• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA (Studi Pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA (Studi Pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung)"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

(Studi Pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung)

Oleh Yuni Rahayu

Pengguna narkotika dan psikotropika merupakan salah satu korban dari tindak pidana narkotika yang seharusnya mendapatkan perlindungan hak-hak sebagai korban. Penahanan dan pemenjaraan pengguna narkotika berdampak sosial, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan untuk masa depan pengguna narkotika. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mewajibkan kepada pencandu narkotika yang sudah cukup umur atau orang tua/wali dari pencandu narkotika yang belum cukup umur untuk melapor kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah prosedur dan tahapan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung, dan apa saja yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap pihak direktorat reserse Narkotika Kepolisian Daerah Propinsi Lampung dan Rumah Sakit Jiwa Daerah Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

(2)

Yuni Rahayu dilaksanakan oleh Menteri, yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan Badan Nasional Narkotika. Pecandu Narkotika yang telah selesai menjalani rehabilitasi dilakukan pembinaan dan pengawasan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Pecandu Narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan, diberi kartu lapor diri setelah menjalani asesmen. Kartu lapor diri berlaku untuk 2 (dua) kali masa perawatan. Kartu lapor diri diberikan oleh Pimpinan Institusi Penerima Wajib Lapor. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Wajib Lapor Dan Perawatan / Rehabilitasi Pecandu Narkotika adalah : faktor penegak hukum yang masih mengenyampingan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Faktor sarana dan prasana yang masih belum memadai dalam pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika. Faktor masyarakat yang belum memahami program wajib lapor pecandu narkotika dan pemahaman bahaya dari narkotika itu sendiri.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, maka saran yang dapat disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut : Diharapkan kepada Pemerintah, Penegak Hukum, dan Masyarakat untuk lebih mendukung terlaksananya program wajib lapor pecandu narkotika, RSJD Lampung agar dapat melaksanakan tugasnya dalam rehabilitasi Pecandu Narkotika dengan maksimal walaupun sarana dan prasarananya belum seperti yang diinginkan. Pemerintah Derah Lampung untuk menanggapi secara serius terkait dengan pembangunan pusat rehabilitasi narkotika di Propinsi Lampung. Diharapkan Kepada DPRD Propinsi Lampung untuk membahasnya secara serius permasalahan fasilitas dan pendanaan yang sampai saat ini masih tersendat.

(3)

PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU

NARKOTIKABERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU

NARKOTIKA

(Studi Pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung) Oleh

YUNI RAHAYU

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

(Studi Pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung)

(Skripsi)

Oleh Yuni Rahayu

0912011274

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK JUDUL DALAM

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

MOTTO

PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 7

C.Tujuan dan Kegunaan Penilitian ... 7

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

II.TINJAUAN PUSTAKA A.Narkotika dan Perbedaan Antara Pengguna, Pecandu, Penyalahguna dan Korban Narkotika ... 14

1. Pengertian Narkotika... 14

2. Perbedaan Antara Pengguna, Pecandu, Penyalahguna Dan Korban Narkotika ... 17

B. Upaya nonpenal ... 18

C.Faktor-faktor penegakan hukum ... 23

D.Rehabilitasi Medis dan Sosial Bagi Pecandu Narkotika... 26

(6)

III. METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Masalah ... 34

B. Sumber Data ... 34

C.Penentuan Populasi dan sampel ... 36

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

E. Analisis Data... 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Karakteristik Responden... 39

B. Prosedur dan tahapan pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung ... 40

C.Faktor penghambat Dalam Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika ... 65

V.PENUTUP A.Simpulan ... 78

B. Saran ... 80

(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Sunarto , S.H, M.H. ………..

Sekretaris/Anggota : Deni Achmad, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

(8)

Judul Skripsi: PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PENCANDU NARKOTIKA (Studi Pada Rumah Sakit Jiwa Daerah propinsi Lampung)

Nama Mahasiswa : Yuni Rahayu

Npm : 0912011274

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYUTUJUI

1.Komisi Pebimbing

Prof.Dr. H. Sunarto DM, S.H.,M.H. Deni Acmad, S.H.,M.H.

NIP 195411121986031003 NIP 198103152008011014

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(9)

MOTTO

Pelajari masalalu,

perbaiki hari ini, rencanakan masa depan (penulis)

Pengetahuan adalah kekuatan (anonym)

(10)

Persembahan

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Bapak dan ibu tercinta Sumiyono dan Napsibah

Yang telah membesarkanku, mengajarkanku banyak hal dan senantiasa mendoakan keberhasilanku.

Seluruh keluarga , Kak Medianto dan Aji Tri cahyo,yang telah lama menantikan keberhasilanku dan selalu menasehatiku agar menjadi lebih baik

dan membanggakan keluarga.

sahabat dan teman-temanku semuanya yang selalu senantiasa memberikan semangat, doa dan dukungan yang khusus pada penulis.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 21 Juni

1990, merupakan putri kedua dari tiga bersaudara, pasangan

Bapak Sumiyono dan Ibu Napsibah.

Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 1

Panjang Selatan diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menegah Pertama Negeri

29 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006 dan melanjutkan pada tingkat

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009,

pada tahun 2009 penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2012 penulis mengikuti kuliah

kerja nyata (KKN) di Pekon Pahayu Jaya Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten

Lampung Barat. Penulis pada tahun 2011 mengikuti Nasinal Moot Court

Competition Piala Prof. Sudarto III Universitas Diponegoro dan bersama delegasi

menjadi empat besar Nasional. Kemudian ditahun 2012 menjadi peserta tim

delegasi Nasional Moot Court Competition Piala Jaksa Agung III di Universitas

(12)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika Berdasarkan Peratuan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H.,M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Prof.Dr.H.Sunarto,DM,S.H.,M.H selaku Pembimbing I atas bimbingan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.

(13)

6. Ibu Maya Safira, S.H.,M.H selaku Pembahas II, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung: Kiyai Basir, mbak dewi, mbak dian yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Direktur Utama Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung, yang telah memberikan izin untuk melakukan Pra-Research dan Research di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung

10. Seluruh Keluarga Besarku, Pa’e (Sumiyono), ma’e (Napsibah), Kak Medianto, adikku Aji Tri Cahyo, Momo, sanak famili yang telah sabar, memberikan semangat, dukungan dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Sahabat-sahabatku: Rani Manda, Nur Fajriyah , Weni Andriyani, Emi Kurnia, Irma dian Agustina, Riska, Yamanda Jayadhi, Karisma, Intano, Susan, terima kasih atas persahabatan dan kebersamaan selama ini.

(14)

13. Seluruh Rekan-rekan UKM-F Pusat Studi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unila: bang Bill, Bang zul, Bang danu, Rafli, Arga, chicha, Adam, Bang ewok, Amri, Nenny, Lala, Reni, Merli, Shishi, chacha, juju, jimmy, Yola yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

14. Pak Ferry H. para jaksa , staf dan karyawan Cabang Kejaksaan Negeri Bandar Lampung di Pelabuhan Panjang, terima kasih atas dukungan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

15. Serta teman-temanku yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih telah memberikan dukungan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berdoa semoga kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Juni 2013 Penulis

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Narkotika merupakan bagian dari Narkoba. Menurut batasan WHO tahun 1969 bahwa, yang dimaksud dengan Narkoba adalah zat kimia yang mampu mengubah pikiran, perasaan, fungsi mental, dan perilaku seseorang menjadi tidak normal. Sedangkan yang dimaksud dengan obat (drugs) adalah zat-zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh organisme yang hidup, maka akan mengadakan perubahan pada satu atau lebih fungsi-fungsi organ tubuh.1

Banyaknya para pecandu narkotika di Indonesia cukup tinggi. Menurut Iskandar Irwan Hukum dari YCBA2 pada tahun 2008, 9 dari 10 orang pecandu narkoba akan kembali menjadi pecandu (relaps/kambuh) setelah direhabilitasi. Angka yang tak jauh beda dengan data George Koob MD seorang ahli neurofarmakologi3 dari Amerika Serikat (California), bahwa rata-rata dunia, 8 dari 9 pecandu akan relaps.4

Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional, Yappi Manafe yang dikutip dari Majalah Komunika mengatakan bahwa dari sudut pencegahan,

1

sumber:http://www.thejakartapost.com/ news/2011/07/31/misguided-drug-laws.html

2

Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCBA) yang bergerak dibidang kemanusiaan

3

studi tentang obat yang berpengaruh pada jaringan saraf 4

(16)

2

permasalahan narkoba di tanah air harus digambarkan dulu dengan angka prevelansinya atau rata-rata penyalahgunaan di Indonesia. Sekarang sudah mencapai 2,2 % atau setara dengan 3,8 juta orang. Angka tersebut angka riil. Dibandingkan dengan angka prediksi yang mencapai 2,3 %, atau setara 4 juta orang. Memang ada peningkatan, tapi apabila dilihat dari angka prediksi sudah ada penekanan-penekanan. Dijelaskan juga bahwa proyeksi kita pada tahun 2015, apabila seluruh komponen bangsa dan seluruh komponen masyarakat tidak ikut berpartisipasi untuk melakukan upaya-upaya pencegahannya, diprediksi angka tersebut akan melonjak menjadi 5,1 juta atau 2,8 %. Kemudian Presiden Republik Indonesia pada 26 Juni 2011 mencanangkan Indonesia negeri bebas narkoba 2015, kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 12 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Dan Strategi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 Dan 2015 (Jakstranas P4GN). 5

Tahun 2015 Indonesia di proyeksikan bebas dari narkotika, namun hal tersebut tidak berarti bahwa tidak ada narkotika di Indonesia. Di seluruh dunia tidak ada satu negara pun yang bebas narkoba. Semua negara sedang bermasalah dengan narkoba termasuk Indonesia. Jadi yang dimaksudkan dengan bebas narkoba 2015 adalah kita mampu menekan pertumbuhan angka rata-rata penyalahgunaan narkoba di bawah 2,8 %. Di tahun 2015 kita berusaha mencegah angka tersebut mencapai 5,1 juta orang pada tahun itu pengaturan narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika bertujuan untuk menjamin

(17)

ketersedian guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.6

Berdasarkan data dari Dit. Narkotika Lampung , jumlah pecandu Narkotika di Lampung sendiri terbilang cukup banyak. Di tahun 2012 ada 263 orang Pecandu Narkotika di Bandar Lampung, jumlah ini yang terbesar dari Kabupaten/kota yang ada di Lampung. Terbanyak kedua yaitu di Lampung Selatan yaitu ada 207 pecandu Narkotika, Lampung Tengah ada 59 orang, Lampung Timur ada 52 orang, Lampung Utara 50 orang, Kota Metro 49 orang , Tanggamus 49 orang, Tulang bawang ada 32 orang, Way Kanan 23 orang, Lampung Barat 15 orang, dan Pesawaran tidak ada pecandu narkotika.7 Bila dikaitkan dengan data tersebut, yang menjadi masalah yaitu ruang tahanan dan pemenjaraan masih dipenuhi penyalah guna dan pecandu narkotika atas tuduhan kepemilikan, pembelian, penguasaan, dan penyimpanan narkotika.

Pengguna narkotika dan psikotropika merupakan salah satu korban dari tindak pidana narkotika yang seharusnya mendapatkan perlindungan hak-hak sebagai korban, bukan justru dijadikan sebagai pelaku kejahatan yang diberikan sanksi pidana atau hukuman yang berat tanpa memperdulikan bahwa sesungguhnya mereka merupakan korban yang harus di lindungi hak-haknya sebagai korban suatu tindak kejahatan. Pengguna narkoba tidak lagi dimasukkan ke penjara melainkan ke panti rehabilitasi hingga terbebas dari ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang tersebut. penjara tidak memberikan efek jera bagi para pengguna narkoba tetapi justru membuat para korban lebih parah.

6

Majalah KOMUNIKA. “Dunia Indah Tanpa Narkoba” edisi 8 Tahun VIII, April 2012 hlm. 8

7

(18)

4

Ruang tahanan dan penjara masih dipenuhi penyalahguna dan pecandu narkotika atas tuduhan kepemilikan, pembelian, penguasaan, dan penyimpanan narkotika. Penahanan dan pemenjaraan pengguna narkotika berdampak sosial, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan untuk masa depan pengguna narkotika. Selain itu mengakibatkan terjadinya kelebihan kapasitas, penghukuman yang kejam karena membiarkan tahanan kesakitan akibat ketergantungan narkotika, percampuran antara pengguna dengan pengedar atau dengan pelaku kriminal lain, maraknya peredaran gelap narkotika, penyebaran penyakit menular seperti HIV karena penggunaan jarum suntik bergantiaan. 8

Para pengguna narkoba adalah korban sehingga harus mendapatkan rehabilitasi yang tepat hingga sembuh, penjara justru membuat mereka semakin tergantung dengan obat-obatan terlarang tersebut. Sedangkan bandarnya, bakal mendapatkan hukuman berat dipenjara Dengan demikian, pada saat mereka terlepas dari panti rehabilitasi para pengguna tersebut bisa kembali ke masyarakat secara normal dan bisa mengoptimalkan kemampuannya.9

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Disamping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.

8

http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2012/01/31/295383/284/1/PHBI_Tolak_Penyalah_G una_Narkotika_Masuk_Penjara diakses pada 22 November 2012 10:46 WIB

9 m.antarakalsel.com/berita/7977/pengguna-narkoba-tidak-di-penjara—d 24 Agustus 2012 17:48

(19)

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mewajibkan kepada pencandu narkotika yang sudah cukup umur atau orang tua/wali dari pencandu narkotika yang belum cukup umur untuk melapor kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sebagai amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tersebut, maka pada tanggal 18 April 2011, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pencandu Narkotika. Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, maka ada suatu kewajiban bagi pecandu narkotika untuk melaporkan diri dan menjalani rehabilitasi, termasuk terpidana pecandu narkotika.10

Upaya untuk menempatkan pengguna narkotika sebagai pihak yang harus dipulihkan dari akibat penggunaan narkotika semakin menguat. Namun upaya tersebut terbentur dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan sistem hukum yang berlaku. Sampai saat ini pengguna narkotika baru berhak mendapatkan rehabilitasi setelah mendapatkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Walaupun dalam perkembangannya sedang dilakukan upaya menempatkan pengguna narkotika ke dalam tempat rehabilitasi selama menjalani proses hukum, tapi masih terdapat ganjalan permasalahan bahwa

10

(20)

6

korban narkotika harus menjalani proses hukum yang begitu panjang untuk mendapatkan kejelasan rehabilitasi.11

Berdasarkan latar belakang tersebut, hal yang menjadi perhatian khusus dalam Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika ini adalah terkait dengan pelaporan serta monitoring dan evaluasi. Dengan dimaksudkan agar pelaksanaan wajib lapor dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Serta pelaksanaan rehabilitasi selama proses hukum bagi pecandu yang seharusnya menjadi bagian utama dalam kebijakan nonpenal bagi pecandu narkotika khususnya di Lampung, kemudian apakah dalam pelaksanaannya tersebut mengalami hambatan. Jika memang ada hambatan dalam pelaksanaannya, apa saja yang menjadi hambatan tersebut, apakah sulit dalam pelaksaannya, tidak terlaksanannya suatu peraturan perundang-undangan yang telat di buat, ataukah para aparatur hukum yang tidak mengetahui tentang adanya peraturan pelaksanaan tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil judul : Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

11

(21)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Rumusan Masalah

a. Bagaimanakah prosedur dan tahapan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung ?

b. Apakah faktor penghambat dalam pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup proposal ini adalah pelaksanaan wajib lapor yang dilakukan pecandu narkotika dan pelaksanaan kinerja para IPWL dan penegak hukum dalam penanganan penyalahgunaan narkotika dengan jalan rehabilitasi yang telah diwajibkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika yaitu di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Lampung dengan prosedur wajib lapor yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 dan didukung Keputusan Menteri kesehatan Nomor: 1305/MENKES/SK/VI/2011 Tentang Penunjukan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui prosedur-prosedur dan tahapan pelaksanaan wajib lapor para pecandu narkotika berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pencandu Narkotika.

(22)

8

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi dua yaitu : a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk mengetahui efektifitas suatu produk perundang-undangan, dimana suatu produk hukum tersebut dapat tercapai apa yang menjadi tujuannya atau tercapai namun tidak seperti yang menjadi tujuannya atau bahkan tidak tercapai tujuannya sama sekali . kemudian berguna juga untuk menjadi pengembangan ilmu dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. b. Kegunaan Praktis

1. Penelitian ini mengkaji pelaksanaan dan pihak-pihak terkait wajib lapor penyalahgunaan narkotika sehingga jelas dalam penerapan peraturannya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi semua pihak dalam hal memahami pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika sehingga dapat menerapkan kebijkan yang telah dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 dan bagi semua pihak ikut berpartisipasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

a. Upaya Non Penal

(23)

kebijakan atau upaya – upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Sebaliknya apabila cara pengendalian lain (Social – Control), yaitu dengan cara menggunakan “Kebijakan Sosial” (Social Policy) tidak mampu mengatasi tindak pidana, maka jalan yang dipakai melalui kebijakan “Penal” (Kebijakan Hukum Pidana) .12

Batas – batas yang dimungkinkan perlindungan terhadap hak–hak asasi warga masyarakat Indonesia, terhadap beberapa prinsip yang terkandung dalam Undang-undang Narkotika adalah : 13

1) Bahwa Undang-undang narkotika juga dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai – nilai sosial dasar prilaku hidup masyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah Negara Pancasila.

2) Bahwa Undang-undang narkotika merupakan satu-satunya produk hukum yang membentengi bagi pelaku tindak pidana narkotika secara efektif. 3) Dalam menggunakan produk hukum lainnya, harus diusahakan dengan

sungguh – sungguh bahwa caranya seminimal mungkin tidak mengganggu hak dan kewajiban individu tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan masyarakat yang demokrasi dan modern.

Berdasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam perinsip hukum tersebut, maka dapat dipahami bahwa apabila masih ada cara lain untuk mengendalikan sosial, maka penggunaan hukum pidana dapat ditiadakan, upaya ini disebut sebagai upaya “non-penal”.

Penanggulangan penyalahgunaan narkoba diperlukan upaya yang terpadu dan komprenhensif yang meliputi upaya preventif, represif, terapi dan rehabilitasi.

12

Barda Nawawi Arief, 2002 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Prenada Media Group : Jakarta hlm. 21

13

(24)

10

Penanggulangan dilakukan bukan saja oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat. Dalam upaya penanggulangan kejahatan narkoba yang merajalela, pemerintah telah melakukan pendekatan yang integral salah satunya upaya nonpenal.

Upaya non penal ini lebih condong kearah pencegahan terhadap timbulnya suatu kejahatan dengan melalui pendekatan non penal yang adalah pendekatan terhadap kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan. Upaya non penal yang dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulangan bahaya narkoba antara lain melalui treatment dan pengobatan berbasis rehabilitasi bagi para pecandu dengan melakukan program wajib lapor pecandu narkotika.

Selanjutnya rehabilitasi dilakukan dengan beberapa tahap pengobatan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 420/ MENKES/ SK/III/ 2010 Tentang Pedoman Layanan Terapi Dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit yaitu :

1. Pra pengobatan berlangsung 1-3 minggu

2. Rehabilitasi Jangka Pendek (Short Term), rehabilitasi jangka pendek ini berlangsung antara 1-3 bulan dan Rehabilitasi Jangka Panjang (Long term) yang berlangsung enam bulan atau lebih.

3. Tahap sekunder , tahap ini berlangsung 3-12 bulan. 4. Tahap Aftercare (12-18 bulan)

5. Evaluasi Pengobatan

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

(25)

a. Faktor hukum itu sendiri

b. Faktor penegak hukum,yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. Fakto sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya,cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergulatan hidup.14

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang hendak diteliti.15 Beberapa pengertian yang dipergunakan dalam penelitian ini perlu dipahami bersama karena bersifat dasar atau pokok. Adapun konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Analisis : analisis adalah penelitian suatu peristiwa atau kejadian(karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb); penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yg tepat dan pemahaman arti keseluruhan;16

2. Pelaksanaan : Proses, cara perbuatan melaksanakan (rancangan keputusan dan sebagainya).17

3. Wajib lapor : Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau

14

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta, Rajawali, 1986, halm:3

15

Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press.Jakarta hlm 132.

16

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (2001), hlm 156

17

(26)

12

keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.18

4. Pecandu narkotika : Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. 19

E. Sistematika Penulisan

I. PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, yaitu alasan di angkatnya suatu masalah dalam hal ini adalah mengenai latar belakang dilakukannya wajib lapor pecandu narkotika, kemudian rumusan masalah dilakukannya penelitian serta adapun tujuan dan kegunaan penelitian yang dipaparkan di bab ini agar dapat tercapai sebagaimana mestinya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisi penjelasan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan narkotika, peraturan perundang-undangan dan penjelasan-penjelasan lain dari buku-buku referensi, opini dan ahli hukum dalam studi mengenai tindak pidana narkotika .

18

pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika

19

(27)

III. METODE PENELITIAN

Menjelaskan metode apa saja yang diterapkan dalam melakukan penelitian hukum, prosedur-prosedur penelitian, pengumpulan data sehingga dapat mempermudah dalam menganalisis obek penelitiannya.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Memaparkan hasil penelitian yang selanjutnya dianalisis dengan sumber-sumber informasi yang didapat dan bagaimana pelaksanaan dilapangan, apakah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku atau tidak.

V. PENUTUP

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Narkotika dan Perbedaan Antara Pengguna, Pecandu, Penyalahguna Dan Korban Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Istilah narkotika bukan lagi istilah asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya berita baik dari media cetak maupun elektronik yang memberitakan tentang penggunaan nerkotika dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya. Narkotika, menurut keterangan/penjelasan dari Merriam-Webster1 adalah :

A drug (as opium or morphine) that in moderate doses dulls the senses, relieves pain, and incudes profounds sleep but in excessive doses causes stupor, coma, or convulsions:

Sebuah obat bius (seperti opium atau morfin) yang dalam dosis tertentu dapat menumpulkan indra, mengurangi sakit, dan mendorong tidur, tetapi dalam dosis berlebihan menyebabkan pingsan, koma, atau kejang.

Narkotika ialah suatu obat yang merusak pikiran menghilangkan rasa sakit, menolong untuk dapat tidur dan dapat menimbulkan kecanduan dalam berbagai tingkat. Narkotika dan Psikotropika merupakan salah satu obat yang dibutuhkan kesehatan untuk pengobatan suatu penyakit, tetapi kadang menyebabkan efek

1

(29)

samping misalnya kecanduan, kerusakan organ tubuh, bahkan kematian. Menurut Farmakologi, narkoba termasuk zat atau obat yang bekerja disusunan saraf.2

Pengertian narkotika yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai berikut :

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman , baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.

Narkotika dan psikotropika merupakan hasil proses kemajuan tekhnologi yang selanjutnya berkembang dalam norma sosial untuk dipergunakan guna kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Terjadinya fenomena penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika dan narkotika, maka diperlukan tindakan nyata untuk pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika dan narkotika tersebut.3

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika memberikan pengertian psikotropika adalah obat atau zat alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh efektif pada susunan saraf ypusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa antara narkotika dan psikotropika adalah berbeda, walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu mendasar dan pada umumnya masyarakat juga kurang memahami adanya perbedaan tersebut. Zat Narkotika bersifat menurunkan bahkan menghilangkan kesadaran seseorang

2

http://www.anakciremai.com/2008/04/created-nina-eliyana-school-lp2k-satya.html diakses pada 4 Oktober 2012 pukul 20.01 wib

3

(30)

16

sedangkan zat psikotropika justru membuat seseorang semakin aktif dengan pengaruh dari saraf yang ditimbulkan oleh pemakai zat psikotropika tersebut. Narkotika dan Psikotropika cendrung disamakan dalam pergaulan sehari – hari. Masyarakat lebih mengenal pada zat tersebut sebagai narkoba (narkotika dan obat – obat terlarang / psikotropika) atau NAPZA. Narkoba menurut proses

pembuatannya terbagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu :

a. Alami, adalah jenis zat / obat yang diambil langsung dai alam, tanpa ada proses fermentasi, contohnya : Ganja, Kokain dan lain – lain

b. Semi Sintesis, jenis zat / obat yang diproses sedemikian rupa melalui proses fermentasi, contohnya : morfein, heroin, kodein, crack dan lain – lain.

c. Sintesis, merupakan obat zat yang mulai dikembangkan sejak tahun 1930-an untuk keperluan medis dan penelitian digunakan sebagai penghilang rasa sakit (analgesik) dan penekan batuk (Antitusik) seperti :amphetamine, deksamfitamin, pethadin, meperidin, metadon, dipopanon, dan lain – lain. Zat / obat sintesis juga dipakai oleh para dokter untuk terapi bagi para pecandu narkoba.

Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1 yaitu:

a) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b) Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

(31)

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

2. Perbedaan Antara Pengguna, Pecandu, Penyalahguna Dan Korban Narkotika

Menurut kamus bahasa Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang

menggunakan, bila dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Narkotika maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna Narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.

1. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis4 . Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum5

2. Penyalahgunaan adalah penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) yang sudah bersifat patologis, dipakai secara rutin (paling tidak sudah berlangsung selama satu bulan), terjadi penyimpangan perilaku dan gangguan fisik di lingkungan sosial.6

3. Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam

4

Pasal 1 angka 13 Undang-undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika

5

Pasal 1 angka 15 Undang-undang No.. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika

6

(32)

18

untuk menggunakan narkotika. 7 Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis8

B. Upaya Nonpenal

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah “politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.P.

Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan9 :

a. Penerapan hukum pidana ( criminal law application) penerapan Pasal 354 KUHP dengan hukuman maksimal yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan maupun putusannya.

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) Contohnya : dengan menerapkan hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung memberikan prevensi (pencegahan) kepada publik walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock therapy kepada masyarakat, dan

c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media ( influencing views of society on crime and punishment/ mass media) Contohnya : mensosialisasikan suatu undang-undang dengan memberikan gambaran tentang bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya.

Upaya pencegahan kejahatan dapat berarti menciptakan suatu kondisi tertentu agar tidak terjadi kejahatan. Pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang lingkup kekerasan dari suatu pelanggaran baik melalui pengurangan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang

7

Penjelasan Pasal 54 Undang-undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika

8

Penejelasan Pasal 58 No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika 9

(33)

potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Penanggulangan kejahatan dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas, maka pemerintah beserta masyarakat sangat berperan.

Bagi pemerintah adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.10 Peran pemerintah yang begitu luas, maka kunci dan strategis dalam menanggulangi kejahatan meliputi, ketimpangan sosial, diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan di antara golongan besar penduduk. Bahwa upaya penghapusan sebab dari kondisi menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar. Secara sempit lembaga yang bertanggung jawab atas usaha pencegahan kejahatan adalah polisi. Namun karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi telah mengakibatkan tidak efektifnya tugas mereka.

Lebih jauh polisi juga tidak memungkinkan mencapai tahap ideal pemerintah, sarana dan prasarana yang berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan.

Upaya penanggulangan tindak pidana atau yang biasa dikenal dengan politik “

Politik Kriminal “ dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas yakni penerapan

hukum pidana, pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kesejahtraan dan kepidanaan lewat media masa. Dalam hal tersebut dapat dipahami upaya untuk mencapai kesejahteraan melalui aspek

10

(34)

20

penanggulangan secara garis besarmya dapat dibagi menjadi 2 (dua) jalur yaitu : lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “ non penal ” (bukan / di luar

hukum pidana).

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan

terjadi. Sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventif”

(pencegahan / penangkalan / pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan refresif pada hakekatnya Undang-undang dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 11

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “nonpenal” lebih bersifat

tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. 12

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan “penal”. Oleh karena itu harus ditunjang dengan jalur “nonpenal”. Salah satu jalur “nonpoenal” untuk mengatasi masalah-masalah social adalah lewat jalur “kebijakan sosial”. Kebijakan social pada dasarnya

11

Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni: Bandung hlm. 118

12

(35)

adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 13

Upaya-upaya nonpenal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakata lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya nonpenal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efek-preventif. Perlunya sarana nonpenal diintensifkan dan diefektifkan, juga karena masih diragukan atau dipermasalahkan efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal. Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan, efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya.14

Upaya nonpenal terhadap upaya penanggulangan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan narkotika sangat penting untuk dilakukan sedini mungkin sebab mencegah tentunya lebih baik dari pada mengobati, dalam arti bahwa upaya pencegahan lebih baik, murah, dan lebih hemat biaya dari pada upaya lainnya. Selain itu juga menjadi upaya strategis untuk meniadakan resiko.

Pencegahan adalah upaya untuk membantu individu menghindari memulai atau mencoba menyalahgunakan narkotika dan psikotropika, dengan menjalani cara dan gaya hidup sehat, serla mcngubah kondisi kehidupan yang membuat individu mudah terjangkit penyalahgunaan narkotika. Sejarah penyalahgunaan narkotika di dunia menunjukkan bahwa jenis narkotika dan psikotropika (narkoba) yang disalahgunakana berubah dari masa ke masa, dahulu jenis narkotika, sekarang jenis amfetamin yang banyak disalahgunakalan dan berada dari kawasan satu ke

13ibid.

hlm. 44

14Ibid

(36)

22

kawasan lainnya, tetapi yang paling penting adalah bahwa penyalahgunaan narkotika menunjukkan peningkatan tajam dimanapun diseluruh dunia.

Upaya nonpenal dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika juga perlu dilakukan terhadap anak (dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan). Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa anak seringkali dijadikan sebagai target bagi jaringan narkotika untuk menggunakan atau mengedarkan narkotika, apalagi dengan jiwa muda mereka yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru.

Di beberapa negara, muncul paradigma baru dalam memandang pengguna/pecandu Narkoba yang tidak lagi dipandang sebagai perilaku jahat (kriminal) tetapi sebagai orang yang pengidap penyakit kronis yang harus mendapatkan perawatan dan pemulihan secara bertahap. Paradigma ini selanjutnya menciptakan kebijakan baru dalam menangani korban pengguna Narkoba yang tidak lagi diproses secara hukum, tetapi langsung membawa pengguna/pecandu ke pusat rehabilitasi. Dengan kata lain paradigma ini mengarah pada upaya dekriminalisasi bagi pengguna Narkoba.15

Melihat perkembangan pecandu Narkoba di beberapa negara terjadi

kecenderungan terus mengalami perubahan. Pada tahun 1980-an, tren kebijakan

global mengarah pada pendekatan kriminalisasi yang lebih keras, bahkan di

15

(37)

tingkat pengguna. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pembuat kebijakan obat

dunia telah berusaha untuk merumuskan dan merekomendasi kebijakan tentang

bagaimana cara terbaik untuk mengelola masalah yang berhubungan dengan

Narkoba secara eksklusif berdasarkan alasan empiris, salah satunya dengan cara

dekriminalisasi atau depenalisasi terhadap pecandu Narkoba. Meskipun begitu,

kedua istilah tersebut memiliki bentuk kerja berbeda.

C. Faktor-Faktor Penegakan Hukum

Hakikatnya hukum dibuat untuk dilakasanakan. Karena itu ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum tidak dapat lagi disebut hukum apabila tidak dilaksanakan16. Maka dari itu proses pelaksanaan hukum menjadi sesuatu yang mulak bagi setiap negara yang menyebut diri sebagai Negara hukum.

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang di jabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergulatan hidup17 . Meskipun pelaksanaan atau penegakan hukum menjadi sesuatu yang wajib dilakukan, tetapi penegakan hukum bukanlah sekedar menegakkan mekanisme formal dari suatu aturan hukum. Para pelaksana hukun juga harus tetap menyertakan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum, agar tercapi sebuah tujuan hukum seperti yang di cita-citakan.

16

Jawahir Thontowi S.H., Ph.D.,pengantar ilmu hukum. Jogjakarta, Pustaka Fahima: halm.179

17

(38)

24

Melihat dari pernyataan di atas, selanjutnya Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi hukum tersebut.faktor-faktor tersebut ialah:

1. Faktor hukum itu sendiri

2. Faktor penegak hukum,yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Fakto sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya,cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergulatan hidup18.

Hal ini sedikit beda dengan apa yang di sampaikan Jawahir Thontowi S.H., Ph.D. karena beliau menambahkan lembaga hukum yang sebenarnya bisa di masukkan ke dalam dua hal faktor-faktor penegakan hukum diatas, antar penegak hukum dan masyarakat.

Faktor Hukum Dalam kenyataan penegakan hukum, adakalanya terjadinya pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum. Keadilan merupakan seatu yang abstrak, sedangkan kepatian hukum merupakan suatu prosedur yang telah di tentukan secara normatif. Jika kita ingin menelaah lebih lanjut, sebenarnya segala tindakan atau kebijakan yang dilakukan tanpa melanggar hukum akan dapat di ketegorikan sebagai sebuah kebajikan. Karena sesungguhnya penyelenggaraan hukum bukan hanya merupakan sebuah penegakan hukum dalam kenyataan tertulis saja,akan tetapi juga harus mengandung penyerasian antara nilai kaedah dan pola prilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan keadilan.

18

(39)

Aparat penegak hukum merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum, tanpa mereka hukum sulit tercapai, meski dengan keberadaanya hukum hanya dalam posisi mungkin bisa tercapai. Ini bukan hanya tentang permasalahan ada atau tidaknya penegak hukum, tapi baik atau tidaknya kualitas penegak hukum akan sangat mempengaruhi kualitas hukum. Polisi, Jaksa, dan Hakim merupakan aparat penegak hukum di indonesia, tapi lihat saja bagaimana kinerja tiga aparat penegak hukum di negara kita ini. Jika masih seperti ini, maka kualitas hukum yang terjadi di Indonesia tidak akan berubah menjadi baik, dan mungkin akan semakin terpuruk ketika para Markus (makelar kasus) menjadi sahabat para penegak hukum.

Faktor sarana atau fasilitas pendukung Fasilitas bukan hal yang asing lagi sebagai sarana pendukung, ini memang merupakan hal yang juga menentukan terhadap pelaksanaan hukum. Tanpa sarana atau fasilitas, penegakan hukum akan mengalami sedikit kendala. Tapi uniknya kadang faktor pendukung ini di jadikan sebagai faktor utama dalam keikutsertaan para aparat hukum dalam mengabdi pada negara,sehingga sekarang bisa dilihat sendiri hasilnya.

(40)

26

Di Indonesia kesadaran masyarakat terhadap hukum sangat jarang sekali di temui, pelaksanaan hukum masih terpaku pada menonjolnya sikap apatis serta menganggap bahwa penegakan hukum merupakan urusan aparat penegak hukum semata dan tidak berangkat dari kesadaran masyarakat. Faktor kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu menagatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya kalau mereka tak berhubungan dengan orang lain.19 Dengan demikian kebudayaan adalah suatu garis pokok yang menentukan peraturan dan menetapkan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.

D.Rehabilitasi Medis dan Sosial Bagi Pecandu Narkotika

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mewajibkan kepada pencandu narkotika yang sudah cukup umur atau orang tua/wali dari pencandu narkotika yang belum cukup umur untuk melapor kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sebagai amanat dari ketentuan di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tersebut, maka pada tanggal 18 April 2011, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pencandu Narkotika.

19

(41)

Pengertian rehabilitasi narkoba adalah sebuah tindakan represif yang dilakukan bagi pencandu narkoba. Tindakan rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk memulihkan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan atau perawatan bagi para pecandu narkotika, agar para pecandu dapat sembuh dari kecanduannya terhadap narkotika.

Bagi pecandu narkoba yang memperoleh keputusan dari hakim untuk menjalani hukuman penjara atau kurungan akan mendapatkan pembinaan maupun pengobatan dalam Lembaga Permasyarakatan. Dengan semakin meningkatnya bahaya narkotika yang meluas keseluruh pelosok dunia, maka timbul bermacam-macam cara pembinaan untuk penyembuhan terhadap korban penyalahgunaan narkotika. Dalam hal ini adalah rehabilitasi.

Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi dibedakan dua macam, yaitu meliputi:

a. Rehabilitasi Medis

(42)

28

diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

b. Rehabitasi Sosial

Rehabitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan bekas pecandu narkotika disini adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis.

Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dapat dilakukan di lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial, Yaitu lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Tindakan rehabilitasi ini merupakan penanggulangan yang bersifat represif yaitu penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana, dalam hal ini narkotika, yang berupa pembinaan atau pengobatan terhadap para pengguna narkotika. Dengan upaya-upaya pembinaan dan pengobatan tersebut diharapkan nantinya korban penyalahgunaan narkotika dapat kembali normal dan berperilaku baik dalam kehidupan bermasyarakat. 20

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 telah memberikan sebuah panduan bagi hakim untuk menempatkan pecandu narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Yang menjadi pokok pertimbangan adalah roh atau semangat dari Undang-undang nomor 35 tahun 2009 dengan adanya pasal 54 Undang-undang nomor 35 tahun 2009 adalah

20

(43)

mengakui pecandu narkotika sebagai pesakitan dan melindungi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika tersebut dengan menempatkannya dilembaga rehabilitasi medis dan sosial, maka SEMA RI Nomor 4 tahun 2010 mengakui bahwa: 21

1. Sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan, mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit. Oleh karena itu, memenjarakan para pemakai atau korban penyalahgunaan narkoba bukanlah sebuah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan;

2. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang tidak mendukung. Dampak negatif keterpengaruhan oleh prilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika.

E. Pengaturan tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika

Indonesia telah memiliki sebuah undang-undang yang mengatur masalah penyalahgunaan narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika tersebut dicantumkan ancaman hukuman yang berat bagi produsen, penyimpan dan pengedar narkotika, bahkan hingga ancaman hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Namun demikian, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juga berusaha melindungi para korban penyalahgunaan

21

(44)

30

narkotika dengan memberikan mereka kesempatan untuk menjalani rehabilitasi sosial dan rehabilitasi medis agar dapat terbebas dari belenggu narkotika.22

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mewajibkan kepada pencandu narkotika yang sudah cukup umur atau orang tua/wali dari pencandu narkotika yang belum cukup umur untuk melapor kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sebagai amanat dari ketentuan di Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, maka pada tanggal 18 April 2011, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pencandu Narkotika.

Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pencandu Narkotika tersebut menegaskan kewajiban para pencandu dan orang tua pencandu di bawah umur untuk melapor kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Prinsip pelaksanaan wajib lapor sesuai Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pencandu Narkotika adalah sebagai berikut:

1. Pecandu narkotika yang datang pada IPWL diperlakukan sebagaimana pasien pada umumnya.

2. Dilakukan assesmen terhadap pencandu narkotika dengan cara melakukan wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik dan psikis sang pencandu narkotika.

3. Asesmen tersebut bersifat komprehensif, mencakup pengkajian masalah medis, riwayat penggunaan Napza (tidak hanya narkotika), riwayat

22

(45)

sosial/keluarga, riwayat pekerjaan/dukungan dan riwayat psikiatris. Formulir asesmen adalah modifikasi Addiction Severity Index yang dikembangkan McLellan et al (1981) yang sudah memperoleh ijin untuk modifikasi. Penggunaan formulir ini dilakukan pada lebih dari 30 negara di dunia.

4. Karena sifatnya yang komprehensif, proses asesmen dan penyusunan rencana terapi menghabiskan waktu minimal 1 jam

5. Selesai asesmen, akan dilakukan urinalisis, konseling adiksi Napza dan psikofarmakoterapi (bila perlu).

6. Semua proses penerimaan wajib lapor di atas ditanggung oleh APBN 7. Terapi lanjutan (rehabilitasi) merupakan hal yang ditanggung oleh pasien

itu sendiri, kecuali mereka yang memiliki kartu jamkesmas atau jaminan sosial lain yang berlaku di daerahnya.

Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1305 tahun 2011 tentang Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang bertugas antara lain untuk menerima pelaporan pencandu narkotika dan melaksanakan tugas dan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pencandu Narkotika. Melalui SK tersebut telah ditunjuk 129 fasilitas kesehatan di bawah Kemenkes dan dua fasilitas Badan Narkotika Nasional yang tersebar di semua Provinsi di seluruh Indonesia untuk menjadi Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) . Fasilitas kesehatan yang dimaksud termasuk RSUD, RSKO, RSJ, Poliklinik, dan Puskesmas.

Terdapat tujuh Insitusi Penerima Wajib Lapor Pecandu Narkotika di Provinsi Lampung yaitu23 :

1. Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung 2. Rumah Sakit Daerah Abdul Moeloek

3. Puskesmas Rawat Inap Kedaton

4. Puskesmas Rawat Inap Sukaraja/ Panjang 5. Puskesmas Metro

6. Puskesmas Kota Bumi II Lampung Utara 7. Puskesmas Rajabasa Indah

23

(46)

32

Penetapan sebuah panti rehabilitasi sosial di Provinsi Lampung yang ditunjuk adalah Yayasan Sinar Jati : Jl. Marga no. 200 Sumberejo Kemiling, B.Lampung.24 Penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagi berikut25 :

1) Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan;

2) Pada saat tertangkap tangan , ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :

a. Kelompok Methampethamine (shabu) : 1 gram; b. Kelompok MDMA (ecstacy) : 2,4 gram/ 8 butir; c. Kelompok heroin : 1,8 gram;

d. Kelompok kokain : 1,8 gram; e. Kelompok ganja : 5 gram; f. Daun koka : 5 gram; g. Meskalin : 5 gram;

h. Kelompok psilosybin : 3 gram;

i. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram; j. Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram;

k. Kelompok Fentanil : 1 gram; l. Kelompok Metadon : 0,5 gram; m. Kelompok Morfin : 1,8 gram; n. Kelompok Petidine : 0, 96 gram; o. Kelompok Bufrenorin : 32 mg.

3) Surat Uji Laboratorium Positif menggunakan Narkoba berdasarkan permintaan penyidik;

4) Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang perlu ditunjuk oleh hakim;

5) Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Penempatan penahanan bagi Pecandu Narkotika telah diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2011 sebagai berikut :

(1) Pecandu Narkotika yang telah melaksanakan Wajib Lapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib menjalani rehabilitasi medis dan/atau

24

Keputusan Menteri Sosial no. 31/HUK/2012 Tentang Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban pecandu Narkotika sebagai IPWL

25

(47)

rehabilitasi sosial sesuai dengan rencana rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

(2) Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Pecandu Narkotika yang diperintahkan berdasarkan:

a. putusan pengadilan jika Pecandu Narkotika terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;

b. penetapan pengadilan jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

(3) Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. (4) Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter.

(5) Ketentuan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika.

(48)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan yuridis normatif dan

yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif merupakan upaya memahami

persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapanganatau kajian ilmu

hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah untuk memperoleh

kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang

ada atau studi kasus .1

B. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data sekunder

(secondary data) dan data primer (primary data).

1. Data primer

Data Primer ialah data yang diperoleh langsung dari masyarakat, melalui

penelitian dilapangan dengan mengumpulkan data dan wawancara dalam hal ini

dilakukan di Rumah Sakit Jiwa .2

1

Soerjono Soerkanto, 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press.Jakarta

hlm.41

2

(49)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan

dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah

tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan di

perpustakaan, atau milik pribadi.3

Data sekunder mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier.4 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri

dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari :

1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,

seperti :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib

Lapor Pecandu Narkotika

2. Keputusan Meteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1305/MENKES/SK/VI/2011 Tentang Institusi Penerima Wajib Lapor

3. Keputusan Menteri Sosial Nomor 31/HUK/2012 Tentang Lembaga

Rehabilitasi Korban pecandu Narkotika sebagai Institusi Penerima Wajib

Lapor

3

Hilman Hadikusuma, 1995 Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju:Bandung hlm. 65

4

Soerjono Soekanto 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

(50)

36

4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 420/ MENKES/ SK/III/2010 Pedoman Layanan Terapi Dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan Napza Berbasis Rumah Sakit.

rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

hukum, dan seterusnya.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hokum primer dan sekunder. Contoh : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus

Istilah Narkotika, Majalah Komunika, ensiklopedia, dan seterusnya.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik

tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian tersebut diatas

maka yang menjadui populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pihak yang

terkait dalam pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika, baik dari pihak

Rumah Sakit Jiwa Daerah yang telah di tunjuk sebagai salah satu Institusi

Penerima Wajib Lapor maupun para Aparat Penegak Hukum yang ikut terlibat

langsung dalam pelaksanaan rehabilitasi. 5

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari

populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam

5

(51)

penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih

berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian .6 Berdasarkan pengertian

diatas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah :

a. Dokter Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Lampung : 2 Orang

b. Polisi Direktorat Reserse Narkotika Polda Lampung : 2 Orang +

Total 4 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian

kegiatan seperti membaca, menelaah, dan mengutip dari buku-buku

literatur yang terkait dengan wajib lapor dan narkotika, serta melakukan

pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait

dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan

wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha

mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai

dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

6

(52)

38

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah

diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data

dilakukan dengan tahap sebagai berikut :

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan

dan selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti

dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut

kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang

benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada

subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari

penelitian lapangan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif

kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data

yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya,

kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum

yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas

permasalahan yang dirumuskan.7

7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dalam rangka penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP DIY) dalam

11 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka Dan/ Atau Terdakwa Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.Sekalipun

BAB III adalah bab yang berisi mengenai kebijakan rehabilitasi dan pelaksanaan pada proses penegakan hukum (studi kasus di Badan Narkotika Nasional Propinsi Jawa

Melihat dari faktor penyebab orangtua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur tidak melapor kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di Badan Narkotika Nasional (BNN)

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, bagi Dokter, Rumah Sakit atau Lembaga rehabilitasi lainnya yang sedang melakukan rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi

Hambatan internal dalam melaksanakan rehabilitasi, adalah kurangya sumber daya manusia dari Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di karenakan yang berhak menambah