya penelitian. Faktor lingkungan tempat pemeliharaan sangat berpengaruh terhadap produktifitas kambing. Kambing Saanen merupakan kambing yang berasal dari daerah temperate (daerah berikilm sedang), sehingga akan menghasilkan performa yang berbeda ketika dipelihara di daerah tropis. Menurut (Warwick et al,. 1990) bahwa kuantitas produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Performans sifat ini tergantung pada gen-gen yang dimiliki, tetapi keadaan lingkungan yang menunjang diperlukan untuk memberikan kesempatan penampilan suatu sifat secara maksimal.

Gambar 4. Rataan Produksi Susu Pada Masing-masing Laktasi

(39)

Periode Saanen di PT. Taurus Dairy Farm akan meningkat seiring dengan meningkatnya periode laktasi, kemudian setelah mencapai puncak maka produksi akan menurun. Produksi susu tertinggi terjadi pada laktasi keempat (338,8 liter), kemudian menurun dan meningkat kembali pada laktasi ketujuh. Produksi susu yang paling rendah terjadi pada laktasi pertama dan terakhir. Menurut Sodiq dan Abidin (2002), produksi susu kambing umumnya meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan mempunyai puncak pada saat berumur 5-7 tahun, yakni pada masa laktasi ke-3 sampai ke-5, produksi rendah akan terjadi pada awal dan akhir masa laktasi. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa produksi susu mencapai maksimum pada laktasi keempat, setelah itu turun dengan cepat. Selanjutnya diperoleh bahwa koefisien keragaman pada produksi susu kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm cukup tinggi. Ini menggambarkan bahwa variasi produksi susu antar masing-masing individu tinggi.

(40)

produksi rendah terjadi pada awal dan akhir laktasi. Produksi susu maksimum tercapai pada umur 4 - 5 tahun atau pada laktasi ketiga dan tidak menurun drastis selama tiga tahun berikutnya dimana dianggap hampir semua bangsa kambing berbiak sekali dalam setahun. Susu yang dihasilkan setiap hari akan meningkat sejak induk beranak

Faktor koreksi perlu dibuat untuk menghindari bias dalam perhitungan, sehingga produksi susu yang diperoleh seluruhnya mencerminkan kemampuan gentik dari ternak tersebut, bukan karena pengaruh lingkungan. Dengan faktor koreksi, maka dilakukan standarisasi terhadap produksi susu.

Produksi susu merupakan suatu sifat fenotip, yang ekspresinya ditentukan oleh genetik dan lingkungan dimana sifat tersebut berada. Schmidt dan Van Vleck (1974) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu: (1) lingkungan yang penyebabnya diketahui : umur, musim saat beranak, masa kering dan masa produksi, sehingga produksi perlu dikoreksi: (2) lingkungan yang tidak diketahui penyebabnya, namun berpengaruh terhadap produksi susu, hal ini sulit dibuat faktor koreksinya. Dalam menduga nilai pemuliaan produksi susu perlu dilakukan penyesuaian produksi susu sapi betina yang dinilai terhadap produksi susu setara dewasa.

Faktor-faktor yang perlu penyesuaian adalah jumlah pemerahan, intensitas pemerahan, dan periode laktasi (Warwick, 1979). Ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan yang optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, ternak yang memiliki mutu genetik rendah meski didukung oleh lingkungan yang baik juga tidak akan menunjukkan produksi yang tinggi (Noor, 2000).

(41)

Standarisasi produksi susu kambing secara internasional belum ada seperti halnya pada sapi perah. Oleh karena itu, perlu dibuat faktor koreksi berdasarkan kondisi peternakan yang diamati. Pada penelitian ini, dibuat faktor koreksi untuk laktasi berjalan (lama laktasi) dan periode laktasi. Sebelumnya, ternak dikelompokkan menurut musim dan tahun kelahiran, karena musim dan tahun kelahiran berpengaruh sangat nyata terhadap produksi susu (P<0.01). Dengan dilakukan pengelompokkan terhadap musim dan tahun kelahiran, maka pengaruh kedua variabel ini dapat dihilangkan.

Perbedaan produksi susu antar tahun dan musim kelahiran ini disebabkan karena perbedaan manajemen yang diterapkan, seperti perbedaan manajemen pakan, pemeliharaan ternak, kesehatan, dan reproduksi. Musim pada waktu kambing beranak berhubungan dengan suhu lingkungan peternakan dan ketersediaan pakan, terutama perkembangan sel-sel sekretoris kelenjar ambing selama kebuntingan, ketersediaan zat-zat makanan (substrat) sebagai bahan untuk sintesa susu dan laju penyusutan sel-sel sekretoris selama laktasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sintesa susu melalui dua jalur yaitu filtrasi dan sintesis. Kecepatan sintesis dan filtrasi susu tergantung dari konsentrasi precursor di dalam darah yang merupakan ekspresi dari kuantitas dan kualitas suplai pakan.

(42)

daripada yang beranak pada bulan-bulan lainnya, dengan produksi susu terendah pada musim hujan (Agustus dan September).

Musim dibagi menjadi 4 (awal hujan, akhir hujan, awal kemarau, ahir kemarau).

Pembagian musim ini diperoleh dengan membuat rata-rata curah hujan untuk setiap bulan dari tahun 1996-2007. Bulan November, Desember, dan Januari termasuk awal hujan, bulan Februari, Maret, April, termasuk akhir hujan. Sedangkan bulan Mei, Juni, dan Juli termasuk awal kemarau dan bulan Agustus, September serta Oktober termasuk akhir kemarau.

Faktor Koreksi Lama Laktasi

Dari sebaran data, didapatkan lebih dari 50% populasi kambing Saanen di PT. FajarTaurus Dairy Farm menghasilkan susu hingga lebih dari 240 hari, sehingga lama laktasi 240 hari dijadikan sebagai titik optimum dan titik standarisasi. Jika laktasi kurang dari 240 hari, maka laktasi terlalu pendek, sedangkan laktasi lebih dari 240 hari, maka laktasi terlalu panjang. Penelitian Epun (2003) pada tempat yang sama mendapatkan bahwa kambing Saanen di PT. Fajar Taurus Dairy Farm memiliki panjang laktasi antara 6 sampai 8 bulan. (Greenwood, 1997) juga menyatakan bahwa produksi susu per ekor bisa mencapai 800 kg dengan kandungan lemak antara 3-4% per masa laktasi yang berlangsung selama 250 hari.

Koreksi ke 240 hari dibuat untuk masing-masing laktasi, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa persistensi produksi susu antar masing-masing laktasi berbeda. Laktasi pertama memiki persistensi paling tinggi. Dengan dilakukan standarisasi ke 240 hari, maka produksi susu yang dihasilkan seekor individu seluruhnya mencerminkan performa individu tersebut, bukan disebabkan karena kondisi fisiologis yang berbeda.

Tabel 7. Sebaran Produksi Susu pada Masing-masing Laktasi Berjalan (Lama Laktasi)

Lama laktasi (bulan) Jumlah Catatan laktasi (ekor) Persentase

1 360 100%

2 350 97%

3 341 95%

(43)

5 303 84%

6 267 74%

7 238 66%

8 199 55%

9 162 45%

10 118 33%

11 79 22%

12 64 18%

Berdasarkan Tabel 7, diperoleh grafik sebaran produksi susu pada masing-masing lama laktasi.

Gambar 5. Sebaran Produksi Susu pada Masing-masing Lama Laktasi

Setelah didapatkan titik 240 hari sebagai titik standarisasi, kemudian dilakukan koreksi terhadap produksi susu pada masing-masing periode laktasi. Faktor koreksi yang didapat adalah sebagai berikut:

Tabel 8. Faktor Koreksi 240 Hari untuk Masing-masing Periode Laktasi Lama laktasi (bulan) FK 240, Laktasi 1 FK 240, Laktasi 2 FK 240, Laktasi >3

1 9,35 8,49 7,16

2 4,04 3,66 3,60

(44)

3 2,62 2,47 2,43

4 1,96 1,85 1,83

5 1,58 1,51 1,52

6 1,30 1,28 1,27

7 1,11 1,14 1,13

8 1,00 1,00 1,00

9 0,93 0,90 0,94

10 0,88 0,86 0,85

11 0,79 0,86 0,81

12 0,79 0,84 0,81

Berdasarkan Tabel 9, diperoleh grafik tren untuk faktor koreksi lama laktasi pada masing-masing periode laktasi.

Gambar 6.Tren Faktor Koreksi Lama Laktasi untuk Menstandarisasi Produksi Susu Kepada Produksi 240 Hari untuk Masing-masing Periode Laktasi.

Faktor koreksi ini dibatasi penggunaannya mulai laktasi ketiga, karena untuk laktasi kurang dari tiga diperoleh nilai faktor koreksi yang terlalu besar, yang mengakibatkan

over estimate ketika menstandarisasi produksi susu. Ternak dengan lama laktasi kurang Faktor koreksi lama laktasi

(45)

dari 240 hari akan memiliki faktor koreksi yang lebih tinggi dari pada ternak yang memilki lama laktasi lebih dari 240 hari. Produksi susu pada ternak dengan laktasi yang terlalu panjang bukan lagi mencerminkan kemampuan genetiknya, tetapi karena adanya perbedaan manajemen, Misalnya, pemerahan yang terlalu lama, atau ternak tidak dikawinkan. Di PT. Taurus Dairy Farm apabila seekor kambing memiliki produksi tinggi, maka kambing tersebut tidak dikawinkan, tetapi akan terus diperah. Hal ini akan mempengaruhi total produksi susu yang dihasilkan.

Faktor Koreksi Periode Laktasi

Faktor koreksi periode laktasi dibuat untuk menghindari pengaruh umur terhadap produksi susu. Produksi susu yang dihasilkan oleh kambing dewasa akan berbeda dengan kambing yang baru mengalami laktasi. Koreksi terhadap periode laktasi setara dengan koreksi terhadap umur. Karena produksi susu yang optimum akan dihasilkan pada umur dewasa (Mature equivalent), yang akan terjadi pada periode laktasi tertentu. Diperoleh bahwa produksi susu paling tinggi pada laktasi keempat, sehingga laktasi keempat ini dijadikan sebagai titik standarisasi untuk mengoreksi produksi susu pada periode laktasi yang lain. Periode laktasi keempat dianggap sebagai umur setara deawasa (Mature equivalent). Produksi susu tertinggi yang dihasilkan oleh seekor ternak akan terjadi pada saat dewasa.

Produksi susu paling tinggi pada laktasi keempat. Menurut Devendra dan Burns (1994) bahwa produksi susu mencapai maksimum pada laktasi keempat, setelah itu turun dengan cepat. Sodiq dan Abidin (2002) menambahkan bahwa produksi susu kambing umumnya meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan mempunyai puncak pada saat berumur 5-7 tahun, yakni pada masa laktasi ke-3 sampai ke-5. Devendra dan Burns (1983) menyimpulkan bahwa hasil susu maksimum tercapai pada umur 4 atau 5.

(46)

manajemen maupun pengaruh dari faktor lainnya.. Persamaan regresi yang diperoleh adalah :

Y=256,6 + 38,50 lak – 4,14 lak2 (R-Sq = 97,7% R-Sq(adj) = 96,2%)

Ket :Y=Produksi susu

Sehingga diperoleh faktor koreksi periode laktasi seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Faktor Koreksi Periode Laktasi

Periode laktasi Rataan produksi susu (liter) FK laktasi

1 290,746 1,17

2 316,064 1,08

3 332,554 1,02

4 340,216 1,00

5 339,05 1,00

6 329,056 1,03

7 310,234 1,10

8 282,584 1,20

9 246,106 1,38

Setelah dilakukan koreksi terhadap periode laktasi, maka diperoleh rata-rata produksi susu yang dihasilkan oleh kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm per laktasi (240 hari) seperti ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Rataan Produksi Susu Terkoreksi Periode Laktasi Rataan produksi susu (liter)

(47)

Produksi susu yang telah dikoreksi terhadap laktasi 240 hari, kemudian dilakukan koreksi lagi terhadap periode laktasi, sehingga diperoleh produksi susu terkoreksi. Nilai produksi susu ini yang kemudian digunakan untuk menghitung parameter-parameter

Banyak ragam fenotip yang disebabkan oleh ragam genetik adalah heritabilitas. Ini sangat penting dipertimbangkan dalam memperhitungkan sifat kuantitatif (Lasley, 1978, dan Benerjee, 1982). Nilai heritabilitas bukan merupakan nilai mutlak dan mempunyai kisaran antara 0 – 1,0. Seperti misalnya untuk produksi susu nilai heritabilitas produksi susu berikisar 0,2-0,3 (Warwick et al., 1990). Dari penelitian ini diperoleh bahwa nilai heritabilitas produksi susu adalah 0.2, dan termasuk kategori sedang, seperti yang dinyatakan oleh Dalton (1981), nilai heritabilitas sebesar 0,00-0,10 termasuk kategori rendah, 0,10 – 0,30 termasuk sedang, dan diatas 0,30 termasuk tinggi. Menurut Noor (2000) nilai heritabilitas dikatakan rendah jika nilainya berada antara 0-0,2, sedang antara 0,2-0,4, dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,4.

(48)

ternak di dalam kelompok acak di dalam sautu populasi karena merupakan metode penaksiran heritabilitas yang paling banyak digunakan. Metode ini paling murni menggambarkan ragam genetik aditif.

Dalam penelitian ini sampel yang ada sangat terbatas, Dalton (1981) menyatakan bahwa paling sedikit diperlukan 5 ekor pejantan dengan jumlah anak 10 ekor per pejantan untuk memperoleh dugaan h2 yang baik. Sementara dalam penelitian ini, hanya

3 ekor pejantan yang memenuhi kriteria tersebut. Lasley (1978) menyatakan bahwa pendugaan besarnya heritabilitas akan berbeda-beda tergantung dari metode yang digunakan. Besar kecilnya nilai heritabilitas dalam suatu populasi yang dianalisis akan bergantung pada jumlah populasi yang diambil, jumlah pejantan yang diamati, cara perhitungan sampel, dan metode yang digunakan.

Nilai ripitabilitas produksi susu pada kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm adalah 0,21 atau 21 %. Warwick dan Legates (1979) menyatakan bahwa ripitabilitas merupakan pencerminan kesamaan dari sutu sifat yang diulang setiap kali dari individu yang sama setiap hidupnya. Warwick et al.,(1990) dan Martojo (1992) menyebutkan bahwa ripitabilitas untuk produksi susu pada kambing perah adalah 40-70%, nilai ripitabilitas yang diperoleh lebih rendah. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh perbedaan cara pengambilan sampel, perbedaan jumlah sampel, perbedaan metode yang digunakan, perbedaan lokasi perhitungan dan manajemen. Nilai ripitabilitas yang diperoleh lebih tinggi dari nilai hertitabilitas, tetapi perbedaannya tidak signifikan. Ini mencerminkan bahwa pengaruh lingkungan tetap pada produksi susu pada populasi tersebut sangat rendah.

MPPA dan PBV

(49)

didefinisikan sebagai nilai pemuliaan tetua yang akan mewariskan gen terhadap generasi yang akan datang. Hal yang sama dikemukakan oleh Schmidt et al. (1988), bahwa para peternak pada umumnya melakukan seleksi terhadap sapi perah betina lebih didasarkan atas dasar nilai pemuliaan dari pada atas produksinya. Hal ini disebabkan karena nilai pemuliaan lebih menggambarkan kemampuan genetik ternak untuk berproduksi susu dan selanjutnya setengah bagian akan diwariskan kepada keturunannya. Apabila tujuan seleksi dilakukan untuk mempertahankan sapi-sapi dengan kemampuan produksi susu tinggi dipeternakan, maka diperlukan perhitungan daya kemampuan produksi susu individu sapi. Daya produksi dapat diketahui dengan metode Most Probable Producing Ability (MPPA).

MPPA mencerminkan kemampuan berulang suatu ternak dalam menghasilkan susu. Parameter genetik yang digunakan untuk menghitung MPPA adalah ripitabilitas. Sementara itu, PBV mencerminkan potensi genetik yang dimiliki oleh suatu individu dalam mewariskan suatu sifat dan parameter yang digunakan adalah heritabilitas .Schmidt et al (1988) menyatakan nilai pemuliaan menunjukkan besarnya pengaruh gen yang ada pada induk yang dapat diwariskan kepada keturunannya. dan parameter yang digunakan adalah heritabilitas.

Ternak yang unggul akan mempunyai peringkat MPPA dan PBV yang tinggi dibandingkan dengan rataan populasi. Dengan mengadakan perhitungan kedua indikator ini, maka akan diperoleh evaluasi tentang ternak yang memiliki produksi tinggi dan kemampuan untuk mewariskan sifat tersebut juga tinggi. Nilai MPPA dan PBV dari 10% betina terbaik pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm terdapat pada Tabel 11.

(50)

dengan rataan produksi susu populasi dari kambing-kambing yang digunakan sebagai materi penelitian di Taurus Dairy Farm.

Tabel 11. Nilai MPPA dan PBV dari 10% Betina Terbaik Pada Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm.

Peringkat No.Kambing MPPA PBV

1 TDF 82 493,011 484,682

2 9007 452,295 445,905

3 9013 435,489 429,898

4 8021 423,918 418,876

5 9018 422,071 417,120

6 TDF 46 407,056 402,820

7 TDF 76 403,421 399,359

8 9003 394,736 391,087

9 TDF 111 389,809 386,395

10 TDF 127 389,507 386,107

11 8079 381,522 378,503

12 8031 380,766 377,782

Peringkat MPPA dan PBV dari masing-masing individu ternak digunakan sebagai salah satu kriteria dalam menetapkan program pemuliaan yang akan dijalankan. Peringkat MPPA digunakan untuk seleksi terhadap induk yang akan di pertahankan di peternakan, sementara peringkat PBV digunakan untuk melakukan seleksi terhadap induk yang akan menghasilkan bibit untuk replacement stock.

Peringkat nilai pemuliaan dan nilai produksi susu tertaksir dari 10 % betina-betina terbaik di peternakan Taurus Dairy Farm tercantum dalam Tabel 11. Peringkat ini dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria seleksi. Jumlah betina yang akan diseleksi untuk dijadikan sebagai bibit tergantung pada kebijakan perusahaan. Lasley (1978) menyatakan bahwa pemilihan betina yang dapat dijadikan sebagai replacment stock

(51)

Data induk dari 10% betina terbaik pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Data Induk dari 10% Betina Terbaik Pada Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm.

Berdasarkan Tabel 12 diperoleh bahwa 33,3 % dari 12 ekor betina terbaik (10% betina terbaik) merupakan induk awal yang pertama kali didatangkan dari Australia. Induk awal ini yaitu kambing Saanen dengan nomor 9007, 9013, 9018, dan 9003.

Induk kambing dari Australia memiliki potensi produksi susu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan induk kambing Saanen yang didatangkan dari Semarang. Induk kambing Australia juga menghasilkan anak yang memiliki potensi produksi susu tinggi , yaitu TDF 82, TDF 46, TDF 76, TDF 111, dan TDF 127 atau 42,2 % dari 12 ekor betina terbaik. Sementara kambing dengan nomor 8021, 8079, dan 8031 merupakan keturunan dari induk kambing Saanen yang didatangkan dari Semarang atau 25 % dari 12 ekor betina terbaik.

(52)

Seperti pada kambing dengan nomor TDF 82 yang memiliki peringkat tertinggi pada menggantikan induk yang ada sebelumnya, sehingga produksi susu dapat terus berjalan. Kambing Saanen yang dapat digunakan sebagai ternak pengganti dapat dilihat dalam Tabel 13.

Tabel 13. Data 50 % Betina Terbaik Sebagai Pengganti

Nomor Nomor Kambing Nilai MPPA Nilai MPPA

(53)
(54)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Nilai MPPA dan PBV dari masing-masing individu dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap potensi individu tersebut dalam menghasilkan susu. Berdasarkan nilai MPPA dan PBV dibuat peringkat yang dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria seleksi dalam melakukan program pemuliaan pada populasi kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm. Peringkat MPPA dan PBV tertinggi diperoleh oleh kambing TDF 82. Ternak pengganti ditentukan berdasarkan nilai MPPA dan PBV untuk menggantikan induk-induk sebelumnya.

Saran

(55)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Cece Sumantri. M.Agr.Sc dan Bapak Ir. Afton Atabany M.Si selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi. Kepada Ibu Ir. Anneke Anggraeni M.Si.,Ph.D yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian ini. Kepada Bapak Dr. Ir. Bagus Purwo Purwanto. M.Agr dan Bapak Prof. Dr. Toto Toharmat M.Sc sebagai dosen penguji sidang sarjana. Kepada Bapak Jakaria Spt.MSi selaku dosen penguji seminar. Kepada Bapak Ir. Catur Nugroho M.Si manajer Taurus Dairy Farm, dan Bapak Jumena beserta para karyawan kambing perah PT. Taurus Dairy Farm. Bapak Dr. Ir. Kartiarso, terima kasih atas segala perhatian dan motivasi. Kepada Ibu Zakiah Wulandari. STp.M.Si sebagai pembimbing akademik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai, papa Fauzil Kamil dan mama Yumnafiati, atas segala curahan cinta, kasih,dan pengorbanan. Selanjutnya kepada kedua adik tersayang, Fajar Hidayat dan Dinta Fayuma. Kepada Bayu Edo Pratama, terima kasih atas segala kebersamaan, semangat dan perhatian yang diberikan, serta seluruh keluarga yang sangat penulis sayangi.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di TPT.’41.

Garink’ers (Nagil, Dimin, Meri, Breho, Kincing, Dani) beserta seluruh keluarga besar Sivitas Akademika FAPET-IPB. Selanjutnya kepada seluruh staff pengajar yang yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis menyelesaikan pendidikan. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh warga

NN’ers, serta seluruh sahabat yang memberikan banyak dukungan kepada penulis.

Gambar

Tabel 1. Keadaan Lokasi Peternakan PT. Taurus Dairy Farm
Tabel 2.  Pengklasifikasian Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm
Tabel 3. Struktur Populasi Kambing Saanen di PT. Taurus Dairy Farm Pada Bulan September 2007:
Gambar 2. Kebun
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk menunjang pemenuhan hak dan perlindungan anak sebagaimana dimaksud pada huruf b, Pemerintah melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) memberikan

Usia sebagaimana di maksud pada angka 1 huruf c, merupakan batas usia paling lambat penetapan keputusan pengangkatan dalam Jabatan Fungsional Pustakawan, oleh

Menghasilkan inovasi teknologi, audit teknologi, kliring teknologi, alih teknologi dan layanan teknologi untuk peningkatan daya saing meniuju kemandirian bangsa..

dengan program pembangunan pertanian di BPP Kota samarinda termasuk dalam kategori seimbang karena responden yang menilai sedang dan rendah (44% atau 11 dari

Pola V sama dengan pola IV berada pada fisiografis tengah dengan tanaman Kakao, Durian dan Kelapa sebagai tanaman utama dan tanaman pengisi yang termasuk

(2) Pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan mengajukan nama calon yang telah memenuhi

Model kinetika reaksi katalitik yang telah diuji clan memberikan ralat &lt;l 0% adalah model di mana langkah desorpsi DME dari permukaan katalis merupakan langkah

pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil