• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH LAKTASI YANG DIBERI PAKAN

RUMPUT GAJAH (

Pennisetum purpureum

) DENGAN UKURAN

POTONGAN YANG BERBEDA

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Jodi Novianti

(4)

RINGKASAN

JODI NOVIANTI. Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda. Dibimbing oleh BAGUS P. PURWANTO dan AFTON ATABANY.

Produksi susu segar dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan nasional karena rendahnya produktivitas ternak. Pakan ternak dan cara pemberian yang sesuai dengan kebutuhan ternak dapat mendukung produksi dan produktivitas ternak. Pemberian rumput unggul tanpa dipotong menyebabkan banyak bagian terbuang yang menyebabkan tidak efisien, sehingga dilakukan pemotongan ukuran untuk melihat respon fisiologis ternak dalam meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan, serta efisiensi produksi susu sapi.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Oktober 2013 di Laboratorium Lapang Fapet IPB dengan menggunakan sapi perah laktasi pertama sebanyak empat ekor yang diberikan pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan ukuran potongan 5 cm, 10 cm, 15 cm dan kontrol (tanpa potongan) serta konsentrat. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Bujur sangkar Latin

(RBSL) dan dianalisa secara ANOVA pada empat taraf perlakuan dengan respon fisiologis, konsumsi, kecernaan dan efisiensi produksi susu sebagai peubah yang diamati.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kandang maupun lingkungan berpotensi menyebabkan cekaman stress (THI : 68–90). Ukuran potongan rumput tidak nyata berpengaruh terhadap respon denyut jantung dan laju respirasi dengan nilai tertinggi pada ukuran potong 10 cm masing – masing 71.7 ± 3.4 kali/menit; 44.6 ± 5.5 kali/menit dibandingkan ukuran potong kontrol, 5 cm dan 15 cm. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, suhu rektal, suhu permukaan dan suhu tubuh dengan ukuran potongan 5 cm sedikit lebih tinggi dibandingkan ukuran potongan lainnya. Pada sapi perah laktasi, konsumsi pakan digunakan untuk perkembangan tubuh ternak dan produksi susu sehingga diharapkan dengan adanya pemotongan dapat meningkatkan produksi susu. Namun didapatkan perlakuan pemotongan rumput tidak nyata pengaruhnya terhadap konsumsi dan produksi susu (P>0.05). Rataan konsumsi BK pakan dan produksi susu dengan ukuran potong 5 cm (17.11 ± 3.12 kg; 6.06 ± 1.39 liter) lebih tinggi dibandingkan ukuran 15 cm (16.28 ± 4.05 kg; 5.49 ± 1.93 liter), kontrol (15.97 ± 3.12 kg; 5.35 ± 1.55 liter) dan 10 cm (15.71 ± 0.55 kg; 5.28 ± 1.42).

(5)

Berdasarkan penelitian dapat dikatakan bahwa pemotongan ukuran rumput tidak mempengaruhi respon fisiologis ternak (respon normal) namun meningkatkan konsumsi pakan 0.2-0.9 kg BK/ekor/hari dan produksi susu sebanyak 0.2 – 0.5 liter per hari, serta efisiensi protein susu sebesar 2.3%-3.1%. Kata kunci : ukuran potongan rumput, respon fisiologis, konsumsi pakan,

(6)

SUMMARY

JODI NOVIANTI. Physiological Response Of Lactating Fh Dairy Cow On Giving Elephant Grass (Pennisetum Purpureum) With Different Cutting Size. Supervised by BAGUS P. PURWANTO and AFTON ATABANY.

Domestic fresh milk production had not been able to fulfill national consumption because low productivity of dairy cows. The right animal feed and feeding method would support productivity of dairy cows. Distribution of superior grass without cutted causing a lot of wasted parts that made unefficiency, so the grass size would be cutted to see the physiological responses of animal an increasing feed consumption, digestibility, and milk production efficiency.

The study was conducted on July until October 2013 in Field Laboratory of Animal Husbandry IPB using four lactation dairy cattle was gave elephant grass (Pennisetum purpureum) on cut size 5 cm, 10 cm, 15 cm and control (without cutting size) and consentrate. The research designs were Latin Square Design (RBSL) and analyzed by ANOVA on the four stage treatment with physiological responses, consumption, digestibility, milk production efficiency as observed variables.

(7)

Based on the researched that cutting size of grass was not affect to animal physiological responses (normal response), but cutting size could be increase feed intake as 0.2-0.9 kg DMI/head/day, milk production as 0.2-0.5 liters per day, and efficiency of milk protein as 2.3%-3.1%.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH LAKTASI YANG DIBERI PAKAN

RUMPUT GAJAH (

Pennisetum purpureum

) DENGAN UKURAN

POTONGAN YANG BERBEDA

(10)
(11)

Judul Tesis : Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda

Nama : Jodi Novianti

NIM : D151120161

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Bagus P. Purwanto, M.Agr Ketua

Dr Ir Afton Atabany, M.Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr Ir Salundik, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 19 Juni 2014

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai Oktober 2013 ini ialah respon fisiologis sapi perah, dengan judul Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister pada program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa proses penelitian dan penulisan dari tesis ini tidak akan berjalan lancar tanpa adanya dukungan dari banyak pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih. Kepada yang terhormat Bapak Dr Ir Bagus P. Purwanto, MAgr dan Bapak Dr Ir Afton Atabany, MSi selaku komisi pembimbing, penulis menghaturkan ucapan terimakasih atas curahan waktu, arahan, bimbingan, dan dorongan semangat mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr Ir Salundik selaku penguji luar komisi pada ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan.

Kepada Bapak Sigid Prabowo, SPt. MSc, Bapak Dedi Permadi beserta staf dari Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB, penulis mengucapkan terimakasih atas pendampingannya selama melakukan penelitian. Kepada Dr Ir Salundik MSi selaku Ketua Program Studi ITP serta jajarannya (Ibu Ade dan Mba Okta) di sekretariat Pasca ITP, penulis menghaturkan terimakasih atas pelayanan prima selama penulis menempuh studi. Kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi ITP angkatan 2012 terimakasih atas kebersamaannya dalam diskusi-diskusi selama ini dan semoga persahabatan serta kerjasama ini tetap terjalin pada waktu mendatang. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu penulis juga mengucapkan terima kasih.

Terima kasih kepada Badan SDM Kementerian Pertanian atas beasiswa dan Dr Ir Afton Atabany, MSi atas bantuan dana penelitian sehingga penulis dapat melakukan penelitian dengan lancar. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mama Mardiana Simatupang dan suami tercinta Parlindungan Silaban atas dukungannya selama sekolah pascasarjana ini dan anak-anak (Hezky, Hasianna dan Raja) atas doa, kasih sayang, kesabaran dan dukungan serta motivasi yang selalu diberikan pada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Sapi Perah FH (Fries Holland) 2

Produksi dan produktivitas Sapi Perah 3

Rumput Gajah 3

Manajemen Pemberian Pakan 5

Respon Fisiologis 6

3 METODE 7

Lokasi dan Waktu 7

Materi 7

Prosedur 8

Peubah yang diamati 9

Analisis Data 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Kondisi Mikroklimat Lingkungan dan Kandang 11

Respon Fisiologis 13

Konsumsi Pakan dan Produksi Susu 17

Kecernaan Pakan dan Efisiensi Produksi Susu 19

5 SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 29

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kandungan nutrient rumput gajah (% BK) 5

2 Analisa Proksimat Pakan Ternak 8

3 Kondisi mikroklimat selama penelitian 11

4 Hasil respon fisiologis sapi perah terhadap perlakuan ukuran

pemotongan 13

5 Suhu rektal ternak sapi perah (o C) selama penelitian 14

6 Suhu permukaan tubuh (o C) selama penelitian 15

7 Suhu tubuh (o C) selama penelitian 15

8 Denyut jantung (kali/menit) selama penelitian 16

9 Laju respirasi (kali/menit) selama penelitian 17

10 Konsumsi pakan dan produksi susu selama penelitian 17

11 Produksi dan kualitas susu 19

12 Hasil kecernaan nutrien terhadap perlakuan ukuran potongan rumput gajah 19

13 Efisiensi produksi susu 21

DAFTAR GAMBAR

1 Tanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) 4

2 Ukuran potongan rumput 8

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi perah laktasi sangat sensitif terhadap stress panas. Mekanisme termoregulasi dalam menjaga keseimbangan termal pada sapi dapat menurunkan produksi susu (Collier et al. 1982; Shearer dan Beede 1990). Faktor lainnya seperti tahap laktasi dan kebutuhan reproduksi juga mempengaruhi toleransi panas pada sapi (Igono dan Johnson 1990). Metode yang dilakukan untuk mengevaluasi atau memprediksi pengaruh kondisi termal pada intake (asupan) dan tahap laktasi harus memperhitungkan sensitivitas hewan dan respon terhadap faktor lingkungan.

Pemeliharaan sapi perah pada kondisi iklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi dapat menurunkan produktivitas ternak dan produksi susu (Amir 2010). Kebutuhan energi pada sapi perah laktasi ditentukan oleh kebutuhan untuk hidup pokok yang dipengaruhi oleh berat badan, sedangkan kebutuhan untuk produksi susu dipengaruhi oleh banyaknya susu yang disekresikan dan kadar lemak yang terkandung di dalam susu (Bath et al. 1985).

Kebutuhan nutrisi sapi perah laktasi erat hubungannya dengan bobot badan dan produksi susu yang dihasilkannya, sedangkan konsumsi pakan erat kaitannya dengan kandungan serat kasar pakan sehingga konsumsi pakan akan menurun apabila kandungan serat kasar pakan tinggi (Sutardi 1981). Asupan (intake) pakan merupakan salah satu faktor untuk mempertahankan produksi susu. Sapi seharusnya diusahakan agar dapat memaksimalkan intake pakan selama laktasi.

Hijauan menjadi sumber kehidupan penting dalam perkembangan ternak, oleh karena itu hijauan diharapkan yang berkualitas baik dan mudah dicerna oleh ternak. Menurut Riyanthi (2006), tidak adanya pengaruh pemberian pakan rumput gajah dengan ukuran pemotongan yang berbeda terhadap tingkah laku makan pada sapi PFH laktasi. Pemotongan pada hijauan unggul khususnya rumput gajah (Pennisetum purpureum) menjadi perhatian dalam penelitian ini, karena ukuran rumput yang dimulai dari batang hingga daun dapat tumbuh cepat dan tegak mencapai 2-4 meter (Reksohadiprodjo 1985), maka diperlukan perlakuan yang memudahkan ternak untuk menghabiskan keseluruhan bagian rumput. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh ukuran potongan rumput terhadap respon fisiologis ternak yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan, kecernaan, produksi susu dan efisiensi.

Perumusan Masalah

Manajemen pemeliharaan pada sapi perah sangat berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas ternak, termasuk didalamnya pemberian pakan ternak yaitu Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) sebagai makanan ternak dapat menopang pertumbuhan dan perkembangan ternak.

(16)

2

seluruh bagian-bagian rumput maka dilakukan pemotongan yang belum diketahui seberapa besar rumput tersebut tercerna dan terserap secara maksimal pada ternak.

2. Pemberian pakan rumput gajah dengan metode pemotongan yang berbeda-beda belum diketahui pengaruhnya terhadap respon fisiologis ternak sapi perah FH masa laktasi yang dapat memberikan perubahan pada tingkat kecernaan dan produksi susu.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sapi FH melalui metode pemberian pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan ukuran potongan yang berbeda dan pengaruhnya terhadap respon fisiologis, tingkat kecernaan pakan serta produksi dan kualitas susu pada sapi FH.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini untuk meningkatkan produktivitas produksi susu ternak sapi FH.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rumput gajah yang umum diberikan kepada sapi dengan ukuran potongan rumput yang berbeda diharapkan dapat mempengaruhi produktivitas produksi susu.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah FH (Fries Holland)

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa sapi perah Fries Holland telah diternakkan lebih dari 2000 tahun yang lalu dan berasal dari North Holland dan West Friesland. Menurut sejarahnya bahwa bangsa sapi Fries Holland berasal dari

Bos taurus yang mendiami daerah beriklim sedang di dataran Eropa. Sebagian besar sapi tersebut memiliki warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari corpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus ke bawah dan di Belanda sendiri ada Fries Holland yang mempunyai warna coklat/merah dengan bercak-bercak putih.

(17)

3 Produksi dan Produktivitas Sapi Perah

Sapi perah dipelihara untuk menghasilkan air susu, berarti produktivitas sapi perah ditentukan oleh jumlah air susu yang dihasilkan. Air susu merupakan suatu bahan makanan alami yang mendekati sempurna dengan kandungan protein, mineral dan vitamin yang tinggi, menjadikan susu sebagai sumber bahan makanan yang essensial (Blakely dan Bade 1994).

Produktivitas sapi perah untuk menghasilkan air susu ditentukan oleh faktor utama, diantaranya kemampuan kelenjar ambing sebagai pabrik biologis untuk menghasilkan air susu. Selain itu, potensi produktivitas ternak pada dasarnya dipengaruhi faktor genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan (Karnaen dan Arifin 2009). Faktor genetik yang berpengaruh adalah bangsa ternak, sedangkan faktor lingkungan antara lain: pakan, iklim, ketinggian tempat, bobot badan, penyakit, kebuntingan dan jarak beranak, bulan laktasi serta paritas (Epaphras et al. 2004). Banyak sedikitnya produksi air susu seekor sapi setiap laktasi dapat dipengaruhi oleh tingkat laktasi, sedangkan pengaruh secara tidak langsung oleh musim dan ketinggian tempat yang berhubungan dengan suhu lingkungan karena suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat produksi air susu (Richard 1962; Ramelan 2001).

Peningkatan produksi susu menurut Talib (1999) tidak hanya bergantung pada kualitas genetik ternak secara independen, tetapi yang lebih penting adalah seberapa besar potensi genetik yang dibawanya dapat ditampilkan melalui manipulasi faktor lingkungan seperti manajemen pemeliharaan yang baik. Manajemen pemeliharan yang mempengaruhi produksi susu salah satunya yaitu frekuensi pemerahan. Namun pada sapi yang produksinya rendah frekuensi pemerahan tidak nyata menaikkan produksi susu (Ginting dan Sitepu 1989). Foley

et al. (1973) menyatakan interval pemerahan juga akan mempengaruhi kadar lemak susu. Interval pemerahan 12 jam adalah interval pemerahan yang seimbang dan optimal untuk sapi perah dengan potensi produksi yang tidak terlalu tinggi.

Manajemen cuaca lingkungan yang dapat diterapkan dengan mengatur waktu pemberian pakan yang tepat berdasarkan cuaca lingkungan yang sesuai. Manajemen pakan yang dapat diterapkan adalah dengan mengatur komposisi pakan yang tepat. Manajemen pakan dan cuaca lingkungan berfungsi agar produksi dan pelepasan panas tubuh seimbang. Keseimbangan panas tersebut adalah suatu syarat untuk mencapai kondisi fisiologis dan produktivitas ternak yang optimal. Keseimbangan panas tubuh dapat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal tubuh. Kondisi eksternal yang mempengaruhi tubuh yaitu suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan radiasi sinar matahari. Kondisi internal tubuh adalah proses-proses fisiologis di dalam tubuh, termasuk proses metabolisme pakan. Menurut Rakhman (2012), bahwa beban cekaman panas dari sapi perah dara dapat diatasi dengan pengaturan waktu pemberian pakan dan pemberian pakan dengan energi yang mudah dicerna.

Rumput Gajah

(18)

4

yang tinggi dan memiliki sifat memperbaiki kondisi tanah (Handayani, 2002). Berikut merupakan klasifikasi dari rumput gajah :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Sub Kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (Monokotil)

Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Cyperales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Pennisetum Rich.

Spesies : Pennisetum purpureum (USDA, 2012)

Rumput gajah dapat dikembangbiakkan menggunakan biji (generatif), atau menggunakan stek (vegetatif). Stek merupakan cara perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan menggunakan sebagian batang, akar, atau daun tanaman untuk ditumbuhkan menjadi tanaman baru. Perbanyakan vegetatif, dengan cara stek biasanya lebih mudah dan ekonomis. Umumnya petani mengembangbiakkan rumput dengan stek hanya menggunakan bagian tertentu dari batang rumput yang digunakan sebagai bahan stek. Bagian pangkal sampai bagian tengah adalah bagian yang sering digunakan sebagai bahan stek, sedangkan bagian ujung rumput biasanya masih diberikan pada ternak dan tidak digunakan sebagai bahan stek. (Sari 2010).

Rumput gajah memiliki karakter tumbuh tegak, merumpun lebat, tinggi tanaman dapat mencapai 7 m, berbatang tebal dan keras, daun panjang dan berbunga seperti es lilin. Kandungan protein kasar rumput gajah menurun dengan bertambahnya umur karena semakin tua umur rumput rasio daun lebih kecil dari batang dan meningkatnya serat kasar. Kandungan protein pada daun rumput gajah lebih tinggi dibandingkan batang. Setiap peningkatan umur atau dilakukan penundaan pemotongan selama sepuluh hari maka kandungan protein kasar akan menurun sebesar 0.87% (Syarifuddin, 2004). Rumput ini dapat beradaptasi pada daerah dingin dan tumbuh baik pada area dengan curah hujan tinggi (1500 mm per tahun) yang diikuti sistem perakaran yang dalam untuk bertahan saat musim

(19)

5 kering. Waktu panen kadang-kadang pada umur 6-8 minggu. Rumput gajah mempunyai kandungan bahan kering yang sangat tinggi tapi rendah kandungan protein jika dipotong masih muda (Mulyaningsih 2006). Kandungan nutrien rumput gajah dilihat pada Tabel 1.

Menurut penelitian lain menyatakan bahwa kandungan bahan kering rumput gajah umumnya rendah yaitu 12%-18%, tetapi seiring dengan meningkatnya umur tanaman kandungan BK ini cepat meningkat. Kandungan serat kasar berkisar dari 26.0%-40.5%. Beta-N sekitar 30.4%-49.6% dengan kandungan lemak kasar 1.0%-3.6%. Kandungan Phosphornya cukup tinggi yaitu 0.28%-0.39% dan pada batang 0.38%-0.52%, sedangkan Ca masing-masing 0.43%-0.48% dan 0.14%-0.23% pada daun dan batang. Kandungan TDN berkisar dari 40%-67% dengan kecernaan Bahan Kering sekitar 48%-71% (Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, 2003).

Manajemen Pemberian Pakan

Menurut Sutardi (1997), keberhasilan suatu teknologi pakan, homogenitas pengadukan ransum, laju aliran pakan dalam organ pencernaan, proses absorpsi dan deteksi kadar nutrien semuanya terkait dengan sifat fisik pakan. Ukuran partikel dan kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sifat fisik disamping distribusi ukuran partikel, bentuk dan karakteristik permukaan suatu bahan (Wirakartakusumah et al. 1992).

Manajemen pemberian pakan pada sapi perah sangat mempengaruhi produksi susu, Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan Karuniawati (2012), sebagian peternak dalam memberikan hijauan dilakukan secara perkiraan jumlah pakan tanpa ukuran potongan, dan diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Pada pagi hari, pakan hijauan diberikan pada pukul 07.00 pada saat sapi akan diperah sedangkan pada sore hari pakan hijauan diberikan pada pukul 16.00 pada saat sapi akan dan setelah diperah. Dengan metode tersebut, terlalu banyak sisa hijauan yang terbuang yang menyebabkan konsumsi pakan ternak menjadi sedikit. Namun petani pada umumnya memberikan pakan ternak tidak ditentukan jumlahnya, sehingga masih kurang/tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh ternak yang mengakibatkan produksi susu tidak maksimal. Oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk mengoptimalkan penggunaan pakan yang diberikan pada ternak tersebut.

Kecernaan pakan dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu metode In vitro, In sacco, In vivo. Tipe evaluasi pakan In vivo merupakan metode penentuan kecernaan pakan menggunakan hewan percobaan dengan analisis pakan dan feses.

Tabel 1 Kandungan nutrient rumput gajah (% BK)

Komponen Kandungan Nutrien (%)

(20)

6

Pencernaan ruminansia terjadi secara mekanis, fermentatif, dan hidrolisis (Mc Donald et al. 2002). Dengan metode In vivo dapat diketahui pencernaan bahan pakan yang terjadi di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai kecernaan pakan yang diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Koefisien cerna yang ditentukan secara In vivo biasanya 1% sampai 2 % lebih rendah dari pada nilai kecernaan yang diperoleh secara In vitro (Tillman et al. 1991).

Anggorodi (1994) menambahkan pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan merupakan usaha untuk menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna merupakan persentase nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrien yang dikonsumsi dengan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses.

Pemanfaatan sumber daya yang efisien merupakan komponen ekonomi yang penting. Pada peternakan sapi, pakan merupakan biaya terbesar dari produksi, oleh karena itu, konversi efisiensi dan pemberian nutrisi pakan ke dalam susu yang dijual langsung mempengaruhi profitabilitas susu. Efisiensi pakan sebagai ukuran untuk mengubah nutrisi ke dalam produk hewan telah digunakan dalam industri daging sapi, babi dan unggas, tetapi hanya baru-baru ini industri susu mulai mengevaluasi efisiensi pakan untuk sapi laktasi. Efisiensi pakan tidak hanya dilihat dari kepentingan ekonomi, tetapi juga merupakan monitor untuk pengelolaan hara pada pertanian. Apabila efisiensi pakan meningkat, maka lebih banyak nutrisi yang diarahkan ke dalam produksi susu dengan sedikit pupuk dan nutrisi yang diekskresikan (Linn et al. 2007). Optimalisasi dan efisiensi tersebut dapat dilakukan apabila diketahui besarnya kandungan nutrien, konsumsi, dan kecernaan bahan pakan tersebut.

Respon Fisiologis

Iklim tropis di Indonesia menjadi tantangan terbesar dalam upaya optimalisasi produksi susu tersebut. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa sapi perah akan dapat berproduksi dengan baik apabila dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman dengan batas maksimum dan minimum temperatur dan kelembaban lingkungan berada pada thermoneutral zone (ZTN). Diluar kondisi tersebut, sapi perah akan mudah mengalami stres. Stres panas terjadi ketika temperatur dan kelembaban berada di atas ZTN (Rumetor 2003). Parameter yang sering digunakan di berbagai negara untuk mengetahui potensi stres panas pada ternak adalah dengan Temperature Humidity Index (THI). Pada penelitian Sudrajad dan Adiarto (2011), diketahui bahwa rata-rata temperatur 25.26°C dan kelembaban 93.16% dengan pergerakan udara yang rendah, serta nilai

(21)

7 Pengaruh langsung stres panas terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance untuk menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolik dan menurunkan konsumsi makanan. Dilaporkan dalam salah satu studi di Indonesia, temperatur lingkungan yang mencapai 29oC menurunkan produksi susu menjadi 10.1 kg ekor-1 hari-1 dari produksi susu 11.2 kg ekor-1 hari-1 bila dibandingkan dengan temperatur lingkungan hanya berkisar 18-20oC (Rumetor 2003).

Ketinggian tempat lokasi usaha peternakan dapat mempengaruhi penampilan ternak sapi perah. Hasil penelitian Calderon et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata penampilan reproduksi ternak di daerah panas dengan di daerah dingin. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72, apabila interaksi ini melebihi batas ambang ideal hidup ternak, dapat menyebabkan terjadinya cekaman/stres panas (Dobson et al. 2003). Penelitian Berman (2005) dan Jordan (2003) melaporkan pengaruh langsung stres panas terhadap penampilan reproduksi ternak. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan maintenance sebagai upaya ternak menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis dan konsumsi pakan, sehingga mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berdampak pada penurunan kemampuan berproduksi dan sekresi hormon reproduksi yang berhubungan dengan fertilitas ternak tersebut. Suhu lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dianggap kurang layak untuk mengembangkan sapi perah.

Capaian produksi susu harian dengan rataan per ekor 4-10 liter per hari, sehingga perlu pengamatan atau survey lebih jauh mengenai lokasi kandang ini dengan batasan pada sistem manajemen pemeliharaan seperti pemberian pakan khususnya sapi perah laktasi, kualitas pakan, serta system perkandangan di wilayah tersebut dengan memperhitungkan THI. Suhu lingkungan yang berubah– ubah/cenderung panas yang mempengaruhi termoregulasi ternak sapi perah laktasi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi susu harian per ekor ternak.

3

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2013.

Materi Ternak dan Pakan Ternak

Penelitian ini menggunakan empat ekor sapi FH laktasi pertama bulan keenam dengan estimasi umur 24-36 bulan yang ditandai dengan bergantinya sepasang gigi seri I1. Bobot ternak diukur sebesar 381.25 ± 20.17 kg. Pakan

(22)

8

Alat

Peralatan yang digunakan adalah termometer rektal digital (Safety, Japan),

Thermohygrometer dan thermometer bola basah dan bola kering (dry-wet, Sanghai), termometer pengukur suhu permukaan kulit digital/digital surface temperature/infrared thermometer (Anritsu Hl-2000, Tokyo), termometer bola hitam (black globe thermometer) atau pyranometer dan display, pengukur kecepatan angin atau anemometer, stethoscope, pengukur waktu (stopwatch), timbangan rumput dan konsentrat 100 kg dengan kepekaan 500 g, timbangan untuk feses dengan kapasitas lima kilogram dengan kepekaan 20 g.

Prosedur Pemeliharaan Ternak

Sapi laktasi yang dipelihara diberikan pakan rumput dengan potongan yang berbeda pada tiap – tiap perlakuan selama 21 hari, masa adaptasi pada pemberian pakan selama dua pekan (14 hari) yang dilanjutkan untuk pengumpulan data selama 7 hari terakhir. Pemberian pakan sebanyak ± 3% dari perkiraan bobot hidup dan penghitungan kebutuhan gizi pakan mengacu pada petunjuk Nutrient

Gambar 2 Ukuran potongan rumput Tabel 2 Analisa Proksimat Pakan Ternak

Parameter Pakan

Rumput Gajah Konsentrat

Kadar Air* 87.12 22.21

Kadar Abu* 11.03 11.83

Kadar Protein* 15.37 10.35

Serat Kasar* 30.20 13.05

Kadar Lemak* 3.18 5.48

Bahan Kering* 12.88 77.79

BETN**) 40.22 59.30

TDN*** 58.31 46.14

Sumber : *) Hasil Analisa Proksimat Laboratorium PAU, 2013 berdasarkan Bahan Kering; **) Berdasarkan Hasil Perhitungan;

(23)

9

Requirements of Dairy Cattle (NRC 2001). Rasio hijauan dan konsentrat adalah 60 : 40%. Pakan diberikan dua kali sehari yaitu pukul 08.00 dan 15.00 WIB. Pemberian air minum disediakan ad libitum.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati terdiri atas respons fisiologis dan kecernaan ternak sapi. Faktor lingkungan yang diukur meliputi suhu udara, kelembaban (RH), kecepatan angin dan jumlah radiasi matahari. Pengamatan faktor lingkungan tersebut dilakukan setiap hari pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB. Untuk pengamatan suhu udara, kelembaban udara dan radiasi matahari, diamati perubahan dengan interval 30 menit selama 11 jam (pukul 06.30 – 17.30 WIB).

Respons fisiologis ternak sapi yang diukur adalah suhu permukaan kulit (Ts), suhu rektal (Tr), menghitung suhu tubuh (Tb), frekuensi pernafasan (Rr), denyut jantung (Hr). Pencatatan suhu permukaan kulit (Ts), suhu rektal (Tr), suhu tubuh (Tb), frekuensi pernapasan (Rr) dan denyut jantung (Hr) setiap hari pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB.

Untuk konsumsi pakan diukur setiap hari pada pukul 06.30 WIB yang dihitung dari pakan yang diberikan 1 hari sebelumnya. Pengamatan terhadap kecernaan pakan dengan melakukan pengambilan (collecting) feses dalam 24 jam selama 7 hari pengamatan.

Faktor Lingkungan.

Suhu udara dan kelembaban diukur dengan thermometer bola kering dan bola basah. Pengukuran dilakukan didalam kandang. Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung dengan persamaan Hahn (1999) yaitu :

THI = Tbk + (0.36 x Tbb) + 41.2 Keterangan :

THI : Temperature Humidity Index, Tbk : Temperatur bola kering (o C) dan Tbb : Temperatur bola basah (o C)

Kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer digital di dalam kandang. Kecepatan angin yang terlihat pada anemometer dicatat sebagai kecepatan aktual. Intensitas radiasi matahari diukur dengan menggunakan

pyranometer dimana mempunyai satuan watt/m2 dengan interval waktu 30 menit Respons Fisiologis Sapi.

Suhu permukaan kulit (Ts) diukur pada empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung (a), dada (b), tungkai atas (c) dan tungkai bawah (d). Rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu :

Ts = 0.25 (a + b) + 0.32 c + 0.18 d

Suhu rektal (Tr) diukur dengan memasukkan thermometer klinis ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama tiga menit. Suhu tubuh (Tb) dihitung menggunakan data Ts dan Tr berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu :

(24)

10

Frekuensi Pernafasan/Respirasi (Rr) dan Denyut Jantung (Hr)

Denyut jantung dihitung dengan menggunakan statescope dan stopwatch

didekat tulang axilla sebelah kiri (dada sebelah kiri) selama satu menit setiap pengukuran.

Respirasi diukur setelah dilakukan pengukuran denyut jantung. Pengukuran respirasi dilakukan dengan cara menghitung hembusan nafas dari hidung ternak dan stopwatch untuk menghitung inspirasi dan ekspirasi selama satu menit.

Kecernaan.

Konsumsi ransum dihitung dengan menimbang sisa ransum yang diberikan dikurangi sisa ransum setiap hari. Tingkat kecernaan dilakukan dengan penampungan kotoran ternak selama 24 jam dan diambil sampel sebanyak 10% dari keseluruhan feses. Selama masa koleksi data, feses dikumpulkan, ditimbang basah, dikeringkan dan dianalisis untuk mengetahui komposisi kimianya (Anggorodi 1994).

Perhitungan kecernaan (semu) bahan pakan menurut Soejono (1990) adalah sebagai berikut :

Produksi dan Kualitas Susu

Selama masa koleksi data dilakukan pengumpulan data jumlah produksi susu harian dengan dilakukannya pemerahan susu selama 2 kali pada pukul 06.00 WIB dan 14.00 WIB. Selain itu untuk mengetahui kualitas susu dilakukan analisa susu setiap hari dengan milkotester selama 7 hari.

Efisiensi Produksi Susu

Dilakukan analisa dalam susu, pakan yang dikonsumsi (rumput gajah dan konsentrat) untuk mendapatkan nilai efisiensi produksi susu. Efisiensi produksi susu dihitung berdasarkan protein yang terkandung dalam produksi susu dalam kalori atau gram dibagi dengan protein dalam pakan yang dikonsumsi (Budiarsana dan Sutama 2001) :

Keterangan :

EP : Efisiensi produksi susu (%)

P : produk.(susu) yang dinyatakan dalam protein (gram) F : protein dalam pakan (gram)

Analisis Data

(25)

11 Terdapat dua faktor dalam percobaan ini yaitu individu sapi dan perlakuan, sehingga digunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin 4 X 4. Perlakuan yang

Model matematika dalam rancangan percobaan ini adalah (Steel dan Torrie 1995):

Yijk = μ + αi + βj + τk + εijk Keterangan :

Yijk : pengamatan dari perlakuan pakan ke-k dalam sapi ke-i dan waktu ke-j μ : nilai rataan umum

αi : pengaruh aditif dari kondisi periode (efek baris) βj : pengaruh aditif dari kondisi ternak (efek kolom) τk : pengaruh aditif dari urutan perlakuan

εijk : galat percobaan pada perlakuan ke-k dalam sapi ke-j dan periode ke-i Dengan menggunakan analisa statistik untuk faktor lingkungan (Suhu udara, THI dan intensitas matahari) dan anova untuk melihat pengaruh perlakuan pemberian pakan terhadap respon fisiologis, kualitas dan produksi susu, tingkat kecernaan dan efisiensi sapi perah laktasi.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Mikroklimat Lingkungan dan Kandang

Kondisi lingkungan berpengaruh penting terhadap produktivitas ternak, khususnya sapi perah. Kondisi mikroklimat selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Kondisi lingkungan selama penelitian dari pukul 6.30-17.30 mempunyai suhu kandang berkisar 22-32 oC dengan THI sekitar 68-90. Menurut Bohmanova

et al (2007), THI sapi perah yang nyaman dibawah 72 dengan kelembaban yang merupakan faktor pembatas dari stres panas di iklim lembab, sedangkan suhu udara kering adalah faktor pembatas stres panas di daerah beriklim kering. Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah. Suhu udara dan kelembaban harian di Indonesia umumnya tinggi, Tabel 3 Kondisi Mikroklimat selama penelitian

No. Peubah Rataan (Min-Max)

1. Suhu Lingkungan ( ºC) 30.21 ± 4.0 (21 – 35)

2. Suhu Kandang ( ºC) 28.53 ± 3.17 (22 – 32)

3. Kelembaban (%) 72.8 ± 17.49 (42 – 98)

4. Temperature Humidity Index (THI) Lingkungan

79.48 ± 4.17 (68 – 90) 5. Temperature Humidity Index (THI)

Kandang

(26)

12

yaitu berkisar antara 24-34 0C dan kelembaban 60-90%. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas sapi FH. Untuk sapi perah FH, penampilan produksi terbaik akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3 oC dengan kelembaban 55% (Yani dan Purwanto 2006). Bila melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behavior).

Berdasarkan Gambar 3 dan 4, dapat dilihat dimana suhu pada pagi hari baik di lingkungan maupun kandang berkisar 22 oC meningkat di siang hari yang mencapai 32 oC dan turun pada suhu 26 oC, begitu pula dengan THI yang memiliki grafik yang mengikuti fluktuasi suhu dengan THI pada pagi hari sekitar 68 kemudian meningkat mencapai 84 dan menurun mencapai 76. McDowell (1974) menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum, sedangkan hasil yang didapatkan berada pada kisaran stress ringan sampai dengan stress sedang dikarenakan suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan suhu kandang pun tidak berbeda jauh dimana angin pun tidak selalu berhembus (rataan kecepatan angin sekitar 0-1.2 km/jam) yang berhembus pada siang menjelang sore hari. Pada pagi hari dengan suhu lingkungan dan kandang berkisar 22 oC dan THI 68 (THI <72) dikatakan bahwa dengan kondisi lingkungan ini sapi dalam kondisi nyaman dan tidak menyebabkan stress pada ternak (Chase, 2006). Pada siang hari pukul 10.30-11.30 yang merupakan suhu dan THI maksimal berkisar 33 oC dan THI 84 (THI >72) dimana pada kondisi tersebut sapi masuk dalam kondisi stress sedang yang dapat menyebabkan peningkatan produksi saliva serta laju pernafasan, nafsu makan menurun dan minum akan meningkat serta meningkatnya suhu tubuh oleh karena itu pada kondisi lingkungan panas, ternak biasanya lebih selektif mengurangi pakan hijauan, relatif memilih konsentrat sebagi upaya mengurangi suhu inti tubuh melalui pengurangan produksi panas dari fermentasi, pencernaan dan proses metabolisme lainnya (Beede dan Collier 1986; Chase 2006). Oleh karena itu dapat dikatakan berdasarkan grafik suhu dan THI bahwa sapi merasa nyaman mulai dari pukul 6.00 sampai dengan pukul 9.30 dan dimulai kembali dari pukul 17.30.

Intensitas radiasi matahari yang mencapai 1.066 w m-2 di siang hari menyebabkan kondisi lingkungan yang panas, namun dengan adanya sedikit hembusan angin dapat mengurangi udara panas di dalam kandang.

(27)

13

Respon Fisiologis

Hasil pengukuran respon fisiologis ternak yang diberi perlakuan ukuran pemotongan rumput pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Suhu Rektal, Suhu Permukaan Tubuh dan Suhu Tubuh

Hasil penelitian ini, ukuran potongan rumput yang berbeda berpengaruh nyata terhadap suhu rektal sapi perah (p<0.05) dan pada uji lanjut yaitu ukuran pemotongan 5 dan 10 cm berbeda dengan kontrol dan 15 cm (Tabel 4 dan 5). Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana pada tabel 5 didapatkan pada pagi hari (pukul 06.00) suhu rektal lebih rendah dibandingkan pada siang (pukul 12.00) dan sore hari (pukul 18.00). Pada pagi hari, suhu lingkungan berkisar 22 oC dengan THI yang nyaman (THI<72) didapatkan suhu rektal yang lebih rendah dibandingkan siang dan sore hari dimana tubuh ternak menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang lebih panas. Menurut Bouraoui et al (2002) didapatkan suhu rektal secara signifikan berbeda pada musim semi (38.36 oC) ke musim panas (38.86 oC). Suhu rektal merupakan indikator keseimbangan termal dan dapat digunakan untuk menilai kondisi dari lingkungan termal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, laktasi, dan reproduksi sapi perah. Kenaikan dari 1oC atau kurang dalam suhu rektal sudah cukup untuk mengurangi kinerja pada sebagian besar spesies ternak, yang membuat indikator suhu tubuh sensitif dari respon fisiologis terhadap stres panas pada sapi (McDowell et al. 1976; Johnson 1980; Kadzere et al. 2002). Shalit et al. (1991) mencatat suhu rektal sapi laktasi 0.9 oC lebih tinggi dari pada sapi pre-partum pada kondisi lingkungan yang serupa dikarenakan sapi perah laktasi tampaknya lebih termo-labil daripada yang sedang tidak laktasi.

Gambar 4 Nilai THI Lingkungan (♦) dan THI Kandang (■)

Tabel 4 Hasil respon fisiologis sapi perah terhadap perlakuan ukuran pemotongan

Keterangan Pemotongan (cm)

Kontrol 5 10 15

(28)

14

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) sebelumnya juga mendapatkan bahwa suhu rektal sapi berkisar antara 38,0-39.0 °C (rata-rata 38.6 °C) dan berdasarkan penelitian De Rensis dan Scaramuzzi (2003), suhu rektal ternak berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 oC. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa suhu rektal ternak masih berada dalam kondisi normal walaupun diberikan perlakuan perbedaan potongan ukuran rumput pakan. Pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa ukuran potongan rumput 5 dan 10 cm berbeda dengan ukuran potongan kontrol dan 15 cm. Hal ini dapat dikarenakan peningkatan kecernaan ransum menyebabkan laju pakan ke organ pasca rumen akan lebih cepat dan lambung akan cepat kosong sehingga mendorong ternak untuk makan terus (Indriani et al. 2013), yang dapat menyebabkan peningkatan suhu rektal. Hal ini dapat disebabkan ternak berhasil melakukan proses termoregulasi atau pengaturan keseimbangan panas melalui mekanisme homeostatis di dalam tubuh yang merupakan perwujudan kerja organ-organ tubuh (Purwanto et al. 1995). Pada siang hari, suhu rektal lebih tinggi (38.61 ± 0.24 °C) dibandingkan pada pagi (37.74 ± 0.21°C) dan sore hari (38.52 ± 0.23 °C) dikarenakan ternak berada dalam kondisi stres sedang dimana respon ditandai dengan peningkatan suhu rektal dan apabila peningkatan denyut nadi serta laju respirasi mampu mengatasi cekaman panas maka suhu rektal sedikit sekali mengalami peningkatan. Suhu rektal, denyut jantung, dan laju respirasi mempunyai hubungan yang erat.

Suhu permukaan tubuh ternak pada penelitian ini berkisar 30-34 oC, dimana perbedaan ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan tubuh (Tabel 4 dan 6). Nilai tersebut sesuai dengan suhu permukaan kulit sapi yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar 33.5-37.1 oC (Tucker et al. 2008). Pola perubahan suhu permukaan kulit ternak sapi, seirama dengan tingkat panas yang diterima. Kulit merupakan bagian terluar penerima panas yang suhunya secara langsung mengikuti perubahan suhu lingkungan dan dikarenakan level energi ransum pada penelitian ini sama maka dapat dimungkinkan panas yang diproduksi tidak terlalu berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian Amir (2010) yang mengatakan bahwa level energi ransum yang berbeda mempengaruhi secara langsung terhadap panas yang diproduksi oleh ternak.

Tabel 5 Suhu rektal ternak sapi perah (o C) selama penelitian

(29)

15

Suhu tubuh terdiri dari suhu rektal dan suhu permukaan tubuh. Ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap suhu tubuh (P>0.05). Hasil rataan suhu tubuh pada ukuran potongan rumput 5 cm (37.45 ± 0.19) lebih tinggi dibandingkan kontrol (37.17 ± 0.12), 10 cm (37.37 ± 0.07), 15 cm (37.21 ± 0.08).

Pada Tabel 7, perubahan suhu tubuh mulai dari pukul 06.00 (36.13 ± 0.29) meningkat pada pukul 12.00 (38.07 ± 0.22) dan kembali menurun pada pukul 18.00 (37.70 ± 0.21). Suhu lingkungan serta kondisi fisiologis ternak laktasi yang memerlukan energi untuk produksi susu dan metabolisme tubuh juga mempengaruhi nafsu makan ternak. Suhu lingkungan penelitian pada sore hari berkisar 26-27 oC dan THI berkisar 76-78 yang berada pada cekaman stress ringan. Suhu tubuh meningkat dengan peningkatan suhu lingkungan, sehingga tubuh menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan sapi perah akan menyesuaikan dengan mencari naungan, meningkatkan laju respirasi dan pelebaran pembuluh darah serta pengaruh terhadap produksi susu akan minimal. (Bouraoui et al. 2002; Moran 2005; Chase 2006). Weeth et al. (2008) mengatakan bahwa suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan.

Denyut Jantung

Ukuran potongan rumput tidak mempengaruhi denyut jantung (Tabel 8). Denyut jantung yang didapatkan pada potongan 10 cm (72 ± 3.4 kali/menit) lebih besar dibandingkan dengan ukuran potongan kontrol (71 ± 4.4 kali/menit), 15 cm (70 ± 1.7 kali/menit) dan 5 cm (70 ± 1.6 kali/menit) dengan nilai minimum – maksimum antara 66-74 kali per menit. Nilai rataan ini masih dalam kisaran hasil penelitian Purwanto et al. (1993) yang memperoleh rataan denyut jantung antara 52-76 kali/menit. Perubahan suhu pada kandang dapat mempengaruhi perubahan denyut jantung sapi perah FH.

Pagi (06.00) 36.03±0.39 36.29±0.24 36.19±0.18 36.02±0.30 36.13±0.29

Siang (12.00) 37.96±0.25 38.19±0.31 38.12±0.09 37.99±0.17 38.07±0.22

Sore (18.00) 37.51±0.15 37.86±0.23 37.81±0.13 37.62±0.15 37.07±0.21

Rataan 37.17±0.12 37.45±0.19 37.37±0.07 37.21±0.08

Tabel 6 Suhu permukaan tubuh (o C) selama penelitian

Data Harian Pemotongan Rataan

Kontrol 5 10 15

Pagi (06.00) 25.47±2.89 26.79±2.01 26.58±1.62 26.33±1.54 26.29±1.94

Siang (12.00) 34.69±0.18 34.79±0.36 34.56±0.71 34.78±0.20 34.70±0.39

Sore (18.00) 32.52±0.78 32.86±0.59 32.67±0.49 32.71±0.53 32.69±0.56

(30)

16

mengalami cekaman panas dimana menurut Purwanto et al. (1995) reaksi mekanisme homeostasis (termoregulasi) untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh dan apabila terjadi peningkatan suhu udara maka diikuti dengan peningkatan denyut jantung yang merupakan mekanisme fisiologis ternak sehingga ternak berusaha mempercepat frekuensi denyut jantung untuk membuang panas.

Laju Respirasi

Laju respirasi dengan rataan yang didapatkan berkisar 34-50 kali per menit. Nilai rataan ini masih dalam kisaran hasil penelitian Purwanto et al. (1993) yang memperoleh rataan respirasi pernafasan antara 25-65 kali menit-1 pada sapi perah pada posisi berdiri, namun menurut Frandson (1992), kegiatan frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah 10-30 kali/menit, sedangkan pada pedet sebanyak 15-40 kali menit-1 sehingga dapat dikatakan bahwa ternak mengalami cekaman. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen setelah olahraga, terpapar pada kondisi suhu lingkungan dan kelembaban relatif yang tinggi serta kegemukan (Baret et al.

2010).

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa pada pagi hari (06.00), laju respirasi (31 ± 8.8 kali.menit) cenderung lebih rendah dibandingkan siang (53 ± 4.6 kali/menit) dan kembali menurun pada sore hari (46 ± 6.2 kali/menit). Hal ini didukung oleh kondisi THI pada pagi hari kurang dari 72, menuju siang hari THI mencapai 82 dan sore hari kembali menurun berkisar 76. Menurut Chase (2006), pada THI lebih dari 72 terjadi reaksi pada sapi, terutama pada siang hari dengan THI diantara 80-89 dengan level stress sedang, dimana terjadi reaksi seperti produksi saliva menurun, laju respirasi meningkat, konsumsi pakan menurun, konsumsi air naik, suhu tubuh pun meningkat yang dapat menyebabkan produksi susu dan reproduksi menurun.

Ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap laju respirasi (P>0.05). Hasil penelitian didapatkan bahwa rataan laju respirasi pada ukuran potongan rumput 10 cm (45 ± 5.5 kali/menit) lebih tinggi dibandingkan kontrol (42 ± 7.8 kali/menit), 5 cm (44 ± 5.2 kali/menit) dan 15 cm (43 ± 6.0 kali/menit). Peningkatan intensitas laju respirasi yang terjadi merupakan reaksi sapi terhadap perubahan suhu lingkungannya, hal ini akan berdampak terhadap naiknya produksi panas didalam tubuh ternak. Peningkatan respirasi pernafasan juga membantu hewan meningkatkan kehilangan panas tubuh melalui saluran pernapasan (Purwanto et al. 1993).

Tabel 8 Denyut Jantung (kali/menit) selama penelitian

(31)

17

Konsumsi Pakan dan Produksi Susu

Perlakuan fisik pada pakan ternak dapat dilakukan dengan pemotongan untuk memperkecil ukuran hijauan. Ukuran yang lebih kecil akan memperluas permukaan sehingga enzim-enzim pencernaan akan lebih mudah meresap dan pada ternak ruminansia akan lebih mencerna (McDonald et al. 2002). Pakan yang diberikan pada sapi perah laktasi yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum) sebanyak 36.29 ± 2.2 kg per hari dan konsentrat sebanyak 7.25 ± 1.31 kg per hari dengan rataan konsumsi BK rumput gajah sebesar 4.68 ± 0.28 kg per hari dan konsentrat sebesar 0.93 ± 0.17 kg perhari. Hasil penelitian didapatkan bahwa perlakuan pemotongan rumput tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap konsumsi pakan. Rataan konsumsi pakan per hari selama penelitian yaitu 9.08 ± 1.12 kg BK perhari yang dapat menghasilkan rataan susu sebesar 5.54 ± 1.45 liter per hari. Pengaruh ukuran potongan rumput terhadap performa konsumsi pakan dan produksi susu disajikan pada Tabel 10.

Pada Tabel 10, ukuran potongan rumput 5 cm didapatkan rataan konsumsi BK yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, 10 cm dan 15 cm. Hal ini memungkinkan karena dengan pemotongan 5 cm, hampir seluruh bagian rumput termakan, dibandingkan dengan konsumsi BK tanpa potongan (kontrol), 10 cm dan 15 cm. Pada sapi laktasi, konsumsi pakan sangat penting untuk memproduksi susu yang maksimal. Namun kondisi lingkungan pun berpengaruh terhadap kondisi tubuh sapi. Sapi dengan kondisi nyaman akan menghasilkan susu yang baik.

Tabel 9 Laju respirasi (kali/menit) selama penelitian

Data Harian Pemotongan Rataan

Tabel 10 Konsumsi pakan dan produksi susu selama penelitian

Keterangan Pemotongan (cm)

Kontrol 5 10 15

Pemberian pakan (kg)

Hijauan 36.25±2.50 36.25±2.50 36.43±2.41 36.25±2.50 Konsentrat 7.25±1.50 7.25±1.50 7.25±1.50 7.25±1.50 Sisa pakan (kg)

Hijauan 10.33±5.89 7.66±5.11 10.71±4.38 9.65±7.22

Konsentrat 0 0 0 0

Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) :

Bahan Kering 8978.00±1287.48 9322.49±1361.39 8929.83±749.68 9089.27±1430.25 Protein Kasar 1096.80±151.98 1149.76± 153.93 1089.39±61.33 1113.90±187.89 TDN 4548.71±635.99 4749.58± 658.81 4520.63±303.66 4613.59±751.22 Susu (g/ekor/hari) :

(32)

18

Peningkatan produksi susu dapat dilihat dari peningkatan konsumsi pakan dalam bentuk bahan kering, TDN dan protein yang terkandung di dalam bahan pakan yang disintesa menjadi zat-zat nutrient dalam darah dan terjadi penyerapan yang dapat meningkatkan produksi susu dan kadar protein serta lemak dalam susu (McDonald et al. 2002). Konsumsi bahan kering (BK), protein kasar dan TDN pakan dan susu tidak berbeda nyata terhadap ukuran potongan rumput (p>0.05). Konsumsi bahan kering, protein kasar dan TDN pakan pada ukuran potongan rumput 5 cm lebih tinggi dibandingkan ukuran potongan kontrol, 10 cm dan 15 cm sejalan dengan hasil analisa bahan kering, protein dan lemak susu dimana ukuran potongan rumput 5 cm lebih tinggi dibandingkan ukuran potongan kontrol, 10 cm dan 15 cm (Gambar 3 dan 4). Berdasarkan NRC (2001), kebutuhan konsumsi bahan kering pakan sapi laktasi sebesar 12.4 kg menghasilkan susu 10 kg, sehingga dibandingkan dengan nilai konsumsi bahan kering pakan penelitian masih dibawah nilai kebutuhan sapi (rata-rata konsumsi bahan kering sebesar 9.08 ± 1.12 kg dan produksi susu sebesar 5.7 ± 1.5 kg). TDN erat kaitannya dengan energi yang dihasilkan. Nilai rata-rata TDN pada pakan didapatkan sebesar 51.65%, Berdasarkan NRC (2001), nilai TDN pada pakan untuk ternak laktasi dengan bobot 350 kg sebesar 56.2% dibandingkan dengan nilai TDN pakan masih dibawah kebutuhan ternak, sehingga perlu adanya suplemen kaya protein dan lemak untuk meningkatkan nilai TDN.

Perlakuan pemotongan rumput terhadap produksi susu tidak berbeda nyata (p>0.05). Produksi susu pada pemotongan ukuran rumput 5 cm (6.06 ± 1.39 liter hari-1) lebih besar dibandingkan kontrol (5.35 ± 1.55 liter hari-1), 10 cm (5.28 ± 1.42 liter hari-1) dan 15 cm (5.49 ± 1.93 liter hari-1). Rataan produksi susu terjadi peningkatan sekitar 0.2- 0.5 liter antar ukuran potongan rumput (Tabel 11) namun hasil yang didapatkan kurang dari rata-rata produksi susu sapi di daerah tropis pada suhu nyaman yang berkisar antara 9-12 liter per hari (Asmaki et al. 2008). Energi di dalam tubuh sapi maupun hewan lainnya berperan dalam pemasukan makanan (feed intake), karena hewan pada umumnya, aktivitas makan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Panas yang diproduksi oleh ternak laktasi sebanyak dua kali lipat dibandingkan ternak yang tidak sedang laktasi (McDonald

et al. 2002).

Ukuran potongan rumput tidak berbeda nyata terhadap kadar protein dan lemak, namun terjadi peningkatan kadar pada masing-masing potongan sekitar 0.02%-0.03 % (protein) dan 0.03%-0.19 % (lemak). Rataan kadar protein dan lemak pada ukuran potongan 5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran kontrol, 10 cm dan 15 cm. Peningkatan kadar protein pada susu tergantung pada asupan protein dalam pakan ternak yang membentuk asam amino dan diserap tubuh melalui darah (Mc Donald et al. 2002). Kandungan protein dan lemak pada susu sapi penelitian didapatkan hasil lebih dari standar SNI yaitu rataan kadar Protein yaitu 3.54% dan kadar lemak yaitu 4.62% (Tabel 11). BSN (1998) menyatakan susu segar memiliki kadar protein minimal 2.7% dan lemak minimal 3%.

(33)

19 namun besarnya efek ini tidak tergantung pada jumlah material organik yang difermentasi yang memasuki rumen dalam satu kali makan. Begitu pula dengan kadar lemak susu yang didapatkan lebih besar dari standar SNI, sehingga sesuai dengan pendapat Sudono et al. (2003), pakan hijauan menyebabkan kadar lemak susu tinggi karena lemak susu tergantung dari kandungan serat kasar dalam pakan.

Kecernaan Pakan dan Efisiensi Produksi Susu

Kecernaan zat-zat makanan pada ternak berhubungan erat dengan kemampuan mikrob rumen dalam melakukan proses fermentasi dalam rumen. Rataan Bahan Kering (BK) dan Bahan organik (BO) pakan, feses dan kecernaan zat-zat makanan pakan disajikan pada Tabel 12.

Berdasarkan Tabel 12 didapatkan bahwa ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap bahan kering (BK) konsumsi pakan dan BK Feses (P>0.05) dengan rataan bahan kering konsumsi pakan sebesar 9.08 ± 1.12 kg hari-1

Tabel 11 Produksi dan kualitas susu

Keterangan Pemotongan (cm)

Tabel 12 Hasil kecernaan nutrien terhadap perlakuan ukuran potongan rumput gajah

(34)

20

dan BK feses sebesar 3.33 ± 0.44 kg hari-1. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ukuran potongan rumput memiliki tingkat palatabilitas yang sama yang merupakan satu jenis pakan yang sama. Menurut Faverdin et al. (1995) palatabilitas merupakan faktor utama yang menjelaskan perbedaan konsumsi bahan kering antara pakan dan ternak-ternak yang berproduksi rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa palatabilitas pakan umumnya berasosiasi dengan kecernaan yang tinggi dari suatu pakan. Begitu pula dengan bahan organik (BO) konsumsi pakan dan feses tidak berbeda nyata terhadap ukuran potongan rumput (P>0.05) dengan rataan masing – masing sebesar 8.03 ± 0.99 kg hari-1 dan 2.83 ± 0.37 kg hari-1.

Ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan BK dan BO (P>0.05) dengan rataan kecernaan BK sebesar 62.73 ± 6.26% dan kecernaan BO sebesar 64.28 ± 5.85%. Kandungan dan kualitas nutrien bahan pakan menentukan kecernaan bahan pakan dan peningkatan kecernaan bahan kering sejalan dengan peningkatan kecernaan bahan organik (Surono et al. 2003; Yurleni 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering, yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam ransum tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak dan mineral Kecernaan sering erat hubungannya dengan konsumsi, yaitu pada pemberian hijauan tua yang sifatnya sangat voluminous dan lamban dicerna dibanding dengan bagian tanaman yang tidak berserat. Hubungan tersebut didapatkan pada hijauan yang kecernaannya di bawah 66%. Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba rumen (Tilman et al. 1991; Anggorodi 1994).

Menurut Tilman et al. (1991), kisaran normal bahan kering yaitu 50.7%-59.7% sehingga dapat dilihat bahwa rataan kecernaan bahan kering konsumsi pakan yang diberikan potongan lebih tinggi dibandingkan tanpa dipotong (kontrol). Walaupun dalam statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan, namun terdapat kecenderungan bahwa ukuran potongan 5 memberikan nilai konsumsi yang lebih tinggi daripada ukuran potongan 10, 15 dan kontrol. Namun walaupun konsumsi pakan pada ukuran potongan 5 cm lebih tinggi daripada ukuran potongan 10, 15 dan kontrol, nilai kecernaannya hampir sama pada pakan yang dipotong dibandingkan dengan kontrol (tanpa dipotong).

(35)

21 potongan rumput gajah yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kecernaan protein (P<0.05).

Ukuran potongan rumput 5 cm dengan nilai kecernaan 66.35 ± 5.29 % dan 15 cm dengan nilai kecernaan 67.44 ± 4.83% berbeda nyata terhadap ukuran potongan rumput 10 cm dengan nilai kecernaan 64.61 ± 5.92% dan kontrol dengan nilai kecernaan 63.40 ± 7.65%. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan kecernaan protein pada potongan 5 dan 15 cm memiliki tingkat cerna protein yang sama. Rumput gajah merupakan tanaman perenial yang merupakan rumput potong yang mempunyai perakaran dalam, tegak dan membentuk rumpun, persentase batang daun yang cukup tinggi dibandingkan jenis tanaman lain sehingga ternak menyukai rumput tersebut, namun seiring pertumbuhan tanaman, proporsi komponen tercerna seperti karbohidrat terlarut, protein dan abu akan menurun namun karbohidrat selulosa seperti selulosa dan hemiselulosa maupun lignin meningkat sehingga kecernaan akan menurun (Whiteman 1980; Sudarnadi 1996; Rinne et al. 1997; McDonald et al. 2002).

(36)

22

Hasil penelitian didapatkan bahwa perlakuan pemotongan rumput tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap efisiensi nutrien produksi susu. Rataan konsumsi pakan per hari selama penelitian yaitu 9.08 ± 1.12 kg BK kg -1 hari-1 yang dapat menghasilkan rataan susu sebesar 5.54 ± 1.45 liter per hari dengan nilai rataan efisiensi BK sebesar 8.67 ± 1.48%, protein kasar sebesar 3.76 ± 0.25% dan lemak kasar sebesar 10.43 ± 1.45%. Menurut Zamani (2012), banyak faktor yang mempengaruhi efisiensi termasuk protein dan lemak pakan juga mempengaruhi efisiensi. Hijauan pakan memiliki pengaruh terbesar pada efisiensi pakan. Karena hijauan dapat membuat sebuah komponen lambat dicerna dari pakan sapi laktasi, hijauan sangat penting untuk menjaga efisiensi pakan diinginkan. Hijauan memiliki dampak besar pada efisiensi pakan karena hijauan merupakan bahan pakan yang paling variabel dalam hal kecernaan dan komposisi gizi dan diberikan dengan proporsi yang lebih besar. Pemberian pakan hijauan dengan kualitas tertinggi untuk sapi laktasi adalah sangat penting. Telah terbukti bahwa efisiensi pakan secara langsung berkaitan dengan kecernaan hijauan dimana dengan peningkatan kecernaan terjadi peningkatan efisiensi pakan. Selain hijauan, ternak diberikan konsentrat. Konsentrat hampir selalu lebih mudah dicerna dari hijauan. (Maulfair et al. 2011)

Pada Tabel 13, ukuran potongan rumput 5 cm didapatkan rataan efisiensi BK, protein dan lemak lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, 10 cm dan 15 cm. Hal ini memungkinkan karena dengan pemotongan 5 cm, hampir seluruh bagian rumput termakan dan dicerna, dibandingkan dengan efisiensi BK, protein dan lemak tanpa potongan (kontrol), 10 cm dan 15 cm. Hal ini menurut LeLiboux

et al. (1999) dengan mengurangi ukuran partikel pakan dapat mempengaruhi kuantitas dan sifat kecernaan produk akhir dengan mengubah kondisi kimia dan fisika dalam rumen, namun besarnya efek ini tidak tergantung pada jumlah material organik yang difermentasi yang memasuki rumen dalam satu kali makan. Pada sapi laktasi, konsumsi pakan sangat penting untuk memproduksi susu maksimal dan berkualitas baik dengan didukung oleh kondisi lingkungan nyaman yang berpengaruh terhadap kondisi tubuh sapi. Menurut Zamani (2012), semakin banyak jumlah pakan yang dimakan, semakin tinggi nilai protein yang disintesa dan diserap pada sapi laktasi namun kelebihan dari protein dibuang dalam bentuk urea. Sehingga dapat dikatakan efisiensi nutrien susu pada ukuran potongan 5 cm lebih baik dibandingkan ukuran potongan lainnya dimana menurut Budiarsana dan Sutama (2001) nilai ini akan sangat situasional, tergantung tempat dan waktu dimana perhitungan itu dilakukan

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(37)

23 rumput yang diberikan perlakuan pemotongan ukuran dapat mempengaruhi jumlah konsumsi pakan dan penyerapan nutrient pakan. Efisiensi BK, protein dan lemak tidak dipengaruhi ukuran potongan rumput.

Saran

Pemberian pakan pada penelitian dilakukan pada pagi dan siang hari, sehingga dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk melakukan pemberian pakan pada malam hari untuk dapat melihat respon fisiologis dari ternak sapi perah dan dapat dilihat produksi dan kualitas susu sapi perah. Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau sehingga perlu dilakukan penelitian pada musim hujan. Pemberian hijauan sebaiknya dipotong (chopping) untuk meningkatkan konsumsi pakan.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A. 2010. Respon termoregulasi dan tingkah laku bernaung sapi perah dara peranakan fries holland pada energi ransum yang berbeda. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID)

Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta (ID) : PT. Gramedia. Asmaki AP, Hasanawi M, Tidi DA. 2008. Budidaya Usaha Pengelolaan

Agribisnis Ternak Sapi. Bandung (ID): CV. Pustaka Grafika

Baret K, Brooks H, Boitano S, Barman S. 2010. Ganong’s Review Of Medical

Physiology. 23th Edition. California (US): McGraw Hill Co.

Bath, DL, Dickinson, FN, Tucker HA, Applemen RD. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. 3rd edition. Philadelphia (US) : Lea and Febiger.

Beede DK, Collier RJ. 1986. Potential nutritional strategies for intensively managed cattle during thermal stress, J. Anim. Sci. 62 (1986) 543–554.

http://www.journalofanimalscience.org/content/62/2/543.full.pdf

Berman, A. 2005. Estimates of heat stress relief needs for Holstein dairy cows. J. Anim. Sci. 83:1377-1384 relationship of temperature-humidity index with milk production of dairy cows in a Mediterranean climate. Anim. Res. 51 (2002) 479–491.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI Standar Mutu Susu Segar No. 01-3141-1998. Jakarta (ID): Departemen Pertanian

Budiarsana IGM, Sutama IK. 2001. Efisiensi produksi susu kambing Peranakan Etawah (The efficiency of milk production of Peranakan Etawah goats).

Seminar Nas. Tek. Peternakan dan Vet. Pronas (2001) : 427 – 434.

(38)

24

stressed dairy cows to two different cooling systems. J.Anim Vet 4:572-578

Chase, LE. 2006. Climate Change Impacts on Dairy Cattle. Fact sheet, Climate Change and Agriculture: Promoting Practical and Profitable Responses. Online at http://dbccc.onep.go.th/climate/attachments/article/105/ Climate%20Change%20Impacts%20on%20Dairy%20Cattle.pdf

[9 Februari 2014].

Collier RJ, Beede DK, Thatcher WW, Israel LA, Wilcox CJ. 1982. Influences of environment and its modification on dairy animal health and production. J. Dairy Sci. 65:2213-2227.

De Rensis F, Scaramuzzi RJ. 2003. Heat stress and seasonal effects on reproduction in the dairy cow--a review. Theriogenology. 60 (6) : 1139-1151.

Dobson H, Ghuman SPS, Prabhaker S, Smith RF. 2003. A conceptual model of the influence of stress on female reproduction. Reproduction. 125:151-163.

Epaphras A, Karimuribo ED, Msellem SN. 2004. Effect of season and parity on lactation of crossbred Ayrshire cows reared under coastal tropical climate in Tanzania. Livestock Research for Rural Development, Vol. 16, Art. #42. Retrieved June 6, 113, from http://www.lrrd.org/lrrd16/6/epap16042.htm

Faverdin, P, Baumont R, Ingvartsen KL. 1995. Control and prediction of feed intake in ruminants. In: M. Journet, E. Grenet, M-H. Farce, M. Theriez, and C. Demarquilly (eds), Proceedings of the IVth International Symposium on The Nutrition of Herbivores. Recent Development in the Nutrition of Herbivores. INRA. Paris. Pp. 95-120.

Foley, RC, Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA. 1973. Dairy Cattle Principles, Practices, Problem and Profits. Philadelphia (US) : Lea and Febiger. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Srigandono B, Praseno K,

penerjemah; Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.

Ginting, N. & P. Sitepu. 1989. Teknik Beternak Sapi Perah di Indonesia. Jakarta (ID) : PT. Anda Setiawan.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta (ID) : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Hahn GL. 1999. Dynamic responses of cattle to thermal heat loads. J.Anim Sci

77:10-20.

Handayani, IP. 2002. Pendayagunaan vegetasi invasi dalam proses agradasi tanah untuk percepatan restorasi lahan kritis. Bengkulu (ID) : Lembaga penelitian Universitas Bengkulu.

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman A, Kearl LC, Harris LE. 1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Utah (US): International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station.

Hartadi, H, Reksohadiprodjo S, Tilman D. 1993. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Yogyakarta (ID) : UGM Press.

Gambar

Gambar 1 Tanaman rumput gajah (Pennisetum purpureumSumber: http://plants.usda.gov/java/profile/symbol=PEPU2
Gambar 2 Ukuran potongan rumput
Gambar 3  Kondisi suhu lingkungan (♦) dan suhu kandang (■)
Gambar 4  Nilai THI Lingkungan (♦) dan THI Kandang (■)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Adapun yang paling dekat yaitu suku kata sa dengan ya dikare- nakan gerakan mulutnya hampir sama sedangkan yang paling jauh yaitu suku kata su dan suku kata ka, sedangkan pada

Tiga teori matrix ini adalah diasaskan oleh Hiroyoshi Tsukamoto yang terdiri daripada costume matrix, personality matrix dan form matrix adalah berfungsi untuk

Dari hasil regresi pengaruh pendapatan daerah dan Kinerja Keuangan terhadap Kesejahteraan Masyarakat yang diukur dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) adalah

Pada masa kabinet bersatu Jilid II dikeluarkanlah kembali Peraturan Presiden yang berkaitan dengan sekretariat kabinet yakni Peraturan Presiden 82 Tahun 2010 45 ,

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk komodifikasi agama dalam iklan larutan Cap Badak terletak pada penggunaan

Alhamdulillah, Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, beserta nikmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir yang berjudul

Berdaparkan hasil wawancara dengan Bpk. Barokah, S.Ag selaku guru agama pada hari Selasa tanggaI 18 Juli 2006 pada jam 08.30 dan observasi serta diperkuat dengan doktunentasi

Hasil penelitian menunjukan hubungan yang positif antara kinerja divisi TI yang ditinjau dan kualitas produk dan layanan SI/TI terhadap persepsi peningkatan kinerja