• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Characteristics of Hatching Egg Qualities and Somite Development From Different Storage Time of Arabic Chikens Egg

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Characteristics of Hatching Egg Qualities and Somite Development From Different Storage Time of Arabic Chikens Egg"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KUALITAS TELUR TETAS DAN

PERKEMBANGAN TULANG BELAKANG (SOMITE)

EMBRIO AYAM ARAB PADA UMUR TELUR

YANG BERBEDA

SKRIPSI

MEGALIN DWI AYU

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Megalin Dwi Ayu D14080149. 2012. Karakteristik Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur Telur yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakann, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Pembimbing Utama : Maria Ulfah, S.Pt, M.Sc. Agr Pembimbing Anggota : Prof. drh. Arief Boediono. Ph.D

Umur telur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas telur tetas yang digunakan dalam penetasan. Penyimpanan telur yang semakin lama akan menurunkan kualitas telur. Kualitas telur tetas meliputi kualitas eksterior dan interior, faktor ini dapat mempengaruhi perkembangan embrio di dalam telur. Perkembangan embrio meliputi pembentukan tulang belakang (somite). Sampai saat ini data tentang perkembangan somite pada ayam lokal terutama ayam Arab masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian mengenai pengaruh umur telur terhadap perkembangan somite pada ayam lokal (ayam Arab). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik telur tetas dan perkembangan tulang belakang (somite) embrio ayam Arab pada umur telur yang berbeda. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi mengenai umur telur tetas yang sebaiknya digunakan dalam penetasan.

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 99 butir telur tetas ayam Arab (hibrid). Telur tetas ayam Arab diperoleh dari breeder ayam Arab “Trias Farm”, Leuwiliang, Bogor. Umur telur tetas yang digunakan yaitu 0, 7, dan 12 hari dari induk berumur 42 minggu. Pengamatan perkembangan somite, pengamatan kualitas eksterior telur tetas (berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara), dan kualitas interior telur tetas (berat kerabang dan ketebalan kerabang) menggunakan 90 butir telur tetas (masing-masing perlakuan 30 butir telur tetas). Analisis nutrien telur menggunakan sembilan butir telur tetas (masing-masing pelakuan menggunakan tiga butir telur tetas). Pembuatan preparat embrio menggunakan embrio ayam Arab dari telur yang telah diinkubasi (24, 33-36, dan 48 jam), larutan NaCl 0.72% (123mM), larutan Bouin, etanol 70%, etanol 96%, etanol absolute, xylol, pewarna carmine acid dan entellan.

Peubah yang diamati adalah berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, berat kerabang, ketebalan kerabang, analisis nutrien telur, analisis nutrient pakan dan perkembangan tulang belakang (somite) embrio ayam Arab. Rancangan yang digunakan untuk pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, berat kerabang, ketebalan kerabang dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 30 ulangan. Perlakuan tersebut terdiri dari umur telur 0, 7, dan 12 hari. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (Analisys of Varian/ANOVA). Persentase kedalaman kantung udara, hasil analisis nutrien pakan, nutien telur, persentase kematian embrio, dan perkembangan tulang belakang (somite), dianalisis secara deskriptif.

(3)

pada telur tetas dengan waktu penyimpanan (7 dan 12 hari) lebih lambat jika dibandingkan dengan perkembangan pada telur tetas pada umur 0 hari. Kematian embrio ditemukan pada telur tetas umur 12 hari dengan persentase sebesar 16,67% setelah 24 jam inkubasi dan 33,33% setelah 33-36 jam inkubasi.

(4)

ABSTRACT

The Characteristics of Hatching Egg Qualities and Somite Development From Different Storage Time of Arabic Chikens Egg

Ayu, M. D., M. Ulfah., and A. Boediono

The storage time of hatching egg is one of important factors caused a reduction of hatching egg qualities followed by a negative impact of embrio development, mainly the somite development. Till now, there are limited data of somite development of Arabic chicken embryo. Therefore research of the impact of the hatching egg storage on somite development of Arabic chicken embrio is important to be observed since the storage of hatching egg highly impact the quality of Day Old Chick (DOC). The Complete Randomized Design was used in this research. A nineteen of hatching egg of Arabic chickens from 42 weeks of hen age with 0, 7, and 12 day of storage prior to incubation were used to determine the characteristic of hatching egg of arabic chicken and somite development. The embryo collection and preparat preparation included of following steps harvesting, washing, and fixing of embryo, washing of embryo with alcohol 70%, staining and mounting of embryo. The development of somite observed on 24, 33-36, and 48 hour after incubation. The storage time of eggs didn”t significantly effect the weight, shape index, weight of shell and shell thickness of hatching eggs. The increasing of storage time delayed the development of somite and the increasing of the cell dead.

(5)

KARAKTERISTIK KUALITAS TELUR TETAS DAN

PERKEMBANGAN TULANG BELAKANG (SOMITE)

EMBRIOAYAM ARAB PADA UMUR TELUR

YANG BERBEDA

MEGALIN DWI AYU D14080149

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

Judul :Karakteristik Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur Telur yang Berbeda

Nama : Megalin Dwi Ayu NIM : D14080149

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Maria Ulfah, S.Pt, M.Sc, Agr) (Prof. drh. Arief Boediono. Ph.D) NIP. 19761101 199903 2 001 NIP. 19640305 198803 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc) NIP. 19591212 198603 1 004

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 9 Maret 1990 di Talu, Pasaman, Sumatera Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Hendrizal dan Ibu Rosnelly S.Pd.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri 13 Saribulabiah dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Lintau, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Lintau, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai staf Departemen Sosial Lingkungan Mayarakat, BEM D, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor periode 2010-2011, Bendahara Departemen Sosial Lingkungan Mayarakat, BEM D, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor periode 2011-2012, dan Sekretaris, Pehimpunana Mahasiwa Lintau Bogor (MLB) periode 2009-2010 serta aktif dalam berbagai kepanitiaan.

Bogor, Agustus 2012

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya, alhamdulillahirrobbilalamin penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakteristik Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur Telur yang Berbeda yang ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012.

Ayam Arab merupakan salah satu jenis ayam petelur unggul, produksi telur nya dapat mencapai 300 butir pertahun. Kemampuan ayam Arab sebagai penghasil telur yang baik dapat digunakan sebagai penyedia protein hewani. Telur yang dihasilkan dapat berupa telur tetas dan telur konsumsi. Karakteristik telur menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penetasan. Kualitas telur yang digunakan dalam penetasan dapat dipengaruhi oleh umur telur (lama penyimpanan telur). Faktor kualitas tersebut dapat mempengaruhi perkembangan embrio di dalam telur. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan mengenai karakteristik telur tetas dan pengaruh umur telur terhadap perkembangan embrio (tulang belakang) di dalam telur untuk menghasilkan DOC yang berkualitas.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Agustus 2012

(9)
(10)

Pengamatan Perkembangan Somite…………….….. 23

Rancangan dan Analisa Data………... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN ……….….. 26

Kualitas Pakan………... 26

Karakteristik Eksterior Telur Tetas………... 27

Berat Telur Tetas……….……….…….. 27

Indeks Bentuk Telur……….…... 28

Kantung Udara Telur……….………. 29

Karakteristik Interior Telur Tetas……….…….….. 30

Karakteristik Kerabang Telur……….……... 30

Komposisi Kimia Telur……….…………. 31

Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas……….………... 33

Kematian Embrio……….………... 34

Perkembangan Tulang Belakang (Somite)..…….………... 35

Perkembangan Tulang Belakang Setelah 24 Jam Inkubasi……….……….. 37

Perkembangan Tulang Belakang Setelah 33-36 Jam Inkubasi……….……….. 38

Perkembangan Tulang Belakang Setelah 48 Jam Inkubasi……….……….. 39

KESIMPULAN DAN SARAN……….………... 44

UCAPAN TERIMA KASIH…………..……….…………... 45

DAFTAR PUSTAKA……….……….. 46

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Arab………... 5 2. Persyaratan Tingkat Mutu Telur Tetas Ayam Lokal………. 9 3. Kandungan Nutrien Pakan Induk Ayam Lokal………... 11 4. Morfologi Embrio Ayam setelah 22-24, 33-36, dan 48 Jam

Inkubasi………..……… 16

5. Rataan Jumlah Somite setelah(24, 36, dan 48) Jam Inkubasi…... 18 6. Kandungan Nutrien Pakan Ayam Arab Peternakan Trias Farm…. 26 7. Rataan Berat Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0,7, dan

12 Hari……… 28

8. Rataan Indeks Bentuk Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur

0,7, dan 12 Hari……….. 29

9. Kantung Udara Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0,7,

dan 12 Hari………. 30

10. Rataan Ketebalan Kerabang dan Berat Kerabang Telur Tetas

Ayam Arab pada Umur Telur 0,7, dan 12 Hari……….. 31 11. Komposisi Kimia Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0, 7,

dan 12 Hari ……… 31

12. Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas Selama Inkubasi……… 33 13. Persentase Kematian Embrio Telur Tetas Umur 0, 7, dan 12 Hari

pada 24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi ……… 34 14. Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ayam Arab Silver Jantan (A) dan Betina (B)………. 3

2. Ayam Arab Golden Betina………. 4

3. Bentuk-bentuk Telur………... 5

4. Gambaran Telur Fertil ………...……… 9

5. Tampak Punggung Embrio Ayam pada Tahap Pembentukan Primitif Streak (sekitar 16 Jam Inkubasi)………. 15 6. Gambaran Perkembangan Embrio Setelah 24,36, dan 48 Jam Inkubasi……….. 18 7. Kematian Embrio Telur Tetas Umur 12 Hari………. 35

8. Perbandingan Hasil Penelitian Perkembangan Embrio Setelah 48 Jam Inkubasi pada Telur Umur 0 Hari dengan Perkembangan Embrio setelah 72 Jam Inkubasi ……… 40

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata–Rata Berat Telur pada Umur

Telur 0, 7, dan 12 Hari ………... 50 2. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata–Rata Indeks Telur pada Umur

Telur 0, 7, dan 12 Hari ………. 50

3. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata–Rata Ketebalan Kerabang

Telur pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari ………. 50 4. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata–Rata Berat Kerabang Telur

pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari ..……… 50 5. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 24 Jam Inkubasi

pada Umur Telur 12 Hari ……….

51 6. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 36 Jam Inkubasi

pada Umur Telur 12 Hari………..… 51

7. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 48 Jam Inkubasi

pada Umur Telur 12 Hari……… 51

8. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 24 Jam Inkubasi

pada Umur Telur 7 Hari……… 52

9. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 33- 36 Jam Inkubasi

pada Umur Telur 7 Hari……… 52

10. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 48 Jam Inkubasi

pada Umur Telur 7 Hari………... 52

11. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 24 Jam Inkubasi

pada Umur Telur 0 Hari……….. 53

12. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 33-36 Jam

Inkubasi pada Umur Telur 0 Hari………. 53 13. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 48 Jam Inkubasi

(14)

1 telur cukup tinggi dibandingkan dengan ayam lokal petelur lainnya, karena ayam Arab mempunyai sifat mengeram yang rendah (hampir tidak ada) sehingga waktu bertelur lebih panjang. Sifat tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan telur sebagai pendorong penyedian protein hewani (Binawati, 2008). Telur yang dihasilkan dapat berupa telur tetas dan telur konsumsi.

Kualitas telur tetas yang digunakan dalam penetasan akan mempengaruhi daya tetas. Keberhasilan dalam penetasan telur ayam biasanya ditentukan oleh persentase daya tetas telur di atas 65% dari semua telur yang ditetaskan (Williamson dan Payne, 1993). Kualitas telur tetas dapat dipengaruhi oleh umur telur. Penyimpanan telur yang semakin lama sebelum ditetaskan akan menurunkan kualitas telur yang akan digunakan dalam penetasan, sehingga mempengaruhi perkembangan embrio. Perkembangan embrio meliputi pembentukan bagian-bagian tubuh embrio, salah satunya adalah tulang belakang (somite).

(15)

2 Tujuan

(16)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Arab

Ayam Arab merupakan ayam lokal pendatang yang asal muasalnya merupakan ayam lokal Eropa. Braekels adalah jenis ayam lokal petelur introduksi yang paling dikenal di Indonesia. Tubuh ayam Braekels bewarna putih dengan kombinasi totol hitam yang berbaris di sekujur tubuh, jengger bewarna merah, dan terdapat bercak putih di telinga. Ayam Arab sebagai keturunan dari ayam Braekels bersifat gesit, aktif, dan daya tahan tubuhnya kuat. Secara genetis ayam Arab tergolong rumpun ayam lokal yang unggul karena memiliki kemampuan produksi telur yang tinggi (Sulandari et al. 2007).

Ayam Arab, konon pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Bapak Suwarno yang pulang ibadah haji dari Arab Saudi, membawa delapan butir telur tetas yang kemudian ditetaskan dan dikembangkan di daerah Malang Jawa Timur. Ayam ini dibesarkan dan diumbar diperkarangan rumahnya sehingga kawin dengan ayam lokal. Perkawinan silang ini memperlihatkan produksi telur dari hasil kawin silang dengan ayam Arab lebih tinggi dibandingkan dengan ayam lokal lainnya (Sulandari et al. 2007).

Ayam Arab ada dua jenis yaitu ayam Arab silver (Brakel Kriel Silver) dan ayam Arab golden(Brakel Kriel Gold).Ayam Arab silver memiliki warna bulu putih keperakan dari kepala hingga leher dan badan memiliki warna total hitam putih atau lurik hitam putih, warna lingkar mata hitam, shank dan paruh hitam. Bobot badan dewasa ayam Arabsilver jantan bisa mencapai 1,4-2,3 kg dan betina 0,9-1,8 kg. Ciri khas ayam Arab silverditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Ayam Arab Silver Jantan (A) dan Betina (B)

Sumber : Robert, 2008

(17)

4 Ayam Arab golden memiliki bulu bewarna merah lurik kehitaman, warna shank, kulit, dan paruh hitam, bulu leher merah, dan lingkar mata hitam. Bobot jantan dewasa 1,4-2,1 kg dan betinanya sekitar 1,1-1,6 kg, memiliki keunggulan dalam produksi telur (Sulandari et al., 2007). Ciri khas ayam Arab golden ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Ayam Arab Golden Betina

(Sumber : Association for Promotion of Belgian Poultry. 2003)

Jengger ayam Arab jantan bewarna merah, berukuran besar dan tipis, sedangkan ukuran jengger ayam betina lebih kecil. Selama usia produktif (1-2 tahun), ayam Arab hampir setiap hari bertelur, jika pakan yang diberikan cukup berkualitas, produksi telurnya bisa mencapai 75-85%. Penampilan ayam Arab lebih menarik dibandingkan ayam lokal biasa. Ayam Arab mempunyai keunggulan yaitu, produksi telur bisa mencapai 300 butir pertahun dengan bobot 30-35 gr (Sulandari et al. 2007).

Telur Tetas Ayam Arab

Karakteristik Kimia Telur

(18)

5 Mineral yang terkandung pada telur seperti kalsium dan fosfor merupakan komponen utama dalam pembentukan tulang (Oluyemi dan Robert, 1979). Sumber Ca untuk pembentukan kerabang berasal dari pakan dan tulang (North dan Bell, 1990). Kandungan abu telur memiliki hubungan dengan kadar mineral yang terdapat dalam telur, misalnya kalsium dan fosfor. Kandungan Ca dan P kerabang telur dapat dipengaruhi oleh kandungan Ca dan P dalam pakan, suhu dan kelembaban lingkungan, sifat genetik individu ayam, dan umur induk (Sodak, 2011). Komposisi kimia telur ayam Arab ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Arab Komponen Kuning

Bentuk telur yang menyimpang merupakan keabnormalan pada telur. Bentuk telur yang tidak proporsional berupa, bentuk telur yang tidak bulat dan tidak

seimbang perbandingan panjang dan lebarnya (Sodak, 2011). Bentuk– bentuk telur ditunjukan Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk – bentuk Telur

(19)

6 Kebersihan Kerabang Telur Ayam

Kebersihan kerabang telur tidak lepas dari penanganan kebersihan kandang dan frekuensi pengkoleksian telur. Ekskereta ayam yang menempel pada telur kemungkinan besar mampu menjadi media bakteri untuk mengkontaminasi telur melalui kerabang dan menurunkan kualitas telur setelah disimpan beberapa waktu (Sodak, 2011).

Keutuhan Telur Ayam

Telur utuh adalah telur yang tidak mengalami keretakan baik retak halus maupun retak kasar. Pemberian pakan yang mengandung nutrien yang mencukupi kebutuhan ayam petelur dapat mengatasi keretakan pada kerabang telur. Nutrien Ca, P, dan Mg merupakan unsur mineral dalam pakan yang sangat penting untuk proses pembentukan kerabang. Keretakan pada kerabang telur dapat disebabkan oleh kandungan Ca yang tidak tercampur merata pada pakan (Sodak, 2011).

Kantung Udara Telur

Kantung udara dipengaruhi oleh lama dan suhu penyimpanan telur, kelembaban dan perubahan internal dari telur (Yuwanta, 2010). Kantung udara telur semakin bertambah besar karena adanya penguapan air di dalam telur atau penyusutan berat telur. Suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah dapat menyebabkan kantung udara cepat membesar akibat adanya penguapan air di dalam telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Berat Telur

(20)

7 oleh lepasnya gas, seperti CO2, ammonia, nitrogen , dan kadang-kadang H2S yang

sebagian besar merupakan hasil dari perubahan kimia pada telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Indeks Bentuk Telur

Faktor yang mempengaruhi indeks bentuk telur antara lain umur induk, sifat genetik, bangsa, juga disebabkan oleh proses-proses yang terjadi selama pembentukan telur terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus (Dharma et al., 2001; Sodak, 2011). Indeks bentuk telur tetas ayam lokal yang baik menurut Wardiny (2002) yaitu 76-78% (rasio lebar dan panjang telur).

Ketebalan dan Berat Kerabang Telur

Ketebalan kerabang merupakan salah satu aspek penilaian kualitas kerabang telur. Kerabang yang tipis diakibatkan oleh kurangnya kandungan Ca dan P dalam pakan, umur ayam yang terus meningkat dan suhu lingkungan yang tinggi. Pengaruh perubahan suhu dan kelembaban lingkungan secara langsung dapat menyebabkan stres pada ayam, sehingga produksi hormon FSH akan terganggu yang kemungkinan berdampak negatif pada kerabang telur yang dihasilkan (Sodak, 2011). Penguapan H2O yang bereaksi dengan lapisan kutikula (Ca) mengakibatkan kerabang semakin

porous sehingga lapisan kutikula akan semakin berkurang (Pribadi, 2000). Rataan tebal kerabang telur yang baik yaitu antara 0,33 mm dan 0,35 mm (North dan Bell, 1990).

Penanganan Telur Tetas

Telur tetas merupakan unsur pokok dalam kegiatan penetasan. Kesalahan dalam penanganan telur tetas dapat menyebabkan kegagalan dalam penetasan.

Koleksi Telur Tetas

(21)

8 Penyimpanan Telur Tetas

Penyimpanan telur yang semakin lama sebelum ditetaskan mengakibatkan penguapan air di dalam telur dan membesarnya kantung udara. Periode penyimpanan yang lama tidak hanya menurunkan daya tetas tetapi juga meningkatkan waktu inkubasi. Lama penyimpanan juga menurunkan bobot anak ayam (Mulyantini, 2010). Telur tetas tetap baik disimpan sampai hari ke tujuh asalkan disimpan pada suhu 12,8 °C dan pada kelembaban relatif 60 -70%. Telur yang akan ditetaskan tidak boleh disimpan dalam lemari es karena dapat mengurangi fertilitas telur (Williamson dan Payne, 1993).

Seleksi Telur Tetas

Kualitas fisik dan kimia telur tergantung pada kualitas isi telur dan kulit telur. Faktor kulitas telur dibagi menjadi dua yaitu faktor kualitas eksterior dan interior. Faktor kualitas eksterior meliputi kebersihan telur, bentuk telur, berat telur, indeks bentuk telur, dan kedalaman kantung udara. Faktor kualitas interior antaralain ketebalan kerabang, berat kerabang, dan kandungan nutrien telur. Karakteristik kimia telur secara keseluruhan meliputi kandungan air, abu, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (United States Departement of Agriculture, 2002). Persyaratan utama telur tetas yaitu telur dalam kondisi fertil dan berasal dari breeder. Menurut Cobb Vantress (2008) bila dilihat dengan mikroskop ciri telur fertil ditunjukkan pada Gambar 4.

Blastoderm

Gambar 4. Gambaran Telur Fertil

(22)

9 Standar kualitas telur tetas ayam lokal yang digunakan dalam penetasan ditunjukkan Tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan Tingkat Mutu Telur Tetas Ayam Lokal

No. Faktor Kualitas Standar

1. Fertilitas telur Fertil

2. Bobot telur (g) / butir Minimal 371

3. Indeks bentuk telur (%) 76-783

4. Ketebalan kerabang (mm) 0.322

5. Bentuk telur Oval1

6. Umur telur Maksimal 7 hari1

7. Suhu penyimpanan (°C) 22-251

Sumber : Kementrian Pertanian (2006)1 ; Pribadi (2000)2 ; Wardiny(2002)3.

Fumigasi Mesin Tetas dan Telur Tetas

Fumigasi dilakukan dengan menggunakan gas beracun untuk menghilangkan organisme yang dapat membunuh embrio atau menginfeksi anak ayam saat penetasan. Fumigasi juga dilakukan untuk menjaga telur atau perpindahan penyakit pada penetasan. Fumigasi mesin tetas menggunakan potassium permanganate dan formalin. Formalin dicampurkan kedalam potassium permanganate dan mesin tetas ditutup selama 30 menit. Mesin tetas dapat dijalankan 12-24 jam setelah dilakukan fumigasi. Fumigasi telur tetas juga dilakukan sebelum telur disusun di dalam mesin tetas (Oluyemi dan Roberts, 1979).

Inkubasi Telur Tetas

Faktor yang penting dalam inkubasi telur yaitu suhu dan kelembaban inkubator, ventilasi, posisi telur, peneropongan dan waktu inkubasi.

Suhu dan Kelembaban Inkubator

(23)

10 embrio dan telur tidak menetas. Suhu optimum perkembangan embrio berbeda pada masing-masing telur, hal ini dipengaruhi oleh ukuran telur, kualitas kulit telur, genetik (breed atau strain), umur telur saat dimasukkan dalam inkubator, kelembaban inkubasi (Mulyantini, 2010). Kelembaban udara relatif pada mesin tetas selama 18 hari pertama inkubasi harus sekitar 60%. Selama tiga hari terakhir atau periode penetasan kelembaban harus sekitar 70% (Ensminger et al, 2004).

Ventilasi

Ventilasi diperlukan untuk membersihkan mesin tetas dari ammonia dan bahan berbahaya yang dapat menyebabkan pembusukan pada telur setelah mesin tetas difumigasi (Oluyemi dan Robert, 1979).

Peneropongan Telur (Candling)

Peneropongan dapat dilakukan untuk mengetahui fertilitas dan kematian embrio. Telur yang tidak fertil dapat diketahui setelah 15-18 jam inkubasi. Pemeriksaan kedua dapat dilakukan setelah 14 sampai 16 hari inkubasi, embrio yang mati dapat dikeluarkan dari inkubator (Ensminger et al., 2004).

Posisi Telur

Penempatan telur pada mesin tetas memanjang sumbu horizontal atau vertikal. Bagian yang tumpul dari telur harus berada dibagian atas ketika telur diletakkan secara vertikal. Bagian tumpul tersebut terdapat banyak pori-pori kerabang yang memungkinkan lebih besar kehilangan uap air dan gas dibandingkan bagian lain pada kerabang (Ensminger et. al., 2004).

Waktu Inkubasi

Waktu inkubasi pada telur ayam yaitu 21 hari. Semakin besar ukuran telur maka waktu inkubasi yang diperlukan semakin lama, begitu juga dengan telur yang berukuran kecil membutuhkan waktu yang lebih cepat (Ensminger et al., 2004).

Daya Tetas

(24)

11 Fertilitas

Fertilitas merupakan kemampuan untuk bereproduksi. Fertilitas dipengaruhi oleh jumlah betina yang dikawinkan dengan seekor jantan (sex ratio), umur ayam, lama waktu mulai ayam kawin sampai telur dikumpulkan untuk ditetaskan manajemen pemeliharaan pembibitan, pakan, dan musim (Ensminger et al., 2004). Genetik

Closebreeding tanpa adanya seleksi pada ayam dapat menurunkan daya tetas karena adanya gen lethal (Ensminger et al., 2004). Crossbreeding menghasilkan daya tetas yang tinggi, hal itu dapat terlihat dari strain produksi, fertilitas, dan daya tetas telur yang lebih tinggi (Ensminger et al., 2004 ;Oluyemi dan Robert, 1979).

Nutrien

Kekurangan nutrien mungkin dapat menyebabkan mortalitas embrio yang tinggi atau menetasan anak ayam yang lemah (Williamson dan Payne, 1993).Telur harus mengandung semua nutrien yang dibutuhkan embrio. Induk harus mendapatkan rasio pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrien yang diperlukan untuk menyuplai nutrien yang diperlukan untuk perkembangan embrio (Ensminger et al., 2004). Kebutuhan umum yang harus tersedia dalam jumlah yang lebih banyak untuk menghasilkan telur tetas yang baik diantaranya adalah protein, karbohidrat, dan lemak (Funk dan Irwin, 1955). Kandungan pakan ayam lokal periode bertelur ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Pakan Ayam Lokal Periode Bertelur

No Kandungan Nutrien Jumlah

1. Kadar air (KA) maksimal (%) 14

2. Energi metabolis (kkal/kg ransum) 2600

3. Protein kasar (PK) (%) 15

4. Kalsium (Ca) (%) 3,4

5. Phosphor (P) (%) 0,34

6. Serat kasar (SK) (%) Maksimal 5

(25)

12 Kebutuhan protein pakan unggas dipengaruhi oleh suhu lingkungan, umur, spesies atau bangsa atau strain, kandungan asam amino, dan kecernaan (Widodo, 2002). Kebutuhan kalsium lebih besar ketika unggas mulai memproduksi telur dibandingkan saat pertumbuhan, karena kalsium diperlukan untuk pembentukan kerabang telur (Mulyantini, 2010). Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan sumber pati yang terkandung dalam pakan. Pati adalah bagian dari karbohidrat yang mudah dicerna dan merupakan sumber energi utama bagi unggas (Sodak, 2011).

Penyakit

Pullorum disebabkan oleh Salmonella pullorum. Chronic Respiratory Desease (CRD) juga merupakan penyakit yang mempengaruhi daya tetas. Penyakit ini disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum. Penyakit lain yang dapat mempengaruhi embrio secara langsung adalah Newcastle Disease dan infeksi bronchitis. Telur yang berasal dari induk yang terinfeksi penyakit ini pada umumnya tidak akan menetas dengan baik (Ensminger et al., 2004).

Seleksi telur

Karakteristik fisik telur biasanya berhubungan dengan daya tetas telur diantaranya ukuran telur, bentuk telur, kualitas kerabang, dan kualitas interior. Kualitas kerabang menunjukkan jumlah kalsium dan vitamin D yang dapat dimanfaatkan embrio untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang. Kualitas interior pada telur dapat dilakukan dengan cara candling dengan melihat perpindahan kuning telur (Ensminger et al., 2004).

Penanganan telur pada penetasan

Penanganan telur meliputi pengumpulan telur, kebersihan telur, sanitasi, pengaturan suhu dan kelembaban saat penetasan, posisi telur, serta pemutaran telur (Ensminger et al., 2004).

Pembentukan Awal Embrio

(26)

13 Siegel, 2003). Secara umum, semakin kecil unggas, semakin kecil telur, suhu tubuh tinggi, dan periode inkubasi yang pendek (Card dan Neishem, 1972).

Pembelahan sel terjadi tiga jam setelah fertilisasi atau ketika telur masuk ke dalam isthmus dari oviduct. Pembelahan kedua terjadi sekitar 20 menit kemudian (Funk dan Irwin, 1955). Pembelahan ketiga, tahap untuk membentuk 8 sel, biasanya terjadi di isthmus, dan pada saat telur masuk ke dalam uterus berlanjut ke tahap pembentukan 16 sel. Tahapan pembelahan berlanjut untuk kira-kira 256 sel dalam waktu 4 jam (Card dan Neishem, 1972). Hasil proses pembelahan pada saat telur tetap di oviduct yaitu terbentuknya sebuah lapisan. Lapisan yang terbentuk merupakan lapisan tunggal pertama dari sel, tetapi kemudian terdapat beberapa lapisan tebal. Akhirnya sel yang terdapat pada pusat blastoderm menjadi terpisah dari kuning telur untuk membentuk rongga, yang disebut blastocole. Blastoderm dipisahkan menjadi dua lapisan sel saat sebelum ditelurkan atau tidak lama setelahnya dengan proses gastrulasi (Card dan Neishem, 1972).

Proses gastrulasi merupakan proses pembentukan tiga lapis kecambah, yaitu ektoderm, mesoderm dan endoderm. Lapisan pertama yaitu ektoderm, membentuk kulit, bulu, paruh, jari atau cakar, sistem saraf, lensa dan retina mata, serta lapisan pada mulut dan ekor. Lapisan kedua adalah endoderm, membentuk saluran pencernaan dan organ respirasi. Setelah inkubasi terbentuk lapisan ketiga yaitu mesoderm. Mesoderm membentuk tulang, otot, darah, organ reproduksi dan ekskresi. Pertumbuhan embrio paling besar terjadi setelah hari ketujuh pertumbuhan awal (Ensminger et.al., 2004). Gastrulasi dimulai dengan migrasi sel epiblas dan berkumpul di area pelucida yang terlihat sebagai sebuah penebalan. Penebalan ini memanjang di tengah area pelucida membentuk garis primitif. Perubahan struktur pertamakali setelah telur diinkubasi yaitu munculnya garis primitif (Card dan Neishem, 1972).

(27)

14 epiblas dan endoderm membentuk mesoderm. Lapisan epiblas selanjutnya disebut ektoderm (Kardong, 2009).

Pertumbuhan sel-sel epiblas di anterior lebih cepat dibandingan di daerah posterior. Tahap ini garis primitif mencapai panjang maksimum (Card dan Neishem, 1972). Garis primitif selanjutnya regresi ke arah kaudal, notokorda yang terbentuk akan semakin panjang. Pada tahap inilah terjadinya proses neurulasi. Neurulasi merupakan proses pembentukan buluh syaraf dari lapis kecambah ektoderm Proses neurulasi diikuti oleh perkembangan struktur dasar tubuh. Proses ini dimulai dengan induksi notokorda pada lapis ektoderm sehingga membentuk lempeng syaraf. Lempeng syaraf melipat ke arah dorsal dan median yang kemudian akan menyatu sehingga membentuk buluh syaraf. Pemanjangan buluh saraf terus terjadi seiring bertambahnya umur embrio. Pada saat yang bersamaan, lapisan mesoderm membentuk lempeng-lempeng mesoderm yang disebut somite (Kardong, 2009).

Tulang Belakang (Somite)

Somitogenesis adalah proses pembagian sumbu anterior-posterior embrio vertebrata ke dalam unit-unit morfologi yang sama, dikenal sebagai somite. Somite terbentuk berpasangan dengan pembentukan pertama pada akhir tengkorak dari mesoderm paraxial, terus kaudal. Ritme produksi somite adalah karakteristik dari spesies pada suhu tertentu (Nurunnabi et al. 2010). Somite terbentuk dari presomitic mesoderm dan somite muncul untuk memberi pertumbuhan pada tulang belakang serta otot skeletal dari tubuh (Pourquie, 2004).

(28)

15 Gambar 5. Tampak Punggung Embrio Ayam pada Tahap Garis Primitif (Sekitar 16

Jam Inkubasi) Sumber : Patten (1920)

Garis primitif terletak pada sumbu longitudinal embrio. Ujung yang berakhir pada area opaca adalah ujung posterior ekor. Ujung kepala dari garis primitif meluas untuk membentuk lubang primitif. Bagian depan lubang primitif, lipatan primitif kanan dan kiri bergabung pada garis tengah untuk membentuk simpul Hensen (Patten,1920).

Perkembangan Embrio Setelah 22-28, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi

Radboud University Nijmegen (2011) menyatakan bahwa pembentukan somite setelah 24 jam inkubasi ditandai dengan empat sampai lima pasang somite. Struktur tersebut akan berdiferensiasi menjadi tulang belakang, tulang rusuk, bagian dari kulit dan otot punggung (Tabel 4). Tahap pembentukan somite setelah 33-36 jam inkubasi ditandai dengan terbentuknya 12 sampai 13 pasang somite (Tabel 4). Tahap ini juga ditandai dengan terbentuknya jantung berbentuk S yang menjorok kekanan dari embrio

(29)

16 Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam setelah 22-28, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi

Tahap Perkembangan Gambar Keterangan

24 jam inkubasi 1= Area opaca,

2 = Area pelucida,

3 = Neural fold,

4 = head folding,

5 = Foregut,

6 = Neural groove,

7 = Somite,

8 = Chorda,

9 = unsegmented mesoderm,

10 = Hensen's node,

11 = Primitive streak

33 jam inkubasi 1 = Proamnion

2 = Prosencephalon,

3 = Mesencephalon,

4 = Rhombencephalon,

5 = Somite,

6 = Eye vesicle,

7 = Foregut,

8 = Chorda,

9 = Heart,

10 = Lateral mesoderm,

11 = Spine,

12 = Sinus rhomboidalis,

13 = Primitive streak,

(30)

17 Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam setelah 22-28, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi

(Lanjutan)

Tahap Perkembangan Gambar Keterangan

36 jam inkubasi 1 = Prosencephalon,

2 = Eye vesicle,

48 Jam Inkubasi 1 = Amnion, 2 =Metencephalon,

3 =Mesencephalon,

(31)

18 diletakkan di inkubator, dan ukuran masing-masing telur. Hasil penelitian Nurunnabi et al. (2010), terlihat bahwa perkembangan somite pada embrio ayam Local (deshi) Hen sangat cepat dibandingkan perkembangan somite pada embrio ayam tipe Plymouth Rock Hen. Hasil rataan jumlah pasangan somite pada dua jenis ayam tersebut ditunjukkan pada Tabel 5. menurut Nurunnabi et al. (2010) ditunjukkan pada Gambar 6.

Tabel 5. Rataan Jumlah Somite setelah(24, 36, dan 48 Jam) Inkubasi Waktu Inkubasi

(Jam) Local (deshi) Hen Plymouth Rock Hen

24 1,02 ± 0,34 0,86 ± 0,65

36 12,26 ± 2,14 10,24 ± 2,58

48 21,34 ± 2,57 18,62 ± 0,84

Sumber : Nurunnabi et al. (2010)

Gambar 6. Gambaran Perkembangan Somite Setelah 24, 36, dan 48 Jam Inkubasi

Keterangan : Lingkaran Merah Menunjukkan Somite; A = Perkembangan Somite Setelah 24 Jam Inkubasi; B = Perkembangan Somite Setelah 36 Jam Inkubasi; C = Perkembangan

Somite Setelah 48 Jam Inkubasi

Pengaruh Penyimpanan Telur Tetas Sebelum diinkubasi terhadap Perkembangan Somite

(32)

19 melakukan penelitian terhadap telur tetas ayam White Leghorn dan kalkun dengan umur telur 0, 1, 3, 7, 10,14, 21, dan 28 hari. Inkubasi dilakukan pada suhu 37.5°C dengan kelembaban relatif 66%.

Berdasarkan hasil penelitian (Arora dan Kosin, 1966) diperoleh informasi bahwa perkembangan tulang belakang pada telur yang disimpan dalam waktu lama akan mengalami penundaaan atau lambat. Rataan jumlah somite yang diperoleh setelah 40 jam inkubasi pada telur tetas ayam White Leghorn umur telur 0, 7, dan 14 hari berturut-turut yaitu 11,8 ± 0,31 pasang somite, 7,8 ± 0,19 pasang somite, dan 5,2 ± 0,37 pasang somite. Penambahan waktu inkubasi pada telur yang telah mengalami penyimpanan selama 7 dan 14 hari yaitu 9 dan 12 jam.

Telur yang disimpan lebih dari 7 hari sebelum inkubasi akan menurunkan daya tetas dan kualitas anak ayam yang dihasilkan. Efek negatif tersebut terjadi karena penurunan daya hidup embrio serta peningkatan kematian sel (Reijrink, 2010). Penyimpanan telur dalam waktu yang lama mengakibatkan menipisnya kerabang telur, kerabang telur semakin porous dan lapisan kutikula akan berkurang (Pribadi, 2000). Kutikula merupakan pelindung dari penetrasi bakteri kedalam telur (Yuwanta, 2010).

(33)

20 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2012. Pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, ketebalan kerabang, berat kerabang dan inkubasi telur dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis nutrien telur ayam Arab dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Perkembangan awal embrio dan somite diamati di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Materi

Sampel telur tetas yang digunakan pada penelitian ini adalah 99 butir telur tetas umur 0, 7, dan 12 hari dari induk yang berumur 42 minggu. Masing-masing umur telur terdiri dari 30 butir telur tetas, yang digunakan untuk pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, ketebalan kerabang, berat kerabang dan perkembangan somite. Sembilan butir telur tetas digunakan untuk analisis nutrien telur (masing-masing perlakuan terdiri dari tiga butir telur tetas). Bahan yang digunakan untuk pengamatan perkembangan somite yaitu embrio ayam dari telur yang telah diinkubasi (24, 33-36, dan 48 jam), larutan NaCl 0.72% (123mM), larutan Bouin (asam pikrat jenuh : formalin 37%: asam asetat glasial = 15:5:1), etanol 70%, etanol 96%, etanol absolute, xylol, pewarna carmine acid dan entellan (perekat pada cover glass agar udara tidak masuk ke preparat).

(34)

21 bedah ukuran kecil (gunting lurus dan bengkok, pinset), cawan petri plastik (dimeter 5 dan 3.5 cm), gelas piala (30 mL), kertas saring (bentuk seperti raket dengan diameter sesuai dengan ukuran embrio yang akan dipanen), dan mikroskop Olympus model CH20. digunakan dalam penelitian ini diseleksi terlebih dahulu sebelum telur tersebut diinkubasi. Seleksi telur dilakukan pada setiap telur yang meliputi berat telur, indeks bentuk telur, dan kedalaman kantung udara. Ketebalan dan berat kerabang diukur setelah telur diinkubasi (setelah embrio pada telur tersebut dipanen). Persiapan peralatan inkubasi dilakukan setelah seleksi telur. Fumigasi pada mesin tetas dilakukan 24 jam sebelum mesin tetas digunakan untuk inkubasi. Dosis yang digunakan untuk fumigasi mesin tetas yaitu dosis tiga kali dengan formalin sebanyak 7,63 ml dan kalium permanganat 3,82 g. Fumigasi juga dilakukan pada telur tetas sebelum telur diinkubasi. Fumigasi telur tetas menggunakan dosis satu kali dengan formalin sebanyak 6,45 ml dan kalium permanganat 3,23 g. Inkubasi telur dilakukan setelah fumigasi mesin tetas dan telur tetas.

Peubah yang diamati antara lain: 1. Kualitas Eksterior Telur

a. Berat telur diperoleh dengan menimbang telur menggunakan timbangan digital model BL-1500/0,01.

b. Indeks bentuk telur (panjang dan lebar). Indeks telur dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar telur menggunakan jangka sorong.

Lebar Telur

Indeks Bentuk Telur = x 100% Panjang Telur

(35)

22 tampak saat telur diteropong dilingkari dengan pensil, kemudian diukur menggunakan official egg cell gauge.

2. Kualitas Interior Telur

a. Berat kerabang ditimbang setelah kerabang dibersihkan dan diangin- anginkan untuk mengurangi kadar airnya. Kerabang ditimbang menggunakan timbangan digital model BL-1500/0,01.

b. Tebal kerabang telur diukur setelah selaput putih bagian dalam kerabang dilepas. Pengukuran dilakukan menggunakan micrometer.

c. Kandungan nutrien telur dianalisis meliputi kandungan protein kasar, lemak kasar, serat kasar, kadar air, dan abu serta kandungan Ca dan P kerabang telur. Analisis kimia telur (abu, protein kasar, lemak kasar) menggunakan metode Association of Official Analytical Chemist/AOAC (2005). Kandungan Ca dan P dianalisis dengan Atomic Absorption Spectofoto-meters/AAS dan fotometri. Sampel telur tetas yang dianalisis yaitu sebanyak sembilan butir telur ( tiga butir telur untuk masing-masing perlakuan).

Pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara dan analisis nutrien telur dilakukan sebelum telur diinkubasi. Ketebalan kerabang, berat kerabang diukur satelah telur diinkubasi (setelah embrio pada telur tersebut dipanen). Pengamatan kualitas eksterior (berat telur, indeks bentuk telur, dan kedalaman kantung udara) dan kualitas interior telur (ketebalan dan berat kerabang) dilakukan pada 90 butir telur tetas (30 butir telur untuk masing-masing perlakuan).

Inkubasi Telur Tetas

(36)

23 Pengamatan Perkembangan Somite

1. Panen Embrio

Panen embrio dilakukan setelah telur diinkubasi 24, 33-36, dan 48 jam. pada setiap panen embrio, sebanyak 10 butir telur dipecah untuk masing-masing perlakuan umur telur (0, 7, dan 12 hari). Panen embrio dimulai dengan memanaskan NaCl pada suhu 32 - 37°C. Telur diletakkan di atas gelas piala dengan ujung tumpul pada bagian atas, ujung telur diketuk secara perlahan dengan pinset sampai berlubang kemudian kerabang telur dikupas sampai setengahnya. Putih telur dibuang tanpa memecah kuning telur, lalu kuning telur dituangkan ke cawan petri. Kuning telur digulingkan sampai posisi embrio tepat di atas, embrio diambil dengan kertas saring berbentuk raket yang ditempelkan pada permukaan embrio. Selaput vitelin digunting pada daerah sekeliling kertas saring, kemudian kertas saring diangkat (embrio menempel dikertas saring). Kuning telur yang melekat pada embrio dibersihkan dengan NaCl hangat di dalam cawan petri kecil, setelah bersih embrio yang masih menempel pada kertas saring dipindahkan ke cawan petri kecil yang berisi NaCl hangat. Selaput vitelin dipisahkan dari embrio dengan menggoyang-goyangkan kertas saring sampai embrio (blastoderm) lepas. 2. Pencucian Embrio

Embrio dicuci beberapa kali dengan NaCl hangat dengan cara memipet NaCl dari cawan petri lalu ditambahkan NaCl yang baru tampa memindahkan embrio. NaCl yang tersisa dipipet dan posisi embrio diatur agar terentang dengan sempurna, lalu diteteskan larutan fiksatif (Bouin) secara perlahan sampai embrio terendam dengan cukup (2/3 tinggi cawan petri). Larutan Bouin diganti setelah 24 jam dengan etanol 70% sampai warna kuning pikrat hilang. Embrio dapat disimpan sampai proses pembuatan preparat selanjutnya selama etanol 70% tidak habis menguap.

3. Pewarnaan Embrio

(37)

24 etanol 70%). Embrio dibandingkan dengan preparat yang telah jadi untuk perbandingan intensitas warna. Kemudian, secara berturut-turut diganti kedalam etanol 95% (2x), etanol absolute (2x), dan xylol (3x), masing-masing selama 15-30 menit.

4. Pembuatan Preparat

Tahapan selanjutnya setelah pewarnaan embrio yaitu pembuatan preparat. Embrio yang telah diwarnai dan diperoleh intensitas warna yang diinginkan dapat dimounting pada gelas objek yang sudah diberi entellan terlebih dahulu (perekat yang digunakan untuk mencegah masuknya udara pada preparat) dan ditutup dengan kaca penutup 22x22 mm. Embrio yang telah dimounting dijaga agar tidak terbentuk gelembung udara. Bila terbentuk gelembung udara embrio dapat dimounting ulang dengan cara direndam didalam xylol sampai embrio lepas dari objek gelas, lalu dilakukan pengulangan mounting yang sama dengan tahapan sebelumnya. Bila tidak terbentuk gelembung udara, preparat yang telah terbentuk dapat diamati dibawah mikroskop Olympus model CH20. Embrio yang diamati dibawah mikroskop kemudian di potret menggunakan kamera digital Sony DSC W30. Hasil pengamatan disesuaikan dengan standar perkembangan somite menurutRadboud University Nijmegen (2011) dan Nurunnabi et al (2010).

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, ketebalan dan berat kerabang dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan yaitu umur telur 0, 7, dan 12 hari. Setiap perlakuan terdiri dari 30 ulangan. Model matematika menurut Gaspersz (1991) sebagai berikut:

Yij = µ + Pi + εij

Keterangan:

Yijk = pengaruh faktor umur telur terhadap berat telur, indeks bentuk telur,

ketebalan kerabang, dan berat kerabang taraf ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai rataan umum hasil pengamatan

(38)

25

εij = pengaruh galat pada umur telur ke-i dan ulangan ke-j

(39)

26 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Pakan

Pakan yang digunakan pada peternakan Trias Farm mengandung protein kasar dan kalsium yang lebih tinggi 5,67% dan 1,27% dibandingkan dengan standar kebutuhan pakan ayam lokal periode bertelur menurut Kementrian Pertanian (2006) (Tabel 6). Namun, kandungan kalsium pakan tersebut sudah memenuhi standar minimal kebutuhan kalsium pakan ayam petelur lokal menurut Kementrian Pertanian (2006). Kandungan nutrien pakan ayam Arab pada peternakan Trias Farm ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan Nutrien Pakan pada Peternakan Ayam Arab Peternakan Trias Farm

Nutrien Peternakan Trias Farm Kementrian Pertanian (2006)

Keterangan:1Hasil analisis Lab. Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Pusat Antar Universitas IPB (2012); 2Hasil analisis Lab Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2012); 3Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) = 100% - (PK+LK+SK+Abu)%; 4Energi Metabolis = 0,725 x Energi Bruto.

(40)

27 faktor antaralain kecepatan bertelur, besar ayam, umur ayam, dan suhu kandang. (Mulyantini, 2010).

Lemak kasar dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi (Bell dan Weaver, 2002). Serat kasar pakan unggas maksimal menurut ketentuan Kementrian Pertanian (2006) yaitu 5%. Pada peternakan Trias Farm menggunakan 3,25% serat kasar, sehingga kandungan serat kasar ini dapat dikatakan memenuhi standar kebutuhan serat kasar menurut Kementrian Pertanian (2006). Kandungan fosfor pada pakan peternakan Trias Farm lebih rendah (0,03%) jika dibandingkan dengan ketentuan Kementrian Pertanian (2006). Perbedaan ini tidak terlalu jauh, sehingga dapat dikatakan bahwa kandungan fosfor pakan peternakan Trias Farm memenuhi standar kebutuhan fosfor menurut Kementrian Pertanian (2006) (Tabel 6). Kekurangan fosfor mengakibatkan proses kalsifikasi yang tidak sempurna sehingga kualitas dan kekuatan kerabang menurun dan dapat menyebabkan demineralisasi pada kerangka ayam petelur. Namun, kelebihan fosfor juga dapat menghambat pelepasan kalsium tulang dan pembentukan kalsium karbonat untuk pembentukan kerabang sehingga dapat mengurangi kualitas kerabang telur (Bell dan Weaver, 2002; Mulyantini, 2010).

(41)

28 penelitian ini berasal dari umur induk yang sama (42 minggu), serta pakan yang diberikan sama. Berat telur tetas pada ketiga umur telur ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Berat Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari

Umur Telur (hari) N Berat Telur (g/butir)

0 30 46,95 ± 2,74

7 30 46,05 ± 2,56

12 30 45,53 ± 2,43

Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda (P > 0,05).

Faktor yang mempengaruhi berat telur yaitu genetik dan umur ayam, pakan, penyakit, suhu lingkungan, musim, periode produksi (awal atau menjelang akhir), umur dewasa kelamin, besar tubuh, banyaknya telur yang dihasilkan dan sistem pengelolaan ayam (North dan Bell, 1990; Dharma et al., 2001).

Umur telur tidak berpengaruh terhadap berat telur tetas, namun jika dilihat dari hasil rataan berat telur tetas pada masing-masing umur telur mengalami penurunan. Persentase penurunan rataan berat telur tetas dari telur tetas umur 0 hari ke telur tetas umur 7 dan 12 hari masing-masing yaitu 1,92% dan 3,02% (Tabel 7). Penurunan berat telur selama penyimpanan kemungkinan disebabkan oleh hilangnya kadar air dari albumen, tetapi penguapan yang terjadi mungkin tidak besar sehingga penurunan berat telur tidak nyata dipengaruhi oleh umur telur. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa air merupakan komponen terbesar yang terdapat pada putih telur. Penurunan berat telur selama penyimpanan kemungkinan juga disebabkan oleh lepasnya gas, seperti CO2, ammonia, nitrogen, dan kadang hydrogen sulfida yang

sebagian besar merupakan hasil dari perubahan kimia pada telur. Kehilangan berat telur terjadi seiring bertambahnya waktu penyimpanan telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).

Indeks Bentuk Telur

(42)

29 telur (Dharma et al., 2001; Sodak, 2011). Nilai indeks bentuk telur tetas ayam Arab pada telur umur 0,7, dan 12 hari ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Indeks Bentuk Telur Tetas Ayam Arab Umur 0, 7, dan 12 Hari

Umur Telur (hari) N Indeks Bentuk Telur (%)

0 30 76,85 ± 2,84

7 30 77,47 ± 2,19

12 30 77,39 ± 2,44

Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda (P > 0,05).

Faktor yang mempengaruhi indeks bentuk telur salah satunya adalah umur induk, semakin tua umur induk nilai indeks bentuk telur semakin tinggi. Bertambahnya umur ayam, kemungkinan menyebabkan ukuran alat reproduksi khususnya isthmus semakin besar dan lebar sehingga telur yang dihasilkan cenderung bulat dan mengakibatkan indeks bentuk telur tinggi (Sodak, 2011). Berdasarkan hasil rataan nilai indeks bentuk telur diperoleh bahwa telur dengan umur 0 hari memiliki indeks bentuk telur yang rendah dibandingkan telur dengan umur 7 dan 12 hari (Tabel 8), namun masih berada dalam rataan indeks bentuk telur tetas ayam lokal yang baik menurut Wardiny (2002) yaitu 76-78%.

Kantung Udara Telur

(43)

30 Tabel 9. Kantung Udara Telur Tetas Ayam Arab pada Umur telur 0, 7, dan 12 Hari

Umur Telur (hari)

N Persentase Kualitas Kantung Udara

AA (%) A (%)

0 30 100 TA

7 30 83,33 % 16,67 %

12 30 40 % 60 %

Keterangan : TA = tidak terdapat kualitas kantung udara A pada telur tetas umur 0 hari; AA = kedalaman kantung udara 0,3 cm; A = kedalaman kantung udara 0,3 – 0,6 cm

Berdasarkan persentase kualitas kantung udara yang diperoleh (Tabel 9), kantung udara semakin besar dengan bertambahnya umur simpan telur. Kantung udara semakin bertambah besar karena adanya penguapan air di dalam telur atau penyusutan berat telur. Suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah dapat menyebabkan kantung udara cepat membesar (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kantung udara dipengaruhi oleh lama dan suhu penyimpanan telur, kelembaban dan perubahan internal dari telur (Yuwanta, 2010).

Karakteristik Interior Telur Tetas

Karakteristik Kerabang Telur

(44)

31 Tabel 10. Rataan Ketebalan Kerabang dan Berat Kerabang Telur Tetas Ayam Arab

pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari

Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda (P > 0,05)

Penurunan nilai rataan ketebalan kerabang dan berat kerabang kemungkinan karena selama penyimpanan terjadi penguapan H2O yang bereaksi dengan lapisan

kutikula (Ca) yang mengakibatkan kerabang semakin porous sehingga lapisan kutikula akan semakin berkurang (Pribadi, 2000). Rataan tebal kerabang telur yang diperoleh pada penelitian ini berada dalam kategori baik menurut (North dan Bell, 1990) yaitu antara 0,33 mm dan 0,35 mm.

Komposisi Kimia Telur

Bahan kering telur meningkat seiring dengan meningkatnya umur telur, namun, masih berkisar 28% pada semua perlakuan. Peningkatan bahan kering mengakibatkan penurunan kadar air (Tabel 11).

Tabel 11.Komposisi Kimia Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari

(45)

32 Penurunan kadar air pada telur kemungkinan karena terjadinya penguapan selama penyimpanan, namun kemungkinan penguapan yang terjadi tidak terlalu besar. Hal ini didukung oleh hasil rataan berat telur, dimana berat telur tidak nyata dipengaruhi oleh peningkatan umur telur (Tabel 7). Kandungan protein telur umur 7 dan 12 hari lebih rendah 2,4 % dan 3,4 % dibandingkan dengan kandungan protein telur umur 0 hari. Kandungan protein telur menurun seiring dengan bertambahnya umur simpan telur (Tabel 11). Kandungan protein telur dengan kandungan air 65,5% menurut Ensminger et al (2004) yaitu sebesar 11,8 %. Kandungan protein telur selain dipengaruhi oleh umur telur, juga dipengaruhi oleh protein pakan. Pakan ayam petelur yang baik memiliki kadar protein kasar 15% (Kementrian Pertanian, 2006). Pada penelitian ini kandungan protein kasar pakan yang digunakan yaitu sebesar 20,67%.

Kandungan serat kasar pada telur tetas yang disimpan 0,7, dan 12 hari adalah sama yaitu 0,01%). Kandungan lemak terendah terdapat pada telur umur 12 hari yaitu 7,00% (Tabel 11). Persentase kandungan lemak telur yang diperoleh berasal dari putih dan kuning telur. Deposit lemak terbanyak terdapat pada kuning telur (Sodak, 2011). Lemak pada telur dengan kandungan air 65,5% menurut Ensminger et al (2004) yaitu sebesar 11%.

(46)

33 Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas

Suhu dan kelembaban mesin tetas sangat diperlukan untuk perkembangan embrio yang optimal. Kelembaban relatif dan suhu harus diatur selama penetasan agar kehidupan embrio di dalam telur dapat dipertahankan pada tingkat optimal (Williamson dan Payne, 1993). Suhu mesin mesin tetas yang ditunjukkan bola kering konstan selama penelitian yaitu 36°C, sedangkan suhu mesin tetas yang ditunjukkan bola basah mengalami perubahan selama penelitian dengan kisaran 30-33°C (Tabel 12).

Tabel 12. Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas Selama Inkubasi

Tanggal / Waktu Suhu (°C) Kelembaban (%)

Suhu merupakan pertimbangan lingkungan yang paling penting selama inkubasi untuk perkembangan embrio. Suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan mortalitas embrio meningkat, sebaliknya suhu yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan embrio dan telur tidak menetas (Mulyantini, 2010). Oleh karena itu dibutuhkan suhu mesin tetas yang tepat untuk perkembangan embrio yang optimal. Kisaran suhu mesin tetas selama penelitian ini (Tabel 12) berada di bawah suhu optimal perkembangan embrio menurut Ensminger et.al (2004) yaitu 37,2-39,4°C, Faktor yang mempengaruhi perbedaan suhu optimum perkembangan embrio pada masing-masing telur yaitu ukuran telur, kualitas kulit telur, genetik (breed atau strain), umur telur saat dimasukkan dalam inkubator, kelembaban inkubasi (Mulyantini, 2010).

(47)

34 diperoleh pada hari pertama inkubasi mencapai 75-81%, hal ini kemungkinan menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan perkembangan embrio yang lambat saat 24 jam inkubasi pada telur tetas umur 7 dan 12 hari dan ditemukanya embrio yang mati pada awal inkubasi.

Kematian Embrio

Kematian embrio ditemukan pada telur tetas umur penyimpanan 12 hari setelah 24 jam dan 33-36 jam inkubasi. Persentase kematian embrio tertinggi ditemukan setelah 36 jam inkubasi pada umur telur 12 hari (Tabel 13).

Tabel 13. Persentase Kematian Embrio Telur Tetas Umur 0, 7, dan 12 Hari pada 24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi

Waktu Inkubasi

(Jam)

Kematian Embrio

0 Hari* 7 Hari* 12 Hari*

Σ Embrio % Σ Embrio % Σ Embrio %

24 6 0 6 0 6 16,67

36 7 0 6 0 6 33,33

48 5 0 6 0 7 0

Keterangan : * umur telur

(48)

35

Gambar 7. Kematian Embrio Telur Tetas Umur 12 Hari. (A) Kematian Embrio Sebelum Inkubasi; (B) Kematian Embrio Saat Awal Inkubasi

Embrio yang mati saat 24 jam inkubasi pada telur tetas umur 12 hari kemungkinan karena kelembaban relatif yang sangat tinggi pada 24 jam inkubasi yaitu berkisar 75- 81% dan perubahan yang terjadi pada telur selama penyimpanan. Kelembaban relatif yang tinggi kemungkinan mengakibatkan air yang berada didalam telur tidak mengalami penguapan dengan laju yang tetap atau terhambatnya laju penguapan yang mengakibatkan embrio sulit bernafas sehingga embrio mati. Hal lain yang menyebabkan embrio mati pada kondisi kelembaban relatif yang tinggi kemungkinan karena masuknya uap air melalui pori-pori kerabang sehingga terjadi penimbunan cairan di dalam telur. Akibatnya embrio tidak dapat bernapas dan mengalami kematian.

Embrio dari telur yang disimpan dalam waktu lama sebelum inkubasi memiliki efek diantaranya, tidak terjadinya pertumbuhan embrio saat inkubasi atau pertumbuhan embrio yang lambat dibandingkan telur yang disimpan dalam waktu singkat, dan dapat terjadi keduanya. Penyimpanan telur dalam waktu yang lama akan meningkatkan kematian sel (Fasenko, 2007). Kematian embrio selama penyimpanan dan perkembangan yang lambat pada embrio telur yang telah mengalami penyimpanan, kemungkinan karena adanya perubahan yang terjadi pada telur selama penyimpanan.

Perkembangan Tulang Belakang (Somite)

(49)

36 Tabel 14. Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur

(50)

37 Perkembangan Tulang Belakang Setelah 24 Jam Inkubasi

Pada telur tetas umur 0 hari, perkembangan somite terlihat pada tahap 24 jam setelah inkubasi. Somite terlihat pada sisi kiri dan kanan dari dinding saraf dengan rataan 5,67 ± 2,34 pasang somite. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Radboud University Nijmegen (2011) dimana, rataan somite yang diperoleh setelah 24 jam inkubasi yaitu empat sampai lima pasang somite. Namun, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nurunnabi et al (2010) rataan jumlah somite yang terbentuk pada embrio ayam Arab setelah 24 jam inkubasi lebih tinggi dibandingkan jumlah somite yang terbentuk pada embrio ayam local (deshi) hen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya pengaruh perbedaan genetik. Nurunnabi et al (2010) menyatakan bahwa, perbedaan genetik pada dua strain yang berbeda memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan embrio. Perkembangan embrio setelah 24 jam inkubasi pada telur tetas umur 7 dan 12 hari sampai pada tahap pembentukan garis primitif serta ditemukanya satu embrio yang mati pada telur tetas umur 12 hari (Tabel 14). Embrio yang sampai pada tahap pembentukan garis primitif setelah 24 jam mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan perkembangan embrio pada telur tetas umur 0 hari. Embrio yang lambat berkembang kemungkinan karena pengaruh dari penyimpanan telur sebelum diinkubasi, sehingga saat diinkubasi embrio tidak langsung merespon suhu dan kelembaban inkubasi yang diberikan.

(51)

38 Perkembangan Tulang Belakang setelah 33-36 Jam Inkubasi

Perkembangan somite pada embrio telur tetas umur 7 hari mulai terlihat setelah 33-36 jam inkubasi dengan rataan 7,50 ± 1,64 pasang somite. Rataan jumlah somite yang terbentuk lebih sedikit jika dibandingkan dengan rataan somite yang terbentuk pada embrio telur tetas umur 0 hari. Kepala dan jantung mulai terlihat pada telur tetas umur 0 hari (Gambar 9 C.2). Somite yang terbentuk setelah 33-36 jam inkubasi pada telur tetas umur 0 dan 7 hari lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Radboud University Nijmegen (2011) dimana rataan somite yang terbentuk yaitu 12 sampai 13 somite. Hal ini kemungkinan karena embrio tersebut berkembang lambat, sehingga saat dipanen setelah 33-36 jam inkubasi embrio masih berada pada tahapan pembentukan somite awal dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan somite yang terbentuk pada telur tetas umur 0 hari. Perkembangan embrio yang lambat kemungkinan karena perubahan yang terjadi pada telur akibat dari penyimpanan sebelum inkubasi.

Somite hanya terbentuk pada satu embrio telur tetas umur 12 hari. Jumlah somite yang terbentuk pada embrio tersebut sebanyak lima pasang, sedangkan embrio lainnya sampai pada tahap pembentukan garis primitif dan terdapatnya dua embrio yang mati (Tabel 14). Satu embrio kemungkinan mati saat penyimpanan dan satu embrio kemungkinan mati saat awal inkubasi (24 jam inkubasi). Garis primitif yang terbentuk pada telur tetas umur 12 hari setelah 33-36 jam inkubasi kemungkinan karena embrio tersebut mati pada tahap sebelumya (tahap 24 jam inkubasi) sehingga saat embrio dipanen setelah 33-36 jam inkubasi embrio masih berada pada tahapan awal yaitu pembentukan garis primitif. Embrio yang sampai pada tahap pembentukan lima pasang somite kemungkinan embrio tersebut berkembang lambat, sehingga setelah 33-36 jam inkubasi jumlah somite yang terbentuk lebih sedikit jika dibandingkan dengan somite yang terbentuk pada telur tetas umur 0 dan 7 hari. Kematian embrio pada awal inkubasi kemungkinan karena kelembaban yang tinggi saat awal inkubasi dan perubahan yang terjadi pada telur saat penyimpanan. Kelembaban yang terukur saat 24 jam inkubasi yaitu berkisar antara 75-81%.

(52)

39 pada setiap telur yang digunakan. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa embrio pada telur tetas umur 12 hari mengalami perkembangan yang lambat dibandingkan embrio dari telur tetas umur 0 dan 7 hari serta embrio telur tetas umur 12 hari rentan dengan kematian pada awal inkubasi.

Perkembangan Embrio setelah 48 Jam Inkubasi

Hasil penelitian perkembangan somite pada telur tetas ayam Arab setelah 48 jam inkubasi, somite terbentuk pada semua umur telur tetas ( 0, 7, dan 12 hari). Embrio pada telur tetas umur 0 hari telihat berbentuk C organ jantung dan mata terlihat jelas (Gambar 9 C.3), sehingga jumlah somite sulit dihitung dan ditemukannya satu embrio yang memiliki 22 pasang somite (Tabel 14). Pembentukan 22 pasang somite pada satu embrio telur umur 0 hari tersebut kemungkinan karena embrio pada telur tetas tersebut berkembang lebih lambat dibandingkan embrio pada telur tetas lainnya. Namun, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nurunnabi et al, (2010) jumlah somite yang terbentuk pada telur tetas umur 0 hari ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada telur tetas ayam Local (deshi) Hen yaitu 21,34 ± 2,57 somite.

(53)

40 Gambar 8. Perbandingan Hasil Penelitian Perkembangan Embrio Setelah 48 Jam

Inkubasi pada Telur Umur 0 Hari dengan Perkembangan Embrio setelah 72 Jam Inkubasi; (A) Perkembangan Embrio setelah 48 Jam Inkubasi pada Telur Tetas Umur 0 Hari; (B) Perkembangan Embrio setelah 72 jam Inkubasi

Sumber : B. Radboud University Nijmegen (2011)

Rataan jumlah somite yang terbentuk pada telur tetas umur 7 dan 12 hari yaitu 12,67 ± 3,56, dan 13,71 ± 2, 87. Somite yang terbentuk pada telur tetas umur 12 hari hampir sama dengan somite yang terbentuk pada telur tetas umur 7 hari (Tabel 14). Embrio telur tetas umur 12 hari kemungkinan mengalami perkembangan yang cepat setelah 48 jam inkubasi, namun sangat rentan dengan kematian pada saat awal inkubasi. Perbedaan perkembangan somite kemungkinan karena akumulasi dari faktor genetik, kualitas telur, umur telur, perbedaan suhu telur saat diletakkan di inkubator, dan ukuran masing-masing telur (Nurunnabi et al.,2010). Gambar preparat embrio ayam Arab setelah 24, 33-36, dan 48 jam Inkubasi pada telur tetas umur 0, 7, dan 12 hari.

Berdasarkan data Tabel 14, terlihat bahwa perkembangan somite lambat seiring dengan bertambahnya umur telur. Umur telur yang meningkat (semakin lama penyimpanan telur) memungkinkan ditemukanya embrio yang mati pada awal inkubasi dan sebelum inkubasi (saat penyimpanan). Perkembangan somite pada umur telur 7 dan 12 hari terlihat mengalami penundaan atau lambat pada 24 jam inkubasi dibandingkan dengan telur umur 0 hari. Perkembangan somite paling lambat terjadi pada telur umur 12 hari. Hal ini didukung oleh Arora dan Kosin (1966) yang menyatakan bahwa perkembangan embrio pada telur tetas yang disimpan jangka panjang sebelum diinkubasi tidak langsung dimulai saat telur tetas diletakkan pada inkubator.

(54)

41 Gambar 9. Perkembangan Embrio Telur Tetas Ayam Arab Umur 0,7, dan 12 Hari

Setelah 24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi.

Keterangan: A= Perkembangan Embrio Telur Tetas Umur 12 Hari. (A.1) Kematian Embrio Sebelum Inkubasi; (A.2) Embrio Mati Telur Sebelum Inkubasi; (A.3) Embrio Setelah 48 Jam Inkubasi . B = Perkembangan Embrio Telur Tetas Umur 7 Hari. (B.1) Garis Primitif Setelah 24 Jam Inkubasi; (B.2) Embrio Setelah 33-36 Jam Inkubasi; (B.3) Embrio Setelah 48 Jam Inkubasi. C = Perkembangan Embrio Telur Tetas Umur 0 Hari. (C.1) Embrio Setelah 24 Jam Inkubasi; (C.2) Embrio Setelah 33-36 Jam Inkubasi; (C.3) Embrio Setelah 48 Jam Inkubasi. 1= Somite ; 2 = Garis Primitif; 3 = Area Pellucida ; 4 = Area Opaca ;

M = Mata ; J = Jantung.

Gambar

Tabel 2. Persyaratan Tingkat Mutu Telur Tetas Ayam Lokal
Tabel 3. Kandungan Nutrien Pakan Ayam Lokal Periode Bertelur
Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam setelah 22-28, 33-36, dan 48  Jam  Inkubasi
Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam setelah 22-28, 33-36, dan 48  Jam  Inkubasi
+7

Referensi

Dokumen terkait