• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERMAINAN ICE BREAKER

TERHADAP SELF DISCLOSURE PADA

REMAJA PONDOK PESANTREN

DAARUL RAHMAN JAKARTA SELATAN

Disusun oleh :

Kisma Fawzea

0071020110

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ABSTRAKSI

(A) Fakultas Psikologi (B) September 2008 (C) Kisma Fawzea

(D) 70 halaman+ lampiran

(E) Pengaruh Permainan Ice Breaker Terhadap Self Disclosure Pada Remaja Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan (F) Permainan merupakan salah satu aspek penting dalam pelatihan

sumber daya manusia atau yang biasa disebut dengan training. Ia menjadi sarana pembelajaran perilaku selain dari

mendengarkan ceramah dan mengamati perilaku. Salah satu fungsi permainan dalam pelatihan sumber daya manusia adalah sebagai pemecah kebekuan antar individu dalam pelatihan atau disebut dengan ice breaker. Permainan ice breaker ini bertujuan untuk mengurangi jurang komunikasi antar individu serta

menciptakan suasana hubungan yang hangat dan ramah. Agar tercipta suasana tersebut, maka individu harus terlebih dulu ada keterbukaan diri atau self disclosure kepada orang lain dengan bersedia dikenal, saling berbagi pemikiran, perasaan, pendapat dan sikap.

Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh permainan ice breaker

terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen randomize One Way ANOVAR. Penelitian ini dialkukan di Ponpok Pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan dengan sampel sebanyak 20 orang dari populasi 94 orang. Metode pengambilan sampel adalah random sampling. Dari 20 orang tersebut, dibagi menjadi 2 kelompok. Yang pertama kelompok eksperimen dan yang kedua kelompok kontrol dengan masing-masing sebanyak 10 orang. Kelompok eksperimen diberi perlakuan pelatihan yang bertemakan “Menjadi Manusia Pembelajar” dengan diselingi sebuah permainan ice breaker bernama “Whose Is It?” dan kelompok kontrol diberi pelatihan yang sama namun tidak diselingi permainan ice breaker.

(3)

signifikansi lebih rendah dari 0.05. berarti dapat diambil kesimpulan bahwa H1 yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure

diterima.

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillaah wasyukrulillaah atas nikmat, rahmat, barokah dan cinta sehingga meski penyelesaian skripsi ini menemui begitu banyak kendala namun Dia dengan Maha PemurahNya meminjamkan sedikit kekuatan dan kesabaran agar penulis dapat melalui berbagai macam cobaan dan ujian.

Allahumma Shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa Alihi wa Shahbihi wa Sallam, yang tanpa tauladannya takkan ada makna dakwah dan jihad fi sabilillah.

Skripsi ini meneliti tentang pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure. Penulis berharap agar penelitian ini berguna bagi masyarakat secara umum, bagi para mahasiswa, serta praktisi training dan fasilitator.

Hanya sebuah doa sederhana, Jazaakumullah Khairal Jazaa’ yang dapat penulis ucapkan kepada kedua pembimbing penelitian, Bapak Bambang Suryadi,Ph.D dan Bapak Drs.Asep Haerul Gani,Psi atas kesabarannya, perhatiannya, bimbingannya, nasehatnya yang tulus. Juga kepada mereka yang telah membantu, mendukung, mendorong dan memotivasi saya selama penulisan skripsi ini:

Ibu Dra.Hj.Netty Hartati,M.Si. beserta seluruh jajaran Dekanat,

(5)

Bapak Drs.Ahmad Baidun,M.Si. selaku dosen pembimbing

akademik

Mama tercinta, untuk cinta, keikhlasan, pengorbanan dan

doanya…dan Papa tersayang(Allah yarhamh) li kullil hubb,aghlaa amaani wa ahlaa dzikrayaat…

• Suami tercinta, Kak Iqbal, untuk segalanya.

Nayyira Fawwaza Muhammad, buah hati anugerah terindah

dari Allah SWT yang selalu mewarnai hari.

• Adikku Emadeus dan Walied Ghali yang selalu ada untuk

membantu.

Ayah Ibu tercinta di Medan, Bang Endi&Kak Devi, adik-adikku Ayu & Weny, Kharisma, keponakan tersayang Harik&Nada

untuk senyum indahnya dan semua keluarga besar di Jakarta yang turut mendoakan.

• Sahabat dan saudara seperjuangan tercinta , Ulfah dan

sepupuku Imam. Delviristanti dan Abang serta Dini Mayasari

yang selalu mendoakan.

• Kawan-kawan seperjuangan yang telah membantu pelaksanaan

penelitian, Ahmad Subekti Mubarak, Jamali, Ki Agus, Lola,

Dendy, Ade dan Rena Latifa.

• Al-Mukarrom Ustadz Drs.A.Qosim Susilo,M.Ag, Ustadz Sidup

dan Ustadzah Rahmah tercinta yang dengan tangan terbuka membantu penulis dalam pelaksanan penelitian. Tidak lupa juga untuk teman-teman santri dan santriwan Pondok Pesantren Daarul Rahman JakartaSelatan.

• Kawan-kawan dan keluarga di Malaysia yang turut mendoakan. • Seluruh kawan, saudara, rekan, kerabat dan pihak yang tidak

(6)

Dan terakhir untuk diri saya sendiri. This roller coaster journey in life is only a beginning, there’s a lot more waiting for you ahead, but

remember that happiness is not a destination, it’s a method of life.

Jakarta, September 2008

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN DEDIKASI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

BAB 1 PENDAHULUAN 1-13

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Identifikasi Masalah 9

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah 10

1.3.1 Pembatasan Masalah 10

1.3.2 Perumusan Masalah 11

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 11

1.4.1 Tujuan Penelitian 11

1.4.2 Manfaat Penelitian 12

1.5 Sistematika Penulisan 12

BAB 2 LANDASAN TEORI 14-47

(8)

2.1.1 Definisi 14 2.1.2 Fungsi Permainan Ice Breaker 16 2.1.3 Dugaan Pengaruh Permainan Ice Breaker

terhadap Self Disclosure 21 2.1.4 Training dalam Perspektif Islam 22 2.1.5 Permainan Ice Breaker dalam Perspektif Islam 28

2.2 Self Disclosure 30

2.2.1 Definisi 30

2.2.2 Pengaruh Self Disclosure 32 2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Disclosure37 2.2.4 Penelitian mengenai Self Disclosure 42 2.2.5 Self Disclosure dalam Perspektif Islam 43

2.3 Kerangka Berpikir 46

2.4 Hipotesa 47

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 48-59

3.1 Jenis Penelitian 48

3.1.1 Pendekatan Penelitian 48

3.1.2 Metode Penelitian 49

3.2 Variabel-variabel penelitian 51

3.2.1 Variabel bebas (Independent Variable) 51 3.2.2 Variabel Terikat (Dependent Variable) 51

(9)

` 3.3 Pengambilan Sampel 53

3.3.1 Populasi dan Sampel 53

3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel 54

3.4 Teknik Pengumpulan Data 54

3.4.1 Instrumen Penelitian 54

3.5 Teknik Analisa Data 55

3.6 Prosedur Penelitian 55

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 60-63

4.1 Gambaran umum subyek penelitian 60

4.2 Hasil utama penelitian 63

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 64-68

5.1 Kesimpulan 64

5.2 Diskusi 64

5.3 Saran 68

(10)

DAFTAR GAMBAR

[image:10.612.121.515.166.563.2]
(11)

DAFTAR TABEL

2.1 Tabel Johari Window 34

3.1 Rancangan Eksperimen Randomized One Way Anovar Design50

3.2 Prosedur Penelitian 56

[image:11.612.115.515.154.564.2]
(12)
(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam beberapa tahun belakangan ini, telah ada peningkatan dalam penggunaan program-program pelatihan sumber daya manusia dengan simulasi dan permainan sebagai intervensi dalam perlakuan (treatment) secara klinis maupun sosial seperti pendekatan terhadap permasalahan perilaku pada remaja atau sebagai salah satu metode dalam

pengembangan motivasi dan membangun kerjasama kelompok (Glass & Benshoff, 2002).

Pelatihan sumber daya manusia ini atau yang biasa disebut dengan

(14)

Menurut Kirby (1992) prinsip yang mendasari dilaksanakannya pelatihan-pelatihan yang melibatkan permainan-permainan adalah bahwa peserta dapat belajar lebih baik dengan melakukan(doing) daripada (hanya) dengan membaca, mendengarkan atau mengamati.

Selain materi pelatihan yang disampaikan, seperti materi motivasi, kemampuan berkomunikasi, kecakapan berpresentasi, dalam banyak pelatihan sumber daya manusia yang seringkali dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pelatihan di Indonesia seperti lembaga Trustco, ESQ, Manajemen Qolbu, atau lembaga-lembaga training lainnya ,adalah melakukan sebuah permainan ”ice breaker” atau ”pemecah kebekuan”.

Permainan ice breaker ini bisa jadi hanya sebuah permainan sederhana seperti bermain menjadi patung, permainan refleks atau lain

sebagainya. Namun permainan-permainan ice breaker ini tidak bisa dianggap sepele, karena ia juga sebagai salah satu aspek penting dalam pelatihan (Wilderdom,2007).

(15)

menciptakan suasana kelompok yang positif, menghilangkan sekat-sekat komunikasi diantara peserta, memberi semangat dan memotivasi peserta, membantu peserta untuk saling mengenal satu sama lain, serta mampu membuat para peserta relaks dan tidak lagi tegang selama pelatihan berlangsung.

Selama ini permainan ice breaker dilaksanakan dalam agenda

pelatihan-pelatihan atau semacamnya karena dianggap sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan dan sebuah sarana untuk relaksasi. Karena permainan ice breaker dirancang sederhana dan tidak butuh persiapan yang rumit, maka pelaksanaannya ditengah kegiatan acara yang melelahkan dan membosankan dianggap sebagai suatu sarana bersenang-senang dan bermain-main antar sesama peserta.

Namun, meskipun sederhana dan menjadi sarana untuk relaksasi peserta, permainan ice breaker dan permainan-permainan lainnya yang dilaksanakan untuk kepentingan pelatihan bukanlah sebuah permainan belaka. Permainan-permainan tersebut disusun dan dirancang dengan prinsip Experiential Learning Theory (ELT). Sebuah strategi

(16)

tersebut kembali. Permainan ice breaker adalah salah satu strategi pembelajaran yang menggunakan prinsip ini.

Teorinya yang disebut dengan Experiential Learning Theory (ELT) itulah yang kini banyak dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan pelatihan yang menggunakan media permainan atau simulasi sebagai sarana pembelajaran (Kirby,1992).Dalam model pembelajaran dalam ELT ini, Kolb sebagaimana yang dikuti oleh Kirby (1992) menjelaskan bahwa agar sebuah perilaku atau hal baru dapat dipelajari dan diterapkan dengan cara yang efektif, maka dalam proses pembelajarannya harus dibuat berkesan secara emosional.

Berbagai macam latihan dan permainan yang dilakukan selama proses pembelajaran dalam pelatihan yang memakai prinsip ELT adalah dibuat secara struktur dan ditentukan agar individu yang menjalankannya dapat bereksperimen dengan perilaku, mencoba berbagai macam hal, melihatnya apakah berhasil, membangun skill untuk kemudian

mengembangkan teori tindakan berdasarkan apa yang telah dialami (Johnson&Johnson,1994).

Experiential Learning yang asal katanya adalah experience

(17)

tersebut. Tidak cukup hanya sampai disitu, karena kemudian proses yang harus dilewati adalah mengambil kesimpulan dari apa yang sudah dipahami, membangun pola pikir dan kemudian mencoba perilaku tersebut kembali (Johnson&Johnson, 1994).

Oleh karena itu, dalam pelatihan-pelatihan yang menggunakan dasar prinsip ELT, setiap latihan dan permainan yang digunakan, walaupun sederhana, namun telah direncanakan dengan baik agar dapat menjadi sarana yang tepat untuk belajar. Permainan-permainan dan simulasi yang digunakan dapat digunakan untuk fungsi yang berbeda.

Sesuai dengan skill yang ingin dipelajari, maka pemilihan permainan menjadi sangat penting, tidak dilupakan juga perencanaan dan prosedur pelaksaannya. Dari berbagai fungsi permainan, selain untuk belajar, juga ada yang disebut dengan ice breaker, atau dalam istilah

pelatihannya disebut sebagai pemecah kebekuan (Wilderdom,2007).

(18)

Dalam sebuah situasi seperti pelatihan, pola interaksi antar pesertanya sangat penting (Scannell,1995). Karena selama proses pelatihan

tersebut, pengalaman dan pelajaran bukan hanya diperoleh dari pelatih atau fasilitator dalam pelatihan tersebut, akan tetapi seluruh proses pelatihan dari hal terkecil seperti pembentukan kelompok, kerjasama, kedisiplinan dan pola komunikasi antar peserta juga menjadi

pembelajaran tersendiri (Wilderdom,2007).

Dalam beberapa pelatihan, sesuai dengan tujuan pelaksanaannya, beberapa materi seperti pengembangan kemampuan komunikasi, atau

team building, penting adanya interaksi antar peserta yang dinamis. Hal itu dapat terjadi, jika antar peserta adanya keterbukaan dan

pengungkapan perasaan, pemikiran dan ide-ide (Scannell, 1995).

Memang, untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan adalah sebuah dilema yang dialami oleh sebagian besar individu. Apalagi jika hal yang ingin diungkapkan adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Ungkapan seseorang mengenai pemikirannya, perasaannya, pengalaman terdahulunya atau sikapnya dapat mempengaruhi

(19)

Ungkapan verbal seseorang mengenai pemikirannya, sikapnya,

perasaannya atau hal-hal pribadi mengenai dirinya tersebut dinamakan dengan self disclosure (Higgins,1982). Self artinya diri dan disclosure

berarti tidak tertutup. Disebut self disclosure karena menunjukkan adanya keterbukaan informasi mengenai diri pribadi kepada orang lain.

Self disclosure hanya salah satu cara dalam meningkatkan sensifitas mengenai keadaan orang lain (Higgins,1982). Seperti halnya human relations skill yang lain, self disclosure adalah alat penting dalam berhubungan dengan orang lain. Ia digunakan untuk mencoba mengenal orang lain dan membina hubungan secara interpersonal.

Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Wei,Russel dan Zakalik (2005), kemampuan seseorang untuk mengungkapkan

perasaannya atau pemikirannya kepada orang lain akan mengurangi perasaan teralienasi atau kesepian pada diri orang tersebut.

(20)

Self disclosure mampu mempengaruhi individu dengan berbagai macam cara. Orang-orang yang memiliki masalah dalam membuka informasi mengenai dirinya kepada orang lain bisa menemui berbagai macam kesulitan dalam membina hubungan yang akrab dengan orang lain. Karena ada fenomena dua arah dalam self disclosure, ini berarti

self disclosure tergantung pada disclosure individu dan juga disclosure

pasangan bicaranya (dalam Lurding, 2005).

Sesuai dengan definisi sederhananya, self disclosure adalah sebuah bentuk komunikasi verbal yang berkaitan dengan diri orang tersebut baik emosional, pemikiran dan sikap (Harper&Harper, 2006).Ia banyak digunakan dalam proses therapeutic seperti dalam konseling

(Hansen,1978), dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang dianggap sebagai aspek komunikasi yang paling dasar dalam ruang kelas (Harper&Harper,2006), dalam sistem komunikasi (Matthews,1986) dan juga dalam dunia medis dan keperawatan (Ashmore&Banks,2001).

(21)

Bahkan dalam beberapa penelitian, self disclosure adalah sesuatu yang sangat vital dalam hubungannya dengan intimacy (keakraban). Semakin dia melakukan proses self disclose yang mendalam mengenai dirinya kepada pasangannya, semakin dalam pula hubungan itu

(Lurding,2005).

Dari berbagai macam jenis bakat hubungan manusia(human relations skill), self disclosure merupakan salah satu yang dianggap penting. Perilaku self disclosure mempengaruhi berbagai macam aspek dalam hubungan interpersonal dan juga dipengaruhi oleh berbagai macam hal (Higgins,1982). Karena self disclosure merupakan sebuah

perilaku(behavior), maka perilaku self disclosing dapat dipelajari (Hansen, 1976). Melalui proses pembelajaran (learning) maka

kemampuan self disclosure dapat dimiliki (Johnson&Johnson, 1994).

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dalam atar beakang masalah, maka pertanyaan-pertanyaan dalam peneltiian ini adalah:

1. Apakah permainan ice breakerWhose Is It” dapat mempengaruhi

(22)

2. Apakah ada perbedaan tingkat self discosure berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan?

3. Apakah ada perbedaan tingkat self disclosure berdasarkan suku? 4. Apakah ada perbedaan tingkat self disclosure berdasarkan usia?

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.3.1 Pembatasan Masalah

Yang dimaksud dengan permainan ice breaker disini adalah sebuah aktifitas dalam pelatihan yang terstruktur dengan tujuan proses

pengenalan antar peserta dan membina komunikasi yang positif dalam kelompok. Ia merupakan permainan sederhana yang melibatkan 2 orang, atau lebih yang bertujuan untuk membuat suasana sebuah forum tertentu, dalam hal ini adalah pelatihan, menjadi lebih akrab dan tidak terlalu kaku.

Adapun permainan ice breaker yang digunakan dalam penelitian ini adalah permainan ”Whose is It Game” dimana masing-masing peserta menulis jawaban dari 5 pertanyaan yang sebelumnya dikemukakan oleh si pelatih, kemudian dikumpulkan, dibagikan secara acak kepada

(23)

sesama peserta tanpa menanyakan pertanyaan ”ini milik kamu ya?” atau ”kertas ini kamu yang tulis ya?” atau sejenisnya.

Self disclosure yang dimaksud disini adalah keterbukaan individu untuk mau mengenal orang lain dan dikenal orang lain dengan secara

sukarela menanyakan atau sekedar menyapa orang lain yang belum dikenalnya atau berbagi pemikiran, perasaan dan ide-ide pribadinya dengan orang lain.

1.3.2 Perumusan Masalah

Maka dari uraian latar belakang penelitian di atas, timbul pertanyaan untuk merumuskan masalah penelitian, yaitu ”apakah ada pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian iniadalah untuk mengetahui pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan.

1.4.2. Manfaat penelitian

(24)

A. Manfaat Teoritis

Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi intelektual bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi, psikologi pendidikan dan psikologi sosial.

B. Manfaat Praktis

Pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya dan organisasi-organisasi, perusahaan-perusahaan, instansi pendidikan, serta lembaga-lembaga pelatihan dan pengembangan diri, untuk menguji coba efektifitas permainan ice breaker terhadap komunikasi dan sosialisasi peserta pelatihannya.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memperjelas dan menggambarkan secara singkat dari skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1 : Pendahuluan

(25)

Berisi kajian teori yang membahas mengenai definisi permainan

ice breaker, fungsi permainan ice breaker, dugaan pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure, definisi self disclosure, pengaruh self disclosure, faktor-faktor yang mempengaruhi self disclosure serta penelitian mengenai self disclosure.

Bab 3 : Metodologi Penelitian

Bab ini akan membahas metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, subjek penelitian, metode penelitian, variabel-variabel penelitian, kontrol variabel,

pengambilan sampel, populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, serta prosedur penelitian.

Bab 4 : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini berisi mengenai gambaran umum penelitian dan serta hasil utama penelitian.

Bab 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Permainan Ice Breaker 2.1.1 Definisi

Istilah “permainan” memiliki beberapa pengertian berbeda. Meski tidak dapat dengan mudah didefinisikan, pada dasarnya permainan adalah sebuah aktifitas spontan yang tidak memiliki tujuan yang tertentu dan dimotivasi oleh keinginan untuk bersenang-senang (Schaefer&Reud, 1986).

Tidak ada definisi jelas mengenai permainan ice breaker, namun

(27)

Menurut Kirk dan Kirk (1995) istilah permainan mengarah pada sebuah aktifitas yang membutuhkan pelaksanaan sebuah tugas, memainkan sebuah peran, mengikuti aturan-aturan didalamnya dan berusaha untuk mencapai sebuah tujuan. Bagi sebagian orang, memainkan permainan, apapun itu, sangat menyenangkan dan memberinya semangat.

Tantangan yang mereka hadapi selama permainan berlangsung

membuat jantung mereka berdetak kencang, darah berdesir cepat, dan adrenalin terpompa.

Bermain sebuah permainan adalah sebuah aktifitas yang membutuhkan setidaknya dua elemen penting dalam permainan, yaitu bertujuan untuk bersenang-senang dan melibatkan pengalaman fantasi. Namun,

permainan apapun itu memiliki aturan-aturan didalamnya, peraturan tiu akan memperjelas peran yang akan mereka mainkan, batasan-batasan dan harapan-harapan perilaku, serta bagaimana alur permainan

tersebut. Elemen penting lain dari sebuah permainan adalah adanya interaksi interpersonal diantara pemainnya (Schaefer&Reud,1986).

(28)

sosial karena dapat terlaksana dengan kehadiran setidaknya dua orang (Schaefer&Reud, 1986).

Istilah permainan ice breaker timbul karena nuansa yang diberikan selama melaksanakan permainan ini adalah memecah kebekuan dan kekakuan antar peserta. Sehingga permainan apapun bisa disebut sebagai pemainan ice breaker selagi ia memberikan kemeriahan dan menghangatkan suasana dalam memainkannya (Wilderdom,2007).

2.1.2. Fungsi Permainan Ice Breaker

Berdasarkan pendapat Kirby (1992) yang menyatakan bahwa permainan berarti sebuah aktivitas dalam pelatihan yang terstruktur dengan tujuan pembelajaran isi permainan dan proses permainan, maka fungsi permainan ice breaker adalah bertujuan untuk menciptakan suasana komunikasi yang positif antar peserta dan menghilangkan “tembok penghalang” komunikasi.

(29)

Selain materi pelatihan yang disampaikan, seperti materi motivasi, kemampuan berkomunikasi, kecakapan berpresentasi, dalam banyak pelatihan sumber daya manusia yang seringkali dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pelatihan di Indonesia seperti lembaga Trustco, ESQ, Manajemen Qolbu, atau lembaga-lembaga training lainnya ,adalah melakukan sebuah permainan ”ice breaker” atau ”pemecah kebekuan”.

Permainan ice breaker mampu memuaskan kebutuhan peserta

pelatihan agar dapat terjalin hubungan sosial yang baik dengan peserta lain atau dengan fasilitator pelatihan, menciptakan suasana kelompok yang positif, menghilangkan sekat-sekat komunikasi diantara peserta, memberi semangat dan memotivasi peserta, membantu peserta untuk saling mengenal satu sama lain, serta mampu membuat para peserta relaks dan tidak lagi tegang selama pelatihan berlangsung(Wilderdom, 2007).

(30)

Namun, meskipun sederhana dan menjadi sarana untuk relaksasi peserta, permainan ice breaker dan permainan-permainan lainnya yang dilaksanakan untuk kepentingan pelatihan bukanlah sebuah permainan belaka. Permainan-permainan tersebut disusun dan dirancang dengan prinsip Experiential Learning Theory (ELT). Sebuah strategi

pembelajaran yang diperkenalkan oleh David Kolb sebagaimana yang dikutip oleh Kelly (1997) ini memakai prinsip pengalaman sebagai sebuah proses dalam penghayatan, untuk kemudian diujicobakan kembali pembelajaran tersebut dengan mengalami pengalaman tersebut kembali. Permainan ice breaker adalah salah satu strategi pembelajaran yang menggunakan prinsip ini.

(31)

Berbagai macam latihan dan permainan yang dilakukan selama proses pembelajaran dalam pelatihan yang memakai prinsip ELT adalah dibuat secara struktur dan ditentukan agar individu yang menjalankannya dapat bereksperimen dengan perilaku, mencoba berbagai macam hal, melihatnya apakah berhasil, membangun skill untuk kemudian

mengembangkan teori tindakan berdasarkan apa yang telah dialami (Johnson&Johnson,1994).

Experiential Learning yang asal katanya adalah experience

(pengalaman) menekankan adanya unsur pengalaman atau mengalami sebuah situasi untuk bisa belajar mengatasi masalah dalam situasi tersebut. Tidak cukup hanya sampai disitu, karena kemudian proses yang harus dilewati adalah mengambil kesimpulan dari apa yang sudah dipahami, membangun pola pikir dan kemudian mencoba perilaku tersebut kembali (Johnson&Johnson, 1994).

(32)

Sesuai dengan skill yang ingin dipelajari, maka pemilihan permainan menjadi sangat penting, tidak dilupakan juga perencanaan dan prosedur pelaksaannya. Dari berbagai fungsi permainan, selain untuk belajar, juga ada yang disebut dengan ice breaker, atau dalam istilah

pelatihannya disebut sebagai pemecah kebekuan (Wilderdom,2007).

Yang dimaksud dengan pemecah kebekuan disini adalah fungsi permainan sebagai sarana agar para peserta dalam pelatihan atau orang-orang yang terlibat didalamnya tidak lagi menjaga jarak dan dibatasi oleh ”tembok” yang menghalangi proses komunikasi dan sosialisasi (Wilderdom, 2007).

Sesuai dengan namanya, fungsi sebuah permainan ice breaker atau ”pemecah kebekuan” dianggap mampu memuaskan kebutuhan

peserta pelatihan agar dapat terjalin hubungan sosial yang baik dengan peserta lain atau dengan fasilitator pelatihan (Glass&Benshoff, 2002). Sedangkan menurut website wilderdom.com (2007) diantara fungsi permainan ice breaker adalah:

1. menciptakan suasana kelompok yang positif 2. membantu individu menjadi lebih relaks 3. meruntuhkan penghalang sosial

4. memompa energi dan memotivasi

(33)

6. membantu peserta untuk saling mengenal satu sama lain

Dalam pelaksanaan permainan ice breaker harus menyenangkan, relaks serta terbuka. Selama permainan berlangsung, setiap peserta diharuskan membebaskan ekspresi dirinya agar tidak ada lagi kekakuan dan benteng diri daripada berkomunikasi dengan orang lain.

Ada begitu banyak jenis permainan ice breaker yang dapat dicari

melalui artikel maupun lembar aktifitas yang banyak tersedia di website-website yang membahas group facilitation. Diantara website tersebut adalah www.funnatic.com, www.wilderdom.com, www.albany.edu, www.firststeptraining.com, www.funAttic.com,

www.residentAssistant.com dan banyak website lain.

2.1.3. Dugaan Pengaruh Permainan Ice Breaker terhadap Self Disclosure

Cox (dalam Tong, 1998) berpendapat bahwa ada tiga dimensi dalam

self disclosure: time, depth dan mutuality. Maka dimensi terakhir yaitu

(34)

peraturan dan tata cara permainan, maka seseorang harus berupaya membuka diri kepada peserta lain.

Dalam penelitian ini, sebuah upaya untuk membuka diri dilakukan selama proses permainan ice breaker yaitu dengan mencoba menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti ”binatang kesukaanmu kelinci ya?” atau memulai menyapa terlebih dahulu kepada sesama peserta agar terjadi ”openness” yang menghasilkan ”openness” oleh yang lainnya.Tanpa dibatasi waktu dan tempatnya maka diduga proses

disclose sesama peserta akan semakin kecil dan lambat. Permainan ice breaker ini merupakan penyempitan waktu, agar proses self disclosure

dapat teramati.

2.1.4 Training dalam Perspektif Islam

Diantara para trainer kepemimpinan muslimin, istilah training atau pelatihan digunakan untuk menyebut sebuah kumpulan kegiatan yang mendidik, memperkaya wawasan, memotivasi dan meningkatkan potensi mereka secara spiritual, serta mengembangkan bakat-bakat kepemimpinan dalam diri peserta pelatihan sebagai pengemban dakwah dimuka bumi (Altalib, 1991).

(35)

kesadaran, kepedulian serta membangun dan memupuk kesadaran tersebut.metode dalam program-program semacam itu didasari oleh tujuan yang akan dicapai, perilaku yang ingin diperoleh serta hubungan manusia dengan Penciptanya yaitu Allah.

Program-program pelatihan yang memiliki tujuan-tujuan seperti yang telah disebut diatas adalah berdasarkan prinsip bahwa seorang muslim bukanlah yang memerangi syaitan serta hamba-hambanya dengan pedangnya untuk kemudian dapat segera masuk jannah dengan pedangnya itu, melainkan seorang muslim adalah yang secara aktif berperan dan berinteraksi dalam masyakat serta berkontribusi memberikan perubahan yang positif dan bermanfaat bagi ummah (Altalib, 1991). Allah berfirman:

ی

!"

#$

% &' ()*+ ' ,'*+ی

!-“ Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan

diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya

dengan balasan yang paling sempurna.” (53:39-41)

(36)

( . ' /% 0 #1.2 ی 34&' /% 0 ' .24

Sayangilah apa yang ada diatas bumi, niscaya Yang diLangit akan Menyayangimu.”(Hadis riwayat Tirmidzi)

Dari hadis ini dapat disimpulkan, bahwa tugas seorang muslim bukan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan berpikir sebagai satu bagian dari jama’ah Muslimin yang saling tolong menolong, menyayangi, saling peduli dan menjadi individu yang bermanfaat bagi kesejahteraan ummah secara duniawi maupun

ukhrawi. Namun seorang muslim tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan optimal untuk berkontribusi kepada masyarakat jika pribadinya sendiri tidak dilatih dan dibekali untuk tujuan tersebut. Maka penting adanya pelatihan-pelatihan pengembangan diri sebagai salah satu sarana pencapaiannya (Altalib, 1991).

Dalam konsep pelatihan yang islami, terdapat empat dasar utama pelaksanaan pelatihan. Yang pertama adalah penciptaan manusia sebagai Khalifah di bumi Allah. Allah berfirman:

5 % 6 +7 ' 8 9:; <= 34&' /% 6> ﺝ /@ :1AB.< CDE4 F 8 G

/@ F 8 C H@IJ KI.LE M@N 0L (O @I ' C; ی 5 % I ;ی 0

(37)

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka

bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya

dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan

memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:

“Sesungguhnya Aku mengetahu apa yang tidak kamu ketahui”.(2:30)

Manusia berperan sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak

melakukan kekerasan dan pertumpahan darah yang akan merusak dan merugikan segala yang ada dibumi dan isinya. Peran manusia

diharapkan menjadi makhluk yang konstruktif dan memberikan kebaikan diatas bumi. Untuk menjadi seorang, manusia harus menyadari arti perannya dengan baik dan senantiasa berperilaku sesuai dengan yang telah digariskan Allah (Altalib, 1991).

Dasar yang kedua adalah ilmu pengetahuan. Setelah Allah menciptakan Adam As. Hal pertama yang Allah lakukan terhadap Adam adalah

mengajarnya ilmu. Allah berfirman dalam surat AlBaqoroh:

(O. PE / QN F J% :1AB. ' <> #5R > #$ 5<S (O. &' TU'( #<>

0 8U V #WXS

(YZ[

-XW.<>

OX #<> C LN ' 8

(38)

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu

berfirman:”Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu

memang orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau

ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(2:31-32)

Ilmu pengetahuan merupakan alat penting dalam segala hal. Terutama untuk melaksanakan tugas manusia sebagai khalifah untuk membangun kekuatan melawan yang bathil dan mensejahterakan bumi dan seisinya. Tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak akan dapat berperan dengan baik dan malah akan bertindak destruktif.

(39)

buah khuldi adalah salah satu cara untuk melihat sekuat manakah

Adam dan Hawa berpegang teguh kepada perintah Allah (Altalib, 1991).

9B.> 0 2 #1Dی #S <N ^ L ' _ . ' `<= ab '

..

]

Yang (Allah) menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.”(67:2)

( ' Jی

' S Wی

H X ' c 2

XW;ی #[ X '

]

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji

lagi?”(29:2)

' <N 0ی E d ' #1X 0یI[ +. ' #<

W2 #1 <NX

#S4 N=

-“ Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu,

dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”.(47:31)

(40)

menebar rahmah kepada seluruh penjuru alam semesta dengan mensyiarkan Islam dan berbuat kebaikan diatas muka bumi. Peran manusia sebagai khalifah sebenar dapat kita contoh dari bagaimana cara para Nabi dan Rasul melaksanakannya (Altalib, 1991). `

2.1.5 Permainan Ice Breaker dalam Perspektif Islam

Metode pelaksanaan program pelatihan Islami dapat berupa apa saja, hanya saja 4 dasar utama yang telah disebut diatas selalu dipegang teguh. Tidak ada keterangan jelas dari referensi mengenai permainan

ice breaker, namun permainan atau apapun kegiatan yang didalamnya terdapat objektif yang jelas dan tujuan yang baik yaitu demi peningkatan dan pengembangan potensi diri untuk menjadi manusia yang lebih baik adalah salah satu sarana penting. Permainan ice breaker hanyalah merupakan satu bentuk representasi dari kejadian sebenar dalam dunia nyata (Altalib, 1991).

Allah telah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125:

:X L ' :e> . ' :.1L E C@E4 6 N

fU'

/[ /W E #5 U ﺝ

< N 0> 6R 0.E #<> [ CE4

0 2

#<> [

(41)

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa

yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui

orang-orang yang mendapat petunjuk.”(16:125)

Ayat ini menjelaskan bahwa menyeru manusia kepada kebaikan dapat melalui berbagai macam cara, dengan syarat agar dilakukan dengan cara yang hikmah dan baik, tidak memudharatkan dandengan strategi yang jitu. Berbagai macam cara pembelajaran dapat dilakukan saat ini diantaranya melalui permainan yang terbukti mampu secara efektif menjadi sarana pembelajaran perilaku baru. Maka dapat dikatakan bahwa permainan ice breaker merupakan salah satu cara pembelajaran yang baik dan dengan tujuan yang baik pula.

2.2 Self Disclosure 2.2.1. Definisi

(42)

keterbukaan informasi antar satu sama lain yang secara meningkat menjadi lebih pribadi dan intim tentang diri mereka.

Laurenceu, Pietromonaco & Brrett (1998) mendefinisikan self disclosure

sebagai the verbal communication of personally relevant information, thoughts and feelings to another. Sedangkan Ashmore & Banks (2001) menjelaskan sebagai berikut : a process by which we let ourselves be known by others. Self disclosure bukan hanya diartikan sebagai kesediaan mengungkapkan pemikiran, perasaan intim atau sikap kepada orang lain, tetapi juga sikap sederhana seperti membiarkan orang lain mengetahui hal-hal sederhana mengenai diri kita juga dianggap sebagai self disclosure.

Ada dua jenis self disclosure yang diungkapkan oleh Laurenceu, Pietromonaco & Brrett (1998), yaitu factual self disclosure dan

emotional self disclosure. Dalam factual self disclosure, seseorang mengungkapkan fakta-fakta dan informasi pribadinya seperti mengatakan”saya pernah berpacaran tiga kali selama hidup saya”. Sedangkan dalam emotional self disclosure, seseorang

(43)

Sedangkan menurut Haymes seperti yang dijelaskan oleh Jourard (dalam Tong, 1998) menyatakan bahwa definisi operasional dan

behavioral self disclosure dapat dibagi menjadi empat kategori respons: 1. Ekspresi emosi dan proses emosi

2. Ekspresi kebutuhan

3. Ekspresi impian, pencapaian, cita-cita dan harapan 4. Ekspresi mawas diri

Menurut Johnson (dalam Tong,1998), self disclosure juga dapat didefiniskan sebagai sebuah pengungkapan reaksi terhadap suatu situasi yang sedang terjadi dan memberikan informasi mengenai yang telah lalu yang berkaitan dengan bagaimana pengungkapan reaksi pada saat ini. Definisi ini dapat digambarkan dengan sebuah contoh

sederhana ”saya senang sekali mengikuti pelatihan seperti ini karena ketika sekolah SMU dulu sulit sekali menemukan kegiatan seperti ini, gratis lagi!”.

(44)

2.2.2 Pengaruh self disclosure

Menurut Archer(dalam Tong,1998)self disclosure memiliki berbagai macam fungsi dan manfaat dalam sebuah hubungan. Salah satunya adalah memperoleh validasi social (social validation) yang berarti mendapatkan timbal balik dan respons dari orang lain mengenai pemikiran, perasaan atau sekedar bantuan dalam memecahkan masalah dalam hidup kita. Dan sudah dipastikan bahwa self disclosure

dapat membantu dalam interaksi sosial dalam masyarakat.

Seperti yang diungkapkan oleh Ashmore & Banks (2001) self disclosure

adalah determinan yang paling penting dalam hubungan jangka panjang yang intim. Bahkan self disclosure juga merupakan aspek penting

dalam dunia kesehatan mental, keberhasilan sebuah hubungan

therapeutic pada proses terapi dan konseling ditentukan oleh proses

self disclosure terapisnya.

(45)

Orang-orang yang berkeinginan untuk terbuka mengenai hal-hal pribadi dirinya umumnya disukai orang lain daripada mereka yang tidak , oleh karena itu, mereka lebih bisa diterima dengan baik oleh lingkungan. Bahkan menurut Sidney Jourard (dalam Higgins,1982) dengan self disclosure, seseorang dapat meningkatkan hubungan sosial kemasyarakatannya dan mengurangi stres.

[image:45.612.108.516.214.562.2]

Hubungan antara self disclosure dengan kesediaan untuk dikenal oleh orang lain dapat dipahami dengan menjelaskan Johari Window. Johari Window merupakan penggambaran daripada self-data individu. Dan Johari Window ini dapat menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan self disclosure. Hal tersebut dapat dipahami dengan melihat dinamika 4 quadrant(dalam Tong,1998) :

Tabel 2.1. The Johari Window (dari Luft dalam Tong, 1998)

Known to Self Not Known to Self 1

Open Area

2 Blind Area

3 4

Known to Others

(46)

Hidden Area Unknown Area

Keterangan:

Quadrant 1 : Quadrant yang terbuka (Open), seringkali disebut sebagai “the public self”, terdiri dari perilaku, perasaan dan

motivasi yang diketahui oleh diri sendiri dan orang lain.

Quadrant 2 : Quadrant buta (Blind), yang berarti perilaku, perasaan dan motivasi yang diketahui oleh orang lain tapi tidak diri sendiri.

Quadrant 3 : Quadrant yang tersembunyi (Hidden), yang berarti perilaku, perasaan dan motivasi yang diketahui oleh diri sendiri tapi tidak oleh orang lain.

Quadrant 4 : Quadrant yang tidak diketahui (Unknown), yang berarti perilaku, perasaan dan motivasi yang tidak diketahui oleh diri sendiri maupun orang lain.

Dalam prinsip Johari Window ini, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, Luft (dalam Tong,1998) menjelaskan ada 11 prinsip dalam perubahan quadran-quadran ini:

(47)

2. butuh tenaga untuk menyembunyikan, menyangkal, atau menjadi buta daripada perilaku yang terkait dalam interaksi.

3. ancaman cenderung mengurangi kewaspadaan, kepercayaan antar sesama meningkatkan kewaspadaan.

4. kesadaran yang dipaksakan adalah sesuatu yang tidak disukai dan biasanya tidak efektif.

5. jika ada proses pembelajaran secara interpersonal, berarti ada perubahan yang sedang terjadi dalam quadrant 1dan ada satu atau lebih quadrant yang mengecil.

6. bekerja dengan orang lain difasilitasi oleh area yang cukup luas untuk bebas bergerak, berarti lebih banyak sumber daya dan bakat seseorang yang dilibatkan yang bisa diperbantukan dalam sebuah tugas.

7. semakin kecil wilayah quadrant 1 semakin kurangnya adanya komunikasi.

8. ada sebuah rasa ingin tahu yang universal dalam area yang tidak diketahui (Unknown), tapi ini bisa segera tertangani dengan

social training dan diverse fears.

9. kepekaan artinya menghargai aspek-aspek perilaku yang tidak tampak dalam quadrant 2, 3 dan 4 dan menghormati keinginan orang lain agar tetap seperti itu.

(48)

kelompok sebagai satu keutuhan juga sebagai anggota dari kelompok tersebut.

11. sistem nilai dalam sebuah kelompok dan keanggotaannya dapat diketahui dengan cara mengkonfrontasi bagian quadrant yang tidak diketahui.

Menurut Luft (dalam Tong,1998) ada hasil yang positif dari perluasan

quadrant pertama (Open). Dengan membuka diri terhadap orang lain, maka pemahaman terhadap diri sendiri dan kesadaran diri meningkat. Luft meyakini bahwa meningkatnya pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri akan menghasilkan pecaya diri dan penerimaan diri yang lebih besar.

Tiap individu memiliki pilihan untuk mengendalikan quadrant-quadrant

ini pada dirinya. Jika seseorang tidak ingin dikenali oleh orang lain dan cenderung menutup dirinya dariapada dunia, maka ia akan bereaksi terhadap orang lain dengan kemarahan, perasaan terancam dan rasa bersalah yang mana dia ciptakan sendiri tembok-tembok yang

menghalangi dirinya. Ini juga berarti ia melakukan represi, proyeksi, penyangkalan dan mekanisme pertahanan diri yang lain (Tong, 1998).

(49)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tong (1998), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi self disclosure. Diantara faktor tersebut adalah jenis kelamin, kebudayaan dan kematangan.

Menurut Sidney Jourard (dalam Tong,1998), ekspektasi dan harapan-harapan dalam peran laki-laki menuntut mereka untuk selalu tampil gagah, objektif, gigih, tidak sentimental, dan secara emosional tidak ekspresif. Hal-hal seperti ini dapat menjadi faktor penghambat self disclosure. Sebaliknya dengan wanita yang terkait dengan perannya sebagai ibu, diharapkan sebagai sosok yang pengasih dan senantiasa merawat, ekspektasi ini dianggap sebagai pendorong wanita menjadi lebih tinggi dalam self disclosure.

Pada umumnya laki-laki lebih meyakini bahwa melakukan pencapaian merupakan sebuah tujuan hidup dan mengendalikan emosi sebagai sebuah strategi untuk mencapai tujuannya. Sedangkan perempuan, lebih meyakini bahwa kedekatan sosial-emosional adalah sebuah tujuan penting dan mengekspresikan emosi adalah salah satu caranya

(Tong,1998).

(50)

jenis kelamin dalam berkomunikasi antar mereka sehingga sering terjadi adanya konflik dan itu menghambat self disclosure.

Sebagai salah satu hasil pembelajaran sosial, laki-laki umumnya dipuji karena bersikap penuh kepastian, mandiri, rasional dan tidak

kehilangan kendali pada situasi krisis. Hal-hal inilah yang kemudian menjadikannya mengambil peran sebagai pemimpin dalam situasi interpersonal.

Sedangkan bagi perempuan, mereka lebih dipuji jika bersikap penuh perasaan, simpatik, pengertian dan sensitif terhadap kebutuhan orang lain. Hal-hal ini yang kemudian menjadikan mereka sosok yang penuh perasaan dan ekspresif dalam hubungan interpersonalnya.

Adapun faktor kebudayaan juga menjadi salah satu aspek yang

mempengaruhi self disclosure. Namun, sebelum lebih lanjut membahas mengenai kebudayaan, penting bagi kita untyuk melihat bahwa

hubungan self disclosure dengan masyarakat dan kehidupan berbudaya sangat rumit. Menurut Egan (dalam Tong,1998) ada dua kekuatan yang menghambat adanya self disclosure dalam masyarakat:

1. adanya larangan dalam budaya untuk self disclosure

(51)

Dalam kebudayaan Asia misalnya, ada yang memandang bahwa self disclosure adalah sebuah kelemahan dalam masyarakat. Jika self disclosure tidak dipandang sebagai sebuah kelemahan, sebagian masyarakat memandangnya sebagai sikap exhibitionism, tanda adanya

illness (penyakit) daripada sebagai bentuk komunikasi. Hal ini berakibat pada saat-saat yang ekstrim ketika mereka tidak membicarakan

permasalahan pribadi mereka pada keluarga sendiri dan

teman-temannya, mereka lebih memilih untuk menyimpannya sebagai rahasia dan mencoba mencari pemecahannya sendiri.

Menurut Yum (dalam Tong, 1998) budaya Timur terutama mereka yang menganut faham Confucianism, Budhism, dan Taoism lebih

menekankan pada bentuk komunikasi tidak langsung yaitu tergantung pada sensifitas dan kemampuan pendengar untuk memahami makna dibalik kata-kata, kontras dengan kebudayaan Barat yang lebih banyak menggunakan bahasa yang langsung dan lebih terbuka dalam

mengungkapkan sikap.

(52)

disclosure yang lebih rendah dibandingkan orang Amerika. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa orang Jepang cenderung terbuka lebih tinggi kepada sesama jenis kelaminnya. Sedangkan orang

Amerika terbuka terhadap sesama jenis kelamin maupun lawan jenis.

Tong (1998) juga meneliti mengenai perbedaan kebudayaan Kaukasia dengan Cina, menurut hasil penelitiannya, tingkat self disclosure

bangsa Kaukasia lebih tinggi dibandingkan bangsa Cina. Ini merupakan pengaruh budaya keduanya yang berbeda dari segi teknik

komunikasinya.

Bangsa Kaukasia lebih lugas dan langsung dalam menyatakan pendapatnya, berbeda dengan bangsa Timur yang cenderung menggunakan kata-kata ironi dan sindiran yang tidak langsung mengarah pada pendapat yang ingin dia ungkapkan. Menurut Tong (1998) ini juga terpengaruh oleh ajaran Confucianism, Budhism dan

Taoism yang menekankan kebijaksanaan dalam berkata-kata dengan lebih banyak diam namun lebih banyak berbuat.

(53)

yang begitu beragam. Seperti perbedaan self disclosure dan pola komunikasi antara budaya Jawa Barat dan Kalimantan misalnya, atau budaya Jakarta dengan budaya Sumatra dan lain sebagainya. Untuk itu penelitian mengenai hal tersebut pun belum bisa dicantumkan disini dan tidak ada referensi mengenai hal itu yang bisa dijadikan rujukan dalam penelitian ini.

Selain jenis kelamin dan kebudayaan, faktor lain yang berpengaruh terhadap self disclosure adalah kematangan. Ini dijelaskan oleh Snoek dan Rothblum (dalam Tong,1998) yang mengatakan semakin matang seseorang dalam kedewasaannya maka semakin self disclose ia kepada orang lain. Ini tampak pada perbandingan antara self disclosure

mahasiswa perguruan tinggi dengan tingkat self disclosure siswa sekolah menengah atas.

Penelitian juga telah dilakukan kepada pria dan wanita lanjut usia, ditemukan perbandingan bahwa wanita lanjut usia lebih self disclose

daripada pria lanjut usia, sedangkan pria lanjut usia lebih self disclose

daripada pria paruh baya.

(54)

berumur 70 sampai 80 tahun keatas, tingkat self disclosurenya lebih rendah daripada mereka yang berusia 60 sampai 70 tahun kebawah.

2.2.4. Penelitian mengenai self disclosure

Adalah sebuah kesalahpahaman jika self disclosure dianggap sebagai fenomena individual. Karena pada hakikatnya ia memerlukan proses komunikasi yang memberi dan menerima (Holtgraves dalam Tong, 1998). Untuk itu ada keterlibatan pasangan self disclosure seseorang yang berperan. Ini disebut dengan reciever responsiveness

(Reis&Shaver dalam Laurenceu, Pietromonaco & Brrett, 1998). Bahkan menurut Culbert (dalam Tong, 1998) keterlibatan reciever dalam

hubungannya dengan proses self disclosure seseorang akan berdampak pada self disclosure pada dirinya sendiri.

Berdasarkan pendapat Cox (dalam Tong, 1998) yang memaparkan adanya mutuality sebagai salah satu dimensi penting dalam self

disclosure maka ini mendukung pendapat pentingnya pasangan dalam hubungan tersebut agar mencapai tingkat self disclosure. Dimensi

mutuality adalah salah satu aspek yang sangat dipandang penting juga oleh Carl Rogers dalam proses psikoterapi dan konseling. Ia

(55)

Menurut Jourard (dalam Tong, 1998) fenomena ini dinamakan sebagai

reciprocal nature of disclosure. Jika seseorang mulai ada self disclosure

pada dirinya maka itu akan berpengaruh pada self disclosure

pasangannya. Karena menurut Jourard, seorang pasangan akan secara alamiah menyamai tingkat self disclosure pasangannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Jourard, Landsman dan Tognoli (dalam Lurding, 2005) menunjukkan bahwa perilaku disclose seseorang, mendorong recievernya untuk menyamakan tingkat disclosenya. Jadi ketika seseorang mengungkapkan sebuah pernyataan seperti ”saya akan sangat berminat mengikuti pelatihan semacam ini jika ada kesempatan di waktu yang lain” maka respon dari recievernya dapat berupa ”saya setuju, saya juga tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan semacam ini lain kali”.

2.2.5. Self Disclosure dalam Perspektif Islam

Allah telah mengajarkan manusia untuk berkomunikasi. Peran kita sebagai manusia dimuka secara sederhana adalah untuk

berkomunikasi dengan jelas dan jernih dengan makhluk lain. Ada begitu banyak rintangan dalam komunikasi manusia dalam kesehariannya, seperti perceraian suami istri, pemecatan pegawai atau masalah dalam sekolah. Komunikasi melibatkan manusia. Dan manusia adalah

(56)

disekelilingnya. Manusia tidak dapat bergantung pada dirinya sendiri dan dia membutuhkan manusia lain untuk melaksanakan perannya sebagai khalifah (Altalib, 1991). Allah berfirman:

0.2 '

-'( J ' #<>

]

h' `<=

N ' .<>

!

“(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (55:1-4)

Untuk bisa berkomunikasi dan membuka diri (self disclose) adalah membiarkan orang lain mengenal diri kita dan secara timbal balik saling memahami. Setelah terjadi hal tersebut, maka akan ada rasa saling hormat menghormati dan saling menghargai. Akan tetapi proses ini melibatkan pertukaran ide, pemikiran dan perasaan kepada orang lain dengan cara yang jujur.

(57)

Ini menunjukkan bahwa mengungkapkan perasaan kita kepada orang lain adalah penting agar terjadi hubungan yang baik dan silaturrahim yang erat. Rasul mencoba menunjukkan kepada kita bahwasanya kita tidak hanya berbicara lantang ketika mengkritisi perbuatan yang tidak baik atau kebathilan, tapi melihat kebaikan dan berbuat kebaikan juga harus diberikan pujian (Altalib, 1991).

Rasul mengajarkan kita untuk mengungkapkan sikap penghargaan kita terhadap sesuatu. Secara hubungan kita dengan Allah, setiap muslim harus mengungkapkan syukur secara verbal maupun nonverbal kepada Allah atas segala nikmat dan rahmat. Tapi itu juga berlaku bagi

hubungan kita dengan sesama manusia. Allah berfirman:

IیIi /E'b>

#7 ;S 0Q #1 Iیj& #7 1k 0Q #1DE4 GP7 G

l

Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu mema’lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan

jika kamu mengingkari (ni’matKu) maka azabku sangat pedih.”(14:7)

2.3 Kerangka Berpikir

(58)

merupakan aspek dengan faktor kematangan, budaya dan jenis kelamin yang mempengaruhinya diberi batasan operasional berupa keterbukaan individu untuk mau mengenal orang lain dan dikenal orang lain dengan secara sukarela menanyakan atau sekedar menyapa orang lain yang belum dikenalnya atau berbagi pemikiran, perasaan dan ide-ide pribadinya dengan orang lain.Manipulasi dalam variabel bebas (permainan ice breaker) ditentukan hingga dapat menyentuh aspek

mutuality dalam dimensi yang dikemukakan oleh Cox (dalam Tong, 1998).

2.1 Gambar Kerangka Berfikir Penelitian

Permainan ice breaker self disclosure

2.3. Hipotesa

Ho : Permainan Ice Breaker tidak berpengaruh terhadap Self Disclosure

H1 : Permainan Ice Breaker berpengaruh terhadap Self Disclosure “Whose Is It” Game

Mutuality

- keterbukaan untuk mau

mengenal orang lain

- mau dikenal orang lain - mau menyapa orang lain - berbagi pemikiran,

perasaan, dan ide

pribadinya dengan orang lain

(59)
(60)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian 3.1.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Eksperimen. Alasan paling sederhananya adalah untuk menguji sebuah teori. Menurut Sidman (dalam Robinson, 1981) ada beberapa alasan mengapa penelitian dilakukan dengan pendekatan eksperimen, yaitu: 1. Evaluating a theory.

2. Satisfaction curiosity.

3. Demonstration of a new method or technique. 4. Demonstrations of behavioral phenomenon.

5. Investigation of conditions influencing behavioral phenomena.

(61)

mendemonstrasikan teknik baru dalam upaya peningkatan self disclosure melalui teknik permainan ice breaker.

Eksperimen juga dilaksanakan untuk melihat adanya fenomena perilaku baru. Dalam penelitian ini fenomena perilaku ini diamati sejak awal penelitian hingga setelah pemberian permainan ice breaker yang merupakan variabel bebas (Independent Variable) penelitian ini yang dimanipulasi.

Setelah memperoleh fenomena perilaku yang baru, langkah berikutnya adalah mengintegrasikan temuan-temuan penelitian dan datanya kedalam teori. Kondisi penelitian yang telah dirancang dan dikontrol selanjutnya dianggaps sebagai yang memepngaruhi fenomena perilaku tersebut (Robinson, 1981).

3.1.2 Metode Penelitian

Adapun metode penelitiannya yaitu controlled laboratory experiment, karena dalam penelitian ini dilakukan manipulasi langsung dan sistematis terhadap variabel bebas(Independent Variable) yaitu permainan ice breaker untuk kemudian dilihat pengaruhnya terhadap

(62)
[image:62.612.117.517.171.582.2]

Rancangan yang digunakan dalam penelitian controlled laboratory experiment ini adalah Randomized One Way ANOVAR Design. Desain eksperimen ini digunakan untuk membandingkan dua kelompok atau lebih yang berpengaruh terhadap variabel terikat (Dependent Variable).

Tabel 3.1. Rancangan Eksperimen Randomized One Way ANOVAR Design (Robinson, 1981)

Perlakuan (treatment)

Pengukuran

R X1 O

R X2 O

Keterangan:

R : Random kelompok

O : Pengukuran dengan memberikan skala sikap self disclosure setelah mengikuti pelatihan “Menjadi

Pembelajar” yang diselingi oleh permainan ice breaker X1 : Perlakuan untuk kelompok eksperimen yaitu pelatihan

(63)

X2 : Perlakuan untuk kelompok kontrol yaitu pelatihan

”Menjadi Pembelajar” yang tidak diberikan permainan ice breaker

3.2. Variabel Penelitian

3.2.1. Variabel Bebas (IV) Permainan Ice Breaker

Definisi Operasional : Permainan ice breaker adalah permainan sederhana yang melibatkan lebih dari 2 orang, yang bertujuan untuk membuat suasana sebuah forum tertentu, dalam hal ini adalah pelatihan, menjadi lebih akrab dan tidak terlalu kaku.

Permainan yang digunakan dalam eksperimen ini adalah ”Whose Is It Game” yaitu masing-masing peserta membuat daftar jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh si pelatih, kemudian dikumpulkan, dibagikan secara acak kepada pesertanya kembali dengan memastikan tidak ada yang mendapatkan kertas yang telah ditulisnya sendiri, kemudian mencari siapa yang memiliki kertas tersebut tanpa menanyakan pertanyaan ”ini milik kamu ya?” atau ”kertas ini kamu yang tulis ya?” atau sejenisnya.

3.2.2. Variabel Terikat(DV) Self Disclosure

(64)

lain dengan secara sukarela menanyakan atau sekedar menyapa orang lain yang belum dikenalnya atau berbagi pemikiran, perasaan dan ide-ide pribadinya dengan orang lain.

Dalam eksperimen ini ditunjukkan dengan menyapa atau bersalaman dengan orang lain, mengungkapkan sikapnya mengenai pelatihan dalam eksperimen yang diikutinya, yang diukur dengan skala self disclosure yang telah dimodifikasi.

3.2.3. Kontrol Variabel

Kontrol penelitian dilakukan untuk mengendalikan variabel yang berpotensi untuk mempengaruhi variabel terikat (DV) selain dari

variabel bebas (IV) penelitian. Hal ini berguna untuk menjaga hubungan pengaruh yang akurat antara variebl bebas dan variabel terikat

(Robinson, 1981). Dalam penelitian ini variabel-variabel yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, antara lain:

1. keberagaman usia

2. keberagaman latar belakang budaya 3. jenis kelamin

Dari variabel-variabel tersebut diatas yang diperkirakan dapat

(65)

1. keberagaman usia dikontrol dengan melakukan randomisasi

2. keberagaman latar belakang budaya dikontrol dengan randomisasi 3. jenis kelamin dikontrol dengan melakukan match pair.

3.3 Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi dan Sampel

Populasi yang diambil adalah siswa-siswi sekolah menengah atas pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan dari kelas 1 SMA hingga 3 SMA sebanyak 94 orang. Dalam struktur pendidikan pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan, tingkatan studi dimulai dengan kelas satu tsanawiyah yang disebut dengan kelas 1(satu) hingga yang paling tinggi adalah kelas tiga aliyah yang disebut dengan kelas 6(enam). Jadi, urutan kelas dalam pesantren Daarul Rahman adalah kelas 1,2,3,4,5 dan 6. Dalam penelitian ini, siswa-siswa yang terlibat adalah mereka yang berada di kelas 4,5 dan 6. Namun, untuk memudahkan penelitian, kita menyebutnya dengan tingkatan 1 SMA, 2 SMA dan 3 SMA. Kami melibatkan siswa siswi pesantren dengan alasan bahwa di pondok pesantren belum pernah menerima pelatihan dan permainan-permainan, sehingga dengan harapan tidak ada manipulasi perilaku oleh mereka.

Dari sekian banyaknya populasi, diambillah 20 orang. Dengan

(66)

kelompok kontrol.Subjek yang menjadi responden adalah mereka yang belum pernah mengikuti pelatihan mengenai “Menjadi Manusia

Pembelajar” dan belum pernah mendapatkan permainan ice breaker

Whose Is It?”. Kelompok eksperimen adalah mereka yang akan diberikan pelatihan mengenai “Menjadi Manusia Pembelajar” dengan diselingi permainan ice breaker, sedangkan kelompok kontrol adalah mereka yang diberi pelatihan tanpa diselingi dengan permainan ice breaker.

3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan metode

random selection. Peneliti melakukan pengambilan sampel dengan mengundi nomor urut siswa dari tiap-tiap kelas. Kelas 1 SMA yang berjumlah sebanyak 29 orang, kelas 2 SMA yang berjumlah 33 orang dna kelas 3 SMA yang berjumlah 32 orang. Dari tiap kelas, diambil 7 dan 6 orang. Setelah itu diundi lagi dari tiap-tiap kelas siswa perempuan 10 orang dan siswa laki-laki 10 orang. Peneliti kemudian membagi kelompok menjadi dua yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

3.4. Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Instrumen Penelitian

(67)

1. alat tulis

2. whiteboard dan spidol 3. lembar observasi

4. lembar instruksi permainan ice breaker ”Whose Is It”

5. laptop

6. kertas jawaban untuk permainan ice breaker

7. modul pelatihan ”Menjadi Manusia Pembelajar”

Adapun instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala self disclosure berisi 32 item yang dimodifikasi sesuai dengan situasi penelitian yang berlatarkan sebuah pelatihan. Skala self disclosure ini berpandukan pada Miller’s Self Disclosure Scale

(Tong,1998) dan Emotional Self Disclosure Scale (Snell,1997).

3.5 Teknik Analisa Data

Skala sikap self disclosure yang telah terisi kemudian diolah dengan teknik pengolahan data yang menggunakan Analysis of Variance

(ANOVA) melalui perhitungan statistik t-test atau tehnik uji T

(Robinson,1981) dengan taraf signifikansi = 0.05 dengan SPSS.12.

3.6 Prosedur Penelitian

(68)

03.30 sore hingga pukul 05.30 sore dan bertempat di 2 ruangan yang bersebelahan dengan desain dan letak duduk yang sama persis. Beberapa tahap penelitian dalam pelaksanaan eksperimen ini adalah: 1. Pra Eksperimen

Dalam tahap ini peneliti menentukan variabel yang akan diteliti, mencari tempat pelaksanaan penelitian, dan menentukan materi pelatihan yang akan diberikan. Pada tahap ini pula peneliti memastikan apakah mereka sudah pernah mendapat materi

pelatihan ”Menjadi Pembelajar” dan permainan ice breaker ”Whose Is It?” atau tidak.

2. Eksperimen

Tahap Kegiatan Ke1 Ke2

1 Eksperimenter membangun rapport dengan subjek penelitian. Sebelum eksperimen dimulai, PL (project leader) memastikan bahwa semua perlengkapan pelatihan dan kuesioner tersedia. Semua observer sudah bersedia di ruang penelitian

2 Subjek diminta mengisi lembar inform consent

dan disusul dengan mengisi lembar kuesioner

pre-test self disclosure untuk kemudian

dikumpulkan kembali kepada observer yang juga bertugas mengawasi ketertiban penelitian

(69)

Pembelajar” yang difasilitasi oleh experimenter. Peneliti dan observer sudah siap dengan lembar observasi.

4 Subjek berhenti sejenak dari materi pelatihannya dan mengikuti permainan ice breakerWhose Is It?” Yang dipandu oleh experimenter sendiri 5 Subjek melanjutkan lagi pelatihan ”Menjadi

Manusia Pembelajar”.

6 Subjek diminta untuk mengisi kuesioner post test

7 Penutup

2. Pasca Eksperimen

a. Mengolah data yang telah diperoleh dari kedua kelompok penelitian.

b. Mengambil kesimpulan hasil penelitian hingga diketahui hipotesa yang telah dibuat diterima atau ditolak.

Demi kelancaran penelitian ini, peneliti membagi perincian tugas kepada tiap-tiap petugas dalam penenlitian ini adalah sebagai berikut: 1. Project Leader adalah peneliti sendiri

(70)

mengumpulkan data nomor urut tiap-tiap kelas untuk dijadikan subjek penelitian.

b. Menyiapkan instrumen penelitian dan tata letak ruang eksperimen

c. Membuka dan menutup penelitian

d. Mengolah data hasil penelitian dan menyimpulkan.

2. Experimenter yaitu 2 orang trainer profesional, yang pertama ditugaskan untuk kelompok eksperimen, yang kedua untuk kelompok kontrol.

a. Memberikan pelatihan ”Menjadi Manusia Pembelajar” b. Memberikan permainan ice breakerWhose Is It?” Sebagai

variabel bebas (Independent Variable) dalam penelitian ini c. Memberikan instruksi kepada subjek selama proses penelitian

berlangsung.

3. Observer yaitu 6 orang yang dibagi dua untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

a. Mengamati perilaku subjek dan mencatatnya dalam lembar observasi

(71)

c. Mencatat dan mengawasi jalannya proses penelitian agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

(72)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Subyek Penelitian

Jumlah sampel dalam eksperimen ini adalah sebanyak 20 orang yang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 10 orang, 5 orang perempuan dan 5 orang laki-laki. Kelompok pertama ditentukan sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kedua sebagai kelompok kontrol(lihat Tabel.4.1).

Sesuai dengan usaha kontrol terhadap penelitian ini, maka dalam

menentukan pembagian jenis kelamin dari tiap-tiap kelompok, dilakukan

(73)
[image:73.612.111.513.191.651.2]

Pada penyebaran kelas, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara kebetulan memiliki kesamaan dalam jumlah. Meski begitu, perbedaan jenis kelamin juga terdapat didalamnya.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan latar belakang.

(74)
[image:74.612.112.518.193.552.2]

Tabel 4.2 Perolehan nilai Mean dan SD kelompok eksperimen

Kelompok Jumlah Subjek Mean SD

Eksperimen Pre-test Post-test

10

108.2000 121.4000

7.71434 17.50048

Dari perolehan hasil hitungan stasitik menggunakan SPSS 12.0, setelah dilakukan penghitungan dengan uji T, hasil yang diperoeh adalah

bahwa kelompok eksperimen memiliki taraf signifikansi lebih kecil dari 0.05. sedangkan pada nilai mean, dari hasi uji pre-test yang

dilaksanakan sebelum permainan ice breaker dilaksanakan, skornya adalah 108.2000. pada skor hasil post-test yang dilakukan setelah permainan ice breaker dilaksanakan, diperoleh nilai mean yang meningkat, yaitu 121.4000.

Tabel 4.3 Perolehan nilai Mean dan SD kelompok kontrol

Kelompok Jumlah Subjek Mean SD

Kontrol Pre-test Post-test

10

117.5000 111.7000

(75)

Sedangkan dari hasil hitungan stasitik pada kelompok kontrol, hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda. Dengan taraf signifikansi yang lebih kecil dari 0.05, skor mean pada pre-test menunjukkan hasil 117.5000 dan pada post-test memperoleh hasi skor mean yang berkurang, yaitu 111.7000. ini berarti ada penurunan nilai antara skor mean pre-test

dengan post-test.Dari dua kelompok didapati keduanya memiliki taraf signifikansi .000(<0.005) berarti keduanya signifikan.

4.2. Hasil Utama Penelitian

Dalam penelitian ini, hasil penelitian yang menggunakan hasil

(76)

BAB 5

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Hasil penelitian mengenai pengaruh permainan ice breaker terhadap

self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan yang telah didapat selanjutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

5.1. Kesimpulan

Permainan ice breaker tidak berpengaruh terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan.

5.2. Diskusi

Dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti mendapati bahwa kedua kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memperoleh nilai

(77)

menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh permainan ice breaker

terhadap sef discosure.

Namun dari observasi yang dilakukan terhadap kelompok eksperimen, memang ada perbedaan perilaku antara sebelum permainan diberikan dengan perilaku setelah diberikannya permainan ice breaker. Karena dalam permainan ice breakerWhose Is It?” itu memerlukan komunikasi dan tanya jawab antar peserta dalam waktu yang singkat,yaitu kurang lebih 25 menit, maka mau tidak mau semua peserta harus menyapa dan bertanya dengan peserta lain. Mereka yang semula hanya duduk diam dan mendengarkan materi pelatihan, menjadi lebih aktif dan merespon tanggapan kawannya yang lain jika ada kesempatan untuk mengemukakan pendapat.

Ini sesuai dengan prinsip self discosure yang dikemukakan oeh Cox (dalam Tong, 1998), dimensi terakhir yaitu mutuality (hubungan timbal balik) adalah komposisi yang sangat berperan karena ”keterbukaan seseorang akan menghasilkan keterbukaan pasangannya”. Dalam permainan ice breaker, upaya keterbukaan seseorang ”dipaksakan” selama permainan berlangsung, karena terkait dengan

Gambar

Gambar Kerangka Berfikir Penelitian
Tabel Johari Window
Tabel 2.1. The Johari Window (dari Luft dalam Tong, 1998)
Tabel 3.1. Rancangan Eksperimen Randomized One Way ANOVAR
+3

Referensi

Dokumen terkait

digunakan adalah observasional analitik yaitu studi epidemiologi yang dilakukan dengan hanya mengamati perjalanan alamiah peristiwa, membuat catatan siapa yang

PERAN MANAJER LOKASI DALAM MENCARI DAN MENDAPATKAN LOKASI UNTUK MENDUKUNG KEBUTUHAN CERITA DI FILM “KELABU” dengan ini menyatakan bahwa, Skripsi dan karya penciptaan ini adalah asli

(1) Kepala Dinas mempunyai tugas memimpin, merencanakan, mengkoordinasikan, membina, mengatur dan mengendalikan tugas Dinas yang meliputi perencanaan, pengelolaan,

Pelayanan sosial yang diberikan oleh Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA).. Tambatan Hati pada kenyataannya mampu mencapai tujuan yang

Ta zgradba se lahko nastavi za H.323 Multipoint Control Unit Boštjan Lipnik : Učenje uporabnikov programskega paketa Podjetnik s pomočjo neposredne komunikacije preko

Yang dimaksud teknik dokumentasi adalah kegiatan dalam mencari data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku dan sebagainya yang berkaitan dengan apa

ROG GR8 dapat digunakan untuk merefleksikan layar dari perangkat atau PC lain yang mendukung Miracast melalui fungsi Unit Penerima Miracast!. CATATAN: Layar Miracast hanya

Jendela Interrupt merupakan jendela yang didisain sebagai tampilan yang digunakan untuk mengatur nilai-nilai dari variabel yang terdapat pada jendela utama.. Pada jendela