ANALISIS SISTEM KELEMBAGAAN DALAM
PERENCANAAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN
LAHAN KRITIS DAS BILA
ANDI NUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam disertasi saya yang berjudul:
ANALISIS SISTEM KELEMBAGAAN DALAM PERENCANAAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KRITIS DAS BILA merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan
ketua dan anggota komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada
program studi sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang
digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2007
ABSTRAK
ANDI NUDDIN. Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis DAS Bila. Dibimbing oleh NAIK SINUKABAN sebagai ketua, KUKUH MURTILAKSONO dan HADI S. ALIKODRA sebagai anggota komisi pembimbing.
Pengelolaan lahan kritis DAS Bila yang dilaksanakan sejak Tahun 1985 – 2001 tidak mencapai hasil, bahkan sebaliknya lahan kritis dan erosi semakin meningkat. Hal ini diduga sebagai akibat antara lain (1) ketidaktepatan teknologi, (2) keterbatasan dana, dan (3) lemahnya kelembagaan. Penelitian ini difokuskan pada sisi kelembagaan, berdasarkan dugaan bahwa penyebab kegagalan pengelolaan lahan kritis dari sisi kelembagaan, adalah (1) peran lembaga yang tidak optimal, (2) lemahnya kinerja fungsi manajemen, (3) lemahnya fungsi koordinasi, dan (4) penerapan program yang tidak strategis. Karena itu penelitian ini bertujuan menganalisis (1) lembaga-lembaga pemeran, (2) kinerja fungsi manajemen, (3) faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya fungsi koordinasi, dan (4) program strategis dalam pengelolaan lahan kritis, dengan menggunakan model analisis
Interpretative Structural Modelling, dan Analitycal Hierarchy Process.
Hasil analisis menunjukkan bahwa Balai Pengelolaan DAS Jeneberang-Walanae adalah lembaga pemeran utama. Selanjutnya Bapedalda, Dinas Lingkungan Hidup, Dinashutbun, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Bappeda, LSM, Tudang sipulung, dan Kelompok Tani adalah lembaga tingkat kabupaten dan lembaga lokal sebagai pemeran yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila. Hasil analisis dari ketiga fungsi manajemen menunjukkan bahwa penyebab utama kegagalan rehabilitasi lahan kritis DAS Bila adalah lemahnya kinerja perencanaan serta dominasi peran lembaga pusat dan provinsi tanpa melibatkan lembaga kabupaten di wilayah DAS Bila. Hal ini semakin memperlemah fungsi koordinasi seperti yang ditunjukkan melalui hasil analisis data bahwa kinerja fungsi koordinasi dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila sangat lemah. Lemahnya kinerja fungsi koordinasi tersebut adalah akibat dari dua faktor utama yaitu ketidakjelasan lembaga koordinator, dan lemahnya komitmen kerjasama aparat pemerintah.
Untuk mencapai keberhasilan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaan lahan kritis DAS Bila, hasil penelitian ini merekomendasikan tiga program strategis kunci, yaitu (1) pengembangan fungsi kontrol dan penegakan hukum lintas daerah, (2) pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan DAS (BKP-DAS), dan (3) penyamaan visi dan misi pengelolaan DAS lintas daerah, serta tiga program strategis lainnya, yaitu (1) penyusunan pola perencanaan DAS terpadu, (2) pengembangan fungsi monitoring dan evaluasi lintas daerah, dan (3) kerjasama dalam pendanaan lintas daerah. Untuk memaksimalkan kinerja pengelolaan lahan kritis DAS Bila, pemerintah perlu memberdayakan lembaga-lembaga tingkat kabupaten dan lembaga lokal dalam wilayah DAS Bila dalam perumusan dan/atau implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis.
ABSTRACT
ANDI NUDDIN. Analysis of Institutional System in the Planning and Strategy of Critical Land Management of Bila Watershed. Under Academic Supervision of NAIK SINUKABAN, as chairman, and KUKUH MURTILAKSONO and HADI S. ALIKODRA, as members of advisory committee.
Management of critical land of Bila Watershed, which has been conducted since the year 1985-2001, did not achieve appropriate results. Even, critical land and erosion was increasing progressively. This was possibly due among other things to (1) inappropriateness of technology, (2) lack of funding, and (3) institutional weakness. This research was focused on institutional aspects. The possible causes of failure in critical land management from institutional point of view were (1) institutional roles which were not optimal, (2) poor performance of management function, (3) weak function of coordination, and (4) program aplication which was not strategic. Therefore, the objectives of this research were analyzing (1) role player institution, (2) performance of management function, (3) factors which affect the weakness of coordination function, and (4) strategic program of critical land management, by using analysis model of Interpretative Structural Modeling, and Analytical Hierarchy Process.
Analysis results showed that Management Agency of Jeneberang-Walanae Watershed (BP-DAS Jeneberang-Walanae) was the main role player institution. Beside that, Regional Agency for Control of Environmental Impact (Bapedalda), Agency for Environment Service (Dinas Lingkungan Hidup), Forestry and Plantation Service (Dinashutbun), Agency for Public Works (Dinas Pekerjaan Umum), Agricultural Service (Dinas Pertanian), Regional Agency for Development Planning
(Bappeda), Non Government Organization, Tudang Sipulung, and Farmers Group,
were institutions at district level and local level, serving as role players which determine the success of formulating ang/or implementing the policy of critical land management of Bila Watershed. Analysis results of the three management function showed that the main causes of failure in critical land rehabilitation of Bila Watershed were weak performance of planning, and domination by central and provincial institutional role without involving district level institutions in the area of Bila Watershed. These phenomena further weakened the coordination function as shown by the data of very weak coordination function of critical land management of Bila Watershed. This weakeness of coordination function was due to two main factors, namely the obscurity of coordinator institution, and weak commitment of cooperation of government institutions.
For supporting the success of planning, execution, and supervision of critical land management of Bila Watershed, results of this research recommend three key strategic programs, namely (1) development of control function and interregional law enforcement, (2) establishment of Coordinating Agency for Watershed Management
(BKP-DAS), and (3) achieving uniform vision and mission of interregional watershed
management; and other three strategic programs, namely (1) creation of pattern for integratid watershed planning, (2) development of interregional evaluation and monitoring function, and (3) cooperation in interregional funding. For maximising the performance of critical land management of Bila Watershed, the government should empower institutions at district and local level in Bila Watershed area, in the formulation and/or implementation of policy of critical land management.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak
ANALISIS SISTEM KELEMBAGAAN DALAM
PERENCANAAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN
LAHAN KRITIS DAS BILA
ANDI NUDDIN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis DAS Bila
Nama : Andi Nuddin
NRM : A 236010021
Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Menyetujui 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M. Sc. Ketua
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Sc.
Anggota
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. Anggota
2. Ketua Program Studi Pengelolaan DAS
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc.
Tanggal Ujian: 03 Agustus 2007
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Selayar Sulawesi Selatan pada tanggal 27 Juli 1956, sebagai anak keempat dari lima bersaudara, pasangan Umar A. Manda (almarhum) dengan Denjihani. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda (BA) Tahun 1979, dan Sarjana (S1) Tahun 1983 pada Program Studi Pendidikan Geografi IKIP Ujungpandang. Selanjutnya menyelesaikan pendidikan Magister Sains (S2) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Universitas Hasanuddin Tahun 1996. Pada Tahun 2001 penulis memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan Doktor (S3) dalam bidang Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Institut Pertanian Bogor (IPB).
PRAKATA
Puji dan syukur ke khadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, disertasi berjudul Analisis Sistem Kelembagaan dalam Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis DAS Bila, dapat dirampungkan.
Dalam penyelesaian disertasi ini, tak terbilang bantuan baik materil maupun moril dari berbagai pihak. Karena itu sudah sewajarnyalah jika penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus, kepada Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, atas jasa dan budi baiknya dalam memberikan bimbingan demi perampungan disertasi ini dan penyelesaian studi penulis. Demikian pula terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama ini.
Kepada Ketua Program Studi Pengelolaan DAS beserta jajaran dosen, Dekan serta seluruh staf Sekolah Pascasarjana, dan Rektor Institut Pertanian Bogor, terima kasih atas pelayanan yang diberikan selama studi penulis di lembaga ini. Rektor Universitas Muhammadiyah Parepare, Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Parepare, dan Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi, terima kasih atas bantuan dan ijin yang telah diberikan sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan Studi Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kepada Pimpinan Proyek BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, terima kasih atas bantuan dana pendidikan yang diberikan kepada penulis. Demikian pula kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan dan Walikota Parepare yang telah memberikan tambahan dana penelitian selama penulis berada di lapangan.
Saudara/saudari Rusli Akhmad, SP, Murni Haris, SP dan Salni, SP, terima kasih atas bantuanya sebagai asisten lapangan, serta saudara-saudari staf dinas/instansi di lokasi penelitian yang tidak sempat disebut satu per satu, terima kasih atas partisipasinya sebagai responden dalam penelitian disertasi ini.
Kepada seluruh keluarga, ayahanda (amarhum) dan ibunda, bapak/ibu mertua, P. Nadi Nape, BA., kakak (ipar), terima kasih atas bantuan dan motivasinya kepada penulis. Secara khusus ucapan terima kasih disampaikan kepada keluarga Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc, atas bantuannya baik moril maupun materil selama penulis berada di Bogor.
Penghargaan dan ucapan terima kasih teristimewa disampaikan kepada isteri saya tercinta Dra. Hj. Munawarah dan anak-anakku tersayang Selpida Handayani, Dedy P. Wahyudi, dan Anisa atas kesabaran, keikhlasan serta dorongan dan doa restunya.
Semoga jasa dan budi baik, bimbingan, motivasi dan doa yang diberikan, dapat bernilai ibadah disisi Tuhan Yang Mahaesa.
Bogor, Agustus 2007
DAFTAR ISI
Daerah Aliran Sungai Sebagai Unit Perencanaan Pengelolaan La-han Kritis……….... Deskripsi Tentang Pengelolaan Lahan Kritis………. Kelembagaan Pengelolaan Lahan Kritis Berbasis DAS……… Perencanaan, dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis...METODE PENELITIAN.……… Lokasi dan Waktu Penelitian……..………... Pengumpulan Data ...……….. Pengolahan dan Analisis Data………...
HASIL DAN PEMBAHASAN ………... Kondisi Fisik Daerah Aliran Sungai Bila.……….. Kondisi Sosial Ekonomi Daerah Aliran Sungai Bila……... Kinerja Kelembagaan Pengelolaan Lahan Kritis DAS Bila... Lembaga Pemeran dalam Implementasi Kebijakan Pengelolaan Lahan Kritis………... Kinerja Fungsi Manajemen dalam Pengelolaan Lahan Kritis... Fungsi Koordinasi dalam Pengelolaan Lahan Kritis ...…... Program Strategis dalam Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Pengelolaan Lahan Kritis Berbasis DAS……... Kegiatan Prioritas dalam Pengelolaan Lahan Kritis...
DAFTAR TABEL
Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian...
Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian...
Jumlah pertanyaan setiap seri kuesioner berdasarkan model analisis yang akan digunakan...
Distribusi responden menurut lembaga...
Skala penilaian perbandingan elemen berpasangan ...
Matriks perbandingan berpasangan antar elemen...………...
Luas dan persentase jenis penggunaan lahan DAS Bila Tahun 2003....
Luas lahan kritis dan jumlah peladang menurut kabupaten di DAS Bila Tahun 2004...
Tingkat erosi di DAS Bila Tahun 2003..…………...
Tingkat kepadatan penduduk DAS Bila menurut kecamatan Tahun 2003...
Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di DAS Bila Tahun 2003...
Luas lahan garapan penduduk DAS Bila Tahun 2003...………....
Posisi dan bobot lembaga-lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila...
Posisi dan bobot faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi pengelolaan lahan kritis DAS Bila...
Posisi dan bobot program strategis dalam perencanaan, pelaksanaan, dan/atau pengawasan pengelolaan lahan kritis berbasis DAS ...
DAFTAR GAMBAR
Skema alur pikir penelitian………
Peta lokasi DAS Bila Sulawesi Selatan……….
Diagram alir proses analitik hierarki ...
Struktur hierarki analisis penyebab kegagalan program pengelolaan lahan kritis DAS Bila...
Diagram alir teknik ISM...………
Matriks driver power-dependence ………..………..
Peta penggunaan lahan DAS Bila Sulawesi Selatan Tahun 2003……..
Peta kepadatan penduduk DAS Bila Tahun 2003...…..
Indeks tekanan penduduk terhadap lahan DAS Bila Tahun 2004...
Indeks kebergantungan penduduk terhadap lahan DAS Bila Tahun 2004...
Ilustrasi peran kelembagaan masyarakat lokal dalam perencanaan pengelolaan lahan kritis DAS Bila ...
Frekuensi driver power – dependence sebagai indikator besarnya peran setiap lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila...
Posisi peran setiap lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila ...
Model struktur peran setiap lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila...
Hasil pembobotan sebagai indikator peran lembaga pemerintah dalam penerapan fungsi manajemen rehabilitasi lahan kritis DAS Bila...
Alur pikir/mekanisme kewenangan pemerintah terhadap rehabilitasi hutan dan lahan...
Hasil pembobotan sebagai indikator lemahnya fungsi managemen rehabilitasi lahan kritis DAS Bila...
Skor penilaian fungsi koordinasi pengelolaan lahan kritis DAS Bila ...
Frekuensi driver power-dependence sebagai indikator besarnya pengaruh setiap faktor terhadap fungsi koordinasi dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila...
20
21
22
23
24
25
26
27
Posisi setiap faktor dalam mempengaruhi fungsi koordinasi dalam pengeloaan lahan kritis DAS Bila...
Model struktur faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi pengelolaan lahan kritis DAS Bila...
Frekuensi driver power-dependence sebagai indikator program strategis dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penge-lolaan lahan kritis berbasis DAS...
Posisi program strategis dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program pengelolaan lahan kritis berbasis DAS ...
Model struktur program strategis dalam perencanaan, pelaksanaan, dan/atau pengawasan pengelolaan lahan kritis berbasis DAS...
Frekuensi driver power-dependence sebagai indikator kegiatan prioritas dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila...
Posisi kegiatan prioritas dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila...
Model struktur kegiatan prioritas dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila ...
102
112
114
115
126
129
130
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Hasil Tabulasi Kuesioner Seri A………
Matriks Perbandingan Berpasangan...
Hasil Pembobotan dan Prioritas ...
Hasil Tabulasi Kuesioner Seri B, C, D, dan E………...
StructuralSelf-Interaction Matrix (SSIM)……….
Reachability Matrix Final……….
Penilaian Responden Tentang Koordinasi Pengelolaan Lahan Kritis....
Kriteria Penilaian Lemahnya Fungsi Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Pengelolaan Lahan Kritis DAS Bila...
Kuesioner...
154
160
162
165
180
182
185
186
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sekitar Tahun 1970-an, tutupan lahan hutan di Indonesia masih mencapai
108.573.300 ha atau 57% dari seluruh tutupan lahan yang ada. Menurut Food and
Agriculture Organization (FAO) deforestasi di Indonesia antara Tahun 1982 –
1993 telah mencapai 2,5 juta ha/tahun, sehingga World Resources Institute (WRI)
Tahun 1997 menyebutkan bahwa Indonesia telah kehilangan hutan alam 72%
(Alikodra dan Syaukani, 2004). Hutan rusak ini tersebar di sejumlah daerah aliran
sungai (DAS) prioritas, yang memerlukan penanganan sesegera mungkin.
Perkembangan tingkat kerusakan DAS terlihat dari peningkatan jumlah
DAS prioritas yang ditetapkan pemerintah. Sejak Pelita V telah ditetapkan 39 DAS
prioritas, dengan 22 DAS di antaranya merupakan prioritas I (Sumahadi, dalam
Sinukaban ed. 1996). Jumlah DAS prioritas di Indonesia ditetapkan berdasarkan
SK. Menhutbun. No. 284/Kpts-II/1999, yaitu mencapai 472 DAS yang terdiri atas
proritas I, II dan III masing-masing 62, 232 dan 178 DAS (Ditjen. RRL, 1999).
Bila-Walanae ditetapkan sebagai DAS prioritas, bahkan termasuk salah
satu di antara 22 DAS super prioritas (Arsyad, 2000). DAS Bila yang luasnya
mencapai 170.727 ha, meliputi tiga kabupaten (Enrekang, Sidenreng Rappang, dan
Wajo) serta sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area) Sungai Bila yang
bermuara di Danau Tempe, dan sebagai sumber air baku Proyek Irigasi Bila untuk
2
Program pengelolaan lahan kritis di DAS Bila dimulai sejak Pelita II
dengan menggunakan dana Inpres Penghijauan dan Reboisasi (RTL-RLKT DAS
Bila, Buku 1, 1987). Pada tahun anggaran 1985/1986 disusun Pola Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT), dan ditindaklanjuti pada tahun anggaran
berikutnya dengan menyusun Rencana Teknik Lapang-Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah (RTL-RLKT) yang meliputi lahan seluas 31.449,50 ha. Program
ini semakin dikembangkan sehingga tahun anggaran 1987/1988 seluruh lahan kritis
di DAS Bila seluas 61.792 ha sudah menjadi lokasi program RTL-RLKT.
Kebijakan pengelolaan lahan kritis dalam bentuk RTL-RLKT DAS Bila
tahun 1986/1987, 1987/1988, dan 1998/1999, tidak membawa hasil sebagaimana
tujuan yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin meningkatnya luas
lahan kritis dari 61.792 ha Tahun 1988, menjadi 86.877 ha Tahun 2002 (BP-DAS
Jeneberang-Walanae 2004).
Erosi merupakan parameter kekritisan lahan. Hasil pendugaan erosi oleh
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Jeneberang-Walanae Tahun
2003, menunjukkan bahwa rata-rata erosi di DAS Bila mencapai 48,16
ton/ha/tahun sedangkan yang dapat ditolerasikan hanya 12 ton/ha/tahun. Data ini
menunjukkan bahwa bahaya erosi di DAS Bila sudah berada pada level sangat
berat. Parameter kekritisan lahan lainnya adalah terjadinya percepatan
pendangkalan Danau Tempe yang mencapai 20 – 40 cm/tahun sedangkan sekitar
sepuluh tahun silam laju pendangkalan baru mencapai 2 – 10 cm/tahun (Kompas,
20 Feb. 2007). Hal ini merupakan dampak semakin besarnya erosi yang terjadi
3
Tekanan penduduk terhadap lahan (TP) dari 0,86 (ringan) Tahun 1987,
meningkat mencapai 1,62 (sedang) Tahun 2004, yang bersamaan dengan
meningkatnya kebergantungan penduduk terhadap lahan (LQ) dari 0,86 Tahun
1987, menjadi 1,03 Tahun 2004. Di samping itu ada kecenderungan terjadinya
penurunan tingkat pendapatan petani perkapita, yang jika disetarakan dengan nilai
beras adalah 688,70 kg/tahun di Tahun 1987, menjadi 676 kg/tahun di Tahun 1996.
Data-data ini merupakan parameter yang menunjukkan ketidakberhasilan program
rehabilitasi lahan kritis DAS Bila.
Pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat pada umumnya memiliki
empat faktor pokok beban/tanggung jawab dalam pengelolaan DAS, yaitu: (1)
pengelolaan lahan, (2) pengelolaan air, (3) pengelolaan vegetasi, dan (4)
pengelolaan aktivitas manusia dalam menggunakan sumberdaya alam (Darajati,
2001). Rehabilitasi lahan kritis adalah salah satu bagian pengelolaan DAS yang
meliputi keempat faktor tersebut. Mengingat luas/besarnya tanggung jawab
pengelolaan lahan kritis di suatu DAS, maka disadari bahwa ketidakberhasilan
rehabilitasi lahan kritis DAS Bila dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain: (1) ketidaktepatan teknologi yang diterapkan, (2) keterbatasan dalam hal
pendanaan, dan/atau (3) lemahnya sistem kelembagaan.
Khusus untuk DAS Bila, faktor teknologi pengelolaan lahan kritis sudah
banyak yang diterapkan sejak Pelita II. Demikian pula sudah banyak pakar yang
merekomendasikan jenis teknologi yang tepat untuk diterapkan. Namun
kebanyakan dari yang direkomendasikan tidak berjalan sesuai dengan harapan.
4
sudah cukup besar, namun kendala umum yang dihadapi adalah dari segi
managemen yang tidak terlepas dari faktor kelembagaan.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dikemukakan terakhir, ditetapkan
bahwa ruang lingkup penelitian ini difokuskan untuk menganalisis sistem
kelembagaan dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila. Ada beberapa aspek
kelembagaan yang diduga sebagai penyebab ketidakberhasilan program
pengelolaan lahan kritis DAS Bila, antara lain:
1. Lembaga-lembaga sektoral di daerah (Enrekang, Sidenreng Rappang, dan
Wajo) tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan baik Pola RLKT maupun
RTL-RLKT DAS Bila.
2. Lemahnya kinerja fungsi managemen lembaga pengelola program rehabilitasi
lahan kritis.
3. Lemahnya fungsi koordinasi dalam pengelolaan lahan kritis.
4. Tidak ada atau ada program tetapi tidak strategis dalam mendukung fungsi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaan lahan kritis berbasis
DAS.
Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan keempat fokus permasalahan sebagaimana dikemukakan di
atas dapat dirangkai ilustrasi seperti pada Gambar 1 yang menunjukkan bahwa
dalam kelembagaan terdapat tiga komponen utama yakni: (1) lembaga teknis:
pusat/daerah (badan/dinas), kolompok masyarakat (formal/non formal), serta
5
perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan
menteri, serta peraturan daerah, dan (3) pengorganisasian (tata hubungan
koordinasi).
Gambar 1. Skema alur pikir penelitian
PENGELOLAAN LAHAN KRITIS DAS BILA
PERENCANAAN PELAKSANAAN PENGAWASAN
KEGIATAN/PENANGANAN Rebois.& Penghijauan (Pelita II)
Kegiatan RLKT (1985/1986 - 2001/2002)
LUARAN (OUT-PUT) 1. Lahan kritis semakin luas 2. Erosi masih jauh di atas etol. 3. Sedimentasi di D.Tempe meningkat 4. TP dan LQ meningkat
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN LAHAN KRITIS
LEMBAGA
ASPEK KELEMBAGAAN YANG DIDUGA 1. Lembaga sektoral tidak terlibat dalam perumusan kebijakan RLKT
2. Lemahnya kinerja fungsi manajemen pengel. lahan kritis 3. Lemahnya fungsi koordinasi dalam pengel. lahan kritis 4. Program tidak mendukung perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan lahan kritis berbasis DAS
FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN RLK ANTARA LAIN: 1. Ketidaktepatan teknologi yang
diterapkan
2. Keterbatasan pendanaan 3. Ketidakoptimalan kelembagaan
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN LAHAN KRITIS (Fokus Penelitian)
RUANG LINGKUP ANALISIS 1. Lembaga-lembaga pemeran dalam perumusan &
implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis. 2. 2. Kinerja fungsi manajemen (perencanaan,
pelaksa-naan & pengawasan) pengelolaan lahan kritis 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya
koor-dinasi dalam pengelolaan lahan kritis 4. Program strategis dalam pengelolaan lahan kritis
6
Kebijakan-kebijakan yang ada dalam kelembagaan merupakan aturan main yang
mengatur apa yang seharusnya dilakukan dan dalam kondisi bagaimana organisasi,
masyarakat, dan/atau individu melakukannya. Keberkaitan ketiga komponen ini
sebagai abstraksi kelembagaan yang mengemban peran sebagai motor penggerak
fungsi manajemen dalam pengelolaan lahan kritis.
Kelembagaan pengelolaan lahan kritis tidak akan mengabstraksikan dan
tidak akan mewujudkan sesuatu tanpa melalui penerapan tiga fungsi manajemen
(perencanaan, pelaksanaan, pengawasan). Lahirnya beberapa kebijakan
pengelolaan lahan kritis, antara lain: Pola RLKT, dan RTL-RLKT DAS Bila,
adalah salah satu bentuk penerapan fungsi manajemen yaitu perencanaan,
meskipun dalam mengimplementasikan kebijakan tadi terjadi kontradiksi dengan
kebijakan sektor-sektor di daerah.
Karena itu hakekat masalah yang ingin dipecahkan adalah, bahwa
kegagalan program pengelolaan lahan kritis DAS Bila tidak terlepas dari komponen
kelembagaan, sebagai berikut:
1. Adanya lembaga yang potensil, tetapi tidak diperankan dalam perumusan
dan/atau implementasi kebijakan. Karena itu perlu identifikasi terhadap
lembaga-lembaga pemeran dalam perumusan dan/atau implementasi kebijakan.
2. Ketidakberhasilan program pengelolaan lahan kritis tidak lepas dari lemahnya
fungsi manajemen dan ketidakoptimalan fungsi koordinasi. Karena itu
diperlukan identifikasi terhadap fungsi manajemen yang berkaitan dengan
ketidakberhasilan rehabilitasi lahan kritis, serta faktor-faktor yang
7
3. Tidak atau ada program yang telah dirumuskan, tetapi tidak strategis dalam
mengayomi kelangsungan pengelolaan lahan kritis lintas daerah.
4. Ada kegiatan yang dilaksanakan, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan pengelolaan lahan kritis DAS Bila.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai
berikut:
1. Perumusan dan/atau implementasi kebijakan rehabilitasi lahan kritis, sangat
ditentukan oleh peran lembaga baik lembaga pemerintah, swasta, dan/atau
lembaga sosial kemasyarakatan. Dari sejumlah lembaga yang diduga, lembaga
mana yang paling berperan dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan
kritis DAS Bila?
2. Dari ketiga fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan),
fungsi mana yang menjadi penyebab utama ketidakberhasilan program
rehabilitasi lahan kritis DAS Bila?
3. Penerapan fungsi manajemen dalam rehabilitasi lahan kritis DAS Bila sangat
dipengaruhi oleh lemahnya fungsi koordinasi. Di antara sejumlah faktor yang
diduga, faktor mana yang paling berpengaruh terhadap lemahnya fungsi
koordinasi pengelolaan lahan kritis DAS Bila?
4. Keberhasilan pengelolaan lahan kritis berbasis DAS ditentukan oleh program
strategis sebagai wujud komitmen kerjasama lintas daerah. Di antara sejumlah
program strategis yang diduga, program mana yang dapat menunjang
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaan lahan kritis berbasis
DAS?
8
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana dikemukakan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi lembaga-lembaga pemeran dalam implementasi kebijakan
pengelolaan lahan kritis DAS Bila.
2. Menganalisis fungsi manajemen dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi koordinasi dalam
pengelolaan lahan kritis DAS Bila.
4. Menganalisis dan merumuskan program strategis yang dapat menunjang
penerapan fungsi manajemen pengelolaan lahan kritis berbasis DAS.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan bagi
pemerintah daerah di wilayah DAS Bila dalam hal:
1. Penumbuhkembangan fungsi dan peran lembaga-lembaga pemerintah, swasta,
dan masyarakat, serta sebagai upaya meredam konflik antar sektor dalam
pengelolaan lahan kritis.
2. Pengembangan kinerja dan fungsi manajemen dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan program pengelolaan lahan kritis berbasis DAS.
3. Sebagai parameter kinerja institusi, demi pengembangan fungsi koordinasi
9
4. Sebagai acuan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam menetapkan program
strategis dan kegiatan prioritas dalam pengelolaan lahan kritis di masa yang
akan datang.
5. Pengembangan ilmu pengetahuan, dan moralitas ilmiah yang bertanggung
10
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai Sebagai Unit Perencanaan Pengelolaan Lahan Kritis
Karakteristik biofisik
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan
sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan sungai dan
anak-anak sungai yang melalui daerah tersebut yang berfungsi untuk menampung air
yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, kemudian mengalirkannya
melalui sungai utama (single outlet) (Kepmenhut. No. 52/Kpts-II/2001 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS). Rumusan ini mendukung
pengertian menurut Food and Agricultural Organization dalam Sheng (1968),
Dopplet et al. (1993), bahwa daerah aliran sungai merupakan suatu kawasan yang
mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam suatu sistem aliran sungai yang
mengalir dari hulu ke muara atau tempat-tempat tertentu. Penegasan dalam
pengertian ini adalah adanya batas yang memisahkan dengan DAS lainnya yaitu
batas topografi.
Pengertian seperti dikemukakan terakhir, menggambarkan kondisi biofisik
yang menyebabkan perbedaan karakteristik setiap DAS sebagaimana dikemukakan
oleh Gunawan dan Hartono (2000), Purwanto dan Warsito (2001), bahwa
karakteristik tata air DAS ditentukan oleh berbagai aspek biofisik, seperti keadaan
iklim, geologi, geomorfologi, tanah, topografi, tutupan lahan dan sebagainya.
Berdasarkan karakteristik seperti dikemukakan di atas, para akhli sepakat
11 zona tengah (mid-land), dan zona hilir (low-land). Sistem zonasi wilayah DAS
telah diuraikan oleh Asdak (1995),bahwa zona hulu merupakan daerah konservasi
yang dicirikan oleh kerapatan drainase yang lebih tinggi, kemiringan lereng besar
(> 15%), bukan merupakan daerah banjir, dan pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh pola drainase. Zona hilir dicirikan oleh karakteristik sebagai daerah
pemanfaatan, kerapatan drainase kecil, kemiringan lereng lebih kecil hingga
mencapai < 8%, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), dan
pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi. Sedangkan zona
tengah merupakan zona peralihan dari zona hulu ke zona hilir.
Keberkaitan ke tiga zona ini telah dikemukakan oleh Supriadi (2000),
bahwa zona hulu (catchment area)merupakan zona aktif tempat terjadinya proses
awal siklus hidrologi (hidrology cycle). Karakteristik lahan umumnya memiliki
kemampuan dan kesesuaian yang terbatas, sehingga penggunaan lahan (land use)
dan teknologi yang diterapkan memerlukan perencanaan secara matang. Kesalahan
penetapan kebijakan penggunaan lahan pada zona ini, akan berdampak buruk
terhadap ke dua zona di bawahnya.
Karakteristik sosial
Pengelolaan sumberdaya alam DAS adalah kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Karena itu masyarakat sebagai social
capital harus diperhitungkan. Helweg (1985), mencontohkan keberkaitan
sumberdaya alam (natural capital) dan jumlah penduduk (social capital), antara
12 proyeksi jumlah penduduk. Disinilah pentingnya pemahaman karakteristik sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat pada suatu DAS.
Disamping perbedaan karakteristik biofisik, juga terdapat perbedaan
karateristik sosial menurut zonasi tadi. Zona hulu didominasi oleh warga
masyarakat petani dengan kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan yang
rendah. Hal ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai penyebab, bahwa
kegagalan RLKT di zona hulu disebabkan oleh keterbatasan kemampuan sosial
ekonomi masyarakat. Sitorus dan Tarigan (2000) mengklaim bahwa kegagalan
pengelolaan DAS disebabkan lemahnya petani dalam mengadopsi tindakan
konservasi sebagai akibat kepemilikan lahan yang sempit (khusus Jawa) dan rendahnya tingkat pendidikan.
Namun untuk memotivasi petani agar mengadopsi paket teknologi tidak
cukup hanya dengan pendidikan. Menurut Sinukaban (1994, 2002), perlu
diwujudkan teknologi yang mampu mendukung sistem pertanian konservasi (SPK),
meliputi (1) komoditi pertanian yang diusahakan sebaiknya beragam dan sesuai
dengan kondisi biofisik daerah, dapat diterima oleh petani dan laku di pasar, (2)
agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan dikembangkan oleh masyarakat
dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal, (3) sistem penguasaan/pemilikan lahan
dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security)
dan menggairahkan petani untuk terus berusaha tani, (4) laju erosi lebih kecil dari
yang dapat ditoleransikan sehingga peroduktifitas dapat dipertahankan/ditingkatkan
secara lestari, dan (5) fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga
13 Meskipun peran social capital sangat penting sebagai bahan pertimbangan
perencanaan pengelolaan DAS, kenyataannya sumberdaya ini telah tersampingkan
sejak rejim orde baru. Menurut Kartodihardjo (1999), kekuatan sosial budaya
masyarakat tergeser oleh teknologi dan modal kerja (man made capital), padahal
kearifan budaya masyarakat terhadap hutan merupakan prasyarat yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai hutan alam yang tidak pernah diperhitungkan secara ekonomi.
Menurut Muhtaman (2002), hancurnya kekuatan-kekuatan lokal membuat rakyat
tidak mempunyai kekuatan untuk beradaptasi dalam menghadapi krisis.
Guna mengatasi kegagalan pengelolaan lahan kritis dibeberapa DAS,
diperlukan tindakan sosial (social action). Ini dapat dilakukan setelah memahami
karakteristik kelompok sosial (social group characteristic), dimana masyarakat
dipandang sebagai susunan kelompok-kelompok sosial yang seolah-olah
menduduki strata tertentu yang sangat prestisius (Hikmat 2001). Pemahaman ini
amat penting jika memandang permasalahan DAS tidak sebatas persoalan
teknologi, melainkan juga dalam konteks sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik.
Penanganan masalah DAS menurut William (1995), bahwa permasalahan
DAS adalah permasalahan lingkungan, dan penyelesaiannya dapat di tempuh
melalui dua versi. Pertama, penyelesaian permasalahan melalui solusi-solusi
konkrit, misalnya masalah erosi dan sedimentasi harus diselesaikan melalui paket
teknologi anti erosi, dan anti sedimentasi. Kedua, pandangan yang mengarah pada
solusi-solusi menyangkut tatanan sosial, ekonomi, dan budaya. Artinya penanganan
14 juga pada tatanan sosial yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan lewat
aplikasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya.
Hal inilah yang disinyalir bahwa kegagalan pengelolaan lahan kritis DAS
Bila, adalah akibat permasalahan DAS hanya dipandang sebatas masalah
fisik-teknologi, tanpa memperhitungkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakatnya. Kegagalan pengelolaan sumberdaya alam akibat adanya strategi
yang tidak memperhitungkan aspek sosial, juga disinggung oleh Suliyanti et al.
(2000), antara lain (1) konsep yang ditawarkan lebih banyak mengarah pada
masalah teknis, sementara pada umumnya stakeholders lebih cenderung mengarah
pada pertimbangan aspek sosial dan ekonomi, (2) kurang melibatkan warga
masyarakat tentang kegiatan apa dan yang bagaimana mereka inginkan.
Pengelolaan lahan kritis berbasis DAS memerlukan kerjasama dan
keswadayaan. Menurut Aliadi et al. (2000), kerjasama bisa dimulai jika (1)
masalah diketahui bersama, (2) adanya saling menghargai dan saling mendengar
pendapat, dan (3) semua stakeholders terlibat mulai dari tahap perencanaan. Ketiga
faktor ini merupakan prasyarat terciptanya koordinasi. Karena itu diperlukan
pemahaman melalui analisis kekuatan stakeholder seperti dikemukakan oleh
Mayers et al. (2001) yaitu suatu piranti untuk membantu memahami bagaimana
masyarakat mempengaruhi kebijakan dan lembaga, atau sebaliknya
Deskripsi Tentang Pengelolan Lahan Kritis
Pengertian lahan kritis
Istilah lahan kritis adalah kualifikasi buruk yang diberikan kepada lahan
15 dinyatakan bahwa lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa
sehingga tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai
media produksi dan media tata air.
Pengertian ini diperjelas oleh Bermanakusumah (2001), bahwa lahan kritis
adalah lahan yang secara potensial tidak mampu berfungsi sebagai media produksi
(fungsi pertanian), pengatur tata air (fungsi hidrologis), perlindungan kelestarian
lingkungan (fungsi orologis), serta sumber pendapatan dan kesejahteraan petani
(fungsi sosial ekonomi). Berdasarkan pengertian ini, ia mengklasifikasikan lahan
kritis atas tiga bagian, yaitu:
1. Kritis secara hidro-orologis, yaitu tanah-tanah dalam suatu daerah aliran sungai
(DAS) hulu yang menimbulkan erosi dan bahaya banjir.
2. Kritis fisik-teknis, yaitu tanah-tanah yang tingkat kesuburannya terus menerus
menurun menuju ke tanah-tanah tandus akibat penggunaan tanah tanpa
memperhatikan aspek konservasi tanah dan air.
3. Kritis sosial-ekonomi, yaitu tanah-tanah di daerah padat penduduk yang
ditanami tanaman pangan melampaui batas kemampuan daya dukung
lingkungannya.
Di samping batasan pengertian seperti diuraikan di atas, Fletcher (1997)
membedakan lahan kritis dengan lahan pontensial kritis sebagai berikut:
1. Lahan pertanian kritis (kritis aktual), mencakup lahan untuk tanaman pertanian
dan padang rumput di mana kedalaman pengakaran efektif antara 15 - 45 cm,
16 tanaman pertanian dan padang rumput berkelanjutan, guna mengurangi erosi
dan mencegah agar lahan tidak mengalami degradasi.
2. Lahan pertanian kritis potensial, mencakup lahan untuk tanaman pertanian dan/
atau padang rumput, dimana kedalaman pengakaran efektif antara 45 - 60 cm,
dan karena belum kritis masih ada kesempatan guna menyusun dan
melaksanakan strategi pengelolaan lahan jangka panjang yang mencakup upaya
konservasi tanah efektif, perbaikan sistem usaha tani, pembinaan untuk para
petani guna menjamin kelanjutan pertanian di lahan tersebut.
Bilamana proses erosi dan/atau daya perusakan lahan semakin berlanjut,
lahan kritis dapat berubah manjadi lahan terdegradasi. Menurut Sinukaban (1997),
degradasi lahan adalah proses penurunan kapasitas lahan pada saat ini dan/atau
masa yang akan datang untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat dibedakan
atas dua kategori, yaitu (1) berkaitan dengan pemindahan material tanah akibat
daya erosi air dan angin, dan (2) penurunan kualitas tanah setempat (on-site) baik
secara kimia maupun fisik.
Latar belakang terbentuknya dan pengelolan lahan kritis
Ada beberapa isu yang penting dipahami tentang penggunaan lahan.
Pertama, bahwa manfaat dari suatu komponen lingkungan sangat relatif baik
secara individu maupun secara umum. Anggapan warga masyarakat bahwa nilai
guna keseimbangan lingkungan hanya untuk kepentingan umum, bukan untuk
perorangan (individu). Karena itu menurut Friday et al. (1999), petani lokal akan
merehabilitasi lahan alang-alang jika mereka yakin bahwa upaya itu akan
17 lingkungan apapun yang bakal terjadi, mereka tetap mengeksploitasi lahan demi
kepentingan pribadi. Sikap dan tindakan seperti inilah yang menyebabkan
terbentuknya pola penggunaan lahan yang tidak rasional. Kedua, kebijakan
penggunaan lahan khususnya lahan pertanian, adalah upaya mempertahankan, dan
meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk yang semakin
bertambah. Dengan dalih pemenuhan kebutuhan hidup, penduduk semakin
mengeksploitasi lahan dan ini menjadi motif utama petani membuka lahan di
daerah berlereng. Menurut Soelaeman (1993) dan Dent (1993), pengusahaan lahan
secara intensif di lahan berlereng tanpa usaha konservasi yang memadai
menyebabkan terjadinya erosi dan kerusakan lahan yang berlanjut sampai kondisi
lahan menjadi semakin kritis.
Pada umumnya lahan kritis mendominasi bagian hulu DAS (up-land) yang
dihuni oleh masyarakat petani miskin, kemampuan ekonomi dan pengetahuan yang
rendah, kelembagaan masyarakat yang tidak jalan, dan praktik pengelolaan lahan
yang tidak berkelanjutan (Lier et al. 1994). Dalam kaitannya dengan pengelolaan
DAS berkelanjutan, penggunaan lahan yang diharapkan adalah penggunaan lahan
yang dapat menciptakan keseimbangan lingkungan khususnya pelestarian tanah
dan air, dan peningkatan produktivitas lahan untuk kesejahteraan masyarakat.
Penggunaan lahan seperti inilah yang dimaksud dengan penggunaan lahan yang
rasional. Untuk mencapai penggunaan lahan semacam ini, diperlukan perencanaan
yang dapat memadukan antara tujuan konservasi dan tujuan produksi. Perencanaan
ini harus dirancang melalui sistem pendataan dan klasifikasi tingkat kelerengan.
18 mengemukakan bahwa tanah dengan kemiringan lereng curam > 45% tidak boleh
digunakan untuk pertanian melainkan sebagai hutan lindung. Hutan lindung ini
harus dipertahankan dan dibina untuk mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi,
memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik pada kawasan hutan yang
bersangkutan maupun kawasan sekitarnya.
Munculnya lahan kritis khususnya di DAS Bila, banyak diakibatkan oleh
adanya praktik penggunaan lahan tanpa memperhatikan kesesuaian dengan
kemampuan dan fungsi lahan. Hal ini terlihat dalam RTL-RLKT Tahun 1998/1999
dengan rencana merehabilitasi lahan seluas 47.622 ha, yang terdistribusi pada
kawasan hutan lindung 15.249 ha (32,02%), dan di luar kawasan hutan 31.000 ha.
Kekritisan lahan di bagian hulu DAS umumnya disebabkan oleh erosi, sedangkan
di bagian hilir oleh adanya sedimentasi yang semakin melaju. Semua ini akibat dari
ketidakserasian hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dan manusia
termasuk segala aktivitasnya di bagian hulu. Dampak lanjut yang terjadi adalah
kemampuan lahan sebagai penopang kehidupan petani semakin merosot
(Hermawan et al. 1993).
Sumberdaya air adalah kunci dalam pembangunan, termasuk dalam
pengelolaan lahan kritis yang menempatkan DAS sebagai unit perencanaan.
Menurut Lier (1994), sumberdaya air mempererat hubungan antara perlindungan
sumberdaya alam dengan pengembangan daerah pertanian pada masa yang akan
datang. Sehubungan dengan itu pengelolaan sumberdaya lahan, tanah dan air dalam
sebuah DAS harus dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan fungsi ganda
19 menggunakan pendekatan integrated watershed management yang meliputi bagian
hulu sampai ke hilir (SMERI-UNDP, 1997).
Kelembagaan Pengelolaan Lahan Kritis Berbasis DAS
Pengertian kelembagaan
Kelembagaan (institution) seperti dikemukakan oleh Kartodihardjo et al.
(2000), adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana
masyarakat tersebut telah mengakses kesempatan-kesempatan yang tersedia,
bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak
lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus
mereka lakukan. Kesempatan yang tersedia menurut Kartodihardjo et al. (2000)
adalah kesempatan dalam lingkungan, tergantung dari aturan-aturan yang
digunakan baik yang bersifat formal seperti peraturan pemerintah, maupun
non-formal seperti kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat, dan sebagainya.
Selanjutnya Tadjuddin (1999), mengartikan kelembagaan sebagai
seperangkat tata nilai, aturan main, dan aspirasi yang bersifat unik dalam dimensi
ruang dan waktu, dimana secara formal kelembagaan itu sendiri harus bersifat
dinamis dalam arti adaptif terhadap perubahan.
Berdasarkan pandangan sebagai aturan main, dapat dipahami adanya
perbedaan pengertian antara kelembagaan sebagai institusi, dan kelembagaan
sebagai organisasi. Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), kelembagaan sebagai
aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal diartikan sebagai
seperangkat aturan baik formal, maupun informal tentang tata hubungan manusia
20 kelembagaan dalam konteks organisasi lebih mengarah kepada mekanisme
administrasi dan kewenangan.
Kelembagaan baik dalam arti aturan main maupun dalam arti organisasi,
juga telah dijelaskan oleh Pakpahan (1997), bahwa sebagai aturan main berarti
memberikan kesempatan sekaligus kendala (tergantung dari mana kita melihatnya)
bagi perkembangan perilaku masyarakat terhadap sumberdaya alam, misalnya tata
air. Sedangkan sebagai organisasi, dapat merupakan potensi atau sebaliknya,
tergantung apakah organisasi itu bersifat adaptif atau inovatif.
Dalam pengelolaan DAS, apakah kelembagaan itu dipandang sebagai
aturan main atau sebagai organisasi juga diuraikan oleh Danida (1998), yaitu untuk
mengembangkan perencanaan pengelolaan sumberdaya DAS dengan merangkum
seluruh pihak-pihak terkait yang multi sektor/multi disiplin, melalui kerjasama
untuk mendorong partisipasi masyarakat secara langsung dalam pengelolaan DAS.
Berdasarkan pengertian ini, berarti aturan main yang sesuai dengan tujuan yang
seharusnya dicapai akan memberikan kesempatan kepada stakeholders untuk
berperilaku yang mendukung tercapainya tujuan.
Pasaribu (1996), menjelaskan tentang status kelembagaan suatu organisasi,
dimana suatu organisasi dapat dikatakan melembaga apabila organisasi tersebut
telah mendapatkan status khusus dan pengakuan (legitimate) dari masyarakat
karena mereka telah mendapatkan kepuasan atas kebutuhan mereka. Kebijakan
tidak akan berjalan jika tidak ditunjang oleh wadah organisasi yang melembaga di
masyarakat. Gejala ketidakmelembagaan suatu organisasi merupakan salah satu
bukti lemahnya fungsi pengorganisasian (regulative institution) yang ada di
21 Dalam kelembagaan terdapat tiga komponen utama yaitu (1) organisasi,
(2) fungsi, dan (3) aturan main (Didu 2001). Komponen yang ke tiga (aturan main)
mengatur organisasi (pemerintah/swasta) dan individu, agar dapat berperan
melakukan tugas sesuai dengan kewenangan masing-masing. Olehnya itu
kelembagaan merupakan suatu sistem yang mengatur apa yang seharusnya dan
yang tidak seharusnya dilakukan oleh organisasi dan/atau individu. Sebagai suatu
sistem, di dalamnya terdapat tiga aturan yang sangat mendasar, yaitu: (1) batas
kewenangan (yurisdictional boundary), (2) hak kepemilikan (property right), dan
(3) aturan perwakilan (rules ofrepresentation).
Batas kewenangan menurut Kartodihardjo et al. (2000),adalah menentukan
siapa, dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi. Sedangkan menurut Anwar
(2000), batas kewenangan terhadap sumberdaya, dana, dan tenaga dalam suatu
organisasi, termasuk mengatur laju pemanfaatan dan pendistribusian manfaat
sumberdaya sehingga dapat diperoleh keberlanjutan.
Hak kepemilikan menurut Hana dan Munasinghe (1995), adalah mengatur
seluruh aktifitas untuk mencapai keteraturan interaksi antara manusia dan
lingkungannya sehingga mencerminkan ke dua prinsip umum yaitu spesifikasi
sosial dan lingkup ekosistem. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa hak
kepemilikan adalah hak sosial yang dimiliki baik secara individu, kelompok,
dan/atau masyarakat umum atas sumberdaya tertentu yang diatur oleh aturan baik
secara formal, non-formal (adat kebiasaan) yang berlaku dan mengatur hubungan-
22 seperti dikemukakan oleh Kartodiharjo (1999), misalnya adanya perbedaan bentuk
kepemilikan terhadap lahan, yaitu (1) pemilikan individu (private property), (2)
pemilikan kelompok (common property), dan (3) pemilikan negara (state property).
Aturan representasi (roles of reprecentation), mengatur siapa yang boleh,
dan tidak boleh ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Menurut Fajari (2002),
aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, keputusan apa yang akan diambil, dan apa akibatnya
terhadap keragaan (performance) yang ditentukan oleh aturan perwakilan atau
reprentasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
Peran kelembagaan dalam pengelolaan lahan kritis.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa menurunnya daya dukung DAS
adalah akibat perubahan kelembagaan (institusi) masyarakat baik formal, maupun
non-formal. Karena itu diperlukan ketajaman pemahaman bagaimana peran
kelembagaan selama ini, dan bagaimana seharusnya untuk yang akan datang.
Jika kelembagaan diartikan sebagai aturan main dalam pengelolaan DAS,
hampir dapat dipastikan bahwa kelembagaan tersebut sangat menentukan
kelangsungan fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, khususnya dalam
hal pengelolaan lahan kritis. Menurut Kartodihardjo et al. (2000), terdapat dua
faktor yang menghambat sehingga fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan tidak berjalan, yaitu (1) aspek kebijakan (policy) seperti lemahnya
koordinasi antar instansi terkait dalam menyelenggarakan pengelolaan DAS (2)
23 peningkatan SDM, rendahnya inovasi teknologi, dan belum tersedianya standar
pelaksanaan kegiatan dan standar hasil. Kedua faktor ini sudah merupakan masalah
umum kelembagaan, khususnya dalam kelembagaan pengelolaan DAS.
Pada uraian latar belakang penelitian ini telah dikemukakan empat faktor
pokok yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah dan masyarakat
sehubungan dengan pengelolaan DAS menurut Darajati (2001). Keempat faktor
tersebut merupakan kegiatan utama dalam pengelolaan lahan kritis, yang harus
melibatkan berbagai organisasi/kelompok dan individu baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk melibatkan berbagai organisasi, diperlukan
koordinasi dan ini merupakan faktor yang sangat penting bahkan menjadi kunci
keberhasilan pengelolaan lahan kritis. Lemahnya koordinasi sering menjadi
kendala utama sehingga hubungan antar komponen dalam sistem pengelolaan lahan
kritis berbasis DAS menjadi tidak stabil.
Sebagai suatu sistem, di dalam DAS terdapat sekian banyak komponen
yang saling berinteraksi. Karena itu dalam sebuah sistem yang stabil, pengelolaan
selanjutnya dapat dilakukan melalui pendekatan efisiensi. Tetapi jika kenyataan
sebaliknya (tidak stabil), pengelolaannya harus diarahkan melalui pendekatan
efektifitas. Implikasinya menurut Eriyatno (1999), adalah (1) apabila sistem relatif
stabil maka manajemen dititikberatkan pada operasi dan pengendalian, dan (2)
apabila sistem kurang/tidak stabil, maka perhatian kita alihkan pada perencanaan
dan analisis strategi.
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan
24 unsur institusi yang berkaitan dengan pengelolaan lahan kritis, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas pada hal mereka adalah tenaga teknis dan fasilitator
yang paling dekat dengan DAS, (2) perencanaan pengelolaan DAS belum
sepenuhnya terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah serta masih
rendahnya partisipasi masyarakat, (3) adanya situasi yang kurang kondusif bagi
peningkatan produktivitas yang diperlukan untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat, dan sebagai usaha pelestarian keseimbangan lingkungan,
(4) adanya sikap yang kurang responsif terhadap upaya pembangunan jangka
panjang demi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan
sumberdaya alam lestari, (5) pembangunan pertanian/pembangunan pada umumnya
lebih terkonsentrasi pada daerah hilir (low-land), sehingga daerah hulu (up-land),
tidak merasa diuntungkan oleh program-program yang didanai oleh pemerintah,
dan (6) rendahnya produktivitas pertanian di beberapa daerah sehingga lahan tidak
dapat dijadikan satu-satunya penopang kehidupan masyarakat miskin di pedesaan.
Timbulnya masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai akibat
adanya fungsi perencanaan dan analisis strategi yang tidak kondusif. Menurut
Kartodihadjo et al. (2000), hal ini disebabkan oleh lemahnya aspek kebijakan dan
teknis pelaksanaan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bastaman (2000),
bahwa permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS berkaitan dengan
ketiadaan ikatan koordinatif yang kuat dalam pencapaian tujuan, sehingga
kebijakan pengelolaan DAS sering tidak sejalan dengan kebijakan masing-masing
25 Lemahnya koordinasi juga telah dikeluhkan oleh pemerintah, baik di
tingkat pusat maupun di daerah. Hal ini diungkap dalam REPETA (2002), bahwa
program pembangunan yang akan dilaksanakan mulai tahun 2002 sebagaimana
yang tertuang dalam PROPENAS (2000 - 2004), yakni perlunya penataan
kelembagaan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Kegiatan pokok program ini antara lain (1) menata institusi dan
aparatur pengelola SDA dan lingkungan di provinsi, dan kabupaten/kota, (2)
menetapkan peraturan yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab daerah
dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, (3) menguatkan institusi
pengendalian dampak lingkungan di daerah, (4) menyusun Undang-Undang dan
perangkat hukum di bidang pengelolaan SDA dan lingkungan hidup, (5)
meningkatkan peranserta dan pengakuan atas hak/kepemilikan masyarakat lokal
dan adat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan, (6) mengembangkan
kelembagaan pendanaan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup melalui
insentif/disinsentif mekanisme pasar. Sehubungan dengan ini, Sudradjat dan
Yustina (2002), mengharapkan adanya satu lembaga yang bisa menghubungkan
antara kepentingan pusat, propinsi, dan kabupaten serta seluruh stakeholder terkait
dalam pemecahan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan secara
sendiri-sendiri dalam bentuk forum kerjasama.
Lemahnya koordinasi antar instansi telah disadari sebagai masalah di
dae-rah khususnya di tiga kabupaten dalam wilayah DAS Bila. Peraturan daerah
(Perda) Kabupaten Sidenreng Rappang No. 34 Tahun 2001, mengangkat masalah
26
No. 13 Tahun 2002 tentang Rencana Strategi Daerah (Renstrada) Tahun
2001-2005, ditegaskan bahwa faktor penentu keberhasilan pembangunan daerah adalah
antara lain (1) kelembagaan pemerintah dan masyarakat yang efektif dan efisien,
serta (2) peran yang terintegrasi dari semua unit kerja pemerintah kabupaten
sebagai tim kerja terpadu melalui proses organisasi pembelajaran yang optimal dan
berkelanjutan.
Meskipun Renstrada menjadi acuan penyusunan renstra sektoral, namun
belum dibuktikan melalui penyusunan Renstra Dinas-Dinas dan Badan teknis di
daerah. Semestinya dalam penyusunan Renstra untuk pembangunan lima tahun ke
depan, koordinasi semua sektor (dinas dan badan otonom) sudah harus dimulai,
dengan meletakkan DAS Bila sebagai unit perencanaan wilayah secara terpadu.
Demikian pula bagi Kabupaten Enrekang sebagai wilayah hulu DAS Bila,
koordinasi antar instansi baru sebatas kebijakan dalam bentuk Perda. No. 22 Tahun
2001 tentang Pengendalian Lingkungan Daerah Aliran Sungai, sementara realisasi
kebijakan itu belum terwujud dalam penyusunan renstra masing-masing dinas.
Untuk mewujudkan sebagaimana dikemukakan terakhir, kapabilitas
individu (personil) merupakan faktor penting. Kapabilitas individu yang
dimaksudkan tidak hanya sebatas kemampuan intelektual, tetapi juga kemampuan
kerjasama dalam tim yang meliputi aspek psikososial seperti kemampuan
memahami pendapat orang lain, menghargai kesepakatan dan gagasan yang
berbeda-beda, serta bermoral tinggi. Hal ini telah diuraikan oleh Pakpahan (1997),
bahwa kapabilitas individu bergantung pada pengetahuan intelektual, maupun
27 institusi tanpa diikuti pengembangan sikap dan nilai-nilai moral sebagai basis
peningkatan kapabilitas individu akan kurang bermakna bahkan sebaliknya,
kelembagaan yang ada akan melahirkan beban sosial baru bagi masyarakat.
Selain permasalahan seperti diuraikan di atas, kelembagaan pengelolaan
DAS dapat dinilai efisien tetapi tidak efektif. Menurut Kartodihardjo et al. (2000),
bahwa di satu sisi pemerintah pusat sangat kuat dalam hal penetapan kebijakan,
tetapi pada sisi lainnya tidak berdaya dalam hal pelaksanaan dan pengendaliannya.
Pemerintah dan juga masyarakat mengetahui bahwa kinerja administrasi kurang
dapat menggambarkan realita di lapangan, tetapi hal itu masih tetap dilakukan.
Sepanjang kinerja administrasi belum dapat dibenahi, akan semakin banyak
kebijakan yang hanya mampu berperan sebagai kebijakan birokrasi, yang
pertanggungjawabannya hanya sebatas laporan-laporan berkala yang tidak sesuai
dengan realita di lapangan.
Permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan DAS bukan hanya sebatas
permasalahan seberapa banyak kebijakan yang telah dan yang akan dirumuskan.
Namun yang terpenting adalah bagaimana kebijakan yang dihasilkan dapat
diterapkan dan/atau diadopsi oleh masyarakat. Disinilah perlunya keterpaduan
antara pemangku kepentingan mulai dari aparat pemerintah hingga ke petani
sebagai pelaksana kunci di lapangan. Untuk merobah perilaku kelembagaan ke
dalam kondisi yang diharapkan, harus dimulai dari perubahan tatanan nilai-nilai,
sikap, dan moral individu antar sektor, maupun masyarakat umum.
Menurut Barlowe (1986), bahwa faktor kelembagaan yang berpengaruh
28 dibuat oleh pemerintah, juga faktor-faktor yang terkait dengan sosial budaya
masyarakat. Ini relevan dengan pendapat Sys, Van Ranst dan Debaveye (1991),
bahwa selain sumberdaya fisik, sumberdaya manusia dan sumberdaya modal juga
merupakan sumberdaya utama yang mempengaruhi penggunaan lahan.
Konsep pemikiran yang dapat ditarik dari kedua pendapat ini adalah
bagaimanapun kelembagaan itu dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dinilai
bagus tetapi jika tidak sinkron dengan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat,
mustahil akan teradopsi oleh sektor-sektor terkait dan masyarakat pada umumnya.
Karena itu, kelembagaan yang baik adalah adanya lembaga yang mampu
melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat mengatur fungsi dan aktivitas
sumberdaya manusia dan penggunaan modal ke arah terwujudnya penggunaan
lahan yang rasional serta mampu menekan laju pertumbuhan lahan kritis.
Terjadinya lahan kritis dan degradasi lahan di beberapa daerah adalah
sebagai akibat ketidaksinkronan antara tujuan masyarakat (petani), dengan
kebijakan yang dibuat pemerintah. Motif petani mengacu pada tujuan untuk
memperoleh manfaat dan keuntungan sesegera mungkin, sedangkan kebijakan
pemerintah mengacu pada tujuan jangka panjang dan berkelanjutan untuk generasi
masa kini dan yang akan datang. Kesenjangan antara tujuan petani dan tujuan
pemerintah menjadi konflik kelembagaan khususnya dalam pengelolaan lahan
kritis.
Konflik kelembagaan pengelolaan DAS dapat diidentifikasi dengan
mencermati berbagai paradoks sebagaimana diuraikan oleh Kartodihardjo et al.
29 jangka pendek yang rendah, meskipun diketahui jika ditanami tanaman jangka
panjang akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. (2) Pelaksanaan
reboisasi dan penghijauan lebih berhasil di wilayah hilir, sedangkan yang lebih
diperlukan adalah di wilayah hulu. (3) Pelaksanaan reboisasi dan penghijauan
hanya berhasil sampai tahun ke empat, sedangkan manfaat yang diharapkan dari
reboisasi dan penghijauan adalah tujuan untuk jangka panjang. Hal ini merupakan
bukti bahwa peran kelembagaan selama ini belum seperti yang diharapkan,
sehingga kebijakan yang dihasilkanpun belum memuaskan kedua belah pihak
(masyarakat dan pemerintah).
Selama orde baru, perumusan kebijakan pengelolaan DAS didasarkan pada
masalah-masalah yang menyangkut kondisi fisik DAS yaitu (1) luas dan semakin
meluasnya lahan kritis, (2) semakin berkurangnya tutupan hutan permanen, (3)
erosi dan sedimentasi yang semakin meningkat, (4) semakin besarnya fluktuasi
debit air, dan (5) terjadinya peristiwa banjir dan kekeringan yang silih berganti.
Kondisi yang tidak diinginkan ini langsung diatasi melalui berbagai kebijakan, baik
berupa perintah untuk melakukan sesuatu, dan/atau pelarangan yang disertai
petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Perumusan kebijakan
seperti ini hanya berakhir pada kalimat tanya mengapa juklak dan juknis tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan?
Menurut Kartodihardjo et al. (2000), dari pengalaman-pengalaman masa
lalu, pendekatan seperti ini terbukti tidak dapat lagi digunakan sebagai titik tolak
30 pendekatan yang dianggap lebih akurat dalam merumuskan kebijakan yang sesuai,
yaitu kebijakan yang mampu merobah perilaku masyarakat termasuk dunia usaha.
Kebijakan pengelolaan DAS menjadi faktor penting dan penentu untuk
mencapai keharmonisan interaksi masyarakat baik dalam konteks individu atau
kelompok demi pemanfaatan sumberdaya alam DAS. Dalam Buku I Laporan Akhir
DAS Ciliwung (2000), dikemukakan tiga faktor yang dapat diidentifikasi dari
pengaturan kelembagaan, yaitu (1) koherensi kepentingan dan aktivitas
stakeholders, (2) kekuatan lembaga lokal, dan (3) manfaat untuk masyarakat lokal.
Pertama, pihak perumus kebijakan harus menyadari bahwa penguatan
kelembagaan semakin mudah dicapai jika terjadi kesamaan kepentingan di antara
stakeholders dalam DAS, dan demikian pula sebaliknya. Menurut Meyers et al.
(2001), stakeholders adalah orang-orang yang mempunyai hak dan kepentingan
dalam suatu sistem, yang dapat terdiri atas individu, komunitas, kelompok sosial,
dan/atau organisasi. Pentingnya pemahaman tentang stakeholders dapat
dikemukakan menurut Hurni (1998), yaitu sebagai pemeran (aktor) yang
kadang-kadang ditentukan menurut kelompok-kelompok berdasarkan akfivitas,
kepemilikan, atau organisasi. Mereka terbentuk menurut tingkatan-tingkatan mulai
dari keluarga sampai masyarakat internasional. Biasanya masing-masing
stakeholders memandang suatu sumberdaya dari sudut yang berbeda dan berusaha
menyamakan perbedaan prinsip dengan baik. Sering pengambilan keputusan di
tingkat lokal tidak tepat oleh karena stakeholders tidak berpartisipasi di dalam
31
Kedua, pemahaman tentang kelembagaan lokal merupakan faktor yang
sangat penting dalam pengelolaan DAS melalui perlindungan terhadap hak
kepemilikan (proverty right), serta penguatan norma/adat tradisi lokal.
Kelembagaan lokal merupakan modal sosial (social capital) yang sangat penting
sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan. Harus disadari bahwa
salah satu di antara sekian penyebab kegagalan pengelolaan hutan alam adalah
adanya kebijakan pengusahaan hutan yang mengesampingkan peran
lembaga-lembaga lokal. Menurut Kartodihardjo (1999), dalam pengusahaan hutan alam,
kearifan budaya masyarakat desa hutan sebagai social capital digeser dan
digantikan oleh kekuatan teknologi dalam bentuk investasi (man made capital).
Ketiga, manfaat lokal sering menjadi bahan pertimbangan pada urutan
kedua bahkan terabaikan secara total. Hal ini diuraikan dalam Buku I Laporan
Akhir: DAS Ciliwung (2000), bahwa (1) tujuan utama pengelolaan DAS adalah
untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal termasuk pemerataan, penurunan
tingkat kemiskinan, dan (2) tujuan umum konservasi tanah dan air. Pemenuhan
kebutuhan masyarakat lokal merupakan tujuan jangka pendek sedangkan tujuan
konservasi tanah dan air merupakan tujuan sosial jangka panjang.
Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis
Perencanaan dan strategi sebagai proses
Perencanaan tidak berarti selesai setelah dihasilkannya dokumen rencana,
tetapi sebagai proses yang berulang dan mengait aktivitas-aktivitas pengelolaan
Perundang-32
Undangan Sebagai Tindak Lanjut PP. No. 25 Tahun 2000, dikemukakan
langkah-langkah penyusunan pengelolaan DAS, yaitu (1) identifikasi karakteristik DAS (2)
indentifikasi masalah, (3) perumusan tujuan dan sasaran, (4) identifikasi dan
evaluasi alternatif kegiatan, penyusunan rencana indikatif dan kegiatan, serta
legitimasi dan sosialisasi rencana. Inilah yang dimaksudkan oleh Rustiadi et al.
(2003), bahwa proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah
pencapaian tujuan, mengkaji berbagai ketidakpastian, mengukur kemampuan
(kapasitas) yang kita miliki kemudian memilih sasaran terbaik dan menentukan
langkah-langkah untuk mencapai tujuan. Dalam memilih sasaran terbaik dan
menentukan langkah-langkah untuk mencapai tujuan, dibutuhkan sejumlah
pengetahuan yang konprehensif. Karena itu pendekatan rasional dapat juga disebut
pendekatan yang komprehensif.
Perencanaan, kebijakan, dan strategi tidak dapat dipahami secara terpisah.
Kebijakan dan strategi adalah bagian perencanaan. Hal ini seperti dijelaskan oleh
Swastha dan Sukotjo (2000), bahwa perencanaan dapat dilihat dari enam sudut
pandang, yaitu (1) tujuan (objective), (2) kebijakan (policy), (3) strategi, (4)
prosedur, (5) aturan (rule), dan (6) program. Kebijakan adalah suatu pernyataan
atau pengertian untuk menyalurkan pikiran dalam mengambil keputusan terhadap
tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan, sedangkan strategi adalah tindakan
penyesuaian dari rencana yang telah dibuat akibat dari adanya berbagai reaksi.
Perbedaan antara kebijakan dan strategi juga dapat ditunjukkan seperti
dikemukakan oleh Didu (2001), bahwa kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas