Oleh :
HARRITZ DERMAWAN A14104108
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN
I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pemenuhan pangan untuk
energi menjadi kebutuhan yang utama selain sandang dan papan. Pangan sebagai
sumber energi berguna untuk menjalankan aktivitas keseharian. Seiring dengan
semakin meningkatnya aktivitas keseharian, maka kebutuhan akan energi semakin
meningkat pula. Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran untuk makanan yang
semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, pengeluaran rumah tangga
per kapita untuk makanan jauh lebih besar daripada bukan makanan. Pengeluaran
rumah tangga untuk makanan sebesar 53,01 persen sedangkan untuk bukan
makanan sebesar 46,99 persen. Persentase ini lebih tinggi daripada tahun
sebelumnya yang sebesar 51,37 persen untuk makanan dan 48,63 persen untuk
bukan makanan1
Pangan dapat diperoleh bukan hanya dari makanan jadi namun juga dari
makanan olahan. Namun seiring dengan perubahan gaya hidup dan aktivitas yang
meningkat menyebabkan pola makan masyarakat berubah menjadi lebih praktis.
Pangan olahan menjadi alternatif dalam pemilihan makanan karena
kepraktisannya dalam mengkonsumsi. Kondisi ini didukung oleh semakin
tingginya pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia pada tahun
2007. Pertumbuhan industri makanan bersama minuman serta tembakau
merupakan kedua terbesar setelah industri kertas dan barang cetakan lainnya.
Pertumbuhan tersebut diikuti sektor lainnya seperti industri alat angkut, mesin dan
1Percentage of Monthly Average per Capita Expenditure by Commodity Group Indonesia,
peralatannya; industri pupuk, kimia dan barang dari karet; industri semen dan
barang galian bukan logam; dan industri lainnya. Laju pertumbuhan industri
pengolahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan Industri Pengolahan Tahun 2005-2007 Lapangan Usaha Pertumbuhan (persen)
2005 2006 2007 (sem I)
INDUSTRI PENGOLAHAN 4.57 4.63 5.43
Sumber : BPS diolah Pusat Data dan Informasi Departemen Perindustrian (Pusdatin Depperin) 2007
Berdasarkan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), industri
makanan, minuman dan tembakau menempati urutan pertama yang mencapai
29,33 persen dari total PDB sektor industri pengolahan non migas. Sedangkan
industri alat angkut, mesin dan peralatannya menempati urutan kedua dengan
kontribusi sebesar 28,99 persen. Kemudian disusul industri pupuk, kimia dan
barang dari karet 12,65 persen dan industri tekstil, barang kulit dan alas kaki
11,02 persen. Sedangkan sektor industri lainnya memberikan kontribusi kurang
dari 10 persen terhadap industri pengolahan non migas (Departemen
Salah satu bisnis makanan olahan yang mempunyai potensi untuk terus
berkembang adalah industri biskuit. Pasar biskuit adalah salah satu pasar yang
memiliki daya tarik besar. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama,
pasarnya yang besar yaitu dengan jumlah penduduk sebesar 230 juta jiwa dan
tingkat penerimaan masyarakat terhadap biskuit yang hampir 100 persen baik di
perkotaan maupun pedesaan, tidak mengherankan kalau nilai pasarnya bisa
mencapai lebih dari Rp 5 triliun. Kedua, pasar ini juga bertumbuh terus dengan
tingkat pertumbuhan sekitar 10 persen. Ini bisa terjadi oleh karena biskuit sudah
menjadi snack yang populer, sebagai pengganti nasi saat lapar dan sekaligus juga
sebagai makanan saat berkumpul maupun saat melakukan aktivitas di luar rumah.
Selain itu kebiasaan masyarakat Indonesia untuk memberikan hadiah dalam
bentuk biskuit saat merayakan Hari Raya atau saat mengunjungi teman/sanak
keluarga yang sakit, menjadikan pasar biskuit berkembang. Daya tarik ketiga dari
pasar ini adalah sumber diferensiasinya yang besar, yaitu tingkat inovasi dari
produk ini sangat terbuka. Produsen dapat melakukan diferensiasi dengan
meluncurkan produk baru dengan rasa baru, tekstur baru maupun dengan kemasan
baru sehingga tidak mengherankan bila setiap tahun, puluhan atau ratusan jenis
biskuit baru diluncurkan di pasar.2
Data Departemen Perdagangan menunjukkan total nilai produksi biskuit di
Indonesia mengalami peningkatan pada periode 2001-2005. Tahun 2001 nilai
produksi biskuit adalah sebesar 156.351 ton dan meningkat menjadi 231.685 ton
pada tahun 2005 atau naik sebesar 48,18 persen. Peningkatan yang signifikan juga
terjadi pada tahun 2005 sebesar 27,45 persen dari tahun sebelumnya.
Perkembangan produksi biskuit dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Biskuit di Indonesia Tahun 2001-2005
Tahun Produksi
Sumber : Departemen Perdagangan (Depdag), 2006
Selain untuk memenuhi kebutuhan biskuit pasar domestik, produsen
nasional juga telah menembus pasar luar negeri. Secara umum, nilai perdagangan
ekspor-impor biskuit nasional pada periode tahun 2001-2005 mengalami surplus
perdagangan. Pada tahun 2001 surplus perdagangan sebesar 28,22 juta US dollar.
Meski terjadi penurunan pada tahun 2002, yaitu sebesar 17,09 persen, peningkatan
kembali terjadi pada tahun berikutnya. Tahun 2003 nilai ekspor impor biskuit
nasional mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 92,39 persen.
Tahun 2004 peningkatan sebesar 8,49 persen dan tahun tahun 2005 kembali
peningkatan yang cukup besar yakni sebesar 38,74 persen.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor-Impor Biskuit di Indonesia Tahun 2001-2005
2001 22.853.857 32.263.415 2.873.820 4.046.083 28.217.332 - 2002 23.840.036 27.575.364 2.394.386 4.179.824 23.395.540 -17,09 2003 52.758.550 49.023.218 2.729.338 4.012.275 45.010.943 92,39 2004 45.831.925 57.374.612 6.692.616 8.538.263 48.836.349 8,49 2005 47.596.065 76.691.297 7.850.473 8.936.533 67.754.764 38,74
Sumber : Depdag, 2006
Pasar biskuit sendiri sebenarnya terdiri dari berbagai sub-kategori seperti
wafer, crackers, cookies, biskuit keras dan lain-lain. Wafer termasuk salah satu
biskuit. Menurut sumber Majalah SWA, total pasar bisnis wafer di Indonesia
diperkirakan mencapai Rp 1,5-2 triliun.
Sementara itu, seiring dengan kebutuhan masyarakat akan pangan yang
semakin tinggi banyak produsen yang muncul menawarkan produk-produknya.
Produk yang ditawarkan tidak lagi sangat umum yaitu satu produk bisa untuk
semua orang, namun juga sangat bervariasi. Seperti halnya pada produk susu,
ditemukan dengan berbagai variasi tambahan vitamin dan mineral. Susu juga
bukan hanya untuk anak-anak tapi juga tersedia susu untuk ibu hamil dan susu
untuk lanjut usia. Selain itu juga ditemukan susu dengan tambahan berbagai
aroma. Begitu juga halnya pada produk-produk makanan olahan lainnya.
Laporan United State Department of Agriculture (USDA) menyebutkan
pascakrisis ekonomi di Indonesia industri makanan olahan mendapat kenyataan
adanya perubahan profil konsumen. Mereka adalah masyarakat yang
menginginkan kepuasan yang lebih, kritis, dan berpendidikan. Konsumen ini
mulai mengenal produk-produk fortifikasi, seperti susu, biskuit, es krim yang
ditambahi vitamin dan mineral. Perubahan keinginan konsumen itu bukan hanya
karena bertambahnya pengetahuan sebagian konsumen setelah mereka hidup,
bersekolah, dan bekerja di luar negeri. Mereka memiliki pengetahuan yang baru
berkat media yang diakui berperan penting dalam "mengedukasi" konsumen.
Akibatnya saat ini banyak dilakukan riset-riset yang mengarah pada inovasi
produk dengan segmentasi dan target konsumen yang sangat tajam seperti
segmentasi berdasar umur dan juga targetted product. 3
3 Maryoto, Andreas. Industri Makanan dan Profil Konsumen Setelah Krisis Ekonomi.
Salah satu segmentasi yang banyak diburu produsen saat ini adalah
konsumen remaja. Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar
yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk
pada usia remaja dan pola tersebut akan mempengaruhi pola konsumsinya di masa
mendatang. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka
ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan
uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen
untuk memasuki pasar remaja.
Jumlah populasi kalangan remaja menurut data Statistik Indonesia 2005
sebesar 40,41 juta jiwa dan diproyeksikan akan meningkat sebesar 1,08 persen
pada tahun 2009. Jumlah ini merupakan sasaran dari pemasaran berbagai barang
dan jasa, tidak terkecuali industri makanan olahan seperti wafer.
Wafer merupakan produk makanan ringan kategori biskuit. Wafer
biasanya dikonsumsi di waktu senggang, ketika beristirahat, maupun disaat
diskusi ataupun rapat. Wafer cocok dikonsumsi pada segala usia mulai dari
anak-anak, dewasa hingga orangtua. Namun, saat ini wafer tersedia berbagai macam
jenis sesuai segmen umur mulai untuk anak-anak, remaja hingga dewasa. Hal
itulah yang dilakukan produsen wafer seperti Grup Orang Tua dan Garudafood.
Grup Orang Tua merupakan pemain lama yang mendominasi di bisnis wafer
dengan produk andalannnya Tango, sedangkan Garudafood merupakan produsen
pendatang baru dengan produknya Gery. Produsen lain yang cukup besar
berkecimpung di bisnis ini adalah Nabisco, Mayora dan Nissin. Beberapa
Tabel 4. Beberapa Produsen Biskuit dan Turunannya
Produsen Produksi Alamat
PT. Garudafood
Putra-Putri Indonesia biskuit, wafer Gresik, Jawa Timur PT. Ultra Prima Abadi wafer, crackers Karawang, Jawa Barat PT. Arnott’s Indonesia biskuit, cookies Bekasi, Jakarta
PT. Interbis Sejahtera
Food Industry biskuit, wafer Palembang, Sumsel PT. Khong Guan Biskuit
Factory biskuit, wafer Jakarta Timur PT. Mayora Indah biskuit, wafer Tangerang, Banten PT. Nabisco Foods biskuit, wafer Bekasi, Jakarta
PT.Nissin Biskuit
Indonesia biskuit, wafer Semarang, Jawa Tengah PT. Kaldu Sari Nabati
Indonesia wafer Bandung, Jawa barat
Sumber : BPS, 2007.
Berbagai produsen biskuit dan wafer tersebut tentunya akan meramaikan
pasar biskuit dan akan meningkatkan persaingan antara satu dengan yang lainnya.
Untuk memenangi persaingan salah satunya adalah dengan meningkatkan ekuitas
merek. Produsen yang memiliki ekuitas merek terkuat akan menambah nilai bagi
produsen itu sendiri dan juga konsumennya.
1.2. Perumusan masalah
Wafer Tango sudah cukup lama beredar di masyarakat yakni mulai tahun
1993. Dari awal perjalanannya, PT Ultra Prima Abadi (UPA) selaku produsen
Tango memang mensegmen produk ini pada kalangan muda hingga orang
dewasa. Produsen ini sudah banyak menerapkan strategi pemasaran seperti
menciptakan produk dengan banyak varian rasa yaitu strawberry, coklat, vanilla,
kurma madu dan tiramisu. Selain itu, sebagai differensiasi Tango dikemas dalam
kemasan mini dan dapat sekali gigit. Dalam pendistribusiannya, Tango didukung
Tua) sehingga mampu memenetrasi pasar dengan sangat mendalam dan dalam
waktu singkat produk Tango sudah menyebar di seluruh penjuru Tanah Air.
Tango juga menjadikan berbagai event remaja sebagai sponsor utama seperti event
Indonesian Idol. Strategi ini menyebabkan Tango meraih 75 persen pangsa pasar
wafer di Indonesia dan berproduksi pada kapasitas penuh yakni 1.500 ton/bulan.4 Namun pada tahun 2001, dominasi Tango mulai terganggu. Produsen baru
yaitu Garudafood dengan produk andalannya Gery mengancam posisi Tango di
pasar. Gery memang di segmen untuk kalangan anak-anak dan remaja. Segmen
yang diambil oleh Gery ini tentunya akan menghadapi persaingan yang kuat dari
Tango yang juga mengincar segmen remaja hingga dewasa. Namun produsen
Gery telah menerapkan strategi yang yang tepat yaitu menawarkan produk lebih
murah dan mengemas wafer dengan ukuran yang sama dengan Tango. Terbukti
pada tahun pertama setelah produk dikeluarkan (2001-2002), angka
pertumbuhannya mencapai 179 persen; tahun 2003, tumbuh 300 persen; tahun
2004, tumbuh 60 persen; tahun 2005, tumbuh 60 persen; dan tahun 2006, tumbuh
50 persen.5 Tahun 2007, Gery mendapat penghargaan Indonesian Best Brand Award (IBBA) dengan predikat Golden Brand pada kategori wafer coating
coklat.
Garudafood juga telah mengeluarkan biaya cukup besar pada komunikasi
pemasaran untuk mempromosikan produknya di berbagai media. Berdasarkan
pantauan Nielsen Media Reseach, selama Januari 2006-Juni 2007, Garudafood
sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 116,18 miliar untuk komunikasi
4 Hidayat, Taufik dan Dyah H. Palupi. Gery vs Tango berebut pasar wafer Rp 2 Triliun.
www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.7 Februari 2008.
5 Hidayat, Taufik dan Dyah H. Palupi. Gery vs Tango berebut pasar wafer Rp 2 Triliun.
pemasaran tersebut. Angka tersebut sedikit lebih besar dibandingkan jumlah yang
dikeluarkan Grup Orang Tua khusus untuk Tango, yaitu Rp 112,77 miliar.
Langkah yang dilakukan Gery tersebut tentunya akan mengancam
keberadaan wafer Tango di pasaran khususnya pada konsumen remaja yaitu
penurunan penjualan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara oleh sumber
Majalah Swa terhadap beberapa supermarket, grosiran hingga warung-warung di
Jakarta yang menjual merek Tango dan Gery, menyatakan bahwa beberapa tahun
lalu Tango memang mendominasi penjualan wafer di tokonya. Namun sejak Gery
hadir, penjualan Tango berkurang drastis. Adanya fenomena tersebut menurut
informasi yang diperoleh baik dari konsumen maupun penjual, disebabkan oleh
karena harga Gery yang lebih murah dan sering mengadakan program promosi
yang diadakan di toko.
Selain itu keberadaan pemain lain yaitu Nabisco dan Nabati juga tidak
dapat diabaikan. Produsen-produsen tersebut kini juga mengikuti jejak Grup
Orang Tua dan Garudafood dengan mengincar segmen yang lebih sempit.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti di kantin-kantin sekolah,
warung dan swalayan di kota Bogor, terdapat merek Richeese dan Oreo Wafer
yang memang sengaja disegmen untuk remaja. Produk Richeese dan Oreo wafer
dikemas dalam kemasan kecil dengan harga yang terjangkau bagi remaja.
Dengan banyaknya produsen tersebut tentunya akan meramaikan pasar
biskuit khususnya wafer, sehingga alternatif konsumen remaja akan wafer juga
banyak. Disini pilihan konsumen sangat tergantung pada merek. Merek
merupakan salah satu kekuatan perusahaan terbesar sekaligus aset perusahaan
Oleh :
HARRITZ DERMAWAN A14104108
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN
I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pemenuhan pangan untuk
energi menjadi kebutuhan yang utama selain sandang dan papan. Pangan sebagai
sumber energi berguna untuk menjalankan aktivitas keseharian. Seiring dengan
semakin meningkatnya aktivitas keseharian, maka kebutuhan akan energi semakin
meningkat pula. Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran untuk makanan yang
semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, pengeluaran rumah tangga
per kapita untuk makanan jauh lebih besar daripada bukan makanan. Pengeluaran
rumah tangga untuk makanan sebesar 53,01 persen sedangkan untuk bukan
makanan sebesar 46,99 persen. Persentase ini lebih tinggi daripada tahun
sebelumnya yang sebesar 51,37 persen untuk makanan dan 48,63 persen untuk
bukan makanan1
Pangan dapat diperoleh bukan hanya dari makanan jadi namun juga dari
makanan olahan. Namun seiring dengan perubahan gaya hidup dan aktivitas yang
meningkat menyebabkan pola makan masyarakat berubah menjadi lebih praktis.
Pangan olahan menjadi alternatif dalam pemilihan makanan karena
kepraktisannya dalam mengkonsumsi. Kondisi ini didukung oleh semakin
tingginya pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia pada tahun
2007. Pertumbuhan industri makanan bersama minuman serta tembakau
merupakan kedua terbesar setelah industri kertas dan barang cetakan lainnya.
Pertumbuhan tersebut diikuti sektor lainnya seperti industri alat angkut, mesin dan
1Percentage of Monthly Average per Capita Expenditure by Commodity Group Indonesia,
peralatannya; industri pupuk, kimia dan barang dari karet; industri semen dan
barang galian bukan logam; dan industri lainnya. Laju pertumbuhan industri
pengolahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan Industri Pengolahan Tahun 2005-2007 Lapangan Usaha Pertumbuhan (persen)
2005 2006 2007 (sem I)
INDUSTRI PENGOLAHAN 4.57 4.63 5.43
Sumber : BPS diolah Pusat Data dan Informasi Departemen Perindustrian (Pusdatin Depperin) 2007
Berdasarkan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), industri
makanan, minuman dan tembakau menempati urutan pertama yang mencapai
29,33 persen dari total PDB sektor industri pengolahan non migas. Sedangkan
industri alat angkut, mesin dan peralatannya menempati urutan kedua dengan
kontribusi sebesar 28,99 persen. Kemudian disusul industri pupuk, kimia dan
barang dari karet 12,65 persen dan industri tekstil, barang kulit dan alas kaki
11,02 persen. Sedangkan sektor industri lainnya memberikan kontribusi kurang
dari 10 persen terhadap industri pengolahan non migas (Departemen
Salah satu bisnis makanan olahan yang mempunyai potensi untuk terus
berkembang adalah industri biskuit. Pasar biskuit adalah salah satu pasar yang
memiliki daya tarik besar. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama,
pasarnya yang besar yaitu dengan jumlah penduduk sebesar 230 juta jiwa dan
tingkat penerimaan masyarakat terhadap biskuit yang hampir 100 persen baik di
perkotaan maupun pedesaan, tidak mengherankan kalau nilai pasarnya bisa
mencapai lebih dari Rp 5 triliun. Kedua, pasar ini juga bertumbuh terus dengan
tingkat pertumbuhan sekitar 10 persen. Ini bisa terjadi oleh karena biskuit sudah
menjadi snack yang populer, sebagai pengganti nasi saat lapar dan sekaligus juga
sebagai makanan saat berkumpul maupun saat melakukan aktivitas di luar rumah.
Selain itu kebiasaan masyarakat Indonesia untuk memberikan hadiah dalam
bentuk biskuit saat merayakan Hari Raya atau saat mengunjungi teman/sanak
keluarga yang sakit, menjadikan pasar biskuit berkembang. Daya tarik ketiga dari
pasar ini adalah sumber diferensiasinya yang besar, yaitu tingkat inovasi dari
produk ini sangat terbuka. Produsen dapat melakukan diferensiasi dengan
meluncurkan produk baru dengan rasa baru, tekstur baru maupun dengan kemasan
baru sehingga tidak mengherankan bila setiap tahun, puluhan atau ratusan jenis
biskuit baru diluncurkan di pasar.2
Data Departemen Perdagangan menunjukkan total nilai produksi biskuit di
Indonesia mengalami peningkatan pada periode 2001-2005. Tahun 2001 nilai
produksi biskuit adalah sebesar 156.351 ton dan meningkat menjadi 231.685 ton
pada tahun 2005 atau naik sebesar 48,18 persen. Peningkatan yang signifikan juga
terjadi pada tahun 2005 sebesar 27,45 persen dari tahun sebelumnya.
Perkembangan produksi biskuit dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Biskuit di Indonesia Tahun 2001-2005
Tahun Produksi
Sumber : Departemen Perdagangan (Depdag), 2006
Selain untuk memenuhi kebutuhan biskuit pasar domestik, produsen
nasional juga telah menembus pasar luar negeri. Secara umum, nilai perdagangan
ekspor-impor biskuit nasional pada periode tahun 2001-2005 mengalami surplus
perdagangan. Pada tahun 2001 surplus perdagangan sebesar 28,22 juta US dollar.
Meski terjadi penurunan pada tahun 2002, yaitu sebesar 17,09 persen, peningkatan
kembali terjadi pada tahun berikutnya. Tahun 2003 nilai ekspor impor biskuit
nasional mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 92,39 persen.
Tahun 2004 peningkatan sebesar 8,49 persen dan tahun tahun 2005 kembali
peningkatan yang cukup besar yakni sebesar 38,74 persen.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor-Impor Biskuit di Indonesia Tahun 2001-2005
2001 22.853.857 32.263.415 2.873.820 4.046.083 28.217.332 - 2002 23.840.036 27.575.364 2.394.386 4.179.824 23.395.540 -17,09 2003 52.758.550 49.023.218 2.729.338 4.012.275 45.010.943 92,39 2004 45.831.925 57.374.612 6.692.616 8.538.263 48.836.349 8,49 2005 47.596.065 76.691.297 7.850.473 8.936.533 67.754.764 38,74
Sumber : Depdag, 2006
Pasar biskuit sendiri sebenarnya terdiri dari berbagai sub-kategori seperti
wafer, crackers, cookies, biskuit keras dan lain-lain. Wafer termasuk salah satu
biskuit. Menurut sumber Majalah SWA, total pasar bisnis wafer di Indonesia
diperkirakan mencapai Rp 1,5-2 triliun.
Sementara itu, seiring dengan kebutuhan masyarakat akan pangan yang
semakin tinggi banyak produsen yang muncul menawarkan produk-produknya.
Produk yang ditawarkan tidak lagi sangat umum yaitu satu produk bisa untuk
semua orang, namun juga sangat bervariasi. Seperti halnya pada produk susu,
ditemukan dengan berbagai variasi tambahan vitamin dan mineral. Susu juga
bukan hanya untuk anak-anak tapi juga tersedia susu untuk ibu hamil dan susu
untuk lanjut usia. Selain itu juga ditemukan susu dengan tambahan berbagai
aroma. Begitu juga halnya pada produk-produk makanan olahan lainnya.
Laporan United State Department of Agriculture (USDA) menyebutkan
pascakrisis ekonomi di Indonesia industri makanan olahan mendapat kenyataan
adanya perubahan profil konsumen. Mereka adalah masyarakat yang
menginginkan kepuasan yang lebih, kritis, dan berpendidikan. Konsumen ini
mulai mengenal produk-produk fortifikasi, seperti susu, biskuit, es krim yang
ditambahi vitamin dan mineral. Perubahan keinginan konsumen itu bukan hanya
karena bertambahnya pengetahuan sebagian konsumen setelah mereka hidup,
bersekolah, dan bekerja di luar negeri. Mereka memiliki pengetahuan yang baru
berkat media yang diakui berperan penting dalam "mengedukasi" konsumen.
Akibatnya saat ini banyak dilakukan riset-riset yang mengarah pada inovasi
produk dengan segmentasi dan target konsumen yang sangat tajam seperti
segmentasi berdasar umur dan juga targetted product. 3
3 Maryoto, Andreas. Industri Makanan dan Profil Konsumen Setelah Krisis Ekonomi.
Salah satu segmentasi yang banyak diburu produsen saat ini adalah
konsumen remaja. Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar
yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk
pada usia remaja dan pola tersebut akan mempengaruhi pola konsumsinya di masa
mendatang. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka
ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan
uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen
untuk memasuki pasar remaja.
Jumlah populasi kalangan remaja menurut data Statistik Indonesia 2005
sebesar 40,41 juta jiwa dan diproyeksikan akan meningkat sebesar 1,08 persen
pada tahun 2009. Jumlah ini merupakan sasaran dari pemasaran berbagai barang
dan jasa, tidak terkecuali industri makanan olahan seperti wafer.
Wafer merupakan produk makanan ringan kategori biskuit. Wafer
biasanya dikonsumsi di waktu senggang, ketika beristirahat, maupun disaat
diskusi ataupun rapat. Wafer cocok dikonsumsi pada segala usia mulai dari
anak-anak, dewasa hingga orangtua. Namun, saat ini wafer tersedia berbagai macam
jenis sesuai segmen umur mulai untuk anak-anak, remaja hingga dewasa. Hal
itulah yang dilakukan produsen wafer seperti Grup Orang Tua dan Garudafood.
Grup Orang Tua merupakan pemain lama yang mendominasi di bisnis wafer
dengan produk andalannnya Tango, sedangkan Garudafood merupakan produsen
pendatang baru dengan produknya Gery. Produsen lain yang cukup besar
berkecimpung di bisnis ini adalah Nabisco, Mayora dan Nissin. Beberapa
Tabel 4. Beberapa Produsen Biskuit dan Turunannya
Produsen Produksi Alamat
PT. Garudafood
Putra-Putri Indonesia biskuit, wafer Gresik, Jawa Timur PT. Ultra Prima Abadi wafer, crackers Karawang, Jawa Barat PT. Arnott’s Indonesia biskuit, cookies Bekasi, Jakarta
PT. Interbis Sejahtera
Food Industry biskuit, wafer Palembang, Sumsel PT. Khong Guan Biskuit
Factory biskuit, wafer Jakarta Timur PT. Mayora Indah biskuit, wafer Tangerang, Banten PT. Nabisco Foods biskuit, wafer Bekasi, Jakarta
PT.Nissin Biskuit
Indonesia biskuit, wafer Semarang, Jawa Tengah PT. Kaldu Sari Nabati
Indonesia wafer Bandung, Jawa barat
Sumber : BPS, 2007.
Berbagai produsen biskuit dan wafer tersebut tentunya akan meramaikan
pasar biskuit dan akan meningkatkan persaingan antara satu dengan yang lainnya.
Untuk memenangi persaingan salah satunya adalah dengan meningkatkan ekuitas
merek. Produsen yang memiliki ekuitas merek terkuat akan menambah nilai bagi
produsen itu sendiri dan juga konsumennya.
1.2. Perumusan masalah
Wafer Tango sudah cukup lama beredar di masyarakat yakni mulai tahun
1993. Dari awal perjalanannya, PT Ultra Prima Abadi (UPA) selaku produsen
Tango memang mensegmen produk ini pada kalangan muda hingga orang
dewasa. Produsen ini sudah banyak menerapkan strategi pemasaran seperti
menciptakan produk dengan banyak varian rasa yaitu strawberry, coklat, vanilla,
kurma madu dan tiramisu. Selain itu, sebagai differensiasi Tango dikemas dalam
kemasan mini dan dapat sekali gigit. Dalam pendistribusiannya, Tango didukung
Tua) sehingga mampu memenetrasi pasar dengan sangat mendalam dan dalam
waktu singkat produk Tango sudah menyebar di seluruh penjuru Tanah Air.
Tango juga menjadikan berbagai event remaja sebagai sponsor utama seperti event
Indonesian Idol. Strategi ini menyebabkan Tango meraih 75 persen pangsa pasar
wafer di Indonesia dan berproduksi pada kapasitas penuh yakni 1.500 ton/bulan.4 Namun pada tahun 2001, dominasi Tango mulai terganggu. Produsen baru
yaitu Garudafood dengan produk andalannya Gery mengancam posisi Tango di
pasar. Gery memang di segmen untuk kalangan anak-anak dan remaja. Segmen
yang diambil oleh Gery ini tentunya akan menghadapi persaingan yang kuat dari
Tango yang juga mengincar segmen remaja hingga dewasa. Namun produsen
Gery telah menerapkan strategi yang yang tepat yaitu menawarkan produk lebih
murah dan mengemas wafer dengan ukuran yang sama dengan Tango. Terbukti
pada tahun pertama setelah produk dikeluarkan (2001-2002), angka
pertumbuhannya mencapai 179 persen; tahun 2003, tumbuh 300 persen; tahun
2004, tumbuh 60 persen; tahun 2005, tumbuh 60 persen; dan tahun 2006, tumbuh
50 persen.5 Tahun 2007, Gery mendapat penghargaan Indonesian Best Brand Award (IBBA) dengan predikat Golden Brand pada kategori wafer coating
coklat.
Garudafood juga telah mengeluarkan biaya cukup besar pada komunikasi
pemasaran untuk mempromosikan produknya di berbagai media. Berdasarkan
pantauan Nielsen Media Reseach, selama Januari 2006-Juni 2007, Garudafood
sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 116,18 miliar untuk komunikasi
4 Hidayat, Taufik dan Dyah H. Palupi. Gery vs Tango berebut pasar wafer Rp 2 Triliun.
www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.7 Februari 2008.
5 Hidayat, Taufik dan Dyah H. Palupi. Gery vs Tango berebut pasar wafer Rp 2 Triliun.
pemasaran tersebut. Angka tersebut sedikit lebih besar dibandingkan jumlah yang
dikeluarkan Grup Orang Tua khusus untuk Tango, yaitu Rp 112,77 miliar.
Langkah yang dilakukan Gery tersebut tentunya akan mengancam
keberadaan wafer Tango di pasaran khususnya pada konsumen remaja yaitu
penurunan penjualan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara oleh sumber
Majalah Swa terhadap beberapa supermarket, grosiran hingga warung-warung di
Jakarta yang menjual merek Tango dan Gery, menyatakan bahwa beberapa tahun
lalu Tango memang mendominasi penjualan wafer di tokonya. Namun sejak Gery
hadir, penjualan Tango berkurang drastis. Adanya fenomena tersebut menurut
informasi yang diperoleh baik dari konsumen maupun penjual, disebabkan oleh
karena harga Gery yang lebih murah dan sering mengadakan program promosi
yang diadakan di toko.
Selain itu keberadaan pemain lain yaitu Nabisco dan Nabati juga tidak
dapat diabaikan. Produsen-produsen tersebut kini juga mengikuti jejak Grup
Orang Tua dan Garudafood dengan mengincar segmen yang lebih sempit.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti di kantin-kantin sekolah,
warung dan swalayan di kota Bogor, terdapat merek Richeese dan Oreo Wafer
yang memang sengaja disegmen untuk remaja. Produk Richeese dan Oreo wafer
dikemas dalam kemasan kecil dengan harga yang terjangkau bagi remaja.
Dengan banyaknya produsen tersebut tentunya akan meramaikan pasar
biskuit khususnya wafer, sehingga alternatif konsumen remaja akan wafer juga
banyak. Disini pilihan konsumen sangat tergantung pada merek. Merek
merupakan salah satu kekuatan perusahaan terbesar sekaligus aset perusahaan
keberadaan merek acap kali melebihi aset yang nyata (Tangible Asset). Kenyataan
ini yang menjadi tantangan bagi para pelaku bisnis, termasuk yang bergerak di
industri Consumer Goods untuk terus meningkatkan awareness merek mereka di
benak publik.
Selain sebagai identitas, merek juga mampu menciptakan ekuitas yang
tinggi bagi perusahaan, image dan loyalitas jangka panjang. Merek terkuat adalah
merek yang selama bertahun-tahun mampu menempatkan diri pada posisi puncak
(Top), yakni (1) Top of market share, (2) Top of mind share, dan (3) Top of
commitment share. Namun, yang disesali banyak merek hanya kuat selama satu
atau dua tahun pada posisi puncak, namun kemudian semakin melemah pada
tahun-tahun berikutnya.
Berbagai fenomena di atas mendorong peneliti untuk mendapatkan
informasi mengenai brand equity pada berbagai merek wafer pada remaja
sehingga dapat diketahui merek mana yang paling kuat di dalam benak konsumen
dan elemen-elemen apa yang menyusun ekuitas dari merek tersebut. Dengan
adanya informasi tersebut, diharapkan dapat berguna bagi pihak produsen untuk
meningkatkan ekuitas merek pada mereknya. Dengan demikian, pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana elemen-elemen ekuitas merek (brand equity) produk wafer
beberapa merek pada konsumen remaja?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
1. Menganalisis elemen-elemen ekuitas merek (brand equity) produk wafer
beberapa merek pada konsumen remaja.
2. Mengetahui merek wafer yang mempunyai ekuitas terkuat.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penilitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak
manajemen produsen wafer dalam mempertahankan ekuitas mereknya pada
konsumen khususnya konsumen remaja.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis elemen-elemen ekuitas merek
dari produk wafer pada remaja. Ruang lingkup yang membatasi penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. wafer yang diteliti adalah wafer flat uncoated dimana pada merek yang diteliti
memproduksi wafer tersebut.
2. Merek yang diteliti adalah empat merek yaitu Tango, Gery, Oreo dan
Richeese. Pemilihan empat merek tersebut pada penelitian ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa : 1) merek tersebut merupakan merek yang memiliki
segmen kalangan muda yaitu remaja dan 2) Merek Tango dan Gery
merupakan merek yang mempunyai rating tertinggi pada kategori biskuit dan
aktif melakukan promosi sedangkan merek Oreo dan Richeese merupakan
sekolah. Pada merek Gery, Oreo dan Richeese yang banyak memiliki lini
produk, wafer yang diteliti adalah merek Gery Wafer Cream, Oreo Wafer dan
Richeese Nabati yang memiliki jenis wafer yang sama dengan Tango yaitu
wafer flat uncoated sehingga ketiga merek tersebut dapat dibandingkan
ekuitasnya antar satu merek dengan merek lainnya.
3. Responden yang dipilih adalah remaja tingkat Sekolah Menengah Atas
(SMA). Pemilihan responden tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa
remaja tingkat SMA merupakan fase awal dan akhir dari pubertas (usia 15-18
tahun) dimana pada usia tersebut remaja lebih mudah terbujuk rayuan iklan,
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Wafer
Wafer merupakan sejenis makanan ringan pada kategori biskuit. Biskuit
merupakan makanan olahan yang sudah sangat dikenal luas dalam kehidupan
sehari-hari. Definisi biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (Departemen
Perindustrian, 1992) adalah produk makanan kering yang dibuat dengan cara
memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan bahan
pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan
makanan lain yang diizinkan. Biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu
sebagai berikut :
1. biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras,
berbentuk pipih, dapat berkadar lemak tinggi atau rendah dan bila dipatahkan
penampang potongannya bertekstur padat.
2. crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses
fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebih asin dan
relatif renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.
3. cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak
tinggi, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang
padat.
4. wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar,
renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.
Macrae (1992) menyebutkan bahwa wafer adalah biskuit yang sangat tipis
lembut dan renyah serta mempunyai permukaan yang halus yang dibentuk secara
tepat ukuran dan detail permukaannya. Wafer dibentuk dari adonan yang
dipanggang di antara sepasang plat metal yang panas. Wafer hasil pemanggangan
berbentuk sheet atau lembaran yang datar dan besar yang kemudian dilapis krim
sebelum pemotongan dan mungkin juga dilapisi dengan coklat. Bentuk wafer ini
disebut dengan wafer flat. Wafer yang dilapisi dengan coklat disebut wafer coated
sedangkan yang tidak dilapisi disebut uncoated.
Ada dua jenis wafer yang biasanya dijual di pasaran, yaitu wafer flat dan
wafer stick. Wafer stick mempunyai bentuk bulat yang panjang seperti stick.
Meskipun demikian banyak variasi jenis wafer lain yang beredar di pasar seperti
bentuk cone untuk es krim, serta wafer yang berbentuk gulungan (rolled) dan
lipatan (folded).
Gambar 1. Produk Wafer : (a) wafer flat coated, (b) wafer flat uncoated
(c) wafer crispy caramel dan (d) wafer stick
(a) (b)
2.2 Definisi Remaja
Remaja pada umumnya merujuk kepada golongan manusia yang berumur
12-21 tahun (wikipedia.org). Menurut Rumini dan Sundari (2004), remaja
merupakan masa anak-anak menuju dewasa yang mengalami perkembangan
semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Menurut Mappiare (1982)
secara teoritis dan empiris dari segi psikologis rentangan usia remaja dalam usia
12 sampai 21 tahun bagi wanita, dan 13 sampai 22 tahun bagi pria. Secara teoritis
beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas umur remaja, tetapi
dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara
pasti tentang batasan usia remaja karena remaja ini adalah masa peralihan.
Selain itu Hurlock (2001), juga menambahkan definisi masa remaja
dengan menggunakan ciri-ciri tertentu yang dapat membedakannya dengan
periode sebelum dan sesudahnya, yaitu : masa remaja sebagai periode yang
penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode
perubahan, masa remaja sebagai usia yang bermasalah, masa remaja sebagai masa
yang mencari identitas, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan,
masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, dan masa remaja sebagai ambang
masa dewasa.
Untuk mengenal kepribadian remaja, perlu diketahui tugas-tugas
perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan tersebut adalah sebagai berikut :6 1. Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut
terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan orang lain
atau tokoh tertentu.
2. Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku
"pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan
ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat
diselesaikan di rumah, maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan
di luar rumah.
3. Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya
pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus
dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk
remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini.
Dari sudut perkembangan manusia, remaja merujuk kepada satu peringkat
perkembangan manusia, yaitu peringkat transisi antara peringkat kanak-kanak dan
peringkat dewasa. Seseorang yang berada di masa remaja akan mengalami
pelbagai perubahan yang drastis, termasuk perubahan jasmani, sosial, emosi, dan
bahasa. Oleh karenanya remaja merupakan seseorang yang emosinya tidak stabil,
dan sentiasa “bermasalah". Ciri-ciri khusus pada remaja, di antaranya
pertumbuhan fisik yang sangat cepat, emosinya tidak stabil, perkembangan
seksual sangat menonjol, cara berpikirnya bersifat kausalitas (hukum sebab
akibat), dan terikat erat dengan kelompoknya.
2.3 Periode-Periode Pada Usia Remaja
Berdasarkan definisi para pakar, maka masa remaja dapat dibagi dalam
1. Periode Masa Puber (12-18 tahun)
a. Masa Prapubertas (12-13 tahun), peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke
masa awal pubertas. Ciri-cirinya: tidak suka diperlakukan seperti anak
kecil lagi dan mulai bersikap kritis
b. Masa Pubertas (14-16 tahun), masa remaja awal. Ciri-cirinya: mulai cemas
dan bingung tentang perubahan fisiknya, memperhatikan penampilan,
sikap tidak menentu/plin-plan, dan suka berkelompok dengan teman
sebaya dan senasib.
c. Masa Akhir Pubertas (17-18 tahun), peralihan dari masa pubertas ke masa
adolesen. Ciri-cirinya: pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi
kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya, dan proses
kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria.
2. Periode Remaja Adolesen (19-21 tahun)
Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah
perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis, mulai menyadari realitas, sikapnya
mulai jelas tentang hidup, dan mulai nampak bakat dan minatnya.
Melihat ciri-ciri dari ketiga periode masa remaja diatas dapat disimpulkan
bahwa periode yang lebih menunjukkan pada remaja yang lebih rentan dan
potensial terpengaruh adalah remaja usia 12-18 tahun. Remaja usia tersebut
dengan ciri-ciri diantaranya adalah : anak tidak suka diperlakukan seperti anak
kecil lagi, anak mulai bersikap kritis, mulai cemas dan bingung tentang perubahan
fisiknya, memperhatikan penampilan sikapnya yang tidak menentu, suka
berkelompok dengan teman sebaya, dan pertumbuhan fisik sudah mulai matang
Kepribadian remaja masih sangat labil dan rentan terhadap pengaruh luar
(stimulus) yang akan membentuk sikap dan pola hidupnya, terutama pada remaja
dengan batasan usia 12-18 tahun. Gejolak emosi, pikiran, dan keyakinan remaja
bisa sewaktu-waktu berubah secara drastis dengan tidak terduga sebelumnya.
Budaya dan karakteristiknya ditandai dengan sifat-sifat seperti eklusif, solidaritas
tinggi dan serba tidak menentu. Berkelompok dengan penuh dinamika dan
romantika serta ikut-ikutan adalah ciri kegiatannya. Pada diri remaja amat besar
peniruannya.
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang
batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang
dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai
patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang
dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan
bahkan sebelum usia 11 tahun.
Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang
potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada
usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka
ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan
uangnya. Di kalangan remaja rasa ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat
mengikuti mode yang sedang beredar sangatlah besar, padahal mode itu sendiri
selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang
remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar
remaja.7
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat
usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin
diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari
lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain
yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut
yang sedang in. Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih
memandang bahwa atribut yang superfisial itu sama penting (bahkan lebih
penting) dengan substansi. Apa yang dikenakan oleh seorang artis yang menjadi
idola para remaja menjadi lebih penting (untuk ditiru) dibandingkan dengan kerja
keras dan usaha yang dilakukan artis idolanya itu untuk sampai pada
kepopulerannya
2.4 Penelitian terdahulu
Penelitian mengenai perilaku konsumen dan ekuitas merek sudah banyak
dilakukan. Laksmi (2006) meneliti tentang Analisis respon konsumen remaja
terhadap performance dan positioning Es Krim Conello, studi kasus Kota Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses keputusan pembelian Es Krim
Conello oleh remaja, mengetahui atribut yang perlu diperbaiki untuk
meningkatkan penjualan di pasar remaja berdasarkan analisis tingkat kepentingan,
performa ideal dan tingkat pelaksanaan atribut Es Krim Conello menurut
penilaian remaja yang jarang dan sering mengkonsumsi es krim, mengetahui
7 Tambunan, R. Remaja dan Perilaku Konsumtif. http://www.e-psikologi.com/remaja/. 28
posisi relatif kinerja atribut-atribut Conello berdasarkan pandangan remaja yang
jarang dan sering mengkonsumsi es krim dibandingkan dengan Concerto dan
Puncak Pazz, dan merumuskan alternatif strategi pemasaran bagi perusahaan.
Responden yang terlibat adalah siswa SMA Negeri 1 Bogor, SMA Regina Pacis,
dan SMA Bina Insani. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tabulasi deskriptif, model angka ideal, dan analisis biplot. Model angka ideal
digunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan atribut, nilai ideal dan tingkat
kepercayaan konsumen terhadap produk. Biplot digunakan untuk mengetahui
positioning produk Conello terhadap pesaing-pesaingnya.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada tahap pengenalan
kebutuhan, motivasi responden untuk mengkonsumsi Es Krim Conello adalah
karena ingin mencoba produk baru tersebut. Pada tahap pencarian informasi,
media yang paling mempengaruhi responden adalah media televisi dengan unsur
yang paling diperhatikan jalan ceritanya yang menarik. Pada tahap evaluasi
alternatif, indikator yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pembelian
adalah citarasa es krim. Pada tahap pembelian, responden pada umumnya
merasakan keinginan untuk membeli ketika berada di tempat pembelian. Pada
tahap evaluasi pasca pembelian, umumnya responden masih bersedia membeli Es
Krim Conello rasa lain jika rasa pilihannya tidak tersedia, namun langsung
mengganti pilihannya pada Es Krim Wall’s jenis lain apabila Es Krim Conello
yang diinginkan tidak tersedia. Meskipun demikian responden cenderung untuk
tetap membeli Es Krim Conello jika terjadi kenaikan harga. Secara keseluruhan
Conello memperoleh penilaian yang lebih ideal dibandingkan pesaingnya. Atribut
rasa, dan kejelasan tanggal kadaluarsa sedangkan atribut yang kurang ideal oleh
reponden adalah atribut harga yang mahal, volume yang sedikit dan tanggal
kadaluarsa yang kurang jelas.
Agustini (2005) meneliti tentang Analisis elemen-elemen ekuitas merek
Biskuit Milna dan implikasinya pada bauran pemasaran perusahaan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis tingkat kesadaran merek (brand awareness),
asosiasi merek (brand association), persepsi kualitas merek (brand perceived
quality) dan tingkat kesetiaan merek (brand loyalty) serta strategi pemasaran bagi
Biskuit Milna sesuai dengan hasil analisis ekuitas merek. Penelitian dilakukan di
Kota Bogor dengan teknik pengambilan sampel berupa judgement sampling. Alat
analisis yang digunakan dalam penelitian adalah tabulasi deskriptif, uji Cochran
dan uji reliabilitas, skala Likert dan performance-importance analysis, dan brand
switching matrix.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa brand awareness Biskuit Milna
lebih baik dibanding yang lainnya (71 persen). Berdasarkan tingkat brand
association, merek Nestle, Farley’s dan Promina memiliki asosiasi pembentuk
brand image yang sama yang terdiri dari kandungan gizi, manfaat, kejelasan
tanggal kadaluarsa, merek terkenal, harga terjangkau, serta mudah didapat. Hasil
analisis brand perceived quality dari keempat merek tersebut memiliki kinerja
yang buruk. Hasil analisis loyalitas merek menyatakan bahwa sebagian besar
responden (>50 persen) masuk kedalam satisfied buyer.
Arfiyanto (2007) meneliti tentang analisis perilaku konsumen terhadap
keberadaan biskuit merek pengikut di Kota Bogor. Penelitian ini dilakukan
karakteristik konsumen biskuit, proses keputusan pembelian, persepsi konsumen
terhadap biskuit merek Oreo dan Rodeo serta daya saing biskuit merek Rodeo
terhadap biskuit merek Oreo di pasar, dan preferensi serta tingkat kepuasan
konsumen terhadap biskuit. Alat analisis yang digunakan Cochran test,
descriptive analysis, analisis multiatribut Fishbein, perceived analysis, analisis
tingkat kesenjangan (gap) dan uji chi-square.
Hasil yang diperoleh menunjukkan kinerja biskuit Oreo memiliki angka
yang positif pada atribut rasa, kemasan, label halal, dan tekstur/kesegaran. Label
harga merupakan atribut yang mempunyai nilai persepsi tertinggi. Pada biskuit
Rodeo, atribut volume dan harga menunjukkan nilai positif sedangkan atribut
yang lainnya bernilai negatif. Biskuit Rodeo unggul dalam hal harga dan volume
sedangkan biskuit Oreo atribut-atribut yang unggul adalah label halal, kemasan,
rasa, dan tekstur/kesegaran. Dari analisis, terlihat tidak ada hubungan antara
karakteristik responden dengan sikap. Hal ini dikarenakan produk biskuit
merupakan impulse buying artinya tidak ada perencanaan terlebih dahulu sebelum
melakukan pembelian.
Susanti (2006) meneliti tentang analisis ekuitas merek mie instan.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bogor Barat. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis tingkat kesadaran merek akan keberadaan merek-merek mie instan,
seberapa kuat asosiasi tertanan di benak konsumen, persepsi kualitas merek mie
instan, merek mie instan yang memiliki loyalitas tertinggi, dan merek mie instan
yang mempunyai ekuitas terkuat. Alat analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif untuk elemen kesadaran merek, uji reliabilitas dan uji Cochran untuk
persepsi kualitas, dan ProT (probability rate of transition) untuk elemen loyalitas
merek.
Hasil yang diperoleh menunjukkan merek yang paling diingat adalah
Indomie diikuti Mie Sedaap, Sarimi, dan Supermie. Asosiasi yang membentuk
brand image pada merek Indomie adalah harga terjangkau, rasa yang enak,
kemudahan mendapat, iklan menarik, dan merek terkenal. Untuk Mie Sedaap
semua asosiasi selain nama perusahaan pembuatnya, dan untuk Sarimi dan
Supermie semua asosiasi dapat membentuk brand image. Persepsi kualitas paling
unggul diperoleh Indomie dan Sarimie dengan atribut rasa yang enak, tanggal
kadaluarsa dan keterangan halal untuk Indomie. Untuk Supermie atribut yang
sesuai adalah harga, kemudahan mendapat, tanggal kadaluarsa dan keterangan
halal. Bila dilihat dari persentase yang tidak loyal, Mie Sedaap memiliki tingkat
loyal paling tinggi dibandingkan dengan merek lain. Kesimpulan yang diperoleh
Indomie dan Supermie memiliki ekuitas terkuat dibandingkan Mie sedaap dan
sarimie karena memiliki keunggulan elemen ekuitas lebih banyak.
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu dalam
hal produk yang dianalisis. Produk yang diteliti pada penelitian ini adalah
beberapa merek wafer yaitu Tango, Gery, Oreo, dan Richeese Nabati. Selain itu
yang dijadikan responden pada penelitian ini adalah remaja dengan tingkat
Sekolah Menengah Negeri. Untuk alat analisis yang digunakan sama dengan alat
analisis yang digunakan oleh Susanti (2006) oleh karena tujuan yang dilakukan
pada penelitian sama yaitu menganalisis brand awareness, brand association,
mempunyai ekuitas terkuat. Penelitian terdahulu secara ringkas dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Penelitian Terdahulu
Nama Tahun Judul Penelitian Metode Hasil Laksmi 2006 Analisis respon
konsumen model angka ideal, dan analisis biplot.
Secara keseluruhan Conello memperoleh penilaian yang lebih ideal dibandingkan pesaingnya. atribut harga yang mahal, volume yang sedikit dan tanggal kadaluarsa yang kurang jelas.
Agustini 2005 Analisis elemen-elemen ekuitas dan brand switching matrix.
Arfiyanto 2007 Analisis perilaku konsumen (gap) dan uji chi-square
Kinerja biskuit Oreo menunjukkan angka yang positif pada atribut rasa, kemasan, label halal, dan tekstur/kesegaran. Dari analisis, tidak ada hubungan antara karakteristik responden dengan sikap. Hal ini dikarenakan produk biskuit merupakan impulse buying artinya tidak ada perencanaan terlebih dahulu sebelum melakukan pembelian. Susanti 2006 Analisis ekuitas
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Definisi Merek
Fenomena persaingan yang ada dalam era globalisasi akan semakin
mengarahkan sistem perkonomian Indonesia ke mekanisme pasar yang
memposisikan pemasar untuk selalu mengembangkan dan merebut market share
(pangsa pasar). Salah satu aset untuk mencapai keadaan tersebut adalah brand
(merek). Menurut Durianto, et. al., 2004, sebenarnya merek merupakan nilai
tangible dan intangible yang terwakili dalam trade mark (merek dagang) yang
mampu menciptakan nilai dan pengaruh tersendiri di pasar bila diatur dengan
tepat. Merek menjadi sangat penting saat ini, karena beberapa faktor seperti :
1. Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji emosi
menjadi konsisten dan stabil.
2. Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat bahwa
suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia dan budaya.
3. Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen. Semakin
kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan
semakin banyak asosiasi merek yang terbentuk dalam merek tersebut.
4. Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen. Merek yang
kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen.
5. Merek memudahkan pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen.
Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk
yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan kualitas,
6. Merek berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan.
Dalam kondisi pasar yang kompetitif, preferensi dan loyalitas pelanggan
adalah kunci kesuksesan. Terlebih lagi pada kondisi sekarang, nilai suatu merek
yang mapan sebanding dengan realitas makin sulitnya menciptakan suatu merek.
American Marketing Association dalam Kotler (2000) mendefinisikan
merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi semuanya
yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seorang atau
sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang atau jasa pesaing.
Merek sebenarnya merupakan janji penjual secara konsisten memberikan feature,
manfaat, dan jasa tertentu pada pembeli. Merek-merek terbaik memberikan
jaminan kualitas, namun lebih dari sekedar simbol. Merek dapat menyampaikan
enam tingkat pengertian :
1. Atribut : merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.
2. Manfaat : suatu merek lebih dari serangkaian atribut sehingga diterjemahkan
menjadi manfaat fungsional dan emosional.
3. Nilai : merek juga dapat menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
4. Budaya : merek juga melambangkan budaya tertentu.
5. Kepribadian : merek dapat mencerminkan kepribadian tertentu.
6. Pemakai : merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau
menggunakan produk tersebut.
Merek diartikan sebagai nama dan atau simbol yang bersifat membedakan
(seperti sebuah logo, cap, atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasi barang
atau jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu, dengan
kompetitor (Aaker,1997). Jadi suatu merek yang melekat pada suatu produk
adalah suatu upaya untuk membuat produk tersebut berbeda dan lebih mudah
dikenali oleh konsumen.
3.2 Konsep Ekuitas Merek (Brand Equity)
Brand equity adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait
dengan suatu merek, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi
nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun
pada pelanggan (Aaker,1997). Ekuitas merek dapat dikelompokkan dalam lima
kategori, yaitu : (1) brand awareness (kesadaran merek), (2) brand association
(asosiasi merek), (3) perceived quality (persepsi kualitas), (4) brand loyalty
(loyalitas merek), (5) other proprietary brand assets (aset-aset merek lainnya).
Empat elemen ekuitas merek di luar aset-aset merek lainnya dikenal dengan
elemen-elemen utama dari ekuitas merek. Elemen ekuitas merek yang kelima
secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut.
Berikut konsep ekuitas merek dijelaskan pada Gambar 2. Gambar tersebut juga
memperlihatkan bahwa ekuitas merek menciptakan nilai, baik kepada konsumen
Gambar 2. Konsep Ekuitas Merek (Brand Equity) Menurut David A. Aaker
3.3 Elemen Ekuitas Merek
Elemen-elemen utama dari ekuitas merek yaitu brand awareness
(kesadaran merek), brand association (asosiasi merek), perceived quality(persepsi
kualitas), brand loyalty (loyalitas merek).
3.3.1 Brand Awareness(Kesadaran Merek)
Brand awareness adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk
mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari
kategori produk tertentu. Kesadaran merek merupakan ekuitas merek yang sangat
penting. Kesadaran merek membutuhkan continum ranging (jangkauan kontinum)
dari perasaan yang tidak pasti bahwa merek tertentu telah dikenal sebelumnya,
sehingga konsumen yakin bahwa produk tersebut merupakan satu-satunya merek
Persepsi kualitas
Memberikan nilai kepada produsen dengan memperkuat :
• Efisiensi dan efektivitas program
pemasaran
• Brand loyalty
• Perluasan merek
• Peningkatan perdagangan
• Keuntungan kompetitif
Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat :
• Interpretasi/proses informasi
• Rasa percaya diri dalam
pembelian
• Pencapaian kepuasan dari
pelanggan
Brand equity
dalam suatu kelompok produk. Kontinum ini dapat terwakili dalam tingkatan
brand awareness yang berbeda.
Menurut Aaker (1997) pengukuran brand awareness berdasarkan tingkat
kesadaran merek yang mencakup top of mind (puncak pikiran), brand
recall(pengingatan kembali), brand recognition(pengenalan merek), dan brand
unaware (tidak menyadari merek).
Gambar 3. Piramida Kesadaran Merek
Top of mind menggambarkan merek yang pertama kali diingat responden
atau pertama kali disebut ketika yang bersangkutan ditanya tentang suatu kategori
produk. Merek yang berada pada tingkat ini merupakan merek yang utama dalam
benak konsumen, sehingga dalam situasi pembelian, merek lain tidak
diperhitungkan.
Brand recall atau pengingatan kembali merek mencerminkan
merek-merek apa yang diingat responden setelah menyebutkan merek-merek yang pertama kali
disebut. Tingkatan ini sering disebut juga dengan unaided recall (pengingatan
kembali tanpa bantuan)
Top of mind
(puncak pikiran)
Brand recall
(pengingatan kembali merek)
Brand recognition
(pengenalan merek)
Brand unaware
Brand recognition atau pengenalan kesadaran merek responden dimana
kesadarannya diukur dengan diberikan bantuan (an aided call). Pertanyaan yang
diajukan dibantu dengan menyebutkan ciri-ciri produk merek tersebut (aided
question). Pertanyaan tersebut bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak
responden yang perlu diingatkan akan keberadaan merek tersebut. Untuk
mengukur pengenalan brand awareness selain mengajukan pertanyaan dapat
dilakukan dengan menunjukkan photo yang menggambarkan ciri-ciri merek
tersebut.
Brand unaware adalah tingkatan yang paling rendah dalam pengukuran
kesadaran merek, dimana responden sama sekali tidak menyadari atau mengenal
akan suatu merek setelah diberikan bantuan.
3.3.2 Brand Association (Asosiasi Merek)
Asosiasi merek adalah pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan
tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk,
geografis, harga, pesaing, selebriti, dan lain lain. Kesan-kesan yang terkait merek
akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen
dalam mengkonsumsi suatu merek atau dengan semakin seringnya penampakan
merek tersebut dalam strategi komunikasinya, ditambah lagi jika kaitan tersebut
didukung oleh suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain.
Suatu merek yang telah mapan akan memiliki posisi menonjol dalam
persaingan bila didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Berbagai asosiasi
merek yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut
brand image yang dimiliki oleh merek tersebut. Pada umumnya asosiasi merek
(terutama yang membentuk brand image-nya) menjadi pijakan konsumen dalam
proses keputusan pembelian dan loyalitasnya pada merek tersebut. (Durianto et al,
2004).
Dalam prosesnya, terdapat banyak sekali kemungkinan asosiasi dan variasi
dari brand association yang dapat memberikan nilai bagi suatu merek, baik
dipandang dari sisi perusahaan maupun dari sisi pengguna. Berbagai fungsi
asosiasi merek tersebut adalah :
1. Membantu proses penyusunan informasi
2. Memberikan landasan yang penting bagi upaya pembedaan suatu merek dari
merek lain.
3. Membangkitkan berbagai atribut produk atau manfaat bagi konsumen yang
dapat memberikan alasan spesifik bagi konsumen untuk membeli dan
menggunakan merek tersebut.
4. Merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya akan berpengaruh ke
merek yang bersangkutan.
5. Menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan menciptakan rasa
kesesuaian antara merek dan produk baru, atau dengan menghadirkan alasan
untuk membeli produk perluasan tersebut.
Asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek biasanya dihubungkan
dengan beberapa hal yaitu : atribut produk, atribut tidak berwujud, manfaat bagi
pelanggan, harga relatif, penggunaan, pengguna/pelanggan, orang
terkenal/khalayak, gaya hidup/kepribadian, kelas produk, para pesaing, dan
memiliki semua asosiasi diatas. Merek tertentu berasosiasi dengan beberapa hal di
atas dan merek lainnya berasosiasi dengan beberapa hal yang lain. Atribut-atribut
tersebut merupakan karakteristik yang melekat dari sebuah merek yang nantinya
akan membentuk brand image.
3.3.3 Perceived Quality (Persepsi Kualitas)
Persepsi kualitas adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan
kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan apa yang
diharapkan oleh pelanggan. Persepsi terhadap kualitas keseluruhan dari suatu
produk atau jasa dapat menentukan nilai dari produk atau jasa tersebut dan
berpengaruh secara langsung kepada keputusan pembelian dan loyalitas
konsumen terhadap produk tersebut. Karena persepsi kualitas merupakan persepsi
dari pelanggan maka persepsi kualitas tidak dapat ditentukan secara obyektif.
Apabila persepsi kualitas pelanggan negatif, produk tidak akan disukai dan tidak
akan bertahan lama di pasar. Sebaliknya, jika persepsi kualitas pelanggan positif,
produk akan disukai.
Persepsi pelanggan akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan,
karena setiap pelanggan memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap suatu
produk atau jasa. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa
membahas persepsi kualitas berarti akan membahas keterlibatan dan kepentingan
pelanggan sehingga setiap produk atau merek akan memiliki persepsi yang
berbeda-beda. Persepsi yang berbeda tersebut tergantung pada dimensi-dimensi
persepsi kualitas yang ada pada produk tersebut. Menurut David A. Garvin dalam
kinerja, pelayanan, ketahanan, keandalan, karakteristik produk, kesesuaian dengan
spesifikasi dan hasil.
Perceived quality mempunyai peran penting dalam membangun merek dan
dapat menjadi alasan yang penting pada pembelian serta merek mana yang akan
dipertimbangkan untuk dibeli. Seorang konsumen mungkin tidak memiliki
informasi yang cukup untuk disaring yang mengarahkannya kepada penentuan
kualitas suatu merek secara obyektif. Mungkin pula konsumen tidak termotivasi
untuk memproses informasi, tidak mempunyai kesanggupan dan sumberdaya
untuk memperoleh dan memproses informasi sehingga dalam konteks ini
perceived quality menjadi sangat berperan dalam keputusan pelanggan (Engel,
et.al, 1994). Secara umum perceived quality dapat menghasilkan nilai-nilai
berikut :
Gambar 4. Perceived Quality Menghasilkan Nilai Sumber : Durianto, et al (2004)
3.3.4 Brand Loyalty (Loyalitas/Kesetiaan Produk)
Loyalitas merupakan suatu ukuran keterikatan pelanggan kepada sebuah
merek. Loyalitas merek akan memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya
seorang pelanggan beralih ke merek produk lain, terutama jika merek tersebut Perceived quality
Alasan untuk membeli
Differensiasi atau posisi
Harga premium
Perluasan saluran distribusi
didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lain. Loyalitas
merek dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan bila dilakukan pengelolaan
dan pemanfaatan yang benar. Loyalitas merek dapat memberikan nilai dan
manfaat seperti mengurangi biaya pemasaran, meningkatkan perdagangan,
menarik minat pelanggan baru, dan memberi waktu untuk merespons ancaman
persaingan. (Durianto et al, 2004).
Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan
dengan mudah memindahkan pembeliannya ke merek lain, apapun yang terjadi
dengan merek tersebut. Bila loyalitas pelanggan terhadap suatu merek meningkat,
kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan serangan merek
produk pesaing dapat diminimalkan. Dengan demikian, brand loyalty merupakan
salah satu indikator inti dari brand equity yang jelas terkait dengan peluang
penjualan, yang berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa
mendatang.
Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek
tersebut walaupun dihadapkan pada banyak alternatif merek produk pesaing yang
menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dipandang dari berbagai
sudut atributnya. Bila banyak pelanggan dari suatu merek masuk dalam kategori
ini berarti merek tersebut memiliki brand equity (ekuitas merek) yang kuat.
Sebaliknya, jika pelanggan tidak loyal kepada suatu merek, pada saat
mereka melakukan pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak
didasarkan ketertarikan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada
karakteristik produk, harga dan kenyamanan pemakaiannya ataupun berbagai
pelanggan dari suatu merek termasuk dalam kategori ini, berarti kemungkinan
brand equity (ekuitas merek) produk tersebut lemah.
Loyalitas terdiri dari beberapa tingkatan dan masing-masing tingkatannya
menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat
dimanfaatkan. Tingkatan tersebut yaitu :
1. switcher (berpindah-pindah). Pembeli yang berada pada tingkat ini merupakan
pembeli yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi frekuensi
pembeli untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek-merek
yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak
loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Ciri pembeli pada tingkat ini
adalah membeli suatu produk karena harga yang murah.
2. habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan). Pembeli yang berada pada
tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk
yang dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan
dalam mengkonsumsi merek produk tersebut. Alasan yang mendasari pembeli
untuk membeli suatu produk adalah berdasarkan kebiasaan selama ini.
3. satisfied buyer(pembeli yang puas). Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk
dalam kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut. Meskipun
demikian mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain
dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan
waktu, uang, atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih
4. likes the brand(menyukai merek). Pembeli yang masuk dalam tingkat ini
merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada
tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait dengan merek.
5. commited buyer(pembeli yang komit). Pada tingkat ini pembeli merupakan
pelanggan yang setia. Salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh
tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada
pihak lain.
5.a. 5.b. Gambar 5. Diagram Piramida Loyalitas
Sumber : Durianto,et.al (2004)
Adapun tampilan piramida loyalitas merek yang umum dapat dilihat pada
Gambar 5. Pada Gambar 5.a dapat dilihat bahwa porsi terbesar dari konsumennya
berada pada tingkatan switcher. Selanjutnya porsi terbesar kedua dan seterusnya
ditempati oleh konsumen yang berada pada tahap habitual buyer, satisfied buyer,
liking the brand, dan commited buyer. Merek yang memilki piramida seperti ini
dapat dikatakan belum memiliki loyalitas merek yang kuat. Namun merek yang
memiliki loyalitas merek yang kuat akan menunjukkan bentuk piramida terbalik
seperti Gambar 5.b. terlihat pada piramida tersebut bahwa tingkatannya semakin
ke atas semakin melebar sehingga diperoleh jumlah commited buyer. Commited
buyer Liking the brand
Satisfied buyer Habitual buyer
switcher
Commited buyer Liking the brand Satisfied buyer Habitual buyer