• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN METSULFURON DENGAN KONSENTRASI YANG BERBEDA TERHADAP RASIO JENIS KELAMIN ANAKAN Daphnia sp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN METSULFURON DENGAN KONSENTRASI YANG BERBEDA TERHADAP RASIO JENIS KELAMIN ANAKAN Daphnia sp"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN METSULFURON DENGAN KONSENTRASI YANG BERBEDA TERHADAP RASIO JENIS KELAMIN ANAKAN Daphnia sp

Oleh MUARIF

Metil metsulfuron merupakan senyawa aktif yang umum digunakan oleh para petani untuk membasmi gulma di sawah. Penggunaaan yang tidak sesuai pada senyawa aktif tersebut akan menyebabkan resiko pencemaran lingkungan yang berpengaruh terhadap kondisi organisme non target disekitarnya seperti gangguan reproduksi pada Daphnia sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kisaran ambang batas konsentrasi toksikan senyawa aktif metil metsulfuron dan rasio jenis kelamin anakan Daphnia sp.serta mengetahui hubungan antara konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron terhadap rasio jenis kelamin anakan Daphnia sp. Penelitian ini dilaksanakan pada 15 juni–15 juli 2013 dengan memaparkan metil metsulfuron pada Daphnia sp. dengan konsentrasi yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan nilai (LC50)-48 jam sebesar 140,2 ppm dan persentase rasio jenis

kelamin jantan anakan Daphnia sp. tertinggi terdapat pada perlakuan 80 ppm yaitu mencapai 71%. Sedangkan hubungan antara konsentrasi metil metsulfuron dengan rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp. menunjukkan hubungan yang linier menurut persamaan Y=7.3112x – 8.1061.

(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

2.3 Senyawa Aktif Metil Metsulfuron pada Herbisida ... 11

III. METODE PENELITIAN ... 13

3.1 Waktu dan Tempat ... 13

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 13

(7)

3.4 Persiapan Penelitian ... 15

3.4.1 Wadah Pemeliharaan ... 15

3.4.2 Hewan Uji ... 16

3.4.3 Media Uji ... 16

3.5 Pelaksanaan Penelitian ... 16

3.5.1 Pembuatan Larutan Stok ... 16

3.5.2 Uji Penentuan Selang Konsentrasi ... 17

3.5.3 Uji Definitif (Toksisitas Akut) ... 18

3.5.4 Uji pengaruh metil metsulfuron ... 19

3.5.5 Uji Parameter Kualitas Air ... 19

3.6 Analisis Data ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1 Hasil ... 22

4.1.1 Konsentrasi Ambang Bahan Uji ... 22

4.1.2 Uji Definitif (Toksisitas Bahan Uji) ... 23

4.1.3 Pengaruh Metil Metsulfuron terhadap Rasio Anakan Daphnia sp. 25 4.1.4 Kualitas Media Uji ... 27

4.2 Pembahasan ... 29

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1 Kesimpulan ... 34

5.2 Saran ... 35 DAFTAR PUSTAKA

(8)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Metil metsulfuron merupakan senyawa aktif yang terkandung dalam herbisida. Senyawa aktif tersebut umum digunakan oleh para petani untuk mengendalikan gulma yang ada di sawah. Menurut Taufik dan Yosmaniar (2010), penggunaan senyawa aktif metil metsulfuron oleh para petani tidak berbeda dengan bahan kimia pengendali hama, yaitu memiliki sifat penting berupa daya racun atau toksisitas.

Penggunaan senyawa aktif metil metsulfuron yang dilakukan baik karena aplikasi yang sengaja maupun tidak disengaja (terjatuh, tertumpah, atau karena terbawa oleh air hujan dan irigasi) maka senyawa aktif tersebut sebagian akan tertahan dan tertinggal di dalam tanah melalui proses absorbsi, sedangkan sebagian lagi akan berada di dalam air di antara partikel-partikel tanah (Riadi, 2011). Kondisi tersebut tentu akan menyebabkan masalah baru berupa resiko pencemaran lingkungan yang dapat berpengaruh pula dengan kondisi organisme lain di sekitarnya.

(9)

memiliki sifat beracun yang mampu mempengaruhi seluruh kelompok taksonomi biota di sekitarnya tidak terkecuali biota yang bukan target sasaran petani.

Salah satu biota non target yang terpengaruh negatif terhadap kondisi pencemaran perairan akibat penggunaan herbisida dengan senyawa aktif metil metsulfuron adalah Daphnia sp., menurut Wilson and Leigh (1997) dalam Mubarak (2010) menyatakan bahwa, perairan yang tercemar oleh toksikan seperti logam berat, pestisida dan bahan pencemar lainnya dapat mengakibatkan gangguan reproduksi pada biota perairan di sekitarnya seperti Daphnia sp.

Jalius (2006) mengatakan bahwa pencemaran perairan dapat mempengaruhi sistem reproduksi pada Daphnia sp. seperti menurunnya aktivitas kawin, produksi telur menurun dan sebagainya. Berdasarkan penelitian Mubarak (2010), Hermawati (2009) dan Panna (2009) tentang pengaruh Daphnia sp. yang terpapar logam berat berupa Cd, CdCl2 dan Pb, terlihat bahwa semakin tinggi kisaran

konsentrasi (dibawah LC50) yang diberikan pada Daphnia sp., akan meningkatkan

rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp. Melihat kondisi tersebut maka perlu diketahui pula kemampuan reproduksi Daphnia sp. melalui pengamatan rasio anakan jantan Daphnia sp. yang terpapar senyawa aktif metil metsulfuron.

(10)

1.2 Kerangka Pemikiran

Aktifitas pertanian tidak terlepas dari penggunaan bahan kimia yang mengandung senyawa aktif untuk membasmi gulma yang dapat menghambat produksi hasil pertanian. Salah satu senyawa aktif yang umum digunakan oleh pelaku usaha dalam bidang pertanian adalah metil metsulfuron yang terkandung dalam herbisida. Pada dasarnya penggunaan herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron dilakukan dengan cara menyemprotkan pada tanaman padi yang terdapat gulma. Namun hal ini dapat berdampak negatif karena herbisida tersebut akan mencemari air yang dilewati khususnya pada saluran irigasi.

Girsang (2009) menyebutkan bahwa herbisida dengan senyawa metil metsulfuron bersifat persisten di dalam saluran air. Partikel metil metulfuron akan diserap oleh fitoplankton. Konsentrasi bahan aktif tersebut di dalam tubuh fitoplankton akan meningkat hingga puluhan kali dibanding dengan senyawa metil metsulfuron yang mengambang di dalam air. Fitoplankton tersebut nantinya akan termakan zooplankton dan dengan demikian senyawa metil metsulfuron yang terkandung dalam herbisida tersebut ikut termakan. Karena sifat persisten yang dimiliki herbisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan hingga ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air dan seterusnya menyesuaikan rantai makanan tidak terkecuali pada ikan yang dibudidayakan pada lahan di area persawahan.

(11)

Sebagaimana diketahui bahwa Daphnia sp. merupakan salah satu pakan alami yang umum diberikan untuk larva ikan air tawar. Organisme ini memiliki nilai ekonomis tinggi dalam budidaya perikanan air tawar. (Siregar, 1996). Oleh karena itu jika gangguan reproduksi pada Daphnia sp. terus terjadi akibat pencemaran di perairan, maka hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap produksi Daphnia

sp. yang salah satu perannya sebagai pakan alami esensial bagi larva ikan air tawar. Melihat kondisi tersebut maka perlu dilakukan pengamatan kemampuan reproduksi Daphnia sp. terhadap pemaparan senyawa aktif metil metsulfuron dengan melihat rasio jenis kelamin anakan Daphnia sp.

Menurut Rider et al. (2005) bahwa untuk mengetahui tingkatan toksik pada senyawa aktif metil metsulfuron terhadap Daphnia sp., maka dapat ditentukan menggunakan parameter lethal dan sub lethal. Pada Daphnia sp. parameter sub lethal yang diamati berupa rasio jenis kelamin jantan pada anakan yang dihasilkan.

Herbisida dengan Senyawa Aktif Metil Metsulfuron Pencemaran Perairaan

Daphnia sp.

Lethal Sub Lethal

LC50 Rasio Jenis Kelamin Jantan

(12)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui kisaran ambang batas konsentrasi toksikan senyawa aktif metil metsulfuron yang terpapar pada Daphnia sp.

2. Mengetahui rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp. yang terpapar senyawa aktif metil metsulfuron

3. Mengetahui hubungan antara konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron terhadap rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp., yang terpapar senyawa aktif metil metsulfuron sehingga dapat menjadi salah satu data dasar pengembangan penggunaan Daphnia

sp. sebagai bioassay toksisitas metil metsulfuron di perairan.

1.5 Hipotesis

Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H0 : Tidak ada pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap rasio jenis

kelamin anakan Daphnia sp.

H1 : Terdapat pengaruh konsentrasi metil metsulfuron terhadap rasio jenis

(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daphnia sp

2.1.1 Klasifikasi Daphnia sp.

Daphnia sp. secara taksonomi termasuk ke dalam kelompok crustacea renik yang hidup secara umum di perairan tawar (Pangkey 2009). Beberapa Daphnia sp. ditemukan mulai dari daerah tropis hingga Arktik dengan berbagai ukuran habitat mulai dari kolam kecil hingga danau luas (Delbaere dan Dhert, 1996).

Gambar 2. (A) Dahpnia sp. betina dan (B) Daphnia sp. jantan (Ebert, 2005)

Menurut Pennak (1989), klasifikasi Daphnia sp.adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea Kelas : Branchiopoda Ordo : Cladocera Famili : Daphnidae Genus : Daphnia

Spesies : Daphnia sp.

(14)

2.1.2 Morfologi Daphnia sp.

Secara morfologi pembagian segmen pada tubuh Daphnia sp. hampir tidak terlihat. Pada bagian tubuh menyatu dengan kepala. Bentuk tubuh membungkuk kearah bagian bawah, hal ini terlihat dengan jelas melalui lekukannya. Beberapa spesies Daphnia sebagian besar anggota tubuh tertutup oleh carapace, dengan kaki semu yang berjumlah enam pasang dan berada pada rongga perut. Bagian tubuh yang paling terlihat adalah mata, antena dan sepasang setae (Pennak, 1989).

Pada dinding tubuh Daphnia sp. bagian punggung membentuk suatu lipatan yang menutupi anggota tubuh lain sehingga terlihat seperti cangkang. Bagian ini membentuk kantung sebagai tempat menampung telur. Pada bagian cangkang tersebut terbentuk karena banyak menyerap air, kulit yang lunak kemudian menjadi keras. Kerasnya cangkang terbentuk ketika mineral-mineral pembentuk cangkang tersedia di perairan (Siregar, 1996).

(a’): Antennule (a”): Antena (b.c.): Brood-chamber (br.): Brain (c.): Margin of Carapace (c.s):

Caudal setae (e.): Compound eyes coalesced into one (f.): Furca (gl.): maxillary gland (h.): Heart (herp.): Hepatic diverticulum of gut (n.e.): Nauplius eye (ov.): Ovary

(15)

2.1.3 Fisiologi Daphnia sp.

Beberapa Daphnia memakan jenis crustacean dan rotifer (Branchionus), namun sebagian besar Daphnia adalah filter feeder dengan memakan alga berukuran kecil dan berbagai macam detritus organik termasuk bakteri. Partikel makanan yang tersaring kemudian dibentuk menjadi bolus yang akan turun melalui rongga pencernaan sampai penuh dan melalui anus ditempatkan di bagian ujung rongga pencernaan. Sepasang kaki pertama dan kedua digunakan untuk membentuk arus kecil saat mengeluarkan partikel makanan yang tidak mampu terserap (Waterman, 1960).

2.1.4 Reproduksi Daphnia sp.

Mekanisme reproduksi Daphnia adalah dengan cara partenogenesis (tanpa kawin), dan sebagian besar telur yang dihasilkan akan menetas menjadi Daphnia betina. Kemudian satu atau lebih individu muda dirawat dengan menempel pada tubuh induk. Pertambahan ukuran terjadi sesaat setelah telur menetas di dalam ruang pengeraman. Daphnia sp. dewasa berukuran 2,5 mm, anak pertama sebesar 0,8 mm dihasilkan secara parthenogenesis (Mudjiman, 1999).

Menurut Siregar (1996) jika kondisi lingkungan hidup Daphnia sp. tidak sesuai dan kondisi pakan tidak memadai, beberapa Daphnia sp. akan memproduksi telur berjenis kelamin jantan. Kehadiran jantan ini dapat membuahi telur Daphnia

(16)

Telur dari hasil pembuahan dapat bertahan dan berkembang hingga fase gastrula dan segera memasuki fase dorman. Selain itu telur ini juga terlindungi dengan mekanisme pertahanan terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Selanjutnya

Daphnia sp. hidup dan berkembang biak secara aseksual. Perkembangan naupli hingga pada fase dewasa dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pada suhu 220 C-310C dan pH 6,5-7,4 dapat berkembang menjadi dewasa dalam waktu 4 hari dan bertahan hidup selama 12 hari (Siregar, 1996).

Gambar 4. Siklus Hidup Dahpnia sp. (Clare, 2002) 2.1.5 Parameter Kualitas Air

(17)

Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup Daphnia sp. Pada umumnya Daphnia sp. dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut (DO) diatas 3 mg/l (Ebert, 2005). Kondisi oksigen terlarut tersebut dibutuhkan oleh Daphnia sp. dalam proses metabolisme di dalam tubuhnya.

Suhu yang masih dapat ditoleransi oleh Daphnia sp. bervariasi sesuai pada lingkungan tersebut. Daphnia sp. umumnya dapat hidup optimal dengan kisaran suhu 22-31oC (Radini, 2004), sedangkan kisaran derajat keasaman (pH) pada

Daphnia sp. yang masih dapat ditolerir adalah 7,2–8,5 (Clare, 2002). Dengan meningkatnya suhu dan pH maka akan mempengaruhi peningkatan kadar NH3 di

perairan. Menurut Lavens dan Sorgeloos (1996) kadar amoniak untuk Daphnia sp. masih dapat hidup yaitu pada konsentrasi 0,2 ppm. Sedangkan menurut Radini (2004) Daphnia sp. masih bertahan pada kadar amonia di bawah 0,2 ppm dan dapat berkembang biak dengan baik.

2.2. Penggunaan Herbisida

(18)

Herbisida yang masuk ke dalam kawasan pertanian pada dasarnya dapat melalui permukaan tanah maupun bagian bawah permukaan tanah dengan jangka waktu sekitar 1 hingga 3 bulan. Senyawa aktif yang terkandung dalam herbisida akan masuk ke dalam tanah melalui perantara tanaman yang diberikan herbisida untuk membunuh gulma pada jenis tanaman tersebut yang tentunya menyebabkan residu khususnya jika digunakan secara berlebihan. Sebagaimana disebutkan oleh Olmsteated (2003) bahwa pengaruh residu herbisida dapat dilihat dengan mengikuti hukum kinetika pertama yaitu derajat atau kecepatan menghilangnya herbisida berhubungan dengan banyaknya herbisida yang terdeposit. Dinamika herbisida di alam akan mengalami dua tahapan reaksi berupa proses hilangnya residu yang berlangsung cepat atau sebaliknya proses hilangnya residu berlangsung lambat.

Penggunaan herbisida untuk memberantas gulma pada lahan pertanian akan menimbulkan berbagai masalah lingkungan salah satunya terjadi pencemaran pada lingkungan perairan. Hal tersebut tentunya berdampak pula pada biota yang hidup di perairan seperti sungai, danau dan waduk yang tercemar senyawa dari herbisida yang terjadi proses dekomposisi bahan pencemar tersebut.

2.3 Senyawa Aktif Metil Metsulfuron pada Herbisida

Herbisida dengan senyawa aktif metil metsulfuron merupakan jenis herbisida sistemik dan bersifat selektif untuk tanaman seperti padi. Senyawa aktif pada herbisida ini mampu mengendalikan hama padi jenis gulma yaitu pra tumbuh dan awal purna tumbuh (Anonim, 2011 dalam Astria, 2013). Berdasarkan

(19)

murni dan terapan internasional, nama kimia metil metsulfuron adalah Methyl 2-[[3-(4-methoxy-6-methyl-1,3,5-triazin-2-yl)ureido] sulfonil] benzoate. Berikut struktur kimia metil metsulfuron dengan rumus molekul C14H15N5O6S.

Gambar 5. Struktur Kimia Metil Metsulfuron (Riadi, 2011)

(20)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilaksanakan pada 15 Juni – 15 Juli 2013 di Laboratorium Budidaya Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Nama Peralatan/Bahan Fungsi Alat Jumlah PERALATAN

1. Akuarium 10 x 10 x 15 cm  Wadah uji untuk

pemeliharaan Daphnia sp. 12 Buah 2. Selang dan Batu Aerasi  Meningkatkan O2 terlarut

dalam media pemeliharaan 12 Buah 3. Mikroskop Binokuler  Untuk mengamati rasio jantan

anakan Daphnia sp. 1 Unit 4. Gelas Objek  Meletakkan Daphnia untuk

diamati di bawah mikroskop 20 Buah

5. Pipet Tetes  Untuk pengambilan sampel

Daphnia sp. 5 Buah

6. Termometer  Mengukur suhu pada media

pemeliharaan Daphnia sp. 1 Buah

7. pH Meter  Mengukur pH pada media

pemeliharaan Daphnia sp. 1 Buah 8. Gelas Ukur  Mengukur jumlah larutan

yang dibutuhkan 1 Buah

9. Mikro Pipet (100-1000 µl)  Melakukan pengenceran

(21)

No. Nama Peralatan/Bahan Fungsi Alat Jumlah BAHAN

1. Daphnia sp.  Hewan uji yang digunakan

dalam penelitian 500 Ekor

2. Herbisida Ally 20 WDG  Bahan untuk memaparkan

Daphnia sp.

 Merupakan herbisida dengan merk dagang yang umum digunakan oleh petani

10 Gram

3. Akuades  Untuk mengencerkan

Herbisida sebagai larutan perlakuan

5 Liter 4. Air Tawar (PDAM)  Sebagai media pemeliharaan

Daphnia sp 15 Liter

5. Susu Bubuk  Sebagai pakan Daphnia sp.

saat pemeliharaan 100 Gram

3.3 Desain Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu dengan mengacu pada Hanafiah (2008) dengan persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi +

Eij

Keterangan :

Yij : Pengaruh perlakuan ke-I dan ulangan ke-j µ : Rataan Umum

τi : Pengaruh Konsentrasi pestisida ke-i

(22)

Adapun pada penelitian ini dilakukan 4 perlakuan dengan 1 kontrol dan diulang sebanyak 3 kali. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

Perlakuan K : konsentrasi metil metsulfuron 0 ppm (kontrol) Perlakuan A : konsentrasi metil metsulfuron 0,01 ppm Perlakuan B : konsentrasi metil metsulfuron 0,1 ppm Perlakuan C : konsentrasi metil metsulfuron 1 ppm Perlakuan D : konsentrasi metil metsulfuron 10 ppm

Jika konsentrasi tersebut tidak diperoleh ambang atas maka uji ambang dilanjutkan dengan menggunakan selang konsentrasi metil metsulfuron sebagai berikut:

Perlakuan A : konsentrasi metil metsulfuron 100 ppm Perlakuan B : konsentrasi metil metsulfuron 400 ppm Perlakuan C : konsentrasi metil metsulfuron 700 ppm Perlakuan D : konsentrasi metil metsulfuron 1000 ppm

3.4 Persiapan Penelitian

3.4.1 Wadah Pemeliharaan

(23)

3.4.2 Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan ini adalah Daphnia sp. betina dewasa dengan umur sekitar 4 hari (D4) yang didapat dari pedagang pakan alami ikan di Pasar Bandar Lampung.

3.4.3 Media Uji

Media uji yang digunakan adalah air tawar yang diaerasi terlebih dahulu selama tiga hari untuk menjaga kualitas air dalam kondisi optimal. Selanjutnya dilakukan pengukuran kualitas air yang optimum untuk pertumbuhan Daphnia sp.

3.5Pelaksanaan Penelitian

3.5.1 Pembuatan Larutan Stok

Pada uji penentuan selang konsentrasi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan larutan stok 1000 ppm. Karena herbisida yang digunakan dalam penelitian ini mengandung bahan aktif metil metsulfuron sebesar 20 % maka dengan mengacu Astria (2013), perhitungan pembuatan larutan stok dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1 gram bahan = X% kandungan

1 gram kandungan = 1 gram bahan

X% kandungan

= 1 gram

20 %

= 1 gram

0,2

(24)

Berdasarakan perhitungan tersebut, maka 5 gram bahan herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron dilarutkan di dalam 1 liter akuades/air untuk dijadikan sebagai larutan stok dengan konsentrasi sebesar 1000 ppm.

3.5.2 Uji Penentuan Selang Konsentrasi

Uji penentuan selang konsentrasi bertujuan untuk memperkirakan dosis metil metsulfuron yang menyebabkan mortalitas 100% serta mengetahui ambang atas dan ambang bawah penggunaannya. Lama perlakuan 2 hari (48 jam) dengan menggunakan deret konsentrasi 0; 0,1; 1; 10; 100; 1000ppm. Jumlah Daphnia uji pada setiap wadah adalah 50 ekor dalam 1 liter. Selama uji berlangsung dilakukan pengamatan dan pencatatan mortalitas yaitu pada awal pengujian (0 jam), selama pengujian (24 jam) dan pada akhir pengujian (48 jam).

Berdasarkan pada hasil uji penentuan selang konsentrasi tersebut dapat ditentukan konsentrasi herbisida dengan bahan aktif metil metsulfuron untuk digunakan pada uji definitif yaitu menggunakan rumus di bawah ini dengan mengacu pada (Finney, 1971). Rumus untuk menentukan deret konsentrasi perlakuan adalah sebagai berikut:

Log

Perhitungan Konsentrasi : a = b = c = d = e = N

n a b c d e

N

(25)

Keterangan :

N : konsentrasi ambang atas n : konsentrasi ambang bawah

a : konsentrasi terkecil dalam deret konsentrasi k : jumlah konsentrasi yang diujikan (a,b,c,d,e)

3.5.3 Uji Definitif (Toksisitas Akut)

Tujuan dilakukannya uji definitif adalah untuk menentukan konsentrasi bahan uji yang menghasilkan efek merugikan terhadap suatu organisme uji dalam selang waktu pemaparan yang pendek di bawah kondisi terkontrol. Langkah awal yang dilakukan pada uji definitif adalah membagi Daphnia uji pada wadah sebanyak 50 ekor pada setiap perlakuan. Daphniauji tersebut diberi perlakuan berupa pemaparan metil metsulfuron dengan 4 konsentrasi berbeda yaitu 0; 20; 40; 80 ppm.

Hubungan nilai logaritma konsentrasi uji dengan persentasi mortalitas (dalam probit), merupakan fungsi linier : Y = a + bX. Nilai LC50-48 jam diperoleh anti

log m. Nilai m merupakan nilai X pada saat kematian sebesar 50% sehingga fungsi liniernya adalah 5 = a + bX. Untuk menentukan nilai a maupun b digunakan persamaan dengan mengacu pada Finney (1971) sebagai berikut:

(26)

Keterangan :

Y = Nilai Probit Mortalitas Hewan Uji X = Logaritma Konsentrasi Uji

a = Konstanta b = Slope

m = Nilai X pada Y = 5 (Nilai Probit 50% Mortalitas Hewan Uji)

3.5.4 Uji pengaruh metil metsulfuron

Setelah didapatkan LC50-48 jam selanjutnya dilakukan cara yang sama dengan uji

pendahuluan namun dengan variasi konsentrasi yang lebih sempit dari hasil uji pendahuluan. Kemudian dilakukan pengamatan pada hari kelima dengan mengambil anakan Daphnia sp.sebanyak 30% dari populasi anakan Daphnia

sp.pada setiap perlakuan,selanjutnya dilakukan identifikasi danpenghitungan jumlah anakan jantan. Zairin(2002) menyatakan, persentase jenis kelamindapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Persentase Jantan = X 100 (%)

3.5.5 Uji Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air sangat penting karena sebagaipendukung dalam penelitian ini. Adapun pengamatan kualitas air yang dilakukan dalam penelitian ini berupa oksigen terlarut (DO), suhu dan pH.

Jumlah Individu Jantan

(27)

3.6 Analisis Data

Adapun analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tiga pendekatan yaitu sebagai berikut :

1. Mengacu pada Hanafiah (2008) dengan menggunakan analisis ragam uji F (ANOVA) pada selang kepercayaan 95 % yaitu untuk mengetahui pengaruh perlakuan berupa beberapa konsentrasi metil metsulfuron yang beberbeda terhadap parameter pengamatan yaitu persentase rasio jenis kelamin anakan

Daphnia sp. yang dihasilkan selama penelitian berlangsung. Namun jika hasil uji antar perlakuan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT)

2. Pendekatan selanjutnya yaitu dengan menggunakan analisis korelasi yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara bahan uji yang digunakan berupa konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron terhadap hewan uji berupa

Daphnia sp. dengan melihat persentase rasio jenis kelamin jantan anakan

Daphnia sp. yang dihasilkan. Analisis korelasi ini dilakukan dengan mengacu pada Walpole (1991).

(28)
(29)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada uji toksisitas senyawa aktif metil metsulfuron, didapatkan nilai ambang bawah dan atas masing-masing sebesar 10 dan 400 ppm dengan nilai Lethal Concentration (LC50)-48 jam sebesar 140,2 ppm

2. Pemaparan Daphnia sp. dengan beberapa konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron yang berbeda, menunjukkan bahwa pada perlakuan 80 ppm menghasilkan persentase rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp. tertinggi yaitu mencapai 71%. Sedangkan persentase rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp. terendah yaitu pada perlakuan 0 ppm dengan anakan Daphnia sp. berjenis kelamin jantan yang dihasilkan sebesar 0% (100% betina)

(30)

5.2 Saran

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Astria, Q. 2013. Pengaruh Metil Metsulfuron Terhadap Kerusakan Sel Darah Merah Ikan Patin Siam (Pangasius Hypopthalmus). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Connell, D. W. and Milller, G. J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Terjemahan: Yanti Koestoer. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Clare, J. 2002. Daphnia an Aquarist’s Guide. Dikutip dari http//www.caudata.org /daphnia. [19 Agustus 2013]

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Delbaere and Dhert. 1996. Terrestrial and Aquatic Invertebrates as Bioindicators of Environmental Monitoring, With Particular References to Mountain Ecosystems. Liverpool John Moores University, Byrom Street. Liverpool. Ebert, D. 2005. Ecology, Epidemiology and evolution of parasitism in Daphnia.

University of Basel. Switzerland

Effendi, H., Emawan, A.H., Wardiatno, Y., Krisanti, M. 2012. Toksisitas Akut (Lc50) Serbuk Bor (Cuttings) terhadap Daphnia sp. Jurnal Bumi Lestari. (XII) 2 : 321 - 326

Finney. 1971. Probit Analysis. The University Press. Cambridge.

Frank, C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar Asas, Organ sasaran dan Penilaian Risiko. Edisi kedua . Penerjemah Edi Nugroho. UI Press Jakarta

(32)

Girsang, Warlinson. 2009. Dampak Negatif Penggunaan Pestisida. Fakultas Pertanian. Universitas Simalungun. Pematang Siantar. Dikutip dari: http://usitani.wordpress.com. [21 Maret 2013]

Hanafiah, K.A. 2008. Rancangan Percobaan. Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Hermawati, A., Kusdarwati Rahayu, Setyawati Sigit dan Mubarak A. Shofy. 2009. Pengaruh Pemaparan Beberapa Konsentrasi Kadmium (CdCl2) Terhadap

Perubahan Warna dan Rasio Sex Anakan Jantan Daphnia sp. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. (1): 43-50

Jalius. 2006. Limbah Kimia dan Pengaruhnya terhadap Reproduksi Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Jones, G and P. A. Sharp. 1997. Ultraspiracle : An Invertebrate Nuclear Receptor For Juvenile Hormones. University of Kentucky. USA

LeBlanc, G. A., W. A. Olmsteated, X. Mu, Y. W. Helen, R. Bethany and Hong Li. 2006. Mechanictic Approaches to Screening Chemicals for Endocrine Toxicity Using an Invertebrate. Depatement of Environtmental and Moleculer Toxicology. North Carolina State University, Raleigh NC. Lavens. P and Sorgeloos. P. 1996. Manual on the production and use of live food

for aquaculture. Laboratory of Aquaculture and Artemia Reference Center. University of Ghent, Ghent. Belgium

Masani, Fani. 2012. Monosodium Glutamat sebagai Bahan Nutrisi untuk Pengembangan Kultur Daphnia Magna. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

Mubarak, A. Shofy., Purnamasari , D. Nawang., Sulmartiwi Laksmi., dan Sudarno.2010. Kemampuan Reproduksi Daphnia Magna Jantan Hasil Induksi Logam Berat (Cd, Pb) dan Pestisida Diazinon. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan (II): 145-150

Mudjiman, A. 1999. Makanan Ikan. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Mulyani. 1973. Budidaya Ikan di Sawah. Agro Media Pustaka. Jakarta.

(33)

Olmsteated and LeBlanc. 2002. Effect of Endocrine Active Chemical on The Development of Sex Characteristic of Daphnia Magna. Departement of Toxicology North Caroline. USA

Panna, A., Damayanti, Yeni., dan Mubarak. A. Shofy. 2009. Pengaruh Pemaparan Beberapa Konsentrasi Timbal (Pb) Terhadap Perubahan Warna dan Rasio Sex Anakan Jantan Daphnia sp. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan (1):1-15

Pangkey, H., 2009. Daphnia dan Penggunaanya. Jurnal Perikanan dan Kelautan. V (3): 33-36

Pennak, R. W. 1989. Coelenterata. Fresh-water Invertebrates of the United States:Protozoa to Mollusca, 3rd edition. John Wiley and Sons, Inc., New York.

Riadi, MP. 2011. Herbisida dan Aplikasinya. Bahan Ajar Universitas Hasanuddin. Hlm 69.

Rider, C. V., T. A. Gorr., A.W. Olmstead, B. A. Wasilak, and G. A. LeBlanc. 2005. Stress Signaling: Coregulation of Hemoglobin and Male Sex Determination Through a Terpenoid Signaling Pathway in a Crustacean. Departement of Environmental and Molecular Toxicology. North Carolina State University, Raleigh. USA

Radini, D.N., Gede Suantika, Taufikurrohman. 2004. Optimasi Suhu, pH serta Jenis Pakan pada Kultur Daphnia sp. Jurnal Ilmiah Biologi : Ekologi dan Biodiversitas Tropika. (II): 23-28

Siregar, A.D. 1996. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta

Taufik, Imam dan Yosmaniar. 2010. Pencemaran Pestisida pada Lahan Perikanan Di Daerah Karawang - Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor Olmsteated, W. A. 2003. Environtmental Toxicant Effect on Sexual Reproduction

in Daphnia Magna. Dissertasions submitted to the Graduate Faculty of North Caroline State University. USA

(34)

Waterman. 1960. Unfying Concepts from Methyl Farnesoate for Invertebrate Reproduction and Post – Embryonic Development. Departement of Molecular and Cell Biology. University of Connecticut. Massachussetts. Wudianto, R. 1994. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta. Yudha, I.G. 1999. Toksisitas akut dan pengaruh subletal endosulfan terhadap

pertumbuhan dan kondisi hematologis ikan lele dumbo (Clarian gariepinus). Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 60 hal. Wilkinson. 1997. Chromium Encyclopedia of Science and Technology. McGrow

Hill, New York.

Gambar

Gambar.1 Kerangka Pemikiran
Gambar 2. (A) Dahpnia sp. betina dan (B) Daphnia sp. jantan (Ebert, 2005)
Gambar 3. Morfologi Daphnia sp. (Pangkey, 2009)
Gambar 4. Siklus Hidup Dahpnia sp. (Clare, 2002)
+3

Referensi

Dokumen terkait

yang diperkaya minyak jagung dapat memberikan sumbangan yang lebih baik pada fungsi asam lemak esensial dalam tubuh larva dibandingkan perlakuan lainnya, yang pada

Untuk mendapatkan data populasi mengenai kutu air maka dilakukan penelitian denganpembuatan dan pemberian pupuk organik dari apu-apu dengan dosis yang berbeda

Kotoran ayam mengandung protein, karbohidrat, lemak, dan senyawa organik lainnya, protein dalam kotoran ayam merupakan sumber nitrogen selain itu ada pula bentuk nitrogen inorganik