PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER
PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA
PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL
Dr. Donna Partogi, SpKK
NIP. 132 308 883
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK/RS.Dr.PIRNGADI
PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA
PASIEN HIV (+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN
ANTIRETROVIRAL
PENDAHULUAN
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala
penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya system kekebalan
tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). 1 Meski infeksi HIV pertama
kali dilaporkan di Amerika Serikat tapi jumlah infeksi HIV terbanyak sekarang di Afrika.
Di masa depan penularan Infeksi HIV semakin cepat di Negara sedang berkembang dan
sekitar 90% kasus infeksi HIV akan terdapat di Negara yang sedang berkembang. 2
Di Indonesia infeksi HIV secara resmi pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 di
Bali, meski sebelumnya mungkin telah ada infeksi HIV di Jakarta. Kasus yang di Jakarta
tidak tercatat karena pada waktu itu di Jakarta belum dapat dilakukan tes konfirmasi
Western Blot. Sejak laporan pertama, terus ditemukan infeksi HIV di berbagai propinsi di
Indonesia. Menurut data Departemen Kesehatan, jumlah penderita HIV/AIDS di
Indonesia sampai Juni 2002 mencapai 2950 orang. Dari jumlah tersebut penderita
laki-laki berjumlah 1913 dan perempuan 968. Sementara 143 orang lainnya tidak disebutkan
jenis kelaminnya. Menurut faktor resiko penderita HIV AIDS dari hubungan
heterosekdual mencapai 1483 orang, sementara homoseksual 167 orang. Dari faktor
transfusi darah, jumlah penderita 3 orang. Transfusi perinatal 15 orang dan yang tidak
diketahui penyebabnya mencapai 566 orang. Data juga menyebutkan bahwa 1177
penderita HIV AIDS terdapat di DKI Jakarta, 559 di Papua dan 237 di Jawa Timur.3,4
TES HIV
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV penting
karena setelah terinfeksi pada orang dewasa terdapat masa tanpa gejala yang panjang.
Pada keadaan ini hanya tes laboratorium yang dapat membuktikan seseorang telah
mengingat kemajuan-kemajuan yang diperoleh dalam patogenesis dan perjalanan
penyakit dan juga perkembangan pengobatan. Keuntungan menemukan diagnosis dini
adalah:
1. Intervensi pengobatan fase asimtomatik dapat diperpanjang
2. Menghambat perjalanan penyakit kearah AIDS
3. Pencegahan infeksi oportunistik
4. Konseling dan pendidikan untuk kesehatan umum penderita
5. Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengobatan pada fase
dini
Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk dari
gejala-gejala klinis atau dari perilaku resiko tinggi individu tertentu 1
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode:
1. Langsung : yaitu isolasi virus dari sample, umumnya dilakukan dengan
menggunakan mikroskop electron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara
deteksi antigen virus yang makin popular belakangan ini adalah Polymerase
Chain Reaction (PCR)
2. Tidak langsung: dengan melihat respon zat anti spesifik misalnya dengan ELISA,
Western Blot, Immunoflourescent Assay atau Radioimmunoprecipitation Assay
(RIPA). pms
Untuk diagnosis HIV yang lazim dipakai adalah:
1. ELISA : sensitivitas tinggi, 98,1% - 100%. Biasanya memberikan hasil postif 2-3
bulan sesudah infeksi. Hasil positifharus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
Western Blot. Akhir-akhir ini tes ELISA telah menggunakan recombinant antigen
yang sangat spesifik terhadap envelope dan core. Antibodi terhadap envelope
ditemukan pada semua stadium infeksi HIV.
2. Western Blot: spesifisitas tinggi 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup
sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Mutlak diperlukan untuk
3. PCR (Polymerase Chain Reaction). Penggunaan PCR antara lain pada:
a. Tes HIV pada bayi, pada saat zat anti maternal masih ada pada bayi dan
menghambat pemeriksaan secara serologis.
b. Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok resiko
tinggi
c. Tes pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi serokonversi
d. Tes konfirmasi untuk HIV 2 sebab ELISA sensitifitasnya rendah untuk
HIV 2
Indikasi tes antibodi HIV adalah kecurigaan kemungkinan resiko penularan
seperti melakukan hubungan seks yang tidak aman, pecandu narkotika suntikan,
penderita STD, penderita hemofilia (yang sering mendapat infus factor pembeku
sebelum tahun 1985), tusukan jarum yang telah digunakan pada orang yang terinfeksi
HIV serta bayi yang lahir dari ibu yang menderita HIV.
Diagnosis infeksi HIV berdasarkan kemungkinan penularan dan pemeriksaan
antibodi HIV positif (telah dikonfirmasi dengan Western Blot). Diagnosis AIDS
berdasarkan adanya penyakit infeksi opportunistik atau kanker terkait yang telah
ditetapkan dan antibodi HIV positif. Pada revisi kriteria AIDS tahun 1993 ditambahkan
kadar CD4 dibawah 200 sebagai kriteria, sehinggan meski belum ada infeksi oportunistik
atau kanker terkait bila CD4 dibawah 200 sudah digolongkan dalam AIDS. 5
Langkah-langkah diagnosis
1. Lakukan anamnesis gejala infeksi opotunistik dan kanker yang terkait dengan
AIDS
2. Telusuri perilaku beresiko yang memungkinkan penularan
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait.
Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit dan funduskopi.
4. Pemeriksaan penunjang: jumlah limfosit total, antibody HIV, pemeriksaan
roentgen. Bila hasil antibody positif: pemeriksaan CD4, PPD, serologi
PENGOBATAN
Obat antiretroviral bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan HIV di
dalam tubuh. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kombinasi obat antiretroviral dapat
menurunkan secara tajam viral load di dalam darah. 5
Obat ini diberikan dalam bentuk kombinasi golongan RTI (reverse transciptase
inhibitor) dan PI (protease inhibitor). WHO menganjurkan pemberian ART untuk Negara
yang mempunyai dana yang terbatas dengan kombinasi 2 NRTI + 1NNRTI atau Abacavir
atau PI. 5
Pemberian obat kombinasi didasarkan beberapa hal yaitu:2
1. Pemahaman mengenai kinetic HIV
2. Ditemukannya metode untuk menghitung RNA virus yang memungkinkan
penggunaan sebagai petanda untuk keadaan progresivitas penyakit dan pematauan
hasil pengobatan antiretroviral.
3. Ditemukannya obat Protease Inhibitor
4. Mutasi virus yang cepat dapat menimbulkan resistensi obat
Terapi kombinasi terbukti memberikan hasil lebih baik dan mengurangi kemungkinan
timbulnya resistensi virus terhadap obat antiretroviral tersebut. 1
Obat yang tergolong NRTI dan PI
Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI) 2
1. Zidovudin (ZDV)
Merupakan analog nukleosida, CDC telah menyarankan pemakaian obat ini
untuk infeksi HIV.
Dosis 500mg/hari, 5x100mg atau 200-100-200 mg/hari
2. Didanosin (DDI)
Belum ada rekomendasi pemberian DDI sebagai terapi pertama, melainkan
dipakai bila penderita tidak toleran terhadap ZDV atau dipakai sebagai pengganti
ZDV dimana ZDV sudah amat lama dipakai atau bila pengobatan dengan ZDV
tidak menunjukkan hasil. Dosis: 2x100 mg, setiap 12 jam (BB<60kg), 2x125 mg,
3. Dideoxycytidine (DDC,zalcitabine)
Diberikan sebagai kombinasi dengan ZDV tetapi belum cukup banyak
pengalaman untuk pemakain tersebut.
Dosis: 3x0,75 mg, pada gagal ginjal dosis dikurangi tergantung CCT
4. d4T (Stavudin) . Dosis 2x30 mg
5. 3TC (Lamivudin). Dosis 2x150 mg, dosis dikurangi pada gagal ginjal
Protease Inhibitor
1. Saquinavir . di Indonesia Invirase (Roche)
Dosis 3x200 mg
2. Indinavir
Dosis 3x800 mg
3. Ritonavir. Nama dagang Norvir
Dosis 2x600 mg
Indikasi ART5
Indikasi ART didasarkan pada kemungkinan 15% terjadinya AIDS dalam 3 tahun.
Sehingga berdasarkan data tersebut indikasi ART adalah:
1. Simtomatik
2. Viral load > 55000 kopi/ml
3. CD4<350 sel/mm3
Saat memulai ART
Kategori klinis CD4 dan viral load Anjuran
HIV akut atau <6 bulan semua Obati
Simtomatik semua Obati
Asimtomatik CD4 < 200 Obati
Asimtomatik CD4 200-350 VL <20 000, sebagian ahli
mengobati
Asimtomatik CD4 >350 Tunggu kecuali VL>55000,
Monitoring pengobatan antiretroviral
Pemantauan hasil pengobatan dilakukan dengan mengamati keadaan klinis ,
hitung CD4 dan viral load. Sasaran hasil pengobatan dalam minggu terjadi penurunan
viral load menjadi 1/20 viral load semula. Contohnya bila viral load semula 100. 000
kopi/ml maka setelah 8 minggu pengobatan baru dapat dikatakan berhasil bila viral load
menjadi 20.000 kopi/ml. Sedangkan dalam waktu 6 bulan sasaran yang ingin dicapai
adalah viral load undetectable. Penurunan viral load biasanya diikuti oleh lenaikan CD4
sehingga resiko terjadinya infeksi oportunistik juga berkurang.6 Pemeriksaan follow up
CD4: bila 500 ulang tiap 6 bulan, 200-500 ulang tiap 3-6 bulan, <200 berikan profilaksis
PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia). 2,5
Namun pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan laboratorium khusus yang
jarang terdapat di Negara berkembang sehingga perlu cara sederhana untuk monitor
pengobatan antiretroviral untuk mencegah resistensi. Penelitian dilakukan untuk
mengevaluasi alternative monitoring pengobatan dengan membandingkan CD4 dan TLC
sebagai surrogate marker dengan kadar hemoglobin dan TLC sebagai surrogate marker.
Pada penelitian ini terdapat hubungan yang positif antara jumlah CD4 dan TLC
Namun tidak mungkin untuk memprediksi hasil pengobatan berdasarkan nilai TLC
karena kenaikan TLC dialami oleh pasien dengan pengobatan yang gagal juga.
Peningkatan CD4 sangat tinggi ditemui pada pengobatan yang berhasil. Untuk jangka
panjang monitoring pengobatan yang berhasil mungkin dapat menggunakan CD4 tanpa
pemeriksaan viral load namun penggunaan prosedur ini akan menghambat diagnosis
kegagalan pengobatan sehingga dapat menyebabkan resistensi virus.
Kadar hemoglobin TLC mempunyai nilai predictive value yang positif untuk
monitoring keberhasilan pengobatan Namun kadar hemoglobin sukar untuk dianalisa
pada pasien yang menggunakan obat zidovudin karena efek samping obat yang utama
KESIMPULAN
Pemeriksaan viral load sangat penting untuk mengetahui saat akan memulai
pengobatan dan untuk memonitor selama pengobatan namun pemeriksaan ini sangat
mahal dan memerlukan peralatan khusus sehingga dibutuhkan alternatif lain. Telah
dilakukan penelitian penggunaan kombinasi TLC dan CD4 sebagai surrogate marker dan
kadar hemoglobin dan TLC sebagai surrogate marker. Ternyata hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemeriksaan hemoglobin dan TLC dapat digunakan sebagai
surrogate marker untuk monitoring pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Duarsa NW. AIDS. Dalam: Daili SF, Makes WI, Zubier, Judanarso J, penyunting.
Penyakit Menular Seksual, edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2001:
138-50.
2. Djauzi S. Penatalaksanaan Infeksi HIV. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan.
IDI, Jakarta , 1997.
3. Budimulja U. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Djuanda
A, Hamzah M, Aisah A, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ketiga.Balai Penerbit FKUI: Jakarta, 2001:401-405
4. Kampanye PBB melawan AIDS. Available at: www.sinarharapan.com
5. Djauzi S, Djoerban Z. Penetalaksanaan Infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan
Dasar. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002
6. Wood R, Post F. Total lymphoscyte count as a surrogate for CD4 lymphocyte
count in African patients coinfected with HIV and tuberculosis. J Acquir Immune
Defis Syndr Hum Retrovir 1996;11:411-13
7. Brettle RP. Correlation between total and CD4 lymphocyte counts in HIV