Tahapan selanjutnya setelah pewarnaan embrio yaitu pembuatan preparat. Embrio yang telah diwarnai dan diperoleh intensitas warna yang diinginkan dapat dimounting pada gelas objek yang sudah diberi entellan terlebih dahulu (perekat yang digunakan untuk mencegah masuknya udara pada preparat) dan ditutup dengan kaca penutup 22x22 mm. Embrio yang telah dimounting dijaga agar tidak terbentuk gelembung udara. Bila terbentuk gelembung udara embrio dapat dimounting ulang dengan cara direndam didalam xylol sampai embrio lepas dari objek gelas, lalu dilakukan pengulangan mounting yang sama dengan tahapan sebelumnya. Bila tidak terbentuk gelembung udara, preparat yang telah terbentuk dapat diamati dibawah mikroskop Olympus model CH20. Embrio yang diamati dibawah mikroskop kemudian di potret menggunakan kamera digital Sony DSC W30. Hasil pengamatan disesuaikan dengan standar perkembangan somite menurutRadboud University Nijmegen (2011) dan Nurunnabi et al (2010).
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, ketebalan dan berat kerabang dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan yaitu umur telur 0, 7, dan 12 hari. Setiap perlakuan terdiri dari 30 ulangan. Model matematika menurut Gaspersz (1991) sebagai berikut:
Yij = µ + Pi + εij
Keterangan:
Yijk = pengaruh faktor umur telur terhadap berat telur, indeks bentuk telur, ketebalan kerabang, dan berat kerabang taraf ke-i dan ulangan ke-j
µ = nilai rataan umum hasil pengamatan
25
εij = pengaruh galat pada umur telur ke-i dan ulangan ke-j
Data pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, ketebalan kerabang, dan berat kerabang dianalisis menggunakan analisis ragam (Analisys of Varian/ANOVA) jika hasil yang diperoleh berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey menggunakan program Statistik 8. Hasil anaslisis pakan, analisis kimia telur, persentase kedalaman kantung udara, persentase kematian embrio, dan perkembangan tulang belakang (somite) dianalisis secara deskriptif. Rataan jumlah somite, diperoleh dari jumlah somite yang dimiliki setiap embrio dibagi dengan banyaknya embrio yang memiliki somite.
26 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Pakan
Pakan yang digunakan pada peternakan Trias Farm mengandung protein kasar dan kalsium yang lebih tinggi 5,67% dan 1,27% dibandingkan dengan standar kebutuhan pakan ayam lokal periode bertelur menurut Kementrian Pertanian (2006) (Tabel 6). Namun, kandungan kalsium pakan tersebut sudah memenuhi standar minimal kebutuhan kalsium pakan ayam petelur lokal menurut Kementrian Pertanian (2006). Kandungan nutrien pakan ayam Arab pada peternakan Trias Farm ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan Nutrien Pakan pada Peternakan Ayam Arab Peternakan Trias Farm
Nutrien Peternakan Trias Farm Kementrian Pertanian (2006)
Kadar Air 10,571 14
Protein Kasar (PK) (%) 20,671 15, 00
Lemak Kasar (LK) (%) 4, 741 -
Serat Kasar (SK) (%) 3,251 Maksimal 5,00
Abu (%) 11,921 -
Beta-N 48,853 -
Kalsium (%) 4, 672 3,4
Fosfor (%) 0,312 0, 34
Energi Metabolis (kkal/kg) 23994 2600
Energi Bruto (kkal/kg) 33092 -
Keterangan:1Hasil analisis Lab. Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Pusat Antar Universitas IPB (2012); 2Hasil analisis Lab Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2012); 3Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) = 100% - (PK+LK+SK+Abu)%; 4Energi Metabolis = 0,725 x Energi Bruto.
Kebutuhan protein untuk ayam petelur berhubungan dengan kecepatan produksi telur dan besarnya telur. Kekurangan protein dalam pakan dapat menyebabkan ukuran telur, berat dan ukuran kuning dan putih telur menjadi rendah. Kebutuhan kalsium lebih besar ketika unggas mulai memproduksi telur dibandingkan saat pertumbuhan, karena kalsium diperlukan untuk pembentukan kerabang telur. Jumlah kalsium pada pakan ayam petelur ditentukan oleh beberapa
27 faktor antaralain kecepatan bertelur, besar ayam, umur ayam, dan suhu kandang. (Mulyantini, 2010).
Lemak kasar dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi (Bell dan Weaver, 2002). Serat kasar pakan unggas maksimal menurut ketentuan Kementrian Pertanian (2006) yaitu 5%. Pada peternakan Trias Farm menggunakan 3,25% serat kasar, sehingga kandungan serat kasar ini dapat dikatakan memenuhi standar kebutuhan serat kasar menurut Kementrian Pertanian (2006). Kandungan fosfor pada pakan peternakan Trias Farm lebih rendah (0,03%) jika dibandingkan dengan ketentuan Kementrian Pertanian (2006). Perbedaan ini tidak terlalu jauh, sehingga dapat dikatakan bahwa kandungan fosfor pakan peternakan Trias Farm memenuhi standar kebutuhan fosfor menurut Kementrian Pertanian (2006) (Tabel 6). Kekurangan fosfor mengakibatkan proses kalsifikasi yang tidak sempurna sehingga kualitas dan kekuatan kerabang menurun dan dapat menyebabkan demineralisasi pada kerangka ayam petelur. Namun, kelebihan fosfor juga dapat menghambat pelepasan kalsium tulang dan pembentukan kalsium karbonat untuk pembentukan kerabang sehingga dapat mengurangi kualitas kerabang telur (Bell dan Weaver, 2002; Mulyantini, 2010).
Energi metabolis pakan yang diperoleh dari penelitian ini sebesar 2399 kkal/kg, jumlah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan standar energi metabolis pakan ayam lokal periode bertelur menurut Kementrian Pertanian (2006). Variasi berat tubuh ayam akan mempengaruhi kebutuhan energi. Jumlah energi dalam pakan berpengaruh positif terhadap konsumsi pakan, kebutuhan energi meningkat saat suhu dingin dan menurun saat suhu panas (Mulyantini, 2010). Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan sumber pati yang terkandung dalam pakan. Pati adalah bagian dari karbohidrat yang mudah dicerna dan merupakan sumber energi utama bagi unggas (Sodak, 2011). Kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen pada pakan peternakan Trias Farmyaitu sebesar48,85%.
Karakteristik Eksterior Telur Tetas
Berat Telur Tetas
Rataan berat telur tetas yang dihasilkan pada penelitian ini tidak nyata dipengaruhi oleh umur telur, hal ini kemungkinan karena telur yang digunakan dalam
28 penelitian ini berasal dari umur induk yang sama (42 minggu), serta pakan yang diberikan sama. Berat telur tetas pada ketiga umur telur ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Berat Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari
Umur Telur (hari) N Berat Telur (g/butir)
0 30 46,95 ± 2,74
7 30 46,05 ± 2,56
12 30 45,53 ± 2,43
Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda (P > 0,05).
Faktor yang mempengaruhi berat telur yaitu genetik dan umur ayam, pakan, penyakit, suhu lingkungan, musim, periode produksi (awal atau menjelang akhir), umur dewasa kelamin, besar tubuh, banyaknya telur yang dihasilkan dan sistem pengelolaan ayam (North dan Bell, 1990; Dharma et al., 2001).
Umur telur tidak berpengaruh terhadap berat telur tetas, namun jika dilihat dari hasil rataan berat telur tetas pada masing-masing umur telur mengalami penurunan. Persentase penurunan rataan berat telur tetas dari telur tetas umur 0 hari ke telur tetas umur 7 dan 12 hari masing-masing yaitu 1,92% dan 3,02% (Tabel 7). Penurunan berat telur selama penyimpanan kemungkinan disebabkan oleh hilangnya kadar air dari albumen, tetapi penguapan yang terjadi mungkin tidak besar sehingga penurunan berat telur tidak nyata dipengaruhi oleh umur telur. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa air merupakan komponen terbesar yang terdapat pada putih telur. Penurunan berat telur selama penyimpanan kemungkinan juga disebabkan oleh lepasnya gas, seperti CO2, ammonia, nitrogen, dan kadang hydrogen sulfida yang sebagian besar merupakan hasil dari perubahan kimia pada telur. Kehilangan berat telur terjadi seiring bertambahnya waktu penyimpanan telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Indeks Bentuk Telur
Nilai indeks bentuk telur yang dihasilkan pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh umur telur tetas (Tabel 8). Hal ini kemungkinan karena telur tetas yang digunakan berasal dari induk dengan umur yang sama (42 minggu). Faktor yang mempengaruhi indeks bentuk telur antaralain umur induk, sifat genetik, bangsa, selain itu, juga disebabkan oleh proses-proses yang terjadi selama pembentukan
29 telur (Dharma et al., 2001; Sodak, 2011). Nilai indeks bentuk telur tetas ayam Arab pada telur umur 0,7, dan 12 hari ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Indeks Bentuk Telur Tetas Ayam Arab Umur 0, 7, dan 12 Hari
Umur Telur (hari) N Indeks Bentuk Telur (%)
0 30 76,85 ± 2,84
7 30 77,47 ± 2,19
12 30 77,39 ± 2,44
Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda (P > 0,05).
Faktor yang mempengaruhi indeks bentuk telur salah satunya adalah umur induk, semakin tua umur induk nilai indeks bentuk telur semakin tinggi. Bertambahnya umur ayam, kemungkinan menyebabkan ukuran alat reproduksi khususnya isthmus semakin besar dan lebar sehingga telur yang dihasilkan cenderung bulat dan mengakibatkan indeks bentuk telur tinggi (Sodak, 2011). Berdasarkan hasil rataan nilai indeks bentuk telur diperoleh bahwa telur dengan umur 0 hari memiliki indeks bentuk telur yang rendah dibandingkan telur dengan umur 7 dan 12 hari (Tabel 8), namun masih berada dalam rataan indeks bentuk telur tetas ayam lokal yang baik menurut Wardiny (2002) yaitu 76-78%.
Kantung Udara Telur
Kualitas kedalaman kantung udara telur dibagi menjadi empat grade yaitu kualitas AA dengan kedalaman kantung udara 0,3 cm, kualitas A dengan kedalaman kantung udara 0,3-0,6 cm, kualitas B dengan kedalaman kantung udara 0,6-0,9 cm, dan kualitas C dengan kedalaman kantung udara lebih besar dari 0,9 cm (United States Departement of Agriculture, 2002). Kantung udara merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi kesegaran telur. Persentase kualitas kantung udara telur tetas yang termasuk kualitas AA menurun seiring bertambahnya umur simpan telur tetas, sebaliknya kantung udara telur tetas kualitas A meningkat seiring bertambahnya umur simpan telur (Tabel 9). Kedalaman kantung udara telur tetas ayam Arab pada umur telur 0,7, dan 12 hari ditunjukkan pada Tabel 9.
30 Tabel 9. Kantung Udara Telur Tetas Ayam Arab pada Umur telur 0, 7, dan 12 Hari
Umur Telur (hari)
N Persentase Kualitas Kantung Udara
AA (%) A (%)
0 30 100 TA
7 30 83,33 % 16,67 %
12 30 40 % 60 %
Keterangan : TA = tidak terdapat kualitas kantung udara A pada telur tetas umur 0 hari; AA = kedalaman kantung udara 0,3 cm; A = kedalaman kantung udara 0,3 – 0,6 cm
Berdasarkan persentase kualitas kantung udara yang diperoleh (Tabel 9), kantung udara semakin besar dengan bertambahnya umur simpan telur. Kantung udara semakin bertambah besar karena adanya penguapan air di dalam telur atau penyusutan berat telur. Suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah dapat menyebabkan kantung udara cepat membesar (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kantung udara dipengaruhi oleh lama dan suhu penyimpanan telur, kelembaban dan perubahan internal dari telur (Yuwanta, 2010).
Karakteristik Interior Telur Tetas
Karakteristik Kerabang Telur
Ketebalan kerabang sangat penting untuk daya tetas. Kerabang mempunyai fungsi untuk menjaga keadaan putih dan kuning telur dari penetrasi mikroba dan pengaruh lingkungan secara langsung pada telur. Nilai rataan ketebalan kerabang tertinggi yaitu pada telur tetas umur 0 hari (0,34 mm) dan berat kerabang telur tetas tertinggi yaitu pada telur tetas umur 0 hari (4,17 g). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh lama penyimpanan terhadap ketebalan kerabang dan berat kerabang. Hal ini kemungkinan karena telur yang digunakan dari umur induk yang sama, pakan yang sama dan telur disimpan pada suhu yang sama yaitu 16-20°C. Nilai rataan ketebalan kerabang, terdapat sedikit penurunan ketebalan kerabang dari telur tetas umur 0 hari ke telur tetas umur 7 dan 12 hari yaitu sebesar 2,94% (Tabel 10). Ketebalan dan berat kerabang telur tetas umur 0,7, dan 12 hari ditunjukkan pada Tabel 10.
31 Tabel 10. Rataan Ketebalan Kerabang dan Berat Kerabang Telur Tetas Ayam Arab
pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari Umur Telur
(hari)
N Ketebalan Kerabang Telur (mm/butir)
Berat Kerabang Telur (g/butir)
0 30 0,34 ± 0,03 4,17 ± 0,49
7 30 0,33 ± 0,03 4,15 ± 0,44
12 30 0.33 ± 0,02 4,13 ± 0,63
Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda (P > 0,05)
Penurunan nilai rataan ketebalan kerabang dan berat kerabang kemungkinan karena selama penyimpanan terjadi penguapan H2O yang bereaksi dengan lapisan kutikula (Ca) yang mengakibatkan kerabang semakin porous sehingga lapisan kutikula akan semakin berkurang (Pribadi, 2000). Rataan tebal kerabang telur yang diperoleh pada penelitian ini berada dalam kategori baik menurut (North dan Bell, 1990) yaitu antara 0,33 mm dan 0,35 mm.
Komposisi Kimia Telur
Bahan kering telur meningkat seiring dengan meningkatnya umur telur, namun, masih berkisar 28% pada semua perlakuan. Peningkatan bahan kering mengakibatkan penurunan kadar air (Tabel 11).
Tabel 11.Komposisi Kimia Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari
Komponen Whole Egg (n = 3) Kerabang (n = 3)
0 Hari 7 Hari 12 Hari 0 Hari 7 Hari 12 Hari
---%BK--- Kadar Air 71,89 71,09 71,04 15,15 19,83 16,64 Abu 1,08 0,11 0,34 67,72 68,51 69,58 Protein Kasar 13,25 12,93 12,80 - - - Serat Kasar 0,01 0,01 0,01 - - - Lemak Kasar 8,10 8,69 7,00 - - - Beta-N 5,67 7,17 8,81 - - - Ca - - - 32,89 30,19 33,14 P - - - 5,20 3,37 4,61
32 Penurunan kadar air pada telur kemungkinan karena terjadinya penguapan selama penyimpanan, namun kemungkinan penguapan yang terjadi tidak terlalu besar. Hal ini didukung oleh hasil rataan berat telur, dimana berat telur tidak nyata dipengaruhi oleh peningkatan umur telur (Tabel 7). Kandungan protein telur umur 7 dan 12 hari lebih rendah 2,4 % dan 3,4 % dibandingkan dengan kandungan protein telur umur 0 hari. Kandungan protein telur menurun seiring dengan bertambahnya umur simpan telur (Tabel 11). Kandungan protein telur dengan kandungan air 65,5% menurut Ensminger et al (2004) yaitu sebesar 11,8 %. Kandungan protein telur selain dipengaruhi oleh umur telur, juga dipengaruhi oleh protein pakan. Pakan ayam petelur yang baik memiliki kadar protein kasar 15% (Kementrian Pertanian, 2006). Pada penelitian ini kandungan protein kasar pakan yang digunakan yaitu sebesar 20,67%.
Kandungan serat kasar pada telur tetas yang disimpan 0,7, dan 12 hari adalah sama yaitu 0,01%). Kandungan lemak terendah terdapat pada telur umur 12 hari yaitu 7,00% (Tabel 11). Persentase kandungan lemak telur yang diperoleh berasal dari putih dan kuning telur. Deposit lemak terbanyak terdapat pada kuning telur (Sodak, 2011). Lemak pada telur dengan kandungan air 65,5% menurut Ensminger et al (2004) yaitu sebesar 11%.
Kandungan abu telur utuh umur 7 dan 12 hari lebih rendah jika dibandingkan kandungan abu telur umur 0 hari (Tabel 11). Menurut Sodak (2011) kandungan abu telur memiliki hubungan dengan kadar mineral yang terdapat dalam telur, misalnya kalsium dan fosfor. Kandungan abu kerabang telur tertinggi terdapat pada kerabang telur tetas umur 12 hari. Kandungan Ca kerabang telur tetas umur 0 dan 7 hari lebih rendah jika dibandingkan kandungan Ca telur tetas umur 12 hari (Tabel 11). Kandungan P kerabang telur tetas umur 0 hari lebih tinggi dibandingkan dengan telur tetas umur 7 dan 12 hari. Kandungan Ca dan P kerabang telur dapat dipengaruhi oleh kandungan Ca dan P dalam pakan, suhu dan kelembaban lingkungan, sifat genetik individu ayam, dan umur induk (Sodak, 2011). Kandungan Ca dan P pada pakan yaitu 4,67 dan 0,31%. Umur induk yang digunakan pada penelitian ini sama yaitu 42 minggu. Sumber Ca untuk pembentukan kerabang berasal dari pakan dan tulang (North dan Bell, 1990).
33 Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas
Suhu dan kelembaban mesin tetas sangat diperlukan untuk perkembangan embrio yang optimal. Kelembaban relatif dan suhu harus diatur selama penetasan agar kehidupan embrio di dalam telur dapat dipertahankan pada tingkat optimal (Williamson dan Payne, 1993). Suhu mesin mesin tetas yang ditunjukkan bola kering konstan selama penelitian yaitu 36°C, sedangkan suhu mesin tetas yang ditunjukkan bola basah mengalami perubahan selama penelitian dengan kisaran 30-33°C (Tabel 12).
Tabel 12. Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas Selama Inkubasi
Tanggal / Waktu Suhu (°C) Kelembaban (%)
Bola Kering Bola Basah
29 Maret 2012 36 33 81 30 Maret 2012 36 32 75 30 Maret 2012 36 32 75 31 Maret 2012 36 30 63 31 Maret 2012 36 30 63 31 Maret 2012 36 32 75
Suhu merupakan pertimbangan lingkungan yang paling penting selama inkubasi untuk perkembangan embrio. Suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan mortalitas embrio meningkat, sebaliknya suhu yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan embrio dan telur tidak menetas (Mulyantini, 2010). Oleh karena itu dibutuhkan suhu mesin tetas yang tepat untuk perkembangan embrio yang optimal. Kisaran suhu mesin tetas selama penelitian ini (Tabel 12) berada di bawah suhu optimal perkembangan embrio menurut Ensminger et.al (2004) yaitu 37,2-39,4°C, Faktor yang mempengaruhi perbedaan suhu optimum perkembangan embrio pada masing-masing telur yaitu ukuran telur, kualitas kulit telur, genetik (breed atau strain), umur telur saat dimasukkan dalam inkubator, kelembaban inkubasi (Mulyantini, 2010).
Kisaran kelembaban relatif yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif pada inkubator selama 18 hari pertama inkubasi menurut Ensminger et.al (2004) yaitu sekitar 60%. Kisaran kelembaban relatif yang
34 diperoleh pada hari pertama inkubasi mencapai 75-81%, hal ini kemungkinan menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan perkembangan embrio yang lambat saat 24 jam inkubasi pada telur tetas umur 7 dan 12 hari dan ditemukanya embrio yang mati pada awal inkubasi.
Kematian Embrio
Kematian embrio ditemukan pada telur tetas umur penyimpanan 12 hari setelah 24 jam dan 33-36 jam inkubasi. Persentase kematian embrio tertinggi ditemukan setelah 36 jam inkubasi pada umur telur 12 hari (Tabel 13).
Tabel 13. Persentase Kematian Embrio Telur Tetas Umur 0, 7, dan 12 Hari pada 24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi
Waktu Inkubasi
(Jam)
Kematian Embrio
0 Hari* 7 Hari* 12 Hari*
Σ Embrio % Σ Embrio % Σ Embrio %
24 6 0 6 0 6 16,67
36 7 0 6 0 6 33,33
48 5 0 6 0 7 0
Keterangan : * umur telur
Embrio yang ditemukan mati setelah 24 dan 33-36 jam inkubasi kemungkinan mati saat penyimpanan (sebelum inkubasi) dan mati saat awal inkubasi. Kematian embrio saat penyimpanan terlihat dari tidak adanya tanda-tanda perkembangan setelah telur diinkubasi selama 24 dan 33-36 jam. Embrio yang ditemukan mati pada telur tetas umur 12 hari setelah inkubasi 33-36 jam kemungkinan mati saat sebelum inkubasi dan mati saat awal inkubasi. Gambaran embrio yang mati saat penyimpanan (sebelum inkubasi) dan mati saat awal inkubasi ditunjukkan pada Gambar 7.
35
Gambar 7. Kematian Embrio Telur Tetas Umur 12 Hari. (A) Kematian Embrio Sebelum Inkubasi; (B) Kematian Embrio Saat Awal Inkubasi
Embrio yang mati saat 24 jam inkubasi pada telur tetas umur 12 hari kemungkinan karena kelembaban relatif yang sangat tinggi pada 24 jam inkubasi yaitu berkisar 75- 81% dan perubahan yang terjadi pada telur selama penyimpanan. Kelembaban relatif yang tinggi kemungkinan mengakibatkan air yang berada didalam telur tidak mengalami penguapan dengan laju yang tetap atau terhambatnya laju penguapan yang mengakibatkan embrio sulit bernafas sehingga embrio mati. Hal lain yang menyebabkan embrio mati pada kondisi kelembaban relatif yang tinggi kemungkinan karena masuknya uap air melalui pori-pori kerabang sehingga terjadi penimbunan cairan di dalam telur. Akibatnya embrio tidak dapat bernapas dan mengalami kematian.
Embrio dari telur yang disimpan dalam waktu lama sebelum inkubasi memiliki efek diantaranya, tidak terjadinya pertumbuhan embrio saat inkubasi atau pertumbuhan embrio yang lambat dibandingkan telur yang disimpan dalam waktu singkat, dan dapat terjadi keduanya. Penyimpanan telur dalam waktu yang lama akan meningkatkan kematian sel (Fasenko, 2007). Kematian embrio selama penyimpanan dan perkembangan yang lambat pada embrio telur yang telah mengalami penyimpanan, kemungkinan karena adanya perubahan yang terjadi pada telur selama penyimpanan.
Perkembangan Tulang Belakang (Somite)
Pembentukan somite terjadi setelah pembentukan garis primitif, somite muncul berpasangan pada sisi kiri dan kanan garis primitif. Rataan jumlah tulang belakang (somite) pada embrio ayam Arab setelah 24, 33-36, dan 48 jam inkubasi ditunjukkan pada Tabel 14.
36 Tabel 14. Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur
Telur Tetas 0, 7, dan 12 Hari Waktu Inkubasi
(Jam)
Perkembangan Tulang Belakang
0* 7* 12* 24 3 GP GP - GP - 10 GP M 6 GP GP 5 GP GP 5 GP GP 5 - GP Rata-rata 5,67 ± 2,34 33-36 6 - - 8 - M - 7 5 13 7 GP 10 - - 14 5 11 - GP 17 10 - - 8 M - 8 GP Rata-rata 11,29 ± 3,73 7,50 ± 1,64 48 TT - 10 TT 14 14 - 13 18 22 10 12 TT 19 13 TT 10 17 - 10 12 Rata-rata 22 – TT psg 12,67 ± 3,56 13,71 ± 2, 87
Keterangan : * = Umur Telur; - = Tidak Dikoleksi; GP = Garis Primitif; M = Embrio Mati, TT = Jumlah Somite Sangat Banyak
37 Perkembangan Tulang Belakang Setelah 24 Jam Inkubasi
Pada telur tetas umur 0 hari, perkembangan somite terlihat pada tahap 24 jam setelah inkubasi. Somite terlihat pada sisi kiri dan kanan dari dinding saraf dengan rataan 5,67 ± 2,34 pasang somite. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Radboud University Nijmegen (2011) dimana, rataan somite yang diperoleh setelah 24 jam inkubasi yaitu empat sampai lima pasang somite. Namun, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nurunnabi et al (2010) rataan jumlah somite yang terbentuk pada embrio ayam Arab setelah 24 jam inkubasi lebih tinggi dibandingkan jumlah somite yang terbentuk pada embrio ayam local (deshi) hen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya pengaruh perbedaan genetik. Nurunnabi et al (2010) menyatakan bahwa, perbedaan genetik pada dua strain yang berbeda memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan embrio. Perkembangan embrio setelah 24 jam inkubasi pada telur tetas umur 7 dan 12 hari sampai pada tahap pembentukan garis primitif serta ditemukanya satu embrio yang mati pada telur tetas umur 12 hari (Tabel 14). Embrio yang sampai pada tahap pembentukan garis primitif setelah 24 jam mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan perkembangan embrio pada telur tetas umur 0 hari. Embrio yang lambat berkembang kemungkinan karena pengaruh dari penyimpanan telur sebelum diinkubasi, sehingga saat diinkubasi embrio tidak langsung merespon suhu dan kelembaban inkubasi yang diberikan.
Embrio pada telur tetas umur 12 hari yang ditemukan mati setelah 24 jam inkubasi, kemungkinan mati saat sebelum diinkubasi (saat penyimpanan) (Gambar 9 A.1) . Hal ini terlihat dari tidak terdapatnya tanda-tanda perkembangan pada embrio setelah telur diinkubasi selama 24 jam. Kematian embrio saat penyimpanan kemungkinan karena suhu dan kelembaban ruang penyimpanan yang tidak sesuai bagi embrio dan perubahan pada telur tetas selama penyimpanan. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut terlihat bahwa setelah 24 jam inkubasi, embrio pada telur tetas umur 7 dan 12 hari berkembang lebih lambat dibandingkan embrio pada telur tetas umur 0 hari (Gambar 9).
38 Perkembangan Tulang Belakang setelah 33-36 Jam Inkubasi
Perkembangan somite pada embrio telur tetas umur 7 hari mulai terlihat setelah 33-36 jam inkubasi dengan rataan 7,50 ± 1,64 pasang somite. Rataan jumlah somite yang terbentuk lebih sedikit jika dibandingkan dengan rataan somite yang terbentuk pada embrio telur tetas umur 0 hari. Kepala dan jantung mulai terlihat pada telur tetas umur 0 hari (Gambar 9 C.2). Somite yang terbentuk setelah 33-36 jam inkubasi pada telur tetas umur 0 dan 7 hari lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Radboud University Nijmegen (2011) dimana rataan somite yang terbentuk yaitu 12 sampai 13 somite. Hal ini kemungkinan karena embrio tersebut berkembang lambat, sehingga saat dipanen setelah 33-36 jam inkubasi embrio masih berada pada tahapan pembentukan somite awal dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan somite yang terbentuk pada telur tetas umur 0 hari. Perkembangan embrio yang lambat kemungkinan karena perubahan yang terjadi pada telur akibat dari penyimpanan sebelum inkubasi.
Somite hanya terbentuk pada satu embrio telur tetas umur 12 hari. Jumlah somite yang terbentuk pada embrio tersebut sebanyak lima pasang, sedangkan embrio lainnya sampai pada tahap pembentukan garis primitif dan terdapatnya dua embrio yang mati (Tabel 14). Satu embrio kemungkinan mati saat penyimpanan dan