• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Sebagai tindak lanjut penelitian ini disarankan dilakukan simulasi dispersi pencemar dalam bentuk pengukuran emisi dan parameter meteorologi secara langsung dalam waktu yang bersamaan, dengan demikian dapat digunakan sebagai pembanding model HYSPLIT.

DAFTAR PUSTAKA

Ameka I. 2005. Analisis Perubahan Awan Konvektif untuk Informasi Penerbangan. Program Studi Meteorologi Bandung : ITB

Arya SP. 1999. Air Pollution Meteorology and Disperssion. New York : Oxford University Press

Atimtay AT., Chaudhary MT. 2006. Air Pollution Due To NOx Emissions in A Iron-Stell Industry Region in South-Eastrn Turkey and Emmision Reduction strategies. J. Environmental Pollution. 111 : 471 Aunuddin. 2005. Statistika Rancangan dan

Analisis Data. Bogor : IPB press Berman S., Ku Jia-Yeong., Rao ST. 1999.

Spatial and Temporal Variation in the Mixing Depth over the Northeastern United States during the Summer of 1995. J. of Applied Meterology. 38 : 1661

Cimorelli AJ., Perry SG., Venkatram A., Weil JC., Paine RJ., Wilson RB., Lee RF., Peters WD., Brode RW. 2004. Aeromod: A Dispersion Model for Industrial Source Applications. Part I: General Model Formulation and Boundary Layer Characterization. J. of Applied meteorology. 44 : 681 Cloquet C., Carignan J., Libourel G. 2005.

Atmospheric Pollutant Dispersion Around an Urban Area using Trace Metal Concentration and Pb Isotopic Compositions in Epiphytic Lichens.

J. Atmospheric Environment. 40 : 574-587

Djayanti S., Purwanto., Sasongko SB. 2011 Pengendalian Emisi Gas Buang Boiler Batubara dengan Sistem Absorbsi. J. Ilmu Lingkungan. 9(1) : 18

Draxler RR. 1998. An Overview of the Hysplit_4 Modelling System for Trajectories, Dispersion, and Deposition. USA : NOAA Air Resources Laboratory, Silver Spring, Maryland

Emeis S., Munkel C., Vogt S., Muller W., Schafer K. 2004. Atmospheric Boundary Layer Structure from Simultaneous SODAR, RASS and Ceilometer Measurements. J. Atmospheric Environmental. 38 : 273-286 pp

Geiger. 1995. The Climate Near the Ground. Cambridge : Harvard University Press

Goyal SK., Rao CVC. 2006. Air assimilative Capacity-Based Environment Friendly Siting of New Industries-A Case Study of Kochi Region, India. J. National Environmental Engineering. 10 : 1016

Hadiwidodo M., Huboyo SH. 2006. Pola Penyebaran Gas NO2 di Udara Ambien Kawasan Utara Kota Semarang Pada Musim Kemarau Menggunakan Program ISCST3. J. Presipitasi. 1(1) : 187

[KLH]. Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah. Jakarta : Kementrian Lingkungan Hidup

Kozarev N., Ilieva N. 2011. Gas Pollutant Dispersion in The Atmosphere at Particular Meterological Condition. J. Chemical Technology and Metallurgy. 46(1) : 61-66

Mohan M., Bhati S. 2011. Analysis WRF Model Performance over Subtropical Region of Delhi, India. J. Advances in Meteorology. 10 : 13

Prawirowardoyo S. 1996. Meteorologi. Bandung : ITB

Satriyo S. 2008. Studi Kondisi Kimiawi Penyebaran PB, Debu, dan Kebisingan di Kota Jakarta. J. Kajian Ilmiah Lembaga Penelitian Ubhara Jaya. 9(2) : 868

Seinfeld JH., Pandis SN. 2006. Atmospheric Chemistry and Physics: From Air Pollution to Climate Change. Ed ke-2. United States: Jhon Wiley and Sons

Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung : ITB

Soemarno SH. 1999. Meteorologi Pencemaran Udara. Bandung : ITB

Stull RB. 2000. Meteorology for Scientist and Engineers. 2nd Edition. Brooks/Cole. Califotnia. hlm 130-131.

Subarna D. 2008. Simulasi Atmosfer Daerah Padang dan Sekitarnya Menggunakan Model WRF. Prosiding Seminar nasional fisika. Bandung : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. hlm 245

Suryani, Gunawan, Upe A. 2010. Model Sebaran Polutan SO2 pada Cerobong Asap.[abstrak] di dalam kongres dan seminar nasional badan koordinasi pusat studi lingkungan hidup se-Indonesia ke XX. Pekanbaru : 14-16 Mei 2010x

Tjasjono B. 1999. Klimatologi umum. Bandung : ITB

Wang M., Webber M., Finlayson B., Barnett B. 2007. Rural Industries and Water Pollution in China. J. of Environmental Management. 86 : 648-659

Yerramili A., Dodla VBR., Challa VS., Myles L., Pendergrass WR., Vogel CA., Dasari HP., Tuluri F., Baham JM., Hughes RL., Patrick C., Young JH., Swanier SJ., Hardy MG. 2011. An Integrated WRF/HYSPLIT Modeling Approach for The Assesment of PM2.5 Source Regions Over The Mississipi Gulf Coast Region. J. Air Qual Atmos Health. DOI 10.1007/s11869-010-0132-1

LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Data NOAA 1°

- Domain wilayah kajian - Waktu simulasi

WRF-EMS

HYSPLIT

Simulasi trajektori

Simulasi dispersi polutan

Data observasi : (titik pusat simulasi dan data fisik cerobong)

Lampiran 2 Karakteristik cerobong PT. X Jenis Cerobong Diameter

(m) Tinggi Cerobong (m) Temperature Cerobong (K) SO2 (Kg/jam) NO2 (Kg/jam)

9 Juni 2011 22 Desember 2011 9 Juni 2011 22 Desember 2011

Dust Collector 0.35 7 328 0.04 1.00 0.37 0.54

Scruber 70 kg 0.75 11 337 7.44 1.18 0.34 0.41

Boiler 0.4 9.5 342 0.50 1.00 0.38 0.42

Total emisi 7.98 3.18 1.09 1.37

Lampiran 3 Karakteristik cerobong PT. Y Jenis Cerobong Diameter

(m) Tinggi Cerobong (m) Temperature Cerobong (K) SO2 (Kg/jam) NO2 (Kg/jam)

8 Juni 2011 3 Desember 2011 8 Juni 2011 3 Desember 2011

Melting 0.3 10 343 0.02 1.12 0.37 0.48

Painting F2 0.5 7 338 0.35 1.01 0.36 0.28

Painting F4 0.5 8 341 0.74 0.86 0.54 0.28

Total emisi 1.11 2.99 1.27 1.04

Lampiran 4 Simulasi trajektori PT. Y bulan Juni (a) dan bulan Desember (b)

(a) (b)

Lampiran 5 Plot angin zonal – meridional tanggal 8 Juni 2011 (03 UTC) – 12 Juni 2011 (00 UTC)

Lampiran 6 Plot angin zonal – meridional tanggal 3 Desember 2011 (03 UTC) – 5 Desember 2011 (09 UTC)

Lampiran 7 Plot angin zonal – meridional tanggal 22 Desember 2011 (03 UTC) – 25 Desember 2011 (00 UTC)

ABSTRAK

FARRAHDHINA FAIRUZI

.

Penggunaan Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) untuk Simulasi Sebaran Polutan NO2 dan SO2. Di bawah bimbingan AHMAD BEY dan EKO HERIYANTO

.

Hybrid Single-Particle Lagrangian Trajectory (HYSPLIT)merupakan salah satu model yang digunakan untuk memprediksi trajektori, dispersi, dan konsentrasi polutan dari sumber titik, garis, maupun area. Model ini mengaitkan hubungan antara komponen distribusi polutan dengan komponen meteorologi melalui model WRF untuk mengidentifikasi lokasi sumber. Industri merupakan salah satu lokasi yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran konsentrasi polutan terutama NO2 dan SO2. Keberadaan zat pencemar akan meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas industri. Pemantauan kualitas udara penting dilakukan dalam rangka pengendalian dampak pencemaran udara, salah satunya adalah dengan cara melakukan simulasi dispersi polutan dengan menggunakan model untuk mengetahui potensi keterpaparan polutan. Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi dan menganalisa arah trajektori, memprediksi konsentrasi, dan menganalisa hubungan suhu dan stabilitas atmosfer terhadap konsentrasi NO2 dan SO2. Pendekatan yang digunakan dalam simulasi polutan dalam penelitian adalah HYSPLIT. Hasil yang diperoleh yaitu pada bulan Juni trajektori bergerak ke arah Barat dan bulan Desember trajektori bergerak ke arah Timur. Selain itu Konsentrasi NO2 yang diperoleh untuk PT. X berkisar antara 368 – 350.5 dan SO2 berkisar antara 677 - 338 . Sedangkan konsentrasi NO2 yang diperoleh untuk PT. Y berkisar antara 385.7 - 410.2 dan SO2 berkisar antara 401.1 - 442.2 . Suhu udara dan kondisi stabilitas atmosfer dapat mempengaruhi konsentrasi polutan. Korelasi yang diperoleh antara suhu dengan konsentrasi NO2 dan SO2 berkisar antara -0.54 sampai -0.69 dan korelasi antara kondisi stabilitas atmosfer dengan konsentrasi NO2 dan SO2 -0.51 sampai -0.78.

ABSTRACT

FARRAHDHINA FAIRUZI. Utilization of Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT) in the Simulation of NO2 and SO2 Spatial Distribution. Supervised by

AHMAD BEY and EKO HERIYANTO.

HYSPLIT is a model primarily designed to predict the trajectory, dispersion, and concentration of pollutants from a single or multiple sources. The model may be integrated with meteorological data fields derived from the WRF model to identify source location. Industrial area normally release various types of gas pollutants with variable concentrations, including NO2 and SO2. The abundance of the emitted pollutants will increase along with increasing industrial activities. As part of air quality management, activities to monitor air quality needs to be conducted regularly in order to control the pollutants concentrations. Utilizing a model simulation may allow us to identify the pollutants exposure potentials. The objective of this study include to understand how HYSPLIT can be used to predict and analyze trajectory of pollutants, estimate pollutants concentrations, and analyze the relationship between temperature and atmospheric stability to NO2 and SO2 concentrations. The result showes that in June trajectory is directed westward and in December trajectory it moves eastward. In addition, NO2 concentrations obtained for PT. X ranged from 350.5 to 368 and SO2 ranged from 338 to 677 . The NO2 concentrations for PT. Y ranged from 385.7 - 410.2 and SO2 ranged from 442.2 - 401.1 Temperature and atmospheric stability conditions affect the concentration of pollutants significantly. Correlation between temperature and concentration of NO2 and SO2 ranged from -0.54 to -0.69 and the correlation between atmospheric stability and the concentration of NO2 and SO2 is -0.51 to -0.78.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Keberadaan kawasan industri menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Kegiatan industri tersebut memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi polutan seperti gas ke udara bebas di atmosfer (Goyal dan Rao 2006). NO2 dan SO2 merupakan jenis gas yang diemisikan industri ke udara bebas yang akan mempengaruhi keadaan kualitas lingkungan. Sebaran pencemar di udara dipengaruhi oleh kondisi sumber pencemar serta dipengaruhi juga oleh proses transportasi maupun transformasi (reaksi kimiawi) pencemar di atmosfer. Proses transportasi maupun transformasi sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan kondisi stabilitas atmosfer.

Penggunaan model dispersi polutan akan sangat membantu dalam memprediksi sebaran dan konsentrasi polutan yang di emisikan dari suatu sumber. Hybrid Single-Particle Lagrangian Trajectory (HYSPLIT) merupakan salah satu model yang digunakan untuk memprediksi trajektori, dispersi, dan konsentrasi polutan dari sumber titik, garis, maupun area. Model ini mengaitkan hubungan antara komponen distribusi polutan dengan komponen meteorologi melalui model WRF untuk mengidentifikasi sumber lokasi. HYSPLIT dibangun oleh Draxler sejak tahun 1982 dan dikembangkan oleh Air Resources Laboratory dari NOAA hingga saat ini (Draxler 1998).

Oleh sebab itu, pendugaan sebaran dan konsentrasi polutan pada kajian ini menggunakan model HYSPLIT. Model ini dibangun untuk memprediksi sebaran dan konsentrasi pencemar udara dari sumber titik. 1.2 Tujuan

1. Memahami dan mempelajari HYSPLIT sebagai salah satu aplikasi model untuk memprediksi dan menganalisa arah sebaran NO2 dan SO2 dari sumber titik. 2. Memprediksi konsentrasi NO2 dan SO2

yang didispersikan ke lingkungan. 3. Menganalisis hubungan suhu dan kondisi

stabilitas statik terhadap konsentrasi NO2

dan SO2.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Pencemaran Udara

Udara merupakan unsur kehidupan yang paling utama. Namun, meningkatnya kegiatan perkotaan seperti transportasi, perdagangan, industri, rumah tangga, serta pembangkit energi sedikit demi sedikit akan membuang berbagai jenis bahan pencemar ke udara. Sehingga akan mengakibatkan penurunan kualitas udara dan menimbulkan dampak terhadap pencemaran udara (Wang et al 2007). Pada wilayah perkotaan, pencemaran udara sebagian besar disebabkan oleh pembakaran sumber energi yang kekuatan emisinya sangat bergantung pada intensitas aktivitas antropogenik di daerah yang bersangkutan, di mana emisi merupakan suatu komponen yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk ke dalam udara ambien yang mempunyai atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar di udara (Djayanti dkk 2011).

Tabel 1 Baku Mutu Emisi dalam 1 Jam Zat pencemar Baku mutu

Partikel debu 350

Cl2 10

SO2 800

NO2 1000

(Sumber : KLH 2002)

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KEPMEN KLH) Kep.02/Men-KLH/1998, pencemaran udara merupakan proses masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas udara menurun hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Definisi lain mengenai pencemaran udara yaitu masuknya zat pencemar ke udara bebas atau atmosfer, baik secara alami maupun dari kegiatan manusia sehingga mengakibatkan zat pencemar tersebut melayang di udara dan bergerak sesuai dengan gerakan dan tingkah laku udara dalam jumlah yang melebihi ambang batas yang masih diperkenankan untuk kesehatan makhluk hidup maupun estetika (Soemarno 1999).

2.1.1Sumber dan Jenis Pencemar Udara Menurut asalnya, sumber pencemaran udara dibagi menjadi dua yaitu sumber alami dan non alami (buatan). Sumber pencemar alami yaitu masuknya zat pencemar ke udara bebas yang diakibatkan oleh adanya aktivitas letusan gunung berapi, kebakaran hutan dan lain sebagainya yang disebabkan karena adanya aktivitas alam. Sedangkan sumber non alami (buatan) yaitu masuknya zat pencemar ke udara bebas yang diakibatkan oleh adanya aktivitas manusia seperti aktivitas transportasi, indusri, dan domestik (rumah tangga) (Soedomo 2001).

Menurut Arya (1999) sumber pencemaran udara berasal dari :

1. Sumber urban dan Industri ;

a. Pembangkit tenaga listrik yang masih menggunakan batu bara sehingga dapat menghasilkan zat pencemar (polutan) dalam jumlah yang cukup banyak. b. Kegiatan industri, berasal dari

penambangan, perakitan, penggunaan zat kimia, dan lain sebagainya.

c. Transportasi, Emisi yang dihasilkan diestimasi berdasarkan per unit area dengan mempertimbangkan kepadatan lalulintas, kecepatan kendaraan, dan emisi perkendaraan.

d. Proses pembakaran, berasal dari pembakaran diluar ruangan seperti api unggun, pembakaran sampah, dan lain sebagainya

e. Pembuangan limbah, berasal dari limbah udara yang dihasilkan oleh industri dan dibuang melalui cerobong asap.

f. Aktivitas konstruksi, misalnya berasal dari pembukaan lahan, peledakan, penggalian, dan pengecatan. Sebagian besar polutannya yaitu debu dan PM10. 2. Sumber rural dan pertanian

Sumber pencemar udara di wilayah rural termasuk kegiatan pertanian dapat dibagi menjadi :

a. Debu yang berterbangan

Angin yang bertiup akan menghambat partikel-partikel halus dan membawanya ke udara.

b. Slash burning

Membuka lahan dengan cara membakar hutan, jerami, dan rumput liar menjadi sumber utama dari asap yang membawa banyak polutan. c. Emisi tanah

Lahan yang akan diolah biasanya banyak menggunakan pupuk yang

mengandung nitrat dan fosfat sehingga menghasilkan NOx yang berasal dari aktivitas mikroba di permukaan tanah. d. Pestisida dan bahan kimia

Penggunaan pestisida dengan cara disemprotkan dari udara akan berpotensi zat pestisida tersebut tertiup angin.

e. Proses pembusukan limbah

Limbah produksi yang membusuk akan melepaskan ammonia dan metana ke atmosfer.

3. Sumber alami

Sumber alami dapat dikelompokkan menjadi :

a. Erosi angin, tiupan angin kencang di atas permukaan tanah dapat mengangkat partikel tanah.

b. Kebakaran hutan, kebakaran hutan dapat terjadi karena adanya sambaran petir sehingga menghasilkan sejumlah asap, CO, CO2, NOx, dan HC

c. Letusan gunung berapi, sebagian besar menyemburkan CO2, SO2, dan gas-gas lain ke atmosfer dalam jumlah yang cukup besar.

d. Emisi biogenik, berasal dari hutan dan padang rumput. Polutan yang dihasilkan berupa HC, metana, dan ammonia.

e. Percikan air laut dan evaporasi, percikan air laut akibat ombak yang pecah di sepanjang pantai yaitu sumber utama partikel garam di atmosfer. f. Proses mikroba tanah, respirasi aerob

dan anaerob dari tanah dan vegetasi menghasilkan emisi NO, metana, hidrogen sulfida, dan ammonia. g. Pembusukan alami bahan-bahan

organik, pembusukan tumbuhan dan bahan-bahan organik lainnya akan menghasilkan metana, hidrogen, sulfida, dan ammonia.

h. Kilat, kilat dapat menghasilkan NO dalam jumlah besar yang selanjutnya dapat bereaksi secara fotokimia menjadi O3.

Berdasarkan polanya sumber pencemar dibagi menjadi tiga, yaitu (Tjasjono 1999): 1. Sumber titik (point source), berasal dari pabrik-pabrik atau industri yang mengeluarkan zat pencemar ke udara melalui cerobong pembuangan. 2. Sumber garis (line source), merupakan

sumber pencemar yang mengeluarkan pancaran zat pencemar berupa garis yang memanjang, misalnya emisi yang

dikeluarkan oleh kendaraan di jalan raya.

3. Sumber area (area source), merupakan sumber pencemar yang mengeluarkan pancaran zat pencemar dari suatu wilayah, seperti kawasan industri. Berdasarkan perilakunya di atmosfer, jenis pencemar udara dibagi menjadi dua yaitu pencemar primer dan pencemar sekunder. Pencemar primer merupakan jenis pencemar yang komposisinya tidak akan mengalami perubahan di atmosfer baik secara kimia maupun fisis dalam jangka waktu yang relatif lama (harian sampai tahunan dan akan tetap seperti komposisinya seperti waktu diemisikan oleh sumber), misalnya : CO, CO2, NOx, N2O, TSP, SOx, metana, senyawa halogen, partikel logam, dan lain sebagainya. Pencemar ini memiliki waktu tinggal yang lama di atmosfer karena sifatnya yang stabil terhadap reaksi-reaksi kimia fisik atmosfer. Sedangkan pencemar sekunder yaitu jenis pencemar yang terbentuk di atmosfer sebagai hasil reaksi-reaksi atmosfer seperti hidrolisis, oksidasi, dan reaksi fotokimia (Suryani 2010). 2.1.2 Dispersi Pencemar Udara

Dispersi pencemar di atmosfer secara umum melibatkan tiga mekanisme utama yaitu arah dan kecepatan angin, kenaikan massa udara, dan turbulensi atmosfer (Stull 2000). Selain itu Cloquet et al (2005) menyebutkan bahwa mekanisme dispersi pencemar dari suatu sumber emisi juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik meteorologi dan topografi wilayah setempat.

Pola dispersi memiliki bentuk yang berbeda, sehingga menghasilkan jarak jangkau dan kemampuan difusi yang berbeda-beda. Kondisi stabilitas atmosfer dapat diklasifikasikan melalui pola kepulan suatu cerobong. Beberapa jenis pola dasar dan pola peralihan, antaralain (Geiger 1995) :

1. Pola dasar kepulan

Looping merupakan pola kepulan yang terjadi jika suhu udara berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Looping hanya terjadi pada siang hari, biasanya pada saat langit cerah. kasus ini terjadi pada kondisi atmosfer tidak stabil yang akan membawa zat pencemar secara cepat dan tidak teratur hingga konsentrasi zat pencemar menjadi encer.

Coning merupakan pola kepulan yang terjadi jika hari berawan dan berangin dengan suhu yang sedikit menurun dengan bertambahnya ketinggian yaitu sekitar 1°C/1000 m. Kondisi ini terjadi

pada saat atmosfer dalam keadaan netral.

Fanning merupakan pola kepulan yang terjadi jika suhu udara meningkat dengan bertambahnya ketinggian (inversi). Kondisi ini terjadi pada saat atmosfer dalam keadaan stabil, yang sering terjadi pada malam dan pagi hari saat langit cerah dan angin bertiup lemah.

2. Pola peralihan

Fumigation merupakan pola kepulan yang terjadi akibat adanya pencampuran ke arah atas dan bawah yang dibatasi oleh inversi, yang dikaitkan dengan inversi radiatif. Lofting merupakan pola kepulan yang tidak terjadi proses pencampuran ke arah bawah. Namun ada persebaran zat pencemar ke arah atas.

Trapping merupakan pola kepulan yang terjadi jika inversi panas menjerat gas buang dari cerobong pabrik dalam lapisan udara permukaan. Pada trapping terjadi pencampuran ke arah bawah. Sehingga kepulan cenderung menyebar secara horizontal ke arah bawah.

Gambar 1 Stabilitas atmosfer berdasarkan pola kepulan asap dari cerobong (Sumber : Geiger 1995)

2.1.3 Karakteristik Senyawa Nitrogen Oksida (NOx)

Nitrogen Oksida merupakan salah satu jenis pencemar udara yang diemisikan dari berbagai sumber salah satunya yaitu sektor industri. Akibat adanya kegiatan industri, NOx

memberikan kontribusi ke udara sekitar 67.7% (Atimtay dan Chaudhary 2006)

Nitrogen Oksida disebut juga dengan NOx

karena memiliki dua bentuk dengan karakteristik yang berbeda, yaitu NO dan NO2. NO memiliki karakteristik tidak berwarna dan tidak berbau, sedangkan NO2

berwarna dan berbau. Gas NO2 sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Selain itu NO2 juga dapat mengurangi jarak pandang dan resistansi di udara (Hadiwidodo dan Huboyo 2006).

Menurut Seinfeld (1986) sumber gas NOx

berasal dari gas buangan hasil pembakaran dengan suhu tinggi. Rata-rata waktu tinggal gas NOx di udara relatif pendek. NOx rata-rata berada di atmosfer berkisar antara 1 – 4 hari. Waktu tinggal yang relatif pendek menyebabkan efek NOx banyak terjadi dalam skala regional dan lokal.

2.1.4 Karakteristik Senyawa Sulfur Oksida (SOx)

Pada umumnya senyawa Sulfur Oksida memiliki dua bentuk yaitu SO2 dan SO3. Sulfur dioksida merupakan gas yang berbau tajam dan tidak mudah terbakar di udara, sedangkan sulfur trioksida merupakan gas yang tidak reaktif. Sumber senyawa sulfur di atmosfer yaitu dari pembakaran bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang digunakan yaitu batubara (Satriyo 2008).

Mekanisme pembentukan SOx dapat dituliskan dalam dua tahap reaksi sebagai berikut :

S + O2 SO2

2SO2 + O2 2SO3

Pencemaran SOx menimbulkan dampak terhadap manusia, hewan, dan kerusakan pada tanaman. Sulfur dioksida mempunyai kelarutan yang tinggi dalam air dengan waktu tinggal di atmosfer sekitar 2 – 4 hari (Seinfeld dan Pandis 2006).

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan

Kondisi atmosfer sangat dinamik yang secara alami mampu melakukan dispersi, dilusi, difusi, dan transformasi baik melalui proses fisika maupun kimia serta mekanisme kinetik atmosfer terhadap zat-zat pencemar (Soedomo 2001). Kemampuan atmosfer tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi yang diindikasikan dengan parameter-parameter meteorologi dan setiap parameter meteorologi yang berpengaruh terhadap proses pencemaran di atmosfer satu sama lain saling berkaitan. Dispersi pencemar terjadi karena adanya tenaga yang membawa pencemar tersebut dari sumbernya ke udara ambien. Difusi terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi, pencemar akan menyebar dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Dari proses dispersi dan difusi menghasilkan dilusi

(pengenceran) zat pencemar dari suatu sumber yang konsentrasinya sangat kental di udara ambien dengan hasil konsentrasi yang lebih rendah.

Peranan parameter meteorologi dalam proses dispersi sangat penting yaitu meliputi arah dan kecepatan angin, suhu udara, stabilitas atmosfer, mixing height, dan turbulensi.

2.2.1 Arah dan Kecepatan Angin

Arah dan kecepatan angin akan menentukan ke mana dan seberapa jauh pencemar bergerak meninggalkan sumbernya. Semakin cepat angin bergerak, maka pencemar akan semakin cepat meninggalkan jauh dari sumbernya. Proses dispersi sangat dipengaruhi oleh variasi arah angin, jika arah angin secara kontinu menyebar ke berbagai arah maka area sebaran pencemar akan semakin luas. Namun, jika arah angin hanya bergerak ke satu arah tertentu maka daerah tersebut akan memiliki paparan pencemar yang tinggi.

Menurut Geiger (1995) terdapat dua jenis pergerakan angin, yaitu pergerakan angin secara laminar dan turbulen. Pergerakan angin secara laminar merupakan pergerakan angin yang tenang sepanjang lapisan yang sejajar. Sedangkan pergerakan angin secara turbulen yaitu pergerakan angin yang acak dan baur. Sehingga pada pergerakan angin secara turbulen terjadi percampuran antara udara yang tercemar dengan udara yang bersih yang akan mempercepat pengenceran pencemar di udara.

2.2.2 Suhu udara

Menurut Kozarev dan Ilieva (2011) suhu

Dokumen terkait