• Tidak ada hasil yang ditemukan

Influence of Parenting Style and Methods of Socialization on Honesty and Responsibility Character of High School Students in Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Influence of Parenting Style and Methods of Socialization on Honesty and Responsibility Character of High School Students in Bogor"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH GAYA PENGASUHAN DAN METODE SOSIALISASI ORANG TUA

TERHADAP KARAKTER JUJUR DAN TANGGUNG JAWAB

SISWA SMA DI KOTA BOGOR

RIA MAGDALENA PASARIBU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Gaya Pengasuhan dan Metode Sosialisasi Orang Tua terhadap Karakter Jujur dan Tanggung Jawab Siswa SMA di Kota Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2013

(4)
(5)

RIA MAGDALENA PASARIBU. Influence of Parenting Style and Methods of Socialization on Honesty and Responsibility Character of High School Students in Bogor. Under direction of DWI HASTUTI and ALFIASARI.

Parenting style and methods of socialization are believed to be determining factors of a successful child development. The purpose of this research was to analyze the influence of parenting style and methods of socialization on character of high school students in Bogor, especially character of honesty and responsibility. This research was conducted at six schools representing public and vocational high schools with total sample of 200 adolescents consisted of 100 male and 100 female adolescents. The sample criteria were grade 10 students and came from an intact family. The data was collected from May until June 2012. The result showed that there were positive significant correlations between family income and father’s permissive parenting style and mother’s authoritarian parenting style; authoritative parenting style of both parents and methods of socialization of both parents; authoritative parenting style of both parents and adolescent’s character; and between methods of socialization of both parents and adolescent’s character. Contrary to that, significant negative correlations were found between permissive parenting style of both parents and methods of socialization of both parents, and between permissive parenting style of both parents and adolescent’s character. Regression analyses (R2 = 0.267) showed that authoritative parenting style and methods of socialization of mothers were dominant variables which influenced adolescent’s character positively, while permissive parenting style of mothers influenced adolescent’s character negatively.

(6)
(7)

RIA MAGDALENA PASARIBU. Pengaruh Gaya Pengasuhan dan Metode Sosialisasi Orang Tua terhadap Karakter Jujur dan Tanggung Jawab Siswa SMA di Kota Bogor. Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan ALFIASARI.

Karakter yang baik merupakan keharusan bagi setiap remaja Indonesia sebagai generasi penerus bangsa. Permasalahan perilaku tidak jujur dan tidak bertanggung jawab umum ditemukan di kalangan remaja seperti perilaku menyontek, berbohong, membolos sekolah, dan tidak menyelesaikan tugas atau tanggung jawab. Agar permasalahan perilaku tersebut tidak terbawa terus sampai dewasa maka sangat penting untuk menanamkan karakter jujur dan tanggung jawab pada remaja. Lingkungan yang berperan utama dan pertama dalam pembentukan karakter remaja adalah keluarga sebagai tempat pengasuhan dan sosialisasi nilai karakter. Karakter penting untuk diteliti di usia remaja karena pada masa tersebut anak mengalami banyak perubahan biologis, kognitif maupun sosial, merupakan masa perkembangan identitas dan kemandirian dan penelitian-penelitian sebelumnya merekomendasikan penelitian mengenai peranan pengasuhan dalam hal sosialisasi nilai-nilai moral.

Dalam menjalankan fungsi pengasuhan, cara orang tua melakukannya disebut gaya pengasuhan. Gaya pengasuhan biasa digambarkan dalam tiga dimensi besar yaitu authoritarian (otoriter), permissive (permisif), dan authoritative (otoritatif). Gaya pengasuhan otoriter adalah gaya pengasuhan yang memiliki dimensi tuntutan tinggi dan dimensi kehangatan rendah. Gaya pengasuhan permisif adalah gaya pengasuhan yang memiliki dimensi tuntutan rendah dan dimensi kehangatan tinggi. Gaya pengasuhan otoritatif adalah gaya pengasuhan yang yang memiliki dimensi tuntutan tinggi dan dimensi kehangatan tinggi.

Dalam pembentukan karakter anak, faktor lingkungan (nurture) yaitu usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi sangat berperan untuk menentukan ‘buah’ seperti apa yang akan dihasilkan nantinya dari seorang anak. Sosialisasi nilai karakter oleh orang tua terhadap anak (remaja) perlu dilakukan melalui berbagai metode sosialisasi yaitu metode sosialisasi preventif (teladan, penjelasan, penetapan standar, penguatan positif) dan korektif (hukuman).

Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Strategis Nasional Tahun 2012 yang diketuai oleh Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc berjudul Model Harmonisasi Peran Keluarga dan Sekolah Dalam Pembentukan Karakter Mulia Remaja Bagi Tercapainya Visi ”Insan Cerdas Komprehensif Tahun 2014”. Penelitian dilakukan di enam sekolah sebagai perwakilan SMA dan SMK negeri dan swasta di Kota Bogor dengan menggunakan desain cross sectional. Empat sekolah yang mewakili SMA dan SMK negeri dan swasta terpilih secara acak kelompok berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Bogor. Berdasarkan kenyataan di lapangan, ditambah dua sekolah lagi untuk kepentingan penelitian. Kriteria contoh dalam penelitian ini adalah remaja kelas sepuluh SMA/SMK dari sekolah terpilih dan memiliki orang tua lengkap. Selanjutnya, berdasarkan kriteria contoh, di setiap sekolah dipilih secara acak remaja yang menjadi contoh penelitian ini. Jumlah total remaja responden adalah 200 orang yang terdiri dari 100 remaja laki-laki dan 100 remaja perempuan. Pengambilan data dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2012.

(8)

berdasarkan koefisien Cronbach’s alpha instrumen gaya pengasuhan, metode sosialisasi orang tua, dan karakter telah reliabel (α = 0.60). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis statistika deskriptif dan analisis statistika inferensial. Analisis statistika inferensial yang digunakan adalah uji korelasi Spearman dan Pearson, uji beda t-test, dan uji regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata usia remaja adalah 15.60 tahun, tiga perempat ayah dan separuh dari ibu berada pada kategori dewasa madya dengan rata-rata usia 45.98 tahun untuk ayah dan 41.85 tahun untuk ibu. Rata-rata pendapatan keluarga per bulan adalah Rp 3 379 750.00 dan lebih dari separuh keluarga responden termasuk dalam kategori keluarga sedang yang memiliki anggota keluarga antara lima sampai tujuh orang. Tingkat pendidikan hampir separuh ayah (47.0%) dan ibu (44.0%) dari remaja pada penelitian ini adalah diploma.

Sebagian besar remaja diasuh dengan gaya pengasuhan otoritatif baik oleh ayah (91.5%) maupun ibunya (93.5%) dan hanya sebagian kecil yang diasuh secara otoriter dan permisif.Metode sosialisasi orang tua terdiri dari lima dimensi yaitu teladan, penjelasan, penetapan standar, penguatan positif, dan hukuman (Berns, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat ayah (78.0%) dan hampir tiga per empat ibu (70.5%) memiliki tingkat metode sosialisasi sedang. Berdasarkan kategori kualitas karakter, hampir tiga perempat remaja (74.5%) memiliki kualitas karakter sedang, lebih dari satu perlima berkualitas karakter tinggi (23.5%) dan hanya sebagian kecil (2.0%) yang masuk dalam kategori kualitas karakter rendah.

Hasil uji korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dan usia remaja dengan gaya pengasuhan ayah dan ibu. Selain itu juga tidak ditemukan hubungan antara usia ayah dan ibu, tingkat pendidikan ayah dan ibu, dan besar keluarga dengan gaya pengasuhan. Hubungan nyata positif ditemukan antara pendapatan keluarga dengan pengasuhan ayah permisif dan pengasuhan ibu otoriter. Antara variabel karakteristik remaja dan keluarga dengan metode sosialisasi orang tua tidak ditemukan adanya hubungan.

Hasil penelitian juga menemukan bahwa gaya pengasuhan otoriter ayah dan ibu tidak berhubungan dengan metode sosialisasi nilai karakter oleh ayah dan ibu. Gaya pengasuhan permisif ayah dan ibu berhubungan nyata negatif dengan metode sosialisasi ayah dan ibu. Gaya pengasuhan otoritatif ayah dan ibu berhubungan nyata positif dengan metode sosialisasi ayah dan ibu.

Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara karakteristik remaja dan keluarga dengan karakter. Gaya pengasuhan ayah dan ibu yang otoriter tidak berhubungan dengan karakter pada remaja. Hubungan nyata negatif terlihat antara gaya pengasuhan permisif ayah dan ibu dengan karakter remaja. Gaya pengasuhan otoritatif ayah dan ibu berhubungan nyata positif dengan karakter remaja. Metode sosialisasi ayah dan ibu berhubungan nyata positif dengan karakter remaja.

Hasil uji regresi linier berganda (R2 = 0.267) menunjukkan bahwa gaya pengasuhan otoritatif dan metode sosialisasi ibu adalah variabel-variabel yang mempengaruhi karakter remaja secara positif, sedangkan gaya pengasuhan permisif ibu mempengaruhi karakter remaja secara negatif.

 

(9)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

RIA MAGDALENA PASARIBU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

NRP : I251100081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc. Alfiasari, S.P., M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc. M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr

(14)
(15)

 

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Gaya Pengasuhan dan Metode Sosialisasi Orang Tua terhadap Karakter Jujur dan Tanggung Jawab Siswa SMA di Kota Bogor” yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains dalam bidang keahlian Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak.

Terima kasih dan rasa hormat penulis sampaikan pada Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Alfiasari, S.P., M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan wawasan pengetahuan yang bermanfaat bagi tersusunnya tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S. sebagai dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc. M.Sc. sebagai wakil dari Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak dalam sidang tesis.

Tesis ini merupakan bagian dari Penelitian Strategis Nasional Tahun 2012 yang diketuai oleh Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc. berjudul Model Harmonisasi Peran Keluarga dan Sekolah Dalam Pembentukan Karakter Mulia Remaja Bagi Tercapainya Visi ”Insan Cerdas Komprehensif Tahun 2014”. Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh anggota tim yang telah bekerja bersama penulis dalam pengambilan data di lapangan.

Tak ada kata yang dapat menggambarkan rasa terima kasih penulis untuk orang tua tercinta, Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu dan Faridah Nazir, kakak Rouli Esther Pasaribu, M.A., suami Christian Andy Guyana, S.H. serta anak-anak tersayang Cleo Aster Netanya Guyana dan Keio Toga Nathaniel Guyana atas segala curahan kasih, doa, dukungan, dan semangat yang diberikan kepada penulis selama menjalani studi pascasarjana.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak angkatan 2010 yang selalu saling mendukung dalam mengarungi perjalanan penuh perjuangan yang sangat berharga. Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas doa, dukungan, dan semangat bagi penulis.

Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat. Tuhan memberkati.

Bogor, Januari 2013

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kobe, Jepang pada tanggal 24 Januari 1981 dari ayah Dr. Ir. Bonar P.Pasaribu dan ibu Faridah Nazir. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Regina Pacis Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi UMPTN dan diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada tahun 2003 penulis memperoleh gelar Sarjana Hukum dan kemudian mengajar selama dua tahun di Sekolah Bogor Raya sebagai staf pengajar Playgroup/Taman Kanak Kanak.

(18)
(19)

 

DAFTAR TABEL ………... xi

DAFTAR GAMBAR ………... xii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1

Perumusan Masalah ………... 4

Tujuan Penelitian ………... 6

Manfaat Penelitian ………... 7

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga ………... 8

Teori Keluarga Struktural Fungsional ………... 9

Teori Ekologi Keluarga………... 10

Gaya Pengasuhan ………... 11

Metode Sosialisasi Orang Tua ………... 16

Karakter ………... 20

Teori Karakter ………... 22

Karakter Jujur dan Tanggung Jawab ………... 24

KERANGKA PEMIKIRAN ………... 28

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ………... 31

Populasi, Contoh, dan Teknik Penarikan Contoh ………... 31

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ………... 32

Pengolahan dan Analisis Data ………... 33

Definisi Operasional ………... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian ………... 39

Karakteristik Remaja ………... 39

Karakteristik Keluarga ………... 40

Gaya Pengasuhan ………... 43

Metode Sosialisasi Orang Tua ………..…... 44

Karakter ………... 46

Hubungan Antara Karakteristik Remaja, Karakteristik Keluarga, Gaya Pengasuhan, Metode Sosialisasi Orang Tua, serta Karakter …………... 47

Variabel-variabel yang Mempengaruhi Karakter ………... 52

Pembahasan Umum ………... 54

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………... 59

Saran ………... 60

DAFTAR PUSTAKA ………... 62

(20)
(21)

xi 

 

Halaman 1 Jenis dan cara pengumpulan data ... 33

2 Reliabilitas instrumen gaya pengasuhan, metode sosialisasi, karakter .... 34

3 Pengolahan data gaya pengasuhan, metode sosialisasi, karakter... 35

4 Sebaran remaja menurut usia dan jenis kelamin remaja ... 40

5 Sebaran keluarga menurut usia orang tua dan jenis kelamin remaja ... 41

6 Sebaran keluarga menurut pendidikan ayah dan jenis kelamin remaja .... 41

7 Sebaran keluarga menurut pendidikan ibu dan jenis kelamin remaja ... 42

8 Sebaran keluarga menurut pendapatan keluarga dan jenis kelamin

remaja ... 42

9 Sebaran keluarga menurut besar keluarga dan jenis kelamin remaja ... 43

10 Sebaran remaja menurut kategori gaya pengasuhan orang tua dan jenis

kelamin remaja ... 43

11 Sebaran remaja menurut kategori metode sosialisasi jujur dan jenis

kelamin remaja ... 44

12 Sebaran remaja menurut kategori metode sosialisasi tanggung jawab

dan jenis kelamin remaja ... 45

13 Sebaran remaja menurut kategori karakter dan jenis kelamin remaja ... 46

14 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik remaja dan keluarga dengan

gaya pengasuhan orang tua ... 47

15 Nilai koefisien korelasi antara gaya pengasuhan dengan metode

sosialisasi orang tua ... 48

16 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik remaja dan keluarga dengan

metode sosialisasi orang tua ... 49

17 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik remaja dan keluarga dengan

karakter remaja ... 50

18 Nilai koefisien korelasi antara gaya pengasuhan dan metode sosialisasi

orang tua dengan karakter remaja ... 51

19 Hasil analisis regresi linier berganda variabel-variabel yang

(22)
(23)

xii 

 

Halaman 1 Model ekologi perkembangan manusia Bronfenbrenner ... 10

2 Kerangka pemikiran penelitian pengaruh gaya pengasuhan dan metode sosialisasi orang tua terhadap karakter jujur dan tanggung jawab siswa

SMA di Kota Bogor ... 30

(24)
(25)

xiii 

 

Halaman 1 Nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan standar deviasi setiap variabel

yang diteliti ... 70

2 Rata-rata dan kisaran skor metode sosialisasi ayah dan ibu per karakter 72

3 Rata-rata dan kisaran skor metode sosialisasi ayah per karakter dan per

dimensi ... 73

4 Rata-rata dan kisaran skor metode sosialisasi ibu per karakter dan per

dimensi ... 74

5 Rata-rata dan kisaran skor karakter per karakter ... 75

6 Matriks korelasi antarvariabel berdasarkan uji Pearson (data numerik)

dan uji Spearman (data kategorik) ... 76

(26)
(27)

Latar Belakang

Kemajuan suatu bangsa ditandai oleh tingkat Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Contohnya, negara Singapura, meskipun tidak memiliki wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar dan sumber daya alam yang melimpah, namun karena memiliki SDM yang berkualitas, saat ini menjadi negara yang sangat maju. Singapura menempati peringkat ke-26 dalam hasil survey Human Development Index (HDI) tahun 2011 dan termasuk dalam kategori negara dengan HDI sangat tinggi. Sementara itu peringkat Indonesia sangat jauh di bawah Singapura yaitu pada peringkat ke-124 dari 187 negara, dan masih kalah dari negara-negara tetangga seperti Malaysia (peringkat ke-61) dan Thailand (peringkat ke-103).

Salah satu Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat berperan dalam pembangunan nasional adalah generasi muda. Remaja adalah generasi penerus bangsa yang akan berperan dalam kegiatan pembangunan di masa yang akan datang dan menjadi tumpuan harapan bangsa. Oleh karenanya, remaja Indonesia perlu dibina dan dikembangkan agar menjadi SDM yang berkualitas untuk memajukan Indonesia menjadi lebih baik.

Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character menyatakan bahwa ada sepuluh tanda-tanda kehancuran suatu bangsa yang meliputi meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata kotor, pengaruh kelompok teman sebaya yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, seks bebas dan alkohol, semakin kaburnya pedoman moral antara hal-hal yang baik dan buruk, penurunan etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan warga negara, semakin membudayanya nilai ketidakjujuran, dan semakin meningkatnya rasa kebencian dan saling curiga. Uraian tersebut menunjukkan betapa pentingnya pembentukan karakter remaja untuk mencegah kehancuran bangsa.

(28)

narkoba, mabuk-mabukan, dan bunuh diri (Puspitawati, 2009). Pada dasawarsa terakhir kenakalan remaja yang dilakukan secara berkelompok seperti tawuran telah menjurus kepada tindakan brutal seperti pengrusakan, penganiayaan, bahkan pembunuhan (Ramayanti, 2000). Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun ini sudah 17 pelajar meninggal dunia akibat tawuran di wilayah Jabodetabek sejak 1 Januari 2012 hingga 26 September 2012. Kasus tawuran yang paling menghebohkan terjadi di Jakarta Selatan dan memakan satu korban jiwa. Lalu hanya berselang dua hari, seorang pelajar di Jakarta Timur juga kembali menjadi korban jiwa akibat tawuran.1

Selain kenakalan remaja major atau kriminal, terdapat bentuk lain dari kenakalan remaja yaitu kenakalan yang tidak melanggar hukum atau kenakalan minor. Contoh dari kenakalan yang tidak melanggar hukum diantaranya adalah berbohong, memutarbalikkan fakta dengan tujuan menipu orang atau menutupi kesalahan, membolos, kabur meninggalkan rumah tanpa ijin orang tua atau menentang keinginan orang tua (Puspitawati, 2006). Perilaku remaja tersebut sudah umum terjadi dan sudah dianggap biasa di kalangan remaja dan dapat digolongkan menjadi dua perilaku yaitu perilaku tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Perilaku tidak jujur misalnya dengan menyontek pada saat ujian dan berbohong kepada orang tua atau guru. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa menyontek adalah fenomena yang umum di sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi (Anderman et al., 2004). Pada tahun 1987, Departemen Pendidikan California menyatakan bahwa menyontek adalah epidemi setelah menemukan bahwa 75 persen siswa sekolah menengah telah melakukan perbuatan menyontek pada suatu waktu di sekolah. Perilaku menyontek lebih sering terjadi di sekolah menengah atas dibandingkan sekolah menengah pertama (Anderman et al., 2004).

Selain ketidakjujuran, sikap tidak bertanggung jawab juga banyak ditemukan pada remaja misalnya dengan membolos sekolah, tidak menepati janji, dan tidak menyelesaikan tugas atau tanggung jawab yang diberikan orang tua atau sekolah. Rasa tanggung jawab adalah produk dari interaksi sosial yang dimulai sejak usia dini dan menjadi kritis pada masa remaja dan selanjutnya makin solid serta terlihat dalam berbagai aspek kehidupan di masa dewasa (Mahmud et al., 2011). Selain kejujuran, tanggung jawab juga merupakan

      

1

(29)

karakter yang pada akhirnya bermuara pada integritas (Peterson & Seligman, 2004) yaitu konsistensi antara perilaku moral dan kehidupan individu (Ianinska, 2006). Agar sikap tidak jujur dan tidak bertanggung jawab tidak terbawa terus oleh remaja sampai ia dewasa maka akan menyebabkan kemerosotan moral dan menghasilkan pribadi yang tidak berintegritas. Lebih lanjut, kondisi ini pada akhirnya dapat menghancurkan karakter bangsa. Oleh karenanya, untuk mencegah hal tersebut terjadi, perlu ditanamkan karakter jujur dan bertanggung jawab pada diri remaja.

Hasil penelitian George Boggs pada tahun 1997 menunjukkan bahwa ada 13 faktor penunjang keberhasilan seseorang di dunia kerja yaitu jujur dan dapat diandalkan; bisa dipercaya dan tepat waktu; bisa menyesuaikan diri dengan orang lain; bisa bekerja sama dengan atasan; bisa menerima dan menjalankan kewajiban; mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri; berpikir bahwa dirinya berharga; bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif; bisa bekerja mandiri dengan supervisi minimum; dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya; mempunyai kemampuan dasar (kecerdasan); bisa membaca dengan pemahaman memadai; mengerti dasar-dasar matematika (Megawangi, 2009). Dari ketigabelas faktor tersebut sepuluh di antaranya adalah kualitas karakter dan hanya tiga yang merupakan faktor kecerdasan. Jika dirinci lebih jauh, dari kesepuluh kualitas karakter tersebut terlihat bahwa karakter jujur dan tanggung jawab mendominasi. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya kedua karakter tersebut untuk dimiliki remaja dan dapat menjadi modal untuk keberhasilan dalam dunia kerja.

Faktor penentu yang sangat penting dan kritis bagi keberfungsian masyarakat adalah perkembangan nilai moral anak dan kemampuan anak untuk mengatur pemikiran, emosi, dan perilaku mereka agar sesuai dengan nilai-nilai moral (Steinberg, 1990). Penanaman nilai moral khususnya nilai kejujuran dan tanggung jawab dimulai pertama kali dalam keluarga, yaitu oleh orang tua, dan metode yang digunakan keluarga dalam hal penanaman nilai dan norma disebut metode sosialisasi.

(30)

terhadap tindakan moral (Bond & Chi, 1997; Hardy & Carlo, 2005; Padilla-Walker & Carlo, 2007) dan terdapat hubungan yang kuat antara proses sosialisasi keluarga dengan konten dari pemikiran moral remaja (White, 2000). Hardy et.al (2008) merekomendasikan pentingnya penelitian untuk menjelaskan peranan pengasuhan dalam hal sosialisasi nilai-nilai moral secara spesifik. Dalam pengasuhan, salah satu faktor yang mempengaruhi karakter anak, termasuk di dalamnya karakter jujur dan bertanggung jawab, adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Gaya pengasuhan digambarkan dalam tiga dimensi disiplin besar (Baumrind, 1967) yaitu authoritarian (otoriter), permissive (permisif), dan authoritative (otoritatif). Gaya pengasuhan otoritatif disimpulkan sebagai gaya pengasuhan yang paling optimal berdasarkan meta analisis Lamborn et. al (1991) dan Steinberg et.al (1994). Ritter (2005) menemukan bahwa gaya pengasuhan otoritatif berhubungan dengan tingkat resiliensi yang tinggi, sedangkan gaya pengasuhan otoriter dan permisif paling sering dihubungkan dengan partisipan yang memiliki tingkat resiliensi rendah. Remaja dari orang tua otoriter cukup berprestasi secara akademik tetapi rendah kepercayaan dirinya (Lamborn et. al, 1991). Selain gaya pengasuhan, sosialisasi nilai juga sangat berperan untuk menentukan ‘buah’ seperti apa yang akan dihasilkan nantinya dari seorang anak. Sosialisasi nilai karakter oleh orang tua terhadap anak (remaja) perlu dilakukan melalui berbagai metode sosialisasi (Berns, 1997) yaitu metode sosialisasi preventif (teladan, penjelasan, penetapan standar, penguatan positif) dan korektif (hukuman). Karakter remaja merupakan hasil dari gaya pengasuhan dan sosialisasi nilai yang dilakukan oleh orang tua baik dilihat secara individual maupun interaksi antar keduanya (Hillaker et.al., 2008).

Berdasarkan pemaparan tersebut maka penelitian ini meneliti mengenai pengaruh gaya pengasuhan dan metode sosialisasi orang tua terhadap karakter jujur dan tanggung jawab remaja.

Perumusan Masalah

(31)

merugikan diri sendiri dan lingkungan dan dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menyebabkan kemerosotan moral dan karakter bangsa. Pembentukan karakter dimulai dari keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama bagi anak. Sesuai dengan teori struktural fungsional, keluarga seharusnya memiliki struktur yang kokoh dan setiap anggota keluarga memiliki fungsi masing-masing demi terciptanya suatu keharmonisan. Permasalahan terjadi ketika keluarga mudah goyah dan tidak dapat menjalankan fungsinya. Salah satu akibatnya adalah pembentukan karakter anak tidak berhasil. Oleh karenanya, faktor pengasuhan sangat penting dalam usaha menanamkan nilai dan norma kepada anak termasuk di dalamnya karakter jujur dan tanggung jawab.

Perilaku tidak jujur di kalangan remaja di Indonesia dapat dilihat dari hasil suatu survey dilakukan oleh Litbang Medisa Group pada tanggal 19 April 2007 di enam kota besar Indonesia (Makasar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Medan) melalui wawancara terstruktur melalui telepon terhadap 480 responden dewasa yang dipilih secara acak (Kautsar, 2009). Hasil survey tersebut menyatakan bahwa mayoritas pelajar, baik yang duduk di bangku sekolah ataupun Perguruan Tinggi melakukan kecurangan akademik dalam bentuk menyontek.

Selain itu, rendahnya karakter kejujuran di Indonesia dapat dilihat dari tingginya tingkat korupsi saat ini. Hal yang sangat menyedihkan dan memalukan adalah Indonesia berada pada peringkat kedua negara terkorup menurut survei Political and Economical Risk Consultancy (PERC) terhadap 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik, dengan skor 9,25 dari nilai 10 dan hanya berbeda 0,02 poin dari Kamboja yang menempati peringkat pertama dengan skor 9,27. Pada tahun 2010, Indonesia adalah negara terkorup menurut survey yang sama dengan skor 9,07.2 Meskipun pada tahun 2011 Indonesia bukan lagi di peringkat pertama namun jika dilihat dari skor survei dengan nilai 10 sebagai nilai tertinggi tingkat korupsi, skor Indonesia di tahun 2011 mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang mengindikasikan semakin parahnya tingkat korupsi di Indonesia.3 Budaya korupsi merupakan praktek pelanggaran moral yaitu ketidakjujuran, tidak bertanggung jawab, rendahnya disiplin, dan rendahnya komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan (Megawangi, 2009).

      

2

 http://www.asiarisk.com, diakses 9 Februari 2012. 

3 

(32)

Perilaku tidak bertanggung jawab remaja dapat dilihat dari berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan remaja mulai dari membolos, tidak menaati orang tua dan guru, tidak menepati janji, dan tidak menyelesaikan tugas atau tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya.

Mengingat pentingnya karakter jujur dan tanggung jawab bagi generasi muda Indonesia maka hal yang pertama harus dilakukan adalah menanamkannya melalui keluarga. Keluarga merupakan tempat yang paling pertama dan utama dalam hal sosialisasi anak sesuai dengan nilai-nilai keluarga dan norma masyarakat yang dianut. Ruhidawati (2005) menjelaskan bahwa keluarga adalah pilar pertama dan utama dalam membentuk manusia yang berkualitas melalui proses pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua. Dalam pengasuhan, salah satu faktor yang mempengaruhi karakter anak adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Gaya pengasuhan digambarkan dalam tiga dimensi disiplin besar (Baumrind, 1967) yaitu authoritarian (berpusat pada orangtua), permissive (berpusat pada anak) dan authoritative (demokratis). Tipe orang tua otoriter berusaha untuk menentukan, mengontrol, dan menilai tingkah laku dan sikap anak sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan. Tipe orang tua permisif tidak menghukum dan membolehkan semua perilaku anak tanpa ada kontrol dari orang tua. Sementara itu, tipe orang tua otoritatif mengontrol perilaku anak dengan demokratis namun tegas dan berusaha untuk merangsang tingkah laku yang diinginkan pada anak.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan kajian tentang 1) bagaimana karakteristik remaja khususnya siswa SMA dan karakteristik keluarganya, 2) bagaimana gaya pengasuhan dan metode sosialisasi orang tua, 3) bagaimana karakter jujur dan bertanggung jawab pada remaja, 4) bagaimana pengaruh gaya pengasuhan dan metode sosialisasi orang tua terhadap pembentukan karakter jujur dan bertanggung jawab pada remaja.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum:

(33)

Tujuan Khusus:

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi gaya pengasuhan orang tua, metode sosialisasi orang tua, dan karakter jujur dan bertanggung jawab pada remaja.

2. Menganalisis perbedaan karakter remaja laki-laki dan perempuan.

3. Menganalisis hubungan antarvariabel yaitu karakteristik remaja, karakteristik keluarga, gaya pengasuhan, metode sosialisasi orang tua, dan karakter remaja.

4. Menganalisis pengaruh karakteristik remaja, karakteristik keluarga, gaya pengasuhan dan metode sosialisasi orang tua terhadap karakter remaja.

Manfaat Penelitian

(34)
(35)

Keluarga

Keluarga adalah suatu kelompok orang yang terdiri dari suami isteri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi untuk mencapai tujuan bersama. Keluarga menurut U.S Census Bureau adalah dua atau lebih orang-orang yang memiliki hubungan darah, adopsi atau perkawinan yang tinggal dalam satu rumah tangga (Saxton, 1990). Menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

Fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, berjumlah delapan yang meliputi fungsi-fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik yang terdiri atas fungsi keagamaan, sosial, budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Menurut Rice & Tucker (1986), fungsi keluarga terdiri dari fungsi instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental adalah manajemen sumber daya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak serta dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Fungsi ekspresif adalah memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak.

Orangtua didefinisikan sebagai individu yang merawat seluruh segi dari pertumbuhan anak, yang mengasuh, melindungi dan membimbing kehidupan baru melalui tahap-tahap perkembangan (Brooks, 2001). Menurut para ahli sosial, tugas utama orangtua adalah untuk menyediakan kebutuhan fisik (makanan, tempat tinggal, pakaian) dan emosional (cinta, kasih sayang, perhatian dan pengasuhan yang sensitif dan responsif) anak; perlindungan dan keamanan; stimulasi yang pantas dan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan fisik, intelektual dan sosial; nilai dan moral dan teladan sebagai anggota yang bahagia dan berkontribusi terhadap keluarga dan masyarakat (Brooks, 2001).

(36)

mempersiapkan anak untuk menjadi orang dewasa yang mandiri secara ekonomi dan mendorong perilaku personal dan sosial yang positif, misalnya penyesuaian psikologis, kompetensi intelektual dan kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan teman (Brooks, 2001).

Teori Keluarga Struktural Fungsional

Dalam kajian keluarga, salah satu grand theory yang menjadi landasan pengembangan kajian yang dilakukan adalah teori struktural fungsional. Teori struktural fungsional menitikberatkan pada struktur dan fungsi dari sebuah sistem. Teori ini bersumber dari filsafat Platonik, yaitu filsafat yang mengakui kebenaran adanya pembagian tugas (Megawangi, 2005). Perspektif teori struktural fungsional pada awalnya dikembangkan untuk menganalisa keadaan sosial kemasyarakatan secara umum (Klein & White, 1996).

Pendekatan teori struktural fungsional yang merupakan teori sosiologi kemudian lebih lanjut dikembangkan oleh Ogburn dan Parsons dalam institusi keluarga karena keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa dengan yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mempunyai warna yang jelas yaitu mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial dan keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat pada akhirnya, keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Struktur dan fungsi ini tidak pernah lepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi, 2005). Menurut Parsons, fungsi keluarga pada zaman modern terutama dalam hal sosialisasi anak dan manajemen tekanan untuk masing-masing anggota keluarga, justru akan semakin terasa penting. Keluarga tidak bersifat statis atau tidak dapat berubah, melainkan keluarga selalu beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan atau suatu kondisi yang disebut dynamic equilibrium. Perspektif teori struktural fungsional terhadap keluarga menganggap keluarga sebagai salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat misalnya sistem ekonomi, politik, pendidikan dan agama. Dalam interaksinya dengan subsistem-subsistem tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat atau equilibrium state (Megawangi, 2005).

(37)
(38)

1. Mikrosistem

Lapisan pertama ini adalah lingkungan yang langsung mempengaruhi anak seperti misalnya keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, dan lingkungan tetangga. Perkembangan anak dipengaruhi oleh interaksinya dengan komponen dalam mikrosistem.

2. Mesosistem

Lapisan kedua adalah mesosistem yang terdiri dari hubungan dan interaksi antara dua atau lebih mikrosistem yang mempengaruhi perkembangan anak, misalnya hubungan keluarga dengan sekolah atau keluarga dengan kelompok teman sebaya anak.

3. Eksosistem

Lapisan ketiga ini adalah sistem dimana anak tidak berpartisipasi secara langsung namun mempengaruhi perkembangannya di dalam salah satu mikrosistemnya. Yang termasuk dalam eksosistem misalnya tempat kerja orang tua, keluarga besar, dan media massa.

4. Makrosistem

Makrosistem adalah sistem budaya dimana anak tinggal dimana nilai, gaya hidup, pilihan, dan pola interaksi sosial mempengaruhi anak dan keluarga.

Menurut Couchenour & Chrisman (2004), teori bioecological Bronfenbrenner menyediakan dukungan substansial terhadap praktek melibatkan keluarga dalam pengasuhan dan pendidikan anak sejak usia dini. Keluarga termasuk dalam mikrosistem yang merupakan pengaruh pertama dan langsung terhadap perkembangan anak. Oleh karena itu, orang tua harus memperhatikan pengasuhan yang tepat untuk mengoptimalkan perkembangan anak.

Gaya Pengasuhan

(39)

baik. Kesatuan dan keeratan keluarga terlihat dari kegiatan bersama yang dilakukan oleh keluarga namun kegiatan pribadi dan kemandirian tiap anggota keluarga juga dihargai. Orang tua dalam keluarga yang kuat dan sehat mengkomunikasikan nilai-nilai dan batasan yang jelas bagi anak-anak mereka, termasuk di dalamnya konsekuensi, toleransi dan rasa hormat. Orangtua adalah teladan bagi anak-anak. Permasalahan yang dihadapi dalam keluarga diselesaikan dengan optimis dan ada dukungan dari tiap anggota keluarga (Berns, 1997).

Hubungan antara anak dengan keluarga adalah hal yang sangat penting bagi perkembangannya. Pendekatan orang tua yang hangat dan peduli terhadap anak, ekspektasi mereka dari anak, komunikasi dan sikap disiplin dari orang tua membentuk sikap pengasuhan anak oleh orangtua (Bartell, 2005). Darling dan Steinberg (1993) membuat konseptualisasi mengenai gaya pengasuhan sebagai kumpulan sikap terhadap anak yang dikomunikasikan kepada anak dan menciptakan iklim emosional yang di dalamnya perilaku orang tua terekspresikan. Gaya pengasuhan orang tua dapat mempengaruhi anak dalam hal karakteristik kepribadian dan penyesuaian diri terhadap lingkungan (Locke, 2002). Selain itu, gaya pengasuhan yang tepat penting untuk mendukung kompetensi anak.

(40)

Gaya pengasuhan otoriter merupakan gaya pengasuhan yang mengontrol perilaku anak dengan tegas, berorientasi kekuasaan, menuntut ketaatan dan tanpa memperhatikan karakteristik individual anak. Orang tua tipe ini menekankan pada kontrol tanpa sikap mengasuh dan dukungan terhadap anak (Brooks, 2001), menilai perilaku dan sikap anak dengan standar absolut serta menghargai ketaatan, rasa hormat terhadap otoritas dan tradisi (Berns, 1997). Peraturan dan batasan yang ditetapkan orang tua bersifat kaku dan dibentuk dengan tingkat otoritas yang tinggi. Dalam gaya pengasuhan tipe ini, yang bernilai bagi orang tua adalah ketaatan anak tanpa bertanya dan orang tua ikut campur dan membatasi perilaku anak tanpa ragu untuk kebaikan anak (Önder & Gülay, 2009). Orang tua tipe ini tidak memberi dukungan dan kekuatan bagi anak dan percaya bahwa apa yang mereka katakan harus diterima oleh anak sebagai kebenaran (Bartell, 2005). Meskipun tingkat kepedulian terhadap anak rendah, orang tua memiliki tingkat tertinggi dari kontrol (Johnson, 2006). Mereka menerapkan hukuman verbal dan nonverbal (fisik) untuk mengatasi perilaku anak yang tidak diinginkan dan tidak memuji perilaku positif serta mengalami stress dalam hal menghilangkan perilaku anak yang tidak diharapkan (Lamb & Baumrind 1978). Dalam gaya pengasuhan otoriter, orang tua memiliki ekspektasi terhadap anak di luar kemampuan nyata anak (Cunningham, 1993), tidak menyukai perubahan dan memutuskan sesuatu dengan cepat tanpa mengevaluasi pengaruh dari keputusan mereka terhadap anak (Locke, 2002). Anak-anak yang diasuh dengan pola otoriter cenderung tidak bahagia, menarik diri, dan penuh rasa curiga (Brooks, 2001), serta penuh rasa takut, tidak memiliki tujuan dan tidak puas (Berns, 1997). Hasil penelitian Lamborn et al. (1991) menunjukkan bahwa remaja dari orang tua otoriter cukup berprestasi secara akademik tetapi rendah kepercayaan dirinya (tingkat self reliance dan self concept rendah).

(41)

membujuk anak untuk menaati peraturan (Önder & Gülay, 2009). Meskipun orang tua memiliki kemampuan untuk mengasuh anak, namun mereka memiliki kompetensi yang rendah untuk mengendalikan perilaku anak-anak mereka (Johnson, 2006; Mussen et.al., 1990). Orang tua memberikan tingkat kebebasan yang tinggi dan tingkat disiplin yang rendah serta memiliki ekspektasi yang rendah terhadap anak-anak mereka (Cunningham, 1993). Anak-anak yang diasuh dengan gaya permisif cenderung tidak mandiri, impulsif, agresif, tidak berani bereksplorasi dan memiliki kendali diri yang lemah (Berns, 1997).

Gaya pengasuhan otoritatif mempunyai karakteristik mengatur namun fleksibel, menuntut namun rasional, hangat, menerima komunikasi dari anak dan menghargai disiplin, kemandirian dan keunikan. Orangtua menentukan batasan dan aturan yang jelas dalam keluarga namun tetap menerima komunikasi dan bertoleransi terhadap anak (Hurlock, 1997). Peraturan yang ditetapkan bersifat terbuka, jelas, dapat didiskusikan, dan siap untuk diubah sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan. Peraturan dapat diatur kembali karena bersifat fleksibel (Mussen et al., 1990). Hubungan antara orang tua dan anak adalah hubungan yang dekat dan orang tua menerapkan pendekatan kooperatif dan peka terhadap anak dan mendukung anak dengan ekspresi verbal dan fisik (Önder & Gülay, 2009). Ekspektasi orang tua dihubungkan dengan kompetensi anak (Johnson, 2006; Lamb & Baumrind, 1978) dan orang tua menyadari akan ide, perasaan, dan sikap anak dan menghormatinya (Bartell, 2005). Gaya pengasuhan otoritatif ini akan menghasilkan perilaku anak yang mandiri, eksploratif, percaya diri dan kooperatif (Berns, 1997).

(42)

mereka yang memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan permisif. Remaja yang orangtuanya memberikan otonomi psikologis cenderung memiliki tingkat penghargaan diri yang tinggi dan kompeten dalam bidang akademik dan sosial. Para remaja ini ingin meraih pencapaian dan percaya bahwa mereka mampu melakukannya (Papalia et.al, 2008).

Baumrind (1967, 1991) dalam penelitiannya menemukan bahwa authoritative parenting berhubungan dengan kematangan psikososial, kerjasama dengan peer dan orang dewasa, dan sukses di bidang akademik. Hasil penelitian Lamborn et al. (1991) menunjukkan bahwa remaja dengan orang tua permisif memiliki skor rendah dalam beradaptasi dan remaja dari orang tua otoriter cukup berprestasi secara akademik tetapi rendah kepercayaan dirinya (tingkat self reliance dan self concept rendah). Penelitian Birndorf et al. (2005) menunjukkan bahwa salah satu penyebab tingkat self esteem yang tinggi pada remaja akhir baik laki-laki maupun perempuan adalah komunikasi keluarga yang positif.

(43)

Metode Sosialisasi Orang Tua

Fungsi sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua merupakan salah satu dari delapan fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Menurut Rice dan Tucker (1986), sosialisasi termasuk dalam fungsi instrumental maupun fungsi ekspresif keluarga. Fungsi instrumental mempunyai pengertian yaitu manajemen sumber daya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak serta dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Sedangkan fungsi ekspresif adalah memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak (Sunarti, 2001).

Ditinjau dari definisi, sosialisasi (socialization) adalah proses interaksi sosial yang melaluinya manusia sejak lahir memperoleh pengetahuan, sikap, nilai, perilaku, dan keterampilan-keterampilan yang penting untuk berfungsi sebagai makhluk sosial dan partisipan yang efektif dalam masyarakat (Berns, 1997; Zanden, 1986). Dengan kata lain, sosialisasi adalah proses yang membuat manusia menjadi manusiawi, karena itu sosialisasi merupakan proses kompleks yang berkelanjutan dan berlangsung seumur hidup. Tanpa sosialisasi, pembaharuan budaya tidak dapat berlangsung antar generasi, artinya, baik individu maupun masyarakat sama-sama tergantung pada sosialisasi (Zanden, 1986). Jadi, sosialisasi tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan selalu mensyaratkan adaptasi yang terus-menerus dari manusia. Dalam masyarakat yang beragam dan maju dalam teknologi, maka semakin banyak yang harus dipelajari anak untuk dapat beradaptasi secara efektif. Semakin banyak agen dan pengalaman sosialisasi, maka semakin lama sosialisasi akan berlangsung (Berns, 1997). Sosialisasi manusia mensyaratkan dua hal yaitu warisan genetik yang cukup dan lingkungan yang memenuhi syarat. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa kemanusiaan merupakan produk dari faktor-faktor genetik dan lingkungan (Zanden, 1986).

(44)

dalamnya manusia menyampaikan informasi, ide, sikap, dan kondisi mental terhadap satu sama lain. Komunikasi melibatkan proses verbal dan non verbal yang digunakan untuk mengirimkan dan menerima pesan (Zanden, 1986). Berkaitan dengan hal ini, penanaman nilai moral oleh orang tua terhadap anak juga disampaikan melalui komunikasi baik dalam bentuk verbal maupun non verbal.

Anak disosialisasikan oleh banyak orang dalam masyarakat yang disebut sebagai agen sosialisasi, yaitu keluarga (orang tua, saudara kandung, kerabat lainnya), guru, peer group, pelatih, bahkan karakter yang diteladani dari media (televisi, film, buku, internet). Setiap agen sosialisasi menerapkan berbagai macam teknik dengan tujuan mempengaruhi anak untuk bersikap, bertindak dan merasa berdasarkan apa yang patut. Kepercayaan agen akan sesuatu yang patut merupakan hasil dari proses sosialisasi yang telah mereka alami sendiri yaitu nilai, moral, sikap, dan konsep diri. Anak dan lingkungan juga memainkan peranan dalam sosialisasi. Perilaku anak dapat mempengaruhi orang lain untuk bersikap dalam cara tertentu dan lingkungan juga berperan dalam sosialisasi melalui keadaan lingkungan (setting), peran, dan interaksi (Berns, 1997).

Lebih spesifik ke dalam peran keluarga atau orang tua dalam sosialisasi anak, Saxton (1990) menyatakan bahwa pentingnya keluarga terlihat dari fungsi utama keluarga, termasuk di dalamnya produksi dan sosialisasi anak. Keluarga memainkan peran utama sebagai agen pertama untuk menginternalisasi norma budaya dan sosial ke dalam diri anak, dan karenanya membentuk garis besar masyarakat dalam generasi selanjutnya. Mode berpikir dan berperilaku, sistem nilai, dan standar etika cenderung dapat menjadi kebiasaan ketika diinternalisasikan kepada anak sejak dini dan menjadi dasar bagi sikap dan perilaku di masa yang akan datang. Berns (1997) menyatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan pendahuluan/perkenalan anak dengan masyarakat, dan karena itu memiliki tanggung jawab yang besar dalam mensosialisasikan anak. Keluarga merupakan sistem interaksi dan hubungan dalam keluarga memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan psikososial anak. Dalam hal nilai atau norma, keluarga merupakan kelompok pertama referensi bagi anak. Hal ini sesuai dengan teori Bronfenbrener bahwa keluarga adalah lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan anak.

(45)

cognitive, sociocultural, dan apprenticeship. Keenam metode tersebut berbeda dalam sumber yang menghasilkan perilaku atau sikap penanda berhasilnya sosialisasi dengan efektif.

1. Metode sosialisasi affective (afektif) mengacu kepada perasaan atau emosi. Pembentukan seorang anak, baik disengaja maupun tidak, dihasilkan melalui interaksi antar pribadi yang menghasilkan attachment (kelekatan). Elkin dan Handel (1989) menyatakan bahwa sosialisasi dimulai dengan adanya personal attachment. Dalam metode sosialisasi ini, perilaku dihasilkan dari perasaan (feeling).

2. Metode sosialisasi operant mengacu pada menghasilkan suatu efek atau pengaruh dengan keyakinan bahwa ketika suatu perilaku diikuti oleh hasil yang diinginkan, maka kemungkinan perilaku tersebut berulang akan meningkat. Sebaliknya, jika suatu perilaku diabaikan atau diikuti oleh hasil yang tidak diinginkan, maka kemungkinan perilaku tersebut berulang akan menurun. Hal ini berdasarkan teori behaviorism yang meyakini individu sebagai responden dan perilaku dikendalikan oleh lingkungan (Papalia et.al., 2008). Beberapa teknik sosialisasi untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan adalah melalui reinforcement (penguatan) baik positif maupun negatif, extinction (hilangnya suatu perilaku akibat hilangnya penguatan), punishment (hukuman), feedback (informasi evaluatif mengenai perilaku yang bersifat positif maupun negatif), learning by doing (melalui pengalaman dan interaksi). Dalam metode sosialisasi ini, perilaku dihasilkan dari berbuat sesuatu (acting).

3. Dalam metode sosialisasi observasional perilaku dihasilkan dari melakukan imitasi (imitating) atau disebut dengan istilah modeling. Modeling adalah bentuk pembelajaran yang terjadi dengan mengamati perilaku orang lain dan mengalami konsekuensinya. Model yang diamati dapat merupakan orang tua, saudara kandung, kerabat, teman, guru, pelatih atau karakter televisi. Metode sosialisasi ini sesuai dengan teori social learning Bandura yang memandang individu berperan aktif dalam pembelajaran (Papalia et.al., 2008).

(46)

spesifik sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Menetapkan standar merupakan salah satu metode sosialisasi kognitif yang menyediakan pengetahuan dini bagi anak mengenai apa yang diharapkan atau tidak diharapkan dari mereka. Standar adalah tingkat pencapaian atau keberhasilan yang dianggap sebagai tujuan atau ukuran kelayakan. Ketika orang tua menetapkan standar bagi anak, orang tua sedang memberitahukan anak apa yang harus mereka lakukan. Metode reasoning adalah menggunakan penjelasan mengenai suatu perilaku dan konsekuensinya. Tujuan dari pemberian penjelasan atau alasan dalam proses sosialisasi adalah untuk memampukan anak menarik suatu kesimpulan ketika menemukan suatu situasi yang serupa. Dalam metode sosialisasi kognitif, perilaku dihasilkan dari berpikir (thinking) sesuai dengan teori cognitive-stage Piaget (Papalia et.al., 2008).

5. Metode sosialisasi sosiokultural mengacu kepada karakteristik dari lingkungan sosial dimana individu tumbuh dewasa yaitu suatu budaya yang melibatkan perilaku yang telah dipelajari, termasuk pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan tradisi. Ekspektasi sosiokultural mempengaruhi perilaku individu. termasuk di dalamnya group pressure, tradition, rites and rituals, dan symbols. Jika ditinjau dari teori perkembangan, metode sosialisasi ini sesuai dengan teori sociocultural Vygotsky yang menekankan bahwa interaksi sosial memegang peran utama dalam perkembangan kognitif (Papalia et.al., 2008). Dalam metode sosialisasi sosiokultural, perilaku dihasilkan dari menyetujui (conforming).

(47)

dalam melakukan suatu hal sampai saat anak dapat melakukannya sendiri (Papalia et.al., 2008).

Karakter

Karakter berasal dari bahasa Perancis Tengah yaitu “caractere” dan bahasa Latin yang berarti “mark, distinctive quality”. Adapun dalam bahasa Yunani, karakter berasal dari kata “charassein” yang artinya memberi goresan (to scratch) atau mengukir (to engrave). Menurut Lickona (1991) karakter terdiri dari nilai yang berlaku dan nilai dalam tindakan. Karakter berkembang dari nilai menjadi kebaikan, yaitu sifat dalam diri yang dapat dipercaya untuk merespon situasi dengan moral yang baik. Lickona (2004) menulis beberapa pernyataan para filsuf dan ahli mengenai karakter. Cicero mengatakan bahwa, “di dalam karakter seorang warga negara terletak kesejahteraan negara tersebut.” Emerson, seorang dosen di Harvard University menyatakan bahwa “karakter lebih tinggi dari intelektualitas.” Covey mengatakan bahwa “Anda harus melakukan hal yang baik dan untuk melakukan hal yang baik, Anda harus lebih dulu menjadi baik.” Lickona berpendapat bahwa setiap orang tua yang menginginkan anak-anaknya sukses pasti mengetahui secara alami bahwa tanpa karakter, misalnya kualitas seperti kejujuran, tanggung jawab, kebaikan, dan keyakinan hati pada saat mengalami masalah, kesuksesan tersebut sulit untuk diraih atau dipertahankan.

Dalam Megawangi (2007) tertulis betapa pentingnya karakter dalam kehidupan seseorang yaitu di antaranya, McCarroll mengatakan bahwa “virtue is the muscle tone that develops from daily and hourly training of a spiritual warrior (karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam dari seorang pejuang spiritual). Luther menyatakan bahwa “good

character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some

extent a gift. Good character, by contrast, is not given to us. We have to build it piece by piece – by thought, choice, courage and determination (karakter yang baik adalah lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras).

(48)

waktu dan budaya. Sepuluh nilai kebaikan utama yang mendefinisikan karakter yang kuat yaitu kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), keteguhan hati (fortitude), pengendalian diri (self-control), cinta (love), sikap positif (positive attitude), kerja keras (hard work), integritas (integrity), rasa terima kasih (gratitude) dan kerendahan hati (humility). Kesepuluh nilai kebaikan utama ini dapat dianggap sebagai hidup menurut kelakuan yang benar. Hidup berkarakter memiliki dua sisi yaitu kelakuan yang benar dalam hubungan dengan orang lain, dan kelakuan yang benar dalam hubungan dengan diri sendiri. Nilai-nilai kebaikan yang berhubungan dengan orang lain contohnya adalah nilai keadilan, kejujuran, rasa berterima kasih, dan cinta, sedangkan nilai kebaikan yang berhubungan dengan diri sendiri contohnya adalah nilai ketabahan, pengendalian diri, kerendahan hati, dan berusaha yang terbaik.

Klasifikasi nilai kebaikan yang lain dijabarkan oleh Peterson & Seligman (2004) yang menulis bahwa virtues sebagai karakteristik utama yang dinilai oleh filsuf moral dan pemikir agama terdiri dari kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice), kesederhanaan (temperance), dan transenden (transcendence). Ciri-ciri dimensional yang mendefinisikan nilai-nilai kebaikan umum ini disebut kekuatan karakter atau character strengths. Sebagai contoh, nilai kebijaksanaan dapat dicapai melalui beberapa kekuatan seperti keingintahuan, cinta akan belajar, keterbukaan pikiran, kreativitas, dan perspektif.

(49)

memberikan pendidikan dan sosialisasi adalah sangat berperan di dalam menentukan ‘buah’ seperti apa yang akan dihasilkan nantinya dari seorang anak.

Tujuan semua orang tua, pendidik, dan bahkan masyarakat adalah membesarkan anak-anak yang berbudi luhur (virtuous) atau berkarakter baik (Park et.al, 2006). Hal tersebut mendapat perhatian dalam bidang psikologi dengan berkembangnya psikologi positif yang secara spesifik menekankan pada pembangunan hidup yang baik dengan mengidentifikasi dan memelihara kekuatan karakter individu (Seligman, 2002).

Karakter mengandung tiga hal yang saling berhubungan yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action, yang artinya bahwa karakter yang baik terdiri dari mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik (Lickona, 1991). Moral knowing mencakup sisi kognitif dari karakter yaitu meliputi kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral, pandangan, penalaran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan diri. Moral feeling merupakan sisi emosi dari karakter yang terdiri dari nurani, penghargaan diri, empati, mencintai kebaikan, kendali diri, dan rendah hati. Moral knowing dan moral feeling menghasilkan outcome yaitu moral action. Aspek karakter dari moral action adalah kompetensi, hasrat, dan kebiasaan. Jika individu telah memiliki kualitas moral secara pengetahuan dan emosi, maka dapat dipastikan individu tersebut suka melakukan kebenaran yang mereka tahu dan rasakan. Menurut Blasi (2005), karakter moral mengacu kepada sintesis penilaian moral, reasoning moral, kepekaan moral, emosi moral, identitas moral, dan tindakan moral dan menekankan pada penanaman nilai seperti tanggung jawab sosial. Karakter disebut juga kompetensi sosiomoral yang mencakup rentang luas karakteristik psikologis yang memampukan individu untuk menempatkan nilai moral, reasoning, dan identitas ke dalam tindakan (Berkowitz et al., 2004). Kekuatan karakter pada remaja berhubungan dengan lebih sedikit masalah dan tingkat pencapaian akademik yang lebih tinggi (Park et al., 2006).

Teori Karakter

(50)

Dalam pandangan Piaget, ketidakmampuan anak untuk melihat permasalahan yang kompleks karena keterbatasan kemampuan berpikirnya, menyebabkan anak tidak mampu memahami isu moral tertentu (Lickona, 1991). Piaget membagi perkembangan moral ke dalam empat tahap. Pada tahap pertama (usia 2 - 4 tahun) anak belum mempunyai konsep yang nyata tentang moral. Umumnya perilaku mereka terfokus pada permainan dan aktivitas imajinatif yang tidak memiliki aturan. Pada tahap kedua (usia 5 - 7 tahun), anak mulai belajar peraturan sosial (social rules). Anak mengenal peraturan yang didikte (heteronomous) dan dilatih oleh pemegang otoritas (dalam hal ini orangtuanya). Tahap kedua ini disebut moral realism yaitu masa saat anak tidak terpikir untuk mempertanyakan tujuan suatu peraturan walaupun mereka tidak memahami tujuan tersebut. Pada tahap ketiga (8 – 11 tahun) anak-anak secara perlahan mulai mengenal peraturan sebagai kesepakatan (moral relativism) yang menolong dan melindungi masing-masing individu, anak mampu mempertimbangkan faktor lain (motif dan tujuan) untuk mengevaluasi moral. Pada tahap terakhir (di atas 11 tahun) seseorang mulai mampu untuk membuat peraturan baru. Konsep formal operational telah memungkinkan mereka untuk membayangkan imajinasi hipotesis yang ada di sekitarnya dan telah mampu menggunakan penjelasan moralnya (moral reasoning) ke dalam konteks yang lebih luas (lingkungan sosial dan politik).

Kohlberg dalam tesisnya membahas secara khusus perkembangan moral manusia dan menyempurnakan pemikiran Piaget. Menurut Kohlberg perkembangan moral adalah perubahan tingkat moral dari yang berorientasi sosial kepada yang berorientasi nurani diri sendiri. Moral manusia tersusun dalam tiga tingkat yaitu pre-conventional, conventional, dan post-conventional (Papalia et.al., 2008). Tahap pre-conventional terdiri atas dua level yaitu

(51)

hukum yang berlaku. Tahap post conventional terdiri dari level social contract dan universal ethical principles. Pada level social contract moral ditentukan oleh hak-hak asasi manusia sedangkan pada level universal ethic principles, diasumsikan adanya prinsip universal dari moral dan nurani sebagai pedoman kebajikan.

Menurut Lickona (1994), perkembangan moral melalui 5 tahapan dari tahap 0 sampai tahap 5. Tahap 0 adalah egocentric reasoning (usia pra sekolah sampai 4 tahun) dimana orientasi moral adalah untuk mendapatkan imbalan/pujian dan menghindari hukuman. Tahap 1 adalah unquestioning obedience atau fase otoritas tak berpihak dimana orientasi moral adalah melakukan apa yang diperintahkan agar terhindar dari kesalahan atau masalah. Tahap 2 adalah fase balas-membalas (usia sekolah dasar) yaitu fase dimana orientasi moral adalah bersikap baik kepada orang lain yang juga baik kepada saya, untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu. Tahap 3 adalah interpersonal conformity (usia sekolah dasar – remaja awal) dimana orientasi moral adalah mementingkan diri sendiri namun juga bersikap adil terhadap orang yang juga adil kepada saya, dan juga bersikap baik agar diterima oleh orang lain (social approval) dan merasa diri baik (self-esteem). Tahap 4 adalah tahap responsibility to the system (usia sekolah menengah atas/remaja akhir). Dalam fase menjaga kelompok ini, orientasi moral adalah perasaan harus memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sosial karena sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari sistem tersebut dan untuk mempertahankan self-respect. Tahap 5 adalah principled conscience (usia dewasa awal) atau fase universalitas,moralitas tak berpihak. Orientasi moral pada fase ini adalah kesadaran untuk menunjukkan tanggung jawab yang besar dan kewibawaan kepada semua orang dan mendukung sistem yang menghormati hak asasi manusia. Kewajiban nurani adalah untuk bertindak sesuai prinsip menghormati kepada seluruh makhluk hidup.

Karakter Jujur dan Tanggung Jawab

(52)

komitmen mereka secara akurat. Orang-orang yang menunjukkan ciri-ciri tersebut menerima dan bertanggung jawab terhadap perasaan dan perilakunya dan mengakuinya sebagaimana adanya.

Berbeda dengan klasifikasi kekuatan karakter, Thomas Lickona menyatakan bahwa integritas berbeda dengan kejujuran. Menurutnya, integritas adalah mengatakan yang sebenarnya pada diri sendiri, sedangkan kejujuran adalah mengatakan yang sebenarnya pada orang lain (Lickona, 2004). Lickona (2004) menulis bahwa berdasarkan sepuluh nilai kebaikan utama (ten essential virtues), kejujuran dan tanggung jawab termasuk dalam nilai keadilan (justice). Keadilan berarti menghormati hak semua orang dan prinsip keadilan adalah memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita sendiri ingin diperlakukan. Nilai keadilan terdiri dari berbagai nilai-nilai kebaikan interpersonal seperti kesopanan, kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, dan toleransi.

Jujur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti lurus hati, tidak berbohong, tidak curang. Kejujuran berarti sifat (keadaan) jujur, ketulusan dan kelurusan hati. Jika diartikan secara baku jujur adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Kejujuran menjadi salah satu nilai terpenting yang diajarkan dalam pendidikan karakter di Amerika Serikat di samping kesetiaan, pengabdian, kewarganegaraan, integritas, keberanian, ketekunan dan motivasi diri (Was et al., 2006). Modal utama keberhasilan seseorang dalam bekerja adalah kejujuran, seperti hasil penelitian Boggs dalam Megawangi (2007).

(53)

persen dan 80 persen dompet dikembalikan sedangkan tempat yang menempati peringkat bawah diantaranya adalah Las Vegas dan Atlanta. Kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwa kebudayaan memegang peranan penting dalam menentukan karakter. Karakter suatu negara atau masyarakat mempengaruhi karakter penduduknya, dalam eksperimen tersebut yaitu norma sosial yang menyangkut karakter kejujuran. Berdasarkan data wawancara dalam eksperimen karakter tersebut, terungkap beberapa hal yang memotivasi kejujuran, yaitu penanaman nilai dan norma dari orang tua untuk melakukan hal yang benar, keyakinan religius, dan rasa empati (Lickona, 2004).

Karakter jujur secara umum dapat ditemukan dalam perilaku berkata yang sebenarnya, tidak berbuat curang, tidak menyontek, berani mengakui kesalahan, dan tidak mengambil barang milik orang lain tanpa izin.

Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Bertanggung jawab adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja dan juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Lickona (1991) menyatakan bahwa tanggung jawab adalah salah satu dari “two great moral values” di samping rasa hormat.

Rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mengacu pada sikap positif dan kewajiban seseorang terhadap pemenuhan tugas-tugas yang ditugaskan secara langsung maupun tidak langsung kepadanya (Mahmud et al., 2011). Penelitian Mahmud et.al (2011) terhadap 903 remaja Malaysia menunjukkan adanya hubungan signifikan antara komunikasi keluarga dengan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) remaja. Hal tersebut membuktikan pentingnya penanaman perilaku bertanggung jawab pada anak. Dalam penelitian tersebut, hasil wawancara dengan remaja sampel mengungkapkan keyakinan remaja bahwa orang tua sepatutnya mendorong dan membimbing remaja agar dapat menjadi orang-orang yang bertanggung jawab melalui pemberian tanggung jawab sejak dini, komunikasi yang terbuka dan menghargai serta melalui teladan/mencontohkan (modeling) perilaku bertanggung jawab.

(54)

membersihkan halaman, membantu menyiapkan makanan dan membersihkan meja setelah makan, membantu mengurus saudara kandung yang lebih kecil, dan lain sebagainya (Lickona, 2004). Selain memiliki tanggung jawab di rumah, tanggung jawab penting lain yang dimiliki sejak anak memasuki usia sekolah adalah tanggung jawab di sekolah yaitu untuk berusaha melakukan yang terbaik di sekolah dan pendidikan, salah satunya dengan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) sebaik-baiknya. Pengerjaan PR melibatkan disiplin diri dan mendahulukan kewajiban sebelum kesenangan (Lickona, 2004), karenanya dalam hal tanggung jawab di sekolah terdapat juga aspek tanggung jawab terhadap diri sendiri.

Dalam masyarakat Indonesia, keyakinan agama dipandang sangat penting dan sudah menjadi bagian hidup keseharian. Oleh karena itu, salah satu tanggung jawab yang dimiliki oleh remaja Indonesia adalah tanggung jawab terhadap Tuhan, misalnya menjalankan ibadah, berbuat yang sesuai ajaran agama, dan menjauhi laranganNya. Bentuk tanggung jawab yang lain yang dimiliki oleh remaja adalah tanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa/negara. Hal tersebut dalam ruang lingkup yang lebih kecil terlihat dalam tanggung jawab remaja di dalam suatu kelompok yang melibatkan dimensi kerja sama tim, melakukan bagian dalam kelompok, dan kepemimpinan (Peterson & Seligman, 2004). Selanjutnya, tanggung jawab yang dimiliki oleh setiap manusia adalah tanggung jawab terhadap lingkungan (alam) dimana ia tinggal melalui tindakan menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak melakukan praktek vandalisme.

(55)

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori struktural fungsional yang memandang keluarga sebagai suatu insititusi yang di dalamnya terdapat pembagian tugas dan fungsi bagi seluruh anggota keluarga dengan tujuan menciptakan keharmonisan dan keseimbangan keluarga dan masyarakat. Aplikasi teori ini ada pada fungsi pengasuhan dan sosialisasi nilai dan norma orang tua kepada anak. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan teori ekologi perkembangan manusia Bronfenbrenner (1960) untuk melihat pengaruh keluarga terhadap karakter anak.

Seorang anak mulai berkembang dalam lingkungan keluarga, karena itu keluarga memegang peran utama dan pertama untuk pengasuhan dan sosialisasi nilai karakter pada anak. Karakter penting untuk diteliti di usia remaja karena pada masa tersebut anak mengalami banyak perubahan biologis, kognitif maupun sosial, serta merupakan masa perkembangan identitas dan kemandirian (Padilla-Walker, 2007; Barni et.al., 2011). Dalam menjalankan fungsi pengasuhan, cara orang tua melakukannya atau biasa disebut gaya pengasuhan, merupakan hal yang penting untuk diteliti. Gaya pengasuhan biasa digambarkan dalam tiga dimensi besar (Baumrind, 1967) yaitu authoritarian (berpusat pada orang tua), permissive (berpusat pada anak), dan authoritative (demokratis). Gaya pengasuhan mempengaruhi anak dan begitupun sebaliknya, anak mempengaruhi gaya pengasuhan orang tua (Berns, 1997). Karakteristik remaja yang mempengaruhi gaya pengasuhan orang tua di antaranya adalah usia dan jenis kelamin. Karakteristik keluarga yang memberikan pengaruh terhadap gaya pengasuhan orang tua di antaranya adalah usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan dan besar keluarga.

(56)

dini dan menjadi dasar bagi sikap dan perilaku di masa yang akan datang (Saxton, 1990), termasuk di dalamnya nilai kejujuran dan tanggung jawab. Sosialisasi nilai karakter oleh orang tua terhadap anak (remaja) perlu dilakukan melalui berbagai metode sosialisasi yaitu metode sosialisasi preventif (teladan, penjelasan, penetapan standar, penguatan positif) dan korektif (hukuman). Pemilihan metode-metode tersebut dipengaruhi oleh karakteristik anak dan keluarga (Berns, 1997). Karakter remaja merupakan hasil dari gaya pengasuhan dan sosialisasi nilai yang dilakukan oleh orang tua baik dilihat secara individual maupun interaksi antar keduanya (Hillaker et.al., 2008).

Dalam pengasuhan, ditemukan korelasi antara pengasuhan dengan perilaku (karakter) anak (Berns 1997, Önder & Gülay 2009). Baumrind (1967, 1991) dalam penelitiannya menemukan bahwa authoritative parenting berhubungan dengan kematangan psikososial, kerjasama dengan peer dan orang dewasa, dan sukses di bidang akademik. Hasil penelitian Lamborn et al. (1991) menunjukkan bahwa remaja dengan orang tua permisif memiliki skor rendah dalam beradaptasi dan remaja dari orang tua otoriter cukup berprestasi secara akademik tetapi rendah kepercayaan dirinya (tingkat self reliance dan self concept rendah).

(57)

 

Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian pengaruh gaya pengasuhan dan metode sosialisasi orang tua terhadap karakter jujur dan tanggung jawab siswa SMA di Kota Bogor

 

(58)
(59)

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di 6 sekolah yang terdiri dari SMA dan SMK negeri dan swasta di Kota Bogor. Pengambilan data dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2012. Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Strategis Nasional Tahun 2012 yang diketuai oleh Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc berjudul Model Harmonisasi Peran Keluarga dan Sekolah Dalam Pembentukan Karakter Mulia Remaja Bagi Tercapainya Visi ”Insan Cerdas Komprehensif Tahun 2014”.

Populasi, Contoh, dan Teknik Penarikan Contoh

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kota Bogor, terpilih secara acak kelompok (cluster random sampling) empat sekolah yang mewakili SMA dan SMK negeri dan swasta yaitu SMAN A sebagai wakil SMA negeri, SMA B sebagai wakil SMA swasta, SMKN C sebagai SMK negeri, dan SMK D sebagai SMK swasta. Penjajakan kemudian dilakukan ke sekolah-sekolah yang terpilih untuk menanyakan kesediaannya menjadi lokasi penelitian. Dalam proses penjajakan tersebut diperoleh informasi bahwa terdapat satu sekolah (SMK D) yang jumlah siswa perempuannya tidak mencukupi untuk dijadikan kerangka contoh sehingga diputuskan untuk mencari SMK terdekat dengan kriteria yang sama dengan SMK D dan jumlah siswa perempuan yang mencukupi yaitu SMK E. Untuk merepresentasikan SMA swasta, dalam kenyataan di lapangan, jumlah siswa SMA B tidak mencukupi sehingga ditambah dengan siswa dari MA B.

(60)

Gambar 3 Kerangka penarikan contoh

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data mengenai karakteristik remaja, karakteristik keluarga, gaya pengasuhan, metode sosialisasi orang tua, dan karakter remaja. Data primer dikumpulkan dengan alat bantu kuesioner sebagai instrumen pengumpul data. Data sekunder terdiri dari data jumlah siswa dan profil sekolah. Data sekunder tersebut dikumpulkan melalui data sekolah sebagai instrument pengumpul data. Jenis dan cara pengumpulan data disajikan secara lengkap dalam Tabel 1.

SMA SMK

Kota

SMA Negeri SMAN A

SMA Swasta SMA B MA B

SMK Swasta SMK D SMK E SMK

Negeri SMKN C

200 Orang Kelas X

100 Orang Laki-laki

100 Orang Perempuan 100 Orang

Kelas X (L:44, P:56)

Gambar

Gambar 1 Model eko
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian pengaruh gaya pengasuhan dan metode sosialisasi orang tua terhadap  karakter jujur dan tanggung jawab siswa SMA di Kota Bogor
Gambar 3 Kerangka penarikan contoh
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

READING OSCAR HIJUELOS’ THE MAMBO KINGS PLAY SONGS OF LOVE THROUGH EXISTENTIALISM POINT OF VIEW.. AN

• Lembar data keamanan bahanbahan kimia (LDKB) atau Material Safety Data Sheet (MSDS) ataupun dalam bentuk lain yang lebih praktis seperti poster dari produsen bahan

SOR310 Olahraga Terapl & Rehaj.. Eka Swasta

Analisis Tingkat Kepuasan Petani Tebu Rakyat Pabrik Gula (PG) Semboro Kabupaten Jember ; Luqmanul Hakim, 081510601078; 2013: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian

Diluar pengurus serta anak binaan LSK Bina Bakat tersebut terdapat juga informan yang lain yaitu dari pihak luar yang berinteraksi dengan LSK Bina Bakat seperti Dinas

Berdasarkan rumus Beker diatas disebutkan juga bahwa besarnya tenaga yang dihasilkan oleh traktor sebanding dengan luas bidang kontak ban dengan tanahnya hal

Pada penulisan ilmiah ini, penulis mencoba membuat aplikasi penyewaan mobil untuk menggantikan pencatatan data secara manual yang memiliki banyak kekurangan di antaranya data

Dari analisis pada dua kondisi cuaca yang ada, ditemukan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam hal interaksi angin laut kedaratan pada saat cuaca hujan