• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak bantuan langsung pupuk organik terhadap produksi dan pendapatan petani padi di Propinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak bantuan langsung pupuk organik terhadap produksi dan pendapatan petani padi di Propinsi Jawa Timur"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian memiliki multifungsi yang mencakup aspek ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan, dan menjaga kelestarian lingkungan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan berdasarkan FAO pada World Food Summit 1996 menyatakan bahwa:

“food security exist when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe, and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life (FAO, 2008)”.

(2)

Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Produksi tanaman padi di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat di tiap tahunnya. Secara umum, Tabel 1.1. menggambarkan kondisi yang cukup baik, dengan pertumbuhan produksi rata-rata sekitar 2,4% per tahun (BPS, 2011).

Tabel 1.2. Tabel Impor Beras (Rice in the husk (paddy or rough)) di Indonesia Tahun 2001 - 2010

2002 Impor 2.935.746 19.662.000

2003 Impor 683.756 3.071.201

2009 Impor 15.565.366 5.768.265

2010 Impor 14.779.167 4.211.984

Sumber: www. data.un.org, 2012

Walaupun produksi padi di Indonesia mengalami peningkatan, Indonesia tetap melakukan impor beras seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1.2.. Kegiatan impor beras tersebut salah satunya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk Indonesia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1.3..

(3)

sempitnya lahan pertanian yang dapat dikuasai (Daniel, 2004). Hal tersebut membuat Indonesia harus berupaya untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah yang ada.

Tabel 1.3. Tabel Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 1971 - 2010

Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa)

Catatan : Termasuk Penghuni Tidak Tetap (Tuna Wisma, Pelaut, Rumah Perahu, dan Penduduk Komuter)

Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian, membuat suatu program yang memberikan bantuan langsung pada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Pelaksanaan BLP dan BLBU didasari oleh kenyataan bahwa petani pangan belum menggunakan bibit unggul bersertifikat dan belum menggunakan pupuk lengkap karena keterbatasan permodalan, sehingga menyebabkan petani pangan kesulitan mengakses faktor-faktor produksi tersebut.

(4)

Apabila ketiga tujuan tersebut tercapai, maka diharapkan kemandirian dalam membangun ketahanan pangan nasional dapat terpelihara, serta dapat meningkatkan pendapatan petani dari waktu ke waktu.

Program BLP dilaksanakan dengan memberikan dua jenis pupuk bagi petani, yaitu (1) pupuk anorganik (NPK), dan (2) pupuk organik (Pupuk Organik Granul/POG dan Pupuk Organik Cair/POC). Pemberian bantuan pupuk organik kepada petani dianggap sebagai langkah strategis dalam meningkatkan produktivitas lahan sawah yang telah mengalami degradasi kualitas akibat penggunaan pupuk anorganik berlebih dalam jangka waktu yang panjang selama program Revolusi Hijau. Penggunaan pupuk anorganik berlebih dalam periode waktu yang panjang akan merusak struktur tanah, menciptakan ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah, serta menurunkan kemampuan tanah dalam menahan air. Sebagai akibatnya, produktivitas lahan akan mengalami degradasi.

Perilaku petani tanaman pangan dalam memupuk tanamannya harus diubah agar produktivitas lahan sawahnya dapat ditingkatkan. Petani harus didorong untuk menggunakan pupuk secara berimbang, dengan mengurangi pupuk anorganik dan mensubstitusi pengurangan tersebut dengan meningkatkan penggunaan pupuk organik. Untuk mempercepat proses tersebut, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Pupuk Organik (BLP Organik).

(5)

64% wilayah daratan yang memungkinkan digunakan untuk kegiatan pertanian dan permukiman (eastjava.com, 2012).

Di Propinsi Jawa Timur, jumlah tenaga kerja yang terserap masih didominasi oleh Sektor Pertanian (39,70%). Hal ini merupakan ciri dari daerah pedesaan yang masih menjadi wilayah terluas di Jawa Timur. Bahkan pada daerah pedesaan, Sektor Pertanian mampu menyerap hingga 59,0% pekerja (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012). Pemberian BLP Organik bersama dengan paket teknologi produksi lainnya (BLBU dan BLP Anorganik) diharapkan akan meningkatkan produktivitas lahan pangan secara signifikan, terutama di Propinsi Jawa Timur

1.2. Perumusan Masalah

Kelemahan dari pupuk organik adalah tingginya harga pupuk organik daripada harga pupuk anorganik (kimia). Secara rinci penggunaan pupuk organik berbiaya lebih mahal yaitu Rp. 7.187.000,-/ha, sedangkan dengan pupuk anorganik berbiaya Rp. 5.275.000,-/ha (Hartatik, 2006). Selain itu, pupuk organik tidak dapat dijadikan sebagai pupuk tunggal. Diperlukan pengelolaan pupuk secara terpadu yaitu memadukan pemberian pupuk organik dan anorganik sebagai upaya meningkatkan produktivitas lahan sawah (Simanungkalit et. al., 2006).

(6)

diperoleh melalui program BLP Organik terhadap produksi padi, pendapatan usahatani, dan persepsi petani yang menggunakannya.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis produksi dan produktivitas padi dengan menggunakan pupuk organik;

2. Menganalisis dampak BLP Organik terhadap pendapatan petani padi; serta 3. Menganalisis persepsi petani terhadap BLP Organik.

1.4. Kegunaan Penelitian

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Teori Produksi

Fungsi produksi merupakan keterkaitan antara faktor-faktor produksi dan capaian tingkat produksi yang dihasilkan, di mana faktor produksi sering disebut dengan istilah input dan jumlah produksi disebut dengan output (Sukirno, 2000). Menurut Nicholson (2005), hubungan antara masukan dan keluaran diformulasikan dengan fungsi produksi yang berbentuk:

Q =

ƒ

(K, L,M……) (2.1.)

di mana Q mewakili keluaran (output) untuk suatu barang tertentu selama satu periode, K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili tenaga kerja, M mewakili bahan mentah yang dipergunakan, dan masih terdapat kemungkinan faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses produksi.

(8)

Produk fisik marginal (marginal physical product) merupakan keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan sambil mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dapat diformulakan sebagai berikut:

produk fisik marginal dari modal = MPK = =

ƒ

K (2.2.)

Produktivitas fisik rata-rata adalah keluaran (output) yang dihasilkan tiap unit masukan (input) baik masukan modal maupun tenaga kerja (Nicholson, 1995). Sebuah usaha tertentu dikatakan mengalami peningkatan produktivitas ketika keluaran tiap unit masukan tenaga kerja meningkat. Produktivitas rata-rata sering dipergunakan sebagai ukuran efisiensi. Definisi produk rata-rata luas lahan (APL) adalah sebagai berikut:

ton/hektar

(2.3.)

Return to scale (RTS) merupakan tanggapan keluaran dari proses peningkatan semua masukan secara bersamaan. Jika fungsi produksi diketahui

Q=

ƒ

(KL) dan semua masukan digandakan dengan kostanta positif yang sama, m

(9)

meningkat lebih dari proporsional, terdapat hasil berbanding skala yang meningkat (Nicholson, 2005).

Fungsi produksi dapat digambarkan dengan grafik (Gambar 2.1.) yang memperlihatkan peningkatan dan penurunan tambahan output yang dikenal sebagai The Law of Diminishing Return. Hukum ini menyatakan bahwa jika makin banyak jumlah suatu faktor produksi yang ditetapkan untuk sejumlah faktor yang tetap, maka akan tercapai situasi di mana setiap tambahan produk total dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang dihasilkan sebelumnya.

Sumber: Nicholson (2005)

Gambar 2.1. Grafik Fungsi Produksi

Elastisitas produksi (

ε

p) merupakan persentase perubahan dari output

sebagai akibat dari persentase perubahan dari input, yang dapat ditunjukan melalui persamaan berikut:

(10)

Gambar 2.1. menghubungkan antara elastisitas produksi (εp), produk total (TP), produk rata-rata (AP), dan produk marjinal (MP) adalah sebagai berikut:

1. Tahap I: Nilai elastisitas produk lebih besar dari satu (

ε

p > 1), produk

total, produk rata-rata, dan produk marjinal mengalami peningkatan yang kemudian produk marjinal menurun hingga nilainya sama dengan produk rata-rata (increasing rate). Tahap I merupakan tahap irasional karena faktor produksi yang digunakan belum optimal sehingga perlu dilakukan penambahan kuantitas input.

2. Tahap II : Nilai elastisitas produk kurang atau sama dengan satu

(0<

ε

p≤1), produk total mengalami peningkatan, namun produk

rata-rata dan produk marjinal mengalami penurunan hingga marjinal produk sama dengan nol (diminishing rate). Tahap II merupakan tahap yang rasional karena input yang digunakan telah optimal sehingga tidak perlu ditambah atau dikurangi.

3. Tahap III : Nilai elastisitas produk lebih kurang dari nol (

ε

p < 0),

produk total dan produk rata-rata mengalami penurunan, sedangkan produk marjinal bernilai negatif (decreasing rate). Tahap III merupakan tahap irasional karena input yang digunakan telah melebihi batas optimal sehingga perlu dilakukan pengurangan input.

2.1.2. Teori Subsidi

(11)

dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah (Handoko dan Patriadi, 2005). Menurut Suparmoko (2003) dalam Handoko dan Patriadi (2005), subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).

Subsidi dalam bentuk uang diberikan oleh pemerintah kepada konsumen sebagai tambahan penghasilan atau kepada produsen untuk dapat menurunkan harga barang. Subsidi dalam bentuk barang merupakan subsidi yang dikaitkan dengan jenis barang tertentu, yaitu pemerintah menyediakan suatu jenis barang tertentu dengan jumlah yang tertentu pula kepada konsumen atau produsen tanpa dipungut bayaran atau pembayaran di bawah harga pasar (Handoko dan Patriadi, 2005).

Adanya subsidi akan memberikan pengaruh pada permintaan untuk konsumsi bersubsidi (subsidized consumption) atau penawaran untuk produksi bersubsidi (subsidized production) (Handoko dan Patriadi, 2005). Pengaruh subsidi terhadap produksi dapat dilihat pada Gambar 2.2.. Produksi bersubsidi menggeser kurva penawaran S ke bawah menjadi kurva penawaran S’. Hal ini mengakibatkan bertambahnya kuantitas produk yang dihasilkan (Q menjadi Q’) dan membuat perubahan harga dari P menurun menjadi P’.

(12)

efisien karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar sehingga muncul kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi; dan (2) subsidi dapat menyebabkan distorsi harga (Spencer dan Amor dalam Handoko dan Patriadi, 2005).

(Handoko dan Patriadi, 2005)

Gambar 2.2. Grafik Pengaruh Subsidi Terhadap Produksi

2.1.3. Subsidi Pupuk

(13)

harga pada subsidi input akan lebih mudah dicapai dibandingkan subsidi output (Kementrian Pertanian, 2006).

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2004), kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas sistem distribusi pupuk antara lain adalah: (1) rasionalisasi penggunaan pupuk di tingkat petani karena penggunaan pupuk sudah melampaui takaran anjuran; (2) rekomendasi pupuk berdasarkan atas analisis tanah spesifik lokasi, dan waktu penggunaan berdasarkan acuan analisis bagan warna daun; (3) peningkatan efektivitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen dengan pemanfaatan pupuk organik serta sistem irigasi yang baik; (4) perbaikan standardisasi dan sertifikasi pupuk sehingga petani terhindar dari pupuk alternatif yang diragukan kualitas dan efektivitasannya; (5) peningkatan kinerja usaha tani padi dengan mengupayakan sumber pertumbuhan selain peningkatan produktivitas; serta (6) pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang kondusif bagi kontinuitas dan harga di tingkat petani.

Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa petani cenderung tidak lagi memperhatikan penggunaan pupuk secara berimbang, mengingat di satu sisi harga jual produksi pertanian yang sangat fluktuatif dan cenderung merugikan petani dan di sisi lain semakin mahalnya biaya produksi. Jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akan menyebabkan sektor pertanian semakin tidak menarik bagi petani dan pada akhirnya berdampak terhadap ketahanan pangan nasional (Adnyana dan Kariyasa, 2000).

(14)

pertanian (tanaman pangan dan perkebunan rakyat) untuk membantu petani agar dapat membeli pupuk sesuai kebutuhan dengan harga yang lebih murah, dengan harapan produktivitas dan pendapatan petani meningkat (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2004).

Tabel 2.1. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 - 2011

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Subsidi Pupuk

Sumber: Kementrian Pertanian dalam RUU APBN, 2012

Kebijakan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran pupuk sejak awal didasari oleh pemenuhan prinsip enam tepat dalam penyalurannya, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu. Alokasi anggaran subsidi pupuk rata-rata mengalami peningkatan setiap tahun, hal ini ditunjukkan oleh Tabel 2.1..

Pada tahun 2008, pemerintah memperkenalkan Bantuan Langsung Pupuk (BLP) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Program BLBU yang dimulai sejak tahun 2007 telah memberikan bantuan benih unggul untuk padi, jagung, dan kedelai kepada petani di 249 kabupaten yang tersebar di 29 propinsi. Sementara, program BLP yang dimulai pada tahun 2008 telah mencakup 159 kabupaten yang tersebar di 17 propinsi.

(15)

Menurut perencanaan, tahun 2010 diperluas kembali menjadi 1.066.395 hektar atau meningkat sebesar 64,47% (PSP3 IPB, 2010).

Bagi daerah-daerah yang telah berproduktivitas relatif tinggi dimantapkan dengan fokus pengembangan yang diarahkan kepada aspek rekayasa sosial, ekonomi dan kelembagaan. Peningkatan produktivitas tersebut dilakukan melalui penggunaan benih bermutu dari varietas unggul; pemupukan berimbang dan penggunaan pupuk organik; pengaturan pengairan dan tata guna air; penggunaan alat mesin pertanian; serta perbaikan budidaya (PSP3 IPB, 2010).

Benih Bermutu dari Varietas Unggul. Penggunaan benih bermutu dari varietas unggul difasilitasi melalui pembinaan produsen benih untuk dapat menghasilkan benih secara enam tepat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul adalah: (a) inventarisasi stok dan penangkaran benih; (b) pemanfaatan stok benih yang ada secara optimal; serta (c) pembinaan kepada produsen/penangkar benih agar proses produksi benih terlaksana secara berkelanjutan (PSP3 IPB, 2010).

Pemupukan Berimbang dan Pupuk Organik. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan kualitas hasil dilakukan pemupukan berimbang, sehingga perbandingan penyerapan unsur hara oleh tanaman dilakukan secara seimbang. Rekomendasi dosis pemupukan berimbang berpedoman kepada dosis anjuran spesifik lokasi yang dinamis (PSP3 IPB, 2010).

(16)

adalah masih rendahnya penggunaan pupuk berimbang N, P dan K. Faktor ini telah menyebabkan produktivitas tanaman belum tercapai secara optimal. Sementara, penggunaan pupuk anorganik kurang berimbang yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, telah menyebabkan kerusakan struktur tanah. Dampak lain adalah terjadinya inefisiensi penggunaan pupuk anorganik (PSP3 IPB, 2010).

Salah satu penyebab rendahnya penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik antara lain disebabkan daya beli, tingkat kesadaran, serta keyakinan petani yang masih rendah. Kontribusi penggunaan pupuk NPK dan organik dalam meningkatkan produktivitas, produksi bahkan mutu hasil telah terbukti secara signifikan dalam peningkatan produksi komoditas tanaman pangan. Dengan demikian, ketersediaan dan penggunaan pupuk NPK dan organik merupakan suatu syarat keharusan bagi peningkatan ketahanan pangan nasional (PSP3 IPB, 2010).

Berkenaan dengan itu, pemerintah melalui BUMN termasuk PT. Pertani (Persero) memberikan Bantuan Langsung Pupuk NPK dan Pupuk Organik untuk didistribusikan kepada petani. Tujuan kegiatan ini adalah (a) memperkenalkan kepada petani penggunaan pupuk majemuk NPK dan pupuk organik; (b) meringankan beban petani dalam penyediaan dan penggunaan pupuk NPK serta pupuk organik; (c) meningkatkan penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik; (d) meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman pangan; serta (e) meningkatkan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah (PSP3 IPB, 2010).

(17)

mendukung upaya peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan, Dinas Pertanian Propinsi dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota melakukan pembinaan, pendampingan dan monitoring secara optimal kepada kelompok tani penerima bantuan pupuk serta melakukan evaluasi pada akhir kegiatan. Untuk menjamin terpenuhinya kualitas dan kuantitas bantuan, maka pembinaan, pendampingan, monitoring dan evaluasi dapat dilakukan oleh Pembina Teknis secara berkala dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan (PSP3 IPB, 2010).

Monitoring dan evaluasi bantuan ditujukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan penyaluran bantuan sesuai rencana alokasi di setiap kabupaten/kota; monitoring kuantitas dan kualitas yang disalurkan kepada kelompok tani; memonitor realisasi pertanaman padi yang menggunakan bantuan di setiap kabupaten/kota; memantau dan melakukan bimbingan teknis penerapan anjuran teknologi untuk budidaya lainnya; mengetahui peningkatan produktivitas dan produksi padi di setiap kabupaten/kota; serta mengetahui kemungkinan permasalahan yang dihadapi sedini mungkin, guna memberikan solusi pemecahannya sehingga tingkat keberhasilan pelaksanaan program dapat dicapai (PSP3 IPB, 2010).

2.1.4. Pupuk Organik

(18)

rekayasa secara kimia, fisik dan atau biologis, dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Sedangkan pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan atau kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan atau mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011).

Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.37/Permentan/SR.130/5/ 2010 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010, dikemukakan bahwa penggunaan pupuk anorganik yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, menyebabkan kerusakan pada struktur tanah, soil sicknes (tanah sakit), soil fatigue (kelelahan tanah), dan inefisiensi penggunaan pupuk anorganik. Kondisi tersebut tidak hanya menyebabkan penurunan pertumbuhan hasil produktivitas tanaman pangan yang signifikan, tetapi juga menjadi salah satu penyebab sering terjadinya tanah longsor di berbagai daerah sentra produksi padi di Indonesia. Kekurangan bahan organik dan pemakaian pupuk anorganik berlebih dalam periode waktu yang panjang membuat tanah-tanah pertanian kehilangan kemampuan untuk menyerap dan menyimpan air.

(19)

merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas (Simanungkalit et al., 2006)

Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.2/Pert/ Hk.060/2/2006, tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan memasok bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

(20)

cara untuk memberikan atau menambahkan berbagai mikroba pupuk hayati hasil skrining yang lebih unggul ke dalam tanah (Simanungkalit et al., 2006).

Bahan organik berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba (Simanungkalit et al., 2006).

Penggunaan pupuk organik saja, tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan ketahanan pangan. Oleh karena itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik/pupuk hayati dan pupuk anorganik dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan. Hanya dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan. Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (low external input and sustainable agriculture) menggunakan kombinasi pupuk organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good agricultural practices perlu dilakukan agar degredasi lahan dapat dikurangi dalam rangka memelihara kelestarian lingkungan (Simanungkalit et al., 2006).

(21)

2,5%. Di lain pihak, sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.

Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi (Simanungkalit et al., 2006).

2.1.5. Usahatani

Menurut Soekartawi (1995) usahatani adalah upaya seseorang dalam mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani dengan harga jual produk yang dihasilkan tersebut. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut,

TR = Y × Py (2.5.)

keterangan:

TR : penerimaan total (total revenue)

Y : produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani Py : harga dari produk Y

(22)

(2.6.)

Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani) dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Pengeluaran usahatani dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap merupakan biaya yang tidak terkait dengan jumlah barang yang diproduksi, sehingga petani tetap harus membayar biaya tersebut berapapun jumlah komoditas yang dihasilkannya. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berubah seiring dengan perubahan besarnya jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan.

Biaya tetap (fixed cost) dapat ditunjukkan oleh persamaan,

(2.7.) keterangan:

FC : biaya tetap (fixed cost) Xi : banyaknya input ke-i

Pxi : harga dari variabel Xi (input)

Sedangkan persamaan biaya total adalah,

TC = FC + VC (2.8.)

keterangan:

TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost)

VC : biaya tidak tetap (variable cost)

(23)

Π = TR – TC (2.9) keterangan:

Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)

2.1.6. Teori Persepsi dan Adopsi Inovasi

Menurut Soekartawi (1988), terdapat empat tahapan yang dilalui petani dalam mengadopsi suatu teknologi/inovasi. Tahapan tersebut antara lain (a) tahap kesadaran dan menaruh minat; (b) tahap evaluasi; (c) tahap mencoba; kemudian (d) tahap adopsi.

Pada tahap kesadaran, petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Informasi yang dimiliki tentang teknologi baru yang akan diadopsi masih bersifat umum. Beralih pada tahapan menaruh minat yaitu petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk mengadopsi inovasi. Pada tahap ini, petani mulai mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, baik dari media cetak maupun media eletronik (Soekartawi, 1988).

Tahapan evaluasi merupakan tahap mempertimbangkan lebih lanjut mengenai minat dalam mencoba suatu inovasi. Hal ini berarti bahwa petani melakukan penilaian secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki (Soekartawi, 1988).

(24)

berhasil. Apabila percobaan ini berhasil, maka petani akan mencoba melakukan inovasi tersebut dalam skala yang lebih luas (Soekartawi, 1988).

Tahap adopsi merupakan tahapan dimana petani telah memutuskan bahwa inovasi baru yang telah dipelajari memberikan dampak yang baik untuk diterapkan di lahannya dalam skala yang lebih luas. Tahapan-tahapan yang telah dipaparkan tidak selalu dilakukan secara berurutan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan melakukan penyesuaian dalam melakukan adopsi suatu inovasi (Soekartawi, 1988).

Menurut Soekartawi (1988), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi suatu teknologi. Faktor internal yang dapat mempengaruhi adalah (a) umur; (b) pendidikan; (c) keberanian mengambil risiko; (d) motivasi berkarya; (e) sistem kepercayaan tertentu; dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi adopsi inovasi antara lain (a) dorongan masyarakat di sekelilingnya; (b) pengalaman petani lain di sekitar tempat tinggal; (c) ketersediaan sumberdaya yang dimiliki; (d) kepuasan setelah mencoba inovasi tersebut; dan lain-lain.

(25)

2.2. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan tahun 2010 pada tujuh propinsi di Indonesia, Program BLP dan BLBU berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas padi dari sebelumnya 5.034 kg menjadi 5.918 kg/ha, atau meningkat sebesar 17.56%

Penerapan program BLBU dan BLP menyebabkan terjadi peningkatan biaya total sebesar 21.53% pada usahatani padi. Karena peningkatan produksi yang dicapai masih cukup besar, maka keuntungan bersih usahatani tetap meningkat. Pendapatan usahatani padi meningkat dari Rp. 6.777.157,- menjadi Rp. 9.119.629,- per ha atau meningkat sebesar 34.56%. Peningkatan ini juga terjadi karena adanya faktor peningkatan harga pada padi (GKP) sebesar 8.74%.

Angelia (2011) dalam penelitian Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Status Petani (Studi Kasus di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor), menyatakan bahwa variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi.

(26)

4.001.378,- per musim tanam. Sedangkan petani non peserta program pemupukan berimbang memperoleh rata-rata produksi sebesar 5.027 ton GKP, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 3.163.183 per musim tanam. Produksi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi 976 kg dibandingkan produksi yang diperoleh petani non peserta program pemupukan berimbang.

Tabel 2.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu

Peneliti Wilayah Metode Peningkatan Produksi,

Pendapatan, dan Persepsi Petani urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani

(27)

berimbang adalah harga gabah (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%), biaya pupuk (bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 5%), serta luas lahan (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%).

Menurut Sianipar et. al. (2009) dalam penelitian Analisis Fungsi Produksi Intensifikasi Usahatani Padi di Kabupaten Manokwari menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi pada tingkat kesalahan 1% yaitu variabel benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani.

2.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini didasari oleh pentingnya perbaikan kesuburan lahan untuk peningkatan produksi padi di Indonesia khususnya propinsi Jawa Timur.

Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pemikiran Peningkatan Produksi Pertanian Berkelanjutan

Subsidi Pupuk

Bantuan Langsung Pupuk Organik

Analisis Usahatani Produksi & Produktivitas Persepsi

(28)

Peningkatan produksi padi tersebut bertujuan untuk mencapai peningkatan produksi yang berkelanjutan. Salah satu upaya dalam meningkatkan produksi padi yaitu dengan cara memberikan subsidi input berupa pupuk. Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian memberikan bantuan langsung kepada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP) Organik.

Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis untuk menganalisis efektifitas program BLP Organik tersebut. Metode-metode yang digunakan antara lain Metode Analisis Usahatani dengan pendekatan Before and After, Metode Analisis Produksi dan Produktivitas, serta Metode Analisis Persepsi petani penerima BLP Organik. Dengan diketahuinya dampak dari program BLP Organik, diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai bahan rekomendasi untuk pengembangan pertanian organik.

2.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian dalam menerapkan progam BLP Organik pada usahatani padi di Jawa Timur, maka:

1. terdapat peningkatan produktivitas padi karena menggunakan benih unggul dari BLBU dan pupuk berimbang dari paket BLP Organik;

2. terdapat peningkatan pendapatan petani; dan

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dari survey rumah tangga petani dalam penelitian Dampak Bantuan Langsung Pupuk dan Benih Unggul Terhadap Usahatani dan Perekonomian Nasional. Data didapat dari penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB) dan PT. Pertani di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

(30)

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data untuk menganalisis dampak BLP Organik pada produktivitas dan pendapatan usahatani dilakukan dengan pemilihan sampel untuk petani responden. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling), yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam Simple Random Sampling adalah semua individu dalam populasi (anggota popluasi) diberi kesempatan yang sama untuk menjadi anggota sampel. Pemilihan mengikuti sebaran program dan jenis usahatani petani dengan membandingkan before dan after. Before untuk musim tanam sebelum menggunakan BLP Organik dan after untuk musim tanam setelah mengunakan BLP Organik.

Pemilihan responden petani dilakukan secara acak sederhana rata-rata 15 orang petani per kecamatan sampel. Sebagaimana dipaparkan pada Tabel 3.1., total sampel petani padi adalah 60 orang, dimana dari setiap petani diperoleh dua informasi usahatani padi untuk perbandingan before dan after. Dengan demikian, jumlah usahatani padi yang dianalisis berjumlah 120 unit.

Tabel 3.1. Sebaran dan Jumlah Sampel Usahatani Padi di Propinsi Jawa Timur

Kabupaten; Kecamatan Usahatani padi

Sebelum Sesudah

1. Banyuwangi (Sempu & Licin) 30 30

2. Bondowoso (Telogosari & Wonosari) 30 30

Total 60 60

(31)

yang dimiliki responden. Perbandingan antara usahatani sebelum menggunakan BLP Organik dengan yang menggunakan BLP Organik, dilakukan untuk persil lahan yang sama. Prosedur pengambilan contoh menggunakan cluster sampling mengikuti hirarki provinsi, kabupaten, dan kecamatan.

3.4. Pengolahan dan Analisis Data

Sebagai penelitian yang bertujuan untuk menganalisis dampak suatu program, maka salah satu pendekatan yang logis untuk digunakan adalah dengan membandingkan antara nilai dari indikator-indikator pada periode sebelum dengan sesudah BLP organik diterapkan (pendekatan Before and After). Selain itu, untuk menganalisis produksi padi pasca penggunaan BLP Organik, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Fungsi Produksi. Dengan demikian, metode analisis yang akan digunakan dapat disajikan dalam Tabel 3.2..

Tabel 3.2. Permasalahan, Metode Analisis, dan Indikator Observasi Permasalahan Metode Analisis Indikator Observasi

Dampak Program

Respon petani Analisis persepsi terhadap

pelaksanaan program BLP Organik dan prestasi kerja

(32)

3.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi padi yang dihasilkan dengan harga jual padi tersebut. Pernyataan tersebut dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

TR = Y × Py (3.1.)

keterangan:

TR : penerimaan total (Total Revenue)

Y : produksi padi (Gabah Kering Panen / GKP) Py : harga padi (Rp.)

Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh petani dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Biaya yang dikeluarkan oleh petani digolongkan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel).

Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam biaya tetap adalah biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), biaya retribusi, dan biaya sewa lahan. Sedangkan yang termasuk biaya tidak tetap adalah biaya pembelian benih, biaya upah tenaga kerja, biaya pupuk, biaya pestisida dan obat.

Biaya total adalah jumlah dari biaya tetap atau fixed cost (FC) dan biaya tidak tetap atau variable cost (VC). Persamaan biaya total adalah:

TC = FC + VC (3.3.)

keterangan:

TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost)

VC : biaya tidak tetap (variable cost)

(33)

Π = TR – TC (3.4.) keterangan:

Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)

dengan ketentuan apabila Π bertanda positif maka usahatani mengalami keuntungan, namun apabila Π bertanda negatif maka usahatani mengalami

kerugian.

3.4.2. Analisis Imbangan Biaya dan Manfaat

Untuk menganalisis efisiensi atau imbangan antara manfaat dan biaya, maka dibutuhkan analisis B/C Ratio (Benefit Cost Ratio). Menurut Soekartawi (1995), analisis B/C Ratio pada prinsipnya sama saja dengan R/C Ratio (Revenue Cost Ratio), hanya saja pada analisis B/C Ratio data yang diperhitungkan adalah besarnya manfaat (pendapatan / Π). Analisis ini tidak memiliki satuan khusus karena berupa rasio, dan dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut:

B/C = (3.5a.)

keterangan:

B/C : Benefit Cost Ratio

TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)

Kriteria keputusan yang digunakan untuk menilai hasi usaha analisis B/C dapat dibagi menjadi tiga bagian keputusan, yakni:

(34)

2) B/C ratio < 1, manfaat yang diperoleh usahatani lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan sehingga program usahatani tidak layak dilakukan;

3) B/C ratio = 1, usahatani mengalami impas (tidak untung maupun rugi). R/C Ratio merupakan alat analisa untuk mengukur biaya dari suatu produksi. Pernyataan tersebut dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:

R/C = (3.5b.)

Keterangan:

R/C : Revenue Cost Ratio

TR : total penerimaan (total revenue) TC : biaya total (total cost)

Kriteria keputusan yang digunakan untuk menilai hasi usaha analisis R/C dapat dibagi menjadi tiga bagian keputusan, yakni:

1) R/C ratio > 1, usahatani mengalami keuntungan sehingga program usahatani layak dilakukan;

2) R/C ratio < 1, usahatani mengalami kerugian sehingga program usahatani tidak layak dilakukan;

(35)

nonkomersial (harga bantuan pupuk dan tenaga kerja dalam keluarga). Oleh karena itu, penghitungan nilai imbangan biaya dan manfaat masing-masing akan diperoleh baik atas dasar biaya tunai maupun atas dasar biaya total.

3.4.3. Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Model fungsi produksi yang umum digunakan dalam suatu penelitian adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (fungsi eksponensial). Menurut Nicholson (1995), bentuk matematis dari fungsi Cobb-Douglas tersebut adalah:

Q =

ƒ

(K,L) = a Kb Lc eu (3.6.)

di mana a, b, dan c semuanya merupakan kosntanta penduga yang diestimasi dari data empiris: Q mewakili keluaran (output) untuk suatu barang tertentu selama satu periode; K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili tenaga kerja, u adalah galat (error term, disturbance term), dan e adalah bilangan eksponen (e=2,718).

Fungsi produksi tersebut di atas dapat menunjukkan hasil berbanding skala (return to scale) dengan ketentuan: (1) apabila b+c=1 maka menunjukkan hasil berbanding skala konstan; (2) apabila b+c<1 maka menunjukkan hasil berbanding skala menurun; dan (3) apabila b+c>1 maka menunjukkan hasil berbanding skala meningkat.

(36)

ln(Q) = ln(a) + b ln(K) + c ln(L) + u (3.7.)

Q* = a* + bK* + cL* + u (3.8.)

di mana: Q* = ln(Q) a* = ln(a) K* = ln(K) L* = ln(L) u = galat

Persamaan hasil logaritma natural di atas dapat dibentuk menggunakan regresi linear berganda. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa konstanta b dan konstanta c adalah tetap walaupun masukan yang terlibat telah berubah bentuk menjadi logaritma natural. Konstanta-konstanta dalam funsgi produksi Cobb-Douglas ini dapat sekaligus menunjukkan elastisitas masukan (input) terhadap keluaran (output).

Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas dilakukan dalam bentuk logaritma natural dan fungsinya diubah bentuk menjadi fungsi linear, maka terdapat persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menggunakan fungsi Cobb-Douglas, antara lain:

1) tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma natural dari nol adalah suatu bilangan yang tidak diketahui;

2) dalam fungsi produksi perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada tiap pengamatan (non neutral difference in the respective technologies);

3) peubah masukan (input variable) berada pada persaingan sempurna; 4) faktor-faktor lain yang tidak tercakup dalam model, seperti iklim

(37)

Dalam penelitian ini, fungsi produksi Cobb-Douglas yang akan dibuat

Fungsi produksi Cobb-Douglas dalam bentuk logaritma natural dapat dibentuk menggunakan metode regresi linear berganda. Menurut Juanda (2009), terdapat lima asumsi yang harus dipenuhi untuk memilih suatu model analisis regresi. Kelima asumsi tersebut adalah:

1. Spesifikasi model yang ditetapkan seperti persamaan:

Yi = β1 + β2X2i + β3X3i+ … + βkXki + ui (3.10.)

2. Peubah Xk merupakan peubah non-stokastik (fixed), artinya sudah ditentukan,

bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah Xk;

3. Komponen sisaan ui mempunyai nilai harapan sama dengan nol, dan ragam

(38)

4. Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan ui, sehingga

Cov(ui,uj)=0 untuk setiap i≠j;

5. Komponen sisaan menyebar normal.

Menurut Dalil Gaus-Markov, jika kelima asumsi di atas dipenuhi, maka pendugaan parameter koefisien regresi menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) akan menghasilkan penduga tak bias linear terbaik (BLUE, Best Linear Unbiased Estimator). Penduga terbaik dalam pengertian ragamnya paling kecil (paling efisien) diantara semua penduga tak bias linear lainnya (Juanda, 2009).

3.6. Uji Kriteria Statistik

Tujuan pengujian kriteria statistik adalah untuk melihat korelasi antar variabel persamaan, yaitu dengan menggunakan uji-R2, uji-F, uji-t, dan Uji Pelanggaran Asumsi.

1. Uji-R2

Koefisien determinasi (R2) sering digunakan secara informal sebagai ukuran dari kecocokan (goodness of fit) model regresi walaupun untuk menentukan kebaikan dari kecocokan suatu model tidak hanya dilihat dari besar R2 saja. Koefisien determinasi (R2) dapat diintepretasikan sebagai “proporsi total keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi X terhadap Y”. Jika nilai

R2 besar, maka persentase peluang keragaman Y yang dapat diprediksi dari nilai X2, X3 hingga Xk semakin besar (Juanda,2009).

2. Uji-F dan Uji-t

(39)

analisis ragam (analysis of variance). Uji statistik ini digunakan untuk menguji apakah keragaman yang bersumber dari model regresi (σR2) lebih besar dari

keragaman sisaan (σu2). Jika keragaman regresi lebih besar daripada keragamaan

sisaan (σR2 > σu2) maka dapat disimpukan model regresi yang telah dibuat dapat

menjelaskan keragaman Y. Untuk membuktikan hal tersebut, maka dilakukan pengujian hipotesis,

H0 : σR2 = σu2 (atau σR2≤σu2) atau (βi = βj = 0)

H1 : σR2 > σu2 (atau σR2 / σu2 >1) atau (minimal ada satu β≠ 0)

dengan ketentuan:

jika F-statistik > Fα(dbr,dbu), maka terima H1

jika F- statistik < Fα(dbr,dbu), maka terima H0

di mana:

dbr : banyaknya peubah bebas X = (k-1) dbu : n-k

Jika model yang telah dibuat secara signifikan dapat menjelaskan keragaman Y dengan menggunakan statistik uji-F, maka dilanjutkan dengan pengujian masing-masing koefisien model dengan menggunakan statistik uji-t. Uji-t digunakan untuk mencari faktor peubah mana (X2, X3, atau Xk) yang dapat

menjelaskan atau berpengaruh nyata terhadap Y. Untuk membuktikan hal tersebut, maka akan dilakukan dengan uji hipotesis:

H0 : βi = 0 (faktor ke-i tidak berpengaruh nyata terhadap Y)

H1 : βi≠ 0 (faktor ke-i berpengaruh nyata terhadap Y)

dengan ketentuan:

jika |t- statistik | > t(α,dbu) maka terima H1

(40)

3. Uji Pelanggaran Asumsi

Tujuan pengujian pelanggaran asumsi adalah untuk memastikan bahwa model yang telah dibuat memenuhi asumsi BLUE. Uji ekonometrika tersebut dapat dilakukan dengan uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi (Juanda,2009).

a. Uji Multikolinearitas

Salah satu asumsi dari model regresi berganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear antar peubah bebas dalam model tersebut. Multikolinearitas muncul jika dua atau lebih peubah (atau kombinasi peubah) bebas berkorelasi tinggi antara peubah satu dengan yang lainnya. Jika terjadi hal demikian, maka dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS masih mungkin dapat diperoleh, namun interpretasinya menjadi sulit. Hal ini dikarenakan, apabila terjadi perubahan dalam suatu peubah bebas yang berkolinearitas, maka pengamatan peubah lainnya yang berpasangan kemungkinan akan berubah juga sesuai dengan arah kolinearitasannya. Adanya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat nilai VIF hasil uji statistika. Apabila nilai VIF pada tiap variabel yang diuji harus memiliki nilai kurang dari 10 (Gujarati, 2004).

b. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (ui)

sama atau homogen. Dengan pengertian lain E(ui2)=Var(ui)=σ2, untuk setiap

(41)

E(ui2)=Var(ui)≠σ2, untuk setiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam

model regresi, maka dikatakan ada masalah heteroskedastisitas.

Jika semua asumsi klasik dalam model regresi linear dipenuhi kecuali masalah heteroskedastisitas, maka akibatnya dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias, dan masih konsisten, namun standar error-nya bias ke bawah (underestimate); sehingga penduga OLS tidak lagi efisien. Jika dugaan ragam koefiseian yang bias ini digunakan, maka statistik uji-t akan bias ke atas (overestimate) dan selang kepercayaan bagi parameter koefisien menjadi tidak benar.

Adanya gejala heteroskedastisitas dapa dilakukan dengan menggunakan Uji White dengan hipotesis H0 untuk homoskedastisitas dan H1 untuk

heteroskedastisitas. Ketentuan yang digunakan adalah apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih besar daripada taraf nyata, maka terima H0.

Namun apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih kecil daripada taraf nyata, maka kesimpulan yang diambil adalah tolak H0 (Gujarati, 2004).

c. Uji Autokorelasi

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa sisaan menyebar bebas atau Cov(ui,uj)=E(ui,uj)=0 untuk setiap i≠j, yang dikenal sebagai bebas

serial (serial independence). Jika antar sisaan tidak bebas atau E(ui,uj)≠0 untuk

(42)

Pengujian adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Hipotesis yang digunakan adalah tidak ada autokorelasi untuk H0, sedangkan terdapat autokorelasi untuk H1. Ketentuan

yang digunakan adalah apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih besar daripada taraf nyata, maka terima H0. Namun apabila nilai probabilitas

(43)

BAB IV

GAMBARAN UMUM BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK DAN PROPINSI JAWA TIMUR

4.1. Alokasi Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010

Berdasarkan Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010 (Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 37/ Permentan/ SR.130 /5/ 2010), BLP organik disalurkan ke 31 propinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, Maluku Utara, Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, Papua Barat dan Sulawesi Barat. Lima propinsi yang memperoleh alokasi bantuan langsung pupuk terbanyak berturut-turut adalah Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur (Tabel 4.1.).

Tabel 4.1. Lima Propinsi Penerima BLP Terbanyak Tahun 2010

No Provinsi Jumlah Alokasi Areal BLP (ha)

1. Jawa Barat 104.091

2. Sumatera Utara 95.000

3. Jawa Tengah 78.490

4. Sulawesi Selatan 75.000

5. Jawa Timur 67.290

Sumber: Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010

(44)

Tabel 4.2. Alokasi Perusahaan Penyalur Bantuan Langsung Pupuk Tahun 2010

Uraian Alokasi Perusahaan

PT. Pertani PT. SHS PT. Berdikari Jumlah

NPK (ton) 59.387,9 43.253,7 3.997,9 106.639,5

POG (ton) 178.163,7 129.761,1 11.993,7 319.918,5

POC (liter) 1.187.758,0 865.074,0 79.958,0 2.132.790,0

Sumber: Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010

Pemerintah menunjuk tiga perusahaan yang bertanggung jawab untuk menyalurkan BLP kepada petani. Tiga perusahaan tersebut adalah PT. Pertani (Persero), PT. Sang Hyang Seri (Persero) dan PT. Berdikari (Persero) (Tabel 4.2.). Harga pupuk ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas saran dan pertimbangan Tim Referensi Harga BLP dengan memperhatikan rekomendasi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara mengenai Harga Pokok Penjualan (HPP) pupuk NPK, POG dan POC untuk PT. Pertani (Persero), PT. Sang Hyang Seri (Persero) dan PT. Berdikari (Persero).

Pada penelitian ini, data yang diperoleh merupakan data yang didapat dari penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB) terhadap BLP dan BLBU yang didistribusikan oleh PT. Pertani di Propinsi Jawa Timur. Dalam proses pendistribusiannya, PT. Pertani (persero) memperhatikan jadwal tanam, sesuai dengan jadwal penyaluran BLBU yang telah ditetapkan untuk masing-masing lokasi.

4.2. Gambaran Umum Propinsi Jawa Timur

(45)

111,0′ hingga 114,4′ Bujur Timur dan 7,12′ hingga 8,48′ Lintang Selatan. Batas

Daerah di sebelah utara berbatasan dengan pulau Kalimantan atau tepatnya dengan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sebelah timur berbatasan dengan berbatasan dengan Pulau Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka yaitu Samudera Indonesia. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah (jatimprov.go.id, 2012).

sumber: jatimprov.go.id, 2012

Gambar 4.1. Gambar Peta Propinsi Jawa Timur

(46)

Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep (jatimprov.go.id, 2012).

Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson sebagian besar wilayah (52%) Jatim mempunyai iklim tipe sedang. Keadaan maksimum suhu maksimum rata - rata mencapai 33°C sedangkan suhu minimum rata - rata mencapai 22°C. Keadaan curah hujan pertahun di Jawa Timur mempunyai karakteristik 35,54% wilayah dengan curah hujan kurang dari 1.750 mm; 44,00% wilayah dengan curah hujan 1.750 – 2.000 mm; dan 20,46% wilayah yang memiliki curah hujan lebih dari 2.000 mm (eastjava.com, 2012).

Keadaan tanah di Propinsi Jawa Timur memiliki 64% wilayah daratan yang memungkinkan digunakan untuk kegiatan pertanian dan permukiman; 18% wilayah daratan yang memungkinkan untuk kegiatan pertanian tanaman tahunan keras; serta 18% wilayah daratan sebaiknya digunakan untuk hutan sebagai wilayah penyangga air dan keseimbangan ekosistem. Apabila dilihat dari sistem drainase, 95% dari luas total wilayah darat Propinsi Jawa Timur memiliki sistem drainase yang baik; 22,52% wilayah mengalami sistem drainase yang kurang baik (kadang-kadang tergenang); dan 1,48% wilayah memiliki sistem drainase yang tidak baik (eastjava.com, 2012).

(47)

atau naik 12,95% dibanding PDRB perkapita tahun 2010 yang sebesar Rp. 20,77 juta (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012).

Struktur perekonomian Jawa Timur sampai dengan tahun 2011 masih didominasi Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran dengan kontribusi sebesar 30,00%; diikuti sektor industri pengolahan 27,13%; dan sektor pertanian 15,39% (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012).

Tabel 4.3. Subsektor Pertanian PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2007-2011 (Juta Rupiah)

Subsektor 2007 2008 2009 2010 2011 Pertumbuhan

Bahan Makanan 47.652,20 54.208,27 59.976,74 65.192,59 71.398,02 10,7%

Perkebunan 14.657,73 16.601,03 14.998,33 16.101,39 18.069,38 5,8%

Peternakan 15.871,07 18.489,26 21.061,49 23.289,88 26.497,30 13,7%

Kehutanan 1.207,90 1.851,00 1.976,58 2.559,19 3.059,14 27,3%

Perikanan 10.052,77 11.845,61 14.220,72 15.480,92 17.004,08 14,1%

Sektor Pertanian 89.441,66 102.995,18 112.233,86 122.623,97 136.027,92 11,1% Sumber: BPS Propinsi Jawa Timur, 2012 (diolah)

Pada Sektor Pertanian, Subsektor Tanaman Bahan Makanan memiliki proporsi paling besar kemudian disusul oleh Subsektor Peternakan, Perikanan, Tanaman Perkebunan, dan Kehutanan (Tabel 4.3.). Subsektor Tanaman Bahan Makanan cenderung mengalami peningkatan produksi tiap tahun dengan peningkatan rata-rata sebesar 10,7% per tahun.

(48)

Tabel 4.4. Tabel Produksi Tanaman Pangan di Propinsi Jawa Timur Tahun 2009 – 2011 (Ton)

Komoditi 2007 2008 2009 2010 2011 Pertumbuhan

Padi 9.402.029 10.474.773 11.259.085 11.643.773 10.576.543 3,3%

Jagung 4.252.182 5.053.107 5.266.720 5.587.318 5.443.705 6,6%

Ubi Kayu 3.423.630 3.533.772 3.222.637 3.667.058 4.032.081 4,5%

Kedelai 252.027 277.281 355.260 339.491 366.999 10,5%

Kacang Tanah 196.886 202.345 216.474 207.796 211.416 1,9%

Ubi Jalar 149.811 136.556 162.607 141.103 217.545 12,8%

Kacang Hijau 80.241 72.126 83.629 79.878 80.329 0,5%

Sumber: bps.go.id, 2012 (diolah)

Pada Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa Propinsi Jawa Timur mengalami peningkatan luas panen padi tiap tahun. Sedangkan, produksi dan produktivitas padi di propinsi tersebut mengalami fluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan.

Tabel 4.5. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2000 - 2011

Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas(Ku/Ha) Produksi(Ton)

(49)

Industri (18,59%), Sektor Perdagangan (28,69%) dan Sektor Jasa (19,05%). Dari sisi lain, pekerja laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan hampir pada semua sektor kecuali Sektor Perdagangan. Pekerja perempuan pada Sektor Perdagangan mencapai 55,29% terhadap pekerja laki-laki (BPS Propinsi Jawa Timur, 2011). Walaupun jumlah tenaga kerja yang terserap lebih didominasi oleh sektor pertanian, namun terjadi penurunan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut. Hal ini dikarenakan beberapa tenaga kerja dari sektor pertanian beralih lapangan kerja ke sektor industri pengolahan dan sektor lainnya.

Tabel 4.6. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009 – 2011 (ribuan orang) Lapangan Pekerjaan

Utama

Per Bulan Agustus Tahun Rata-rata Pertumbuhan

2009 2010 2011

Pertanian 8.287,92 7.939,48 7.520,07 -4,74%

Industri Pengolahan 2.385,68 2.482,56 2.665,47 5,71%

Perdagangan 3.933,11 3.787,78 3.908,29 -0,26%

Jasa Kemasyarakatan 2.347,46 2.446,50 2.458,84 2,36%

Lainnya *) 2.350,87 2.041,79 2.387,67 1,90%

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, Hasil Sakernas 2009 – 2011 (diolah)

(50)

BAB V

DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

DI PROPINSI JAWA TIMUR

Penelitian dilakukan di Propinsi Jawa Timur selama bulan Juni 2011 dengan melihat hasil produksi padi pada dua musim tanam yang berbeda (satu musim tanam sebelum dan satu musim tanam sesudah mendapatkan BLP Organik). Lokasi penelitian dilakukan dengan memilih dua kabupaten yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso.

Pemilihan responden dilakukan secara acak sederhana dengan bantuan daftar yang dimiliki oleh petugas pertanian setempat. Total sampel petani padi adalah 60 orang, dimana dari setiap petani diperoleh dua informasi usahatani padi untuk perbandingan before dan after. Dengan demikian, jumlah usahatani padi yang dianalisis berjumlah 120 unit.

Paket BLP Organik yang diterima oleh petani adalah 100 kg NPK, 300 kg POG, dan 2 liter POC per hektar. Selain BLP Organik, petani juga mendapatkan bantuan benih unggul dari program BLBU. Paket bantuan diterima dan digunakan petani sekitar bulan Agustus-September 2010. Perbandingan before dan after menggunakan musim tanam yang sama yaitu rata-rata pada musim tanam ketiga (sekitar bulan September) pada tahun yang berbeda (tahun 2009-2010 dan tahun 2010-2011)

5.1. Karakteristik Responden dan Implementasi Penerimaan Program BLP Organik

(51)

Responden rata-rata berumur sekitar 42 tahun. Lama pendidikan yang ditempuh responden rata-rata sekitar 10 tahun dengan lama pendidikan paling banyak adalah tamat SLTA (26,67%). Lama pengalaman berusahatani umumnya cukup berpengalaman dalam berusahatani yaitu rata-rata sekitar 21 tahun.

Tabel. 5.1. Karateristik Responden Petani Padi Jawa Timur

Karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%)

(52)

Tabel. 5.2. Karateristik Lahan Responden Petani Padi Jawa Timur

Rata-rata responden intensitas lahan 300%. Selain padi, 1,7% responden juga menanam sayuran atau palawija di lahan yang sama namun dengan kuantitas yang lebih sedikit. Benih padi yang dibudidayakan responden pada musim tanam setelah mendapatkan BLP Organik adalah Padi Hibrida varietas Sembada B3, Sembada B9, dan Mekongga yang diperoleh dari bantuan pemerintah (BLBU).

5.2. Dampak Program BLP Organik terhadap Produksi Padi dan Pendapatan Petani

Penerapan program BLP Organik memberikan beberapa perubahan dalam penggunaan input produksi maupun hasil (output) produksi. Berikut ini adalah pemaparan perubahan yang terjadi dalam penggunaan input benih, pupuk, tenaga kerja, serta hasil produksi padi dan pendapatan petani.

(53)

lebih unggul, maka jumlah benih yang dibudidayakan per hektar sawah lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah benih padi lokal.

Tabel. 5.3. Perbandingan Penggunaan Benih pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik

Uraian Sebelum Sesudah Perubahan

BLP Organik BLP Organik (%)

Benih (Kg) 36,05 28,65 -20,53

Harga Benih (Rp.) 6.280,85 6.861,33 9,24

Total Biaya Benih (Rp.) 226.393,87 196.555,19 -13,18

Sumber: Data Primer (diolah)

Tabel 5.3. menunjukkan perbandingan harga dan biaya total benih. Harga benih pada masa tanam setelah menerima bantuan mengalami peningkatan sebesar 9,24% yakni menjadi Rp. 6.861,33 per hektar. Harga benih unggul yang digunakan mengacu pada harga pasar benih unggul ketika petani menerima bantuan. Biaya total benih yang digunakan pada masa tanam setelah menggunakan bantuan mengalami penurunan sebesar 13,18%. Hal ini karena walaupun terjadi peningkatan harga benih, namun jumlah benih yang digunakan per hektar lebih sedikit daripada jumlah benih yang digunakan pada saat sebelum menerima bantuan.

(54)

penggunaan pupuk NPK, POG, dan POC mengalami peningkatan kuantitas berturut-turut sebesar 50,12%; 549,60%; dan 2.911,20%.

Tabel. 5.4. Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik

Tabel. 5.5. Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik

Jenis Pupuk

Sebelum BLP Organik Setelah BLP Organik Δ Total Nilai

(%) Jumlah Harga (Rp) Total Nilai (Rp) Jumlah Harga (Rp) Total Nilai (Rp)

Urea (Kg) 325,09 1.417,66 460.864,62 174,99 1.746,22 305.572,54 -33,70

TSP (Kg) 18,25 2.018,26 36.833,33 10,42 2.160,00 22.500,00 -38,91

KCL (Kg) 4,08 3.397,96 13.875,00 0,69 3.725,00 2.586,81 -81,36

NPK (Kg) 89,37 2.188,89 195.614,68 134,16 2.300,00 308.558,57 57,74

POG (Kg) 59,09 2.118,84 125.201,09 383,85 2.300,00 882.846,20 605,14

POC (Lt) 0,09 60.000,00 5.666,67 2,84 62.643,08 178.151,55 3.043,85

Total Biaya Pupuk 838.055,40 1.700.215,66 102,88

Sumber: Data Primer (diolah)

(55)

berturut-turut sebesar 33,70%; 38,91%; dan 81,36% per hektar. Pada pupuk NPK, POG, dan POC terjadi peningkatan total nilai yang signifikan yaitu berturut-turut sebesar 57,74%; 605,14%; dan 3.043,85% per hektar. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah dan peningkatan harga pasar pupuk yang digunakan.

Apabila dilihat dari struktur tenaga kerja pada Tabel 5.6., hampir tidak terjadi perubahan yang signifikan pada jumlah tenaga kerja baik tenaga kerja manusia (Hari Orang Kerja/HOK), tenaga kerja hewan, maupun tenaga kerja mesin. Namun apabila dilihat dari total nilai, terjadi peningkatan total nilai upah tenaga kerja manusia sebesar 7,60% dan total nilai upah tenaga kerja mesin sebesar 6,21%. Peningkatan tersebut dikarenakan meningkatnya rata-rata harga upah per tenaga kerja.

Tabel. 5.6. Perbandingan Penggunaan dan Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik

Jenis Tenaga Kerja

Sebelum BLP Organik Setelah BLP Organik Δ Total

Nilai (%)

Persiapan dan Pengolahan Lahan 20 17.318,78 345.453,54 21 17.401,29 357.733,43 0,48%

Penanaman 30 14.005,13 421.377,52 30 14.665,91 445.828,32 5,80%

Penyiangan Tanaman 28 14.534,02 400.557,13 28 14.740,18 409.302,86 2,18%

Pemupukan 6 17.018,14 97.182,06 6 17.342,81 101.565,20 4,51%

Pemberantasan HPT 7 16.347,01 116.147,41 7 17.257,19 116.016,59 -0,1 1%

Panen 24 21.897,83 517.927,26 25 24.075,42 596.583,29 15,19%

Pengangkutan Hasil Panen 7 19.040,20 135.774,32 8 20.450,13 161.908,53 19,25%

Total Tenaga Kerja Manusia 2.034.419,24 2.188.938,22 7,60%

Tenaga Kerja Hewan 1 120.926,82 76.800,00 1 120.926,82 76.800,00 -Tenaga Kerja Mesin 3 172.378,64 437.304,95 3 170.999,74 464.444,29 6,21%

Sumber: Data Primer (diolah)

(56)

analisis usahatani atas dasar total merupakan penghitungan pendapatan dengan ikut memperhitungkan biaya nonkomersial (harga bantuan pupuk dan tenaga kerja dalam keluarga). Oleh karena itu, penghitungan nilai imbangan biaya dan manfaat masing-masing akan diperoleh baik atas dasar biaya tunai maupun atas dasar biaya total.

Berdasarkan analisis usahatani atas dasar biaya tunai (Tabel 5.7.) dapat dilihat adanya penurunan biaya tunai sebesar -13,84% yakni dari Rp. 4.434.834,29 per hektar menjadi Rp. 3.895.805,68 per hektar. Hal ini dikarenakan pada musim tanam setelah mendapatkan BLP Organik, benih unggul dan pupuk (NPK, POG, dan POC) diperoleh petani secara cuma-cuma tanpa mengeluarkan biaya pembelian. Produktivitas padi setelah menggunakan BLP Organik mengalami peningkatan sebesar 10,06% yaitu dari 4,9 ton menjadi 5,4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Sedangkan harga gabah hasil produksi meningkat sebesar 12,8% yaitu dari Rp. 2.547,23 menjadi Rp. 2.872,28 per hektar.

Tabel. 5.7. Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai)

Parameter Sebelum Sesudah Perubahan

BLP Organik BLP Organik (%)

1. Jumlah Biaya Tunai (Rp.) 4.434.834,29 3.895.805,68 -13,84

2. Produksi Padi (Kg GKP) 4.916,05 5.410,39 10,1

3. Harga (Rp./Kg) 2.547,23 2.872,28 12,8

4. Nilai Produksi Padi (Rp.) 12.522.297,43 15.540.167,63 24,1

5. Pendapatan (Rp.) 8.087.463,14 11.644.361,95 43,98

6. R/C Ratio 2,82 3,99

7. B/C Ratio 1,82 2,99

Sumber: Data Primer (diolah)

(57)

11.644.361,95. Peningkatan pendapatan ini mendorong kenaikan nilai R/C Ratio dari 2,82 menjadi 3,99; dan B/C Ratio dari 1,82 menjadi 3,00. Nilai R/C Ratio sebesar 3,99 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan memperoleh penerimaan (revenue) sebesar Rp. 3,99,-. B/C Ratio yang menunjukkan nilai 2,99 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan menerima pendapatan sebesar Rp. 2,99,-.

Apabila dilihat dari analisis usahatani atas dasar biaya total (Tabel 5.8.) jumlah biaya total yang dikeluarkan oleh petani mengalami peningkatan sebesar 20,7% yakni dari Rp. 4.952.761,55 per hektar menjadi Rp. 5.979.844,45 per hektar. Walaupun total biaya mengalami peningkatan, namun secara keseluruhan pendapatan usahatani padi meningkat sebesar 26,3% yaitu dari Rp. 7.569.535,88 menjadi Rp. 9.560.323,18 per hektar. Peningkatan ini diperoleh karena meningkatnya produktivitas serta harga padi sehingga penerimaan juga mengalami peningkatan. Adanya peningkatan tersebut mendorong kenaikan nilai R/C Ratio dari 2,53 menjadi 2,60; dan B/C Ratio dari 1,53 menjadi 1,60.

Tabel. 5.8. Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total)

Parameter Sebelum Sesudah Perubahan

BLP Organik BLP Organik (%)

1. Jumlah Biaya Total (Rp.) 4.952.761,55 5.979.844,45 20,7

2. Produksi Padi (Kg GKP) 4.916,05 5.410,39 10,1

3. Harga (Rp./Kg) 2.547,23 2.872,28 12,8

4. Nilai Produksi Padi (Rp.) 12.522.297,43 15.540.167,63 24,1

5. Pendapatan (Rp.) 7.569.535,88 9.560.323,18 26,3

6. R/C Ratio 2,53 2,60

7. B/C Ratio 1,53 1,60

(58)

Nilai R/C Ratio sebesar 2,60 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan memperoleh penerimaan (revenue) sebesar Rp. 2,60,-. B/C Ratio yang menunjukkan nilai 1,60 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan menerima pendapatan sebesar Rp. 1,60,-.

Baik pada analisis usahatani atas dasar biaya tunai maupun analisis usahatani atas dasar biaya total, nilai R/C Ratio dan B/C Ratio musim tanam setelah menggunakan BLP Organik yang lebih besar dari angka satu, dan juga lebih besar dari R/C Ratio dan B/C Ratio pada musim tanam sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa BLP Organik memberikan dampak pada peningkatan produksi padi (GKP) dan pendapatan pada petani. Dengan kata lain, penggunaan BLP Organik lebih memberikan keuntungan bagi petani baik atas dasar biaya tunai maupun biaya total.

Hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan adanya peningkatan produksi, produktivitas, serta pendapatan petani. Hal ini sama seperti hasil penelitian PSP3 (2010) mengenai dampak program BLP dan BLBU pada tujuh propinsi di Indonesia. Selain itu peningkatan produktivitas setelah menggunakan pupuk berimbang (anorganik dan organik) yang terjadi di penelitian ini memiliki hasil yang sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuliarmi (2006).

5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi

Gambar

Tabel 1.1. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi  Padi di Indonesia
Tabel 1.2. Tabel Impor Beras (Rice in the husk (paddy or rough)) di Indonesia
Gambar 2.1. Grafik Fungsi Produksi
Tabel 2.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Studi kasus yang digunakan dalam tahap pengujian adalah penerapan sistem adaptif pada materi pembelajaran untuk mahasiswa Universitas Telkom..

Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif melalui tahapan observasi dan wawancara, karena dengan metode ini bisa dengan jelas mengungkap tentang

Beliau adalah pedoman/ teladan di segala bidang kehidupan. Lihat saja kehidupannya dapat menjadi teladan bagi pedagang, raja dan orang-orang yang berkecipung dalam

Dari hasil pengujian diketahui bahwa untuk perbedaan diameter tulangan, beban yang timbul berdasarkan diameter tulangan yang digunakan baik tulangan polos maupun

Gambar 19 disamping adalah salah satu karya anak di Sanggar Devina, Yang bernama Laras kelas TK-B yangbertemakan binatang, dalam proses pembelajaran di sanggar

Berdasarkan hasil penelitian dan hipotesis yang telah dilakukan dan melalui beberapa tahap tentang pengaruh perputaran kas dan perputaran persediaan terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kapur (CaCO3) berpengaruh pada pertambahan bobot, panjang total, panjang abdomen, dan frekuensi moulting udang

(1998) mengenai tanggapan seseorang dalam mengawal penggunaan masa dan perkaitannya dengan stres dalam kalangan pelajar universiti (n=164) menunjukkan bahawa pelajar