• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabaricus, Scopoli 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabaricus, Scopoli 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN

MURAI BATU (

Copsychus malabaricus

Scopoli, 1788) DI

MEGA

BIRD AND ORCHID FARM,

BOGOR, JAWA BARAT

ISNIA ESTU MARIFA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ISNIA ESTU MARIFA. Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabricus Scopoli, 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh LIN NURIAH GINOGA dan BURHANUDDIN MASY’UD.

Populasi murai batu (Copsychus malabaricus) di habitat alaminya mengalami penurunan akibat perburuan, konversi dan degradasi hutan. Upaya konservasi yang dapat dilakukan yakni konservasi ek-situ melalui kegiatan penangkaran. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2014 di Mega Bird and Orchid Farm. Kandang murai batu di MBOF terdiri dari kandang pembesaran, kandang reproduksi dan inkubator. Jenis pakan yang diberikan pada murai batu yakni pur dan jangkrik. Ukuran keberhasilan penangkaran murai batu di MBOF pada tahun 2013 dan 2014 yakni persentase tingkat perkembangbiakan induk sebesar 70% dan 23.80%, daya tetas telur sebesar 66% dan 82.35% dan angka kematian 33.33% dan 21.43%. Penilaian kesejahteraan murai batu di MBOF menurut pengelola memiliki skor sebesar 69.35 dan menurut pengamat sebesar 64.25 yang memiliki arti pengelolaan yang dilakukan sudah cukup memenuhi kriteria kesejahteraan satwa.

Kata kunci: daya tetas telur, kematian, kesejahteraan satwa, murai batu, perkembangbiakan

ABSTRACT

ISNIA ESTU MARIFA. Management Technique and Welfare Assessment of White-Rumped Shama (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) at Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, West Java. Supervised by LIN NURIAH GINOGA and BURHANUDDIN MASY'UD.

Population of white-rumped shama (Copsychus malabaricus) in their natural habitat tends to decrease due to hunting activity, and forest conversion and degradation. One of efforts to conserve this species is ex-situ conservation by means of birds-keeping. This research aims to analyze management technique and to assess the success of bird-keeping of white-rumped shama at Mega Bird and Orchid Farm (MBOF). This study was conducted from May to July 2014. Types of hutches at MBOF are development, reproduction and incubation buildings. Feedstocks used in this research were powder and crickets. The percentage of reproduction level in 2013 and 2014 were respectively 70% and 23.80% while the hatchability were 66% and 82.35% and mortality were 33.33% and 21.43%. Welfare assessment conducted by breeder is 69.35 while it is based on the research result is 64.25. The conclusion is that management of white-rumped shama by MBOF complies with animal welfare criteria.

Keywords: animal welfares, hatchability, mortality, reproduction, white-rumped shama

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN

MURAI BATU (

Copsychus malabaricus

Scopoli, 1788) DI

MEGA

BIRD AND ORCHID FARM,

BOGOR, JAWA BARAT

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabaricus, Scopoli 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat

Nama : Isnia Estu Marifa

NIM : E34100061

Disetujui oleh

Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi Pembimbing I

Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir H Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah penangkaran, dengan judul Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabaricus, Scopoli 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat.

Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena tidak luput dari dukungan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung. Penghargaan dan terimakasih diberikan kepada Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi dan Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS sebagai dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati mendukung dan senantiasa memberikan kritik dan saran.

Diucapkan juga terimakasih kepada orang tua Bapak Sukandar dan Ibu Kurnia Harapini yang selalu bermurah hati untuk mendoakan penulis selama menempuh pendidikan dan mencari ilmu pengetahuan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf pengelola penangkaran Mega Bird and Orchid Farm yang telah membantu selama pengumpulan data karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman KSHE 47 dan pihak-pihak lain yang telah berpartisipasi dalam mensukseskan karya ilmiah ini secara tidak langsung yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Objek Penelitian 2

Alat 2

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 2

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Teknik Pengelolaan Penangkaran Murai Batu di MBOF 7

Penilaian Kesejahteraan Murai Batu di MBOF 21

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan metode pengumpulan data 3

2 Bobot parameter kesejahteraan satwa 7

3 Klasifikasi penilaian kesejahteraan satwa 7

4 Populasi murai batu sampai bulan Juli 2014 8

5 Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang murai batu di MBOF 9

6 Fasilitas kandang murai batu 10

7 Perawatan kandang murai batu di MBOF 13

8 Jenis pakan dan minum murai batu di MBOF 14

9 Jumlah konsumsi pakan murai batu 15

10 Kandungan gizi pakan murai batu 15

11 Konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF 16 12 Riwayat penyakit yang pernah diderita murai batu di MBOF 16

13 Perbedaan murai batu jantan dan betina 17

14 Klasifikasi harga jual murai batu di MBOF 19

15 Persentase tingkat keberhasilan breeding murai batu di MBOF

periode tahun 2013 dan 2014 20

16 Penilaian tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF 21

DAFTAR GAMBAR

1 Murai batu di MBOF 8

2 Fasilitas kandang reproduksi murai batu 11

3 Fasilitas kandang inkubator murai batu 11

4 Fasilitas kandang pembesaran murai batu 12

5 Suhu dan kelembaban kandang murai batu di MBOF 13 6 Sketsa murai batu: (a) jantan dewasa, (b) betina dewasa 17 7 Anakan murai batu usia 2 bulan: (a) jantan, (b) betina 18

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Burung murai batu (Copsychus malabaricus) merupakan jenis burung dari famili Muscicapidae yang dikenal dengan sebutan kucica hutan. Burung murai batu atau dalam bahasa Inggris disebut white-rumped shama banyak digemari karena keindahan suaranya. Menurut Delacour (1947) diacu dalam Basuni et al. (2005) murai batu memiliki daya tarik yang cukup besar untuk dipelihara karena termasuk kelompok burung yang bersuara bagus (the best song birds), sehingga

Basuni et al. (2005) menjelaskan populasi murai batu di alam sudah mulai langka karena memiliki sifat teritorial yang kuat serta banyaknya perburuan akibat kekhasan suaranya sebagai burung kicau. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Jepson dan Ladle (2009) yang mengatakan bahwa murai batu merupakan burung yang memiliki suara luar biasa dan termasuk jenis yang populasinya terbatas akibat tingginya eksploitasi. Hasil penelitian di Hutan Wisata Pananjung Pangandaran menyebutkan bahwa kepadatan populasi murai batu yaitu 6 pasang per 10 ha (Basuni et al. 2005). Penyebab lain penurunan populasi murai batu di alam adalah terjadinya konversi dan degradasi hutan (Basuni et al. 2005) serta nilai ekonomi murai batu yang tinggi. Jepson et al. (2011) menjelaskan burung murai batu muda di Jakarta dijual seharga 2,5 juta rupiah per pasang. Semakin dewasa dan semakin bagus suara yang dihasilkan maka harga murai batu akan semakin tinggi.

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) tahun 2013 menyatakan status murai batu berada pada kategori least concern atau resiko rendah. Burung murai batu juga belum termasuk ke dalam daftar Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) dan belum ditetapkan sebagai spesies yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kelangkaan pada spesies tersebut akibat banyaknya perburuan dan eksploitasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya konservasi untuk tetap mempertahankan eksistensi murai batu dan menjaganya dari kepunahan.

(12)

2

Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian mengenai teknik pengelolaan dan penilaian kesejahteraan murai batu di MBOF perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji teknik pengelolaan dan menilai kesejahteraan murai batu (Copsychus malabaricus) di MBOF.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan informasi bagi upaya pelestarian murai batu secara ek-situ. 2. Sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi upaya pengembangan penangkaran

murai batu, khususnya di penangkaran MBOF, Bogor, Jawa Barat.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2014. Penelitian ini dilakukan di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) yang berlokasi di Desa Cijujung Tengah, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan adalah murai batu (Copsychus malabaricus) yang berada di penangkaran MBOF. Murai batu yang dijadikan objek penelitian berjumlah 6 ekor.

Alat

Alat-alat yang digunakan meliputi termometer dry-wet, meteran, timbangan, kamera digital, kalkulator, panduan wawancara, dan alat tulis.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

(13)

3 Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data

Jenis

Data-data yang dikumpulkan untuk mengkaji teknik pengelolaan penangkaran murai batu diantaranya :

a) Proses adaptasi meliputi : perlakuan yang diberikan untuk adaptasi dan lama waktu adaptasi. Data dan informasi mengenai teknik adaptasi diperoleh dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola.

(14)

4

siang (12.00 WIB), dan sore hari (16.00 WIB) dengan cara menggantungkan termometer dry-wet di dalam kandang. Informasi mengenai jenis, konstruksi, jumlah, perlengkapan dan perawatan kandang dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara dengan pengelola.

c) Manajemen pakan meliputi : jenis pakan, waktu pemberian pakan, jumlah pemberian pakan, frekuensi, cara pemberian pakan, jumlah konsumsi, serta kebutuhan protein dan kalori. Pengamatan dan pengukuran jumlah konsumsi, kebutuhan protein dan kalori dilakukan selama 7 hari dengan cara menimbang setiap jenis pakan yang diberikan pengelola pada pagi dan sore hari. Pengumpulan data mengenai jenis, waktu pemberian, frekuensi, dan cara pemberian pakan dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola.

d) Manajemen kesehatan meliputi : jenis penyakit, bentuk pencegahan, upaya pengobatan, serta jenis obat dan vitamin yang diberikan. Pengumpulan data mengenai aspek kesehatan dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola.

e) Manajemen reproduksi meliputi : musim kawin di penangkaran, pemilihan bibit, penentuan jenis kelamin, sex ratio, jumlah anak per penetasan, pengaturan peneluran atau penetasan, pembesaran atau pengasuhan anak, serta tingkat keberhasilan breeding. Pengumpulan data mengenai aspek reproduksi dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola. f) Pemanfaatan hasil meliputi : bentuk pemanfaatan, harga jual dan harga beli, teknik packing dan pengiriman, serta jalur pemasaran. Pengumpulan data mengenai pemanfaatan hasil dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola.

g) Tingkat keberhasilan meliputi : persentase perkembangbiakan induk betina, persentase daya tetas telur, dan persentase angka kematian. Pengumpulan data mengenai ukuran keberhasilan dilakukan dengan cara penelusuran dokumen-dokumen mengenai kegiatan penangkaran dan wawancara kepada pengelola. B. Penilaian kesejahteraan satwa

Pengumpulan data penilaian kesejahteraan satwa dilakukan dengan cara wawancara kepada pengelola dan pengamatan langsung. Data yang dikumpulkan mengenai penilaian kesejahteraan satwa meliputi lima prinsip kesejahteraan satwa yakni:

a) Bebas dari rasa lapar dan haus b) Bebas dari rasa tidak nyaman c) Bebas dari sakit, luka dan penyakit

d) Bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alami e) Bebas dari rasa takut dan tertekan

Data Sekunder

(15)

5 Analisis Data

Teknik Pengelolaan

Data dan informasi mengenai teknik pengelolaan dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Data yang dianalisis secara deskriptif meliputi manajemen kandang, pakan, kesehatan, reproduksi, teknik adaptasi, pemanfaatan hasil dan ukuran keberhasilan serta data pendukung. Analisis deskriptif dilakukan dengan menguraikan semua data dan informasi yang diperoleh disertai dengan ilustrasi seperti tabel, grafik, serta kurva yang relevan.

Data mengenai manajemen pakan dan ukuran keberhasilan dianalisis juga secara kuantitatif dengan menggunakan rumus berikut :

1. Jumlah konsumsi pakan

JK = B-b Keterangan:

JK = jumlah konsumsi

B = berat pakan sebelum diberikan b = berat pakan sisa

2. Kandungan gizi pakan

Kandungan gizi pakan murai batu dipenangkaran diperoleh melalui studi pustaka mengenai analisis proksimat yaitu analisis kimia untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terdapat di dalam suatu bahan makanan.

3. Jumlah konsumsi protein dan energi

Jumlah konsumsi pakan yang perlu dianalisis meliputi konsumsi protein dan energi. Rumus yang digunakan untuk menghitung konsumsi protein yaitu:

KP = Konsumsi suatu pakan

Konsumsi pakan keseluruhanX %PK

Rumus untuk menghitung konsumsi energi:

KKal = Konsumsi suatu pakan

Konsumsi pakan keseluruhanX Kalori (Kkal)

4. Persentase perkembangbiakan induk betina

PI = t

Tt x 100%

Keterangan :

PI = perkembangbiakan induk

(16)

6

5. Persentase daya tetas telur

DTT = x 100%

Keterangan :

DTT = daya tetas telur α = ∑ telur yang menetas β = ∑ telur yang ditetaskan

6. Persentase angka kematian

AM = M

Mt x 100%

Keterangan :

AM = angka kematian M = ∑ anakan yang mati Mt = ∑ total anakan

Hasil perhitungan presentase daya tetas telur, presentase perkembangbiakan induk dan presentase angka kematian dikategorikan dengan kriteria nilai yakni:

0% - 30% : Rendah 31% - 70% : Sedang 71% - 100% : Tinggi Penilaian Kesejahteraan

Analisis data tingkat kesejahteraan satwa dilakukan dengan cara pengisisan tabel kriteria evaluasi kesejahteraan satwa yang mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal PHKA No. P6/IV-SET/2011. Masing-masing kriteria terdiri dari variabel-variabel yang telah ditetapkan sebelumnya kemudian dinilai dengan memberikan skor pada setiap variabel. Nilai skoring untuk setiap variabel yaitu 1 = buruk, 2 = kurang, 3 = cukup, 4 = baik, 5 = sangat baik/memuaskan. Penialaian dilakukan oleh pengelola dan pengamat agar didapatkan hasil penilaian yang objektif. Nilai dari setiap variabel dihitung untuk mendapatkan nilai terbobot dengan rumus:

Nilai terbobot = bobot x skoring

(17)

7 Tabel 2 Bobot parameter kesejahteraan satwa

Komponen Bobot Skoring

(nilai skor) Nilai terbobot

Bebas dari rasa lapar dan haus 30 1-5 30-150

Bebas dari ketidaknyamanan lingkungan 20 1-5 20-100 Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit 20 1-5 20-100 Bebas mengekspresikan perilaku alami 15 1-5 15-75 Bebas dari rasa takut dan tertekan 15 1-5 15-75 Nilai kesejahteraan satwa dihitung dengan menggunakan rumus:

Skor penilaian = Σ nilai terbobot 5

Hasil perhitungan skor penilaian selanjutnya dikategorikan kedalam beberapa klasifikasi yang mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal PHKA No. P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi (Tabel 3).

Tabel 3 Klasifikasi penilaian kesejahteraan satwa

Klasifikasi Penilaian Nilai

Sangat Baik 80.00 – 100.00

Baik 70.00 – 79.99

Cukup 60.00 – 69.99

Perlu Pembinaan <60.00

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Pengelolaan Penangkaran Murai Batu di MBOF

Sejarah dan Struktur Organisasi Penangkaran

Penangkaran Mega Bird Farm didirikan pada tahun 1996. Penangkaran ini kemudian berganti nama menjadi Mega Bird and Orchid Farm pada tahun 2010. Burung yang pertama kali ditangkarkan salah satunya adalah murai batu (Gambar 1). Pemilik penangkaran pada awalnya membuat penangkaran burung karena hobi dan kecintaannya terhadap burung berkicau termasuk murai batu. Kondisi populasi murai batu yang mulai langka juga melatarbelakangi dibentuknya penangkaran tersebut. Pemilik penangkaran khawatir murai batu di alam akan habis akibat tingginya permintaan murai batu bahkan sampai sekarang banyak dimanfaatkan sebagai burung kontes. Jepson dan Ladle (2009) menjelaskan murai batu merupakan salah satu spesies yang popularitasnya semakin meningkat sejak tahun 1999.

(18)

8

Tabel 4 Populasi murai batu sampai bulan Juli 2014

Kelas umur Jenis kelamin Jumlah (ekor) Keterangan*

0 s/d <5 bulan - - -

5 s/d <12 bulan 6 jantan, 5 betina 11 ekor Remaja 1 s/d <2 tahun 14 jantan, 8 betina 22 ekor Dewasa 2 s/d <3 tahun 24 jantan, 29 betina 53 ekor Dewasa (awal

mampu bereproduksi) ≥3 tahun 33 jantan, 24 betina 57 ekor Indukan

Total 77 jantan, 66 betina 143 ekor Populasi saat ini

*Fauzi (2014)

Gambar 1 Murai batu di MBOF Populasi Murai batu di MBOF

Populasi murai batu yang ditangkarkan pada tahun 1996 berjumlah lima pasang. Murai batu yang ditangkarkan berasal dari burung milik sendiri dan membeli kepada para penangkar burung terutama murai batu betina. Murai batu tersebut dipelihara dan dijadikan indukan oleh pengelola sehingga populasinya semakin bertambah setiap tahunnya. Populasi murai batu di MBOF sampai pada bulan Juli 2014 bejumlah 143 ekor yang dibedakan berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin (Tabel 4).

Proses Adaptasi

Pengelola MBOF tidak menyediakan kandang khusus sebagai kandang karantina untuk murai batu yang baru didatangkan. Murai batu yang baru didatangkan langsung dimasukkan ke dalam kandang pembesaran kemudian disatukan dengan murai batu yang lain. Perlakuan yang diberikan oleh pengelola terhadap murai batu yang baru didatangkan sama seperti murai batu lainnya.

Manajemen Kandang

1. Jenis, ukuran dan konstruksi kandang

(19)

9 Tabel 5 Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang murai batu di MBOF

Jenis kandang Konstruksi

Kandang merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah penangkaran. Kandang reproduksi dan pemeliharaan induk berfungsi sebagai tempat untuk penjodohan dan perkawinan pasangan induk murai batu. Masing-masing kandang berisi satu pasang indukan murai batu. Kandang reproduksi murai batu di MBOF terbagi kedalam dua blok yaitu blok A dan blok C. Atap kandang reproduksi murai batu terbagi atas dua bagian yaitu bagian yang tertutup oleh asbes dan bagian yang terbuka dengan kawat ram. Kondisi atap tersebut dibuat sedemikian rupa agar sinar matahari dapat tetap masuk ke dalam kandang. Fauzi (2014) menyatakan kandang yang ideal adalah kandang yang memperoleh sinar matahari yang cukup karena baik untuk kesehatan burung. Lantai kandang reproduksi murai batu berupa tanah agar mempermudah proses dekomposisi feses. Fauzi (2014) dan Soemarjoto (2003) menyatakan kandang reproduksi yang baik adalah lantainya berupa tanah atau pasir agar kotoran burung mudah terurai.

Kandang reproduksi murai batu di MBOF dibuat tertutup dan terletak di bagian dalam penangkaran agar proses reproduksi pasangan murai batu tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Fauzi (2014) menjelaskan bahwa murai batu yang sedang mengerami telurnya tidak boleh terlalu didekati karena akan membuat induk tidak tenang dan sering keluar masuk sarang sehingga proses pengeraman telur menjadi tidak optimal. Kandang reproduksi di MBOF mempunyai dua buah pintu yang memiliki ukuran dan fungsi berbeda. Pintu yang berukuran besar memiliki ukuran 50x100 cm terletak dibagian bawah kandang yang berfungsi sebagai tempat masuknya keeper ke dalam kandang untuk membersihkan kandang, mengganti air minum dan memasukan indukan serta mengambil anakan murai dari sangkar. Pintu kecil memiliki ukuran 20x20 cm berfungsi untuk memberikan pakan kepada murai batu.

(20)

10

sisi 15 cm. Suprijatna et al. (2008) menyatakan bahwa inkubator yang baik harus dapat mengatur sirkulasi udara dengan lancar. Berdasarkan hal tersebut, kandang inkubator di MBOF dapat dikatakan sesuai.

Kandang pembesaran murai batu di MBOF jumlahnya lebih banyak dibandingkan kandang reproduksi dan kandang inkubator. Banyaknya kandang pembesaran disebabkan karena murai batu di MBOF dapat bertelur sebanyak 6-7 kali dalam setahun. Kandang pembesaran berfungsi untuk membesarkan anakan murai batu yang berumur satu bulan hingga menjadi murai batu dewasa yang siap untuk dijadikan indukan. Kandang pembesaran murai batu di MBOF dapat dikatakan sudah sesuai. Menurut Soemarjoto dan Prayitno (1999) ukuran kandang atau sangkar untuk murai batu sebaiknya berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang dan lebar kurang lebih 50 cm dan tinggi kurang lebih 60 cm.

2. Fasilitas kandang

Fasilitas atau perlengkapan kandang merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan hidup satwa. Fasilitas kandang murai batu di MBOF berbeda-beda tergantung dari jenis kandangnya (Tabel 6).

Tabel 6 Fasilitas kandang murai batu Jenis kandang Fasilitas Fungsi

Kandang

(21)

11 Kotak sarang pada kandang reproduksi terbuat dari triplek yang berbentuk persegi panjang dengan lubang di bagian tengah untuk tempat keluar masuknya induk. Ukuran kotak sarang yakni memiliki panjang 20 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 30 cm. Fauzi (2014) menyatakan wadah sarang bagi murai batu idealnya memiliki panjang 15-25 cm, lebar 15-20 cm dan tinggi 15-20 cm. Penempatan kotak sarang diletakkan di bagian atas dinding kandang yang tertutup oleh asbes agar tidak terkena air hujan dan panas matahari. Bahan penyusun sarang murai batu di MBOF terbuat dari ijuk dan daun pinus kering. Bahan penyusun sarang tersebut sebagian sudah dimasukkan kedalam kotak sarang oleh pengelola dan sebagian diletakkan di lantai kandang agar burung dapat membangun sarangnya sendiri.

Gambar 2 Fasilitas kandang reproduksi murai batu

Kandang inkubator murai batu dilengkapi dengan fasilitas tempat pakan, minum, lampu, lubang sirkulasi udara, sarang dan pot penyangga (Gambar 3). Tempat pakan dan minum pada kandang inkubator diletakkan di luar kandang karena anakan murai batu diberi makan dengan cara disuapi oleh pengelola. Sarang pada kandang inkubator terbuat dari jerami yang disangga dengan pot kecil agar terhindar dari gangguan semut. Lampu 5 watt yang terdapat pada kandang digunakan untuk menghangatkan tubuh anakan murai batu.

(22)

12

Fasilitas kandang pembesaran murai batu di MBOF dinilai sudah sesuai untuk menunjang keberlangsungan hidup satwa. Untung dan Turut (1994) menjelaskan perlengkapan kandang yang diperlukan oleh murai batu adalah kayu untuk tenggeran, tempat pakan, tempat minum dan bak atau wadah untuk mandi. Tempat pakan dan minum pada kandang pembesaran terbuat dari plastik yang diletakkan dibagian sisi kandang (Gambar 4). Penggunaan plastik untuk tempat pakan dan minum bertujuan agar tidak mudah pecah jika terjatuh. Sudrajad (1999) menyatakan tempat pakan dan minum sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak bocor dan tidak mudah pecah, seperti plastik, bambu dan alumunium. Kayu tenggeran pada kandang pembesaran terbuat dari ranting pohon yang diletakkan di tengah kandang. Menurut Turut (1999) tenggeran sebaiknya berupa cabang atau ranting kayu dengan diameter kurang lebih 2 cm. Murai batu yang berada di kandang pembesaran dimandikan setiap pagi oleh pengelola pada tempat mandi khusus yang terbuat dari besi. Air yang digunakan untuk mandi murai batu berasal dari air tanah. Fauzi (2014) menjelaskan bak mandi pada murai batu sebaiknya diisi dengan air yang bersih.

Gambar 4 Fasilitas kandang pembesaran murai batu 3. Perawatan kandang

(23)

13 Tabel 7 Perawatan kandang murai batu di MBOF

Jenis perawatan Waktu Kegiatan yang dilakukan Pembersihan kandang dari

Penjemuran sarang Situasional Menjemur sarang di bawah sinar matahari

Penggantian kayu

tenggeran, tempat pakan, minum dan kawat ram

Situasional Mengganti kayu tenggeran yang lapuk, mengganti tempat pakan, minum dan kawat ram yang rusak Pemberian desinfektan Satu bulan

sekali

Menyemprotkan daerah sekitar kandang dengan desinfektan

4. Suhu dan kelembaban kandang

Hasil pengamatan suhu di dalam kandang reproduksi murai batu di MBOF berkisar antara 26-29.2oC dengan kelembaban 90-91% (Gambar 5).

Gambar 5 Suhu dan kelembaban kandang murai batu di MBOF

MacKinnon et al. (2010) menjelaskan bahwa burung murai batu umumnya terdapat di dataran rendah sampai ketinggian 1.500 m. Basuni et al. (2005) menjelaskan bahwa murai batu dapat ditemukan di hutan wisata Pananjung Pangandaran. Kawasan hutan wisata Pananjung Pangandaran memiliki rata-rata suhu udara berkisar antara 25-30oC dengan kelembaban udara 80-90% (Supriadi dan Wicaksono 2013). Suhu dan kelembaban rata-rata kandang reproduksi murai batu di MBOF yakni 27.8oC dan 90.7%, hal ini sama seperti suhu dan kelembaban habitat murai batu di alam yakni sebesar 25-30oC dan 80-90%. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan pada kandang reproduksi

(24)

14

Tabel 8 Jenis pakan dan minum murai batu di MBOF

Klasifikasi

Pur, jangkrik, kroto 1 kali sehari pada pagi hari

Air tanah, air aqua (khusus yang memiliki kualitas suara yang baik)

karena dapat mempengaruhi keberhasilan reproduksi murai batu. Kosin (1969) dalam Masy'ud (2005) menjelaskan bahwa diantara faktor yang berpengaruh terhadap daya tetas telur adalah umur induk, suhu dan kelembaban kandang. Manajemen Pakan

1. Pemberian pakan dan minum

Pakan merupakan salah satu komponen habitat yang penting dan dikategorikan sebagai faktor pembatas (limiting factor) karena berpengaruh terhadap kesejahteraan, pertumbuhan serta perkembangan populasi satwa. Jenis pakan dan minum pada murai batu di MBOF dibedakan berdasarkan kelas umur dan kualitas suara burung (Tabel 8).

Pemberian pakan murai batu di MBOF sesuai dengan pakan murai batu di alam. Fauzi (2014) menjelaskan murai batu di alam memakan pakan yang berasal dari makhluk hidup seperti berbagai jenis serangga, cacing atau ikan kecil. Pengelola MBOF memberi pakan utama pada murai batu berupa jangkrik dan pur. Kroto terkadang diberikan oleh pengelola, namun frekuensi pemberian kroto dilakukan secara situasional karena jumlah kroto yang sangat terbatas. Menurut Fauzi (2014) dan Untung dan Turut (1994) beberapa jenis pakan yang dapat diberikan pada murai batu di penangkaran diantaranya jangkrik, kroto, kuning telur rebus, pur, belalang dan ulat hongkong.

(25)

15

Tabel 9 Jumlah konsumsi pakan murai batu

Jenis pakan Jumlah konsumsi (g/hari/ekor)

Kandang pembesaran Kandang reproduksi

Pur 1.76 ± 0.22 1.91 ± 0.15

Jangkrik 7.14 ± 0.15 3.84 ± 0.04

Tabel 10 Kandungan gizi pakan murai batu

Nilai gizi Jangkrik(a) Pur

Soemarjoto (2003) menjelaskan pemberian jangkrik pada burung dapat membuat burung cepat dan rajin berkicau. Pemberian air minum pada murai batu berasal dari air tanah dan air mineral aqua. Air aqua diberikan pada anakan dan murai batu dewasa yang memiliki kualitas suara yang baik. Untung dan Turut (1994) menjelaskan air minum yang diberikan pada murai batu sebaiknya air matang dan harus diganti setiap hari. Pengelola MBOF selalu mengganti pakan dan minum secara rutin setiap pagi hari.

2. Jumlah konsumsi pakan

Pengukuran jumlah konsumsi pakan murai batu di MBOF dilakukan pada dua jenis kandang yaitu kandang pembesaran dan reproduksi (Tabel 9). Jumlah konsumsi merupakan selisih antara pakan yang diberikan dengan sisa pakan dalam waktu 24 jam (Imran et al. 2012).

Berdasarkan hasil pengukuran, jumlah konsumsi pakan tertinggi pada kedua jenis kandang adalah jangkrik yakni 7.14 g dan 3.84 g. Tingkat konsumsi jangkrik yang tinggi dikarenakan jangkrik merupakan pakan alami murai batu di alam. Murai batu tidak menyukai pur karena memiliki serat kasar yang tinggi sehingga sulit dicerna. Hifizah (2013) menjelaskan kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan menyebabkan daya cerna pakan tersebut rendah. Konsumsi pakan pada kandang pembesaran lebih banyak dibandingkan kandang reproduksi. Banyaknya konsumsi pakan pada kandang pembesaran disebabkan karena jumlah pakan yang diberikan lebih banyak. Murai batu yang masih muda memerlukan asupan gizi yang cukup untuk memacu pertumbuhannya.

3. Kandungan gizi pakan

(26)

16

Tabel 12 Riwayat penyakit yang pernah diderita murai batu di MBOF

Jenis penyakit Gejala Obat

Diare Feses cair Tony’s treasure

Berak kapur Feses cair, berlendir dan berwarna putih

Tony’s treasure

Flu Paruh dan hidung berair,

bersin-bersin

Tony’s treasure

Gangguan pernapasan Paruh selalu terbuka seperti sesak napas

Tony’s treasure

Katarak Mata berair, berwarna putih Tidak dapat diobati Tabel 11 Konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF Jenis pakan Protein kasar (%) Energi (kkal)

Pur 5.78 1413.18

Jangkrik 9.30 79.44

Jumlah 15.08 1492.62

4. Konsumsi protein dan energi

Konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF penting diketahui karena mempengaruhi proses pertumbuhan dan reproduksi pada satwa. Berdasarkan hasil perhitungan, konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF yakni 15.08% dan 1492.62 kkal (Tabel 11).

Protein penting bagi satwa untuk meningkatkan produktivitas telur dan meningkatkan daya tetas telur serta berpengaruh terhadap berat telur yang berguna bagi perkembangan embrio (Ketaren 2010 dan Masy'ud 2005). Menurut Soemadi dan Mutholib (1995) protein juga berguna bagi tubuh burung sebagai bahan pembangun tubuh dan pengganti jaringan yang rusak. Untung dan Turut (1994) menjelaskan bahwa energi penting bagi murai batu untuk mendukung aktivitasnya.

Manajemen Kesehatan dan Perawatan

Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan penangkaran. Jenis penyakit yang pernah diderita murai batu di MBOF diantaranya diare, berak kapur, flu, gangguan pernapasan dan katarak (Tabel 12).

Segala jenis penyakit yang menyerang murai batu di MBOF diobati dengan obat yang sama yaitu tony’s treasure. Tony’s treasure merupakan obat yang terbuat dari berbagai jenis antibiotik yang digunakan untuk mengobati segala macam penyakit. Cara pemberian obat pada anakan murai batu yakni dengan cara menghaluskan obat terlebih dahulu kemudian dicampurkan kedalam air minum. Pada indukan obat langsung diberikan dengan cara dimasukkan ke dalam paruh murai batu.

(27)

17

Tabel 13 Perbedaan murai batu jantan dan betina

Murai batu jantan Murai batu betina

Bertubuh besar Ukuran tubuh kecil

Memiliki warna bulu hitam pekat pada kepala dan punggung

Memiliki warna bulu yang pudar atau keabu-abuan.

Warna bulu dada cokelat atau kuning tajam

Warna bulu dada lebih pucat

Memiliki ekor panjang, biasanya lebih dari 17 cm

Ekor lebih pendek dari ekor jantan antara 10-15 cm

Variasi kicauan yang dimiliki lebih beragam dengan volume suara besar

Variasi kicauan yang dimiliki monoton dan volume suara lebih kecil

Sumber : Fauzi (2014)

dan indukan. Penjemuran murai batu di MBOF dilakukan setiap pagi hari sekitar pukul 07.00-09.00 WIB selama 15-30 menit. Penjemuran dilakukan untuk membantu pembentukkan vitamin D pada murai batu. Suplemen yang diberikan kepada anakan murai batu yaitu scott’s emulsion. Indukan murai batu diberikan suplemen TM-Vita. Tujuan pemberian suplemen pada indukan murai batu adalah untuk menjaga stamina burung agar selalu sehat dan meningkatkan poduktivitas. Perawatan juga diberikan bagi murai batu yang mengalami susut bulu (moulting). Murai batu yang sedang mengalami susut bulu diberikan minyak ikan agar merangsang pertumbuhan bulu. Minyak ikan diberikan dengan cara diolesi pada jangkrik yang menjadi pakan murai batu. Upaya pencegahan yang dilakukan pengelola MBOF agar terhindar dari serangan penyakit adalah selalu menjaga kebersihan kandang dan memandikan burung agar tubuh burung tidak kotor. Manajemen Reproduksi

Beberapa aspek reproduksi yang penting untuk diperhatikan dalam penangkaran diantaranya penentuan jenis kelamin, pemilihan induk, penjodohan, pengeraman dan penetasan serta pembesaran anakan murai batu.

1. Penentuan jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin murai batu sangat jelas secara kasat mata. Jenis Kelamin pada murai batu dapat dibedakan melalui warna bulu, panjang ekor dan variasi suara (Tabel 13).

(28)

18

Pengelola MBOF dapat menentukan jenis kelamin pada murai batu saat usia 2 bulan. Perbedaan jenis kelamin murai batu di MBOF dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan bulu pada sayap. Ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan betina. Bulu sayap pada jantan terdapat banyak bintik-bintik coklat sedangkan bulu sayap pada betina memiliki bintik-bintik coklat yang lebih sedikit. (gambar 7).

2. Pemilihan induk

Murai batu yang dijadikan indukan oleh pengelola MBOF berasal dari kandang pembesaran. Murai batu yang akan dijadikan induk dipilih yang tidak berasal dari satu keturunan. Pemilihan induk murai batu di MBOF didasarkan dengan kriteria yang tidak cacat, sudah dewasa, memiliki ukuran tubuh yang besar dan memiliki kualitas suara yang baik. Murai batu dewasa memiliki ukuran tubuh sekitar 27 cm dengan berat sekitar 32 gram (MacKinnon et al. 2010, Fauzi 2014). Perbandingan seks ratio jantan dan betina di MBOF adalah 1:1. Artinya jantan dan betina selalu dipasangkan dalam dalam satu kandang.

3. Penjodohan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjodohkan murai batu adalah umur dan tingkat birahi pada burung. Birahi atau estrus adalah suatu periode yang terjadi pada satwa betina dewasa yang siap untuk melakukan proses reproduksi dengan satwa jantan. Birahi pada satwa digambarkan dengan perubahan kadar hormon reproduksi sehingga menyebabkan satwa betina bersifat reseptif terhadap satwa jantan (Marcondes et al. 2002).

Murai batu yang dijodohkan di MBOF berusia 3 tahun pada betina dan 5 tahun pada jantan. Fauzi (2014) menjelaskan burung murai batu mencapai tingkat kedewasaan kelamin pada usia 2 tahun pada jantan dan 1 tahun pada betina. Penjodohan murai batu di MBOF dilakukan dengan cara memasukkan jantan dan betina ke dalam kandang reproduksi. Murai batu jantan yang berada di kandang reproduksi dimasukkan ke dalam sangkar dan digantung di dinding kandang, sedangkan murai batu betina dilepaskan di dalam kandang. Tanda-tanda murai batu yang berjodoh yaitu murai betina akan sering mendekati sangkar yang berisi murai jantan. Penjodohan murai batu di MBOF dapat berlangsung selama 1-2 bulan. Apabila proses penjodohan berhasil maka murai batu jantan akan dilepaskan dari sangkar dan disatukan dengan betina pada kandang reproduksi. Murai batu yang tidak berjodoh akan diganti oleh pengelola dengan murai batu betina yang lain.

(29)

19 4. Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur

Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur murai batu dilakukan di dalam kandang reproduksi. Jumlah telur yang dihasilkan murai batu di MBOF umumnya 2-3 butir. Proses pengeraman telur murai batu berlangsung selama 14-15 hari. Murai batu di penangkaran MBOF dapat bertelur sebanyak 6-7 kali dalam setahun. Penetasan telur murai batu di MBOF dilakukan secara alami tanpa menggunakan mesin tetas. Menurut Fauzi (2014) beberapa faktor penyebab kegagalan dalam penetasan burung murai batu diantaranya adalah proses pembuahan yang tidak sempurna, pengeraman yang kurang bagus, kondisi lingkungan yang buruk, serta gangguan dari binatang lain. Anakan murai batu yang baru menetas akan dibiarkan di kandang dan dipelihara oleh induknya selama beberapa hari. Setelah usia 5-7 hari pengelola memisahkan anakan murai batu dan memasukkannya ke dalam kandang inkubator untuk mendapatkan perawatan.

5. Pembesaran anakan murai batu

Penanganan anakan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara alami dan hand rearing. Pembesaran anakan murai batu di MBOF dilakukan secara hand rearing. Semiadi (1997) menjelaskan hand rearing adalah teknik pembesaran anak satwa yang dipisahkan dari induknya kemudian dipelihara dibawah pengaruh dan tangan manusia. Pembesaran dengan cara hand rearing dilakukan oleh pengelola agar pertumbuhan anakan terkontrol dan meminimalkan terjadinya kematian pada anakan serta agar induk murai batu dapat melakukan reproduksi kembali. Anakan murai batu (Gambar 8) dipelihara di kandang inkubator hingga mencapai umur <1 bulan. Saat mencapai umur satu bulan anakan akan dipindahkan ke kandang pembesaran serta dilakukan penandaan berupa pemasangan cincin (ring) pada kaki anakan murai batu.

Gambar 8 Anakan murai batu Pemanfaatan Hasil Penangkaran Murai batu di MBOF

Murai batu merupakan salah satu jenis burung yang popularitas dan permintaanya cukup tinggi dipasaran (Fauzi 2014). Harga jual murai batu di penangkaran MBOF bervariasi tergantung usia burung (Tabel 14).

Tabel 14 Klasifikasi harga jual murai batu di MBOF

Klasifikasi burung Umur Suara Harga (Rp)

Anakan 1-2 bulan Belum berkicau 3 500 000 - 5 000 000

Dewasa reproduktif ≥ 3 tahun Belum bagus 15 000 000 - 20 000 000 Dewasa ≥ 3 tahun Suara sudah bagus 40 000 000 - 60 000 000

Dewasa (Juara) ≥ 5 tahun Suara sudah bagus >100.000.000

(30)

20

Tabel 15 Persentase tingkat keberhasilan breeding murai batu di MBOF periode tahun 2013 dan 2014

Tingkat keberhasilan 2013 Kategori 2014 Kategori

Tingkat perkembangbiakan

Harga yang ditawarkan pengelola MBOF sudah termasuk kandang atau sangkar. Pembeli murai batu di MBOF umumnya berasal dari Jakarta, Bogor dan luar Pulau Jawa. Pengemasan burung yang akan dijual jarak jauh yakni dengan cara memasukkan kedalam boks atau kotak yang terbuat dari triplek. Pembeli yang berasal dari Pulau Jawa burung hanya dimasukkan ke dalam kandang atau sangkar dengan ditutupi koran atau kain.

Murai batu yang banyak diminati oleh pembeli biasanya murai yang masih berumur 2 bulan dan murai batu dewasa yang sudah berproduksi. Penghasilan dari hasil penjualan murai tidak tentu setiap tahunnya, namun rata-rata dalam satu tahun terjual lima ekor anakan dan lima pasang murai yang sudah berproduksi. Penghasilan juga diperoleh dari hasil mengikuti kontes burung berkicau yang diselenggarakan setiap minggu untuk kelas latihan dan setiap 3 bulan untuk acara tingkat nasional. Pendapatan yang dapat diperoleh dari setiap mengikuti kontes berkisar antara Rp 500.000-800.000 untuk kelas latihan dan Rp 5.000.000 untuk tingkat nasional. Total pendapatan yang dapat diperoleh dari hasil penjualan dan mengikuti kontes murai batu di MBOF yakni ± Rp 180.000.000/tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, murai batu yang siap untuk kontes adalah murai yang memiliki volume suara yang tinggi serta mahir dalam berkicau karena mampu menirukan berbagai jenis kicauan burung lain. Pengelola MBOF melatih murai batu dengan cara memutar rekaman kicauan burung jenis lain setiap pagi hingga sore hari.

Tingkat keberhasilan penangkaran murai batu

Berhasil tidaknya suatu penangkaran ditentukan oleh banyak faktor, antara lain persentase daya tetas telur, persentase perkembangbiakan induk betina dan persentase angka kematian (Tabel 15).

(31)

21 murai batu yang ditangkarkan sedang mengalami susut bulu (moulting) sehingga tidak terjadi proses reproduksi. Selain itu, penelitian hanya dilakukan sampai pada bulan Juli 2014 sehingga tingkat perkembangbiakan belum dapat dikategorikan. Susut bulu (moulting) adalah lepasnya bulu-bulu burung yang lama dan usang secara periodik dan diganti dengan bulu yang baru (Jarulis et al.2013). Besarnya tingkat perkembangbiakan pada tahun 2013 disebabkan karena indukan murai batu tidak memelihara anakannya sendiri sehingga murai batu cepat bereproduksi kembali.

Berdasarkan hasil perhitungan, persentase daya tetas telur murai batu di MBOF termasuk kategori sedang dan tinggi. Tingginya persentase daya tetas telur disebabkan kualitas pakan dan kondisi kandang reproduksi sudah baik. Menurut Kosin (1969) diacu dalam Masy'ud (2005) faktor yang berpengaruh terhadap daya tetas telur adalah umur induk, suhu dan kelembaban kandang serta kualitas pakan. Pakan yang diberikan kepada murai batu di MBOF memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Protein berguna bagi satwa untuk meningkatkan produktivitas telur.

Persentase angka kematian anakan murai batu di MBOF berada pada kategori sedang dan rendah. Rendahnya persentase tingkat kematian dikarenakan pemeliharaan anakan murai batu dilakukan secara hand rearing sehingga segala kebutuhan anakan sudah disediakan oleh pengelola. Anakan yang dirawat oleh indukan akan lebih rentan dengan kematian. Pengelola MBOF membiarkan indukan memelihara anaknya selama kurang lebih 5-7 hari kemudian anakan diangkat oleh pengelola dan dipelihara di kandang inkubator.

Penilaian Kesejahteraan Murai Batu di MBOF

Berdasarkan hasil penilaian kesejahteraan murai batu yang dilakukan oleh pengelola dan pengamat diperoleh hasil skor kesejahteraan murai batu di MBOF menurut pengelola adalah 69.35 dan menurut pengamat adalah 64.25 (Tabel 16).

Tabel 16 Penilaian tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF

No Komponen Bobot Skoring Nilai terbobot

Pt Pa Pt Pa

1 Bebas dari rasa lapar dan haus 30 3.25 3.63 97.50 108.9 2 Bebas dari rasa tidak nyaman 20 3.50 3.63 70.00 72.60 3 Bebas dari rasa sakit, penyakit,

luka

(32)

22

murai batu di MBOF cukup memenuhi kelima komponen kesejahteraan satwa. Beberapa hal dari masing-masing komponen kesejahteraan ada yang perlu diperbaiki dan ada pula yang sudah baik.

Bebas dari Rasa Lapar dan Haus

Hasil skor penilaian komponen bebas dari rasa lapar dan haus menurut pengelola yaitu 3.63, termasuk kategori baik. Hasil skor penilaian pengamat yakni 3.25, termasuk kategori cukup. Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011 satwa yang berada dalam tempat tinggalnya wajib dipenuhi mutu pakan dan minum dengan memperhatikan jenis, jumlah serta frekuensi pemberian pakan dan minum, menu pakan, dan cara penyajian pakan bagi pemenuhan kebutuhan dasar satwa.

Beberapa praktik pengelolaan yang dinilai sudah baik pada komponen ini adalah pemberian jumlah pakan dan minum bagi satwa, bentuk dan kualitas pakan, kondisi pakan dan minum saat diberikan pada satwa, serta kebersihan tempat pakan dan minum satwa. Skor penilaian terkecil pada komponen ini yaitu variasi jenis pakan dan keterlibatan ahli nutrisi dalam penetapan menu pakan. Pakan yang diberikan secara rutin kepada murai batu berupa jangkrik dan pur. Pemberian kroto dilakukan juga pada murai batu namun sifatnya situasional. Sebagian besar kebutuhan nutrisi murai batu di MBOF berasal dari jangkrik, hal ini disebabkan murai batu hanya mengkonsumsi pur rata-rata sebanyak 2gr/hari. Variasi jenis pakan yang dapat diberikan pada murai batu yaitu kuning telur rebus, belalang, ulat hongkong, tawon, ulat bambu dan orong-orong (Fauzi 2014). Selain itu, keterlibatan ahli nutrisi dalam penetapan menu pakan penting dilakukan untuk memastikan kebetuhan nutrisi bagi murai batu sudah terpenuhi.

Bebas dari Ketidaknyamanan Lingkungan

Hasil skor penilaian menurut pengelola terkait komponen bebas dari ketidaknyaman lingkungan yakni 3.63 sedangkan skor menurut pengamat sebesar 3.5, termasuk kategori baik. Komponen bebas dari ketidaknyaman lingkungan erat kaitannya dengan kondisi tempat tinggal atau kandang satwa. Eccleston (2009) menyatakan bahwa komponen bebas dari rasa tidak nyaman yaitu tersedianya kondisi lingkungan yang sesuai dan menyenangkan bagi satwa. Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011 komponen bebas dari ketidaknyamanan lingkungan merupakan komponen yang disebabkan oleh cuaca yang tidak sesuai dengan habitat jenis satwa.

(33)

23 Praktik pengelolaan lainnya yang dinilai sudah baik pada komponen ini yaitu material penyusun kandang yang sudah sesuai serta ketersedian fasilitas kandang yang cukup memenuhi kebutuhan hidup satwa. Material kandang murai batu di MBOF secara keseluruhan aman dan tidak mencelakai satwa. Material kandang murai batu terdiri dari kawat ram, batako, kayu, triplek dan asbes. Pepohonan juga disediakan di dalam kandang murai batu sebagai tempat bertengger, shelter dan agar menyerupai habitat di alam. Praktik pengelolaan yang perlu diperbaiki terkait komponen ini yaitu penambahan ukuran pada kandang pembesaran. Menurut Peraturan Ditjen PHKA No P.9/VI-SET/2011 ketersediaan ruang vertikal yang cukup perlu diperhatikan terutama bagi satwa yang suka memanjat dan terbang.

Bebas dari Rasa Sakit, Luka dan Penyakit

Komponen bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit memiliki skor penilaian dari pengelola sebesar 3.38 dan pengamat sebesar 3.00, termasuk kategori cukup. Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit adalah upaya pengelola dalam merawat kesehatan satwa dan mencegah kemungkinan satwa jatuh sakit atau menderita luka-luka (Eccleston 2009 dan Balaa dan Marie 2006). Kondisi kesehatan murai batu di MBOF secara keseluruhan dalam kondisi cukup baik. Praktik pengelolaan yang sudah baik terkait komponen ini adalah tindakan pengelola dalam menangani satwa sakit dan penyimpanan obat-obatan yang sudah sesuai. Penyimpanan obat-obatan disimpan oleh pengelola di lemari pendingin agar obat-obatan terjaga kualitasnya dan tetap steril. Murai batu di MBOF diperiksa kesehatannya oleh pengelola secara rutin, namun pemeriksaan kesehatan satwa belum melibatkan tenaga medis. Pengelola memeriksa kesehatan satwa hanya berdasarkan pengalaman dan pengamatan fisik satwa. Tindakan pengelola dalam menangani satwa yang sakit yaitu dengan memberikan obat-obatan secara rutin sampai kesehatan satwa pulih. Pengelola juga pernah menggunakan tumbuhan obat dalam menangani satwa seperti jahe.

(34)

24

Bebas Mengekspresikan Perilaku Alamiah

Berdasarkan hasil penilaian menurut pengelola dan pengamat, aspek bebas mengekspresikan perilaku alamiah memiliki skor 3.38 dan 3.25 yang termasuk kategori cukup. Bebas mengekspresikan tingkah laku alamiah merupakan komponen kesejahteraan yang erat kaitannya dengan ketersediaan kandang yang memadai untuk memenuhi kebutuhan biologis dan aktivitas harian satwa (Balaa dan Marie 2006).

Beberapa praktik pengelolaan yang sudah baik terkait komponen ini yaitu kondisi dan pengayaan kandang yang sudah sesuai serta kebebasan satwa untuk bereproduksi. Kondisi kandang murai batu di MBOF dibuat sedemikian rupa agar memenuhi kesejahteraan satwa. Penempatan kandang murai batu juga sudah baik sehingga tidak saling mengganggu dengan satwa lain maupun dengan pengunjung. Pengayaan yang terdapat di kandang murai batu yaitu kayu tenggeran, bahan sarang dan kotak sarang, serta pepohonan. Adanya pengayaan kandang akan membentuk suatu habitat buatan yang menunjang satwa untuk bertingkah laku seperti dihabitat alaminya. Murai batu yang telah mencapai usia dewasa kelamin akan dipindahkan oleh pengelola dari kandang pembesaran ke kandang reproduksi. Tahap awal reproduksi murai batu di MBOF dilakukan dengan proses penjodohan. Murai batu yang tidak berjodoh akan saling berkelahi dan pengelola akan segera mengganti pasangannya dengan murai batu yang lain. Perlakuan tersebut dapat dinilai cukup memenuhi kebebasan satwa untuk bereproduksi sekaligus menghindari satwa dari rasa sakit, luka dan penyakit akibat perkelahian.

Praktik pengelolaan yang perlu diperbaiki terkait komponen ini adalah teknis pemberian pakan. Pakan murai batu diberikan dengan cara diletakkan pada tempat yang sudah disediakan. Pakan murai batu sebaiknya dapat diberikan dengan menebarkannya di lantai kandang maupun di pepohonan sekitar kandang agar murai batu mencari makanannya sendiri layaknya murai yang hidup di alam. Bebas dari Rasa Takut dan Tertekan

Komponen bebas dari rasa takut dan tertekan pada murai batu di MBOF memiliki skor penilaian sebesar 3.13 menurut pengelola dan 3.00 menurut pengamat yang termasuk kategori cukup. Eccleston (2009) menjelaskan bebas dari rasa takut dan tertekan adalah menjamin kondisi dan perlakuan satwa dengan baik untuk menghindari satwa dari ancaman takut, stres dan kesusahan. Sebagian besar murai batu yang ditangkarkan di MBOF tidak menunjukkan perilaku tertekan atau stres. Perilaku murai batu yang stres ditandai dengan aktivitas melompat-lompat di dalam kandang hingga membentur dinding kandang. Murai batu akan terlihat stres ketika didekati oleh manusia. Rasa takut dan stres pada satwa akan berpengaruh pada kehidupan satwa yang akan mempengaruhi kesejahteraan mental dan fisik, pertumbuhan serta kemampuan reproduksi satwa (Jones dan Waddington 1992).

(35)

25 dari kontak fisik dengan pengunjung. Selama proses pengeraman telur, murai batu tidak boleh mengalami gangguan karena akan menimbulkan rasa takut sehingga induk akan membuang telur-telurnya (Fauzi 2014). Pengontrolan hewan pengganggu juga dilakukan oleh pengelola dengan cara membuat perangkap. Hewan pengganggu yang terdapat di kandang murai batu MBOF yaitu tikus. Selain membuat satwa stres, tikus juga terkadang memakan pur yang terdapat di dalam kandang. Pur yang sudah dimakan oleh tikus akan membahayakan kesehatan murai batu. Komariah et al. (2010) menjelaskan tikus merupakan hewan mengerat yang membawa, menyebarkan dan menularkan berbagai penyakit kepada manusia, ternak dan hewan peliharaan. Skor penilaian terkecil terkait komponen ini yaitu belum adanya penyediaan kandang karantina bagi satwa yang baru didatangkan. Kandang karantina diperlukan bagi satwa yang baru datang untuk mencegah murai batu dari rasa stres dan takut karena kondisi lingkungan yang baru.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa teknik pengelolaan penangkaran murai batu di MBOF meliputi manajemen perkandangan, manajemen pakan, manajemen reproduksi, manajemen kesehatan, pemanfaatan hasil serta ukuran keberhasilan dinilai sudah baik. Tingkat keberhasilan penangkaran murai batu pada tahun 2013 dapat dikatakan cukup berhasil dengan persentase daya tetas telur 66%, tingkat perkembangbiakan 70%, dan tingkat kematian 33.33%. Tingkat keberhasilan sampai pada bulan Juli 2014 yakni persentase daya tetas telur 82.35%, tingkat perkembangbiakan 23.81% dan tingkat kematian 21.43%. Tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF berdasarkan hasil skor penilaian yang dilakukan oleh pengelola dan pengamat yaitu 69.35 dan 64.25, termasuk kategori cukup.

Saran

Saran yang dapat diberikan sebagai upaya perbaikan dan pengembangan bagi Penangkaran MBOF khususnya bagi murai batu yaitu:

1. Perlunya penyediaan kandang karantina bagi satwa yang baru datang.

2. Perlunya penyediaan fasilitas dan perlengkapan medis termasuk tenaga medis untuk manajemen kesehatan satwa.

3. Perlunya pembuatan SOP bagi pengunjung maupun petugas dalam mengelola satwa

(36)

26

DAFTAR PUSTAKA

[Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam. 2011. Peraturan Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) No.P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam.

[Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam. 2011. Peraturan Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) No. P.9/IV-SET/2011 tentang Pedoman Etika dan Kesejahteraan Satwa di Lembaga Konservasi Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2013. Daftar Populasi Satwa yang Termasuk kedalam Red List of IUCN. http:www.iucnredlist.org. [diakses pada 25 April 2014].

Astiti LG. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Ternak Sapi. Mataram (ID): Balitbang Pertanian.

Ayudewanti AN. 2013. Pengelolaan dan tingkat kesejahteraan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Taman Margasatwa Ragunan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Balaa RE, Marie M. 2006. Animal welfare considertions in small ruminant breeding specifications. Journal of Agricultural and Environmental Ethics. 19: 91-102.

Basuni S, Hernowo JB, Mulyono M. 2005. Studi beberapa aspek ekologi burung murai batu di hutan wisata pananjung pangandaran. Jurnal Media Konservasi. 2(10): 47-50.

Draper C, Harris S. 2012. The assessment of animal welfare in british zoo by goverment-appointed inspectors. Journal of Animals. 2: 507-528.

Eccleston KJ. 2009. Animal walfare di Jawa Timur: model kesejahteraan binatang di Jawa Timur [skripsi]. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang. Farida WR, Wardani KK, Tjakradidjaja AS, Diapari D. 2008. Konsumsi dan

penggunaan pakan pada tarsius (Tarsius bancanus) betina di penangkaran. Jurnal Biodiversitas. 9(2): 148-151.

Fauzi FN. 2014. Murai Batu. Klaten (ID): Sahabat.

Hifizah A. 2013. Perbandingan efektifitas inokulum cairan rumen kerbau dan sapi pada jerami. Jurnal Teknosains. 7(2): 175-188.

Imran, Budhi SPS, Ngadiyono N, Dahlanuddin.2012. Pertumbuhan pedet sapi bali lepas sapih yang diberi rumput lapangan dan disuplementasi daun turi. Jurnal Agriminal. 2 (2): 55-60.

Jarulis, Meidian A, Kamilah SN, Alrahmado. 2013. Breeding dan moulting burung-burung di hutan terfragmen Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung; Lampung, 10-12 Mei. Lampung (ID): FMIPA Universitas Lampung. hlm 15-27.

(37)

27 Jepson P, Ladle RJ. 2009. Governing bird-keeping in Java and Bali: evidence from a household survey. Journal of Flora & Fauna International. 43(3): 364-374.

Jones RB, Waddington D. 1992. Modification of fear in domestic chicks, Gallus gallus domesticus, via reguler handling and early enviromental enrichment. Journal of Animal Behaviour 43: 1021-1033.

Ketaren PP. 2010. Kebutuhan gizi ternak unggas di Indonesia. Jurnal Wartazoa. 20 (4): 172-180.

Komariah, Pratita S, Malaka T. 2010. Pengendalian vektor. Jurnal Kesehatan Bina Husada. 6 (1): 34-43.

Laela A. 2013. Pengelolaan kesejahteraan musang luwak dan pemanfaatannya sebagai satwa peraga di Taman Margasatwa Ragunan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

MacKinnon J, Phillipps K, v. Balen. 2010. Seri panduan lapang burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan LIPI.

Marcondes FK, Bianchi FJ, Tanno AP. 2002. Determination of the estrous cycle phase of rats: some helpful considerations. Journal Brazilian Archieves of Biology and Technology. 62 (4): 600-614.

Masy'ud B. 2005. Studi perbandingan performans reproduksi, karakteristik genetik, dan pola suara antara tetua dan turunannya pada penyilangan burung Tekukur (Streptopelia chinensis) dan puter (Streptopelia risoria) [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Semiadi G. 1997. Teknik perawatan anak rusa tropika sejak lahir hingga masa

sapih. Jurnal Media Konservasi. 5(2): 77-80

Setio P, Takandjandji M. 2007. Konservasi ek-situ burung endemik langka melalui penangkaran. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang, 20 September 2006. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Konservasi Alam. hlm 47-61.

Soemadi W, Mutholib A. 1995. Pakan Burung. Jakarta: Penebar Swadaya.

Soemarjoto R, Prayitno. 1999. Agar Burung Selalu Sehat. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Soemarjoto R. 2003. Mengatasai Permasalahan Burung Berkicau. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Sudrajad. 1999. Cucak Rawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Supriadi H, Wicaksono INA. 2013. Keragaman tanaman nyamplung di Taman Wisata Alam Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 19 (1): 7-10.

Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Tillman DA, Hartadi D, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Turut R. 1999. Sukses Melatih Cucak Rawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Untung O, Turut R. 1994. Melatih Murai Batu Berkicau. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya.

(38)

28

(39)

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada 04 Agustus 1992. Penulis merupakan putri pertama dari Bapak Sukandar dan Ibu Kurnia Harapini. Pendidikan formal penulis yang telah ditempuh yaitu pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Panaragan II Bogor pada periode tahun 1998–2004, kemudian penulis melanjutkan ke pendidikan SMP Negeri 04 Bogor periode tahun 2004–2007, dan melanjutkan ke pendidikan SMA Negeri 05 Bogor periode tahun 2007–2010. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan masuk dalam mayor departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan.

Penulis aktif ke dalam unit kegiatan mahasiswa IPB Gentra Kaheman pada tahun 2010-2011. Selama kuliah di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan menjadi anggota Kelompok Pemerhati Tumbuhan (KPF).

Tahun 2009, penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di KPH Indramayu dan Taman Nasional Gunung Ciremai. Tahun 2011, penulis mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dan melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Cagar Alam Rawa Danau.

Gambar

Tabel 1  Jenis dan metode pengumpulan data
Gambar 1  Murai batu di MBOF
Tabel 5  Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang murai batu di MBOF
Tabel 6  Fasilitas kandang murai batu
+7

Referensi

Dokumen terkait