• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia…

BAB I PENDAHULUAN

B. Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia…

Dengan semakin banyaknya penduduk di dalam satu negara, terutama di

Indonesia dan juga karena semakin globalnya dunia. Maka penyebaran penduduk

Indonesia semakin meluas, karena tidak memungkinkan apabila seluruh penduduk

Indonesia tinggal di dalam satu pulau saja yang ada di Indonesia. Penyebaran

penduduk ini tidak hanya tersebar di dalam negeri saja, tetapi juga meluas ke luar

negeri.

Banyak alasan orang melakukan Transmigrasi (perpindahan penduduk dari

kota ke desa) ataupun Urbanisani (perpindahan penduduk dari desa ke kota).

mengubah nasib mereka untuk mencari penghidupan yang layak, ataupun untuk

menimba ilmu.

Karena jumlah pencari kerja lebih banyak dibandingkan dengan lowongan

pekerjaan yang ada, maka banyak pulalah penduduk Indonesia yang berpindah ke

luar negeri untuk mencari pekerjaan. Dengan berbagai konsekuensi, yaitu

diantaranya berpisah jauh dengan keluarga ataupun kerabat dan teman yang

berada di Indonesia.

Tetapi dengan perkembangan jaman, hal itu tidak terlalu terasa sekarang.

Apabila dahulu diperlukan waktu berhari-hari untuk bertukar kabar melalui surat,

maka sekarang hanya perlu mengangkat telepon untuk mendengarkan suara

kerabatnya ataupun melalui SMS (short message service) untuk mengetahui

keadaan satu sama lain.

Dahulu diperlukan biaya dan waktu yang sangat besar untuk berbicara

tatap muka, karena harga tiket dan waktu perjalan pesawat atau alat tranportasi

yang lain membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Maka sekarang

dalam hal tersebut manusia dapat melakukannya melalui internet, dengan cara

chatting memakai webcam ataupun melalui media teleconference sehingga kedua

belah pihak dapat saling mendengar suara sekaligus melihat wajah secara

langsung. Dengan begitu manusia dapat menghemat biaya dan waktu yang

dibutuhkan.

Dengan banyaknya cara untuk berkomunikasi ini pula, membuat banyak

orang memakai sarana telepon dan lain sebagainya ini selain dipakai

jual beli, bahkan melakukan pernikahan atau biasa disebut perkawinan.

Melakukan perkawinan memakai sarana telepon pun sampai sekarang

masih dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap

tidak wajar. Bahkan dapat menimbulkan perdebatan di antara para pakar atau

aparat hukum dalam hubungannya untuk menetapkan keabsahan perkawinan

memakai media telepon ataupun teleconference. Tetapi meskipun begitu,

perkawinan yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference ini

sudah mulai sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Selama ini, perkawinan biasanya dilangsungkan dalam satu majelis atau

satu tempat. Namun seiring dengan perkembangan tekhnologi komunikasi,

terdapat kemungkinan dilangsungkannya perkawinan tidak dalam satu majelis.

Salah satu kasus menarik serta merupakan terobosan pertama dalam mengatasi

permasalahan ketidakmungkinan perkawinan satu majelis, adalah perkawinan

yang pada saat pengucapan ijab dan kabul antara mempelai pria dan mempelai

wanita dilakukan melalui telepon yang dilakukan oleh pasangan Aria dan Noer

pada tanggal 13 Mei 19898.

Aria Sutarto bin Drs. Suroso Darmoatmojo atau biasa dipanggil Aria

menjalin cinta dengan Nurdiani binti Prof. Dr. Baharudin Harahap atau biasa

dipanggil Noer, keduanya adalah pemeluk agama Islam.

Pada mulanya Aria, seorang dosen di Unversitas Terbuka (UT) dan Noer

mereka berdua bertempat tinggal di Jakarta. Tetapi kemudian Aria

ditugasbelajarkan ke Amerika Serikat (USA) untuk memperdalam ilmu yang

8

menjadi bidangnya.

Setelah beberapa tahun ditugasbelajarkan di USA, Aria meminta agar

segera dilangsungkan perkawinan antara dirinya dengan Noer yang masih

menetap di Jakarta, seperti yang telah direncanankan sebelumnya yaitu pada

tanggal 13 Mei 1989. Akan tetapi muncul suatu hambatan, yaitu Aria sebagai

calon mempelai pria, tidak dapat pulang ke Indonesia. Karena tugas belajar

tersebut akan gugur atau batal jika peserta tugas belajar tersebut pulang ke negara

asalnya.

Adanya hambatan ini kemudian ditanggulangi oleh pihak keluarga Noer

dengan meminta nasehat ke Pejabat KUA dan Kanwil Departemen Agama

Jakarta. Kedua instansi ini memberikan jalan keluar yaitu dengan pengiriman

surat taukil oleh Aria. Surat Taukil adalah surat yang menerangkan bahwa salah

satu mempelai akan diwakilkan pada saat perkawinan berlangsung karena

berhalangan hadir. Maka terjadilah korespondensi antara Jakarta-USA, dengan

maksud agar dari calon mempelai pria mengirimkan surat taukil yang dimaksud

oleh KUA tersebut ke Indonesia. Setelah sekian lama menunggu, yang datang

bukanlah surat taukil, melainkan Surat Kuasa untuk menandatangani Akta Nikah.

Karena tiadanya surat taukil yang diharapkan itu, sedangkan pendaftaran

untuk rencana pernikahan di KUA sudah dilaksanakan dan dengan makin

mendekatnya hari dan tanggal serta bulan dilangsungkannya pernikahan, maka

pihak ayah mempelai wanita menemukan jalan keluar, yaitu acara pernikahan Ijab

dan Kabul antara wali mempelai wanita dengan mempelai pria akan dilaksanakan

Usulan ini kemudian disampaikan orang tua Noer ke KUA Kecamatan

Kebayoran Baru dan juga ke KASI URAIS Kodya Jakarta Selatan. Pihak KASI

URAIS sendiri hanya memberi jawaban “dapat dilaksanakan, walaupun tidak

sesuai dengan undang-undang, dan ketiadaan surat taukil itu dapat menyusul

setelah proses perkawinan”. Alasan yang membenarkan dilaksanakan perkawinan

melalui telepon ini adalah karena telah terpenuhinya syarat-syarat perkawinan

selain yang berkaitan dengan kehadiran mempelai pria dalam satu majelis.

Pernyataan pemberian izin dari KASI URAIS merupakan langkah awal

bagi KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan juga sebagai jalan keluar bagi

keluarga Noer, untuk segera melaksanakan proses ijab-kabul tanpa adanya surat

taukil dan orang tua Noer segera menghubungi Aria untuk menyetel telepon terus

sampai selesai pada hari Sabtu tanggal 13 Mei 1989, pukul 10.00 WIB atau hari

jum’at pukul 22.00 waktu Indianan, Amerika, untuk menyelenggarakan proses

Ijab-Kabul.

Perkawinan tersebut benar-benar dilaksanankan pada tanggal 13 Mei 1989

melalui telepon yang disambungkan dengan pengeras suara (menurut surat

keterangan Perumtel No. 137/KP.))/W04.100/90, ditandatangani Iwan Krisnadi

MBA. PH, bahwa telepon yang disambungkan dengan pengeras suara akan

didengar oleh orang-orang yang berada di sekitarnya), disaksikan oleh kurang

lebih 100 undangan di Jakarta, termasuk juga pejabat dari KUA Kecamatan

Kebayoran Baru, yang hadir pada saat itu, bertindak untuk mengawasi dan

Proses ijab-kabul itu sendiri berjalan lancar, diawali dengan adanya

percakapan antara ayah Noer, sebagai wali, dengan Aria, sebagai cara untuk

memastikan suara maupun kesiapan dari Aria. Dan juga percakapan dengan

saksi-saksi yang ada di Amerika, termasuk yang menjadi saksi-saksi dari pengantin pria.

Setelah pemastian suara dan kesiapan masing-masing pihak, proses ijab-kabul ini

dilanjutkan dengan percobaan pengucapan ijab oleh wali Noer dan kabul oleh

Aria. Dan setelah semua benar, baru diadakan ijab-kabul yang sebenarnya. Pada

akhir dari upacara akad nikah itu terdengar ucapan takbir oleh sebagian yang

hadir, termasuk kepala KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan wali Noer,

dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh ayah Noer.

Namun masalah yang kemudian timbul adalah pada saat dimintakan

pencatatan nikah di buku nikah, pihak KUA Kecamatan Kebayoran Baru menolak

dilakukan pencatatan dan juga menolak memberikan buku nikah. Karena

beranggapan bahwa proses ijab-kabul yang dilakukan di tempat yang berjauhan

atau dengan kata lain, tidak terjadi pertemuan yang langsung antara kedua

mempelai, adalah tidak sah.

Adanya penolakan pencatatan oleh KUA Kecamatan Kebayoran Baru ini,

menyebabkan ayah Noer mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta

Selatan untuk menetapkan sah perkawinan yang dilangsungkan melalui sarana

telekomunikasi (dalam hal ini adalah melalui telepon), yang disebabkan keadaan

yang tidak memungkinkan untuk mengadakan ijab-kabul dalam satu majelis.

Untuk kemudian dapat kiranya perkawinan tersebut dicatatkan dan dibukukan ke

undang-undang perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 2 PP No. 9/1975

mengenai pencatatan perkawinan.

C. Perkawinan Teleconference di Indonesia

Kasus perkawinan yang dilakukan dengan jarak jauh (tidak dalam satu

majelis) tidak hanya terjadi pada perkawinan Aria dan Noer saja. Apabila pada

tahun 1989 mereka memakai sarana telepon. Dan untuk mengetahui bahwa yang

berbicara di ujung saluran telepon adalah benar-benar calon mempelai pria dengan

cara wali dari mempelai wanita berusaha melakukan dialog untuk memastikan

bahwa suara tersebut adalah benar-benar suara dari calon mempelai pria.

Maka dengan bertambah majunya tekhnologi dan perkembangan

telekomunikasi yang semakin canggih, masyarakat mulai memakai sarana

teleconference. Yaitu selain kita bisa mendengarkan suara (audio) dari ujung

saluran telepon, kita juga bisa melihat secara kasat mata (visual) melalui video.

Sehingga kita bisa secara langsung melihat siapa yang menjadi lawan bicara kita.

Salah satu kasus ini terjadi pada tanggal 4 Desember 2004 pada pasangan Dewi

Tarunawati dengan Syarif Aburahman Achmad9. Jarak Bandung, Indonesia –

Pittsburgh, Amerika Serikat dengan perbedaan waktu 12 jam, tidak menghalangi

mereka untuk melangsungkan pernikahan. Dewi yang berada di Bandung dan

Syarif di 304 Oakland Ave Apt 9 Pittsburgh PA 15213 Amerika Serikat

melangsungkan pernikahan di Kantor Indosat Landing Point Jln. Terusan Buah

Batu Bandung. Hal ini terjadi dikarenakan calon mempelai pria tidak dapat

9

meninggalkan pekerjaannya di Amerika karena terikat kontrak dan begitupun

calon mempelai wanita yang tidak dapat meninggalkan studi S2-nya di Indonesia.

Pernikahan Dewi-Syarif sebenarnya hampir sama dengan pernikahan pada

umumnya, ada mempelai wanita, wali nikah, dan dua saksi. Perbedaannya,

mempelai pria hadir tidak secara fisik melainkan dalam bentuk gambar di televisi.

Sehingga televisi ukuran 29 inci menjadi pusat perhatian puluhan kerabat yang

hadir dalam acara tersebut, khususnya orang tua Dewi dan orang tua Syarif.

Sementara hadirin yang hadir dalam acara tersebut bisa menyaksikan mempelai

pria dari big screen (layar lebar) berukuran 1,5 m x 2 m.

Tepat pukul 8.45 WIB, akad nikah Dewi Tarumawati, S.Psi, putri pertama

H. Daddy S. Yudha Manggala dengan Syarif Aburahman Achmad Ph.D, putra

keempat H. Memed Achmad Diat T, dimulai. Dipimpin Petugas Pencatat Nikah

(PPN) Kec. Regol Syamsul Ma'arif dan Cecep Budiman, pembacaan ijab kabul

berjalan lancar.

Ijab dari H. Daddy (orang tua Dewi), "Saya nikahkan Dewi Tarumawati

putri kandung bapak kepada ananda dengan mas kawin seperangkat alat salat dan

uang Rp 5 juta dibayar tunai." Dijawab denga lancar oleh Syarif, "Saya terima

nikahnya Dewi Tarumawati putri kandung bapak dengan memakai mas kawin

seperangkat alat shalat dan uang Rp 5 juta rupiah dibayar tunai."

Setelah ijab kabul, pengantin pria membacakan sighat taklik, "Saya Syarif

Aburahman Achmad bin H. Memed berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya

akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami. Saya akan pergauli istri

Kemudian, "Sewaktu-waktu saya meninggalkan istri saya dua tahun

berturut-turut, atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, atau

saya menyakiti badan/jasmani istri saya, atau saya membiarkan (tidak

mempedulikan) istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak rida dan

mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan

serta diterima pengadilan, dan istri saya membayar uang sebesar Rp 1.000,00

sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak satu saya kepadanya."

Acara akad nikah diakhiri dengan sungkeman mempelai wanita kepada orang tua

dan mertuanya. Sementara mempelai pria sungkeman dengan kata-kata. Syarif

bersyukur kepada Allah SWT karena acara akad nikah berjalan lancar. Syarif

berharap istrinya dapat segera menyelesaikan studi S2-nya sehingga bisa segera

ke Amerika untuk secara bersama-sama membangun keluarga baru.

Walaupun dalam kedua kasus perkawinan tersebut dilangsungkan di luar

kebiasaan, yaitu dengan melalui media telekomunikasi atau jarak jauh, akan tetapi

segala sesuatunya dilakukan dengan cara-cara seperti perkawinan yang biasa,

yaitu10 :

a. Telah dilakukan pemberitahuan kehendak terlebih dahulu ke Pegawai Pencatat sesuai dengan ketentuan Pasal 3 PP No.9/1975. b. Telah terpenuhinya segala syarat sesuai Pasal 6 dan 7

Undang-undang No.1/1974 jo. PP No.9/1975 dan tidak ada halangan perkawinan terhadap ketentuan persyaratan perkawinan mereka. c. Segala sesuatunya dilakukan dengan itikad baik. Tidak ada suatu

maksud sebagai penyelundupan hukum, yaitu bermaksud untuk menghindari ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku atas diri para pihak dengan memilih menggunakan undang-undang perkawinan yang tidak berlaku atas para pihak. Semua tindakan dengan maksud itikad baik ini, dapat dilihat dari dipenuhinya segala sesuatu yang dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku. Hanya

10

saja kendala yang timbul adalah permohonan pencatatan perkawinan terkadang tidak dapat diterima karena tidak dilaksanakannya perkawinan dalam satu majelis.

Yang menjadi pokok permasalahan dalam proses perkawinan yang

dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference adalah ketidak hadiran

secara fisik mempelai pria di domisili mempelai wanita. Namun ketidakhadiran

secara fisik ini tidak mengurangi keabsahan perkawinan, berdasarkan pada

dalil-dalil11 :

1) Sesuai dengan pendapat ahli Fiqih di dalam Fiqhus Sunah halaman 34 jilid Iia, ijab-kabul tidak di sela-selai harus diartikan bahwa antara ijab dan kabul tidak diantarai dengan perkataan yang bukan berkenaan dengan nikah atau sesuatu yang menurut adat dianggap tidak mau atau telah membelah pada hal-hal yang lain selain nikah.

2) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir R.A yang intinya adanya pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dengan perantaranya adalah Rasulallah SAW, walaupun dalam perkawinan ini dilakukan tanpa mahar dan tidak ada pertemuan sama sekali. Kedua mempelai tidak saling mewakilkan dirinya pada Rasulallah, akan tetapi rasulallah hanya bertindak sebagai perantara untuk menanyakan pernyataan kesepakatan dari kedua mempelai dan Rasulallah hanya menguatkan kesepakatan tersebut.

3) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Umi Habibah, yang intinya adalah perkawinan dilakukan di tempat yang berbeda dan berjauhan antara Rasul dan Umi Habibah.

Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, dapat dibuat suatu

kesimpulan bahwa proses perkawinan itu dapat dilangsungkan dengan berbagai

cara, asalkan telah memenuhi syarat, yaitu adanya :

1. Mempelai pria dan Wanita

2. Antara kedua mempelai bukanlah muhrim.

3. Antara kedua mempelai sama-sama rela atau telah sepakat untuk menikah.

4. Telah tercapainya usia Nikah bagi kedua mempelai (baligh).

11

5. Tidak adanya larangan Nikah antara kedua mempelai.

6. Adanya wali.

7. Adanya Saksi.

8. Pembayaran mahar sebagai pelengkap.

9. Didaftarkan secara resmi sesuai dengan prosedur undang-undang.

10. Adanya ijab-kabul, maka perkawinan adalah sah.

Pemikiran bahwa, suatu perkawinan yang dilangsungkan menurut Hukum

Agama Islam dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai peraturan

perundang-undangan adalah perkawinan yang tidak sah, hanya dikarenakan ketidakhadiran

mempelai pria secara fisik. Dalam hal perkawinan yang dilakukan melalui media

telekomunikasi, ketidak hadiran secara fisik ini perlu kiranya tetap menjadi

pertimbangan bahwa ijab-kabul melalui telepon/teleconference yang dilakukan

secara langsung pada saat pernikahan, tidak hanya sekedar mewakili

ketidakhadiran secara fisik mempelai pria, tetapi diucapkan langsung oleh

mempelai prianya melalui sebuah media.

Kedua kasus tersebut hanyalah merupakan sedikit dari contoh yang terjadi

di masyarakat yang hidup di dunia yang semakin modern ini. Bukanlah tidak

mungkin pada masa yang akan datang akan semakin banyak terjadinya pernikahan

melalui media telekomunikasi khususnya teleconference. Sehingga dirasa

perlunya aturan yang mengatur mengenai masalah perkawinan jarak jauh ini

supaya tidak lagi ada perdebatan atau kesulitan dalam masalah pencatatan

Karena pencatatan perkawinan sangatlah penting, terutama untuk

mendapatkan hak-hak seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak hasil

perkawinan. Akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan adalah :

a. Perkawinan Dianggap tidak Sah. Meski perkawinan dilakukan menurut

agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan dianggap

tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga

Ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan

yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42

dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan

ayahnya tidak ada.

c. Anak dan ibunya Tidak Berhak Mendapatkan Waris dan Nafkah. Akibat

lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun

anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak

menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian,

Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina

dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria

Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan

68

BAB IV

HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE

A. Pengaturan Perkawinan Teleconference

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, merupakan suatu ikatan yang

menentukan sah atau tidaknya pergaulan antara seorang pria dan wanita. Dalam

hidup berumah tangga sudah tentu saja akan menimbulkan akibat hukum yang

sangat bergantung pada sah atau tidaknya terhadap perkawinan yang

dilangsungkan.

Tentunya suatu hal yang riskan (bahaya), apabila perkawinan telah

dilakukan atau dilangsungkan melalui media telepon atau teleconference, tetapi

dianggap tidak sah secara hukum positif disebabkan ketiadaan bukti yang

mendukung telah dilangsungkannya perkawinan tersebut. Dikatakan riskan karena

perkawinan tidak saja hanya dilakukan secara agama tetapi harus pula sah

menurut hukum positif. Oleh sebab itulah perlu kiranya suatu bukti yang dapat

mendukung sahnya perkawinan yang telah dilakukan, sehingga dapat menjamin

kepastian hukum terhadap keduanya, sehingga akibat hukum yang ditimbulkannya

dapat terlindungi. Yang dimaksud dengan bukti dalam hal ini adalah surat nikah

(akta nikah).

Negara Indonesia sebagai negara hukum, menghendaki agar segala

tindakan haruslah berdasarkan atas hukum. Oleh sebab itu pula dalam bidang

perkawinan haruslah sesuai dengan perundang-undangan perkawinan yang

Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan yang sah dilakukan

berdasarkan agama, dan masing-masing harus pula dicatatkan pada KUA.

Adanya ketentuan yang ditetapkan ini menimbulkan suatu konsekuensi bahwa

perkawinan yang sah menurut Hukum Positif itu haruslah dicatatkan di kantor

Pencatatan Perkawinan.

Hal ini tidak lain karena dalam suatu negara yang berdasar atas hukum,

semua peristiwa hukum yang terjadi harus dapat dibuktikan. Menurut Hukum,

akibat hukum yang ditimbulkannya dapat diakui oleh negara sehingga dapat

menjamin kepastian hukum.

Berdasarkan ketentuan itu maka KUA sebagai lembaga atau institusi yang

bertugas untuk mencatatkan perkawinan, mempunyai kewajiban untuk

mengetahui dan meneliti syarat-syarat perkawinan lebih dulu. Oleh karena

kewajibannya sebagai pencatat perkawinan maka pegawai pencatat perkawinan

yang ada di KUA maupun dapat melakukan penolakan hingga tindakan

pembatalan terhadap perkawinan, hal ini tidak lain karena agar perkawinan tidak

saja sah menurut agama tetapi juga sah menurut negara.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui

perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan

lebih khusus untuk melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah

tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah,

apabila terjadi perselisihan di dalam perkawinan, maka salah satu dari pihak

memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri

memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan1.

Dilihat dari uraian di atas tersebut, maka kedudukan pencatatan

perkawinan semakin penting, khususnya apabila perkawinan tersebut

dilaksanakan dengan jarak jauh, artinya calon mempelai pria dan wanita berlainan

tempat. Atau pada pembahasan sekarang mengenai perkawinan yang

dilangsungkan dengan memanfaatkan media telekomunikasi (telepon atau

teleconference). Hal ini tidak lain karena adanya pencatatan perkawinan ini akan

menentukan telah terjadinya perbuatan hukum. Sebagaimana diketahui, apabila

dilakukan suatu perbuatan hukum maka akan menimbulkan akibat hukum.

Dalam menghadapi suatu kasus yang belum ada peraturan tertulisnya di

dalam undang-undang. Sudah sewajarnya petugas pencatat perkawinan ataupun

hakim memakai pandangan modern, atau biasa disebut dengan aliran problem

oriented.

Pokok dari aliran problem oriented ialah bahwa bukan sistem

perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang

konkrit yang harus dipecahkan. Hukum (undang-undang) selalu ketinggalan dari

peristiwanya, itu memang sifat hukum. Lebih-lebih dengan berkembang pesatnya

tekhnologi dewasa ini maka hukum (undang-undang) akan jauh ketinggalan2.

Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. Hukum yang baik

adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam

1

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995. hlm. 107.

2

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta, 2004. Hlm.109.

masyarakat yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai

yang berlaku dalam masyarakat3. Undang-undang bukanlah penuh dengan

Dokumen terkait