Oleh :
DEDE YUSIPA
NIM : 103044128068
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI
’
AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Dede Yusipa
NIM : 103044128068
Di Bawah Bimbingan
&e
Prof. Dr. Hasanuddin. AF. MA NIP. 1500s0917
KONSENTRA
SI PERADILAN
AGAMA
PROGRAM
STUDI
AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH
DAN
HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Universitas Islam Negeri
ruf$
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal3l
Maret20lL Skripsiini
telah diterima sebagai salah sahr syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi Ahwal al-Syakhsiyyah.Jakarta, 04 egustus 2011 Mengesahkan
-<<'D€kan F
/
yariah dan HukumNIP: 1955'0505 1982 0310 12
PANITIA UJIAN
Ketua
: Drs.H.A.BasiqDjalil. SH. MA NIP : 19500306197 603 1001
l-y----
-...4....
...) Sekretaris: Hj..Rosdiana" MA
NIP : I 96906102003 122001
+
,,d'
Pembimbing
: Prof. Dr. Hasanuddin.AF MA NIP : 150050917
Penguji
I
: H. Jasir. SH. MHNIP : I 94407 09196604 1 001 Penguji
II
: Hj. Rosdiana. MA
NIP : 196906102003 122001
(,
ii
KATA PENGANTAR
ميحّرلا نمحّرلا ها مسب
Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan
berupa Ilmu kepada kita sebagai hamba-Nya, sehingga dengan ilmu itu kita bisa
membedakan kebaikan dan keburukan di atas bumi ini. Dan patutlah kalimat
Alhamdulillahi Rabbi Al-‘Alamin yang pertama kali terucap oleh penulis karena
penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam semoga
senantiasa dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, para
sahabatnya serta para pengikutnya dan mudah-mudahan kita termasuk di
dalamnya.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan dengan
inayah-Nya serta kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, segala
kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini
dapat diselesaikan.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya-lah pada kesempatan kali ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin
Suma, SH, MA., MM
2. Prof. Dr. Hasanuddin, AF, MA, sebagai dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam
iii
3. Ketua Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Drs. H. A. Basiq Djalil,
SH.,MA
4. Sekretaris Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Hj. Rosdiana. MA
5. Kepala unit perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis
untuk mengadakan studi kepustakaan sehingga selesainya skripsi ini.
6. Ayahanda Drs. Wildan A. Yus dan Ibunda Hj. Fatimah Nurlaelis yang
senantiasa memberikan motivasi, arahan serta doa yang tiada
henti-hentinya dan bantuan moril maupun materiil.
7. Teman-teman diskusi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2003 Mudah-mudahan jalinan
persahabatan kita tak terhenti sampai di sini dan bisa terjalin sampai kapan
pun dan di manapun kita berada.
8. Muhammad Yusuf Daulay, Andreansyah Syafi’i, Firman Assalamsyah
sebagai sahabat pertama yang membantu penulis dalam berbagai
permasalahan, dan banyak lagi yang lainnya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu.
9. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
adinda Heryani Arman, yang telah memberikan motivasi kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuanya,
Semoga Allah membalas kebaikannya.
Semoga amal baik semua dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
iv
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat, bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi
ini.
Jakarta, 1 Maret 2011
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Batasan dan Perumusan Masalah ...
C. Maksud dan Tujuan Penelitian ...
D. Kegunaan Penelitian……….………
E. Kerangka Pemikiran……….
F. Metode Penelitian………
G. Sistematika Penulisan Skripsi... 1
5
5
6
6
9
12
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang…...
B. Perkawinan Menurut Fiqih……….……….. 14
31
BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH
A. Telekomunikasi Dan Perkembangannya…………...
B. Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia…
C. Perkawinan Teleconference Di Indonesia…... 51
56
vi
BAB IV HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE
A. Pengaturan Perkawinan Teleconference…..………
B. Prosedur Perkawinan Teleconference….……….
C. Kendala-kendala Perkawinan Media Teleconference…..…………
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………..
B. Saran ………
DAFTAR PUSTAKA ...
68
78
85
88
90
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa, yang dikaruniai akal dan pikiran, kesempurnaan untuk berjalan
serta kemampuan berkomunikasi dan berbicara yang membedakan manusia
dengan mahluk lain yang ada di muka bumi ini.
Bertambahnya jumlah populasi manusia di muka bumi menyebabkan
tersebarnya manusia ke berbagai tempat yang dipisahkan oleh jarak, sedangkan
manusia itu sendiri merupakan mahluk sosial yang membutuhkan manusia lain di
sekitarnya, yang dalam persepsi sosiologis diartikan sebagai mahluk yang tidak
dapat hidup sendiri, oleh karena setiap manusia (secara individual) masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan serta membutuhkan individu lain, untuk dapat
saling menutupi kekurangannya, sehingga timbul suatu motivasi agar sesama
manusia itu dapat saling mencintai antar sesamanya tanpa mempermasalahkan
perbedaan warna kulit, ras, etnis ataupun perbedaan fisik, dengan proporsi yang
seimbang dalam arti adanya penyeimbangan antara cinta pada diri sendiri dengan
cinta pada sesama manusia lain dengan membatasi penunjukan rasa cinta mereka.1
Rasa saling membutuhkan antar sesama manusia di ajarkan dalam agama
Islam, bahwa setiap manusia itu diciptakan hidup berpasangan, guna melengkapi
kekurangan dan membagi kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
1
Setiap individu telah di gariskan takdirnya pasti mendapatkan pasangan hidup
masing-masing, akan tetapi tidak dengan jalan yang melanggar norma-norma
yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan
maupun norma hukum, melainkan dengan melangsungkan perkawinan sebagai
suatu ibadah.
Agama Islam memberikan suatu himbauan bagi semua manusia pada
umumnya dan umat Islam pada Khususnya, jika telah berkemampuan secara
jasmani maupun rohani serta lahir maupun batin, untuk melangsungkan
perkawinan sebagai jalan yang terbaik dalam membina suatu hubungan yang sah
dari adanya pergaulan hidup antar manusia, yang semakin menunjukkan adanya
kebebasan yang sebebas-bebasnya dalam pergaulan antara pria dan wanita,
walaupun pada masyarakat Indonesia itu yang adat istiadat sangat menjunjung
tinggi kesopanan dan kesusilaan dalam pergaulan hidup. Pengaruh globalisasi dan
keterbukaan informasi yang mengakibatkan masuknya nilai-nilai budaya barat
(yang sifatnya lebih objektif dengan penekanan kepada masalah rasio, berbeda
dengan budaya timur yang sangat menjunjung perasaan atau intuisi yang lebih
menekankan inti kepribadian pada hati)2, ke dalam beberapa sendi kehidupan masyarakat Indonesia yang sedikit demi sedikit mengubah pola tatanan ketimuran
mengenai pentingnya makna dari suatu perkawinan.
Perkawinan, menurut pandangan masyarakat adat di Indonesia, merupakan
tahapan akhir atau stage along the life circle dalam rangkaian hidup seorang
manusia dan bersifat sangat sakral, sehingga dalam pelaksanannnya harus dilalui
2
dengan tahapan-tahapan upacara pelepasan status atau sering disebut Rites de
Passage, hal ini tidak lain karena hakekat perkawinan sebagai penyatuan dua
keluarga besar, yang bertujuan untuk3 :
1. melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib – teratur ;
2. melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya.
3.meneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk dalam persekutuan
tersebut.
Banyaknya tata cara dan atau aturan yang harus dilalui untuk mencapai
sahnya suatu perkawinan, menimbulkan pemikiran untuk menyederhanakan dan
membuat praktis. Keinginan kuat penyederhanaan sahnya perkawinan ini semakin
terwujud, dengan adanya perubahan sahnya perkawinan secara adat menjadi
secara agama. Sahnya suatu perkawinan secara agama semakin diperkuat dengan
keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, terutama Pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi sebagai berikut :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan (UU perkawinan) ini, maka suatu perkawinan itu
tidak akan ada, jika dilakukan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah dilakukan
perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), segera dilanjutkan dengan
pencatatan perkawinan tidak hanya sebagai suatu bentuk tata tertib administrasi,
3
akan tetapi adanya pencatatan perkawinan ini membuktikan telah dilaksanakan
atau belum perbuatan hukum perkawinan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal
2 ayat (1) tersebut di atas. Oleh karena itulah, pencatatan perkawinan sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU perkawinan ini, sangat penting kedudukannya
dalam hal terjadinya akibat hukum dari adanya perbuatan hukum perkawinan
tersebut.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut, maka timbul
suatu hal yang menarik dalam masyarakat mengenai perkawinan dengan
memanfaatkan teknologi telekomunikasi khususnya media teleconference, suatu
hal yang dulu dirasakan tidak mungkin terjadi, akan tetapi pada saat ini telah
dapat dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari semakin canggih dan berkembangnya
sarana teknologi telekomunikasi.
Fenomena menarik berkaitan dengan pemanfaatan media teleconference
dalam suatu perkawinan menimbulkan suatu kajian baru berkaitan dengan sah
atau tidaknya perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh, yang mendorong
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah
Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu
meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan
dalam penulisan skripsi ini hanya berkisar pada “Hukum Perkawinan
Teleconference”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang penelitian tersebut maka dapat
dimunculkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana status hukum bagi pernikahan Teleconference?
2. Bagaimanakah prosedur perkawinan yang dilakukan melalui media
teleconference?
3. Kendala-kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaan perkawinan
melalui media teleconference?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang bagaimana
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang
perkawinan teleconference. Adapun tujuan dapat dirinci sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejauh mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan mengatur tentang perkawinan khususnya mengenai perkawinan
melalui media teleconference.
media teleconference secara hukum.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dan bagaimana solusinya
dalam menangani kendala-kendala tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi
pihak-pihak yang berkepentingan, baik secara :
1. Teoritis
Yaitu dalam rangka pengembangan llmu Hukum Perdata pada umumnya
dan Hukum Perkawinan pada khususnya
2. Praktis
a. Memberikan suatu masukan bagi instansi yang terkait dalam bidang
perkawinan dan juga masyarakat.
b. Memberikan suatu alternatif atau terobosan baru dalam pelaksanaan
proses perkawinan melalui media perantara.
c. Penelitian ini dapat berguna untuk bahan rujukan atau acuan untuk
penelitian yang diadakan berikutnya.
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan adanya perkawinan melalui
pemanfaatan media teleconference, berlandaskan pada teori atau pemikiran yang
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing
masing agamanya dan kepercayaannya itu
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan
yang berlaku.”
Selain kedua pasal di atas, landasan pemikiran lainnya adalah Pasal 10
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 19754, khususnya pada ayat (3), yang
berbunyi:
“Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan serta
Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan tatacara
perkawinan tidak menentukan dengan cara bagaimanakah perkawinan itu harus dilangsungkan, karena tidak adanya ketentuan mengenai cara berlangsungnya suatu proses perkawinan, maka akan dapat dimunculkan dua
penafsiran, yaitu apakah perkawinan harus dilangsungkan dengan
mempertemukan kedua mempelai atau sebaliknya, bahwa proses perkawinan
dapat dilangsungkan tanpa perlu kedua mempelai bertemu langsung.
Untuk menjawab dua penafsiran di atas, jika mengacu pada ketentuan
pasal tersebut, hanya akan mendapat jawaban yang sama. Hal ini tidak lain,
karena Pasal 2 ayat (1) yang menentukan sahnya perkawinan hanya memberikan
4
arahan bahwa sahnya perkawinan itu kembali pada ketentuan hukum agama dan
kepercayaannya yang dianut oleh ara pihak yang bersangkutan, sedangkan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) hanya merupakan ketentuan mengenai ketertiban
administrasi saja. Begitu pula halnya Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 hanya
menyatakan tatacara perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian, karena masalah sahnya
perkawinan itu kembali pada hukum agama, dapat dilihat pada agama islam,
memberikan persyaratan berupa adanya :
1. Calon mempelai pria dan wanita ;
2. Wali nikah ;
3. Saksi ;
4. Ijab-kabul
5. Mahar.
Keharusan mengenai ijab-kabul atau ucapan janji setia secara
berkesinambungan yang kemudian menimbulkan penafsiran, bahwa proses
perkawinan harus dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat yang tidak
terpisah oleh jarak. Namun jika dilakukan penafsiran terbalik, maka proses
perkawinan yang dilakukan dengan jarak atau di sela oleh suatu perantara tetaplah
memenuhi keempat keharusan tersebut di atas, hanya saja tidak dilakukan di satu
majelis.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa fungsi
penemuan hukum yang mengacu kepada kepentingan pencari keadilan lebih
diutamakan. Namun demikian Undang-undang tidak mengatur perkawinan
dengan tata cara melalui media teleconference, oleh karena itu terdapat
kekosongan hukum. Dalam hal kekosongan hukum yang demikian Mahkamah
Agung berpendapat :
“Bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka
kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut diatas dibiarkan tidak
terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut
berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif di segi kehidupan
bermasyarakat maupun beragama yang berupa
penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif,
maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan
ditentukan hukumnya”.
F. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis
yaitu menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta apa adanya sesuai
dengan persoalan yang menjadi objek kajian penelitian5.
2. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan utama yang dilakukan adalah metode penelitian
5
secara Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan
sumber data sekunder yang berupa penilaian kepustakaan, penelitian
yang menekankan pada ilmu hukum, berusaha menelaah kaidah-kaidah
hukum yang berlaku dalam masyarakat dan sebagai penunjang dilakukan
metode penelitian secara Normatif6.
3. Jenis Penelitian
Berkenaan dengan pendekatan yuridis normatif yang digunakan, maka
penelitian dilakukan melalui dua jenis penelitian :
a. Penelitian Kepustakaan
Hal ini dimaksud untuk mendapat data sekunder, yaitu :
1) Bahan-bahan hukum primer, berupa Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.Bahan-bahan hukum
sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
memahami bahan hukum primer.
2) Bahan hukum sekunder ini berupa Peraturan Presiden, dan
sumber pendukung lainnya.
3) Bahan-bahan tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, berupa kamus hukum, kamus bahasa inggris, kamus
bahasa Indonesia, surat kabar, internet.
6
b. Alat Penelitian
Alat penelitian yang dimaksud adalah dalam hal peraturan
perundang-undangan tidak jelas, maka dipakailah metode interpretasi atau
metode penafsiran. Dalam hal ini penulis memakai metode
Interpretasi Teologis dan atau dinamakan juga interpretasi sosiologis,
metode ini dipakai apabila ketentuan undang-undang yang sudah
usang digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau
menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang, metode ini baru
digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan
dengan pelbagai cara7.
4. Analisis Data
Dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan terhadap bahan-bahan
hukum primer (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan) dan penelitian terhadap bahan-bahan hukum sekunder (buku,
majalah, makalah, surat kabar).
5. Metode Analisis Data
Dilakukan secara Normatif Kualitatif yaitu menganalisa masalah dari
data-data yang telah dikumpulkan yang berkenaan dengan masalah yang
sedang dibahas, lalu disusun permasalahannya dan selanjutnya dianalisa,
apakah undang-undang sudah benar-benar dilaksanakan oleh penegak
hukum.
7
6. Lokasi Penelitian
Guna menyelesaikan skripsi ini penulis melakukan penelitian-penelitian
sebagai berikut :
a. Perpustakaan.
b. Selain itu pun penulis juga melakukan penelitian dengan
browsing internet.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan terarah, maka diperlukan
suatu sistematika dalam penulisan skripsi. Oleh karena itu dalam sekripsi ini
sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas latar belakang permasalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka
konsep, metode penelitian dan tekhnik penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN
Dalam bab ini dibahas tentang tinjauan umum mengenai perkawinan yang
meliputi perkawinan menurut undang-undang dan perkawinan menurut fiqih.
BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH
Bab ini menjelaskan tentang telekomunikasi dan perkembangannya,
pengaruh telekominikasi terhadap perkawinan di Indonesia dan perkawinan
BAB IV STATUS HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE
Menjelaskan tentang pengaturan perkawinan teleconference, prosedur
perkawinan teleconference dan kendala-kendala dalam perkawinan
teleconference.
BAB V PENUTUP
Mencakup kesimpulan dan saran
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang 1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan dasar
pembentukan keluarga yang sejahtera dan merupakan lembaga yang akan
menjamin halalnya pergaulan antara seorang pria dan wanita menjadi pasangan
suami dan istri, karena dapat melampiaskan seluruh rasa cinta dengan media yang
sah.1
Oleh karena pentingnya kedudukan perkawinan itu, maka pada saat
terbentuk dan diundangkannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional
yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disahkan di
Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974, memasukkan pengertian perkawinan pada
Bab I Pasal 1, yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”
Berdasarkan pada pengertian perkawinan tersebut, maka perkawinan itu
mengandung unsur-unsur, yaitu :
a. Adanya landasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam membentuk
1
sebuah keluarga ;
b. Adanya suatu ikatan, baik lahir maupun batin ;
c. Adanya subjek pelaku, yaitu antara seorang pria dan wanita ;
d. Adanya tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal, guna mewujudkan suatu keluarga.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perkawinan tersebut dapat
dilihat dari 3 segi pandangan, yaitu :2
1. Segi agama, bahwa perkawinan itu merupakan lembaga yang suci, karena
adanya “ikatan batiniah” antara seorang pria dan wanita untuk membentuk
suatu keluarga;
2. Segi hukum, bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian atau
merupakan “ikatan lahir” yang terjadinya hubungan hukum atau formil
nyata bagi yang mengikatkan dirinya ataupun bagi orang lain;
3. Segi sosial, bahwa dengan adanya perkawinan akan lebih mendapat
kedudukan yang dihargai oleh masyarakat daripada yang belum
melangsungkan perkawinan.
Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam
kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam
membuat pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam
masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya
dalam hukum perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah
2
menurut:
a. Hukum Adat
Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa
perkawinan adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup
kelompoknya secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai
pelanjut garis hidup kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis
keluarga dari suatu persekutuan.3
b. Hukum positif
Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui
oleh negara (pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian
menurut BW).4
Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi semuanya memuat materi yang
sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung
kesamaan tersebut adalah dalam hal :
1. Subjeknya harus antara pria dan wanita,
2. Timbulnya suatu ikatan,
3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
atau peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut,
sehingga terdapat suatu pengakuan atas ikatan yang timbul.
3
Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, hal 78
4
Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesamaan yang terdapat
dalam memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diresepsi oleh
undang-undang perkawinan nasional yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
2. Tujuan Perkawinan
Sehubungan dengan bunyi ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan dapat dilihat
bahwa tujuan perkawinan adalah untuk :
“...membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Berdasarkan ketentuan di atas, maka tujuan perkawinan yang dimaksudkan
dalam Pasal 1 UU Perkawinan tersebut, meliputi beberapa aspek yang
dikehendaki, yaitu :
a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak, sehingga kehadiran anak itu menimbulkan hubungan-hubungan
hukum dengan ayah maupun dengan ibu.
b. Untuk menempatkan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri dalam
membentuk suatu rumah tangga, untuk itulah antara suami dan istri perlu dan
harus saling membantu dan melengkapi dengan maksud agar kedua belah pihak
dapat membantu dan mencapai kesejahteraan baik spirituil maupun materil.
c. Oleh karena bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka
tujuan lain yang dikehendaki adalah perkawinan yang berlangsung seumur
hidup dengan menghindari sebesar mungkin terjadinya perceraian dan
3. Sahnya Perkawinan
UU perkawinan, yang memuat mengenai sahnya perkawinan secara
materiil dalam pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam pasal 2 ayat (2), maka
secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sebagai syarat materil suatu
perkawinan, menentukan bahwa :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya
masing-masing dan kepercayaannya itu”
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan
Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku
bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan. Setelah perkawinan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya
dilaksanakan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :
“Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”
Diberlakukannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional ini,
secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi
bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan
dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya
berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan.
Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh
hukum agama, yang kemudian diserap oleh undang-undang perkawinan
memperbesar pergeseran pelaksanaan proses perkawinan. Walaupun dalam
kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena hukum adat sifatnya
fleksibel dan plastis sehingga mampu untuk menerima intervensi dari hukum
agama dan menyerap hukum agama tersebut (khususnya hukum agama Islam
yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya dengan perkawinan,
sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut hukum agama juga
telah diresepsi oleh hukum adat). Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam
hukum agama (Islam) tidak menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi
seorang pemeluk agama Islam yang juga memegang teguh hukum adatnya.
Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda
diharuskan adanya Hukum Negara yang ditetapkan oleh pihak yang berwajib
dengan syarat harus sinkron dengan hukum masing-masing agama dan
kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan :
“Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang
pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan Agama/kerokhanian, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur
keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak
dan kewajiban orangtua.”
Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum UU
Perkawinan, yang berbunyi :
“Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di
lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam
masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di
dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan
Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”
Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan seperti
yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa
sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan
kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu UU
Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum agama
yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya
persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan
kepercayaannya selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada.
Misalnya bagi penganut agama islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan
harus memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam
perkawinan itu dengan mencatatkan perkawinan tersebut. Sesuai yang tercantum
pada Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975, yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi
yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama di luar
agama Islam, sebagai suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib
administrasi bagi setiap perkawinan yang dilangsungkan.
Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan
menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan
tetapi akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi
permasalahan ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu 5 adanya
musyawarah antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang
diberlakukan, sesuai dengan prinsip keseimbangan yang dianut dalam UU
Perkawinan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut UU Perkawinan, suatu
perkawinan dianggap sah :6
a. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,
artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu
agama, agama calon suami atau calon istri, bukan perkawinan yang
dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau
keluarganya7 ;
b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masing-masing
5
Djuhaendah Hasan,Hukum Keluarga : Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (Menuju Ke Hukum KeluargaNasional), Armico. Bandung, 1998. Hlm. 60-62
6
Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan,
PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991. Hlm. 23.
7
agama dan kepercayaan ;
c. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai
pencatat nikah.
4. Syarat Perkawinan
Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1)
dan 2 ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil
maupun formil, yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat perkawinan
yang dimaksud adalah terdiri dari :
a. Syarat Materil (Menurut UU Perkawinan)
1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat (1))
guna menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan ;
2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun
sedangkan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali jika terdapat
penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21
tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat izin dari kedua
orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu
menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan oleh orangtua yang masih
ada) atau wali (jika kedua orang tua sudah tidak ada).
3. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 8, yaitu
karena hubungan darah yang sangat dekat, hubungan semenda, hubungan
dari istri (dalam hal poligami), hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku terdapat suatu larangan.
4. Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, tidak dapat
kawin lagi kecuali karena izin Pengadilan, sesuai Pasal 9.
5. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh
ada perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan
kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai ketentuan
Pasal 11.
b. Syarat Formil
Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan
perkawinan (Pasal 12 UU Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 PP.
No 9/1975.
5. Tatacara Perkawinan
Sejak diberlakukannya UU Perkawinan dan juga PP No. 9/1975, maka
perkawinan diatur dengan kedua ketentuan di atas. Termasuk dalam hal yang
berkaitan dengan tatacara perkawinan.
Tatacara perkawinan merupakan syarat formil dalam perkawinan. Dalam
kaitannya dengan syarat formil dalam suatu perkawinan, maka UU Perkawinan
maupun peraturan pelaksanaanya yaitu PP No. 9/1975, mengatur mengenai
Ketentuan mengenai tatacara perkawinan dicantumkan dalam Pasal 12 UU
Perkawinan, yang berbunyi :
“Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang
-undangan tersendiri”
Sehubungan dengan ketentuan yang telah diberikan UU Perkawinan, maka
ketentuan Pasal 12 UU Perkawinan, dilaksanakan melalui ketentuan PP. No.
9/1975, yang tercantum dalam Pasal 10, yang berbunyi :
1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam
Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
2) .Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya.
3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamnya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi
Kemudian pada Pasal 11 menyebutkan :
1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan pasal
10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta
perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat
secara resmi.
6. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP. No.9/1975
dan Peraturan Menteri Agama No.3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1)
No.9/1975. mengenai Pencatatan Perkawinan dari mereka yang
melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat yang
diangkat oleh menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya, sesuai
UU No. 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan
harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan dan juga setiap perkawinan
harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah, karena apabila suatu perkawinan dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan Pasal 5 dan
Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam. Maka berkaitan dengan ketentuan
undang-undang tersebut, Kementrian Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan
KUA pada tingkat Kecamatan dalam kegiatannya untuk melaksanakan
tugas-tugas sebagai Pencatat Perkawinan atau Pencatat Nikah, termasuk di dalam
tugasnya adalah Pencatatan Talak, Cerai dan Rujuk.
Bagi yang melakukan perkawinan dengan cara-cara yang ditentukan oleh
agama selain agama Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan oleh
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perkawinan, mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan. Terdapat 2
golongan sarjana hukum yang memberikan penafsiran, yaitu8 :
a. Golongan Pertama
Golongan ini lebih cenderung menafsirkan untuk memisahkan antara ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Oleh karena itulah perkawinan adalah telah sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum agama. Sedangkan pencatatan perkawinan itu hanyalah merupakan bagian dari tertib administrasi. Atau dengan kata lain suatu perkawinan yang tidak dicatatkan bukan merupakan suatu cacat atau menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah.
b. Golongan Kedua
Golongan ini cenderung memberikan penafsiran bahwa Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak hanya dipandang dari segi yuridis semata, tetapi juga harus dipandang dari segi sosiologisnya. Oleh karena itulah, menurut pendapat golongan kedua ini, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dipisahkan sedemikian rupa karena merupakan satu kesatuan.
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat terhadap penafsiran Pasal 2
tersebut, maka perbedaan ini pada dasarnya dapat diambil jalan tengahnya dengan
melihat dari sisi bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan yang tentu saja
akan menimbulkan akibat-akibat, seperti :
1. Halalnya hubungan seksual antara seorang pria dan wanita sebagai suami
dan istri ;
2. Mahar (mas kawin) menjadi milik istri ;
3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami maupun istri ;
4. Lahirnya anak-anak yang berstatus anak yang sah ;
5. Kewajiban suami dan istri untuk memelihara dan mendidik anak;
6. Hak bapak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya ;
8
7. Hak saling mewarisi antara suami, istri maupun anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah tersebut ;
8. Hak menjadi wali pengawas terhadap harta maupun anak-anak (kecuali
hak tersebut dicabut oleh Pengadilan), apabila salah seorang suami atau
istri meninggal dunia.
Sehubungan dengan banyaknya timbul akibat hukum dari suatu
perkawinan, maka perlu kiranya menjadi pertimbangan apabila perkawinan
tersebut tidak dicatatkan. Banyak contoh buruk akibat tidak dicatatkannya
perkawinan. Misalnya sebagai salah satu contoh kasus yang terjadi mengenai
hilangnya hak waris seorang anak dari perkawinan kedua, karena ketiadaan akta
nikah dari perkawinan ibunya (sebagai istri kedua) dan ayahnya.
Mengingat kemungkinan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti di
atas, perlu kiranya untuk menghindari dilakukan perkawinan di bawah tangan atau
perkawinan yang tidak dicatatkan yang selama ini banyak terjadi di masyarakat.
Pentingnya pencatatan perkawinan ini dapat pula dikaji kembali dengan
mendasarkan pada ketentuan agama, dalam hal ini adalah agama Islam. Analogi
dari pentingnya pencatatan perkawinan ini terdapat dalam QS. Al-baqoroh :282,
yaitu tentang utang-piutang dan perjanjian dalam waktu yang lama dibutuhkan
kesaksian 2 (dua) orang saksi laki-laki yang adil dan dituliskan dengan seorang
penulis yang dipercayai. Kalimat “dituliskan” yang disebutkan dalam QS. Al
Baqarah : 282 tersebut, telah menekankan pentingnya pencatatan dalam suatu
Berdasarkan pada surah Al Baqarah : 282 tersebut, dapat dilihat bahwa
dalam suatu utang-piutang dan perjanjian yang terjadi dalam hitungan waktu saja,
harus pula dicatatkan. Apalagi suatu perkawinan yang merupakan suatu perjanjian
suci atau mitsaaghan ghaliizhan dan merupakan suatu perjanjian untuk waktu
yang lama (abadi). Selain itu tidak lain bahwa fungsi dari adanya pencatatan
perkawinan dalam suatu akta atau surat nikah adalah untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi generasi yang akan datang.
Sesuai ketentuan Bab II PP No.9/1975, rangkaian kegiatan pelaksanaan
perkawinan sampai dengan pencatatan perkawinan itu, terdiri dari beberapa
tahapan, yaitu :
a). Pemberitahuan Perkawinan
Tahap ini merupakan tahapan pemberitahuan kehendak untuk menikah
kepada Pegawai Pencatat di wilayah tempat berlangsungnya perkawinan,
yang dilakukan 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilangsungkan.
Namun jangka waktu 10 (sepuluh) hari ini dapat dikecualikan karena
adanya alasan penting yang diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala
Daerah (dalam praktik langsung, persetujuan Camat tidak sering digunakan,
cukup dengan persetujuan Pegawai Pencatat bersangkutan). Pemberitahuan
ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis oleh calon mempelai,
keluarga atau wakilnya, dengan memuat identitas dan
keterangan-keterangan lainnya (misal ; calon mempelai yang sudah pernah menikah
b). Pemeriksaan oleh Pegawai Pencatat
Tahapan ini merupakan tahapan pemeriksaan terhadap syarat-syarat
perkawinan dan kemungkinan terjadinya halangan perkawinan. Selain itu
dilakukan pemeriksaan terhadap kutipan akta lahir calon mempelai,
identitas orangtua, izin tertulis dari pengadilan (apabila calon mempelai
melakukan perkawinan poligami atau karena di bawah usia 21 tahun),
surat kematian dari suami-istri terdahulu, izin Menhankam/Pangab apabila
salah seorang mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata, serta
surat kuasa otentik atau di bawah tangan apabila terjadi perkawinan
mewakilkan atau perkawinan yang tidak dihadiri oleh salah seorang calon
mempelai.
c). Pengumuman Kehendak Nikah
Pengumuman ini dilakukan setelah terpenuhi semua persyaratan serta
tidak terdapat halangan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan.
Pengumuman kehendak nikah ini dilakukan dengan cara menempelkan
surat pengumuman menurut formulir yang telah ditetapkan oleh Kantor
Pencatatan Perkawinan yang kemudian ditempatkan pada tempat yang
telah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 PP No.9/1975, maka Pengumuman ini
disertai dengan identitas calon mempelai dan orangtua calon mempelai,
serta hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.
Surat pengumuman ini tidak boleh diambil ataupun dirobek selama 10
PP No.9/1975 jo. Pasal 10 PMA No.3 Tahun 1975.
d). Pencatatan Perkawinan
Apabila semua prosedur diatas telah terpenuhi, maka pelaksanaan
perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak diumumkan
pengumuman kehendak nikah. Hal ini dilakukan untuk memberikan
kesempatan bagi pihak ketiga yang hendak mengajukan keberatan dan
memohon untuk dilakukan pencegahan perkawinan, dengan catatan
pencegahan yang hendak dilakukan harus terlebih dulu diberitahukan pada
Pegawai Pencatat. Yang nantinya memberitahukan pada para calon
mempelai dan kemudian dapat diajukan ke Pengadilan pada daerah hukum
tempat dilangsungkannya perkawinan. Sesaat setelah perkawinan yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama yang dianut oleh calon
mempelai dan keluarga, serta dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat dan
dihadiri dua (2) orang saksi. Maka dilakukan pencatatan perkawinan
dengan menandatangani akta perkawinan yang telah ditetapkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan, yang juga ditandatangani oleh saksi-saksi,
wali nikah dan Pegawai Pencatatnya sendiri. Setelah selesainya
keseluruhan penandatanganan, maka secara resmi pula perkawinan yang
dilangsungkan tercatat. Akta Perkawinan merupakan sebuah Daftar Besar,
yang memuat identitas pada pihak yaitu mempelai (suami dan istri), wali
nikah, orangtua mempelai (suami dan istri), saksi-saksi, wakil atau kuasa
jika perkawinan dilakukan dengan seorang kuasa serta mencantumkan pula
Menhamkan/Pangab, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 PP No.9/1975.
Akta perkawinan ini dibuat rangkap dua, yang akan dipegang oleh Kantor
Pencatatan Perkawinan dan Pengadilan yang daerah hukumnya
mewilayahi pula wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan tersebut. Bagi
suami dan istri sendiri, akan diberikan berupa salinan akta yang disebut
buku nikah. Buku nikah hanya memuat catatan yang sifatnya penting, akan
tetapi buku nikah ini juga mempunyai kekuatan pembuktian yang sifatnya
otentik bagi para pihak yang bersangkutan, oleh karena dibuat oleh
Pegawai Umum.
B.PERKAWINAN MENURUT FIQIH 1. Pengertian Nikah secara Bahasa
Para ulama' berbeda pendapat mengenai pengertian nikah secara bahasa.
Al-'A'sya' berpendapat bahwa kata )
(
bermakna ) جّ ( Al-Azhary menguatkanpendapat ini dengan menyatakan bahwa makna kata
)
(
adalah)
جّ
(
Sepertidalam Firman-Nya:
...
ا ي ا ا
حكني
ا ي ا ا
ي ا اإ
ا كني
ش أ ا اإ
...
Sehingga takwil ayat tersebut menjadi seperti ini:
....
ا
ج زتي
ا ي ا ا
ي ا ا اإ ي ا ا
ا ج زتي
ي ا ا اإ
...Dijumpai pula pendapat yang menyatakan bahwa makna )
ا
( yang terdapatpada ayat ini adalah )
ء ا
(
Sehingga takwilnya menjadi seperti ini:Tapi menurut Al-Azhary pendapat tersebut harus dijauhi, karena setiap
ayat dalam Al-Quran yang memuat kata )
(ا
ini selalu bermakna )ج
ا
(Seperti dalam Firman-Nya pula:
...
ا حكنأ
ى ي أا
...
Tidak ada keraguan mengenai pengertian kata )
(ا
di sini yangbermakna )
ج
ا
(
Al-Azhary juga menyatakan bahwa secara asal memang orangArab memakai kata
)
(ا
untuk maksud )ء ا
(
Dan sebaliknya, kata )جّ
(
bermakna )
(
karena dengan melaksanakan akad )جّ
(
menjadi sebabhalalnya Bersenggama)
ء ا
(
Lalu ada pendapat lain yang datang dari Al-Jauhary. Menurut beliau,
makna )
(ا
adalah )ء ا
(
Sedangkan maknaع ا
dipakai apabila kontekskalimatnya memberikan qarinah kepada makna tersebut.
2. Pengertian Nikah secara Istilah
Secara istilah, pengertian nikah , ulama' berselisih paham. Berikut adalah
pendapat para Imam Madzhab tentang pengertian nikah:
a. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pengertian nikah adalah:
ا صق ع ا ي ي ع ه أ
ا
"Nikah itu adalah akad yang berguna untuk menguasai dan
bersenangsenang dengan sengaja".
b. Lalu golongan Syafi'iyah mendefinisikan nikah sebagai:
"Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' dengan lafaz nikah
atau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata tersebut".
c. Kemudian golongan Malikiyah memberikan pengertian nikah sebagai:
ا ع
ى ع ع ه أ
ا
....
خ ا
"Nikah adalah akad yang semata-mata membolehkan bersenang-senang
(dengan wanita)...dst"
d. Selanjutnya golongan Hanabilah memberikan definisi nikah sebagai:
ع س اا ع ى ع جي
أ
ا ظ ع ه
"Nikah adalah akad (dengan memakai) lafaz nikah atau tazwij atas guna
bersenang-senang/ menikmati (wanita)6".
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama' zaman
dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula
dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut
terhadap hak dan kewajiban suami isteri yang timbul.9
Berbeda pula dengan ulama' mutaakhirin. Mereka mendefinisikan nikah
dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri. Selain itu, mereka
juga memasukkan unsur tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga dan
memperoleh keturunan. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh Muhammad
Abu Ishrah berikut ini:
هي ع
ي ي
ع أ ا ج ا ي شع ي ي ع
جا
9
"Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan
hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan
tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan
kewajiban masing-masing".10
Dan pengertian yang dilontarkan oleh Syaikh Shalih Al-Utsaimin berikut ini:.
ايإا شع ا ع س ا ا ا ج ي جا إا ه صعي ع
"Nikah adalah akad yang bertujuan untuk mengumpulkan/ menjodohkan
antara laki-laki dan wanita untuk saling menikmati, membangun keluarga dan
memperoleh keturunan".11
3. Nash-nash Pensyari’atan perkawinan
Ulama' bersepakat tentang pensyariatan perkawinan dalam Islam. Berikut
ini adalah nash-nash dari Al-Quran dan Al-Hadits yang memiliki kandungan
syariat perkawinan dalam Islam:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya, kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
10
Ibid Djamaan Nuur, hlm 4
11
atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisaa':3)
“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki danhamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur:32)
ء ج ه هئ ف ص هي عف عط سي
ج ي ف ء ا
ع ط سا ش ا شع ي
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sanggup untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang tidak sanggup maka
berpuasalah, karena (puasa) itu (adalah sebagai) penahan baginya”.
(HR.Bukhary No. 4778)
...
ي سي ف ي س ع غ ف ء س ا ج أ صا أ ى صأ ي
“Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi
wanita, maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk
umatku.”(HR. Muslim No. 1401)
أا ث ي إف
ا
ا ا ج
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena aku akan menjadi
umat yang paling banyak dengan kalian.” (HR. Abu Daud No. 2050)
4.Rukun Perakawinan
Pada dasarnya, sebuah perkawinan terbangun atas dua hal, yang tanpa dua
hal ini maka sebuah perkawinan tidak akan sempurna dan terwujud. Hal yang
pertama adalah ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau orang yang
calon suami atau yang mewakilinya. Dan ini menurut kalangan Hanafy.12 Kedua
hal ini memerlukan lagi satu hal, sehingga sebuah akad perkawinan terdiri dari
tiga unsur, dua yang pertama adalah unsur yang kongkrit dan nampak, yaitu ijab
dan qabul, sedangkan unsur terakhir yang abstrak dan tak nampak adalah
keterikatan antara ijab dan qabul.
Sebelum memaparkan rukun perkawinan, perlu diberikan arti dari rukun
itu sendiri. Pengertian rukun adalah: “Sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud
kecuali dengannya”.13
Kemudian, berikut ini adalah berbagai pendapat mengenai rukun perkawinan :
a. Menurut Madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki, rukun perkawinan terdiri dari lima perkara, yaitu:
Wali si perempuan. Sehingga, sebuah perkawinan tidak sah tanpa wali.
As-Shadaq (mahar). Yaitu pemberian sukarela yang mutlak dan harus ada
dalam sebuah perkawinan. Tapi penyebutannya tidak disyaratkan ketika
dilangsungkannya akad.
Calon suami.
Calon istri yang terbebas dari larangan syariat. Semisal: ihram dan iddah.
Sighat, yaitu kalimat ijab qabul. Jadi, sebuah akad perkawinan haruslah
terdiri atas 'aaqidain (dua pelaku akad); yakni calon suami dan wali si
perempuan, maq'ud alaihi (obyek yang diakadkan); yakni si perempuan dan
mahar -walaupun tidak mengapa apabila tidak disebutkan, karena mahar
12
Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 4 hal. 11
13
adalah sebuah kelaziman sebuah perkawinan dan yang terakhir adalah
sighat yang berupa lafadz khusus yang dengannya akad sebuah perkawinan
diwujudkan menurut syariat Islam. Ada pula dijumpai pendapat yang
menyatakan bahwa shadaq (mahar) tidak termasuk rukun, juga tidak
termasuk syarat, karena sebuah akad tetap sah tanpa keberadaannya.14
b. Menurut Madzhab Syafi'i
Sedangkan menurut kalangan Syafi'iyah, mereka berpendapat bahwa rukun
perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali calon istri, dua saksi dan
sighat. Dan ada pula pendapat yang menganggap bahwa dua saksi adalah syarat, bukan rukun, dengan beralasan bahwa keberadaan dua saksi itu keluar dari
hakikat akad.15
5. Syarat Perkawinan
Perkawinan mempunyai syarat-syarat tertentu. Kadangkala keberadaan
syarat ini dihitung sebagai rukun bagi sebagian madzhab dan kadang-kadang
sebagian madzhab memasukkannya sebagai syarat. Penjelasan lebih lanjut akan
dipaparkan berikut ini:
a. Menurut Madzhab Hanafi
Menurut kalangan Hanafiyah, perkawinan mempunyai syarat-syarat yang
14
Ibid Al-Jaziri hal 11
15
terkait dengan tiga hal, yakni sighat, pelaku akad dan saksi.
1. Syarat Sighat Akad
Menurut madzhab Hanafy, nikah dianggap sah bila sighat akad
memenuhi kriteria sebagai berikut:
Memakai lafadz khusus, baik sharih (kata yang jelas) atau kinayah (kata
kiasan). Lafadz sharih yang jamak dipakai dalam sebuah perkawinan adalah
kata )
جي
(
Atau )(ا
Sedangkan apabila memakai lafadz kinayah, makadisyaratkan lafadz tersebut terucap dibarengi niat dan maksud untuk
menikahkan, serta ada qarinah (bukti) atas niat tersebut. Dan disyaratkan pula
para saksi paham maksud lafadz kinayah tersebut. Berikut ini adalah empat
macam dan jenis kinayah:
Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas keabsahan akad dengannya,
yaitu kata-kata
)
ع ا
(
)ق ص
(
)،ي ا
(
dan )ع
(ا Lafadz kinayah dengan perselisihan atas keabsahan akad dengannya,
yaitu kata-kata )
ءا ش ا
(
dan )عي ا
(
Lafadz kinayah dengan perselisihan atas kebatilan akad dengannya,
yaitu kata- kata
)
يص ا
(
dan )ي إا
( Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu
katakata )
ا إا
(
),
ه ا
(
),
ع ا
(
),
قإا
(
),
ع ا
(
,)عإا
(
dan (إا
)
Lalu syarat sighat selanjutnya adalah
perselisihan antara konteks ijab dan qabul. Misal: Seorang wali
mengucapkan akad, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan
mahar 1000 dirham”, lalu si calon suami menjawab, “Aku terima
nikahnya, dan aku tidak menerima mahar sejumlah itu”, maka akad seperti ini tidak sah.
Sighat akad harus bisa didengar oleh kedua pelaku akad. Harus ada
kepastian bahwa kedua pihak pelaku akad mendengar lafadz
masing-masing secara hakikat (berbentuk suara bila si pelaku akad hadir) atau
secara tertulis (bila si pelaku akad ghaib). Karena pembacaan akad
tertulis dapat menjadi ganti lafadz yang diucapkan/ dibunyikan.
Sighat tidak boleh terikat waktu. Misal: bila seorang laki-laki
mengucapkan, aku nikahi kamu sebulan dengan mahar sekian, lalu si
perempuan menjawab, aku kau nikahi, maka hal ini batil, dan ini
adalah nikah mut'ah.
2. Syarat untuk Pelaku Akad
Berakal. Dengan ini maka tidak sah akad orang gila atau anak kecil.
Baligh dan merdeka.
Khusus untuk calon istri, sedang dalam keadaan halal dinikahi dan
melakukan akad. Misal: tidak sedang berakad dengan orang lain, tidak
dalam keadaaniddah, tidak berstatus sebagai istri orang.
Untuk suami dan istri, disyaratkan jelas identitasnya. Misal: Seorang
bapak mempunyai dua putri, lalu ia menikahkan salah satu putrinya
salah satu nya sudah menikah, maka yang dimaksudkan tentu putrinya
yang belum menikah. Misal lain: Seorang bapak yang mempunyai
putri bernama Fatimah, tapi ketika mengakadkan putrinya tersebut
dengan nama Aisyah, maka akad tidak sah.
Menyandarkan sighat kepada kata perempuan atau bagian tubuh yang
mewakili seluruh tubuh (semisal kepala atau leher). Selain itu maka
tidak sah. Misal: Seorang wali berakad dengan kalimat “Aku nikahkan
engkau dengan tangan anakku”, maka akadnya tidak sah.
3. Syarat untuk Saksi
Saksi harus berjumlah dua orang, tidak sah bila kurang dari itu. Tidak
disyaratkan harus dua laki-laki, tapi sah bila saksinya satu laki-laki
disertai dua perempuan. Hal ini karena sebuah perkawinan tidak sah
bila disaksikan dengan dua perempuan saja, karena itu harus ada
seorang laki-laki yang menyertai dua perempuan itu.Tidak disyaratkan
saksi tidak sedang ihram. Maka akad tetap sah bila saksisedang ihram.
Saksi secara personal harus memenuhi kriteria berikut, yakni: berakal,
baligh, merdeka dan beragama Islam. Maka akad tidak sah dengan
kesaksian orang gila atau anak kecil maupun budak. Akad tidak sah
pula bila disaksikan kafir dzimmy, kecuali saksi kafir dzimmy tersebut
perempuan, maka tidak mengapa selama ada saksi laki-laki yang
muslim. Bila hal ini terjadi maka akad sah, baik dua saksi kafir dzimmy
tersebut mempunyai agama yang sama atau berbeda. Akad boleh
menuduh atau berzina.Akad nikah seorang perempuan boleh
disaksikan oleh dua anak kandungnya. Dan dengan dikiaskan dengan
hal ini, maka boleh pula disaksikan dengan hubungan ke atas anak
(bapak/kakek) dan ke bawah (cucu). Perlu diketahui bahwa saksi
dihadirkan untuk menyaksikan dua hal yaitu keberadaan akad dan hal
isbat. Mengenai keberadaan akad, maka kesaksian dapat dilakukan
oleh orang buta, orang fasik maupun bapak dan anak. Tapi kesaksian
untuk pengisbatan nikah tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang
tersebut di atas, dan harus dilakukan oleh orang lain. Misal: bila
seorang laki-laki mewakilkan nikahnya pada orang lain, maka si wakil
yang melakukan akad ini dapat dianggap merangkap sebagai saksi
(saksi isbat akad), dan si wali dapat dianggap merangkap sebagai saksi
pula (saksi keberadaan akad), maka akad semacam ini sah.
Saksi harus mampu mendengar ucapan akad kedua pihak. Maka
kesaksian orang tidur tidak sah. Akad juga sah bila disaksikan orang
bisu selama mereka mendengar dan paham. Tidak disyaratkan bagi
para saksi tersebut untuk paham lafadz akad secara khusus, selama
mereka mengetahui bahwa yang sedang mereka dengar adalah lafadz
yang dimaksudkan untuk akad.
Perkawinan orang Arab sah dengan saksi orang 'Ajam (non Arab),
selama mereka mengerti lafadz ijab qabul. Bahkan kesaksian orang
mabuk atas sebuah akad dianggap sah, bila ia tahu yang sedang ia
Khiyar dalam perkawinan bukan merupakan syarat. Akad tetap sah
walau ada perasaan tidak suka dari suami atau istri. Perkawinan
mempunyai sifat yang sama seperti perceraian dan memerdekakan
budak, tidak membutuhkan kerelaan dan kesungguh-sungguhan. Jadi
akad dianggap sah walau dilakukan dengan bercanda.16
b. Menurut Madzhab Syafi'i
Menurut kalangan Syafi'iyah, syarat-syarat perkawinan terkait dengan
empat hal, yakni sighat, wali, kedua mempelai dan saksi-saksi.
1. Syarat untuk Sighat
Syarat untuk sighat ada tiga belas macam seperti dalam sighat jual beli,
diantaranya adalah:
Tidak bergantung dengan syarat lain. Misal: sighat akad “Aku
nikahkan kamu dengan putriku bila kamu memberiku rumah”, maka akad semacam ini tidak sah.
Tidak boleh terikat dengan waktu. Misal: sighat akad “Aku nikahi
kamusekian bulan”, maka akad ini tidak boleh karena termasuk dalam nikah mut'ah. Perkawinan ini jelas terlarang seperti yang tercantum
dalam hadits muttafaq alaihi.
Tambahan syarat yang membedakan sighat jual beli dengan sighat
akad nikah yakni keharusan pemakaian lafadz )
جي
( atau )ا
(
16
Seperti dalam sighat berikut: )
ي
أ
(
dan )ي ا ج
(
Tapipem