• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PERATURAN KOMISI PENYIARAN NOMOR 1 TAHUN 2012 PASAL 27-29 DAN 35 OLEH MEDIA MASSA Studi pada Program Talk Show di Radio-radio Kota Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI PERATURAN KOMISI PENYIARAN NOMOR 1 TAHUN 2012 PASAL 27-29 DAN 35 OLEH MEDIA MASSA Studi pada Program Talk Show di Radio-radio Kota Malang"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PERATURAN KOMISI PENYIARAN NOMOR 1 TAHUN 2012 PASAL 27-29 DAN 35 OLEH MEDIA MASSA

Studi pada Program Talk Show di Radio-radio Kota Malang

SKRIPSI

Oleh:

Silvia Aria Sasmita NIM: 08220306

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

IMPLEMENTASI PERATURAN KOMISI PENYIARAN NOMOR 1 TAHUN 2012 PASAL 27-29 DAN 35 OLEH MEDIA MASSA

Studi pada Program Talk Show di Radio-radio Kota Malang

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh:

Silvia Aria Sasmita NIM: 08220306

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena rahmat, taufik, serta hidayah-Nya skripsi ini akhirnya bisa terselesaikan meskipun dengan peluh dan air mata. Shalawat serta salam senantiasa peneliti curahkan kepada baginda Muhammad SAW, atas pencerahan beliau bagi kaum jahiliyah di masa lampau turut memberikan dampak yang teramat besar bagi kehidupan manusia kini di era digitalisasi.

Sejak bergabung dengan salah satu radio swasta di Kota Malang tahun 2009, peneliti melihat sendiri bagaimana sebuah siaran radio itu dirancang, dibuat, dan dijalankan. Studi tentang media yang dipelajari di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, membuat peneliti sedikit banyak meninjau teori yang peneliti dapat dengan apa yang terjadi di lapangan. Sebuah produk kebijakan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yakni Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) sempat peneliti baca dalam suatu kesempatan. Terbersit tanya dalam hati bagaimana semua pasal-pasal itu dilaksanakan oleh seluruh media. Dalam menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana inilah ternyata peneliti berkesempatan untuk mewujudkan “pertanyaan dalam hati” itu dalam sebuah penelitian yang nyata.

Penelitian ini mengenai implementasi pasal 27-29 dan 35 P3 yang membahas mengenai narasumber dan pewawancara di beberapa radio Kota Malang. Untuk lebih mudahnya, peneliti melihat implementasinya pada saat program talk show di tiga lokasi radio. Dalam pembahasan, peneliti banyak mengupas mengenai implementasi, faktor pendukung dan penghambat pasal tersebut untuk bisa diterapkan dalam siaran talk show di masing-masing radio.

Pasal-pasal yang termuat dalm P3 maupun SPS sebenarnya sangat membantu media massa dalam menciptakan siaran yang berkualitas dan bermartabat. Namun karena banyak faktor penghambat yang dijumpai dalam implementasinya, maka bisa dikatakan bahwa tujuan dari pembuatan kebijakan KPI ini tidak berhasil secara menyeluruh. Lantas apa yang bisa dilakukan agar terjadi sinkronisasi antara regulator (KPI) dan implementor (radio/ TV)? Semoga sedikit yang peneliti lakukan dalam penelitian ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mencari solusi yang paling tepat nantinya.

(5)

memberikan bantuan dan dukungan yang sangat luar biasa, peneliti haturkan beribu terima kasih.

Kesempurnaan hanya dimiliki Allah SWT, sehingga maklum kiranya dalam penelitian ini masih banyak ditemukan keterbatasan. Oleh karenanya, saran dan kritik yang membangun akan diterima dengan senang hati.

Jayalah selalu radio Indonesia…

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR / ABSTRAK /

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang / 1 B. Rumusan Masalah / 7 C. Tujuan Penelitian / 8 D. Manfaat Penelitian / 8

D.1 Manfaat Praktis / 9 D.2 Manfaat Akademis / 9 E. Tinjauan Pustaka / 10

E.1 Implementasi / 10

E.1.1 Pengertian dan Proses Implementasi / 10 E.1.2 Syarat Implementasi yang Baik / 10 E.2 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) / 12

E.2.1 Fungsi dan Kewenangan KPI / 13 E.2.2 Tugas dan Kewajiban KPI / 14

E.2.3 Peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) / 15

E.3 Radio / 17

E.3.1 Pengertian Radio / 17

E.3.2 Kekuatan dan Kelemahan Radio / 20 E.3.2.1 Kekuatan Radio / 21

E.3.2.2 Kelemahan Radio / 23 E.3.3 Jurnalistik Radio / 24

(7)

E.3.6 Talk Show Radio / 30

E.3.6.1 Pengertian Talk Show Radio / 30 E.3.6.2 Macam-macam Talk Show / 32 E.3.6.3 Produksi Program Talk Show / 34 E.3.6.4 Struktur Siaran Talk Show / 36 E.4 Model Implementasi Bottom-up / 37

F. Fokus Penelitian / 41 G. Metode Penelitian / 42

G.1 Pendekatan Penelitian / 42 G.2 Tipe dan Dasar Penelitian / 43 H. Tempat Penelitian / 44

I. Subyek Penelitian / 45

J. Metode Pengumpulan Data / 45 K. Teknik Analisis Data / 47 L. Uji Keabsahan Data / 49

BAB II GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

A. Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia Malang / 50 A.1 Sejarah LPP RRI Malang / 50

A.2 Kebijakan Penyiaran RRI Malang / 53

A.3 Talk Show “REALITAS” RRI Programa 1 / 54 B. Radio Mitra Adi Swara FM / 56

B.1 Sejarah Radio Mas FM / 56 B.2 Talk Show Radio Mas FM / 58 C. Radio Kosmonita Malang / 59

C.1 Radio Kosmonita Sahabat Perempuan dan Keluarga / 59 C.2 Talk Show Radio Kosmonita / 61

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

(8)

A.1 Persiapan Penyiar Sebelum Program Talk Show Radio / 67

A.2 Penjelasan kepada Narasumber tentang Hal-hal Selama Talk Show Berlangsung / 74

A.2.1 Menjelaskan Semua Pihak yang Terlibat dalam Talk Show / 75 A.2.2 Menjelaskan Tujuan, Topik, dan Narasumber / 77

A.2.3 Menyebutkan Identitas Narasumber dengan Jelas dan Akurat / 79

A.3 Persetujuan Narasumber tentang Materi Maupun Penyebutan Identitasnya / 82

A.3.1 Persetujuan tentang Materi / 82

A.3.2 Persetujuan tentang Penyebutan Identitas / 89 A.4 Sikap Penyiar Terhadap Narasumber / 92

B. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi P3 Pasal 27-29 dan 35 Oleh Praktisi Radio dam Program Talk Show / 108

B.1 Faktor Pendukung / 108 B.2 Faktor Penghambat / 118

BAB IV PENUTUP / 135 A. Kesimpulan / 135 B. Saran / 137

B.1 Saran Praktis / 137 B.2 Saran Akademis / 137

DAFTAR PUSTAKA / 139 LAMPIRAN

1. PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN / 142 2. DRAFT WAWANCARA / 145

A. PENYIAR / 145 B. NARASUMBER / 146 C. PRODUSER / 147

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Struktur Organisasi RRI Malang / 52 Tabel 3.1 Informan Utama / 65

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Pemetaan Implementasi Top-Down Versus Bottom-Up Terhadap Mekanisme Pasar Versus Mekanisme Paksa Model Dwidjowijoto / 39

Gambar 1.2 Penyederhanaan Model Implementasi Bottom-up / 41 Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman / 48 Gambar 2.1 Logo RRI Malang / 50

Gambar 2.2 Logo Mas FM / 58

Gambar 2.3 Logo Radio Kosmonita / 61 Gambar 3.1 Contoh Guideline Kosmonita / 72

Gambar 3.2 Penyederhanaan Model Implementasi Bottom-up / 106 Gambar 3.3 Implementasi P3 Pasal 27-29 dan 35 Oleh Radio-radio

di Malang pada Program Talk show / 107

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Santi Indra. 2008. Jurnalisme Radio Teori dan Praktek. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Dwidjowijoto, Riant Nogroho. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Gunawan, Arya (ed), dkk. 2001. Jurnalisme Radio: Sebuah Panduan Praktis. Jakarta: UNESCO dan Kedutaan Besar Denmark.

Hamidi. 2006. Metode Penelitian & Teori Komunikasi. Malang: UMM Press. Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu

Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hidajat, A. Ficky. 2011. Radio Makes Me Horny!. Surabaya: Imajiner Publishing. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). 2012. Komisi Penyiaran Indonesia.Jakarta:

KPI.

Machmud, Muslimin. 2011. Komunikasi Tradisional: Pesan Kearifan Lokal Masyarakat Sulawesi Selatan Melalui Berbagai Media. Yogyakarta: Buku Litera.

Masduki. 2006. Jurnalistik Radio, Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar. Yogyakarta: LKiS.

. 2007. Regulasi Penyiaran Dari Otoriter Ke Liberal. Yogyakarta: LKiS. Mayer, Robert R & Greenwood, Ernest. 1984. Rancangan Penelitian Kebijakan

Sosial. Jakarta: CV. Rajawali.

Nasrullah, dkk. 2006. Menyusun Skripsi untuk Ilmu Komunikasi.(edisi revisi). Malang: UMM Press.

Ningrum, Fatmasari. 2007. Sukses Menjadi Penyiar, Scriptwriter, & Reporter Radio. Jakarta: Penebar Swadaya.

Parsons, Wayne. 2008. Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana.

Patilima, Hamid. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet. Riswandi. 2009. Dasar-dasar Penyiaran. Yogyakarta: Graha Ilmu.

(12)

Sadli, Saparinah, dkk. 2006. Implementasi Pasal 12 Undang-undang Nomor 7 tahun 1984, Pelayanan Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan. Jakarta: Kelompok Kerja Convention Watch Universitas Indonesia.

Siregar, Ashadi. 2006. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Pustaka.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tebba, Sudirman. 2005. Jurnalistik Baru. Jakarta: Kalam Indonesia.

Wahab, Solichin Abdul. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: UMM Press.

Winarno, Budi. 2002. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.

Jurnal/ skripsi dan majalah:

Jufriansah, Adit. 2010. Efektifitas Program Siaran Radio Sebagai Media Komunikasi. (undergraduate thesis). UMM.

Susanti, Hermin. 2009. Implementasi UU No. 32 Tahun 2002 pada TVRI. (undergraduate thesis). UMM.

Penyiaran Indonesia. Edisi September – Desember 2010.

Website:

http://dewanpers.or.id/kebijakan/peraturan/778-kode-etik-jurnalistik. Diakses: 18 Mei 012, 09.26.

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_stasiun_televisi_di_Indonesia. Diakses: 2 Oktober 2012, 09:40.

http://kpid-jatimprov.go.id/

http://kpid-jatimprov.go.id/download/rekap_teguran_dan_himbauan_2012.pdf. Diakses: 18 Mei 2012, 08:03.

http://kpid-jatimprov.go.id/read/94/18/07/2012/kpid_jatim_bangun_sinergi_dengan_p esantren_awasi_siaran_tv_dan_radio.html. Diakses: 2 Oktober 2012, 13.01.

(13)

http://www.kpi.go.id/P3SPS Lindungi Anak dan Remaja.htm. Diakses 18 Mei 2012, 09:01.

http://www.radioprssni.com/prssninew/radio.asp. Diakses: 2 Oktober 2012,09:55.

http://zayyinsoleh.blogspot.com/2012/03/arah-dan-hakikat-penelitian-kebijakan.html. Diakses: 6 April 2012, 14:36.

pps.unud.ac.id/BAB III Metode Penelitian. Diakses: 6 April 2012, 14:36.

Sumber lain:

P3SPS 2012 Final.pdf. Diakses: 18 Mei 2012, 07:02.

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia siaran sudah merambah Indonesia sejak zaman penjajahan. Bahkan, kemerdekaan Indonesia pertama kali diproklamirkan melalui siaran Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (RRI) pada 17 Agustus 1945. Sehingga benar kiranya jika masyarakat Indonesia tidak lagi asing dengan siaran, yang merupakan pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar, atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran (UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, I:1). Sementara itu kegiatan pemancarluasan siaran melalui perangkat pemancar disebut penyiaran.

Penyiaran (broadcasting) dalam bahasa Inggris merupakan pengiriman program oleh media radio dan televisi. Sedangkan sebutan profesional untuk orang yang mengirimkan program di radio atau televisi disebut dengan broadcaster. Bentuk penyiaran dibagi menjadi dua, yakni penyiaran radio dan

(15)

2 sehingga menciptakan video streaming. Terobosan ini menyebabkan para pendengar radio bisa menyaksikan siaran langsung penyiar dari dalam studio melalui internet. Teknologi penyiaran seakan berkejaran dengan waktu, mungkin ini merupakan salah satu dampak dari berkembangnya gaya hidup masyarakat yang semakin sulit lepas dari teknologi.

Menurut Masduki (2007: 4), dalam sejarah radio dan televisi diwarnai ketatnya peraturan, pengendalian, dan pemberian ijin oleh pemerintah yang pada awalnya didasari pertimbangan kepentingan dari segi teknis, kemudian berkembang menjadi kepentingan negara, pembiayaan, dan akhirnya sebagai sebuah kebiasaan yang melembaga dalam negara. Hal ini dikarenakan semakin disadarinya fungsi ekonomi dan politis radio dan televisi yang menyebabkan keberadaannya sangat erat dengan kepentingan penguasa dan pemodal kapitalis.

(16)

3 Freedom of the press (kebebasan pers) merupakan bentuk demokratisasi

pers. Pers berhak untuk menyiarkan segala bentuk informasi kepada publik tanpa ada kekangan dari pihak manapun. Bentuk demokratisasi pers juga bisa dilihat dalam hal diversity of content (keberagaman isi), diversity of ownership (keberagaman kepemilikan), atau diversity of voice (keberagaman pendapat dan suara) (KPI, 2012: 4). Keberagaman inilah yang bisa dimanfaatkan oleh lembaga penyiaran dalam melayani kebutuhan masyarakat akan informasi, edukasi, dan hiburan yang positif serta konstruktif.

Karena sifat penyiaran yang mencakup ranah publik, media penyiaran harus dikontrol yang menurut McQuail dan dikutip Masduki (2007: 12) dibagi pada dua wilayah dan alasan, yaitu:

1. wilayah isi dikontrol karena ada alasan politik dan kultural,

2. wilayah infrastruktur terutama frekuensi dikontrol karena alasan ekonomi dan teknologi.

(17)

4 dalam bentuk kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), dan behavioural (perilaku). Sedangkan efek trikotomi, yaitu efek sasaran yang terdiri dari individual, interpersonal, dan suatu sistem dalam bentuk kognitif, afektif, dan behavioural.

UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran telah menyebutkan, untuk melindungi publik dari pers yang tidak bertanggung jawab, maka dibentuklah lembaga independen yang tidak ada campur tangan pemerintah maupun pengusaha di dalamnya, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu kewenangan dari KPI adalah menyusun dan menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang berfungsi untuk memartabatkan lembaga penyiaran dan isi siarannya.

(18)

5 Sebagai informasi, BAB XIX dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) memuat tentang segala yang berhubungan dengan narasumber dan tertuang pada pasal 27-35, diantaranya: penjelasan kepada narasumber (pasal 27), persetujuan narasumber (28), anak dan remaja sebagai narasumber (29), hak narasumber menolak berpartisipasi (30), wawancara (31), perekaman tersembunyi program nonjurnalistik (32), pencantuman sumber informasi (33), hak siar (34), dan pewawancara (35). Tiap-tiap pasal tersebut menjelaskan dengan terperinci bagaimana hak narasumber dan kewajiban media penyiaran, baik televisi maupun radio memperlakukan narasumber-narasumbernya. Bukan lantas, dengan asas kebebasan berkreasi atau kebebasan pers, hak narasumber maupun kewajiban lembaga penyiaran terhadap narasumber diabaikan.

(19)

6 Sekalipun dalam rekapan teguran dan himbauan 2010 oleh KPI tidak terdapat pelanggaran yang berkaitan dengan narasumber, namun pada kenyataannya banyak sekali pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran terkait dengan hal tersebut. Diantaranya yang disebutkan oleh Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto dalam acara pelatihan pelatihan jurnalistik PPMN (Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara) di Jakarta, 19 April 2012 lalu, bahwa masih ada saja televisi yang sudah menyamarkan wajah dan identitas korban anak-anak, tetapi justru menyebutkan nama sekolah dan mewawancarai orangtua korban maupun pelaku yang masih di bawah umur. Ezki mengatakan:

“Seharusnya, semua yang berhubungan dengan korban atau pelaku

harus di tutupi dan disamarkan. Berita ini memang harus naik, tetapi televisi harus berhati-hati dalam menayangkan si korban dan pelaku yang masih anak-anak atau remaja” (http://www.kpi.go.id/P3SPS Lindungi Anak dan Remaja.htm.)

Begitu pula dengan penayangan adegan reka ulang untuk pemerkosaan atau tindak asusila lain, tidak menutup kemungkinan anak-anak dan remaja juga menyaksikan tayangan ini dan bisa berdampak buruk untuk ke depannya.

(20)

7 menghormati hak privasi, dan (3) menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.

Ketiadaan pengaduan kepada KPI mengenai pelanggaran terhadap narasumber radio bisa jadi disebabkan ketidaktahuan radio sebagai penyelenggara penyiaran maupun narasumber mengenai P3. Kemungkinan lain adalah keengganan melaporkan pelanggaran yang terjadi karena dianggap hal yang sepele. Melihat fenomena di atas, peneliti tergugah untuk mengkaji suatu permasalahan yang membahas tentang implementasi P3 mengenai narasumber. Peneliti mengharapkan penelitian ini mampu mendeskipsikan secara detail dan jelas tentang bagaimana implementasi peraturan komisi penyiaran Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 27-29 dan 35 tentang narasumber oleh media massa yang dalam penelitian ini pada program talk show di radio-radio Kota Malang. Dengan kata kunci implementasi, kebijakan/ peraturan KPI, talk show, dan radio, judul yang diangkat peneliti adalah “Implementasi Peraturan Komisi Penyiaran Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 27-29 dan 35 Oleh Media Massa (Studi pada Program Talk Show di Radio-radio Kota Malang”.

B. Rumusan Masalah

(21)

8 Dikarenakan narasumber yang seharusnya berada pada keadaan yang baik dan aman, sementara di sisi lain masih ada aduan dari narasumber mengenai perlakuan awak media yang kurang baik, maka didapatkan rumusan beberapa masalah yang dideskripsikan dalam penelitian ini diantaranya:

1. Bagaimana implementasi P3 Pasal 27-29 dan 35 oleh radio-radio di Kota Malang?

2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat radio-radio di Kota Malang dalam mengimplementasikan P3 Pasal 27-29 dan 35?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menjelaskan implementasi P3 Pasal 27-29 dan 35 oleh radio-radio di Kota Malang,

2. Menganalisis faktor-faktor yang mendukung dan menghambat radio-radio di Kota Malang dalam mengimplementasikan P3 Pasal 27-29 dan 35.

D. Manfaat Penelitian

(22)

9 D.1 Manfaat praktis

1. Memberikan masukan terhadap pelaksana kebijakan, yang dalam hal ini media massa beserta sumber daya manusia yang ada di dalamnya untuk bisa bersama-sama meninjau, menyimak, dan kemudian mengimplementasikan seluruh kebijakan yang dibuat oleh KPI demi terciptanya iklim penyiaran Indonesia yang lebih baik.

2. Memberikan masukan terhadap pembuat kebijakan, yang dalam hal ini adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), mengenai ada tidaknya hambatan yang ditemukan dalam hasil penelitian ini untuk kemudian ditindaklanjuti demi pengoptimalan implementasi kebijakan-kebijakan yang sedang dan akan dibuat secara menyeluruh dan kontinyu.

D.2. Manfaat Akademis

1. Memberikan gambaran bagaimana implementasi kebijakan oleh media massa yang merupakan salah satu kajian Ilmu Komunikasi. 2. Dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan

membahas kajian kebijakan yang berkaitan dengan narasumber. 3. Menjadi pembelajaran sekaligus buah karya peneliti guna

(23)

10 E. Tinjauan Pustaka

E.1 Implementasi

E.1.1 Pengertian dan Proses Implementasi

Secara garis besar, implementasi membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan ataupun sasaran dari kebijakan diwujudkan sebagai hasil akhir kegiatan yang dilakukan (Wahab, 2008: 117).

Pembuatan kebijakan berakhir bukan lantas setelah dibuat dan diputuskan, namun berkelanjutan hingga implementasi dan evaluasi apakah kebijakan tersebut baik ataukah tidak, terlaksana dengan maksimal ataukah tidak. Hal ini akan berimbas terhadap pembuatan kebijakan-kebijakan selanjutnya sebagai bahan evaluasi. Clausewitz seperti yang dikutip dalam Public Policy (Parsons, 2008: 464) menyebut implementasi adalah pelaksanaan pembuatan kebijakan dengan cara-cara lain.

Mazmanian dan Sabatier (Dwidjowijoto, 2006: 119) mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan.

E.1.2 Syarat Implementasi yang Baik

(24)

11 Parsons, 2008: 467) mengungkapkan syarat untuk implementasi yang sempurna, yakni:

1. implementasi ideal itu adalah produk dari organisasi yang padu seperti militer, dengan garis otoritas yang tegas,

2. norma-norma ditegakkan dan tujuan ditentukan,

3. orang akan melaksanakan apa yang diminta dan diperintahkan, 4. harus ada komunikasi yang sempurna intra dan antar organisasi, 5. tidak ada tekanan waktu.

Memang menurut Christopher Hood, implementasi efektif membutuhkan sistem komando, pengorganisasian, dan pengontrolan yang baik.

Sedangkan George Edward III (1980) (dikutip Dwidjowijoto, 2006: 140) menegaskan bahwa masalah utama dari administrasi publik adalah lack of attention to implementation (kurangnya perhatian terhadap implementasi). Dikatakannya, bahwa without effective implementation the decision of policymakers will not be carried out successfully (tanpa

implementasi yang efektif, keputusan oleh pembuat kebijakan tidak akan terlaksana dengan sukses). Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication (komunikasi), resource (sumber daya), disposition or

(25)

12 dalam pelaksanaan kebijakan. Terakhir, bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan juga menjadi isu penting dalam implementasi kebijakan.

E.2 Peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)

Sebagai salah satu produk kebijakan yang dihasilkan oleh KPI selain Standar Program Siaran (SPS), Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dibuat dalam rangka mengatur perilaku lembaga penyiaran dan lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam dunia penyiaran di Indonesia dan ditinjau kembali dalam rapat koordinasi nasional (rakornas) setiap 3 tahun sekali. Selain itu, fenomena menjamurnya stasiun radio dan televisi hingga ke pelosok negeri ini, harus disusun standar baku yang mampu mendorong lembaga penyiaran untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera (KPI, 2010:1).

(26)

13 1. nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan;

2. nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan; 3. etika profesi;

4. kepentingan publik; 5. layanan publik; 6. hak privasi;

7. perlindungan kepada anak;

8. perlindungan kepada orang dan kelompok masyarakat tertentu; 9. muatan seksual;

10. muatan kekerasan;

11. muatan program siaran terkait rokok, NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) dan minuman beralkohol;

12. muatan program siaran terkait perjudian; 13. muatan mistik dan supranatural;

14. penggolongan program siaran; 15. prinsip-prinsip jurnalistik;

16. narasumber dan sumber informasi;

17. bahasa, bendera, lambing negara, dan lagu kebangsaan; 18. sensor;

19. lembaga peyiaran berlangganan; 20. siaran iklan;

21. siaran asing;

(27)

14 23. siaran langsung;

24. muatan penggalangan dana dan bantuan;

25. muatan program kuis, undian berhadiah, dan permainan lain; 26. siaran pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah; dan 27. sanksi dan tata cara pemberian sanksi.

(Sumber: Pedoman Perilaku Penyiaran 2012 pasal 5)

E.3 Radio

E.3.1 Pengertian Radio

Beberapa pakar radio memberikan pandangan beragam tentang radio, diantaranya:

1. Menurut dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Mercu Buana Jakarta, Riswandi, “Penyiaran

radio adalah media komunikasi massa dengar, yang

menyalurkan gagasan informasi dalam bentuk suara

secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur

dan berkesinambungan” (Riswandi, 2008: 1),

(28)

15 siarannya bersifat sepintas lalu dan tidak dapat diulang”

(Ningrum, 2007: 6),

3. Menurut Masduki, penulis Jurnalistik Radio, 2006, “Peran ideal radio sebagai media publik adalah mewadahi

sebanyak mungkin kebutuhan dan kepentingan

pendengarnya. Ada tiga bentuk kebutuhan, yaitu informasi,

pendidikan, dan hiburan” (Masduki, 2006: 2),

4. Sementara itu, Santi Indra Astuti, S.Sos, M.Si dalam bukunya, Jurnalisme Radio berpendapat, “Radio adalah buah perkembangan teknologi yang memungkinkan suara

ditransmisikan secara serempak melalui gelombang radio

di udara” (Astuti, 2008: 5),

5. Dalam testimonial yang diberikan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring dalam buku karangan Ficky A. Hidajat (2011: back cover), dia mengatakan, “Radio itu teman setia. Ia bisa didengarkan kapan & dimana saja.

Pilihan acaranya beragam sesuai dengan kesukaan. Di era

digital ini, mendengarkan radio tidak selalu melalui

pesawat radio, di mobile phone bisa, semakin praktis”,

6. Sedangkan Shahnaz Haque, yang sampai saat ini masih aktif bersiaran di Delta FM, Jakarta ini mengatakan, “Radio adalah media selintas karena kebanyakan orang

(29)

16 lain. Misal: sambil bekerja, berkendara, belajar…”

(Hidajat, 2011: 33),

7. Penyiar sekaligus presenter kondang Farhan berpendapat, “Radio kan personal yang memungkinkan kita bisa sedekat

yang kita inginkan dibanding dengan televisi.” (Hidajat,

2011: 117),

8. Manager on air Radio Suara Surabaya, Yoyong Burhanuddin menjelaskan bahwa radio adalah sarana to educate, to entertaint, to inform, and to influence (untuk

memberi pengajaran, menghibur, menginformasikan, dan mempengaruhi) (Jufriansah, 2010).

9. Penyiaran radio adalah media massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara

secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur

dan berkesinambungan (UU 32/2002 pasal 1 ayat 3).

Dari beberapa pengertian tersebut, radio merupakan media massa auditif yang mentransmisikan suara melalui gelombang radio dan bisa didengar melalui perangkat penerima; bersifat selintas, bisa didengar sambil lalu, personal, dan berfungsi to inform, to educate, to entertaint, dan to influence kepada

(30)

17 E.3.2 Kekuatan dan Kelemahan Radio

Semenjak kemunculan teknologi wireless telegraph yang memanfaatkan gelombang radio sebagai pembawa pesan dalam bentuk kode Morse di tahun 1896 ditemukan oleh Gugliemo Marconi, banyak fenomena yang terjadi akibat teknologi tersebut. Seratus tahun yang lalu, berita mengenai kapal pesiar mewah yang diklaim pembuatnya tidak akan pernah tenggelam, namun pada pelayaran perdananya di tahun 1912 tenggelam akibat menabrak gunung es, yaitu kapal Titanic, dikirimkan melalui radio. Karenanya, banyak penumpang Titanic yang selamat.

Pada 30 Oktober 1938 sempat di Amerika Serikat ada sebuah stasiun radio yang menyajikan drama radio War of the Worlds karya H.G. Wells yang bercerita tentang kedatangan

makhluk luar angkasa yang menguasai bumi. Akibat dari siaran tersebut, gelombang kepanikan melanda Amerika. Banyak orang yang kabur dari rumahnya dikarenakan mendengar siaran drama radio yang dianggap suatu realitas oleh masyarakat. Bahkan ada yang terluka dan ada yang hampir bunuh diri. Fenomena ini merupakan satu gambaran tentang salah satu kekuatan radio, yakni membentuk theatre of mind. Dengan kekuatan suara, musik, dan berbagai efek suara, radio mampu membuat sesuatu yang direkayasa terasa sangat nyata.

(31)

18 E.3.2.1 Kekuatan Radio

Dalam Jurnalisme Radio (Astuti, 2008: 40) dijabarkan beberapa kekuatan radio, diantaranya:

1. radio dapat membidik secara spesifik. Radio memiliki kemampuan untuk memfokuskan pendengarnya secara demografis maupun kultural melalui program acara yang disajikan. Mengenai perubahan segmen seperti ini, radio jauh lebih fleksibel dibanding media massa yag lain,

2. radio bersifat mobile dan portable. Hal ini berkaitan dengan perangkat pemutar radio yang bisa dibawa kemana-mana, simple, dan lebih murah dibanding media massa lain,

3. radio bersifat intrusive, memiliki daya tembus tinggi. Begitu radio dinyalakan, maka radio bisa menembus batas ruang karena juga sesuai dengan sifat gelombang suara,

(32)

19 5. radio itu sederhana. Sederhana dalam artian mengoperasikannya, sederhana dalam manajemennya dibanding media massa lain, dan sederhana isinya, sehingga mudah untuk dicerna oleh pendengar meskipun didengar sambil lalu.

Kelebihan radio yang umum diketahui ialah:

1. cepat dan langsung, karena radio tidak membutuhkan proses yang rumit untuk penyampaian informasi,

2. hangat dan dekat, karena sifatnya yang personal. Seakan-akan hanya ada penyiar dan Anda (pendengar). Penyiar seolah menjadi teman baik bagi pendengarnya dalam keadaan apapun,

3. memancing theatre of mind, seperti gambaran sebelumnya, hanya melalui suara penyiar, musik, efek suara, masing-masing pendengar akan membentuk gambarannya masing-masing atas apa yang didapatkan melalui radio, berdasarkan frame of reference dan field of experience-nya,

(33)

20 yang hingga saat ini belum bisa menikmati siaran radio,

5. bisa didengar sambil mengerjakan pekerjaan lain. Lain halnya saat kita menonton televisi maupun membaca koran yang membutuhkan konsentrasi lebih,

6. murah,

7. menghibur, selain dikarenakan musik yang diputar juga karena penyiar yang memiliki kemampuan untuk menghibur para pendengarnya,

E.3.2.2 Kelemahan Radio

Menurut Meeske yang ditulis dalam buku Jurnalisme Radio (Astuti, 2008: 40), kelemahan radio adalah:

1. Radio is aural only. Satu-satunya yang diandalkan dari radio adalah suara (sound) saja,

2. Radio message are short lived. Pesan radio hanya bersifat satu arah, sekilas, antidetil dan tidak dapat ditarik kembali,

3. Radio listening is prone to distraction. Radio rentan dengan gangguan. Jika suara yang ditangkap kurang jernih, bisa jadi informasi yang didapat kurang maksimal.

(34)

21 E.3.3 Jurnalistik Radio

Jurnalistik radio sama halnya dengan jurnalistik pada umumnya, ada proses mencari, mengolah dan kemudian mempublikasikan berita. Yang membedakan hanyanya medianya saja. J.B. Wahyudi membagi produk radio menjadi dua kelompok besar (Astuti, 2008: 55-56), yakni:

1. Karya artistik, tentunya diproduksi dengan pendekatan artistik. Biasanya karya ini membutuhkan dramatisasi, sehingga fiksi atau non-fiksi boleh dibuat sekreatif mungkin. Contoh: drama radio, iklan, pernik.

2. Karya jurnalistik, tentu diproduksi dengan pendekatan jurnalistik, dibuat sesuai dengan kaidah jurnalistik serta mengindahkan kode etik jurnalistik sebagai acuannya. Sebisa mungkin dijauhkan dari dramatisasi, sehingga tidak menimbulkan ambiguitas. Contoh: berita, feature, dokumenter.

E.3.4 Program Berita Radio

Dalam jurnalistik radio, berita (news) memang menjadi dasarnya dan disajikan dalam berbagai bentuk, diantaranya: actualities/ soundbite, voicer, wrap, berita langsung (straight news), breaking news, sequence/ sequel news, kronik (chronicles), soft news, dan reportase langsung. Actualities/ soundbite

(35)

22 melengkapi penyampaian berita. Dengan actualities, informasi yang disampaikan akan terdengar lebih riil dan bisa menimbulkan reaksi emosi yang lebih dari pendengar.

Voicer memberikan observasi, persepsi, deskripsi nyata yang terjadi disertai suara pendukung yang diliput dan disampaikan oleh reporter. Wrap, format ini menggabungkan ciri dari voicer dan actualities sehingga tercipta satu paket berita yang direkam dan

diedit terlebih dahulu. Jenis berita yang lebih mengedepankan aktualitas adalah straight news atau berita langsung. Penyampaiannya bisa berupa actualities, voicer, ataupun wrap¸ yang terpenting 5W+1H (who, what, where, when, why, dan how) bisa tersampaikan dengan tepat dan sesegera mungkin. Berita yang disampaikan dengan sangat segera, biasanya berkaitan dengan insiden/ peristiwa yang sedang berlangsung disebut dengan breaking news.

Jenis berita selanjutnya adalah sequence, yakni berita yang disusun secara berurutan dan disampaikan secara berkesinambungan dalam waktu yang berbeda. Lazimnya, sequence disampaikan untuk menginformasikan perkembangan

(36)

23 diinformasikan yang disebut soft news. Penyajiannya tidak setajam straight news, tapi lebih ringan tanpa menghilangkan nilai

beritanya. Live reportage atau siaran langsung merupakan informasi yang disiarkan langsung dari tempat kejadian dalam waktu yang bersamaan. Untuk jenis berita yang terakhir, dewasa ini lebih banyak digunakan karena berkaitan dengan persaingan antar lembaga penyiaran dalam kecepatannya menyampaikan informasi.

Selain reportase langsung, radio dengan jurnalisme yang kental biasanya akan lebih banyak menampilkan siaran berbasis talk show berbentuk forum diskusi interaktif yang melibatkan

banyak pihak. Penyiarannya kepada publik bisa secara langsung (live talk show) ataupun siaran tunda yang direkam sebelumnya. Namun untuk talk show yang menyediakan ruang interaksi langsung bersama pendengar, dituntut untuk menyiarkan secara langsung. Instruktur radio dari Munchen, Jerman, Klaus Kastan menyumbangkan metode talk show, yaitu HARLEY (Harmony, Actual, Responsible, Leading, Entertainment, and Yield).

E.3.5 Wawancara Radio

(37)

24 Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang akurat dari orang yang berhak memberikan keterangan (narasumber) atas suatu gejala sosial atau suatu topik pembicaraan. Kegiatan wawancara dilakukan dengan persiapan yang matang dan memiliki tujuan tertentu. Tujuan wawancara penting untuk dirumuskan karena menentukan keberhasilan wawancara itu sendiri. Kegagalan suatu wawancara sering didapati karena pewawancara tidak tau apa sebenarnya tujuan dari wawancara yang dilakukan, apakah sekedar untuk konfirmasi, meminta opini, atau tujuan lain.

Pakar komunikasi radio, Dr. Myles Martel dalam buku Dasar-dasar Penyiaran (Riswandi, 2009: 44) merumuskan 8

tujuan wawancara, yaitu:

1. memastikan kebenaran dan aktualitas fakta,

2. memperoleh pernyataan resmi langsung dari sumbernya, 3. menggali titik pandang/opini (point of view),

4. memformulasikan suatu masalah,

5. memperoleh suara yang mewakili masyarakat, 6. menciptakan gaya berita bercerita,

7. meningkatkan citra pribadi reporter,

(38)

25 suatu fakta, atau hanya sekedar menyambung tali silaturahim antara media dengan narasumber.

Ditinjau dari segi teknis (Masduki, 2006: 41), wawancara radio dibagi menjadi:

1. wawancara berdasarkan perjanjian atau kesepakatan bersama,

2. wawancara konferensi pers. Reporter diundang oleh narasumber untuk mendapatkan penjelasan atas suatu peristiwa,

3. wawancara di lokasi peristiwa,

4. wawancara dari studio dengan menggunakan telepon atau alat telekomunikasi lainnya,

5. wawancara siaran langsung. Reporter mengadakan wawancara yang disiarkan saat itu juga,

6. wawancara jalanan (on the street/ vox pop interview), wawancara spontan yang dilakukan di berbagai lokasi untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat mengenai suatu peristiwa.

(39)

26 opini merupakan wawancara yang memusatkan pada gagasan, penilaian, dan kepercayaan narasumber atas sebuah persoalan. Terakhir, yakni wawancara tokoh yang mengungkap biografi seorang public figure.

Sementara itu, berdasarkan penyajiannya wawancara radio dibagi menjadi tiga (Tebba, 2005: 129-130), yaitu:

1. Wawancara aktualitas/ band interview/ ATI (Audio Tape Insert), yaitu petikan wawancara berdurasi

pendek untuk mendukung berita aktual. Biasanya ditampilkan sebagai penegasan yang mendukung suatu berita yang ditayangkan,

2. Wawancara berita, yaitu wawancara dalam waktu singkat yang merupakan sebuah berita actual. Biasanya wawancara ini membahas sebuah persoalan secara singkat,

3. Wawancara program, yaitu wawancara dalam waktu yang panjang dan dalam perbincangan itu dapat dibahas secara tuntas permasalahan yang diangkat. Wawancara jenis ini juga biasa disebut talk show.

E.3.6 Talk show Radio

E.3.6.1 Pengertian Talk show Radio

(40)

27 wawancara dengan gaya modern muncul dari Amerika, sedangkan forum diskusi-diskusi publik yang bersifat lokal dimulai di Kanada. Sekarang, bentuk-bentuk talk program ini sudah diadopsi untuk kemudian dikreasikan dengan kultur dan kebutuhan komunitas masing-masing di seluruh dunia.

Ada perbedaan dan persamaan antara wawancara dan dialog/ talk show. Persamaan antara keduanya adalah sama-sama selalu terdiri dari orang yang mewawancarai atau pewawancara atau moderator atau host dan orang yang diwawancarai atau narasumber. Perbedaannya, pada wawancara, pewawancara hanya mengajukan pertanyaan kepada narasumber dan narasumber berfungsi menjawab pertanyaan. Sementara pada dialog/ talk show, pewawancara tidak selalu hanya bertanya tapi juga bertukar argumen dengan orang yang diwawancarai untuk sepakat, saling memperkuat argumen atau berbeda pendapat (Tebba, 2005: 127).

Menurut Masduki (2006: 45) perbedaan paling penting antara talk show dan wawancara berita adalah talk show bersifat dinamis, tidak terpaku pada aktualitas topik

(41)

28 dimasukkan ke dalam kategori program spesial atau program wawancara sebagai acara. Komponen yang selalu ada dalam program talk show adalah obrolan dan musik yang berfungsi sebagai selingan.

Santi Indra Astuti (2008: 119) dalam bukunya mengatakan paling tidak ada dua program yang berbasis talk yang sering muncul di radio, yakni interview

(wawancara) dan diskusi radio. Keduanya bisa bersifat interaktif dengan pendengar ataupun tidak. Untuk narasumbernya bisa jadi dihadirkan di dalam studio atau hanya melalui teleconference/ mobile phone. Menurut konsultan radio UNESCO Paris, Richard Aspinall yang dikutip Astuti (2008: 141), “The best radio talks programming is simply an extension of the talking we do in

our everyday lives”. Program radio talk yang paling baik

adalah perpanjangan obrolan dari apa yang kita lakukan dalam kegiatan sehari-hari. Obrolan seperti ini akan berlangsung alamiah, bebas, mengalir, terbuka, dan saling mempengaruhi.

(42)

29 interaksi antara pembawa acara atau presenter (dengan atau tanpa pembicara dari luar) di studio, dengan pendengar di luar studio (dalam beberapa kejadian, pendengar bisa juga diundang hadir di studio). Karena sifatnya yang sarat muatan dialog, program interaktif juga sering disebut sebagai talk show atau tontonan perbincangan.

E.3.6.2 Macam-macam Talk Show

Ada beragam jenis program interaktif/ talk show, diantaranya (Gunawan, dkk, 2001: 140-141):

1. Pilihan pendengar, pendengar bisa menelpon penyiar di studio untuk diputarkan lagu pilihannya, sekaligus bisa berbincang tentang berbagai hal, 2. Kuis, dewasa ini radio selalu menggunakan telepon

sebagai penghubung pendengar dengan penyiar untuk kebutuhan kuis radio,

3. Program pengaduan, masyarakat bisa mengadukan tentang hal apapun, termasuk public service, pelayanan pemerintah, traffic, dll,

(43)

30 5. Diskusi atau perdebatan, lazimnya ditentukan terlebih dulu topik yang akan dibicarakan. Ada pakar yang dihadirkan di studio yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Terkadang pendengar juga ikut diundang untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi radio ini.

Jenis diskusi atau perdebatan merupakan jenis talk show yang paling rumit dalam pengerjaannya, namun juga

yang paling mendukung radio-radio yang memiliki program pemberitaan. Karena banyak kasus pemberitaan hanya dinformasikan sekilas saja, padahal banyak hal yang ingin dibahas, dalam diskusi inilah bisa menghadirkan narasumber untuk secara bersama-sama membahas pemberitaan tersebut hingga tuntas. Semua pemikiran baik dari pakar maupun pendengar bisa ditampung untuk mendapatkan solusi bersama, jika dibutuhkan. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa program semacam ini merupakan program yang menjunjung tinggi asas demokrasi.

E.3.6.3 Produksi Program Talk Show

(44)

31 1. Menentukan format

Program interaktif format apa yang dipakai harus ditentukan terlebih dahulu oleh produser acara dan tim. Mulai dari tema, apakah ada narasumber, membutuhkan apa saja baik itu segi teknis maupun SDM, dll.

2. Memilih topik

Topik yang dipilih harus benar-benar menadi daya tarik bagi masyarakat, sehingga talk show tersebut akan benar-benar efektif dan menimbulkan efek yang sesuai dengan tujuan dari program,

3. Melakukan riset

Sama halnya dengan kegiatan jurnalistik lain, jika ingin memperbincangkan suatu permasalahan, mutlak untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang apa yang akan kita bahas. Semakin kaya hasil riset yang didapat, maka semakin bermanfaat dan berkualitas talk show tersebut,

4. Menentukan narasumber

(45)

32 yang sudah kita arrange sedemikian rupa rusak hanya gara-gara narasumber tidak kompeten di topik yang diangkat. Narasumber yang baik adalah yang memiliki kompetensi untuk berbicara mengenai topik yang dibahas dan artikulatif (mempunyai kemampuan berbicara yang baik, runtut, jelas, dan berisi),

5. Mempersiapkan peralatan teknis

Peralatan di dalam studio harus dicek dan dipastikan berfungsi dengan baik demi kelancaran talk show, baik itu michophone, headset, mixer,

maupun sambungan telepon untuk interaktif, jika digunakan,

(46)

33 diragukan lagi kredibilitasnya dalam melayani kebutuhan masyarakat.

E.3.6.4 Struktur Siaran Talk Show

Seperti program siaran lain, struktur dari talk show radio adalah opening, body, dan closing (Astuti, 2008: 139-140). Opening talk show biasanya diisi dengan pengantar pada topik, alasan mengapa topik ini diangkat, apa yang diharapkan dari diskusi yang akan berlangsung. Kemudian penyiar akan mengenalkan narasumber dan latar belakang narasumber.

Body berisikan pokok permasalahan diskusi, dalam talk show dibagi menjadi beberapa segmen. Di tiap jeda

segmen disajikan iklan, lagu, atau yang lain. Agar pembahasan mudah dicerna oleh pendengar dan lebih mudah pembahasannya oleh narasumber, disarankan agar setiap segmen berisikan satu isu, aspek, atau subtema.

(47)

34 E.4 Model Implementasi Bottom-up

Model bottom-up bermakna meskipun kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaan oleh rakyat. Pendekatan bottom-up dikembangkan oleh Michael Lipsky dan Benny Hjern. Model ini menekankan pada fakta bahwa bagaimana tiap-tiap pelaku kebijakan diberikan keleluasaan dalam menetukan bagaimana mereka mengimplementasikan kebijakan. Para pelaku kebijakan seperti halnya media massa, mendapatkan kesempatan untuk menerapkan kebijakan yang dibuat pemerintah sesuai dengan kondisi di wilayah masing-masing. Artinya, bisa jadi metode yang disiapkan pembuat kebijakan untuk diimplementasikan di lapangan tidak dipergunakan oleh pelaku kebijakan karena metode, sistem koordinasi, maupun sistem pengontrolannya tidak sesuai untuk diterapkan.

Model ini mengkritik model top-down yang dianut Daniel Mazmanian, Paul Sabatier, Robert Nakamura, Frank Smallwood, dan Paul Berman yang merupakan tipe implementasi ideal, dengan rantai komando yang baik, kapasitas koordinasi dan kontrol baik. Sehingga peran pembuat kebijakan seakan menjadi sakral kedudukannya dan pelaku kebijakan tidak bisa dengan kritis dan bebas melaksanakan kebijakan sesuai dengan apa yang dirasa cocok untuk diterapkan.

Dwidjowijoto (2006: 126) memaparkan model pemetaan top-down versus bottom-up terhadap mekanisme pasar versus mekanisme paksa

(48)
[image:48.595.164.493.205.458.2]

35 Gambar 1.1 Pemetaan Implementasi Top-Down Versus Bottom-Up

Terhadap Mekanisme Pasar Versus Mekanisme Paksa Model Dwidjowijoto

Model bottom-up yang digunakan dalam penelitian ini yang bernomor 5 pada gambar. Model yang disusun oleh Richard Elmore, Michael Lipsky, dan Benny Hjern dan David O’Porter. Letaknya ada pada

kuadran bawah ke atas dan lebih berada di mekanisme pasar. Mekanisme pasar yang dimaksud adalah mengedepankan mekanisme insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak akan mendapat sanksi, namun tidak mendapat insentif.

Model implementasi bottom-up ini dimulai dengan mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan dan

Atas ke bawah

Mekanisme Mekanisme

Paksa Pasar

Bawah ke Atas

(Sumber: Dwidjowijoto, 2006: 126)

2

1

3 4

(49)

36 menanyakan kepada mereka tentang tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki. Model ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya, atau masih melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran rendah (Dwidjowijoto, 2006: 134-135).

Dwidjowijoto (2006: 148) mengistilahkannya dengan diskresi, yakni ruang gerak bagi individu pelaksana di lapangan untuk memilih tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila menghadapi situasi khusus ketika kebijakan tidak mengatur atau mengatur, namun berbeda dengan kondisi lapangan. Penyesuaian di lapangan inilah yang menjadi inti dari diskresi. Akan tetapi, agar tidak terjadi diskresi yang “keterlaluan” maka tetap dibutuhkan pengawasan oleh policymakers,

yang dalam penelitian ini adalah monitoring dari KPI.

(50)
[image:50.595.122.499.159.313.2]

37 Gambar 1.2 Penyederhanaan Model Implementasi Bottom-up

Menurut pendukung model bottom-up, yang terpenting adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Daripada menganggap manusia sebagai mata rantai dalam garis komando, seperti yang dianut model top-bottom, pembuat kebijakan semestinya sadar bahwa kebijakan paling baik diimplementasikan dengan apa yang diistilahkan Richard Elmore “backward mapping” (pemetaan mundur) problem dan kebijakan. Artinya, mendefinisikan sukses berdasarkan term manusia atau perilaku manusia, dan karenanya kesuksesan bukanlah sekedar pemenuhan sebuah “hipotesis” (Parson, 2008: 470).

F. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan kepada bagaimana implementasi atau penerapan P3 pasal 27-29 dan 35, baik berupa perilaku maupun ucapan dari penyiar dan atau tim produksi terhadap narasumber yang hadir dalam

(Dapat mempengaruhi)

(Sumber: Diolah dari data primer) Peraturan Komisi Penyiaran

Indonesia (KPI)

Lembaga Penyiaran (Produser, penyiar,

moderator, dll) Lembaga Penyiaran

(Produser, penyiar, moderator, dll)

Lembaga Penyiaran (Produser, penyiar,

(51)

38 acara talk show di radio-radio Kota Malang, yakni di Radio RRI Pro-1, Kosmonita, dan Mas FM. Dalam pasal tersebut dijelaskan apa saja hak dari narasumber dan kewajiban media yang harus dipenuhi pada saat sebelum dan saat berlangsungnya program siaran talk show radio. Hal-hal yang dibahas dalam pasal-pasal yang diteliti, yakni:

1. Pasal 27: penjelasan kepada narasumber, 2. Pasal 28: persetujuan narasumber,

3. Pasal 29: anak dan remaja sebagai narasumber, dan 4. Pasal 35: pewawancara.

Dari penelitian ini, peneliti mencari tahu tentang bagaimana bentuk implementasi P3 yang dilakukan oleh penyiar beserta tim produksi terhadap narasumbernya. Peneliti juga mengumpulkan informasi terkait apa saja hambatan maupun faktor pendukung implementasi P3 pasal 27-29 dan 35, sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari penelitian ini.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu pendekatan umum ke arah fenomena yang telah dipilih oleh peneliti untuk diselidiki dan dengan demikian merupakan sejenis logika yang mengarahkan penelitian (Robert & Ernest, 1984: 80).

G.1 Pendekatan Penelitian

(52)

39 pada filsafat post-positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis

data bersifat induktif/ kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2009: 15).

G.2 Tipe dan Dasar Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe deskriptif karena peneliti ingin menggambarkan sekaligus menjelaskan bagaimana implementasi P3 di media massa terutama dalam penelitian ini adalah radio-radio di Kota Malang secara utuh, lengkap, dan menyeluruh.

Sedangkan dasar penelitian ini adalah penelitian kebijakan (policy research), karena dalam hal ini penelitian mengarah kepada bagaimana

peneliti menganalisis implementasi peraturan dari KPI, yakni pasal 27-29 dan 35 dalam P3. Salah satu pelopor dan pendiri analisis kebijakan, Harold Lasswell menggambarkan orientasi kebijakan itu sebagai pendekatan ilmu kebijakan (the policy science approach), suatu istilah untuk menunjukkan adanya sumbangan pemikiran berupa pengetahuan yang sistematik, rasionalitas terstruktur dan kreativitas yang terorganisasikan untuk membuat kebijakan yang lebih baik (Wahab, 2008: 7).

(53)

40 rekomendasi dalam pembuatan keputusan untuk bertindak secara praktis dalam menyelesaikan kasus-kasus (pps.unud.ac.id).

H. Tempat Penelitian

Penentuan tempat penelitian dengan pendekatan bertujuan (purposive). Radio yang dipilih adalah radio yang memiliki program talk show dengan beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan yakni:

1. Instrumen talk show minimal terdiri dari satu orang penyiar/ moderator dan satu orang narasumber,

2. Jenis talk show adalah talk show program pengaduan atau talk show diskusi / dialog interaktif,

2. Talk show bertema pendidikan, publik service, human interest, atau poleksosbudhankam,

3. Talk show bersifat non-komersil (misal: talk show promosi produk/ jasa berbayar),

4. Bukan merupakan talk show human interest artis hiburan yang bersifat promosi (misal: talk show promosi lagu musisi, baik solo/ band). Adapun radio yang memiliki program talk show dengan dasar pertimbangan di atas adalah:

1. LPP RRI Programa 1 (Pro-1) 94,6 FM

Jl. Candi Panggung Barat 58, Malang (0341) 495 850 2. Radio Kosmonita 95,4 FM

(54)

41 3. Radio Mitra Adiswara (Mas FM) 104,5 FM

Jl. Dr. Cipto 16, Malang (0341) 327 463

Pada Radio RRI Pro-1, Kosmonita, dan Mas FM inilah penelitian dilakukan.

I. Subyek Penelitian

Penentuan subyek berdasarkan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan tujuan tertentu dari peneliti. Tidak semua orang yang ada dalam radio-radio tempat penelitian dijadikan subyek/ informan dalam penelitian ini. Oleh karenanya, hanya beberapa orang saja yang berkaitan langsung dengan acara talk show yang diudarakan oleh radio-radio tersebut yang dijadikan informan dan dibagi menjadi informan utama dan informan tambahan. Penyiar/ moderator sebagai informan utama karena penyiar yang berhadapan langsung dengan narasumber talk show yang dipandunya dan menjadi tolok ukur implementasi P3 pasal 27-29 dan 35. Sedangkan informan tambahan yang dibutuhkan adalah: (1) produser acara talk show, yang merupakan “otak” dari program talk show dan bertanggung jawab atas penyiarnya; (2) narasumber program talk show, sebagai data pembanding.

J. Metode Pengumpulan Data

Guna memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini, maka digunakan beberapa metode pengumpulan data, yakni:

(55)

42 Termasuk dalam kategori in depth interview, pada wawancara jenis ini tujuannya adalah menemukan permasalahan dengan lebih terbuka, dimana partisipan diminta untuk memberikan pendapat dan ide-idenya. Pertanyaan yang diajukan dalam jenis interview ini disesuaikan dengan draf wawancara, meskipun dalam perjalanannya tidak menutup kemungkinan pertanyaan akan berkembang. Dengan metode ini, peneliti mengharapkan wawancara yang lebih luwes, arahnya bisa lebih terbuka, percakapan tidak membuat jenuh kedua belah pihak, sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya (Patilima, 2005: 75). 2. Observasi Tak Berstruktur

Observasi tidak terstruktur adalah observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi (Sugiyono, 2009: 313). Seperti yang tertulis dalam karangan Prof. Dr. Sugiyono (2009:310), Marshal (1995) menyatakan bahwa “through observation, the researcher learn about behavior and the meaning attached to those

behavior” (melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan

makna dari perilaku tersebut). 3. Dokumen

(56)

43 K. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif Miles dan Huberman (1984). Langkah yang harus dilakukan peneliti menurut mereka adalah:

1. Data reduction (reduksi data)

Kegiatan merangkum, menyeleksi mana data yang dipakai dan mana data yang tidak dipakai. Banyaknya data yang diperoleh baik dari wawancara maupun observasi menuntut adanya penyeleksian data untuk kemudian difokuskan pada tujuan penelitian,

2. Data display (penyajian data)

Dalam penelitian ini jenis datanya adalah kualitatif, sehingga data yang disajikan berupa kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka-angka.

3. Conclusion drawing/ verification (penarikan kesimpulan dan verifikasi)

Dari data yang sudah disajikan, maka perlu ditarik kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah yang sudah dibuat mengenai bagaimana implementasi P3 di radio Kota Malang. Peneliti dapat memverifikasi kembali kesimpulan yang didapat untuk mempertajam dan mengecek kembali dengan fenomena yang ada untuk bisa memperoleh kesimpulan akhir yang lebih valid.

(57)
[image:57.595.120.476.372.482.2]

44 peneliti memperhatikan pengaturan waktu, penyusunan proposal penelitian, pengumpulan data dan analisis data, dan pasca pengumpulan data. Ketiga kegiatan analisis dilakukan secara bersamaan dalam model air ini. Sedangkan model interaktif, reduksi data dan penyajian data memperhatikan hasil data yang dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian baru pada proses penarikan kesimpulan dan verifikasi. Lebih mudahnya, model interaktif Miles dan Huberman yang dikutip Machmud (2011: 26) dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data model interaktif Miles dan Huberman. Penggunaan model ini dikarenakan dalam konteks melihat bagaimana implementasi P3 oleh media massa menuntut peneliti melakukan analisis setahap demi setahap guna mendapatkan hasil yang maksimal.

L. Uji Keabsahan Data

Triangulasi dalam pengujian keabsahan diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber, cara dan waktu. Adapun yang digunakan untuk menguji (Sumber: Machmud, 2011: 26) Pengumpulan data Penyajian data

(58)

45 kebenaran dari data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan teknik.

Triangulasi sumber dilakukan dengan mengecek data yang diperoleh lewat beberapa sumber. Yang dalam hal ini peneliti mengecek data yang diperoleh dari penyiar/ moderator dalam talk show radio dengan yang diperoleh dari narasumber yang diwawancarai oleh penyiar tersebut. Sehingga didapati kecocokan dari data yang diperoleh apakah sah ataukah tidak.

Sedangkan penggunaan triangulasi teknik adalah dengan mengecek data pada sumber yang sama, namun dengan cara yang berbeda. Misalkan dari salah seorang penyiar yang memandu acara talk show radio, peneliti tidak hanya menghimpun data dengan teknik wawancara, namun juga mengecek dengan observasi terhadapnya agar diperoleh data yang lebih akurat. Setelah itu, baru peneliti mengecek dengan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan mengenai penyiaran radio, maupun dokumen pendukung lain.

Gambar

Gambar 1.1 Pemetaan Implementasi Top-Down Versus Bottom-Up
Gambar 1.2 Penyederhanaan Model Implementasi Bottom-up
Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman

Referensi

Dokumen terkait

Peristiwa ini mulai mendapat sorotan dari masyarakat sejak akhir tahun 1970-an karena memiliki kesamaan hampir pada setiap kasusnya, yaitu anggota keluarga sebagai objek, terutama

Sikap ini dipertegas dengan pernyataan menyukai penggunaan teknologi informasi dalam mendukung kelancaran pekerjaan; bahwa suatu ide yang baik apabila menggunakan

Sebelumnya, ditentukan bobot untuk respon sifat fisik yang digunakan dalam penentuan formula optimum, yaitu kecepatan alir dengan bobot 0,1; kompaktibilitas dengan

Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada tahap pra sekolah sekelompok individu yang berusia 0-6 tahun yang sedang dalam proses tumbuh kembang baik

Menurut Mayor Polak, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mana mempelajari terkait masyarakat secara keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia dengan kelompok,

Untuk menghilangkan rasa nyeri dari perifer ke SSP yg sifatnya reversible dan obat ini bekerja pada semua bagian saraf dan semua jenis saraf sensorik dan motorik.. contoh :

[r]

Evaluasi Pembelajaran Pengenalan Sholat Melalui Pengajaran Langsung. Dalam penelitian ini evaluasi yang guru lakukan yaitu mencatat semua proses yang terjadi dalam