ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
(Studi Kasus Relokasi Pedagang Tradisional ke Pasar Tejoagung Kota Metro)
Skripsi
Oleh,
BUDI PRANOTO
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ABSTRACT
THE ANALYSIS OF PUBLIC POLICY FORMULATION
(A CASE STUDY OF KOPINDO TRADITIONAL TRADER RELOCATION TO TEJOAGUNG MARKET IN METRO CITY)
By
BUDI PRANOTO
The background of this research was coming from the relocation of traditional market of Kopindo; which is done by local government of Metro City. The relocation deemed necessary by the local government because the sidewalks; that initially for pedestrian; has converted into a stall trade by traditional trader. The trader of traditional market of Kopindo will be relocated to Tejoagung market. However, this action considered harmful to the trader because the new place (Tejoagung market) is quiet; there are few buyers in this new place. The complaints from the traders are inevitable. The questions arise; how is the public policy formulation in deciding the new location for relocation to Tejoagung market? Who is the actor who takes benefits from traditional market relocation plan to new location of Tejoagung market?
The aims of this research are (1) to describe the process of formulating the public policy in determining the new location for relocation of Kopindo traditional market to Tejoagung market; and (2) to observe the actor who takes benefits from traditional market trader relocation plan to new location of Tejoagung market? The descriptions of the aims of the research are expected to give more information about the shortcomings in this policy that cause refusal from the traditional trader of Kopindo. The method of this research is descriptive qualitative method. The researcher used data taken directly from observations of the relocation location which is in Tejoagung market.
The traders refuse to be relocated to Tejoagung market because the place is quiet, only few buyers in this new place, their incomes are drastically decrease. The traditional traders decided to stay in sidewalks of previous location in Kopindo traditional market. Researcher concluded that there is a mistake, or might be an error before the realization of this policy; that is in the process of policy formulation. Policy formulation for relocation should involve the policy target, which is the traditional trader of Kopindo. But in this case, local government did not involve them in formulating the policy. The actors that involve in policy formulation for relocation are merely the local government.
Budi Pranoto
ABSTRAK
ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
(STUDI KASUS RELOKASI PEDAGANG TRADISIONAL KE PASAR
TEJOAGUNG KOTA METRO)
Oleh
BUDI PRANOTO
Penelitian ini berangkat dari masalah relokasi pedagang yang dilakukan oleh pemerintah Kota Metro. Relokasi dirasa perlu dilakukan oleh pemerintah Kota Metro karena trotoar sebagai tempat berjalan pejalan kaki beralih fungsi menjadi
lapak berdagang. Relokasi akan dilakukan di Pasar Tejoagung yang dianggap merugikan karena sepi pembeli yang menimbulkan protes yang dilakukan oleh para pedagang. Maka, timbul pertanyaan Bagaimanakah proses formulasi kebijakan publik dalam penentuan lokasi Pasar Tejoagung? Dan Siapakah aktor yang diuntungkan dan rugikan dalam rencana relokasi pedagang tradisional ke Pasar Tejoagung?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Pendeskripsian tentang proses formulasi kebijakan publik dalam penentuan lokasi Pasar Tejoagung, dan (2) Melihat aktor yang diuntungkan dan dirugikan dalam rencana relokasi pedagang tradisional ke Pasar Tejoagung. Sehingga, dapat dilihat letak kekurangan dalam kebijakan ini yang menyebabkan penolakan dari para pedagang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Peneliti banyak menggunakan data yang diambil dari pengamatan terhadap lokasi reokasi yang menyebabkan terjadinya penolakan para pedagang untuk direlokasi.
Pedagang melakukan penolakan untuk direlokasi di Pasar Tejoagung karena sepi pembeli, sehingga pendapatan mereka menurun. Para pedagang memutuskan untuk tetap menempati trotoar untuk berdagang di pasar lama yang menjadi daerah target relokasi. Dari masalah tersebut, peneliti menyimpulkan ada kesalahan sebelum realisasi kebijakan, yaitu proses formulasi kebijakan. Relokasi kebijakan yang seharusnya melibatkan target kebijakan, tenyata tidak dilakukan dalam kebijakan ini. Aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan relokasi, hanya sektor pemerintah.
ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
(Studi Kasus Relokasi Pedagang Tradisional ke Pasar Tejoagung Kota Metro)
Oleh,
BUDI PRANOTO Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA
pada
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Purwosari, sebuah desa yang
sekarang menjadi kelurahan yang terletak di kecamata
Metro Utara Kota Metro pada tanggal 6 September 1990,
putra pertama dari 2 bersaudara pasangan Bapak Suprapto
dan Ibu Titik Sumiyati. Penulis mengawali pendidikan di
Taman Kanak-Kanak Dharma Putra Purwosari pada tahun
1995, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 1 Purwosari dikala
itu, yang sekarang menjadi SD Negeri 4 Metro Utara pada tahun 1996 dan lulus 6
tahun pelajaran kemudian pada tahun 2002. Kemudian melanjutkan ke jenjang
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 6 Metro dan lulus pada tahun 2005.
Dilanjutkan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Metro sampai
lulus pada tahun 2008. Penulis kemudian ikut dan lulus Seleksi Masuk Nasional
Perguruan Tinggi Negeri (SMNPTN) pada tahun 2008 dan diterima sebagai
mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Sekretaris Bidang Data dan
Informasi Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara (HIMAGARA) Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, serta tergabung dalam Ikatan
Mahasiswa Administrasi Negara Sumatra (IMANSTRA). Selama menjadi
mahasiswa penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial yang diadakan di
PERSEMBAHAN
Dengan semua kekurangan dan kelemahan penulis, dan dengan
mengucapkan “Alhamdulillahirobbil’alamin” kupersembahkan karya
sederhana ini untuk:
bapak dan ibuku tersayang
Terimakasih untuk kesabaran yang tak terhingga dan kasih sayang yang tak
ternilai, materi yang berkecukupan, dan telah memberikan segala sesuatunya
Untuk diriku dari masa kandungan sampai sekarang ini,
Adikku, minto agus prabowo
Yang secara tidak langsung memberikan semangat serta memberikan do’a sampai
akhir perjuangan study sarjana ku ini.
Semoga kebaikannya diberikan balasan rahmat dan hidayah dari
ALLAH SWT
SANWACANA
dengan mengucapkan syukur Alhadulillahirobbil’alamin penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT karena atas ridho, rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya
yang berlimpah untuk penulis, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Analisis Formulasi Kebijakan Publik (Studi Kasus Relokasi
Pedagang Tradisional ke Pasar Tejoagung)”, sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelas sarjana Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
Terwujudnya skripsi ini, telah melibatkan bantuan banyak pihak, sehingga dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan, penghormatan dan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Dedy Hermawan, S.Sos, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi
Negara dan juga sekaligus pembimbing utama, terimakasih atas segala
bimbingannya, kebaikan, perhatian dan waktu yang telah diberikan kepada penulis
dengan segala kritik dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Noverman Duadji, M.Si, selaku pembahas dan penguji yang telah
banyak memberikan krikikan dan saran serta semangat yang bermanfaat
kepada penulis sebagai upaya untuk memperbaiki kekurangan dan
3. Bapak Fery Triatmojo, SAN. MPA selaku pembimbing pembantu, terimakasih atas
bimbingannya, perhatian, kebaikan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis,
serta motivasi yang diberikan terus menerus yang sangat berarti bagi penulis.
4. Ibu Meiliyana, S.I.P, M.A, selaku pembimbing akademik, terimakasih atas semua
perhatiaannya, kebaikannya dan motifasinya yang sangat berarti bagi penulis.
5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip Unila yang telah
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.
6. Keluarga ku, Bapak, Ibu, Adik yang sangat kusayangi, terimakasih untuk semua
dukungan yang diberikan dan selalu menemani saat suka maupun duka. Serta
Bulek, Paklek, Bude, Pakde dan adik sepupu serta keponakan, terimakasih atas
kesabaran kalian dan dukungannya. Permohonan maaf kepada Bapak tercinta,
maaf karena tidak bisa memberikan kebahagian ini lebih cepat.
7. Teman-teman jurusan Ilmu Administrasi Negara angkatan 2007 serta teman
seperjuangan ASEPUDIN (Angkatan ke Sepuluh Ilmu Administrasi
Negara) Reza, Bayu, Irma, Susi Simbolon, Linda, Tiara, Rosta, Rahma,
Rima, Beni, Topan dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu
atas kenangan yang berharga. Kemudian kepada Step, Handri, Yesi, Intan
dan Nanda (kecil), yang selalu ada saat suka maupun duka sampai
penyelesaian skripsi ini, semoga hal ini tetap terjaga dan sukses untuk kita
semua.
8. Adik tingkat 2009, 2010 dan seterusnya atas pertemanan, candaan dan juga
dukungannya.
9. Teman teman sepermainan, Yan, Asep, Ferry, Adi Nug, Hamid, Efrijal,
semangat, candaan, keinsengan kalian yang membuat hari-hari lebih
bermakna.
10.Guru-guru serta Staf SMP Negari 1 Punggur atas dukungannya, serta semua
pihak yang pernah menjadi bagian dalam hidup penulis yang terus
memberikan semangat serta warna bagi penulis. Semoga kita semua
menjadi orang yang sukses.
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat beberapa
kekurangan, akan tetapi penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Metro, 28 September 2015
Penulis,
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Karya tulis saya, SkripsilLaporan akhir ini adalah asli dan belurn pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana/Ahli Madya), baik Universitas Lampung maupun di perguruan tingg lainnya.
Karya tulis ini murni gagasan, nmlusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarangnya dan dicanturnkan dalam daftar pustaka.
Pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh dari karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan notma yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.
Bandar Lampung, 23 September 2015 pernyataan,
Budi Pranoto NPM.081604t022 3.
i
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi ... i
Daftar Tabel ... iii
Daftar Gambar ... iv
PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penulisan ... 9
1.4 Manfaat Penulisan ... 10
TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1 Tijauan Mengenai Kebijakan Publik ... 12
A. Pengertian Kebijakan Publik ... 13
B. Agenda Kebijakan ... 14
C. Dimensi Kebijakan Publik ... 15
D. Jenis-Jenis Kebijakan Publik ... 17
2.2 Tijauan Mengenai Perumusan Kebijakan ... 18
A. Definisi Formulasi Kebijakan ... 19
B. Proses Formulasi Kebijakan ... 20
C. Aktor-Aktor Perumus Kebijakan ... 24
D. Model-Model Perumusan Kebijakan ... 28
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Formulasi Kebijakan ... 31
F. Proses Publik dalam Formulasi ... 33
2.3 Tinjauan Tentang Opini Publik ... 35
2.4 Tinjauan Tentang Ekonomi Politik ... 36
A. Definisi Ekonomi Politik ... 37
B. Hubungan Ekonomi Publik dengan Kebijakan Politik ... 39
METODE PENELITIAN ... 41
3.1 Tipe dan Pendekatan Penelitian ... 41
3.2 Fokus Penelitian ... 43
3.3 Lokasi Penelitian ... 44
3.4 Sumber Data ... 45
3.5 Teknik Analisis Data ... 48
ii
PENYAJIAN DATA ... 54
4.1 Gambaran Umum Kota Metro ... 54
4.2 Gambaran Umum Formulasi Kebijakan Relokasi Pedagang ... 61
4.3 Penyajian Data ... 63
PEMBAHASAN ... 74
5.1 Pembahasan formulasi kebijakan ... 74
5.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan ... 86
KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
5.1 Kesimpulan ... 89
5.2 Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 91
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Peta Administrasi Kota Metro ...57
Gambar 2 : Protes para pedagang yang dilakukan di
i
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Informan dari Pihak Pemerintah ...45
Tabel 2: Informan dari Pihak non-Pemerintah ...45
Tabel 3: Dokumen yang Digunakan dalam Penelitian ...48
Tabel 4: Hasil Triangulasi Sumber ...51
Tabel 5: Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Berdasarkan Kecamatan di Kota Metro Tahun 2011 ...56
Tabel 6: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Menurut Kecamatan di Kota Metro, 2011 ...58
Tabel 7: Penduduk Kota Metro Berdasarkan Kelompok Umur dan Kecamatan, 2011...59
MOTO
Jenius adalah 1% inspirasi dan 99% keringat.
Tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras.
Keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan
(Thomas A. Edison)
Jangan membawa yang berat-berat. Ketahui batasan diri dan berusaha semaksimal mungkin. Kesempatan dan peluang dicari bukan dinanti.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Masalah kemiskinan di Indonesia sudah lama sekali terjadi dan belum ada langkah
yang berhasil untuk menyelesaikannya. Upaya pembangunan dilakukan terus
menerus demi tercapainya pemerataan kesejahteraan. Pembangunan merupakan
tindakan yang dilakukan dengan berdasarkan kepada kebijakan. Pembangunan
merupakan tempat dimana suatu kebijakan beroperasi. Sedangkan kebijakan
memberikan pedoman bagi pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Kebijakan publik menurut Nugroho
(2011:145) “merupakan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan
hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan”.
Kemudian menurut Nugroho (2011:411), “akar dari kebijakan publik adalah
politik”. Sehingga penting bagi kita untuk mempertimbangkan perkembangan
filosofi politik terkini untuk memahami medan dimana kebijakan publik berada.
Lebih lanjut menurut Nugroho, “kebijakan publik muncul di tengah konflik, dan
sebagian besar untuk mengatasi konflik yang telah, sedang, dan yang akan
terjadi”. Menurut Nugroho (2011:412) konflik adalah “perbenturan dua atau lebih
2
kepentingan yang dilakukan oleh elite politik yang menghasilkan
persetujuan-persetujuan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok kepentingan
tersebut.
Pemahaman konflik sebagai perbedaan kepentingan lebih tepat dan menarik
apabila dilihat dari bidang politik. Perbedaan kepentingan dalam politik dapat
menimbulkan berbagai pemecahan masalah yang penuh kesepakatan-kesepakatan
antar kelompok yang berkepentingan. Hal tersebut dikatakan baik jika yang
menjadi tujuan utama adalah kesejahteraan masyarakat umum, namun jika hanya
beberapa kelompok saja hanya akan membuat masalah yang akan diselesaikan
menjadi lebih rumit dan menjadi sangat kompleks. Oleh karena itu, formulasi
kebijakan harus mendapat perhatian ekstra agar tarik menarik kepentingan dapat
diminilaisasikan.
Formulasi kebijakan merupakan suatu rangkaian dalam pembuatan kebijakan
publik. Formulasi merupakan hal terpenting dalam proses kebijakan publik karena
menurut Dunn dalam Agustino (2008:97) “hasil akhir dari kebijakan yang
ditetapkan dapat menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi oleh publik, dan
dengan formulasi yang benar, maka sebagian besar masalah tersebut telah
terselesaikan”. Namun tidak semua masalah dapat dikatakan sebagai masalah
kebijakan. Masalah kebijakan biasanya berkaitan antara masalah yang satu dengan
masalah kebijakan yang lainnya.
Penjelasan masalah kebijakan yang diungkapkan Dunn di atas merupakan alasan
kenapa formulasi kebijakan merupakan hal terpenting dari rangkaian pembuatan
3
pemecahan yang benar untuk masalah yang salah, atau pemecahan yang salah
untuk masalah yang benar, atau bahkan pemecahan yang salah pada masalah yang
salah. Untuk dapat menyelesaikan masalah yang dirasakan masyarakat,
seharusnya para pembuat kebijakan harus dapat memahami masalah yang sedang
terjadi, sehingga dapat menghasilkan pemecahan yang benar untuk masalah yang
benar.
Masalah yang diangkat oleh peneliti adalah relokasi pedagang tradisional ke Pasar
Tejoagung Kota Metro dimana dalam pengambilan keputusan tersebut tidak
mengikutsertakan masyarakat dalam hal ini adalah pedagang tradisional. Tidak
dilibatkannya masyarakat dalam pengambilan keputusan ini berakibat kepada
penolakan yang dilakukan oleh pedagang tradisional terhadap rencana relokasi
tersebut. Dari hasil pra-riset yang dilakukan pada tanggal 19 Juli 2012 oleh
peneliti, para pedagang menilai bahwa lokasi pembangunan Pasar Tejoagung
tidak strategis, akses kendaraan yang kurang memadahi dan sepinya pembeli
menjadi alasan bagi pedagang untuk memilih menolak rencana pemerintah dalam
upaya relokasi pedagang tradisional tersebut.
Rencana relokasi pedagang sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh pemerintah.
Sekitar bulan Juli tahun 2011 pemerintah mencoba menertibkan pedagang dengan
memindahkan ke lantai dua gedung Cendrawasih. Gedung Cendrawasih masih
dalam wilayah pusat kota atau dekat dengan lokasi pedagang tradisional
sebelumnya. Namun, setelah 1 minggu menempati lokasi baru tersebut, pedangan
4
pembeli dibandingkan dengan lokasi lama. Dan sekarang pemerintah mencoba
menertibkan kembali namun dengan lokasi yang berbeda.
Letak pasar tradisional yang tadinya berada di pusat kota akan dipindahkan ke
Pasar Tejoagung yang sangat jauh dari pusat kota dan lebih dekat ke perbatasan
antara Kota Metro dan Lampung Timur. Dari hasil pra-riset tanggal 10 Oktober
2012 yang dilakukan peneliti dengan beberapa pedagang, terdapat fakta yang
mengejutkan dimana sebelumnya petugas yang meminta pedagang pindah
menyatakan bahwa pasar siap digunakan, tapi kenyataanya lapak atau tempat
berdagang belum siap digunakan bahkan para pedagang diharuskan membangun
sendiri lapak mereka sendiri. Selain masalah pasar yang belum siap, di pusat kota
letak pasar tradisional sebelumnya akan dibangun Metro Mega Mall. Dari kondisi
ini muncul pertanyaan apakah rencana relokasi ini hanya akan “mengucilkan”
pedagang tradisional? Apakah rencana relokasi pasar tradisional hanya
menguntungkan pihak Metro Mega Mall atau Pemerintah saja?
Perumusan kebijakan dari Kementrian Perdagangan yang diturunkan ke
pemerintah Kota Metro untuk dibuat program pembangunan Pasar Tejoagung
terkesan buru-buru. Hal ini dapat dilihat dari persiapan maupun kondisi bangunan
serta rencana akan dilaksanakannya relokasi yang direncanakan bulan November
2012. Pertanyaan yang harus dijawab mengenai perumusan kebijakan ini adalah
bagaimana proses formulasi kebijakan ini dibuat? Terdapat beberapa nilai yang
harus diingat dalam formulasi kebijakan salah satunya yang menjadi fokus dalam
penelitian ini adalah partisipasi masyarakat, dan mengutamakan kepentingan
5
Partisipasi masyarakat diperlukan untuk mengurangi adanya pengambilan
keputusan yang hanya memihak terhadap kelompok tertentu saja. Dengan
keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan terlebih kebijakan tersebut
menyangkut kesejahteraan masyarakat, diharapkan dapat menjadi titik
penyeimbang dari para elite politik. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan
kebijakan sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Bab XI pasal 96 ayat 1 yang
menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam ayat
selanjutnya yaitu ayat 3 dan 4 dijelaskan bahwa masyarakat yang dimaksudkan
dalam ayat 1 sebelumnya adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan dan untuk memudahkan masayarakat dalam memberikan partisipasinya,
setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan
mudah oleh masyarakat.
Selain Undang Nomor 12 tahun 2011, terdapat juga dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 237 ayat 3
menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertuli dalam pembentukan Perda, yang kemudian direvisi menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang. Dari kedua undang-undang diatas menjelaskan bahwa
6
memberikan masukan kepada pemerintah terhadap undang-undang atau peraturan
daerah yang akan dibuat.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/04/M.PAN/4/2007 Tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi,
Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam BAB IV poin ke- 6 menyatakan perumusan
kebijakan terdapat proses publik salah satunya adalah diskusi dengan para pihak
yang terkait langsung dengan kebijakan atau yang terkena impak (impact)
langsung, atau juga yang disebut sebagai kelompok sasaran. Lebih lanjut
dijalaskan bahwa diskusi ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
verifikasi secara sosial dan politik dari kelompok masyarakat yang terkait secara
langsung.
Selain mengenai keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan, lokasi
tempat pembuatan Pasar Tejoagung dinilai kurang strategis. Peraturan Daerah
Kota Metro Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Metro 2011-2031 yang juga merupakan rujukan dalam pembuatan pasar tersebut,
dalam pasal 9 ayat 4 tentang strategi pengembangan pusat-pusat perdagangan dan
jasa guna meningkatkan daya saing kota dijelaskan bahwa pemerintah harus
menetapkan dan mengintesifkan kawasan perdagangan dan jasa skala lokal dan
regional di pusat kota sebagai kawasan strategis kota.
Terdapat berbagai kesenjangan yang terjadi dengan masalah yang terjadi jika
dilihat dengan undang-undang diatas. Undang-undang maupun peraturan menteri
7
dalam memberikan suaranya, aspirasinya dalam pengambilan keputusan. Namun,
yang terjadi dilapangan berdasarkan data pra-riset pada tanggal 19 Juli 2012,
pedagang yang sebagai sasaran kebijakan tidak dilibatkan dalam diskusi
pembuatan kebijakan tersebut. Dan juga, mengenai lokasi pembangunan pusat
perdagangan, dalam kenyataan yang terjadi dilapangan dan penilaian dari
pedagang, bahwa lokasi tersebut bukan merupakan lokasi yang strategis dengan
alasan berada di pinggir kota dan akses transportasi yang tidak mendukung.
Lokasi yang tidak mendukung tidak mencerminkan adanya pengutamaan
kesejahteraan kepada pedagang.
Berbagai masalah yang timbul setelah dilakukannya relokasi atau setelah
implementasi kebijakan relokasi. Protes dari para pedagang menjadi tindakan
yang nyata yang dapat dilakukan oleh pedagang. Mereka protes dan melakukan
demonstrasi bukan karena menolak untuk direlokasi melainkan lokasi yang dipilih
sebagai tempat relokasi yang menjadi dasar utama penolakan oleh pedagang. Para
pedagang tidak menolak untuk direlokasi, mereka sadar dengan lokasi berdagang
selama ini yang tidak sesuai dengan semestinya karena menggunakan trotaor
adalah salah. Sehingga mereka mendukung relokasi tetapi tidak dilakukan di Pasar
Tejoagung.
Dengan salah satu masalah yang diungkapkan diatas, kita dapat melihat kembali
tentang formulasi dari kebijakan relokasi tersebut. Terlihat jelas bahwa terdapat
kesalahan dalam proses formulasi terutama adalah tahap agenda kebijakan.
Tahapan-tahapan yang dijelaskan Winarno (2012: 123) Pertama, perumusan
8
memecahkan masalah. Keempat, penetapan kebijakan. Dalam tahap agenda
kebijakan seharusnya melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan untuk peran
serta memberikan pendapat mereka sehingga menjadi alternatif-alternatif
kebijakan yang nantinya bisa dipilih oleh pemerintah sebagai kebijakan.
Kebijakan-kebijakan mengenai partisipasi masyarakat dan pengutamaan
kesejahteraan masyarakat umum yang telah diungkapkan diatas, terdapat teori
yang sependapat dengan hal tersebut. Seperti menurut Habermas dalam Parson
(2008:113) mengatakan bahwa “dalam demokrasi, seseorang bisa mengatakan
bahwa kebijakan publik adalah suatu fungsi dari opini publik”. Opini publik
dalam pembuatan kebijakan dapat dilaksanakan dengan adanya partisipasi dari
masyarakat. Seperti dijelaskan diatas, bahwa masyarakat atau pedagang tidak
dilibatkan, maka sikap keras menentang relokasi dilakukan pedagang. Terlebih
mengenai kondisi yang tidak layak, membuat para pedagang tidak mau
menempati pasar baru tersebut.
Pendapat lain mengenai kebijakan yang seharusnya diungkapkan Suharto
(2010:60) bahwa “untuk mengatasi masalah-masalah seperti yang diungkapkan
diatas, kebijakan yang dibuat seharusnya dapat menunjang peningkatan taraf
hidup dan menjamin keadilan sosial”. Tempat relokasi pedagang yang jauh dari
pusat kota membuat pedagang mengalami penurunan pendapatan. Sehingga jika
dilihat dari pendapat Suharto diatas, kebijakan ini tidak sesuai dengan pendapat
mengenai kebijakan yang seharusnya. Selain jarak yang jauh dari pusat kota,
jumlahnya juga tidak mencangkup jumlah pedagang yang akan di relokasi.
9
sekitar membuat pedagang tidak tertampung di Pasar Tejoagung. Daya tampung
Pasar Tejoagung yang hanya mencapai 180 pedagang, tetapi jumlah pedagang
yang menempati pasar tersebut mencapai 400 pedagang.1
Masalah diatas yang perlu dipertanyaakan selain bagaimana proses formulasinya
karena melihat protes yang dilakukan setelah dilakukan tahap implementasi
kebijakan. Formulasi kebijakan yang seharusnya sudah melibatkan masyarakat
sehingga protes yang nantinya terjadi tidak besar setelah dilakukan implementasi.
Kemudian juga melihat tentang pihak yang diuntungkan dan dirugikan dengan
adanya kebijakan tersebut. Disamping lokasi pasar tradisional yang sekarang ini
cukup padat sehingga terlihat tidak teratur, juga karena dibangunnya Metro Mega
Mall di dekat lokasi pasar tradisional tersebut. Kemudian muncul pertanyaan
“apakah rencana relokasi ini hanya akan mengucilkan pedagang tradisional?
Apakah rencana relokasi pasar tradisional hanya menguntungkan pihak Metro
Mega Mall atau Pemerintah saja?” Pertanyaan mengenai siapa yang diuntungkan
dan dirugikan tersebut dapat dilihat dari segi Ekonomi Politik. Menurut
pernyataan Staniland (2003: 3) bahwa “pendekatan ekonomi politik didalam
analisisnya terdapat pertanyaan-pertanyaan politik esensial seperti siapa yang
diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana”. Dengan menggunakan
pendekatan ekonomi politik, diharapkan dalam melihat suatu kebijakan bukan
hanya melihat apakah kebijakan tersebut baik bagi masyarakat tetapi lebih jauh
lagi mengenai siapa yang diuntungkan dengan adanya kebijakan publik tersebut.
10
Dari masalah yang timbul dalam implementasi kebijakan seperti yang sudah
dipaparkan diatas, peneliti menganggap bahwa terjadi kesalahan yang terdapat
dalam tahap perumusan kebijakan, sehingga topik perumusan kebijakan yang
dikaji dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik menjadi tema yang
menarik. Karena dalam perumusan kebijakan, merupakan proses yang penting
dari rangkaian proses pembuantan kebijakan. Untuk itulah peneliti mengangkat
topik ini untuk menjadi karya tulis dengan judul Analisis Formulasi Kebijkan
Publik dengan studi kasus pada relokasi pedagang tradisional ke Pasar Tejoagung
Kota Metro.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah diatas, maka rumusan masalah yang akah diteliti dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakan proses formulasi kebijakan publik dalam penentuan lokasi
relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL)?
2. Siapakah pihak yang diuntungkan dan dirugikan dalam rencana relokasi
pedagang tradisional ke Pasar Tejoagung?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memilih dan menggunakan metode yang tepat dalam proses formulasi
kebijakan publik tentang penentuan lokasi relokasi Pedagang Kaki Lima
11
2. Menganalisis pihak yang diuntungkan dan dirugikan dalam rencana
relokasi padagang tradisional ke Pasar Tejoagung.
1.4Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis atau akademis, hasil penelitian ini mampu memperkaya
khazanah keilmuan Ilmu Administrasi Negara terutama mengenai proses
formulasi kebijakan, stakeholder dalam formulasi kebijakan dan persan
serta masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan relokasi Pedagang
Kaki Lima (PKL) di Kota Metro.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau bahan
evaluasi bagi Pemerintah Kota Metro terkait dalam formulasi Peraturan
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Mengenai Kebijakan Publik
Tinjauan mengenai kebijakan publik dibutuhkan untuk membahas masalah yang
diangkat oleh peneliti. Dalam tinjauan ini, terdapat berbagai pertanyaan yang akan
dijawab terkait dengan masalah penelitian, seperti Apa yang dimaksud dengan
kebijakanpublik? Bagaimanakah agenda kebijakan dibuat?Dimensi dari kebijakan
publik? Bagaimanakah Jenis-jenis kebijakan publik? Untuk menjawab berbagai
pertanyaan tersebut, berikut akan diuraikan.
A. Pengertian Kebijakan Publik
Jemes E. Anderson (1979) dalam Hadiati (2010) mengatakan “Public Policies are
those policies developed by governmental bodies and officials”, dapat diartikan
bahwa Kebijakan Publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh
badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah2. Kebijakan yang dimaksudkan oleh Jemes tersebut merupakan kebijakan yang murni dibuat oleh pemerintah, atau
elite politik. Implikasi dari kebijakan publik ini adalah berorientasi pada tujuan,
berisi pola-pola tindakan pemerintah atau pejabat, memiliki sifat memaksa
(otoritatif).
13
David Easton (1953) dalam Hadiati (2010) mengatakan “Public Policy is the
authoritative allocation of values for whole society”, dapat diartikan bahwa
Kebijakan Publik adalah pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh
anggota masyarakat3. Dari pengertian kebijakan oleh Easton, menjelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan yang dilakukan seharusnya melibatkan langsung
masyrakat yang menghadapi masalah yang akan diselesaikan dengan adanya
kebijakan tersebut. Bagaimanapun juga, masyarakat lah yang mengetahui masalah
yang sebenarnya terjadi.
Pendapat mengenai kebijakan yang telah diungkapkan diatas terdapat perbedaan
yang terlihat. Jika Anderson dari penjelasan diatas mengungkapkan bahwa yang
berhak memutuskan kebijakan adalah pemerintah atau elite politik, dimana
pendapat dari masyarakat dapat dikesampingkan, sedangkan menurut Easton,
dalam suatu kebijakan publik, masyarakat mempunyai peran dalam
pembentukannya. Kedua pendapat tersebut sama benar jika ditempatkan pada
situasi yang benar. Pendapat Jemes sangat cocok apabila diterapkan dalam
permasalahan yang membutuhkan penanganan yang cepat seperti menyangkut
keamanan Negara. Sedangkan pendapat Easton diharapkan diterapkan apabila
mengambil keputusan yang menyangkut mengenai kesejahteraan masyarakat, atau
dalam penanganan keadaan sosial. Namun, dalam praktiknya, pengambilan
keputusan yang menyangkut kondisi sosial ekonomi, seringkali diambil hanya
elite politik saja. Sedangkan masyarakat seringkali dianggap tidak memiliki hak
suara. Hal tersebut sependapat dengan pertanyaan Page dalam Putra (2004:58)
mengenai kebijakan publik dan opini publik yaitu: seberapa besar dampak dari
14
opini publik terhadap pembuatan kebijakan? Dan Apakah opini publik itu hanya
dipolitisasi atau benar-benar dijadikan landasan pembuatan kebijakan publik?
Kesimpulan dari dua pendapat diatas adalah, kebijakan publik adalah suatu
tindakan pemerintah dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi masyarakat
baik yang sudah terjadi, sekarang maupun yang akan datang dengan sepenuhnya
mempertimbangkan pendapat dari masyarakat yang berkenaan langsung dan dapat
diputuskan sepihak oleh pemerintah apabila masalah yang dihadapi membutuhkan
penanganan yang cepat yang menyangkut keamanan maupun kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
B. Agenda Kebijakan
Permasalahan yang tengah disorot oleh pemerintah dan ditentukan bahwa masalah
tersebut adalah masalah kebijakan, maka yang akan dilakukan pemerintah adalah
membuat agenda kebijakan. Penentuan agenda kebijakan dipengaruhi oleh
beberapa faktor termasuk opini publik. Hal tersebut juga dikemukakan oleh
Parson (2008:113) bahwa “agenda kebijakan sangat dipengaruhi oleh opini publik
dan kekuatan publik”. Oleh karena itu, opini publik adalah sebuah konsep yang
perkembangannya mengikuti perkembangan politik dimana opini publik muncul.
Opini publik yang berkembang dimasyarakat mengenai suatu masalah atau isu
juga sangat dipengaruhi oleh peran dari media masa. Dikemukakan oleh
McCombs dan Shaw dalam Parson (2008:115) menyimpulkan bahwa “media
berperan penting dalam penentuan agenda, yakni mempunyai kekuatan untuk
menentukan topik mana yang akan didiskusikan”. Media berkembang dengan
15
ditayangkan di media. Berita yang ditayangkan di media mempengaruhi opini
yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, media sangat mempengaruhi
agenda kebijakan.
Pendapat McCombs dan Shaw yang dikemukakan diatas mendapat tambahan
yang sedikit berbeda dari Rogers dan Dearing dalam Person (2008:116) bahwa
“kita harus membedakan tiga jenis agenda: media, pulbik, dan kebijakan”. Ketiga
jenis tersebut saling berkaitan satu sama lainnya dan merupakan proses yang
interaktif yang membuat berbeda dengan pendapat McCombs dan Shaw. Pendapat
McCombs dan Shaw yang menyatakan bahwa media mempengaruhi penetapan
agenda, sedangkan pendapat Rogers dan Dearing menyatakan bahwa setiap
agenda dapat saling mempengaruhi agenda-agenda yang lainnya. Maka dari itu,
sebaiknya pemerintah memperhatikan terlebih dahulu bagaimana opini publik,
agenda media maupun agenda kebijakan itu sendiri sebelum menentukan
kebijakan.
C. Dimensi Kebijakan Publik
Menurut Bridgeman dan Davis dalam Suharto (2008: 5) menerangkan bahwa “kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan, yaitu
sebagai tujuan, sebagai pilihan tindakan yang legal atau sah secara hukum, dan
sebagai hipotesis".
1. Kebijakan publik sebagai tujuan.
16
Sebagai contoh, telah ditetapkan kebijakan yang tidak mempunyai tujauan yang jelas, maka program yang ditetapkan untuk dilaksanakan juga menjadi berbeda-beda, ini akan berdampak pada strategi pencapaian yang menjadi kabur.Karenanya, kebijakan yang baik akan menghindari jebakan ini dengan jalan merumuskan secara eksplisit
a. Pernyataan resmi mengenai pilihan-pilihan tindakan yang akan dilakukan
b. Model sebab dan akibat yang mendasari kebijakan
c. Hasil-hasil yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Proses perumusan kebijakan yang efektif adalah memperhatikan keselarasan antara usulan kebijkana dengan agenda dan strategi besar pemerintah.
2. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal
Pilihan tindakan dalam kebijakan bersifat legal atau otoritatif karena dibuat oleh lembaga yang memiliki legitimasi dalam sistem pemerintahan. Keputusan itu mengikat para pegawai negeri untuk bertindak atau mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan seperti menyiapkan rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dipertimbangkan oleh parlemen atau mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan program tertentu.
Meskipun demikian, keputusan-keputusan legal belum tentu dapat direalisasikan seluruhnya. Selalu saja ada rusang atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan, atara yang sudah direncanakan dengan apa yang dapat dilaksanakan. Kebijakan sebagai keputusan yang legaljuga tidak berarti baha pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menangani berbagai isu. Dalam konteks ini, adalah penting mengembangkan proses kebijakan yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga dapat menjamin bahwsa usulan dan aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara teratur dan mencapai hasil baik.
Kebijakan publik lahir dari dunia politik yang melibatkan proses yangkompleks. Gagasan dapat muncul dari berbagai sumber, seperti kepentingan para politisi, lembaga-lembaga pemerintah, interpretasi para birokrat, serta intervensi kelompok-kelompok kepentingan, media, dan warga negara.
3. Kebijakan sebagai hipotesis
17
Kebijakan biasanya diciptakan dalam situasi ketidakpastian dan diuji oleh lingkungan dimana ia diterapkan. Para pembuat kebijakan belajar dengan menemukan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam membuat asumsi-asumsi dan model kebijkan. Sebuah proses kebijak yang baik biasanya merumuskan asumsi-asumsinya secara jelas sehingga para pelaksana kebijakan memahami teori dan model kebijakan yang mendukung keputusan-keputusan dan rekomendasi-rekomendasi di dalamnya.
Memahami kebijakan sebagai hipotesis memerlukan kalkulasi-kalkulasi ekonomi dan sosial dari para penasihat dan pembuat kebijakan. Pembuat kebijakan yang baik didasari kemampuan dalam memahami pelajaran-pelajaran dari pengalaman-pengalaman kebijakan, serta kemampuan menerapkan pelajaran itu dalam langkah perumusan kebijakan. Namun, karena banyaknya “pemain” dan kepentingan dalam perumusan sebuah kebijakan, mengintegrasikan pengalaman penerapan kebijakan dengan perbaikan kebijakan berikutnya tidak selalu mudah untuk dilakukan.
Dari ketiga dimensi yang telah dikemukakan diatas, semuanya saling melengkapi
dan satu sama lain dan mempunyai hubungan yang sangat erat. Jika melihat
proses pembuatan kebijakan, pembuatan kebijakan adalah pengambilan keputusan
yang diambil oleh lembaga yang legal, berdasarkan hipotesis dari masalah yang
dihadapi dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
D. Jenis-Jenis Kebijakan Publik
Jenis-jenis kebijakan menurut Nugroho (2011: 150) yang pertama adalah
“kebijakan yang menetapkan hal-hal yang dibatasi dan hal-hal yang dibebaskan
dari pembatasan-pembatasan”. Kebijakan jenis ini sebagian besar berkenaan
dengan hal-hal yang regulatif atau restriktif dan deregulatif atau non-restriktif.
Menurut jenis ini, pemerintah hanya mengurusi kegiatan yang bersifat strategis
baik yang mampu dilaksanakan oleh masyarakat terlebih lagi kegiatan yang tidak
18
“Jenis yang kedua adalah adalah kebijakan alokatif dan distributif”. Kebijakan
kedua ini biasanya berupa kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan anggaran
atau keuangan publik. Fungsi alokatif dalam kebijakan ini menurut Musgrave dan
Musgrave (1989) dalam Nugroho (2011: 150) bertujuan mengalokasikan
barang-barang publik dan mekanisme alokasi barang-barang dan jasa yang tidak bisa dilakukan
melalui mekanisme pasar, sedangkan fungsi distributif berkenaan dengan
pemerataan kesejahteraan termasuk perpajakan.
2.2 Tinjauan Mengenai Perumusan Kebijakan
Formulasi kebijakan bukanlah tindakan yang sederhana. Formulasi kebijakan
merupakan proses yang sangat penting dari rangkaian proses pembuatan
kebijakan. Dalam formulasi kebijakan, terdapat proses penyelesaian masalah yang
sedang terjadi. Dapat dikatakan bahwa formulasi kebijakan dapat menyelesaikan
sebagian besar masalah yang sedang terjadi apabila dilaksanakan dengan benar.
Dalam pembahasan mengenai formulasi kebijakan, disini akan disampaikan
mengenai definisi dari formulasi kebijakan, proses formulasi kebijakan,
aktor-aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan tersebut, bagaimana model-model
yang dapat dipakai dalam menyelesaikan atau yang dipakai dalam hal ini
Pemerintah Kota Metro, Faktor-faktor yang mempengaruhi proses formulasi
kebijakan, dan juga tentang langkah-langkah formulasi kebijakan yang melibatkan
publik dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara.
A. Definisi Formulasi Kebijakan
Hal terpenting dalam proses kebijakan publik adalah formulasi atau perumusan
19
“bagaimana para analis kebijakan dapat mengenal masalah-masalah publik yang
dibedakan dengan masalah-masalah privat.” Formulasi kebiajakan menurut
Tjokroamidjojo dalam Islamy (2001: 24) merupakan “suatu proses pemgambilan
pilihan dari suatual ternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah
selesai”.
Lebih lanjut lagi mengenai definisi tentang formulasi kebijakan, Udoji dalam
Syamsuri (2012) mengemukanan bahwa
“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, channelling those demands into the political systems, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”
yang kurang lebih berarti Seluruh proses mengartikulasikan dan mendefinisikan
masalah, merumuskan solusi yang mungkin menjadi tuntutan politik, penyaluran
tuntutan ke dalam sistem politik, mencari sanksi atau legitimasi dari program
pilihan tindakan, legitimasi dan pelaksanaan, pengawasan dan peninjauan (umpan
balik). 4
Kedua pendapat yang telah dijelaskan di atas, menggambarkan bahwa perumusan
kebijakan merupakan proses mendefinisikan masalah yang kemudian dirumuskan
menjadi solusi untuk diseleksi mana solusi atau alternatif kebijakan yang akan
diambil untuk menyelesaikan suatu masalah. Jika kita salah memahami masalah
kebijakan, sehingga yang muncul adalah pemecahan yang benar untuk masalah
yang salah, atau pemecahan yang salah untuk masalah yang benar, atau bahkan
pemecahan yang salah pada masalah yang salah. Untuk dapat menyelesaikan
4 http://kebijakanpublik12.blogspot.com/2012/06/formulasi-kebijakan.html diakses pada 11
20
masalah yang dirasakan masyarakat, seharusnya para pembuat kebijakan harus
dapat memahami masalah yang sedang terjadi, sehingga dapat menghasilkan
pemecahan yang benar untuk masalah yang benar.
B. Proses Formulasi Kebijakan
Proses formulasi kebijakan menurut Suharto (2008: 27) meliputi identifikasi isu,
merumuskan agenda kebijakan, melakukan konsultasi, menetapkan keputusan,
menerapkan kebijakan, melakukan evaluasi. Penjelasan dari keenam proses
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi isu kebijakan
Isu-isu kebijakan ini pada hakikatnya merupakan permasalahan sosial yang
aktual, mempengaruhi banyak orang, dan mendesak untuk dipecahkan.
Isu-isu tersebut biasanya muncul berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan perguruan tinggi atau organisasi non-pemerintah. Selain aktual
dan mendesak untuk dipecahkan, isu biasanya semakin mencuat jika
didukung oleh pemberitaan media massa yang beragam dan terus menerus.
Dari semua isu atau masalah sosial, tidak semua bisa menjadi isu
kebijakan. Sedikitnya ada empat prasyarat agar masalah bisa teridentifikasi
sebagai sebuah isu kebijakan:
a. Disepakati banyak pihak. Sebuah masalah kebijakan dianggap layak dijadikan isu kebijakan jika banyak pihak yang berpengaruh memiliki pandangan dan kesepakatan yang relati sama.
21
tersebut dapat dipecahkan? Apakah tersedia sumberdaya untuk merespon masalah itu?
c. Sejalan dengan pertimbangan politik. Meskipun sebuah masalah sosial secara ekonomi layak dipecahkan, misalnya, tetapi jika tidak menguntungkan secara politis maka para pembuat kebijakan seringkali mengurungkan niatnya.
d. Sejalan dengan ideologi. Kerangka ideologi partai politik yang berkuasa seringkali merupakan landasan bagi pemerintah untuk memutuskan apakah masalah A akan diprioritaskan, sementara masalah B akan ditunda atau dibatalkan menjadi isu kebijakan.
2. Merumuskan agenda kebijakan
Identifikasi dan perdebatan mengenai isu-isu di atas melahirkan agenda
kebiakan. Agenda kebijakan pda intinya merupakan sebuah masalah sosial
yang paling memungkinkan direspon oleh kebijakan. Agenda kebijakan
juga dapat dianalogikan dengan sebuah topik diskusi atau agenda rapat
yang dibahasa dalam sebuah pertemuan besar para pejabat pemerintah.
Kingdon (1995: 3) dalam Suharto (2008: 29) memberikan definisi agenda
kebijakan sebagai daftar subjek atau masalah dengan mana pejabat
pemerintah beserta orang-orang diluar pemerintah yang memiliki
hubungan dengan pemerintah, memberi perhatian serius pada suatu waktu
tertentu.
Adakalanya subuah isu yang dianggap pentik segera mendapat perhatian.
Isu seperti ini kemudian menjadi agenda kebijakan yang akan dibicarakan
oleh para pemain kebijakan formal. Namun, ada saatnya pula dimana
sebuah isu hangat kemudian mendingin dan pada akhirnya dilupakan. Hal
22
3. Melakukan konsultasi
Pembuat kebijakan yang melibatkan banyak lembaga dan sektor
kehidupan, maka untuk menghindari tumpang tindih kepentingan dan
memperoleh dukungan yang luyas dari publik, setiap agenda kebijakan
perlu didiskusikan dengan berbagai lembaga dan pihak. Inilah saatnya
melakukan konsultasi. Melalui konsultasi, ide-ide dapat diuji dan proposal
kebijkan disempurnakan.
Ada beberapa alasan mengapa pemerintah perlu mengkonsultasikan
agenda kebijakan menurut Suharto (2008: 33) yaitu:
a. Sesuai dengan nilai-nilai demokratis yang menekankan pentingnya keterbukaan, partisipasi dan masukan sebanyak mungkin.
b. Membangun konsensus dan dukungan politik. Pemerintah harus melibatkan sebanyak mungkin pihak untuk diajak membahas agenda kebijakan yang ditetapkan agar terjadi kesepahaman dan kesepakatan. c. Meningkatkan koordinasi diantara berbagai lembaga yang terkait
dengan agenda kebijakan dan lembaga yang akan merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan tersebut.
d. Mempercepat respon dan perumus strategi-strategi kebijakanyang akan ditetapkan untuk mengatasi agenda kebijakan prioritas.
4. Menetapkan keputusan
Setelah isu kebijakan teridentifikasi, agenda kebijakan dirumuskan, dan
konsultasi dilakukan, maka tahp berikutnya adalah menetapkan alternatif
kebijakan apa yang akan diputuskan. Diharapkan alternatif yang diambil
setelah melalui berbagai proses oleh pemerintah dapat menjawab
permasalahan yang sedang berlangsung sehingga masalah selesai dan tidak
23
5. Implementasi
Kebijakan yang baik tidak memiliki arti apa-apa jika tidak dapat
diimplementasikan. Apabila sebuah kebijakan telah ditetapkan, maka
proses perumusan kebijakan menginjak tahapan implementasi. Terdapat
beberapa faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.
Selain diperngaruhi oleh konteks makro kondisi ekonomi, sosial, dan
politik, Howlett dan Ramesh dalam Suharto (2008:37) mencatat bahwa
implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh (1) hakekat dan
perumusan masalah kebijakan itu, (2) keragaman masalah yang ditangani
oleh pemerintah, (3) ukuran kelompok-kelompok sasaran, dan (4) tingkat
perubahan perilaku yang diharapkan.
Implementasi kebijakan dapat berhasil sangat ditentukan oleh beberapa
instrumen yang mendukungnya. Menurut Bridgman dan Davis dalam
Suharto (2008:37) membagi instrumen implementasi kebijakan ke dalam
dua kelompok, yakni: instrumen yang berkaitan dengan tindakan paksaan
(lisensi, legislasi dan regulasi, petunjuk administrasi, pelaporan,
pemajakan) dan tindakan tanpa paksaan (komunikasi, kontrak,
pengeluaran, pengawasan, pinjaman, operasi pasar, pemberian pelayanan).
6. Evaluasi
Perumusan kebijakan pada hakikatnya merupakan proses terus menerus
yang tiada henti. Sehingga wajar jika proses perumusan kebijakan sering
disebut sebagai lingkaran kebijakan yang berputar terus menerus. Secara
24
kebijakan. Namun,dari evaluasi ini dihasilkan masukan-masukan guna
penyempurnaan kebijakan atau perumusan kebijakan selanjutnya. Dengan
begitu, proses formulasi kebijakan menjadi mirip roda atau spiral yang
berputas tiada akhir.
C. Aktor-Aktor Perumus Kebijakan
Aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam tulisan James
Anderson (1979), charles Lindblom (1980), maupun James P. Lester dan Joseph
Stewan, Jr (2000) dalam Winarno (2012: 126), aktor perumus dibagi menjadi dua
kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi.
1. Para pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah, yakni :
a. Eksekutif
Aktor eksekutif yang dimaksud di sini adalah presiden. Keterlibatan
presiden dalam perumusan kebijakan dapat secara langsung maupun
tidak langsung. Keterlibatan presiden secara langsung dapat kita lihat
dengan kehadirannya dalam rapat-rapat kabinet. Keterlibatan presiden
secara tidak langsung kita temukan ketika presiden membentuk
komisi-komisi penasihat. Jika kebijakan merupakan produk yang dibuat untuk
daerah tertentu dan oleh daerah itu sendiri maka aktor eksekutif
25
b. Lembaga Yudikatif,
Menurut undang-undang dasar lembaga yudikatif memiliki kekuasaan
yang cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui
pengujian kembali suatu undang-undang atau peraturan. Artinya
lembaga yudikatif ini memiliki wewenang untuk mengesahkan atau
membatalkan suatu perundang-undangan maupun peraturan.
c. Lembaga Legislatif
Lembaga ini memiliki peran yang krusial dalam perumusan
kebijakan.Setiap undang-undang menyangkut persoalan-persoalan
publik harus mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif
ini.Legislatif adalah lembaga yang orang-orangnya merupakan pilihan
langsung masyarakat, maka lembaga ini diharapkan betul-betul menjadi
wakil rakyat sehingga mereka dapat mengakomodir segala kebutuhan
atau kepentingan masyarakat.
2. Para pemeran serta tidak resmi
a. Kelompok-kelompok kepentingan
Peran kelompok kepenting dalam sistem politik negara berbeda. Bagi
negara demokratis peran kelompok ini sangat terbuka. Khususnya
dalam perumusan kebijakan mereka memiliki peran atau fungsi
artikulasi kepentingan, yaitu mereka berfungsi menyatakan
tuntutan-tuntutan dan memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan.
26
kebijakan untuk kembali mempertimbangkan alternatif mereka atau
merasionalisasikan kembali.
Pengaruh kelompok kepentingan terhadap keputusan kebijakan
tergantung pada ukuran-ukuran keanggotaan kelompok, keuangan dan
sumber-sumber lain, kepaduannya, kecakapan dari orang yang
memimpin kelompok tersebut. Selain itu pandangan orang lain terhadap
kelompok tersebut akan mempengaruhi juga dalam perumusan
kebijakan. Artinya jika kelompok tersebut baik di mata mereka, maka
akan timbul kepercayaan orang lain terhadap kelompok tersebut.
b. Partai-partai politik
Peran partai politik sarat akan kepentingan kelompok tertentu, atau
suatu partai akan berusaha untuk membawa alternatif partainya untuk
menjaga kepercayaan orang-orang yang telah mendukung mereka.
Peran partai politik pada perumusan kebijakan yakni, partai-partai
tersebut berusaha untuk mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari
kelompok-kelompok kepentingan menjadi alternatif-alternatif
kebijakan.
c. Warga negara individu
Peran warga negara individu terlihat pada saat proses pemilihan umum.
Peran mereka dalam sistem politik yakni, dengan menggunakan hak
suaranya untuk menentukan para legislatif dan eksekutif. Artinya ketika
27
bahwa yang mereka pilih dapat mewujudkan keinginan mereka. Oleh
karena itu, keinganan para warga negaranya perlu mendapat perhatian
oleh para pembentuk kebijakan.
Sedangkan menurut Putra dalam Suharto (2008: 25) membagi pembuat kebijakan
atau stakeholder kebijakan publik dapat dibedakan kedalam tiga kelompok.
1. Stakeholder kunci
Yaitu mereka yang memiliki kewenangan secara legal untuk membuat keputusan. Stakeholder kunci mencangkup unsur eksekutif sesuai tingkatannya, legislatif dan lembaga-lembaga pelaksana program pembangunan.
2. Stakeholder primer
Yaitu mereka yang memiliki kaitan penting secara langsung dengan suatu kebijakan, program atau proyek. Mereka biasanya dilibatkan dalam proses pengambilan kputusan, terutama dalam penyerapan aspirasi publik. Stakeholder primer bisa mencakup (a) masyarakat yang diidentifikasi akan terkena dampak (baik positif maupun negatif) oleh suatu kebijakan, (b) tokoh masyarakat, (c) pihak manajer publik, yakni lembaga atau badan publik yang bertanggungjawab dalam penentuan dan penerapan suatu keputusan.
3. Stakeholder sekunder
Yaitu mereka yang tidak memiliki kaitan kepentingan langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek, namun memililki kepedulian dan perhatian sehingga mereka turut bersuara dan berupaya untuk mempengaruhi keputusan legal pemerintah.
Kedua pendapat mengenai aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan peneliti
menilai sama. Pendapat dari Anderson menjelaskan lebih rinci tentang siapa saja
aktor formal maupun yang informal sedangkan pendapat Putra lebih
menyederhanaan lagi. Aktor perumus kebijakan tidak akan membawa pengaruh
terhadap masalah yang sedang dihadapi jika tidak adanya pemberdayaan dari
pemerintah. Terutama bagi aktor pembuat kebijakan informal yaitu warga negara
individu menurut Anderson atau stakeholder primer menurut putra. Hal ini
didukung dengan pengertian pemberdayaan menurut Hulme dan Turner dalam
28
tidak berdaya dapat memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara
lokal maupun nasional”.
D. Model-Model Perumusan Kebijakan
Menurut Nugroho (2011: 510-540) model perumusan kebijakan yaitu sebagai
berikut:
1. Model Kelembagaan
Yaitu model yang secara sederhana bermakna bahwa “tugas membuat
kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Hal ini dapat dianggap benar
dikarenakan, pertama pemerintah memang sah membuat kebijakan publik,
kedua, fungsi pembuatan kebijakan bersifat universal, ketiga, pemerintah
memonopoli fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama. Model
ini lebih menekankan struktur daripada proses atau perilaku politik.
2. Model Proses
Kegiatan yang terangkum dalam perumusan kebijakan dengan Model
proses meliputi: Identifikasi Permasalahan, Menata Agenda Formulasi
Kebijakan, Perumusan Proposal Kebijakan, Legitimasi Kebijakan,
Implementasi Kebijakan, Evaluasi Kebijakan. Dalam model proses,
memberitahu kepada kita tentang bagaimana kebijakan dibuta atau
seharusnya dibuat, namun kurang memberikan tekanan pada substansi
seperti apa yang harus ada.
3. Model Teori Kelompok
Model perumusan kebijakan ini berpendapat bahwa interaksi dalam
29
yang terbaik. Individu dalam kelompok-kelompok kepentingan saling
berinteraksi secara formal maupun informal dan secara langsung atau
melalui media masa menyampaikan tuntutan kepada pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Dengan manajemen
konflik, maka titik keseimbangan terbangun untuk mencapai solusi dari
permasalahan.
4. Model Teori Elite
Model ini melihat bahwa dalam masyarakat selalu ada dua kelompok yaitu
elite politikatau yang memegang kekuasaan dan massa atau yang tidak
memegang kekuasaan. Karena kebijakan publik merupakan perspeksi elite
politik, dan setiap elite politik ingin mempertahankan status quo, maka
kebijakannya menjadi bersifat konservatif dan kebijakan-kebijakan itu
tidaklah selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat.
5. Model Demokrasi
Model formulasi ini menghendaki setiap “pemilik hak demokrasi” diikut
sertakan dalam formulasi kebijakan yaitu dengan pengambilan keputusan
demokratis. Namun, jika menghadapi kondisi yang kritis dan darurat,
model ini menghadapi masalah tersendiri yang sangat tidak efektif untuk
digunakan. Keberhasilan model ini dalam tahap implementasi sangat
tinggi karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta
mencapai keberhasilan kebijakan.
6. Model Pilihan Publik
Model kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi
30
keputusan tersebut. Pada intinya, setiap kebijakan publik yang dibuat oleh
pemerintah harus merupakan pilihan publik yang menjadi pengguna.Proses
formulasi kebijakan publik dengan demikian melibatkan publik melalui
kelompok-kelompok kepentingan. Model pilihan publik biasanya
digunakan oleh kebijakan yang bersifat ekonomi publik, atau meskipun
digunakan bukan untuk kebijakanyang bersifat ekonomi publik, mayoritas
alanis kebijakan, atau “selera” kekuasaan adalah ekonom atau¸ ekonomi.
Model ini memiliki kelemahan pokok dalam realitas interaksi itu sendiri
karena interaksi akan terbatas pada publik yang mempunyai akses dan di
sisi lain terdapat kecenderungan pemerintah untuk memuaskan pemilihnya
daripada masyarakat luas.
Permasalahan yang terjadi dalam relokasi pasar tradisional di Metro peneliti
menilai bahwa akan sangat membantu jika menggunakan Model Pilihan publik.
Model Pilihan Publik membantu untuk pencapaian manfaat yang optimum bagi
masyarakat. Dimana setiap kebijakan publih yang dibuat oleh memerintah harus
merupakan pilihan publik yang menjadi pengguna. Model ini memberikan ruang
luas kepada publik untuk mengontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah
sebelum diambil keputusan. Dibandingkan dengan fakta yang ada dilapangan
setelah melakukan pra-riset pada tanggal 10 November 2012, peneliti melihat
bahwa kebijakan yang diambil jauh dari pencapaian manfaat yang optimum bagi
masyarakat dengan berbagai alasan yang telah disampaikan sebelumnya. Dilihat
31
masyarat khususnya pedagang menurut pengakuannya tidak mendapat
kesempatan untuk menentukan pilihan-pilihan mereka.
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Formulasi Kebijakan
Berbagai kepentingan yang ada dalam proses pembuatan kebijakan menjadi
masalah tersendiri yang harus dihadapi oleh para pembuat kebijakan. Menurut
Nigro and Nigro dalam Islamy (2001: 25), faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap proses formulasi kebijakan adalah
1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat
keputusan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan
dipilih berdasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses dan
formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata,
sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses
formulasi kebijakan.
2. Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal,
sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung
akan selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah
dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika
32
3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan
banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses
penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor
sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
4. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga berpengaruh
terhadap pembuatan keputusan. Seringkali juga pembuatan keputusan
dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman dari
orang lain yang sebelumnya diluar bidang pemerintah.
5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu
berpengaruh pada pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang
yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak
sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya
kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada
orang lain akan disalahgunakan.
Pendapat lain yang melengkapai pendapat dari Nigro dan Nigro adalah pendapat
dari Gerald E. Caiden dalam Islamy (2001: 27) menyebutkan adanya beberapa
faktor yangmenyebabkan sulitnya membuat kebijakan, yaitu: (1) sulitnya
memperoleh informasi yang cukup, (2) bukti-bukti sulit disimpulkan,(3) adanya
berbagai macam kepentingan yang berbeda mempengaruhi pilihan tindakan yang
33
keputusan bersifat sporadis, (6) dan proses perumusan kebijakan tidak dimengerti
benar.
F. Proses Publik dalam Formulasi
Peraturan Menteri Negara Pemberdayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi,
Evaluasi, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat
dan Daerah menjelaskan ada empat proses publik yang harus dilaksanakan dalam
formulasi kebijakan.
1. Proses Publik Pertama
Dilaksanakan setelah tim penyusun formulasi kebijakan terbentuk, dan
draf nol dirumuskan. Kemudian draf nol kebijakan didiskusikan
bersama forum publik. yaitu para paksar kebijakan dan pakar yang
berkenaan dengan masalah terkait. Dan jika dimungkinkan, keikut
sertaan anggota legislatif yang membidangi bidang terkait diperlukan.
Tujuan dari diskusi ini adalah untuk melakukan verifikasi secara
akademis dan kebenaran ilmiah.
2. Proses Publik Kedua
Diskusi yang kedua adalah diskusi dengan instansi pemerintah di luar
lembaga pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut. Pada
tingkat tertentu, diskusi foru publik yang kedua ini melibatkan komisi
34
3. Proses Publik Ketiga
Proses publik ketiga adalah diskusi dengan para pihak yang terkait
langsung dengan kebijakan atau yang terkena dampak langsung, atau
juga yang disebut dengan kelompok sasaran. Diskusi ini dilakukan
untuk mendapatkan verifikasi secara sosial dan politik dari kelompok
masyarakat yang terkait secara langsung.
4. Proses Publik Keempat
Proses publik keempata adalah diskusi dengan seluruh pihak terkait
secara luas, dengan menghadirkan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk
lembaga swadaya msayarakat yang mengurusi isu terkait, asosiasi
usaha terkait. Diskusi ini ditujukan untuk membangun pemahaman
publik terhadap rencana dibangunnya suatu kebijakan. Tujuannya
bukan untuk mendapatkan persetujuan seluruh peresta, melaikan untuk
mendapatkan masukan dari publik terhadap kebijakan yang akan
dibuat.
Keempat proses tersebut menjelaskan bahwa dalam tahap formulasi kebijakan
partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan. Hal tersebut bertujuan untuk
menghindari kesalahpahaman maupun penolakan terhadap kebijakan yang dibuat.
Penolakan yang tetap dilakukan oleh masyarakat kemungkinan tetap terjadi
namun itu hanya sebagian kecil. Namun, jika proses publik seperti yang dijelaskan
diatas tidak dilaksanakan dengan baik, maka protes dari masyarakat akan terjadi
dalam jumlah yang besar seperti yang terjadi dalam rencana relokasi pedagang
35
2.3 Tinjauan Tentang Opini Publik
Kata “publik” dari istilah ‘opini publik’ adalah sekelompok orang dengan
kepentingan yang sama memiliki suatu pendapat yang sama mengenai suatu
persoalan yang menimbulkan pertentangan. Setiap orang orang diidentifikasikan
sebagai sejumlah publik, yang masing-masing mungkin terlibat dalamproses
<