46 22 RAMADLAN - 6 SYAWAL 1431 H
Dalam usianya yang ke seratus,
Muhammadiyah diakui kontribusi
dan geliatnya dalam ikut
menyemarakkan hidup beragama
yang penuh kedamaian. Ia juga aktif
membangun kebudayaan bangsa
melalui lembaga pendidikan yang
jumlahnya ratusan ribu. Demikian
halnya dengan amal usaha kesehatan
yang hampir di setiap kabupaten dan
kota di Indonesia memberikan
pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat. Pun, dalam amal usaha
lain berupa Panti Asuhan, Panti
Jompo, dan lembaga pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan
“memerangi” kemiskinan dengan
teologi al-Maun-nya.
H
arus diakui, meskipun selama ini Muhammadiyah sudah bergerak membangun peradaban bangsa, rupanya masih saja bangsa ini diliputi oleh penyakit kronis baik dalam aspek politik, ekonomi, moralitas, maupun penyalahgunaan amanat. Sementara, tingkat kemiskinan dan keberdayaan masyarakat masih belum tampak kemajuannya secara signifikan. Hal itu berbanding terbalik dengan utang luar negeri yang membengkak, maraknya korupsi dan penyuapan di segala lini aparatur pemerintahan. Selain itu, kehidupan keagamaan pun sesekali masih diliputi oleh arus kontra produktif yang cenderung kurang menghargai kemajemukan. Toleransi sebagai salah satu muatan moderatisme Islam, yang selama ini didengungkan Muhammadiyah, makin berkurang.Hasil refleksi di atas amat menarik ketika dirumuskan dalam
Muhammadiyah dan Isu-Isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal. Dalam rumusan ini, selain berisi refleksi terhadap kerja pemerintah, ada empat hal penting yang cukup menonjol. Pertama, bahwaPersyarikatan akan tetap melawan segala bentuk komoditisasi dan komodifikasi agama, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan bisnis dan politik. Kedua, ketidaksetujuan Muhammadiyah dengan konservatifisme dan
MENUNGGU IJTIHAD BARU
MUHAMMADIYAH DI ABAD KEDUA
BUDI ASYHARI-AFWAN, MA.
formalisme agama. Konservatifisme dan formalisme agama bertentangan dengan jargon Muhammadiyah tentang “Islam yang Berkemajuan”. Konservatifisme agama memiliki potensi timbulnya beberapa masalah keagamaan dan kebangsaan. Beberapa masalah tersebut di antaranya adalah munculnya kekeliruan identifikasi Islam dengan Arab, beragama secara kaku, memunculkan eksklusivisme, dan formalisasi agama.
Ketiga, Muhammadiyah menerima dan menyadari tentang adanya kemajemukan agama. Bahwa kemajemukan agama adalah realitas obyektif dan Sunnatullah. Sikap penolakan terhadap kemajemukan ini akan dapat melahirkan sikap tidak toleran, menafikan pihak lain, dan mungkin saja akan berdampak pada perpecahan umat. Meskipun demikian, dalam proses penghargaan terhadap kemajemukan ini, Muhammadiyah mengajak semua kalangan untuk menghindari tindakan dan perilaku keagamaan yang berakibat pada konflik antar (dan intra) pemeluk agama. Keempat, Muhammadiyah melihat, salah satu jalan penting untuk memecah berbagai persoalan keagamaan dan kebudayaan adalah dengan dialog dan kerja sama antar agama (interfaith) dan antar kebudayaan (intercivilization). Dialog dan kerjasama ini sangat bermakna untuk menghadapi gelombang fundamentalisme, benturan antaragama dan antarperadaban, sekaligus menghilangkan Islamophobia terutama pasca peristiwa 11 September.
Jika Ahmad Dahlan ketika mendirikan Persyarikatan ini pada 1912 lalu sangat kental dengan jargon “Islam yang Ringkes” dan “Islam yang Berkemajuan” beserta teologi Al-Maun dan Q.s. Ali Imran: 104, apakah kepemimpinan yang terbentuk dalam Muktamar ke-46 mampu memodifikasi dua jargon tersebut dengan ijtihad baru? Jika dilihat lebih mendalam, nilai-nilai yang tersaji dalam rumusan di atas mencerminkan pemikiran Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah yang mengajak orang melakukan ibadah dengan sangat mudah, tidak merepotkan. Agar seimbang antara keshalihan personal dengan keshalihan sosial, ia pun mengajak murid-muridnya membantu, mengentaskan, dan memberdayakan masyarakat. Lebih dari itu, ia juga menyarankan orang Islam agar sering berkomunikasi dan berdialog dengan siapa pun yang dapat diambil kemanfaatannya (dan ilmunya) untuk kemajuan Islam. Nah, seperti apakah wujud dari nilai-nilai yang diwariskan Ahmad Dahlan tersebut dalam usia Muhammadiyah yang memasuki abad kedua ini?l
_____________________________________________________ Peninjau Muktamar Muhammadiyah ke-46, Peneliti pada Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Pascasarjana UGM Yogyakarta, Alumni Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan.