• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencirian dan Pengolahan Fine Coal dengan Poliakrilamida sebagai Flokulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pencirian dan Pengolahan Fine Coal dengan Poliakrilamida sebagai Flokulan"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

PENCIRIAN DAN PENGOLAHAN

FINE COAL

DENGAN

POLIAKRILAMIDA SEBAGAI FLOKULAN

LESYA AGNESS KHAYATUN

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pencirian dan Pengolahan Fine Coal dengan Poliakrilamida sebagai Flokulan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

LESYA AGNESS KHAYATUN. Pencirian dan Pengolahan Fine Coal dengan Poliakrilamida sebagai Flokulan. Dibimbing oleh MUHAMMAD FARID dan MOHAMMAD KHOTIB.

Fine coal merupakan hasil samping proses produksi batu bara yang tidak dimanfaatkan dan tertimbun sebagai limbah. Sebelum dapat dimanfaatkan, fine coal perlu dicirikan dan diolah terlebih dulu. Penelitian ini menggunakan 2 sampel fine coal dari kolam penampungan yang sama, di 2 titik lokasi yang berbeda. Sampel memiliki kadar abu 33% dan 32% serta zat terbang 64% dan 68%. Tidak terdeteksi logam berat Cr dan Cd, serta ditemukan gugus fungsi yang serupa dengan batu bara (rantai alifatik, cincin aromatik, dan karboksilat). Poliakrilamida (PAM) digunakan sebagai flokulan. Polimer ini dipilih karena bersifat hidrofilik, sehingga mudah larut dalam fase koloid fine coal. PAM nonionik dan anionik dibandingkan untuk mengetahui interaksi amonium aluminium sulfat (tawas) sebagai koagulan dengan kedua jenis PAM tersebut. Kekeruhan fine coal setelah koagulasi dan flokulasi diukur secara turbidimetri. Kekeruhan terendah ialah 128 NTU, yang diperoleh dengan konsentrasi tawas 250 mg/L dan PAM nonionik 25 mg/L. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan batas maksimum kekeruhan yang ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 113/2003, yaitu 400 NTU.

Kata kunci: fine coal, flokulasi, poliakrilamida

ABSTRACT

LESYA AGNESS KHAYATUN. Characterization and Treatment of Fine Coal with Polyacrylamide as Flocculant. Supervised by MUHAMMAD FARID and MOHAMMAD KHOTIB.

Fine coal is a by-product of coal production process that is not used and buried as waste. Fine coal needs to be characterized and treated before being used. The study used 2 fine coal samples that were obtained from 2 different sampling points at the same pond. The samples contain 33% and 32% of ash, along with 64% and 68% of volatile matter. Chromium and cadmium heavy metals are not detected. The functional groups observed are similar as coal (aliphatics, aromatic rings, and carboxylates). Polyacrylamide (PAM) was used as flocculant. This polymer is hydrophylic, so it is soluble in colloidal phase of fine coal. Anionic and nonionic PAM were compared to study the interaction between ammonium aluminum sulphate (alum) as coagulant with both types of PAM. The turbidity analysis of fine coal after coagulation and flocculation process was measured by turbidimetric. The lowest turbidity is 128 NTU, which is obtained by using 250 mg/L of alum and 25 mg/L of nonionic PAM. This value is below the maximum turbidity allowed by the State Minister of Environment Decree No. 113/2003, which is 400 NTU.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Kimia

pada

Departemen Kimia

PENCIRIAN DAN PENGOLAHAN

FINE COAL

DENGAN

POLIAKRILAMIDA SEBAGAI FLOKULAN

LESYA AGNESS KHAYATUN

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi: Pencirian dan Pengolahan Fine Coal dengan Poliakrilamida sebagai Flokulan

Nama : Lesya Agness Khayatun NIM : G44100051

Disetujui oleh

Drs Muhamad Farid, MSi Pembimbing I

Mohammad Khotib, SSi, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah Pencirian dan Pengolahan Fine Coal dengan Poliakrilamida sebagai Flokulan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drs Muhamad Farid, MSi dan Bapak M Khotib, SSi, MSi selaku pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada staf Laboratorium Terpadu Kimia IPB Baranangsiang yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayah, Ibu, Kakak, serta teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

METODE 2

Bahan dan Alat 2

Metode 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Ciri-ciri Fine Coal 4

Hasil Koagulasi dan Flokulasi Fine Coal 6

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 14

(13)

DAFTAR TABEL

1 Kekeruhan (NTU) fase air fine coal setelah penambahan PAM nonionik 10 2 Kekeruhan (NTU) fase cair fine coal setelah penambahan PAM anionik 10

DAFTAR GAMBAR

1 Kadar logam pada fine coal AFC 04 dan AFC 05 4

2 Spektrum FTIR fine coal AFC 04, AFC 05, dan AFC 01 5

3 Spektrum inframerah batu bara 5

4 Spektrum FTIR akrilamida dan PAM nonionik 6

5 Spektrum FTIR PAM nonionik dan anionik 7

6 Fine coal tetap stabil dalam fase air setelah sentrifugasi 7 7 Penurunan kekeruhan fase air fine coal dengan penambahan tawas 8 8 Flokulasi fine coal dengan penambahan PAM nonionik (25, 50, 100, 150,

dan 250 mg/L dari kiri ke kanan) 8

9 Perubahan kekeruhan fase cair fine coal dengan penambahan PAM

nonionik 8

10 Ilustrasi penyerapan partikel koloid oleh sebagian besar polimer 9 11 Flokulasi fine coal dengan penambahan PAM nonionik (25, 50, 100, 150,

dan 250 mg/L dari kiri ke kanan) dan tawas: 50 mg/L (a), 100 mg/L (b),

250 mg/L (c) 9

12 Flokulasi fine coal dengan penambahan PAM anionik (25, 50, 100, 150, dan 250 mg/L dari kiri ke kanan) dan tawas: 50 mg/L (a), 100 mg/L (b),

250 mg/L (c) 10

13 Mekanisme jembatan antara tawas dan PAM anionik 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Bagan alir penelitian 14

2 Hasil pengukuran kadar abu 15

3 Penentuan kadar zat terbang 16

4 Spesifikasi batu bara 18

5 Penentuan kadar logam secara SSA 18

6 Spektrum FTIR dan hasil analisis gugus fungsi 24

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Batu bara merupakan hasil tambang penting yang digunakan di berbagai industri seperti energi, baja, dan semen. Menurut Stanford (2013), produksi batu bara di Indonesia meningkat sejak tahun 2002 hingga 2011 dengan total produksi naik dari 110 juta ton menjadi 350 juta ton per tahun. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara penghasil batu bara terbesar di dunia. Fine coal merupakan hasil samping dari proses produksi batu bara dan memiliki ukuran partikel <0.6 mm. Menurut Asmatulu (2001), fine coal dihasilkan sebanyak 5−10% dari total produksi batu bara, dan sulit diolah karena mengandung banyak abu, sulfur, dan air. Oleh karena itu, biaya pengolahan fine coal 3 kali lipat dari pengolahan batu bara kasar, dan industri memilih membuang fine coal sebagai limbah ke kolam (pond). Jumlah fine coal yang ditimbun dalam kolam akan menimbulkan masalah lingkungan sehingga perlu dimanfaatkan.

Fine coal membentuk koloid yang sulit dipisahkan ketika bercampur dengan air, sehingga diperlukan proses pengolahan (recovery) sebelum dimanfaatkan. Beberapa cara pengolahan fine coal yang telah dilakukan ialah sentrifugasi, koagulasi, flotasi, penyaringan vakum, dan pengeringan (Bickert 2013). Namun, cara-cara tersebut membutuhkan biaya dan teknologi yang sulit dilakukan di Indonesia, sehingga dibutuhkan cara yang mudah dalam pengolahan fine coal, yaitu koagulasi dan flokulasi.

Koagulasi merupakan teknik pengolahan yang lazim dilakukan di industri. Koagulan yang digunakan ialah tawas (NH4Al(SO4)2∙12H2O). Namun, koagulasi

saja tidak efisien karena harus dilakukan dalam pH basa, membutuhkan waktu yang lama, dan menghasilkan sedimen yang sulit ditangani (flok yang dihasilkan kecil dan tidak stabil) (Petzold dan Schwarz 2013). Teknik pengolahan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah koagulasi-flokulasi, yang dibandingkan efektivitasnya dengan koagulasi tanpa flokulasi. Flokulan yang digunakan ialah polimer. Menurut Rout et al. (1999) dalam Bolto dan Gregory (2007), penggunaan polimer sebagai flokulan memiliki beberapa kelebihan seperti dosis yang dibutuhkan serta lumpur yang dihasilkan lebih sedikit.

Poliakrilamida (PAM) ialah polimer sintetik yang bersifat nonionik dan dapat diubah menjadi polielektrolit anionik atau kationik. Hamza et al. (1988) dalam Laskowski (2013) menyatakan bahwa poliakrilamida anionik dapat menjadi flokulan yang meningkatkan laju koagulasi fine coal. Keefektifan poliakrilamida anionik sebagai flokulan bergantung pada komposisi muatan negatif di dalamnya. Komposisi efektif muatan PAM anionik berkisar 20−30%. Hal tersebut melatari penggunaan poliakrilamida anionik dalam penelitian ini untuk pengolahan fine coal. Fine coal yang telah diolah juga dicirikan sebelum dimanfaatkan (dibuat menjadi briket).

(16)

2

Fine coal yang digunakan dalam penelitian berasal dari PT Adaro Energy, Kalimantan Selatan. Sampel fine coal yang digunakan ialah AFC 04 dan AFC 05; keduanya didapatkan dari kolam penampungan yang sama di 2 titik lokasi berbeda. Sebagai pembanding untuk analisis gugus fungsi, digunakan sampel AFC 01 yang merupakan campuran fine coal dan batu bara dengan komposisi batu bara lebih besar.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain fine coal dari PT Adaro Energy, akrilamida (CH2=CHCONH2) (Merck®), amonium persulfat (APS)

(Merck®), asam akrilat, gas nitrogen, aluminium amonium sulfat (AlNH4(SO4)2∙12H2O), HCl, NaOH (Merck®), HNO3 (Merck®), KBr (Merck®),

standar turbidimetri (metanamina dan hidrazinium sulfat dari Merck®), dan akuades. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ialah seperangkat alat kaca sederhana, pengaduk putar, neraca analitik, pH-meter, spektrofotometer serapan atom (SSA) AA 6300 Shimadzu, spektrofotometer FTIR Prestige-21 Shimadzu, Spectronic 20D+, oven, pembakar gas, tanur, cawan porselen, dan segitiga porselen. Penelitian dilaksanakan mulai April sampai September 2014 di Laboratorium Terpadu, Institut Pertanian Bogor.

Metode

Fine coal dicirikan sebelum diolah secara flokulasi. PAM terlebih dulu disintesis sebelum digunakan sebagai flokulan. Tahapan penelitian ditunjukkan pada Lampiran 1.

Pencirian Fine Coal

Kadar Abu (SNI 3478:2010 dengan modifikasi)

Fine coal kering diarangkan dengan nyala pembakar bunsen hingga tidak berasap. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 600 ⁰C selama 2 jam. Setelah didinginkan, sampel ditimbang dengan neraca analitik. Pengukuran diulangi sebanyak 3 kali untuk setiap sampel.

Kadar Zat Terbang (ASTM D-3175-02)

(17)

3

Kadar Logam pada Abu (ASTM D-3683 dengan modifikasi)

Abu fine coal ditambahkan HCl dan HNO3 pekat sebanyak 5 mL

masing-masing, lalu diaduk. Larutan dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Setelah dihomogenkan, larutan disaring dan diukur kadar logamnya dengan SSA. Pengukuran diulangi sebanyak 3 kali untuk setiap sampel.

Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR

Fine coal disiapkan untuk diukur dengan spektrofotometer FTIR dengan metode lempeng kalium bromida. Sampel sebanyak 0.02 g ditambahkan ke dalam 0.1 g padatan KBr, lalu dihomogenkan di lumpang porselen. Kemudian sampel diukur pada zona IR dekat hingga IR tengah, yaitu 400−4000 cm-1 (Speight 2005).

Koagulasi dan Flokulasi Fine Coal

Sintesis PAM Nonionik

Akrilamida ditimbang sebanyak 22.5 g dan dilarutkan dalam 100 mL akuades. Larutan akrilamida lalu dimasukkan ke dalam labu leher tiga dan dialirkan gas N2 pada suhu 90 ⁰C selama 15 menit sambil diaduk dengan

pengaduk putar. Suhu larutan diturunkan menjadi 60−65 ⁰C, kemudian ditambahkan 0.3 g APS yang sebelumnya telah dilarutkan dalam 12.5 mL akuades secara perlahan. Campuran diaduk pada suhu 70−75 ⁰C hingga terbentuk gel (Liang et al. 2009).

Sintesis PAM Anionik

Akrilamida ditimbang sebanyak lebih kurang 16.8 g dan dilarutkan dalam 100 mL akuades. Larutan akrilamida lalu dimasukkan ke dalam labu leher tiga dan dialirkan gas N2 pada suhu 90 ⁰C selama 15 menit sambil diaduk dengan

pengaduk putar. Suhu larutan diturunkan ke 60−65 ⁰C, kemudian ditambahkan kira-kira 5.35 mL asam akrilat pekat secara perlahan. Setelah itu, ditambahkan 0.3 g APS yang sebelumnya telah dilarutkan dalam 12.5 mL akuades secara perlahan, dan diaduk pada suhu 70−75 ⁰C hingga terbentuk gel (Liang et al. 2009).

Koagulasi Fine Coal dengan Tawas

Larutan induk sampel dibuat dengan menambahkan fine coal ke dalam akuades (1:2) dan dihaluskan dengan blender. Larutan induk tersebut sebanyak 10 mL ditambahkan akuades hingga volumenya menjadi 100 mL (larutan fine coal). Larutan tawas ditambahkan dengan konsentrasi tertentu (50, 100, dan 250 mg/L), lalu diaduk pada kecepatan 150 rpm selama 5 menit. Larutan didiamkan selama 10 menit, kemudian filtrat diambil dengan pipet sebanyak 25 mL dan diukur kekeruhannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm (EPA 1986) .

Pengolahan Fine Coal dengan PAM Nonionik atau Anionik

(18)

4

Setelah itu, larutan ditambahkan polimer dengan konsentrasi tertentu (25, 50, 100, 150, dan 250 mg/L) secara perlahan dan diaduk pada kecepatan 50 rpm selama 15 menit. Larutan didiamkan selama 10 menit, kemudian filtrat diambil dengan pipet sebanyak 25 mL dan diukur kekeruhannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm (EPA 1986) .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ciri-ciri Fine Coal

Kadar Abu dan Zat Terbang

Kadar abu ditentukan pada sampel fine coal (AFC 04 dan AFC 05) yang telah kering, dan diperoleh hasil 32.78% dan 31.75% masing-masing (Lampiran 2). Kadar abu tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kadar abu batu bara yang berkisar 7−35% (Arnold 2013). Penentuan kadar abu merupakan salah satu uji proksimat pada batu bara. Kadar abu menunjukkan jumlah residu hasil pembakaran batu bara, dan nilainya dapat menggambarkan mutu batu bara. Menurut Given (1975) dalam Arnold (2013), nilai kadar abu (yang termasuk mineral) berbanding terbalik dengan mutu batu bara: semakin besar kadar abu, semakin rendah mutu batu bara.

Kadar zat terbang ditentukan dengan memanaskan sampel (950 ⁰C) secara cepat (7 menit). Kadar zat terbang sampel fine coal AFC 04 dan AFC 05 berturut-turut ialah 63.71% dan 68.38% (Lampiran 3). Kedua kadar zat terbang tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar zat terbang batu bara mutu terendah (lignit), yaitu 40−50% (Lampiran 4). Kadar zat terbang juga dapat menentukan yang paling banyak terkandung dalam abu fine coal (Lampiran 5).

(19)

5

Logam Cr dan Cd diuji dalam penelitian karena keduanya termasuk dalam logam berat yang berbahaya, sehingga kadarnya harus rendah. Hasil pengujian kadar kedua logam tersebut yang sangat rendah menunjukkan bahwa fine coal tidak berbahaya untuk dijadikan bahan baku briket.

Hasil Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR

Analisis dengan FTIR memperlihatkan kesamaan gugus fungsi antara fine coal sama dan batu bara, tetapi berbeda intensitas transmisinya (Gambar 2). Berdasarkan spektrum tersebut, fine coal mengandung rantai alifatik, cincin aromatik, dan karboksilat (Lampiran 6).

Intensitas transmisi fine coal yang lebih rendah daripada batu bara menunjukkan bahwa telah terjadi penambahan jumlah gugus fungsi pada fine coal. Fenomena serupa teramati pada spektrum IR yang diukur selama proses pelapukan batu bara dalam jangka waktu tertentu oleh Cimadevilla et al. (2003) (Gambar 3). Peningkatan jumlah gugus fungsi teramati berbanding lurus dengan waktu pelapukan batu bara.

Gambar 2 Spektrum FTIR fine coal AFC 04 ( ) AFC 05 ( ) dan AFC

Bilangan Gelombang (cm-1)

Bilangan Gelombang (cm-1)

(20)

6

Hasil Koagulasi dan Flokulasi Fine Coal

Hasil Sintesis PAM Nonionik dan Anionik

PAM nonionik dan anionik disintesis menggunakan APS sebagai inisiator. APS memiliki sifat higroskopis dan sangat reaktif, sehingga akan segera bereaksi saat dilarutkan ke dalam air. Oleh karena itu, APS disiapkan ketika akan digunakan. Reaktivitas APS tersebut juga menyebabkan APS dapat bereaksi dengan zat lain sebelum bereaksi dengan monomer, salah satunya adalah dengan oksigen. Untuk menghindari hal tersebut, gas N2 dialirkan sebelum penambahan

APS hingga sintesis berakhir. Selain reaktivitas, konsentrasi APS akan memengaruhi panjang rantai polimer yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi APS, rantai polimer yang terbentuk akan semakin pendek (Menter 2000).

Kedua polimer hasil sintesis dianalisis spektrum FTIR-nya untuk mencirikan keberadaan polimer. Terbentuknya PAM dapat dilihat dari pergeseran puncak serapan CH2 pada akrilamida ke arah bilangan gelombang yang lebih

besar (Murugan et al. 1998). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4: serapan CH2 pada spektrum akrilamida berada pada bilangan gelombang 2812.21 cm-1 dan

bergeser ke 2933.73 cm-1 pada spektrum PAM nonionik.

Spektrum FTIR PAM nonionik dan anionik juga dibandingkan pada Gambar 5. Perbedaan spektrum akibat penambahan asam akrilat dapat dilihat pada daerah 3200−3500 cm-1. PAM nonionik memiliki 2 puncak yang lebih tajam dibandingkan PAM anionik, disebabkan oleh pengaruh gugus karboksilat dari asam akrilat pada daerah tersebut (Magalhaes et al. 2012).

Gambar 4 Spektrum FTIR akrilamida ( ) dan PAM nonionik ( )

0 1000 2000 3000 4000

%T

Bilangan Gelombang (cm-1)

2812.21

(21)

7

Hasil Koagulasi dan Flokulasi Fine Coal

Fine coal memiliki ukuran partikel yang sangat kecil dan luas permukaan yang besar, sehingga membentuk koloid yang cukup stabil dalam kondisi standar maupun suhu ekstrem dingin, Koloid fine coal tidak dapat didestabilkan hanya dengan sentrifugasi pada 3000 rpm (Gambar 6). Oleh karena itu, diperlukan koagulasi dan flokulasi.

Koagulasi, yaitu penggumpalan zat dengan penambahan koagulan (Hughes 2000), dilakukan dengan menggunakan tawas tanpa perubahan pH. Tawas amonium yang bermuatan positif akan mendestabilkan koloid fine coal yang bermuatan negatif. Hasil uji kekeruhan secara spektrofotometri menunjukkan bahwa konsentrasi tawas 50 mg/L dapat menurunkan kekeruhan fase air fine coal dari 13341.4 NTU menjadi 7033.4 NTU (Lampiran 7b). Penurunan ini terus

Gambar 6 Fine coal tetap stabil dalam fase air setelah sentrifugasi Gambar 5 Spektrum FTIR PAM nonionik ( ) dan anionik ( )

0 1000 2000 3000 4000

(22)

8

berlanjut pada konsentrasi tawas lebih tinggi, hingga pada konsentrasi 250 mg/L kekeruhan yang tersisa hanya sebesar 12.06% (Gambar 7).

Flokulasi fine coal dengan PAM nonionik menurunkan kekeruhan, tetapi penurunan tersebut tidak lebih besar daripada koagulasi (Gambar 8 dan Lampiran 7c). Penurunan kekeruhan yang signifikan hanya terjadi pada rentang konsentrasi PAM nonionik 25−100 mg/L (Gambar 9) dan setelah itu, berkurang efektivitasnya. Fenomena tersebut menyerupai fenomena adsorpsi, yaitu saat seluruh adsorbat telah teradsorpsi di permukaan adsorben, penambahan lebih banyak adsorben tidak akan memengaruhi kondisi sampel (Goodwin 2009) (Gambar 10).

Gambar 9 Perubahan kekeruhan fase cair fine coal dengan penambahan PAM nonionik

Gambar 7 Penurunan kekeruhan fase air fine coal dengan penambahan tawas 0

(23)

9

Penambahan flokulan PAM anionik maupun nonionik dengan konsentrasi yang semakin besar pada konsentrasi tawas 50 dan 100 mg/L tidak berbanding lurus dengan penurunan kekeruhan fase air yang ditimbulkan (Gambar 10a dan b). Flokulasi terbaik teramati pada konsentrasi PAM nonionik 25 mg/L dan tawas 250 mg/L (Gambar 10c) dengan kekeruhan sebesar 127.8 NTU (Tabel 1).

(a) (b)

(c) Gambar 11 Flokulasi fine coal dengan penambahan PAM nonionik (25, 50,

100, 150, dan 250 mg/L dari kiri ke kanan) dan tawas: 50 mg/L (a), 100 mg/L (b), 250 mg/L (c)

(24)

10

Pengaruh penambahan PAM anionik pada koagulasi fine coal juga mulai terlihat pada konsentrasi tawas 250 mg/L (Gambar 12). Flokulasi terbaik terjadi pada konsentrasi PAM anionik 25 mg/L dan tawas 250 mg/L dengan kekeruhan sebesar 181.4 NTU (Tabel 2).

Penggabungan koagulasi dan flokulasi bertujuan mempercepat laju koagulasi fine coal. Hamza et al. (1988) dalam Laskowski (2013) menyatakan bahwa PAM anionik dapat menjadi flokulan yang meningkatkan laju koagulasi fine coal. Muatan PAM anionik yang berlawanan dengan koagulan tawas diharapkan membentuk jembatan muatan oleh Al3+ terhadap fine coal dan PAM anionik (Gambar 12). Berdasarkan teori tersebut, penambahan PAM anionik pada

(a) (b)

(c)

Gambar 12 Flokulasi fine coal dengan penambahan PAM anionik (25, 50, 100, 150, dan 250 mg/L dari kiri ke kanan) dan tawas: 50 mg/L (a), 100 mg/L (b), 250 mg/L (c)

Tabel 1 Kekeruhan (NTU) fase air fine coal setelah penambahan PAM nonionik

[Tawas] (mg/L) Konsentrasi PAM nonionik (mg/L)

25 50 100 150 250

50 675.45 1375,28 3066.40 2897.47 3357.84

100 3246.46 202.09 1465.32 1453.25 1155.31

250 127.83 471.25 387.72 601.20 591.91

Tabel 2 Kekeruhan (NTU) fase cair fine coal setelah penambahan PAM anionik

[Tawas] (mg/L) Konsentrasi PAM anionik (mg/L)

25 50 100 150 250

50 6340.20 5634.79 6488.70 5931.80 6043.18

100 4483.87 4261.11 4409.62 4595.25 4818.01

(25)

11

koagulasi semestinya lebih efektif dibandingkan dengan penambahan PAM nonionik

.

Hasil penelitian ini menunjukkan hal sebaliknya, flokulasi fase cair fine coal dengan PAM anionik tidak lebih efektif dibandingkan dengan PAM nonionik. Hal ini disebabkan oleh bentuk monomer PAM anionik yang berupa asam akrilat memiliki Ka lebih rendah dari pada bentuk garamnya seperti natrium akrilat.

Selain itu, transformasi gugus alkena pada asam akrilat menjadi alkana pada polimer akan mengurangi keasaman yang akan menurunkan Ka. Semakin kecil Ka

suatu zat, semakin sulit zat tersebut terdisosiasi. Oleh karena itu, interaksi muatan PAM anionik dengan tawas menjadi tidak efektif.

Nilai kekeruhan setelah koagulasi-flokulasi dengan PAM nonionik atau anionik lebih rendah dibandingkan dengan koagulasi saja. Nilai tersebut juga lebih rendah jika dibandingkan dengan batas maksimum kekeruhan air limbah batu bara yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 113 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara (KLH 2003), yaitu 400 mg/L (setara 400 NTU untuk metode metanamina-hidrazinium sulfat).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Fine coal secara fisis tampak berbeda dari batu bara, yaitu ukuran partikelnya lebih kecil. Akan tetapi, komponen kimia di dalamnya yang meliputi abu, zat terbang, dan logam berat (Al, Fe, Mg, Cr, dan Cd), serta gugus fungsi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara keduanya.

Koagulasi fine coal dengan tawas tidak menurunkan kekeruhan fase cair fine coal lebih baik dibandingkan dengan koagulasi-flokulasi. Penambahan 25 mg/L flokulan berupa PAM anionik atau nonionik pada konsentrasi tawas 250 mg/L dapat menurunkan kekeruhan hingga kurang dari 400 NTU.

(26)

Saran

Flokulasi fine coal perlu dilakukan dengan rentang konsentrasi flokulan yang lebih luas, sehingga dapat ditentukan konsentrasi optimumnya. Selain itu, efektivitas interaksi polimer dan tawas dapat ditingkatkan dengan mengubah monomer PAM anionik menjadi bentuk garamnya.

DAFTAR PUSTAKA

[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004a. ASTM D-3175-02, Standard Test Method for Volatile Matter in the Analysis Sample of Coal and Coke. Pennsylvania (US): ASTM.

[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004b. ASTM D-3683, Standard Test Method for Trace Elements in Coal and Coke Ash by Atomic Absorption. Pennsylvania (US): ASTM.

Arnold BJ. 2013. Coal formation. Di dalam: Osborne D, editor. The Coal Handbook: Towards Cleaner Production. Volume 1: Coal Production. Cambridge (UK): Woodhead.

Asmatulu R. 2001. Advanced chemical-mechanical dewatering of fine particles [disertasi]. Blacksburg (US): Virginia Polytechnic Institute and State University.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. SNI 3478: 2010, Analisis Kadar Abu Contoh Batu Bara. Jakarta (ID): BSN.

Bickert G. 2013. Solid-liquid separation technologies for coal. Di dalam: Osborne D, editor. The Coal Handbook: Towards Cleaner Production. Volume 1: Coal Production. Cambridge (UK): Woodhead.

Bolto B, Gregory J. 2007. Organic polyelectrolytes in water treatment. Water Res. 41:2301-2324.

Cimadevilla JLG, Alvarez R, Pis JJ. 2003. Photoacoustic FT-IR study of weathered stockpiled coking coals. Vibrational Spectroscopy. 31:131-141. [EPA] Environmental Protection Agency. 1986. EPA 9038, Sulfate-Turbidimetric.

Boston (US): EPA.

Goodwin J. 2009. Colloids and Interfaces with Surfactans and Polymer. Ed ke-2. West Sussex (UK): J Wiley.

Hughes MA. 2000. Coagulation and floculation. Di dalam: Svarovsky L, editor. Solid Liquid Separation. Ed ke-4. Oxford (UK): Butterworth-Heinemann. [KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No 113 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara. Jakarta (ID): KLH.

Laskowski JS. 2013. Surface chemistry fundamentals in fine coal processing. Di dalam: Osborne D, editor. The Coal Handbook: Towards Cleaner Production Volume 1: Coal Production. Cambridge (UK): Woodhead. Liang R, Yuan H, Xi G, Zhou Q. 2009. Synthesis of wheat straw-g-poly(acrylic

(27)

13

Magalhaes ASG, Neto MPA, Bezerra MN, Ricardo NM, Feitosa JPA. 2012. Application of FTIR in the determination of acrylate content in poly(sodium acrylate-co-acrylamide) superabsorbent hydrogels. Quim Nova. 35(7):1464-1467.

Menter P. 2000. Acrylamide polymerization-A practical approach. Bio-Rad. Murugan R, Mohan S, Bigotto A. 1998. FTIR and polarised Raman spectra of

acrylamide and polyacrylamide. J Phys Soc. 32(4):505-512.

Petzold G, Schwarz S. 2013. Polyelectrolyte complexes in flocculation applications. Di dalam: Muller M, editor. Polyelectrolyte Complexes in The Dispersed and Solid State II. Berlin (DE): Springer.

Stanford CE. 2013. Coal resources, production and use in Indonesia. Di dalam: Osborne D, editor. The Coal Handbook: Towards Cleaner Production Volume 2: Coal Utilisation. Cambridge (UK): Woodhead.

(28)

14

Lampiran 1 Bagan alir penelitian

Turbidimetri (420 nm)

Padatan Supernatan

Kekeruhan Suspensi

Fine coal

+ akuades dihomogenkan

+ koagulan 150 rpm 5 menit + flokulan 50 rpm 15 menit Pencirian

Kadar abu, zat terbang, logam berat, gugus fungsi

dengan IR

(29)

15 Lampiran 2 Hasil pengukuran kadar abu

Contoh perhitungan kadar abu AFC 04 ulangan pertama:

(30)

16

Lampiran 3 Penentuan kadar zat terbang

s

Contoh perhitungan kadar zat terbang AFC 04 ulangan pertama:

(31)

17

Lampiran 4 Spesifikasi batu bara (Given (1975) di dalam Arnold (2013))

Sifat Lignit Subbitumin Bitumin sangat asiri Bitumin Antrasit

C B A Asiri Sedikit asiri

%C 65−72 72−76 76−78 78−80 80−87 89 90 93

%O 30 18 13 10 5.5 4.5 3.5 2.5

%O sebagai COOH 13 −10 5−2 0 0 10−4 3−4 3 2

%O sebagai OH 15−10 12−10 9 0 0 0 0

Atom C aromatik 50 65 7−3 1−2 0−1 0

%C total 75 80−85 85−90 90−95

Rerata jumlah 1−2 2−3

cincin benzena

Zat terbang, % 40−50 35−50 35−45 31−40 31−20 20−10 <10

Reflektans, % vitrinit 0.2−0.3 0.3−0.4 0.5 0.6 0.6−1.0 1.4 1.8 4

Densitas Meningkat

Luas permukaan total minimum

Plastisitas dan pembentukan kokas

Nilai kalori, 7000/16.3 10000/23.3 12000/27.9 13500/31.4 14500/33.7 15000/34.9 15800/36.7 15200/35.3

bahan mineral lembap

(32)

18

Lampiran 5 Penentuan kadar logam secara SSA a. Logam Aluminium

(33)

19

Sampel Ulangan Absorbans Konsentrasi Fe (mg/L)

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00

(34)

20

(35)

21

Sampel Ulangan Absorbans Konsentrasi Cd (mg/L)

ND = tidak terdeteksi

(36)

22

lanjutan Lampiran 5 e. Logam Mg

Konsentrasi (mg/L) Absorbans

0.00 -0.0015

0.10 0.1773

0.20 0.3207

0.40 0.6211

0.60 0.8587

Konsentrasi (mg/L) Absorbans

0.00 -0.0003

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80

A

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00

(37)

23 lanjutan Lampiran 5

Contoh perhitungan kadar logam Al:

1. Persamaan regresi kurva standar logam Al Intersep: 0.001

Keterangan: V = Volume labu (mL) B = Bobot sampel (g)

4. Rerata kadar logam = (Kadar 1 + Kadar 2 + Kadar 3)/3 = (0.55 + 0.65 + 0.54)/3

= 0.58%

Sampel Ulangan Absorbans Faktor Pengenceran

AFC 04 1 0.3587 200 46.89 0.5868 0.80 0.68

2 1.0302 50 41.13 0.7225 0.57

AFC 05 1 0.6093 100 40.97 0.4889 0.84 0.78

(38)

24

Lampiran 6 Spektrum FTIR dan hasil analisis gugus fungsi

a. Sampel AFC 01 (batu bara)

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00

0 500

1000 1500

2000 2500

3000 3500

4000 4500

%T

(39)

25 lanjutan Lampiran 6

b. Sampel AFC 04 (fine coal)

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00

0 500

1000 1500

2000 2500

3000 3500

4000 4500

%T

(40)

27

26

lanjutan Lampiran 6

c. Sampel AFC 05 (fine coal)

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00

0 500

1000 1500

2000 2500

3000 3500

4000 4500

%T

(41)

27

1377.17: 1446.61 CH3 substituen cincin aromatik

1597.06 C=O

2850.79

C-H aldehida 2924.09

3209.55 C-O-H karboksilat lanjutan Lampiran 6

1342.46: 1481.33 CH3 substituen cincin aromatik

1585.48 C=O

2858.51

C-H aldehida 2943.37

3259.69 C-O-H karboksilat

AFC 05

1381.03: 1454.33 CH3 substituen cincin aromatik

1600.24 C=O

2850.79

C-H aldehida 2924.09

(42)

28

Lampiran 7 Hasil koagulasi dan flokulasi a. Pengukuran standar turbidimetri

b. Koagulasi fine coal dengan tawas

No Standar Kekeruhan

(43)

29

lanjutan Lampiran 7

(44)

30

lanjutan Lampiran 7

(45)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 17 Agustus 1991, putri kedua dari 2 bersaudara dari pasangan Yamin Setiadi dan Mulani. Penulis lulus dari Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBo) pada tahun 2010, lalu diterima di Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB pada tahun 2012, Kimia Organik Layanan ITP tahun 2013, dan Kimia Organik D3 Analisis Kimia tahun 2014. Penulis pernah melaksanakan praktik lapangan di Laboratorium Obat, Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional.

Gambar

Gambar 3  Spektrum inframerah batu bara (Cimadevilla et al. 2003)
Gambar 4  Spektrum FTIR akrilamida (            ) dan PAM nonionik (            )
Gambar 6  Fine coal tetap stabil dalam fase air setelah sentrifugasi
Gambar 7  Penurunan kekeruhan fase air
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari pengukuran keuangan yang digunakan oleh PT MSIG dapat dikategorikan baik, berdasarkan rasio keuangan yang ditunjukkan oleh perhitungan diatas, hal

Kejujuran akan produk yang dita- warkan kepada pelanggan, pastikan pelanggan mendapatkan informasi barang yang benar- benar sesuai dengan detail barang yang dijual,

Hasil temuan ini tidak konsisten dengan penelitian Jones, Norman, dan Wier (2010) yang menyatakan gaya hidup sehat yang dimediasi oleh vitalitas dan peningkatan

Ravenhill Chapter 6 Balaam Chapter 7 Gilpin Chapter 9 and 10 40 Menit Diksusi Awal mengenai bahan bacaan dan tanya jawab tentang pertanyaan pemantik diskusi yang diberikan

Prinsip Syariah diatur dalam Pasal 1 ayat (13) UU Perbankan, menurut ketentuan Pasal tersebut, prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan

Agar hama eksotik ini dapat dikendalikan secara hayati dengan keberhasilan yang tinggi perlu pemahaman, antara lain tentang penyebaran, tumbuhan inang, populasi,

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum

dengan job satisfaction pada guru ditunjukkan dengan besarnya koefisien determinasi dari tersebut, yaitu sebesar 0,458 yang berarti bahwa 45,8% varians dari job