• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) untuk Simulasi Sebaran Polutan NO2 dan SO2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) untuk Simulasi Sebaran Polutan NO2 dan SO2"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN HYBRID SINGLE-PARTICLE LAGRANGIAN

INTEGRATED TRAJECTORY (HYSPLIT) UNTUK SIMULASI SEBARAN

POLUTAN NO2 DAN SO2

FARRAHDHINA FAIRUZI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

FARRAHDHINA FAIRUZI

.

Penggunaan Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) untuk Simulasi Sebaran Polutan NO2 dan SO2. Di bawah bimbingan

AHMAD BEY dan EKO HERIYANTO

.

Hybrid Single-Particle Lagrangian Trajectory (HYSPLIT)merupakan salah satu model yang digunakan untuk memprediksi trajektori, dispersi, dan konsentrasi polutan dari sumber titik, garis, maupun area. Model ini mengaitkan hubungan antara komponen distribusi polutan dengan komponen meteorologi melalui model WRF untuk mengidentifikasi lokasi sumber. Industri merupakan salah satu lokasi yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran konsentrasi polutan terutama NO2 dan SO2. Keberadaan zat pencemar akan meningkat seiring dengan

meningkatnya aktivitas industri. Pemantauan kualitas udara penting dilakukan dalam rangka pengendalian dampak pencemaran udara, salah satunya adalah dengan cara melakukan simulasi dispersi polutan dengan menggunakan model untuk mengetahui potensi keterpaparan polutan. Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi dan menganalisa arah trajektori, memprediksi konsentrasi, dan menganalisa hubungan suhu dan stabilitas atmosfer terhadap konsentrasi NO2 dan

SO2. Pendekatan yang digunakan dalam simulasi polutan dalam penelitian adalah HYSPLIT. Hasil

yang diperoleh yaitu pada bulan Juni trajektori bergerak ke arah Barat dan bulan Desember trajektori bergerak ke arah Timur. Selain itu Konsentrasi NO2 yang diperoleh untuk PT. X berkisar

antara 368 – 350.5 dan SO2 berkisar antara 677 - 338 . Sedangkan

konsentrasi NO2 yang diperoleh untuk PT. Y berkisar antara 385.7 - 410.2 dan

SO2 berkisar antara 401.1 - 442.2 . Suhu udara dan kondisi stabilitas atmosfer

dapat mempengaruhi konsentrasi polutan. Korelasi yang diperoleh antara suhu dengan konsentrasi NO2 dan SO2 berkisar antara -0.54 sampai -0.69 dan korelasi antara kondisi stabilitas atmosfer

(3)

ABSTRACT

FARRAHDHINA FAIRUZI. Utilization of Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) in the Simulation of NO2 and SO2 Spatial Distribution. Supervised by AHMAD BEY and EKO HERIYANTO.

HYSPLIT is a model primarily designed to predict the trajectory, dispersion, and concentration of pollutants from a single or multiple sources. The model may be integrated with meteorological data fields derived from the WRF model to identify source location. Industrial area normally release various types of gas pollutants with variable concentrations, including NO2 and

SO2. The abundance of the emitted pollutants will increase along with increasing industrial

activities. As part of air quality management, activities to monitor air quality needs to be conducted regularly in order to control the pollutants concentrations. Utilizing a model simulation may allow us to identify the pollutants exposure potentials. The objective of this study include to understand how HYSPLIT can be used to predict and analyze trajectory of pollutants, estimate pollutants concentrations, and analyze the relationship between temperature and atmospheric stability to NO2 and SO2 concentrations. The result showes that in June trajectory is directed

westward and in December trajectory it moves eastward. In addition, NO2 concentrations

obtained for PT. X ranged from 350.5 to 368 and SO2 ranged from 338 to

677 . The NO2 concentrations for PT. Y ranged from 385.7 - 410.2 and SO2

ranged from 442.2 - 401.1 Temperature and atmospheric stability conditions affect the concentration of pollutants significantly. Correlation between temperature and concentration of NO2 and SO2 ranged from -0.54 to -0.69 and the correlation between atmospheric

(4)

©Hak Cipta milik IPB tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mengutip

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut

tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(5)

PENGGUNAAN HYBRID SINGLE-PARTICLE LAGRANGIAN

INTEGRATED TRAJECTORY (HYSPLIT) UNTUK SIMULASI SEBARAN

POLUTAN NO2 DAN SO2

FARRAHDHINA FAIRUZI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul

: Penggunaan

Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated

Trajectory (HYSPLIT) untuk Simulasi Sebaran Polutan NO

2

dan SO

2

Nama

: Farrahdhina Fairuzi

NRP

: G24080056

Menyetujui,

Pembimbing 1

Pembimbing 2

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey

Eko Heriyanto, ST

NIP. 19510823 197603 1 002

NIP. 19771019 200604 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul “Penggunaan Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) untuk Simulasi Sebaran Polutan NO2 dan

SO2” sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Meteorologi Terapan.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis haturkan kepada :

1. Keluargaku tercinta mama, kakak, mas Iwan, Shanna, Dani terimakasih atas segala doa, kasih sayang, dan motivasi serta fasilitas yang telah diberikan selama ini sehingga penulis terus memiliki semangat untuk menyelesaikan tugas akhir.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey dan Bapak Eko Heriyanto, ST selaku pembimbing tugas akhir yang telah memberikan arahan dan motivasi serta bantuannya dalam penyelesaian tugas akhir.

3. Ibu Ana Turyanti, S.Si, M.T dan Bapak Yopi Ilhamsyah, S.Si yang telah memberikan masukan selama penelitian berlangsung.

4. Pak Rudy yang telah membantu penulis selama penelitian berlangsung.

5. Kepala pusat LITBANG-BMKG Jakarta, Bapak Wido Hanggoro, S.Si serta rekan-rekan staf PUSLITBANG, terimakasih atas izin yang diberikan untuk melakukan penelitian dan segala bimbingan serta ilmu yang diberikan selama penelitian berlangsung.

6. Segenap staf pengajar dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi, yang memberikan bimbingan, arahan, nasehat, serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

7. Teman-teman GFM 45 yang telah memberikan persahabatan yang indah, dukungan, dan motivasi.

8. Teman-teman Al-Catraz (Yulia dan Kiki) atas kebersamaan, keceriaan, dan persaudaraanya serta semangat untuk saling memberi motivasi dalam menyelesaikan tugas akhir.

9. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu-persatu dalam penyelesaian tugas akhir ini.

Penulis sangat berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan bagi ilmu pengetahuan. Penulis juga menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu, masukan dari para pembaca sangat diharapkan guna memperbaiki sehingga tulisan ini bisa menjadi lebih baik.

Bogor, Juni 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1990 dan merupakan putri bungsu dari pasangan Bambang Herry Nugroho dan Nurul Fuadah. Penulis menempuh pendidikan dasar sejak tahun 1996 di SDN 01 Ciledug hingga tahun 2002 dan menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Budi Mulia Ciledug pada tahun 2005 serta menyelesaikan pendidikan menengah akhir di MAN 10 Jakarta pada tahun 2008. Kemudian pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi IPB program Mayor melalui jalur USMI dengan memilih program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahun Alam.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara ... 1

2.1.1 Sumber dan Jenis Pencemar Udara ... 2

2.1.2 Dispersi Pencemar Udara ... 3

2.1.3 Karakteristik Senyawa Nitrogen Oksida (NOx) ... 3

2.1.4 Karakteristik Senyawa Sulfur Oksida (SOx) ... 4

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan ... 4

2.2.1 Arah dan Kecepatan Angin ... 4

2.2.2 Suhu Udara ... 4

2.2.3 Stabilias Atmosfer ... 4

2.2.4 Mixing Height ... 5

2.2.5 Turbulensi ... 5

2.2.6 Karakteristik Wilayah Kajian ... 6

2.3 Weather Research and ForecastingEnvironmental Model System (WRF-EMS) .... 6

2.4 Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) ... 6

III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 7

3.2 Bahan dan Alat ... 7

3.2.1 Bahan (Perangkat Lunak) ... 7

3.2.2 Alat (Perangkat Keras) ... 7

3.3 Parameter Input ... 7

3.3.1 Data NOAA ... 7

3.3.2 Data Fisik Cerobong ... 7

3.3.3 Data Titik Koordinat Studi Kasus ... 7

3.4 Metode ... 7

3.4.1 Running model WRF-EMS ... 8

3.4.2 Running model Hysplit versi 4.9 ... 8

3.4.3 Metode Penentuan Koefisien Korelasi ... 9

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) Model ... 9

4.2 Prediksi Trajektori, Dispersi, dan Konsentrasi Polutan... 9

4.2.1 Kasus 1 ... 9

4.2.2 Kasus 2 ... 13

4.3 Analisa hubungan suhu dan kondisi stabilitas statik terhadap konsentrasi NO2 dan SO2 ... 15

4.3.1 Kasus 1 ... 16

4.3.2 Kasus 2 ... 18

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 21

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Baku Mutu Emisi dalam 1 Jam ... 1

2 Indeks stabilitas atmosfer berdasarkan nilai CAPE ... 5

3 Konsentrasi NO2 dan SO2 PT. X bulan Juni pada posisi yang berbeda ... 11

4 Konsentrasi NO2 dan SO2 PT. X bulan Desember pada posisi yang berbeda ... 13

5 Konsentrasi NO2 dan SO2 PT. Y bulan Juni pada posisi yang berbeda ... 14

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Stabilitas atmosfer berdasarkan pola kepulan asap dari cerobong ... 3

2 Lokasi wilayah penelitian ... 7

3 Wilayah kajian pada WRF ... 8

4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b) ... 9

5 Pola disperi polutan PT. X bulan Juni ... 11

6 Pola dispersi polutan PT. X bulan Desember ... 12

7 Konsentrasi NO2 dan SO2 tanggal 9 Juni 2011 (a) dan 22 Desember 2011 (b) ... 13

8 Pola dispersi polutan PT. Y bulan Juni ... 14

9 Pola diseprsi polutan PT. Y bulan Desember ... 15

10 Konsentrasi NO2 dan SO2 tanggal 8 Juni 2011 (a) dan 3 Desember 2011 (b) ... 16

11 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada suhu terntentu tanggal 9 Juni 2011 ... 17

12 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada suhu terntentu tanggal 22 Desember 2011 ... 17

13 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada kondisi stabilitas statik tanggal 9 Juni 2011 ... 18

14 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada kondisi stabilitas statik tanggal 22 Desember 2011 ... 18

15 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada suhu terntentu tanggal 8 Juni 2011 ... 19

16 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada suhu terntentu tanggal 3 Desember 2011 ... 19

17 Konsentrasi NO2 dan SO2 berdasarkan kondisi stabilitas statik tanggal 8 Juni 2011 ... 20

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Diagram alir penelitian ... 24

2 Karakteristik cerobong PT. X ... 25

3 Karakteristik cerobong PT. Y ... 25

4 Simulasi trajektori PT. Y bula Juni (a) dan bulan Desember (b) ... 26

5 Plot angin zonal – meridional tanggal 8 Juni 2011 (03 UTC) – 12 Juni 2011 (00 UTC) ... 27

6 Plot angin zonal – meridional tanggal 3 Desember 2011 (03 UTC) – 5 Desember 2011 (09 UTC) ... 32

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberadaan kawasan industri menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Kegiatan industri tersebut memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi polutan seperti gas ke udara bebas di atmosfer (Goyal dan Rao 2006). NO2 dan SO2 merupakan jenis gas

yang diemisikan industri ke udara bebas yang akan mempengaruhi keadaan kualitas lingkungan. Sebaran pencemar di udara dipengaruhi oleh kondisi sumber pencemar serta dipengaruhi juga oleh proses transportasi maupun transformasi (reaksi kimiawi) pencemar di atmosfer. Proses transportasi maupun transformasi sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan kondisi stabilitas atmosfer.

Penggunaan model dispersi polutan akan sangat membantu dalam memprediksi sebaran dan konsentrasi polutan yang di emisikan dari suatu sumber. Hybrid Single-Particle Lagrangian Trajectory (HYSPLIT) merupakan salah satu model yang digunakan untuk memprediksi trajektori, dispersi, dan konsentrasi polutan dari sumber titik, garis, maupun area. Model ini mengaitkan hubungan antara komponen distribusi polutan dengan komponen meteorologi melalui model WRF untuk mengidentifikasi sumber lokasi. HYSPLIT dibangun oleh Draxler sejak tahun 1982 dan dikembangkan oleh Air Resources Laboratory dari NOAA hingga saat ini (Draxler 1998).

Oleh sebab itu, pendugaan sebaran dan konsentrasi polutan pada kajian ini menggunakan model HYSPLIT. Model ini dibangun untuk memprediksi sebaran dan konsentrasi pencemar udara dari sumber titik.

1.2 Tujuan

1. Memahami dan mempelajari HYSPLIT sebagai salah satu aplikasi model untuk memprediksi dan menganalisa arah sebaran NO2 dan SO2 dari sumber titik.

2. Memprediksi konsentrasi NO2 dan SO2

yang didispersikan ke lingkungan. 3. Menganalisis hubungan suhu dan kondisi

stabilitas statik terhadap konsentrasi NO2

dan SO2.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pencemaran Udara

Udara merupakan unsur kehidupan yang paling utama. Namun, meningkatnya kegiatan perkotaan seperti transportasi, perdagangan, industri, rumah tangga, serta pembangkit energi sedikit demi sedikit akan membuang berbagai jenis bahan pencemar ke udara. Sehingga akan mengakibatkan penurunan kualitas udara dan menimbulkan dampak terhadap pencemaran udara (Wang et al 2007). Pada wilayah perkotaan, pencemaran udara sebagian besar disebabkan oleh pembakaran sumber energi yang kekuatan emisinya sangat bergantung pada intensitas aktivitas antropogenik di daerah yang bersangkutan, di mana emisi merupakan suatu komponen yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk ke dalam udara ambien yang mempunyai atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar di udara (Djayanti dkk 2011).

Tabel 1 Baku Mutu Emisi dalam 1 Jam Zat pencemar Baku mutu

Partikel debu 350

Cl2 10

SO2 800

NO2 1000

(Sumber : KLH 2002)

(15)

2.1.1Sumber dan Jenis Pencemar Udara Menurut asalnya, sumber pencemaran udara dibagi menjadi dua yaitu sumber alami dan non alami (buatan). Sumber pencemar alami yaitu masuknya zat pencemar ke udara bebas yang diakibatkan oleh adanya aktivitas letusan gunung berapi, kebakaran hutan dan lain sebagainya yang disebabkan karena adanya aktivitas alam. Sedangkan sumber non alami (buatan) yaitu masuknya zat pencemar ke udara bebas yang diakibatkan oleh adanya aktivitas manusia seperti aktivitas transportasi, indusri, dan domestik (rumah tangga) (Soedomo 2001).

Menurut Arya (1999) sumber pencemaran udara berasal dari :

1. Sumber urban dan Industri ;

a. Pembangkit tenaga listrik yang masih menggunakan batu bara sehingga dapat menghasilkan zat pencemar (polutan) dalam jumlah yang cukup banyak. b. Kegiatan industri, berasal dari

penambangan, perakitan, penggunaan zat kimia, dan lain sebagainya.

c. Transportasi, Emisi yang dihasilkan diestimasi berdasarkan per unit area dengan mempertimbangkan kepadatan lalulintas, kecepatan kendaraan, dan emisi perkendaraan.

d. Proses pembakaran, berasal dari pembakaran diluar ruangan seperti api unggun, pembakaran sampah, dan lain sebagainya

e. Pembuangan limbah, berasal dari limbah udara yang dihasilkan oleh industri dan dibuang melalui cerobong asap.

f. Aktivitas konstruksi, misalnya berasal dari pembukaan lahan, peledakan, penggalian, dan pengecatan. Sebagian besar polutannya yaitu debu dan PM10.

2. Sumber rural dan pertanian

Sumber pencemar udara di wilayah rural termasuk kegiatan pertanian dapat dibagi menjadi :

a. Debu yang berterbangan

Angin yang bertiup akan menghambat partikel-partikel halus dan membawanya ke udara.

b. Slash burning

Membuka lahan dengan cara membakar hutan, jerami, dan rumput liar menjadi sumber utama dari asap yang membawa banyak polutan. c. Emisi tanah

Lahan yang akan diolah biasanya banyak menggunakan pupuk yang

mengandung nitrat dan fosfat sehingga menghasilkan NOx yang berasal dari

aktivitas mikroba di permukaan tanah. d. Pestisida dan bahan kimia

Penggunaan pestisida dengan cara disemprotkan dari udara akan berpotensi zat pestisida tersebut tertiup angin.

e. Proses pembusukan limbah

Limbah produksi yang membusuk akan melepaskan ammonia dan metana ke atmosfer.

3. Sumber alami

Sumber alami dapat dikelompokkan menjadi :

a. Erosi angin, tiupan angin kencang di atas permukaan tanah dapat mengangkat partikel tanah.

b. Kebakaran hutan, kebakaran hutan dapat terjadi karena adanya sambaran petir sehingga menghasilkan sejumlah asap, CO, CO2, NOx, dan HC

c. Letusan gunung berapi, sebagian besar menyemburkan CO2, SO2, dan gas-gas

lain ke atmosfer dalam jumlah yang cukup besar.

d. Emisi biogenik, berasal dari hutan dan padang rumput. Polutan yang dihasilkan berupa HC, metana, dan ammonia.

e. Percikan air laut dan evaporasi, percikan air laut akibat ombak yang pecah di sepanjang pantai yaitu sumber utama partikel garam di atmosfer. f. Proses mikroba tanah, respirasi aerob

dan anaerob dari tanah dan vegetasi menghasilkan emisi NO, metana, hidrogen sulfida, dan ammonia. g. Pembusukan alami bahan-bahan

organik, pembusukan tumbuhan dan bahan-bahan organik lainnya akan menghasilkan metana, hidrogen, sulfida, dan ammonia.

h. Kilat, kilat dapat menghasilkan NO dalam jumlah besar yang selanjutnya dapat bereaksi secara fotokimia menjadi O3.

Berdasarkan polanya sumber pencemar dibagi menjadi tiga, yaitu (Tjasjono 1999): 1. Sumber titik (point source), berasal dari pabrik-pabrik atau industri yang mengeluarkan zat pencemar ke udara melalui cerobong pembuangan. 2. Sumber garis (line source), merupakan

(16)

dikeluarkan oleh kendaraan di jalan raya.

3. Sumber area (area source), merupakan sumber pencemar yang mengeluarkan pancaran zat pencemar dari suatu wilayah, seperti kawasan industri. Berdasarkan perilakunya di atmosfer, jenis pencemar udara dibagi menjadi dua yaitu pencemar primer dan pencemar sekunder. Pencemar primer merupakan jenis pencemar yang komposisinya tidak akan mengalami perubahan di atmosfer baik secara kimia maupun fisis dalam jangka waktu yang relatif lama (harian sampai tahunan dan akan tetap seperti komposisinya seperti waktu diemisikan oleh sumber), misalnya : CO, CO2,

NOx, N2O, TSP, SOx, metana, senyawa

halogen, partikel logam, dan lain sebagainya. Pencemar ini memiliki waktu tinggal yang lama di atmosfer karena sifatnya yang stabil terhadap reaksi-reaksi kimia fisik atmosfer. Sedangkan pencemar sekunder yaitu jenis pencemar yang terbentuk di atmosfer sebagai hasil reaksi-reaksi atmosfer seperti hidrolisis, oksidasi, dan reaksi fotokimia (Suryani 2010). 2.1.2 Dispersi Pencemar Udara

Dispersi pencemar di atmosfer secara umum melibatkan tiga mekanisme utama yaitu arah dan kecepatan angin, kenaikan massa udara, dan turbulensi atmosfer (Stull 2000). Selain itu Cloquet et al (2005) menyebutkan bahwa mekanisme dispersi pencemar dari suatu sumber emisi juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik meteorologi dan topografi wilayah setempat.

Pola dispersi memiliki bentuk yang berbeda, sehingga menghasilkan jarak jangkau dan kemampuan difusi yang berbeda-beda. Kondisi stabilitas atmosfer dapat diklasifikasikan melalui pola kepulan suatu cerobong. Beberapa jenis pola dasar dan pola peralihan, antaralain (Geiger 1995) :

1. Pola dasar kepulan

Looping merupakan pola kepulan yang terjadi jika suhu udara berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Looping hanya terjadi pada siang hari, biasanya pada saat langit cerah. kasus ini terjadi pada kondisi atmosfer tidak stabil yang akan membawa zat pencemar secara cepat dan tidak teratur hingga konsentrasi zat pencemar menjadi encer.

Coning merupakan pola kepulan yang terjadi jika hari berawan dan berangin dengan suhu yang sedikit menurun dengan bertambahnya ketinggian yaitu sekitar 1°C/1000 m. Kondisi ini terjadi

pada saat atmosfer dalam keadaan netral.

Fanning merupakan pola kepulan yang terjadi jika suhu udara meningkat dengan bertambahnya ketinggian (inversi). Kondisi ini terjadi pada saat atmosfer dalam keadaan stabil, yang sering terjadi pada malam dan pagi hari saat langit cerah dan angin bertiup lemah.

2. Pola peralihan

Fumigation merupakan pola kepulan yang terjadi akibat adanya pencampuran ke arah atas dan bawah yang dibatasi oleh inversi, yang dikaitkan dengan inversi radiatif. Lofting merupakan pola kepulan yang tidak terjadi proses pencampuran ke arah bawah. Namun ada persebaran zat pencemar ke arah atas.

Trapping merupakan pola kepulan yang terjadi jika inversi panas menjerat gas buang dari cerobong pabrik dalam lapisan udara permukaan. Pada trapping terjadi pencampuran ke arah bawah. Sehingga kepulan cenderung menyebar secara horizontal ke arah bawah.

Gambar 1 Stabilitas atmosfer berdasarkan pola kepulan asap dari cerobong (Sumber : Geiger 1995)

2.1.3 Karakteristik Senyawa Nitrogen Oksida (NOx)

Nitrogen Oksida merupakan salah satu jenis pencemar udara yang diemisikan dari berbagai sumber salah satunya yaitu sektor industri. Akibat adanya kegiatan industri, NOx

memberikan kontribusi ke udara sekitar 67.7% (Atimtay dan Chaudhary 2006)

Nitrogen Oksida disebut juga dengan NOx

karena memiliki dua bentuk dengan karakteristik yang berbeda, yaitu NO dan NO2. NO memiliki karakteristik tidak

(17)

berwarna dan berbau. Gas NO2 sangat

berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Selain itu NO2 juga dapat mengurangi jarak

pandang dan resistansi di udara (Hadiwidodo dan Huboyo 2006).

Menurut Seinfeld (1986) sumber gas NOx

berasal dari gas buangan hasil pembakaran dengan suhu tinggi. Rata-rata waktu tinggal gas NOx di udara relatif pendek. NOx rata-rata

berada di atmosfer berkisar antara 1 – 4 hari. Waktu tinggal yang relatif pendek menyebabkan efek NOx banyak terjadi dalam

skala regional dan lokal.

2.1.4 Karakteristik Senyawa Sulfur Oksida (SOx)

Pada umumnya senyawa Sulfur Oksida memiliki dua bentuk yaitu SO2 dan SO3. Sulfur

dioksida merupakan gas yang berbau tajam dan tidak mudah terbakar di udara, sedangkan sulfur trioksida merupakan gas yang tidak reaktif. Sumber senyawa sulfur di atmosfer yaitu dari pembakaran bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang digunakan yaitu batubara (Satriyo 2008).

Mekanisme pembentukan SOx dapat

dituliskan dalam dua tahap reaksi sebagai berikut :

S + O2 SO2

2SO2 + O2 2SO3

Pencemaran SOx menimbulkan dampak

terhadap manusia, hewan, dan kerusakan pada tanaman. Sulfur dioksida mempunyai kelarutan yang tinggi dalam air dengan waktu tinggal di atmosfer sekitar 2 – 4 hari (Seinfeld dan Pandis 2006).

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan

Kondisi atmosfer sangat dinamik yang secara alami mampu melakukan dispersi, dilusi, difusi, dan transformasi baik melalui proses fisika maupun kimia serta mekanisme kinetik atmosfer terhadap zat-zat pencemar (Soedomo 2001). Kemampuan atmosfer tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi yang diindikasikan dengan parameter-parameter meteorologi dan setiap parameter meteorologi yang berpengaruh terhadap proses pencemaran di atmosfer satu sama lain saling berkaitan. Dispersi pencemar terjadi karena adanya tenaga yang membawa pencemar tersebut dari sumbernya ke udara ambien. Difusi terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi, pencemar akan menyebar dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Dari proses dispersi dan difusi menghasilkan dilusi

(pengenceran) zat pencemar dari suatu sumber yang konsentrasinya sangat kental di udara ambien dengan hasil konsentrasi yang lebih rendah.

Peranan parameter meteorologi dalam proses dispersi sangat penting yaitu meliputi arah dan kecepatan angin, suhu udara, stabilitas atmosfer, mixing height, dan turbulensi.

2.2.1 Arah dan Kecepatan Angin

Arah dan kecepatan angin akan menentukan ke mana dan seberapa jauh pencemar bergerak meninggalkan sumbernya. Semakin cepat angin bergerak, maka pencemar akan semakin cepat meninggalkan jauh dari sumbernya. Proses dispersi sangat dipengaruhi oleh variasi arah angin, jika arah angin secara kontinu menyebar ke berbagai arah maka area sebaran pencemar akan semakin luas. Namun, jika arah angin hanya bergerak ke satu arah tertentu maka daerah tersebut akan memiliki paparan pencemar yang tinggi.

Menurut Geiger (1995) terdapat dua jenis pergerakan angin, yaitu pergerakan angin secara laminar dan turbulen. Pergerakan angin secara laminar merupakan pergerakan angin yang tenang sepanjang lapisan yang sejajar. Sedangkan pergerakan angin secara turbulen yaitu pergerakan angin yang acak dan baur. Sehingga pada pergerakan angin secara turbulen terjadi percampuran antara udara yang tercemar dengan udara yang bersih yang akan mempercepat pengenceran pencemar di udara.

2.2.2 Suhu udara

Menurut Kozarev dan Ilieva (2011) suhu udara memegang peranan penting dalam proses dispersi polutan. Di dekat permukaan, suhu memiliki karakteristik yang berbeda dengan suhu udara. Hal ini disebabkan karena pertukaran bahang yang terjadi di dekat permukaan berlangsung melalui proses konveksi bebas yang ditunjukkan dengan pergerakan laminar dan konveksi paksa dengan pergerakan turbulen.

(18)

pencemar akan naik dan menyebar dengan baik.

2.2.3 Stabilitas atmosfer

Stabilitas atmosfer memegang peranan penting dalam proses dispersi dan pengenceran zat-zat pencemar di udara. Kriteria kestabilan salah satunya ditentukan oleh lapse rate atau gradien temperatur. Gradien temperatur merupakan perubahan temperatur terhadap ketinggian. Lapse rate mempunyai pengaruh yang signifikan pada gerak vertikal udara (Cimorelli et al 2004).

Stull (2000) menyatakan bahwa kondisi stabilitas di atmosfer dibedakan menjadi tiga, antara lain :

1. Kondisi stabil, di mana < .

Pada keadaan atmosfer stabil gaya buoyancy berlawanan arah dengan gaya keatas, sehingga massa udara yang mengalami pengangkatan sampai ketinggian tertentu akan turun kembali. Kondisi atmosfer yang stabil tidak menguntungkan bagi pencemar udara, karena akan menyebabkan pencemar terangkat dan kemudian dapat turun kembali di daerah lain dengan konsentrasi yang tetap tinggi.

Kondisi netral, di mana .

Pada kondisi netral massa udara tidak mengalami pengangkatan maupun penurunan. Sehingga pencemar yang timbul akan bertahan di daerah asalnya yang akan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

2. Kondisi tidak stabil, di mana

Pada keadaan atmosfer tidak stabil gaya buoyancy memperkuat gaya ke atas. Jika ada massa udara yang membawa pencemar mengalami gaya mengangkat maka massa udara tersebut cenderung naik sehingga pencemar akan mudah menyebar dan bercampur dengan udara sekitar. Kondisi atmosfer tidak stabil sangat menguntungkan bagi dispersi pencemar, karena pencemar dapat terdispersi sempurna dengan lingkungannya.

Menurut Ameka (2005), kondisi stabilitas atmosfer juga dapat ditentukan dengan nilai CAPE (Convective Available Potential Energy). Cape merupakan area di mana suatu parsel udara lebih panas dari lingkungannya. Area tersebut menunjukan sejumlah energi yang tersedia untuk parsel udara tersebut bergerak ke atas. CAPE adalah salah satu indikator yang kuat untuk mengindikasi adanya potensi intensitas konvektif dan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat stabilitas atmosfer. CAPE disebut juga dengan APE

(Available Potential Energy) yang merupakan sejumlah energi suatu parsel saat terangkat pada jarak tertentu secara vertikal di atmosfer.

Tabel 2 Indeks stabilitas atmosfer berdasarkan nilai CAPE

CAPE (J/kg) Stabilitas

0 Stabil

0 - 1000 Sedikit labil 1000 - 2500 Labil sedang 2500 - 3500 Tidak stabil > 3500 Sangat tidak stabil

(Sumber : www.meted.ucar.edu)

2.2.4 Mixing Height

Mixing height merupakan lapisan percampuran di atas permukaan tempat terjadinya dispersi pencemar dengan baik (Emeis et al 2004).

Pada kondisi mixing height yang tinggi pencemar mengalami percampuran pada daerah yang lebih luas dari pada mixing height yang rendah. Oleh Karena itu kondisi mixing height yang tinggi mampu mengencerkan pencemar lebih luas, sehingga kondisi ini menguntungkan dalam pengendalian dampak pencemaran udara.

Menurut Berman et al (1999) ketinggian mixing height yang mencapai beberapa kilometer akan menyebabkan pencemar bercampur dengan sejumlah massa udara yang bersih dan mengalami proses pengenceran yang lebih cepat. Saat mixing height rendah maka pencemar hanya tercampur dengan massa udara bersih yang relatif sedikit, sehingga konsentrasi pencemar dapat dikatakan berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan sekitar. Saat kondisi atmosfer stabil, pergerakan konveksional tertekan dan mixing height menjadi rendah. Namun, jika kondisi atmosfer tidak stabil menyebabkan udara bergerak naik dan mixing height yang lebih tinggi. Mixing height pada siang hari lebih tinggi dibandingkan dengan malam hari. Hal ini disebabkan karena pada siang hari terjadi pemanasan radiasi matahari di permukaan bumi yang akan membantu pergerakan konveksional yang akan mempengaruhi keadaan mixing height.

2.2.5 Turbulensi

(19)

ke dalam atmosfer secara alamiah. Pada tingkat yang lebih spesifik, karakteristik permukaan seperti vegetasi, topografi, dan bangunan mengakibatkan turbulensi yang lebih lanjut di atmosfer (Farida 2003).

Lumley dan Panofsky (1964) dan Lumley (1970) dalam Soemarno (1999) mendeskripsikan turbulensi sebagai :

1 Kecepatan acak terhadap ruang dan waktu. 2 Terjadi golakan atau pusaran kuat dalam tiga dimensi, di mana gradien terjadi di semua arah.

3 Dalam turbulensi terjadi ketidak linieran dan mempengaruhi neraca panas sesuai panjang gelombang.

4 Aliran turbulen bersifat difusif dan terjadi pada periode waktu tertentu.

2.2.6Karakteristik Wilayah Kajian

Jababeka - Cikarang merupakan kawasan industri yang terletak di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kabupaten bekasi merupakan daerah urbanisasi dengan intensitas tinggi yang ditandai dengan tingginya jumlah penduduk. Begitu pula pertumbuhan industri yang pesat yang ditandai dengan pembangunan pabrik. Sehingga menjadikan Kabupaten Bekasi sebagai daerah industri.

Kabupaten Bekasi berada pada koordinat 106°58’5’’ - 107°17’45’’ BT dan 05°54’50’’ - 06°29’15’’ LS. Adapun batas-batas Kabupaten Bekasi yaitu :

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang.

Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten karawang.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor.

Sebelah Barat berbatasan dengan DKI Jakarta dan Kota Bekasi

Wilayah kabupaten bekasi memiliki suhu rata-rata 28°C – 35°C dengan rata-rata curah hujan harian 60.48 mm. Kabupaten bekasi memiliki ketinggian lokasi antara 6 – 116 mdpl dengan kemiringan 0° - 25° dengan luas wilayah 1.484,37 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 2.7 juta jiwa.

2.3 Weather Research and Forecasting

Environmental Model System

(WRF-EMS)

WRF merupakan salah satu model Numerical Weather Prediction (NWP) berbasiskan windows dan linux. Model WRF-EMS merupakan model atmosfer atau model cuaca yang dikembangkan oleh National

Cooperation Atmospheric Research (NCAR) (Mohan dan Bhati 2011).

Model WRF-EMS termasuk dalam model generasi lanjutan sistem simulasi cuaca numerik skala meso yang didesain untuk simulasi operasional dan kebutuhan penelitian atmosfer. Model ini mempunyai kelebihan inti dinamik yang berlipat, variasi 3D sistem asimilasi data, dan arsitektur perangkat lunak yang dapat melakukan komputasi secara paralel dan sistem ekstensibel. WRF-EMS cocok untuk aplikasi yang luas dari skala meter maupun ribuan meter (Subarna 2008).

2.4Hybrid Single-Particle Lagrangian

Integrated Trajectory (HYSPLIT)

HYSPLIT merupakan salah satu pemodelan yang digunakan dalam bidang meteorologi untuk memprediksi trajektori, dispersi, dan konsentrasi polutan baik secara sederhana maupun secara kompleks. Model HYSPLIT berbasiskan PC yang digunakan untuk penelitian bidang polusi udara. Model ini mengkaitkan hubungan antara dispersi polutan dengan komponen meteorologi wilayah kajian yang dikembangkan oleh NOAA.

Menurut Draxler (1998) pendekatan yang digunakan pada model HYSPLIT yaitu lagrangian dan eularian. Pendekatan lagrangian yaitu didasarkan pada parsel udara yang mengalir pada suatu lintasan yang dipengaruhi oleh faktor meteorologi. Perubahan pergerakan polutan dari lokasi awal inilah yang diperhitungkan setiap saat dalam pendekatan lagrangian. Secara matematis dapat dituliskan persamaan :

...(1)

…(2)

Pendekatan eularian yaitu didasarkan pada penggunaan grid di dalam model, di mana perubahan konsentrasi polutan diperhitungkan dalam pendekatan ini. Dalam grid terjadi proses transport dan reaksi kimiawi yang dipengaruhi faktor meteorologi. Proses tersebut menyebabkan konsentrasi polutan berubah setiap waktu. Sehingga konsentrasi polutan disebut juga sebagai fungsi waktu. Persamaan tersebut dapat dituliskan ssebagai berikut :

…(3)

(20)

Negara dengan menggunakan model HYSPLIT, antara lain yaitu untuk memprediksi lintasan dan konsentrasi polutan. Seperti yang dilakukan oleh Segal et al tahun 1988 yaitu melihat konsentrasi SO2 dari

sumber utamanya di Florida. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Draxler tahun 2006 yaitu menggunakan model HYSPLIT untuk memprediksi arah lintasan dan dispersi gas buang yang berlebih dari Washington, DC. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Chen et al tahun 2002 yang menggunakan HYSPLIT untuk memprediksi arah lintasan dan dispersi SO2 dan NO2 dari sumber titik

dengan mempertimbangkan sumber non biogenik (Draxler 1998) .

III. BAHAN DAN METODE

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni tahun 2012 bertempat di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB dan di Pusat Penelitian dan Pengembangan (PUSLITBANG), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jakarta.

3.2Bahan dan Alat

3.2.1Bahan (Perangkat Lunak) 1. Model WRF-EMS

2. Model HYSPLIT versi 4.9 3. GrADS versi 2.0

4. Google Earth

3.2.2Alat (Perangkat Keras)

Alat (perangkat keras) yang digunakan yaitu Personal Computer berbasis Windows dan Linux.

3.3Parameter Input

Parameter input yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yaitu data NOAA, data fisik cerobong, dan data titik koordinat studi kasus.

3.3.1Data NOAA

Data ini merupakan data yang berasal dari NOAA yaitu berupa data reanalisis NCEP FNL (National Centers for Environmental Prediction Final) yang merupakan operasional data global dengan resolusi 1.0° tiap enam jam-an. Data ini digunakan sebagai input model WRF dan outputnya akan digunakan sebagai data input Hysplit. Data analisis yang tersedia yaitu beberapa data dipermukaan seperti temperatur, tekanan, kelembaban, arah dan kecepatan angin, suhu permukaan laut, serta beberapa parameter

atmosfer lainnya (sumber :

http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/dat a.ncep.reanalysis).

3.3.2Data Fisik Cerobong

Data ini merupakan data input HYSPLIT yang digunakan untuk menghasilkan pola trajektori, dispersi, dan konsentrasi polutan berdasarkan waktu simulasi yang telah ditentukan. Data tersebut meliputi jenis cerobong, tinggi dan diameter cerobong, temperatur cerobong, serta laju emisi NO2 dan

SO2 (lampiran 2 dan 3).

3.3.3Data Titik Koordinat Studi Kasus Data titik pengamatan diambil berdasarkan posisinya terhadap lintang dan bujur dengan menggunakan Google Earth. Titik pengamatan diambil berdasarkan studi kasus, di mana untuk PT. X yaitu 6°16.8’ LU dan 107°9’ BT serta PT. Y yaitu 6°17.4’ LU dan 107°7.8’ BT. Data titik koordinat digunakan sebagai titik pusat simulasi.

(21)

3.4Metode

Secara umum metode penelitian terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap running model WRF dan running model HYSPLIT. Diagram alir pengolahan data dapat dilihat pada lampiran 1.

3.4.1Running model WRF-EMS

Aplikasi yang dijalankan yaitu software WRF-EMS, dengan tahapan sebagai berikut :

1. Preprocessing

a. Data input

Data yang dimasukan yaitu data NOAA berupa data reanalisis NCEP FNL dengan resolusi 1.0° tiap enam jam-an.

b. Penentuan domain dan grid wilayah kajian.

Penentuan titik pusat wilayah kajian untuk kasus 1 yaitu 6.28° LS dan 107.15° BT. Sedangkan untuk kasus 2 yaitu 6.29° LS dan 107.13° BT.

Domain simulasi pada WRF dalam penelitian ini digunakan dua domain, dengan jumlah grid untuk domain 1 yaitu 60 x 40 grid dengan resolusi spasial 27 km dan jumlah grid untuk domain 2 yaitu 49 x 37 dengan resolusi spasial yaitu 9 km.

Gambar 3 Wilayah kajian pada WRF

c. Penentuan waktu simulasi

Penentuan waktu simulasi ditentukan berdasarkan pengukuran laju emisi NO2 dan SO2, yaitu :

Kasus 1 :

Pengukuran bulan Juni diwakili oleh tanggal 9 Juni 2011 dan bulan Desember diwakili oleh tanggal 22 Desember 2011.

Kasus 2 :

Pengukuran bulan Juni diwakili oleh tanggal 8 Juni 2011 dan bulan Desember diwakili oleh tanggal 3 Desember 2011.

2. Processing

Setelah semua data input dan pengaturan untuk running model WRF selesai, tahap selanjutnya yaitu running WRF. Model fisik WRF yaitu bersifat non hidrostatik dengan skema cumulus berupa grell 3D ensemble, serta radiasi panjang dan pendek gelombang berupa skema RRTMG. Model fisik tersebut sudah terdapat secara langsung didalam model WRF.

3. Post processing

Hasil output WRF berupa data analisis permukaan dan beberapa parameter atmosfer lainnya sebagai data input HYSPLIT.

3.4.2Running Model HYSPLIT Versi 4.9 1. Input data

Data output WRF

Data output WRF berupa arah dan kecepatan angin, RH, suhu, dan CAPE. Data titik koordinat studi kasus Data karakteristik cerobong

Data tersebut berupa ketinggian cerobong dan laju emisi NO2 dan SO2.

2. Running trajektori polutan

Pada HYSPLIT versi 4.9 terdapat menu trajektori yang berfungsi untuk me-running dan menghasilkan pola trajektori berdasarkan data yang telah di inputkan. Dalam model ini diasumsikan distribusi trajektori dalam dispersi horizontal dan partikel dalam arah vertikal. Trajektori HYSPLIT dihitung dengan menjalankan model tanpa dispersi (hanya dipengaruhi oleh faktor meteorologi). Sehingga dihasilkan model lintasan dari partikel tunggal.

3. Running Dispersi dan Konsentrasi

polutan

Pada HYSPLIT versi 4.9 juga terdapat menu konsentrasi yang berfungsi untuk me-running dan menghasilkan pola dispersi konsentrasi polutan berdasarkan data laju emisi NO2 dan SO2 (dalam satuan kg/jam)

yang telah di inputkan. Sehingga akan diperoleh konsentrasi polutan.

Pada saat running trajektori dan dispersi polutan yang ditentukan didalam model yaitu :

Kasus 1 :

- Top of model : 1500 m AGL - Starting time : 9 Juni dan 22

Desember 2011

(22)

Kasus 2 :

- Top of model : 1500 m AGL - Starting time : 8 Juni dan 3

Desember 2011

- Height of stack : 8 m AGL - Emmision rate : 1 hour - Pollutant : NO2 dan SO2

3.4.3 Metode Penentuan Koefisien Korelasi Penentuan koefisien korelasi digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel. Nilai koefisien korelasi berkisar antara -1 hingga +1. Hubungan antara dua variabel yang berbanding terbalik jika koefisien korelasi yang diperoleh bernilai negatif dan berbanding lurus jika bernilai positif. Penentuan koefisien korelasi dapat dituliskan sebagai berikut (Aunuddin 2005):

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hybrid Single-Particle Lagrangian

Integrated Trajectory (HYSPLIT) Model

Model HYSPLIT dapat menentukan perpindahan dan konsentrasi polutan pada beberapa titik dalam satu area. Model HYSPLIT juga menerangkan bahwa pergerakan trajektori dan dispersi polutan searah dengan arah angin. Prediksi trajektori didapat dengan menjalankan model tanpa dispersi, sehingga dihasilkan pola trajektori dari partikel tunggal. Sedangkan prediksi dispersi polutan didapat dengan memasukan dua zat pencemar yang dilepaskan ke udara yaitu NO2 dan SO2.

Model HYSPLIT mengintegrasikan hubungan antara distribusi polutan dengan

kondisi meteorologi yang dihasilkan oleh model WRF-EMS. Tingkat error model HYSPLIT yaitu 33.16% (Yerramili et al 2011).

4.2Prediksi Trajektori, Dispersi, dan Konsentrasi Polutan

Prediksi trajektori pencemar udara dari dua tempat yang berbeda hasil keluaran HYSPLIT secara umum memiliki pola yang hampir sama baik simulasi yang dilakukan pada bulan Juni maupun bulan Desember. Hal ini disebabkan karena lokasi ke dua tempat tersebut berdekatan. Sehingga memungkinkan memiliki karakteristik yang hampir menyerupai.

4.2.1 Kasus 1

Arah angin dominan akan menentukan arah pergerakan trajektori, di mana trajektori tersebut mengalami proses perpindahan menuju wilayah lain yang akan bergerak meninggalkan sumbernya.

Pada bulan Juni arah angin dominan cenderung bergerak ke arah Barat (lampiran 4). Selain itu arah angin dominan juga dipengaruhi oleh angin monsun Timur yang cukup signifikan, di mana angin tersebut berhembus dari Australia menuju ke arah barat yaitu Indonesia. Arah angin dominan yang terjadi di Indonesia tersebut akan mempengaruhi pergerakan trajektori. Sehingga pada bulan Juni trajektori cenderung bergerak ke arah Barat.

Pada Gambar 4 (a) dapat terlihat bahwa ketinggian awal trajektori yaitu 9 m di atas permukaan (Above Ground Level) yang bergerak menjauhi sumber hingga ketinggian sekitar 500 m AGL.

(a) (b)

(23)

Pola trajektori tersebut mengalami kenaikan pada tanggal 9 Juni pukul 15 UTC dan mengalami penurunan pada tanggal 11 Juni (06 UTC – 9 UTC dan 15 UTC - 18 UTC). Penurunan trajektori yang terjadi disebabkan karena pada saat tersebut atmosfer berada pada kondisi yang sedikit labil (keadaan tidak stabil namun hampir mendekati stabil). Pada kondisi tersebut terjadi pengangkatan massa udara sampai ketinggian tertentu yang kemudian akan turun kembali. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan stull (2000), yang menyatakan bahwa pada keadaan atmosfer yang stabil gaya buoyancy berlawanan arah dengan gaya ke atas, sehingga massa udara yang mengalami pengangkatan sampai ketinggian tertentu akan turun kembali.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui prediksi trajektori yang dihasilkan oleh model sampai tanggal 12 Juni 2011 pukul 00 UTC yang bergerak menjauhi sumber sampai pada jarak 400 km yang bergerak searah dengan arah angin dominan.

Angin bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah, di mana pada bulan Desember angin bergerak dari China selatan menuju benua Australia, maka angin tersebut dinamakan angin baratan. Sehingga pada bulan Desember di Indonesia pergerakan arah angin dominan yaitu ke arah Timur (lampiran 6).

Pada Gambar 4 (b) dapat terlihat bahwa simulasi trajektori yang dimulai pada tanggal 22 Desember 2011 bergerak mengikuti pergerakan arah angin dominan yang cenderung bergerak ke arah Timur. Pada Gambar 4 (b) dapat terlihat bahwa ketinggian awal trajektori yaitu 9 m AGL hingga ketinggian sekitar 1000 m AGL yang bergerak menjauhi sumber sampai pada jarak lebih dari 400 km ke arah Timur.

Pada tanggal 24 Desember 2011 pukul 00 UTC terjadi penurunan trajektori. Hal ini disebabkan karena pada saat tersebut kondisi atmosfer dalam keadaan sedikit labil (kondisi tidak stabil yang mendekati stabil). Sehingga terjadi penurunan, yang kemudian di ikuti dengan kenaikan pola trajektori hingga akhir waktu simulasi. Kenaikan pola trajektori disebabkan karena stabilitas atmosfer setelah tanggal 24 Desember 2011 pukul 00 UTC dalam kondisi labil sedang (hampir mendekati stabil), yang artinya pada keadaan tersebut memperkuat gaya ke atas. Sehingga massa udara tersebut cenderung naik. Prediksi trajektori yang dihasilkan oleh model, terjadi

selama tiga hari kedepan yang berakhir pada tanggal 25 Desember pukul 00 UTC.

Berdasarkan hasil trajektori yang diperoleh, maka dapat diketahui pola dispersi pada bulan Juni dan bulan Desember. Pola dispersi ditunjukan dengan gradasi warna, di mana konsentrasi paling tinggi ditunjukan dengan warna kuning yang kemudian diikuti dengan perubahan warna biru pekat, hijau, dan biru. Pada Gambar 5 dan Gambar 6 dapat terlihat pergerakan pola dispersi pada bulan Juni maupun bulan Desember. Pergerakan pola dispersi memiliki sedikit perbedaan arah dengan pergerakan trajektori yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena trajektori yang dihasilkan hanya menggunakan data meteorologi tanpa memasukan zat pencemar yaitu NO2 dan SO2. Sedangkan pada dispersi

pencemar terdapat zat pencemar, di mana pada pola dispersi tersebut terdapat sejumlah massa yang akan menyebabkan terjadinya sedikit perbedaan arah dengan trajektori yang dihasilkan.

Pola dispersi pada tanggal 9 Juni 2011 pukul 00 – 18 UTC dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar tersebut menunjukan bahwa semakin lama waktu simulasi maka dispersi pencemar terlihat semakin menjauhi sumber, di mana sumber asap berada pada ketinggian 9 m AGL yang bergerak hingga ketinggian kurang dari 500 m AGL sampai pada jarak sekitar 150 km ke arah Barat Laut.

Pola dispersi memiliki bentuk yang berbeda. sehingga menghasilkan jarak jangkau yang berbeda. Berdasarkan pola peralihan dispersi pencemar, maka pola dispersi pada bulan juni dikategorikan ke dalam pola peralihan Lofting (Geiger 1995).

Semakin lama waktu simulasi dispersi pencemar akan semakin menjauhi sumber, di mana pada ketinggian tertentu dispersi pencemar mengalami pencampuran dengan daerah yang lebih luas. Sehingga konsentrasi pencemar akan semakin rendah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Berman et al (1999) yaitu pencemar yang mencapai pada ketinggian tertentu akan meyebabkan pencemar bercampur dengan sejumlah massa udara yang bersih dan mengalami proses pengenceran yang lebih cepat.

(24)

karena industri tersebut melakukan produksi pada pukul 00 UTC, di mana terdapat sejumlah konsentrasi NO2 dan SO2 yang

diemisikan ke udara. Sehingga konsentrasi NO2 dan SO2 maksimum maupun minimum

lebih tinggi pada rentang waktu 00-03 UTC dibandingkan dengan rentang waktu lainnya.

Pada Gambar 6 juga dapat terlihat pola dispersi pada bulan Desember tanggal 22 Desember pukul 00-18 UTC, di mana gambar tersebut menunjukan sumber asap berada pada ketinggian 9 m AGL yang bergerak menjauhi sumber sampai pada jarak lebih dari 400 km dengan ketinggian kurang dari 500 m AGL ke arah Timur Laut. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka pola dispesi pencemar dapat dikategorikan kedalam pola dasar kepulan yaitu Looping (Geiger 1995).

00 – 03 UTC 03 – 06 UTC 06 – 09 UTC

09 – 12 UTC

12 – 16 UTC

16 – 18 UTC

Gambar 5 Pola dispersi polutan PT. X bulan Juni

Tabel 3 Konsentrasi NO2 dan SO2 PT. X bulan Juni pada posisi yang berbeda

Waktu (UTC)

Konsentrasi

Konsentrasi (μg/m³) Maksimum Minimum

Posisi NO2 SO2

Lintang Bujur Maksimum Minimum Maksimum Minimum

00 - 03 -6.28 107.15 350.5 287.2 677 476.3

03 - 06 -6.28 106.95 287.2 185.6 476.3 234.3

06 - 09 -6.28 106.70 185.6 19.3 234.3 25.7

09 - 12 -6.28 106.46 19.3 13.7 25.7 21.8

12 - 15 -6.28 106.22 13.7 12 21.8 16

(25)

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 6, maka dapat diketahui konsentrasi maksimum dan minimum pada rentang waktu yang berbeda (Tabel 4). Konsentrasi maksimum tertinggi terjadi pada rentang waktu 00-03 UTC yaitu ketika industri tersebut melakukan produksi, sehingga menghasilkan sejumlah konsentrasi NO2 dan

SO2 yang diemisikan ke udara.

Semakin lama waktu simulasi, maka konsentrasi akan semakin rendah. Sehingga pada rentang waktu 03-06 UTC hingga akhir waktu simulasi yaitu 15-18 UTC konsentrasi maksimum maupun minimum akan semakin rendah.

00 – 03 UTC 03 – 06 UTC 06 – 09 UTC

09 – 12 UTC

12 – 16 UTC

16 – 18 UTC

Gambar 6 Pola dispersi pencemar PT. X bulan Desember

Tabel 4 Konsentrasi NO2 dan SO2 PT. X bulan Desember pada posisi yang berbeda

Waktu (UTC)

Konsentrasi

Konsentrasi (μg/m³) Maksimum Minimum

Posisi NO2 SO2

Lintang Bujur Maksimum Minimum Maksimum Minimum

00 - 03 -6.28 107.15 368 243.2 338 232.1

03 - 06 -6.28 107.44 243.2 140.3 232.1 103.7

06 - 09 -6.28 107.68 140.3 61.2 103.7 46.4

09 - 12 -5.91 107.93 61.2 49.1 46.4 40.7

12 - 15 -5.91 108.17 49.1 36.8 40.7 31.5

(26)

Konsentrasi NO2 dan SO2 yang dihasilkan

oleh model tiap 1 jam pada bulan Juni dan bulan Desember memiliki jumlah konsentrasi yang berbeda (Gambar 7(a) dan 7(b)). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan laju emisi pada bulan Juni dan bulan Desember (lampiran 2 d). Sehingga konsentasi NO2 dan

SO2 yang dihasilkan oleh model pada bulan

Juni dan bulan Desember juga akan berbeda. Pada tanggal 9 Juni 2011 konsentrasi NO2

pukul 07.00 WIB yaitu 350.5 dan SO2

yaitu 677 . Selain itu pada tanggal 22 Desember 2011 konsentrasi NO2 dan SO2

yang dihasilkan oleh model sebesar 368 dan 338 . Berdasarkan baku mutu emisi, konsentrasi NO2 dan SO2 yang

diemisikan oleh indutsri tersebut tidak melewati baku mutu emisi, di mana baku mutu emisi untuk NO2 yaitu 800 dan

SO2 yaitu 1000 (KLH 2002).

4.2.2Kasus 2

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dilihat bahwa pada bulan Juni arah angin dominan bergerak ke arah Barat dan pada bulan Desember arah angin dominan bergerak ke arah Timur (lampiran 5 dan 6). Pada lampiran 4 (a) trajekori berada pada ketinggian awal yaitu 8 m AGL yang bergerak searah dengan arah angin dominan yang menjauhi sumber lebih dari 400 km dengan ketinggian sekitar 600 m AGL. Pola trakejtori tersebut mengalamin dua kali penurunan pada tanggal 9 Juni 2011 pukul 09 UTC dan 10 Juni pukul 12 UTC. Pada kondisi tersebut terjadi pengangkatan massa udara sampai

ketinggian tertentu yang kemudian akan turun kembali. Prediksi trajektori yang dihasilkan oleh model yaitu dimulai pada tanggal 8 Juni 2011 (00 UTC) hingga 11 Juni 2011 (21 UTC).

Pada lampiran 4 (b) dapat terlihat bahwa trajektori cenderung bergerak ke arah Timur yang mengikuti pergerakan arah angin dominan, di mana ketinggian awal trajektori yaitu 8 m AGL yang bergerak menjauhi sumber hingga ketinggian sekitar 500 AGL sejauh lebih dari 300 km dari sumber titik. Pada gambar dapat terlihat bahwa pola trajektori tanggal 3 Desember 2011 pukul 12 UTC – 4 Desember pukul 12 UTC mengalami pola yang naik-turun. Hal ini disebabkan karena pada waktu tersebut dalam kondisi sedikit labil (kondisi tidak stabil namun hampir mendekati stabil) dan labil sedang (mendekati stabil). Trajektori yang stabil terjadi pada tanggal 4 Desember 2011 (18 UTC) hingga akhir waktu simulasi. Prediksi yang dihasilkan oleh model terjadi selama dua hari kedepan yang dimulai pada tanggal 3 Desember 2011 (00 UTC) dan berakhir pada tanggal 5 Desember 2011 (09 UTC).

Pola dispersi pada Gambar 8 dan Gambar 9 menunjukan bahwa sumber asap berada pada ketinggian 8 m AGL, di mana semakin lama waktu simulasi maka dispersi polutan akan semakin menjauhi sumber dan bergerak mengikuti pergerakan arah angin dominan menuju wilayah lain. Pada bulan Juni dispersi polutan cenderung bergerak ke arah Barat Laut dan pada bulan Desember bergerak ke arah Timur.

(b) (b)

Gambar 7 Konsentrasi NO2 dan SO2 tanggal 9 Juni 2011 (a) dan 22 Desember 2011 (b)

0 100 200 300 400 500 600 700 7:00 9:00

11:00 13:00 15:00 17:00 19:00 21:00 23:00

Ko n se n tr as i ( μ g /m³) Waktu lokal [NO2] [SO2] 0 100 200 300 400 500 600 700 7:00 9:00

11:00 13:00 15:00 17:00 19:00 21:00 23:00

(27)

Kecepatan angin yang berbeda akan menentukan ketinggian dispersi polutan. Pada tanggal 8 Juni 2011 kecepatan angin maksimum pada pukul 00 – 09 UTC yaitu 8 m/s. Namun, pada pukul 12 – 18 UTC kecepatan angin maksimum yaitu 9 m/s – 10 m/s (lampiran 5). Sedangkan pada tanggal 3 Desember kecepatan angin maksimum pada pukul 00 – 18 UTC yaitu 10 m/s (lampiran 6).

Pada bulan Juni dispersi pencemar berada pada ketinggian antara 0 - 600 m AGL yang bergerak sekitar 150 km dari sumber titik. Namun, pada bulan Desember dispersi pencemar berada pada ketinggian 0 - 500 m AGL yang bergerak sekitar 450 km dari sumber titik.

.

Pola dispersi polutan pada bulan Juni dan bulan Desember memiliki pola yang berbeda, sehingga menghasilkan jarak jangkau yang berbeda. Pada bulan Juni pola dispersi termasuk dalam pola dispersi Lofting yaitu dispersi plutan yang mengalami persebaran zat pencemar ke arah atas. Sedangkan pada bulan Desember pola dispersi termasuk dalam pola dispersi Looping yaitu pola dispersi yang mengalami pengenceran zat pencemar dengan cepat (Geiger 1995).

00 – 03 UTC 03 – 06 UTC 06 – 09 UTC

09 – 12 UTC

12 – 16 UTC

16 – 18 UTC

Gambar 8 Pola dispersi polutan PT. Y bulan Juni

Tabel 5 Konsentrasi NO2 dan SO2 PT. Y bulan Juni pada posisi yang berbeda

Waktu (UTC)

Konsentrasi

Konsentrasi (μg/m³) Maksimum Minimum

Posisi NO2 SO2

Lintang Bujur Maksimum Minimum Maksimum Minimum

00 - 03 -6.29 107.15 410.2 346.1 401.1 323.2

03 - 06 -6.29 106.22 346.1 201.9 323.2 146.5

06 - 09 -6.29 106.46 201.9 67.5 146.5 74.3

09 - 12 -6.29 106.70 67.5 42.7 74.3 35.4

12 - 15 -6.29 106.94 42.7 26.6 35.4 22.3

(28)

Tabel 5 dan 6 menunjukan bahwa pada masing-masing rentang waktu memiliki konsentrasi maksimum dan minimum. Hal ini disebabkan karena dispersi polutan tersebut bergerak sesuai dengan pergerakan arah angin dominan yang menyebabkan dispersi polutan akan bergerak menuju wilayah lain dengan nilai konsnetrasi yang berbeda. Sehingga pada masing-masing waktu terdapat konsentrasi maksimum dan minimum yang berbeda.

Namun, konsentrasi maksimum yang terjadi pada wilayah lain tidak lebih tinggi dari konsentrasi pada saat konsentrasi tersebut baru diemisikan. Maka dapat dikatakan konsentrasi maksimum yang terjadi pada wilayah lain tidak berbahaya, karena konsentrasi NO2 maupun SO2 semakin

rendah.

00 – 03 UTC 03 – 06 UTC 06 – 09 UTC

09 – 12 UTC

12 – 16 UTC

16 – 18 UTC

Tabel 6 Konsentrasi NO2 dan SO2 PT. Y bulan Desember pada posisi yang berbeda

Waktu (UTC)

Konsentrasi

Konsentrasi (μg/m³) Maksimum Minimum

Posisi NO2 SO2

Lintang Bujur Maksimum Minimum Maksimum Minimum

00 - 03 -6.29 107.15 385.7 331.1 442.2 383.6

03 - 06 -6.39 107.19 331.1 142.7 383.6 184.3

06 - 09 -6.39 107.44 142.7 33.2 184.3 35.6

09 - 12 -6.39 108.91 33.2 21.7 35.6 17.7

12 - 15 -6.39 109.88 21.7 13.3 17.7 12.1

(29)

Konsentrasi NO2 dan SO2 yang terjadi tiap

1 jam pada bulan Juni dan bulan Desember dapat terlihat pada Gambar 10. Pada tanggal 8 Juni 2011 pukul 07.00 konsentrasi NO2 dan

SO2 yang dihasilkan yaitu 410.2 dan

401.1 Sedangkan pada tanggal 22 Desember 2011 konsentrasi NO2 dan SO2

yang diperoleh sebesar 385.7 dan 442.2 . Perbedaan konsentrasi NO2 dan

SO2 yang dihasilkan disebabkan karena

adanya perbedaan laju emisi pada bulan Juni dan bulan Desember. Sehingga akan mengakibatkan terjadinya perbedaan konsentrasi yang diperoleh. Berdasarkan baku mutu emisi, konsentrasi NO2 dan SO2

yang dihasilkan pada bulan Juni maupun bulan Desember tidak melebihi baku mutu emisi yang telah ditetapkan (KLH 2002).

4.3 Analisis hubungan suhu dan kondisi stabilitas statik terhadap konsentrasi NO2 dan SO2

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat diketahui bahwa pada waktu tertentu terjadi penurunan konsentrasi NO2

dan SO2. Faktor penyebab penurunan

konsentrasi tersebut dapat dipengaruhi oleh suhu dan kondisi stabilitas statik pada saat itu. 4.3.1 Kasus 1

Profil suhu udara baik pada bulan Juni maupun bulan Desember memiliki pola yang hampir menyerupai. Pada pagi hari suhu udara cenderung rendah, saat siang hari suhu udara meningkat, dan menjelang malam hari suhu udara menurun kembali.

Berdasarkan pengamatan yang dimulai pada tanggal 9 Juni 2011 dapat terlihat bahwa pada pukul 07.00 didapatkan suhu sebesar 301 K. Pada gambar 11 dapat terlihat semakin siang suhu akan semakin tinggi, dan menuju malam hari suhu akan semakin rendah kembali. pada tanggal 9 Juni 2011 suhu maksimum terjadi antara pukul 13.00 – 14.00 yaitu 302 K. Sedangkan pada tanggal 22 Desember 2011 terjadi antara pukul 13.00 – 14.00 yaitu 308 K (Gambar 12). Perbedaan suhu yang terjadi antara bulan Juni dan bulan Desember disebabkan karena, pada bulan Juni posisi semu matahari berada pada 23.5°LU dan pada bulan Desember posisi semu matahari berada pada 23.5°LS. Sedangkan Indonesia berada pada BBS, sehingga radiasi matahari yang diterima pada bulan Desember lebih besar dibandingkan pada bulan Juni yang akan menyebabkan terjadinya perbedaan suhu pada bulan Juni dan bulan Desember.

Salah satu penyebab penurunan konsentrasi dengan cepat yaitu karena pada siang hari penerimaan bahang lebih tinggi dibandingkan pada malam hari, di mana zat pencemar mampu bereaksi lebih cepat pada suhu yang tinggi. Sehingga penurunan konsentrasi NO2 maupun SO2 lebih cepat pada

siang hari dibandingkan pada pagi dan malam hari (Kozarev dan Ilieva 2011).

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka didapatkan korelasi antara suhu dengan konsentrasi NO2 dan SO2 . Nilai korelasi yang

diperoleh menunjukan adanya hubungan antara dua variabel.

(a) (b)

Gambar 10 Konsentrasi NO2 dan SO2 tanggal 8 Juni 2011 (a) dan 3 Desember 2011 (b)

0 100 200 300 400 500 7:00 9:00

11:00 13:00 15:00 17:00 19:00 21:00 23:00

Ko n se n tr as i ( μ g /m³ )

waktu lokal

[NO2] [SO2] 0 100 200 300 400 500 7:00 9:00

11:00 13:00 15:00 17:00 19:00 21:00 23:00

(30)

Pada bulan Juni didapatkan korelasi antara suhu dengan konsentrasi NO2 dan SO2 yaitu

-0.60 dan -0.67. Selain itu pada bulan Desember didapatkan korelasi antara suhu dengan konsentrasi NO2 dan SO2 yaitu -0.66

dan -0.62. Korelasi yang didapatkan menunjukan adanya hubungan yang berbanding terbalik antara suhu dengan konsentrasi zat pencemar, di mana semakin tinggi suhu maka konsentrasi NO2 maupun

SO2 akan mengalami proses laju penurunan

dengan cepat. Sehingga konsentrasinya akan semakin rendah dan begitu juga sebaliknya.

Secara langsung kondisi stabilitas atmosfer dapat mempengaruhi dispersi pencemar. Namun, secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar.

Berdasarkan hasil yang didapat, kondisi stabilitas atmosfer dapat ditunjukan dengan nilai CAPE. Secara umum keadaan atmosfer yang tidak stabil terjadi pada siang hari dan keadaan atmosfer yang stabil terjadi pada malam hari.

[image:30.595.128.494.99.275.2]

Pada tanggal 9 Juni maupun 22 Desember 2011 pukul 13.00 – 14.00 kondisi stabilitas atmosfer dalam keadaan sedikit labil di mana pada kondisi tersebut atmosfer dalam keadaan yang lemah, artinya kondisi yang tidak stabil namun mendekati stabil. Kondisi tersebut membuat massa udara yang membawa zat pencemar mengalami gaya angkat, sehingga massa udara tersebut cenderung naik yang menyebabkan pencemar akan mudah bercampur dengan daerah yang lebih luas. Gambar 11 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada suhu tertentu tanggal 9 Juni 2011

0 100 200 300 400 500 600 298 300 302 304 306 308 310 7: 00 8: 00 9: 00 10: 00 11: 00 12: 00 13: 00 14: 00 15 :00 16: 00 17: 00 18: 00 19: 00 20: 00 21: 00 22: 00 23: 00 0: 00 Kon se n tra si ( μ g/m ³) Su h u (k) waktu lokal

[image:30.595.125.482.345.509.2]

[NO2] [SO2] Suhu (K)

Gambar 12 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada suhu tertentu tanggal 22 Desember 2011

0 100 200 300 400 500 600 298 300 302 304 306 308 310 7: 00 8: 00 9: 00 10: 00 11: 00 12: 00 13: 00 14: 00 15: 00 16: 00 17: 00 18: 00 19: 00 20: 00 21: 00 22: 00 23: 00 0: 00 Kon se n tra si ( μ g/m ³) Su h u (K ) waktu lokal

(31)

Pada tanggal 9 Juni 2011 korelasi antara nilai CAPE dengan konsentrasi NO2 dan SO2

yaitu -077 dan -0.75. Selain itu pada tanggal 22 Desember 2011 korelasi antara nilai CAPE dengan konsentrasi NO2 dan SO2 yaitu -0.67

dan -0.65. Nilai korelasi yang diperoleh menunjukan bahwa adanya hubungan yang berbanding terbalik antara nilai CAPE dengan konsentrasi NO2 maupun SO2, di mana

semakin tinggi nilai CAPE maka kondisi atmosfer semakin tidak stabil. Kondisi tersebut akan mempercepat penurunan konsentrasi zat pencemar. Kondisi atmosfer tidak stabil sangat menguntungkan bagi pengendalian dampak pencemaran udara,

karena pencemar dapat terdispersi sempurna dengan lingkungannya.

4.3.2 Kasus 2

Pola suhu udara yang diperoleh pada bulan Juni dan bulan Desember memiliki pola yang hampir menyerupai.

Pada bulan Juni suhu maksimum terjadi antara pukul 13.00 – 14.00 yaitu 302 K. Suhu maksimum yang terjadi menyebabkan konsentrasi zat pencemar mengalami proses penurunan dengan cepat, di mana pada pukul 12.00 konsentrasi NO2 dan SO2 yaitu

265.2 dan 189.3 dan pada saat terjadi suhu maksimum konsentrasi NO2 dan

SO2 pada pukul 13.00 yaitu 202.9 dan

147 dan pada pukul 14.00 konsentrasi NO2 dan SO2 menjadi 98.6 dan 97

.

Gambar 13 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada kondisi stabilitas statik tanggal 9 Juni 2011

0 100 200 300 400 500 600 700 0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 7: 00 8: 00 9: 00 10: 00 11: 00 12: 00 13: 00 14: 00 15: 00 16: 00 17: 00 18: 00 19: 00 20: 00 21: 00 22: 00 23: 00 0: 00 Kon se n tra si ( μ g/m ³) CA PE (J /Kg )

[NO2] [SO2] CAPE (J/Kg)

Gambar 14 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada kondisi stabilitas statik tanggal 22 Desember

2011 0 100 200 300 400 500 600 700 0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 7: 00 8: 00 9: 00 10: 00 11: 00 12: 00 13: 00 14: 00 15: 00 16: 00 17: 00 18: 00 19: 00 20: 00 21: 00 22: 00 23: 00 0: 00 Kon se n tra si ( μ g/m ³) CA PE (J /Kg ) waktu lokal

(32)

Proses penurunan konsentrasi zat pencemar dengan cepat juga terjadi pada bulan Desember antara pukul 13.00 – 14.00, di mana pada saat itu terjadi suhu maksimum sebesar 304 K. Pada pukul 12.00 konsentrasi NO2 dan SO2 yaitu 234 dan 239.3

, kemudian pada pukul 13.00 konsentrasi NO2 dan SO2 menurun menjadi

147.7 dan 189.3 dan pada pukul 14.00 konsentrasi NO2 dan SO2

mengalami proses penurunan dengan cepat yaitu 87.5 dan 93.2 . Proses penurunan konsentrasi dengan cepat terjadi pada siang hari, karena pada siang hari penerimaan bahang lebih besar dibandingkan pada malam hari.

Korelasi yang didapat antara suhu dengan konsentrasi NO2 dan SO2 pada bulan Juni

yaitu -0.69 dan -0.67 dan pada bulan Desember yaitu -0.54 dan -0.55. Korelasi tersebut menunjukan bahwa adanya hubungan yang berbanding terbalik antara suhu dengan konsentrasi zat pencemar.

[image:32.595.130.474.105.278.2]

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat diketahui bahwa kondisi stabilitas atmosfer dapat dijelaskan dengan nilai CAPE, di mana nilai CAPE merupakan sejumlah energy yang dibutuhkan massa udara agar dapat bergerak ke atas. Nilai CAPE tersebut berasosiasi dengan ketinggian, sehingga nilai CAPE tersebut akan berbeda pada setiap ketinggian.

Gambar 15 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada suhu tertentu tanggal 8 Juni 2011

0 100 200 300 400 500 296 297 298 299 300 301 302 303 304 7: 00 8: 00 9: 00 10: 00 11: 00 12: 00 13: 00 14 :00 15: 00 16: 00 17: 00 18: 00 19: 00 20: 00 21: 00 22: 00 23: 00 0: 00 Kon se n tra si ( μ g/m ³) Su h u (K ) waktu lokal

[NO2] [SO2] Suhu (K)

Gambar 16 Konsentrasi NO2 dan SO2 pada suhu tertentu tanggal 3 Desember 2011

0 100 200 300 400 500 296 297 298 299 300 301 302 303 304 7: 00 8: 00 9: 00 10:0 0 11:0 0 12:0 0 13:0 0 14:0 0 15:0 0 16:0 0 17:0 0 18:00 19:0 0 20:0 0 21:0 0 22:0 0 23:0 0 0: 00 Kon se n tra si ( μ g/m ³) Su h u (K ) waktu lokal

(33)

Semakin tinggi nilai CAPE maka kondisi stabilitas atmosfer semakin lemah dan semakin rendah nilai CAPE, stabilitas atmosfer semakin kuat. Pada tanggal 8 Juni 2011 pukul 07.00 kondisi stabilitas atmosfer dikategorikan dalam keadaan yang stabil, semakin siang hari yaitu mulai pukul 11.00-14.00 kondisi stabilitas atmosfer dalam keadaan tidak stabil, kondisi tersebut membuat massa udara yang membawa zat pencemar mengalami gaya angkat, sehingga massa udara tersebut cenderung naik yang menyebabkan pencemar akan mudah menyebar dan bercampur dengan daerah yang lebih luas dan menjelang malam hari kondisi atmosfer kembali menjadi stabil.

Pada tanggal 3 Desember 2011 pukul 13.00 – 14.00 kondisi atmosfer dalam keadaan sedikit labil, di mana kondisi tersebut mampu membawa zat pencemar menyebar dan bercampur dengan daerah yang lebih luas. Sehingga pada waktu tersebut konsentrasi NO2 dan SO2 mengalami proses penurunan

dengan cepat.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka didapatkan nilai korelasi antara nilai CAPE dengan konsentrasi NO2 dan SO2. Pada bulan

Juni didapatkan korelasi antara nilai CAPE dengan konsentrasi NO2 dan SO2 yaitu -0.78

[image:33.595.115.507.96.437.2]

dan -0.76 serta pada bulan Desember diperoleh nilai korelasi antara nilai CAPE Gambar 17 Konsentrasi NO2 dan SO2 berdasarkan kondisi stabilitas statik tanggal 8 Juni 2011

0 100 200 300 400 500 0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 7: 00 8: 00 9: 00 10: 00 11: 00 12 :00 13: 00 14: 00 15: 00 16: 00 17: 00 18: 00 19: 00 20: 00 21: 00 22: 00 23: 00 0: 00 Kon se n tra si ( μ g/m ³) CA PE (J /Kg ) waktu lokal

[NO2] [SO2] CAPE (J/Kg)

Gambar 18 Konsentrasi NO2 dan SO2 berdasarkan kondisi stabilitas statik tanggal 3 Desember

2011 0 100 200 300 400 500 0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 7: 00 8: 00 9: 00 10: 00 11: 00 12 :00 13: 00 14: 00 15: 00 16: 00 17: 00 18: 00 19: 00 20: 00 21: 00 22: 00 23: 00 0: 00 Kon se n tra si ( μ g/m ³) CA PE (J /Kg ) waktu lokal

Gambar

Tabel 1 Baku Mutu Emisi dalam 1 Jam
Gambar 1 Stabilitas atmosfer berdasarkan
Tabel 2  Indeks
Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b)
+7

Referensi

Dokumen terkait