• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KECAMATAN PADAHERANG, KABUPATEN

PANGANDARAN

KUNTI MAY WULAN

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(3)

Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN

Fenomena krisis ekologi yang terjadi di Desa Ciganjeng berupa banjir melanda area persawahan hingga pemukiman setiap tahun. Banjir menyebabkan eksistensi rumahtangga petani sebagai pelaku utama dalam ekologi terancam dan untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan, mereka memiliki strategi nafkah. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak krisis ekologi terhadap strategi nafkah rumahtangga petani. Metode penelitian ini adalah penelitian survei menggunakan kuesioner dan pendekatan kualitatif menggunakan studi kasus dan observasi sebagai penunjang data kuantitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 35 responden rumahtangga petani maka ditemukan bahwa krisis ekologi menyebabkan rumahtangga petani harus memiliki strategi nafkah, yaitu: strategi alokasi sumberdaya manusia, strategi pola nafkah ganda, strategi migrasi, strategi intensifikasi pertanian, strategi berhutang dan strategi investasi non pertanian. Strategi nafkah tersebut dilakukan dengan memainkan lima aset modal nafkah. Selain itu, walaupun rumahtangga petani diguncang krisis ekologi namun mereka tetap bertahan karena memiliki kelentingan nafkah yang tinggi.

Kata kunci: krisis ekologi, strategi nafkah, rumahtangga petani, kelentingan nafkah

ABSTRACT

KUNTI MAY WULAN. The Impact of Ecological Crisis on Livelihood Strategies of Farm Household in the Ciganjeng Village, Padaherang Subdistrict, Pangandaran. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN.

The phenomenon of ecological crisis that occured in Ciganjeng Village is the flood stricken rice fields and settlement every year. Flooding caused the existence of farm households as the main actors in the ecology are threatened and to maintain the sustainability of their lives, they have livelihood strategies. This study was conducted to analyze the impact of the ecological crisis on livelihood strategies of farm household. This research method is a survey research using quetionnaires and qualitative approach using case studies and observations as supporting quantitative data. Based on a study of 35 respondents farm households, it was found that the ecological crisis caused farm households should have livelihood strategies, which are: human resource allocation strategy, multiple livelihood strategy, migration strategy, agricultural intensification strategy, dept strategy and non agricultural invesment strategy. Livelihood strategis are made by playing five livelihood assets. In addition, although the ecological crisis rocked farm households but they still survive because they have a high livelihood resiliency.

(4)

PANGANDARAN

KUNTI MAY WULAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN

PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Nama : Kunti May Wulan NIM : I34100007

Disetujui oleh

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan MSc.Agr Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah MSc Ketua Departemen

(6)
(7)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya tak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan MSc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi maupun pembimbing akademik yang telah memberikan banyak arahan, saran, dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Ibu Dr Eka Intan Kumala Putri, Mba Dyah Ita Mardyaningsih, serta Mba Rizka Amalia yang telah memberikan masukan dan saran. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yuyuk, Bapak Kaib, dan seluruh aparat Desa Ciganjeng, Ibu Onih selaku Ketua PKK Desa Ciganjeng, Ibu Turiah dan semua warga Desa Ciganjeng yang telah membantu penulis selama pengumpulan data.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua tercinta, Bapak Arbain dan Ibu Supartini, serta tante, Indah Yani, dan seluruh keluarga besar, yang selalu berdoa, melimpahkan kasih sayangnya, serta memberi dukungan semangat dan material untuk penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh teman-teman akselerasi KPM angkatan 47 yang selalu saling mengingatkan dan memberikan dukungan agar kita bisa lulus dan wisuda bersama-sama. Tidak lupa penulis berterima kasih kepada sahabat-sahabat tersayang, Atrina DP, Astri S, Aulia RA, Regina A, Fauziah Z, Anna NC, Fia Afiani Z, dll yang tidak bisa disebutkan satu persatu disini serta semua teman-teman penulis di KPM angkatan 47, IAAS LC IPB, BEM KM IPB 2013 terutama Kementerian KOMINFO yang telah senantiasa memberi semangat dan menemani penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan, dan kerjasamanya selama ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2014

(8)

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 7

Tinjauan Pustaka 7

Konsep Krisis Ekologi 7

Konsep Rumahtangga Petani 8

Konsep Nafkah 8

Konsep Kelentingan 11

Kerangka Pemikiran 12

Hipotesis Penelitian 13

Definisi Konseptual 13

Definisi Operasional 13

METODE PENELITIAN 15

Lokasi Dan Waktu 15

Penentuan Responden Dan Informan Penelitian 16

Teknik Pengumpulan Data 16

Teknik Analisis Data 17

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 19

Gambaran Desa Ciganjeng 19

Kondisi Demografi 20

Penduduk dan Mata Pencaharian 20

Tingkat pendidikan 22

Kondisi Sosial 23

Krisis Ekologi 24

(9)

Usia dan Tingkat Pendidikan Responden 27

Jenis Kelamin Responden 28

Status Perkawinan Responden 29

Ikhtisar 30

STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 31

Struktur Pendapatan Berdasarkan Tingkat Pendapatan Rumahtangga 31

Pendapatan Sektor Pertanian 32

Pendapatan Sektor Non Pertanian 33

Komposisi Pengeluaran Rumahtangga Petani 37

Saving Capacity Rumahtangga Petani 39

Ikhtisar 41

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 43

Bentuk-Bentuk Penerapan Strategi Nafkah 43

Strategi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumahtangga 44

Strategi Pola Nafkah Ganda 46

Strategi Migrasi 49

Strategi Intensifikasi Pertanian 50

Strategi Berhutang 52

Strategi Investasi Non Pertanian 54

Tingkat Pemanfaatan Livelihood Asset 55

Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital) 55

Modal Fisik (Physical Capital) 56

Modal Manusia (Human Capital) 57

Modal Finansial (Financial Capital) 58

Modal Sosial (Social Capital) 58

Ikhtisar 60

KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI 63

Kelentingan Nafkah 63

Aspek-Aspek Kelentingan Nafkah 64

Saving Capacity 64

Ketersediaan Kesempatan Kerja di Luar 67

(10)

Ketersediaan Modal Sosial 69

Ketersediaan Teknologi Pendukung 71

Natural Extraction Activities 72

Pengurangan Jatah Makan 73

Ikhtisar 74

SIMPULAN DAN SARAN 77

Simpulan 77

Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 81

(11)

DAFTAR TABEL

1 Matriks perbandingan strategi nafkah rumahtangga berdasarkan 10

subyek penelitian

2 Luas lahan menurut penggunaannya di Desa Ciganjeng tahun 2012 20

3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Desa Ciganjeng tahun 21

2012

4 Frekuensi dan persentase jenis kelamin responden rumahtangga 29

petani di Desa Ciganjeng tahun 2013

5 Frekuensi dan persentase status perkawinan responden rumahtangga 29

petani di Desa Ciganjeng tahun 2013

6 Frekuensi dan persentase kategori responden rumahtangga petani 31

berdasarkan rata-rata jumlah pendapatan per tahun tahun 2013

7 Jumlah saving capacity rumahtangga petani di Desa Ciganjeng 40

menurut kategori tingkat pendapatan tahun 2013

8 Frekuensi dan persentase pengalokasian sumberdaya dalam 45

rumahtangga dalam proses usaha tani di Desa Ciganjeng tahun 2013

9 Frekuensi dan persentase pilihan sumber dana rumahtangga 52

di Desa Cigenjeng tahun 2013

10 Frekuensi dan persentase pilihan berhutang petani di Desa 52

Ciganjeng tahun 2013

11 Variasi strategi nafkah rumahtangga petani menurut lapisan 54

rumahtangga di Desa Ciganjeng tahun 2013

12 Frekuensi dan persentase tingkat kelentingan nafkah rumahtangga 64

berdasarkan saving capacity di Desa Ciganjeng tahun 2013

13 Frekuensi dan persentase tingkat kelentingan nafkah rumahtangga 68

petani berdasarkan kemampuan mengakses kesempatan kerja di luar

pertanian di Desa Ciganjeng tahun 2013

14 Frekuensi dan persentase rumahtangga petani berdasarkan 70

tingkat pemanfaatan jaringan berbasis genealogis di Desa

(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 12

2 Kurva sebaran normal 17

3 Persentase penduduk Desa Ciganjeng berdasarkan jenis mata 22

pencaharian tahun 2012

4 Persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Ciganjeng 23

tahun 2012

5 Persentase tingkat pendidikan responden rumahtangga petani di 27

Desa Ciganjeng tahun 2013

6 Grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani di Desa Ciganjeng 32

dari sektor pertanian tahun 2013

7 Grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani di Desa Ciganjeng 33

dari sektor non pertanian tahun 2013

8 Grafik persentase komposisi pendapatan rumahtangga petani di Desa 34

Ciganjeng tahun 2013

9 Grafik rata-rata pendapatan rumahtangga petani di Desa Ciganjeng 36

tahun 2013

10 Grafik rata-rata pengeluaran rumahtangga petani per tahun di Desa 37

Ciganjeng tahun 2013 berdasarkan tingkat pendapatan rumahtangga

11 Grafik persentase komposisi pengeluaran pangan dan nonpangan 38

rumahtangga petani per tahun berdasarkan kategori tingkat

pendapatan rumahtangga di Desa Ciganjeng tahun 2013

12 Grafik perbandingan rata-rata pendapatan dan pengeluaran 39

rumahtangga petani per tahun di Desa Ciganjeng tahun 2013

13 Peta Kabupaten Pangandaran 83

14 Peta wilayah Desa Ciganjeng 83

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi penelitian 81

(13)

3 Daftar kerangka sampling dan responden terpilih 84

(14)

PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Sub bab latar belakang menguraikan pemikiran yang melatarbelakangi penelitian ini sedangkan sub bab masalah penelitian menguraikan hal-hal yang menjadi masalah penelitian ini. Sub bab tujuan penelitan menguraikan hal-hal yang menjadi tujuan penelitian ini sedangkan sub bab kegunaan penelitian menguraikan kegunaan dari penelitian ini untuk akademisi, pembuat kebijakan, maupun pembaca pada umumnya.

Latar Belakang

Menurut Dharmawan (2007b), krisis ekologi adalah suatu keadaan di mana sistem ekologi mengalami ketidakstabilan kesetimbangan pertukaran energi-materi dan informasi yang mengakibatkan ketidakseimbangan pada fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme dengan organisme lain dan alam lingkungannya. Krisis ekologi akan mengganggu keseimbangan ekologi dan akhirnya akan mengancam eksistensi manusia sebagai pelaku utama dalam ekologi. Fenomena krisis ekologi ini terjadi dan mengancam seluruh kawasan di Indonesia. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat, setiap media dalam sehari mempublikasikan minimal lima kasus lingkungan hidup hanya di Jawa Barat saja (Ramdan 2011). Jika diakumulasikan maka sepanjang tahun 2011 diperkirakan sekitar 10 800 kasus lingkungan hidup terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan catatan yang ada, kasus krisis ekologi terjadi di beberapa sektor penting seperti pertambangan, sumberdaya air, wilayah pesisir dan sektor yang paling menjadi perhatian adalah kehutanan padahal banyak orang yang tinggal di dalam maupun di sekitar hutan. Berdasarkan data Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan (2009), jumlah desa hutan di Jawa dan Madura sebanyak 4 614 desa atau 18.54 persen dari seluruh desa yang ada di Pulau Jawa-Madura kecuali DKI Jakarta1.

Krisis ekologi hutan dapat terjadi karena kerusakan hutan akibat kegiatan industri (illegal logging, pembalakan liar, ekowisata), penambangan, perambahan hutan untuk pemukiman, dan aktivitas ekonomi lainnya yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat, praktik alih fungsi lahan kawasan hutan hingga tahun 2011 saja sudah terakumulasi sekitar 95 000 hektar di Jawa Barat saja dan angka ini akan semakin terus bertambah setiap tahun apabila tidak ada yang menghambatnya. Krisis ekologi hutan yang terjadi membuat ekosistem semakin tidak stabil yang kemudian akan menyebabkan terjadinya bencana alam seperti longsor dan banjir di musim hujan serta kekeringan di musim kemarau. Bencana yang timbul akibat krisis ekologi hutan seperti banjir, longsor, dan kekeringan dapat menghilangkan sebagian atau seluruh sumber nafkah yang menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitar hutan terutama rumahtangga petani yang bergantung pada sumberdaya

1

(15)

alam yang ada. Ketidakamanan nafkah bagi para petani akibat krisis ini tidak sesuai dengan pasal 28 G ayat 1 Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang

menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pelindungan diri pribadi, keluarga,

kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Kementerian Kehutanan RI melansir data bahwa sumber penghasilan nafkah utama 99.45 persen masyarakat desa hutan yang berada di dalam kawasan hutan dan 97.08 persen masyarakat desa hutan yang berada di tepi kawasan hutan adalah pertanian. Sebesar 90.66 persen dari usaha tani yang menjadi sumber pendapatan masyarakat desa hutan merupakan usaha tani tanaman pangan yang bergantung pada kondisi alam. Krisis ekologi hutan yang terjadi mengancam keberlangsungan nafkah masyarakat hutan terutama rumahtangga petani. Banjir di musim hujan dapat merendam sawah-sawah yang telah mereka tanami. Begitu pula yang terjadi apabila kekeringan di musim kemarau, sawah-sawah mereka kekeringan dan pada akhirnya gagal panen. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus, rumahtangga petani bisa terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

Krisis ekologi hutan tidak hanya terjadi di daerah kawasan hutan alam tetapi juga di kawasan hutan yang terletak di DAS (Daerah Aliran Sungai). Bagian hulu dan bagian hilir DAS merupakan satu kesatuan yang saling terintegrasi karenanya apabila terjadi krisis ekologi di bagian hulu maka akan berakibat bencana di bagian hilir. Contoh kasus krisis ekologi hutan terjadi di Jawa Barat tepatnya di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Ciamis. Desa Ciganjeng yang merupakan bagian hilir dari DAS Citanduy ikut merasakan bencana akibat krisis ekologi hutan yang terjadi di hulu yaitu banjir yang terjadi hampir setiap tahun dan bahkan sudah tidak bisa diprediksi lagi kapan datangnya.

Marmuksinudin (2013) mengungkapkan bahwa ratusan petani di wilayah Ciganjeng sudah hampir satu tahun merindukan masa panen karena ratusan hektar sawah di kawasan Ciganjeng, sudah hampir satu tahun digenangi banjir. Setidaknya pada Januari 2013, banjir di Kecamatan Padaherang merendam sedikitnya 426 hektar areal persawahan termasuk di Desa Ciganjeng2. Banjir tidak hanya merendam daerah persawahan saja tetapi juga merendam rumah-rumah warga. Jika hal ini terjadi terus menerus, maka rumahtangga petani di Desa Ciganjeng akan semakin terjerat dalam rantai kemiskinan karena menghilangkan sumber-sumber nafkah yang mereka miliki. Selain itu, banjir juga mengancam hilangnya aset rumahtangga, gangguan kesehatan, dan krisis pangan bagi rumahtangga petani. Ketersediaan sumberdaya alam bagi petani menjadi penting dan petani akan terancam apabila sumberdaya alam tersebut mengalami gangguan misal salah satunya karena bencana krisis ekologi.

(16)

mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap mempertahankan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Dharmawan (2007a) mengungkapkan bahwa strategi nafkah dalam kehidupan sehari-hari direpresentasikan oleh keterlibatan individu-individu pada proses perjuangan untuk mendapatkan sesuatu jenis mata pencaharian atau bentuk pekerjaan produktif demi mempertahankan ataupun meningkatkan derajat kehidupannya. Dharmawan (2007a) juga menjelaskan strategi nafkah bisa dibangun melalui beberapa jalur aktivitas nafkah dan strategi nafkah melalui jalur kegiatan ekonomi produktif adalah strategi yang paling lazim dikembangkan oleh individu dan rumahtangga.

Widodo (2011) menjelaskan bahwa strategi nafkah adalah aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Krisis ekologi yang terjadi menyebabkan hilangnya beberapa atau seluruh sumber nafkah yang ada dan perubahan sumber nafkah ini akan mengakibatkan perubahan strategi nafkah rumahtangga petani. Perubahan terhadap strategi nafkah rumahtangga akan berdampak pada perubahan struktur nafkah dan tingkat pendapatan rumahtangga. Krisis ekologi yang terjadi menyebabkan ketidakpastian nafkah bagi rumahtangga petani. Walaupun begitu, setiap individu mempunyai kemampuan untuk merasa lebih baik dengan cepat setelah mengalami guncangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan dan mengakomodasi gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa yang disebut sebagai kelentingan (Sapirstein 2006). Kemampuan inilah yang mendorong untuk individu ataupun rumahtangga untuk bertahan dari guncangan dan bangkit sehingga tidak terperosok ke dalam jurang kemiskinan namun tidak semua individu atau rumahtangga memiliki kelentingan yang sama.

Permasalahan mengenai krisis ekologi yang mengancam rumahtangga petani ini seharusnya menjadi perhatian kita semua agar tidak semakin banyak yang nantinya terjebak dalam rantai kemiskinan. Oleh karena itu, penting untuk diteliti bagaimana dampak krisis ekologi terhadap strategi rumahtangga petani.

Masalah Penelitian

(17)

individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memerhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku (Dharmawan 2007a). Perbedaan sumber nafkah yang tersedia juga turut mempengaruhi strategi nafkah yang akan diterapkan oleh rumahtangga petani. Strategi nafkah ini dapat menjadi sebuah strategi bertahan hidup dalam suasana krisis.

Strategi nafkah yang dibangun pada saat krisis yaitu banjir dalam periode waktu yang cukup lama tentu akan berbeda dengan strategi nafkah rumahtangga yang dibangun petani pada saat keadaan normal atau tidak krisis. Tingkat pemanfaatan livelihood asset oleh rumahtangga petani mempengaruhi strategi nafkah yang akan diterapkan oleh mereka. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian bagaimana variasi strategi nafkah rumahtangga petani dibangun saat masa krisis maupun masa normal?

Perbedaan strategi nafkah akan memperlihatkan variasi-variasi yang beragam dan dapat menunjukkan kemampuan untuk merasa lebih baik dengan cepat setelah mengalami guncangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan dan mengakomodasi gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa yang disebut sebagai kelentingan (Sapirstein 2006). Masyarakat di suatu daerah yang terkena krisis ekologi tidak serta merta jatuh atau hancur akibat krisis tersebut karena setiap individu maupun kelompok memiliki kelentingan. Kelentingan setiap individu maupun kelompok berbeda-beda bergantung pada sejauh mana individu atau kelompok tersebut mengupayakan kesempatan dan ketersediaan alat-alat yang ada untuk meningkatkan kelentingan mereka agar bertahan dari krisis. Oleh karena itu, perlu dipahami lebih lanjut bagaimana kelentingan nafkah di daerah krisis ekologi?

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut:

1. Menganalisis variasi strategi nafkah rumahtangga petani yang muncul saat masa krisis maupun masa normal.

2. Memahami kelentingan nafkah rumahtangga petani di daerah krisis ekologi.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dampak krisis ekologi terhadap kehidupan masyarakat desa sekitar hutan dan strategi nafkah apa saja yang dilakukan rumahtangga untuk keluar dari krisis tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai kelentingan atau ketahanan dari masyarakat tersebut. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, diantaranya adalah:

1. Bagi masyarakat Desa Ciganjeng

(18)

dan Desa Ciganjeng pada khususnya untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki oleh masing-masing.

2. Bagi pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menghadapi krisis tidak hanya krisis ekologi yang terjadi di Desa Ciganjeng saja. Hal ini tentunya ditujukan untuk semua kalangan pemerintahan, mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Pihak pemerintah diharapkan dapat membangun hubungan yang sinergis antara semua stakeholders termasuk pihak swasta dan petani. Selain itu, diharapkan agar pemerintah dapat menyusun strategi yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan, sesuai dengan karateristik masing-masing petani.

3. Bagi peneliti dan kalangan akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pustaka dan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di masyarakat khususnya yang berkaitan dengan topik livelihood studies, pedesaan, ekologi, dan juga bidang kehutanan.

4. Bagi masyarakat umum

(19)
(20)

PENDEKATAN TEORITIS

Bab ini terdiri atas beberapa sub bab. Sub bab pertama membahas tinjauan pustaka. Sub bab selanjutnya membahas kerangka pemikiran. Kemudian, hipotesis penelitian dibahas dalam sub bab selanjutnya. Definisi konseptual dan definisi operasional dibahas pada sub bab terakhir bab ini.

Tinjauan Pustaka Konsep Krisis Ekologi

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekologi diartikan sebagai ilmu mengenai timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Oleh karena itu, krisis ekologi dapat dimaknai sebagai suatu keadaan di mana sistem ekologi mengalami ketidakstabilan kesetimbangan pertukaran energi-materi dan informasi, yang mengakibatkan ketidakseimbangan pada fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme dengan organisme lain dan alam-lingkungannya sementara itu organisme (manusia) dengan teknologi, perilaku dan organisasi sosialnya belum mampu melakukan penyesuaian yang berarti dalam mengantisipasi atau merespons guncangan tersebut (Dharmawan 2007b). Raharja (2011) selanjutnya menjelaskan bahwa krisis ekologi ini merupakan krisis hubungan antar manusia dan kebudayaannya dengan lingkungan hidup tempat mereka berlindung, bermukim, dan mengeksploitasi sumberdaya alam. Krisis ekologi telah menjadi realita kontemporer yang melebihi batas toleransi dan kemampuan adaptasi lingkungan.

Menurut Dharmawan (2006), sumberdaya alam adalah “last resort” tempat

pengaduan terakhir bagi lapisan miskin untuk mempertahankan kehidupan (survival strategy), manakala tidak ada lagi peluang ekonomi apapun yang tersisa di tempat lain bagi mereka. Dengan demikian, kelompok lapisan miskin sangat bergantung terhadap ketersediaan sumberdaya alam bagi kehidupan mereka. Selain itu, manusia cenderung bertindak meluluhlantakkan ekologi atas dasar ambisi dan egoisme untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya. Tidak heran apabila hubungan pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan sumberdaya alam adalah negatif. Di sisi lain, kerusakan ekologi ini menimbulkan dampak buruk yang dirasakan hampir seluruh manusia. Salah satu krisis ekologi yang terjadi adalah akibat dari kerusakan hutan yang menurut pemberitaan Kompas edisi 21 Maret 2007, Indonesia adalah perusak hutan tercepat di dunia, sebesar 2 persen/tahun atau 1.87 juta hektar (51 km/hari). Apabila angka ini dikonversi akan sama artinya dengan seluas 300 lapangan sepakbola/jam. Krisis ekologi akan menganggu keseimbangan ekologi yang akhirnya kembali mengancam eksistensi manusia sebagai pelaku utama ekologi.

(21)

Frekuensi timbulnya bencana akibat krisis ekologi pun semakin lama sulit untuk diprediksi. Menurut Kompas, pada tahun 2007 Indonesia telah mengalami 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, di samping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Bahkan menurut Kompas, di Indonesia terdapat 19 propinsi yang lahan sawahnya terendam banjir dan 263 071 hektar sawah terendam dan gagal panen. Selain itu, pada tahun 2007 ini tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 propinsi dan 36 kabupaten.

Konsep Rumahtangga Petani

Rumahtangga (household) berbeda dengan istilah keluarga (family). Menurut Ellis (1988), keluarga adalah sebuah unit sosial yang didefinisikan sebagai hubungan kekeluargaan antar orang namun pada masyarakat petani kecil, keluarga tidak hanya sebatas dua orang dewasa yang hidup bersama anak-anaknya seperti konsep keluarga inti pada konsep Barat. Berbeda dengan keluarga, rumahtangga adalah sebuah unit sosial yang berbagi tempat tinggal yang sama atau tungku yang sama. Menurut Mattila dan Wiro (1999), rumahtangga adalah sebuah grup lebih dari hanya sekedar seorang individu (meskipun seorang individu dapat juga sebagai rumahtangga), yang melakukan berbagai aktivitas ekonomi yang diperlukan untuk bertahannya rumahtangga dan untuk menjaga agar anggota rumahtangga tetap sejahtera. Dilihat dari segi ekonomi, rumahtangga merupakan sebuah unit analisis dalam asumsi secara implisit bahwa yang dimaksud adalah sumber nafkah rumahtangga disatukan, pemasukan dibagikan, dan keputusan dibuat bersama oleh anggota rumahtangga yang dewasa.

Menurut Nakajima (1986), Rumahtangga Petani (farm household) mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi. Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku rumahtangga petani dalam aktivitas pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat subsisten, semi komersial, dan atau sampai berorientasi ke pasar (Ellis 1988).

Nakajima (1986) memberikan definisi rumahtangga petani (farm household) sebagai satu kesatuan unit yang kompleks dari perusahaan pertanian (farm firm), rumahtangga pekerja dan rumahtangga konsumen (the laborer’s household and consumer’s household) dengan prinsip perilaku yang memaksimalkan utilitas. Produktivitas pertanian sangat ditentukan oleh keberadaan rumahtangga petani dan lingkungan sekitarnya. Secara spesifik, rumahtangga petani merupakan satu unit kelembagaan yang setiap saat memutuskan produksi pertanian, konsumsi, dan reproduksi.

Konsep Nafkah

(22)

rumah tangga sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Terdapat lima bentuk modal atau biasa disebut livelihood asset. Menurut Ellis (2000), kelima modal tersebut adalah: 1. Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital). Modal ini bisa juga disebut

sebagai lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan abiotik di sekeliling manusia. Modal ini dapat berupa sumberdaya yang bisa diperbaharui maupun tidak bisa diperbaharui. Contoh dari modal sumberdaya alam adalah air, pepohonan, tanah, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan di perairan, maupun sumberdaya mineral seperti minyak, emas, batu bara dan lain sebagainya.

2. Modal Fisik (Physical Capital). Modal fisik merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain sebagainya.

3. Modal Manusia (Human Capital). Modal ini merupakan modal utama apalagi

pada masyarakat yang dikategorikan “miskin”. Modal ini berupa tenaga kerja

yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan, dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. 4. Modal Finansial (Financial Capital and Subtitutes). Modal ini berupa uang,

yang digunakan oleh suatu rumahtangga. Modal ini dapat berupa uang tunai, tabungan, ataupun akses dan pinjaman.

5. Modal Sosial (Social Capital). Modal ini merupakan gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumahtangga yang tergabung di dalamnya. Contoh modal sosial adalah jaringan kerja (networking) yang merupakan hubungan vertikal maupun hubungan horizontal untuk bekerja sama dan memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan ekonomi.

Menurut Dharmawan (2007a), livelihood memiliki pengertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit sebagai mata pencaharian semata saja. Strategi nafkah lebih mengarah kepada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) yaitu strategi membangun sistem penghidupan. Dharmawan (2007a) secara lebih jelas menerangkan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu atatupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memerhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Widodo (2011) menjelaskan bahwa strategi nafkah meliputi aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Oleh karena itu, semakin beragam pilihan tersebut sangat memungkinkan terjadinya beragam strategi nafkah. Sedangkan Dharmawan (2007a) menjelaskan strategi nafkah bisa dibangun melalui beberapa jalur aktivitas nafkah dan strategi nafkah melalui jalur kegiatan ekonomi produktif adalah strategi yang paling lazim dikembangkan oleh individu dan rumahtangga.

(23)

Matriks berikut ini menggambarkan strategi nafkah rumahtangga berdasarkan subyek penelitian.

(24)

Masitoh (2005) mengatakan bahwa terdapat enam bentuk strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani yaitu sebagai berikut:

1. Strategi waktu (pola musiman), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan saat-saat tertentu/peristiwa tertentu yang terjadi;

2. Strategi alokasi sumberdaya manusia (tenaga kerja), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan seluruh tenaga kerja yang dimilikinya untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing;

3. Strategi intensifikasi pertanian, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian secara maksimal;

4. Strategi spasial, strategi ini dilakukan dengan berbasiskan rekayasa sumberdaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga guna mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga;

5. Strategi pola nafkah ganda, strategi ini dilakukan dengan cara menganekaragamkan nafkah; dan

6. Strategi berbasiskan modal sosial, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi.

Konsep Kelentingan

Kelentingan atau resiliensi secara etimologis diadaptasi dari bahasa Inggris yaitu resilience. Berdasarkan Oxford Advance Dictionary, resilience is the ability of people or things to feel better quickly after something unpleasant, such as shock, injury, etc. Pengertian lebih lanjut bahwa kelentingan adalah kemampuan manusia atau benda-benda untuk merasa lebih baik dengan cepat setelah mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal yang tidak menyenangkan tersebut misalnya seperti mengalami guncangan, mendapatkan cedera, dan lain-lain yang merupakan tekanan-tekanan yang sebenarnya sering terjadi dalam kehidupan kita. Kelentingan ini merupakan daya atau kemampuan untuk kembali ke bentuk semula. Menurut Sapirstein (2006), kelentingan adalah kemampuan individu ataupun kelompok dalam menghadapi krisis internal atau eksternal dan tidak hanya menyelesaikannya secara efektif tetapi juga belajar dari hal tersebut, menjadi lebih kuat oleh hal tersebut, dan muncul perubahan dari hal tersebut. Gibbs dan Bromley (1989) dalam Darusman (2001) menjelaskan kelentingan (resiliensi) sebagai suatu kemampuan untuk mengakomodasi terhadap tekanan-tekanan atau gangguan-gangguan yang tiba-tiba dan luar biasa.

(25)

Kerangka Pemikiran

Kerusakan hutan dan ekosistem di hulu Daerah Aliran Sungai Citanduy mengakibatkan krisis ekologi di bagian hilir berupa banjir rob yang menyebabkan sawah/lahan pertanian milik petani menjadi tergenang. Hal ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam dalam hal ini lahan pertanian. Krisis ekologi menjadi ancaman bagi rumahtangga petani apabila frekuensi terjadinya krisis/bencana berlangsung terus menerus dan dalam periode yang lama. Hal ini akan mengakibatkan perubahan ketersediaan sumberdaya alam yang biasa dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber nafkah rumahtangga mereka. Banjir yang menggenangi lahan-lahan pertanian mempengaruhi komposisi struktur nafkah yaitu tingkat pendapatan dan tingkat pengeluaran rumahtangga petani.

Perubahan struktur nafkah ini mendorong petani melakukan strategi nafkah untuk tetap bisa bertahan hidup dan menjaga agar tingkat pengeluaran tidak jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendapatan. Strategi nafkah yang diterapkan rumahtangga petani juga berubah seiring dengan kemampuan rumahtangga tersebut memanfaatkan livelihood asset dari Ellis (2000) berupa lima modal sumberdaya dimanfaatkan seefektif mungkin. Strategi nafkah yang diterapkan oleh rumahtangga petani akan menggambarkan kelentingan dari rumahtangga tersebut. Rumahtangga petani dikatakan lenting apabila setiap terjadi bencana pada sumber-sumber nafkah utama tetapi rumahtangga itu tetap bertahan sedangkan rumahtangga petani dikatakan tidak lenting apabila rentan terhadap guncangan krisis yang mengancam sumber nafkah utama mereka.

Berikut ini adalah kerangka pemikiran mengenai hubungan-hubungan antar variabel yang akan menjadi dasar dari penelitian ini:

Keterangan: Mempengaruhi Berhubungan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Variasi Strategi

Nafkah

Komposisi struktur nafkah - Tingkat pendapatan - Tingkat pengeluaran

Tingkat Kelentingan Nafkah Tingkat Pemanfaatan

Livelihood Asset

(26)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang dapat ditarik adalah:

1) Diduga ada pengaruh antara tingkat pendapatan dan tingkat pengeluaran dengan variasi strategi nafkah

2) Diduga ada hubungan antara tingkat kelentingan nafkah dengan variasi strategi rumahtangga petani

3) Diduga ada hubungan antara tingkat pemanfaatan livelihood asset dengan variasi strategi nafkah rumahtangga petani

Definisi Konseptual

1) Krisis ekologi adalah suatu keadaan di mana sistem ekologi mengalami ketidakstabilan kesetimbangan pertukaran energi-materi dan informasi, yang mengakibatkan ketidakseimbangan pada fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme dengan organisme lain dan alam lingkungannya.

2) Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memerhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

3) Rumahtangga petani adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal bersama serta menyatukan pendapatannya yang sumber utamanya berasal dari sektor pertanian.

Definisi Operasional

Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional dan pengukuran peubah dalam perencanaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Tingkat pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diterima oleh responden

dalam periode waktu satu tahun yang telah dikurangi dengan biaya-biaya produksi, baik yang diperoleh dari mata pencaharian utama (pertanian) maupun dari luar mata pencaharian utama (selain pertanian). Penentuan kategori tingkat pendapatan menggunakan sebaran kurva normal, yaitu: a. Pendapatan rendah jika < x - ½ sd

b. Pendapatan sedang jika x – ½ sd < x < x + ½ sd c. Pendapatan tinggi jika > x + ½ sd

2) Livelihood Asset adalah lima modal sumberdaya yang dimanfaatkan dalam penerapan strategi nafkah. Kelima modal tersebut antara lain:

(27)

b. Modal fisik dapat dilihat dari kepemilikan aset produksi, pemilikan rumah dan barang berharga lain, serta transportasi.

c. Modal finansial dapat dilihat dari penggunaan tabungan, investasi, dan modal usaha.

d. Modal sosial dapat dilihat dari jaringan kerja (networking) dengan penyedia pinjaman modal usaha, penyedia input produksi, dan distributor hasil usaha.

e. Modal sumberdaya alam dapat dilihat dari keadaan sumberdaya tanah, kayu-kayuan, air, dan hewan buruan dalam hutan.

3) Tingkat pengeluaran adalah jumlah biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya dalam periode waktu satu tahun baik biaya konsumsi pangan maupun nonpangan. Penentuan kategori tingkat pengeluaran menggunakan sebaran kurva normal, yaitu:

d. Pengeluaran rendah jika < x - ½ sd

e. Pengeluaran sedang jika x – ½ sd < x < x + ½ sd f. Pengeluaran tinggi jika > x + ½ sd

4) Tingkat kelentingan nafkah adalah besar kemampuan individu untuk bertahan dan menstabilkan kondisi rumahtangganya saat terjadi guncangan krisis. Tingkat kelentingan nafkah dianalisis secara deskriptif merujuk pada aspek berikut: (a) Saving capacity; (b) Ketersediaan kesempatan kerja di luar; (c) Kemampuan mengakses kesempatan kerja di luar; (d) Ketersediaan modal sosial; (e) Ketersediaan teknologi pendukung; (f) Kegiatan mengekstraksi sumberdaya; (g) Pengurangan jatah makan.

a. Rumahtangga petani lenting jika mampu bertahan dari ancaman krisis dan memanfaatkan aspek kelentingan yang dimiliki

(28)

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei, yaitu penelitian pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Penelitian explanatory merupakan penelitian dengan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi 2008).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif untuk memperoleh data primer. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan survei yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Effendi 2008). Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap informan yang dipilih melalui metode snowball. Kedua pendekatan tersebut juga dilengkapi dengan penelusuran literatur untuk memperoleh data sekunder.

Lokasi Dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di RW 01, RW 05, RW 07, dan RW 08 Dusun Cihideung, Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive berdasarkan beberapa pertimbangan dan diperoleh berdasarkan data Pemerintah Kecamatan Padaherang.

Pertimbangan pertama, Desa Ciganjeng merupakan wilayah bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai Citanduy yang termasuk dalam zona sungai yang telah diberi “lampu merah” oleh beberapa instansi dengan indikasi sungai yang telah dalam keadaan kritis. Apabila intensitas curah hujan tinggi maka Desa Ciganjeng khususnya empat RW yang menjadi lokasi penelitian terendam banjir baik lahan persawahan maupun yang masuk ke rumah warga. Hal ini terjadi akibat krisis ekologi yang terjadi di bagian hulu dari DAS Citanduy tersebut.

Pertimbangan kedua, data Pemerintahan Desa Ciganjeng Tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 4 241 jiwa penduduk di Desa Ciganjeng, 2 075 jiwa bermatapencaharian di bidang pertanian termasuk di dalamnya adalah buruh tani. Sisanya bermatapencaharian di bidang non pertanian misalnya pedagang, pengrajin, supir hingga buruh bangunan. Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Desa Ciganjeng bermatapencaharian di bidang pertanian yang bergantung pada sumberdaya alam yang ada. Berdasarkan data dan informasi tersebut maka dipilihlah RW 01, RW 05, RW 07, dan RW 08 Desa Ciganjeng sebagai lokasi penelitian dengan permasalahan penelitian mengenai dampak krisis ekologi terhadap strategi nafkah rumahtangga petani di pedesaan.

(29)

Penentuan Responden Dan Informan Penelitian

Unit analisis yang diambil oleh peneliti adalah rumahtangga yang salah satu anggotanya bekerja sebagai petani. Alasan rumahtangga menjadi unit analisis penelitian adalah karena rumahtangga berperan penting dalam pengambilan keputusan dan pengalokasian sumberdaya yang berkaitan dengan penerapan bentuk strategi nafkah yang digunakan. Selanjutnya, informasi dan data penelitian diperoleh melalui responden dan informan. Responden adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai dirinya dan keluarganya, sedangkan informan adalah pihak yang memberikan keterangan dan informasi mengenai situasi-situasi yang terjadi di sekitarnya.

Dalam penelitian ini, responden yang ditentukan adalah kepala rumahtangga atau ibu yang mengurus rumahtangga yang lokasi pemukimannya berada di desa sekitar hutan dan termasuk ke dalam kategori rumahtangga petani. Sebelum pengambilan responden, terlebih dahulu dibuat kerangka sampling (sampling frame) dari seluruh rumahtangga petani di desa. Selanjutnya diambil sampel sebanyak 35 responden dengan teknik pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling) dengan bantuan program aplikasi Microsoft Excel. Teknik ini dipilih karena unit analisis rumahtangga bersifat homogen. Sedangkan untuk memperoleh nama informan-informan, digunakan teknik penarikan sampel bola salju (snowball sampling) yakni mengetahui satu nama informan dan dari informan tersebut kemudian diketahui nama informan-informan yang lain.

Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data dan informasi di lokasi penelitian adalah pendekatan kuantitafif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama (Singarimbun dan Efendi 2008). Selain itu, data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara mendalam, dan observasi langsung. Kuesioner diberikan kepada responden dan peneliti membantu responden dalam pengisian kuesioner tersebut untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pengisian. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan kepada informan yang telah ditentukan oleh peneliti sebelumnya. Observasi langsung dilakukan untuk memperoleh gambaran keadaan desa dan masyarakat secara langsung serta untuk kebutuhan dokumentasi.

(30)

Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh, baik primer maupun sekunder, akan diolah menggunakan Microsoft Excel 2007. Data hasil kuesioner akan dicatat apa adanya dan dilakukan analisis serta interpretasi untuk menarik kesimpulan tentang hasil kuesioner. Data mengenai tingkat pendapatan akan diolah dengan cara pengkategorian (pertanian dan non pertanian) dan dicari rata-rata pendapatannya per tahun. Kemudian setelah itu dibuat kurva sebaran normal untuk melihat tingkatan pendapatan dari masing-masing responden berdasarkan standar deviasinya.

Rendah Menengah Tinggi

x - ½ sd x + ½ sd

Gambar 2 Kurva Sebaran Normal

(31)
(32)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai profil lokasi penelitian yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Sub bab yang pertama membahas mengenai gambaran Desa Ciganjeng. Sub bab kedua membahas tentang kondisi demografi penduduk Desa Ciganjeng.

Gambaran Desa Ciganjeng

Secara administratif, Desa Ciganjeng termasuk dalam wilayah Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang sebelumnya masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Ciamis lalu kemudian terjadi pemekaran wilayah dan menjadi bagian dari Kabupaten Pangandaran beserta sembilan kecamatan lain yang dahulu masuk wilayah Kabupaten Ciamis. Batas wilayah Desa Ciganjeng adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara : Desa Sindangwangi

2. Sebelah barat : Desa Bojong Sari, Desa Tunggilis Kec. Kalipucang 3. Sebelah timur : Desa Sukanagara, Jawa Tengah

4. Sebelah selatan : Desa Tunggilis Kec. Kalipucang

Jarak Desa Ciganjeng ke kantor Kecamatan Padaherang adalah lima km dan dapat ditempuh selama ±15 menit bila menggunakan kendaraan bermotor. Jarak desa ke kantor pemerintahan Kabupaten Pangandaran adalah 96 km dan dapat ditempuh selama ±45 menit bila menggunakan kendaraan bermotor. Luas wilayah Desa Ciganjeng sebesar 749.744 hektar atau 7.50 km2 dan 75 persen dari jumlah tersebut merupakan lahan pertanian yaitu sebesar 418 hektar dan selebihnya digunakan untuk pemukiman dan juga hutan rakyat. Berdasarkan keadaan tersebut maka sebagian besar mata pencaharian utama masyarakatnya adalah petani. Dua pertiga wilayah Desa Ciganjeng merupakan dataran rendah dan sepertiganya adalah bagian pegunungan berbukit dan berlereng. Oleh karena itu, iklim wilayah ini antara 25 derajat hingga 37 derajat celcius walaupun terkadang pada pagi hari bisa mencapai 18 derajat hingga 19 derajat celcius. Dengan iklim seperti itu, tanaman pokok yang ditanam oleh para petani di Desa Ciganjeng adalah padi sawah selebihnya tanaman hortikultur yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari seperti sayur-sayuran serta pohon kelapa yang dimanfaatkan dan kemudian diolah menjadi gula aren.

(33)

Berikut ini Tabel 2 yang menunjukkan penggunaan luas lahan di Desa Ciganjeng.

Tabel 2 Luas lahan menurut penggunaannya di Desa Ciganjeng tahun 2012

No Peruntukan Lahan Luasan (Ha)

1 Sawah 418

2 Pemukiman dan pekarangan 161.229

3 Tegal, kebun, ladang (huma) 64.280

4 Hutan rakyat 90.062

5 Pertokoan dan pasar desa 0.130

6 Kantor dan sekolah 0.640

7 Tempat peribadatan dan keagamaan 0.273

8 Pemakaman 1.915

9 Lapangan 0.450

10 Jalan desa dan infrastruktur 3.110

11 Lainnya 9.970

Sumber: Data Monografi Desa Ciganjeng 2012

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa jumlah luas sawah yang dapat dimanfaatkan dan dimaksimalkan lebih dari setengah luas seluruh desa namun akibat banjir yang melanda setiap tahun, luas sawah tersebut tidak seluruhnya dapat ditanami. Sawah yang biasanya terendam banjir lebih lama adalah yang berada di sisi sungai. Sawah mendapatkan pasokan air dari sistem irigasi yang juga berasal dari sungai salah satunya Sungai Cirapuan. Di sungai Cirapuan juga terdapat kincir air.

Pemukiman warga menyebar di tiga dusun tetapi bentuknya berkumpul beberapa rumah lalu begitu seterusnya. Ada juga pemukiman yang memanjang di belakang tanggul Sungai Cirapuan. Tempat peribadatan menyebar di seluruh desa bahkan setiap RT memiliki musholla sendiri-sendiri. Sekolah yang ada di Desa Ciganjeng hanya Sekolah Dasar sedangkan SMP dan SMA ada di desa lain.

Kondisi Demografi Penduduk dan Mata Pencaharian

(34)

Tabel 3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Desa Ciganjeng tahun 2012

No Kelompok Umur (tahun) Jumlah (jiwa)

1 0 – 4 274

2 5 – 9 338

3 10 – 14 385

4 15 – 19 432

5 20 – 24 380

6 25 – 29 352

7 30 – 34 306

8 35 – 39 339

9 40 – 44 362

10 45 – 49 377

11 50 – 54 323

12 55 – 59 310

13 ≥ 60 722

Total 4 868

Sumber: Data Monografi Desa Ciganjeng 2012

Jumlah penduduk usia produktif (usia kerja) yaitu antara 10 tahun sampai 64 tahun di Desa Ciganjeng lebih banyak dibandingkan dengan jumlah usia nonproduktifnya. Sebagaimana umumnya, tidak semua penduduk yang termasuk dalam usia kerja tergolong dalam angkatan kerja yang aktif secara ekonomi dengan berbagai alasan. Salah satunya alasannya adalah usia 10 tahun sampai usia 18 tahun masih termasuk dalam usia sekolah yang menjadi tanggungan orangtua.

Dengan kondisi wilayah desa yang dua pertiganya merupakan dataran rendah dan luas lahan pertanian yang meliputi 75 persen dari total luas wilayah, sebagian besar mata pencaharian utama penduduk adalah petani terutama petani padi sawah. Sebesar 76 persen penduduk bermata pencaharian sebagai petani, 13 persen sebagai buruh tani, 9 persen berusaha di bidang non pertanian seperti pedagang, pengrajin, dan lain-lain serta 2 persen lainnya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, TNI, POLRI, dan pensiunan. Macam pekerjaan yang muncul ini bergantung pada kemampuan setiap individu namun juga fasilitas yang ada di desa. Tidak ada industri besar di Desa Ciganjeng namun yang ada hanya industri kecil yang memproduksi produk olahan makanan hingga usaha konveksi jahit.

(35)

Sumber: Data Monografi Desa Ciganjeng 2012

Gambar 3 Persentase penduduk Desa Ciganjeng berdasarkan jenis mata pencaharian tahun 2012

Banjir yang setiap tahun menggenangi Desa Ciganjeng mengancam penduduk yang bermata pencaharian utama di bidang pertanian yang bergantung pada kondisi alam. Meskipun begitu, banjir tidak membuat para petani berhenti menjadi petani dan justru mereka tetap menanami kembali sawahnya apabila banjir telah surut.

Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk di suatu desa dapat menggambarkan tingkat kemajuan pembangunannya karena terkait dengan kualitas sumberdaya manusianya. Semakin baik kualitas sumberdaya manusia maka akan berakibat tingginya kemajuan pembangunan suatu wilayah karena potensi yang ada dapat dimaksimalkan dengan baik. Berdasarkan data monografi desa, dari total jumlah penduduk Desa Ciganjeng, sebanyak 12 persen penduduk tidak tamat SD, 61 persen penduduk tamat SD, 15 persen penduduk tamat SMP dan sederajat, 10 persen penduduk tamat SMA dan sederajat, serta 2 persen penduduk lainnya tamat Perguruan Tinggi mulai dari tingkat diploma satu hingga strata tiga. Berikut ini grafik yang menunjukkan persentase penduduk Desa Ciganjeng berdasarkan tingkat pendidikannya.

76% 13%

9% 2%

Persentase Jenis Mata Pencaharian

Penduduk di Desa Ciganjeng

Petani

Buruh tani

Usaha non pertanian

(36)

Sumber: Data Monografi Desa Ciganjeng 2012

Gambar 4 Persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Ciganjeng tahun 2012

Penduduk Desa Ciganjeng yang tidak tamat SD sebagian besar adalah penduduk berusia lanjut yang dahulu belum mengutamakan pendidikan. Berbeda dengan sekarang, orangtua mulai mendorong anak-anak mereka untuk memiliki pendidikan yang lebih baik walaupun harus mengirimkan mereka ke luar desa. Tingkat pendidikan yang masih rendah ini membuat penduduk bertahan memilih mata pencaharian utama sebagai petani yang sudah dilakukan turun temurun.

Kondisi Sosial

Penduduk Desa Ciganjeng merupakan penduduk dataran rendah yang mayoritas bekerja di sektor pertanian terutama padi sawah. Mereka tinggal dalam rumah-rumah yang berdekatan sehingga intensitas interaksi antar tetangga tinggi. Intensitas interaksi yang tinggi semakin memperkuat ikatan-ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang ada. Ikatan-ikatan ini membentuk suatu modal sosial yang pada akhirnya menjadi salah satu strategi masyarakat untuk bertahan hidup.

Petani adalah mata pencaharian utama penduduk Desa Ciganjeng karena luas lahan pertanian yang tersedia pun cukup luas. Selain itu, tingkat pendidikan yang masih rendah juga menyebabkan penduduk tidak memiliki banyak alternatif pilihan kegiatan nafkah yang lain. Penduduk golongan tua rata-rata tidak bersekolah atau tidak tamat Sekolah Dasar tetapi seiring berjalannya waktu mereka mendorong anak-anaknya untuk menyelesaikan pendidikan setinggi mungkin paling tidak sampai SMP. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan sudah muncul walaupun pada kenyataannya masih sedikit yang tamat Perguruan Tinggi dengan berbagai faktor lain.

Mayoritas penduduk Desa Ciganjeng adalah beragama Islam. Masing-masing RW juga memiliki musholla dan masjid Masing-masing-Masing-masing yang cukup baik. Setiap waktu sholat, masyarakat menyempatkan untuk sholat berjamaah. Hal ini

12%

61% 15%

10% 2%

Persentase Tingkat Pendidikan Penduduk

di Desa Ciganjeng

Tidak tamat SD

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SMA

(37)

juga sebagai salah satu bentuk penguatan ikatan kekerabatan dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, hubungan interaksi antar tetangga terjalin baik. Hal ini dibuktikan dengan tradisi saling membantu apabila tetangga sedang mengadakan hajatan atau ada yang tertimpa musibah. Tanpa diminta pun semua tetangga akan membantu untuk meringankan beban tetangganya yang lain. Gotong royong pun menjadi norma yang dianut dalam masyarakat.

Krisis Ekologi

Krisis ekologi yang terjadi di Desa Ciganjeng berupa banjir dan kekeringan. Keduanya terjadi secara bergantian sepanjang tahun dengan intensitas yang berbeda. Banjir terjadi pada awal dan akhir tahun sedangkan kekeringan terjadi pada pertengahan tahun. Krisis ini telah terjadi sejak puluhan tahun silam karena togografi wilayah desa sendiri dilalui oleh beberapa aliran sungai yang ketika hujan datang dan tidak mampu menahan debit air maka air tersebut meluap dan membanjiri lahan sawah yang ada di Desa Ciganjeng bahkan hingga masuk ke rumah-rumah warga terutama yang ada di pinggiran tanggul sungai. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banjir terjadi mulai musim hujan datang yaitu pada bulan Oktober hingga April. Banjir terjadi pasang surut sehingga petani harus menanam berkali-kali sawahnya dan akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk modal produksi lebih tinggi.

Banjir terjadi akibat luapan sungai Citanduy yang juga sudah masuk ke dalam sungai dengan zona merah. Zona merah berarti sungai yang sudah dalam kondisi tidak baik. Luapan sungai Citanduy tersebut kemudian masuk ke anak-anak sungai seperti sungai Kedungpalungpung, sungai Cirapuan, dan sungai Ciseel lalu bila tidak mampu tertahan oleh tanggul-tanggul yang telah dibangun, air sungai tersebut meluap hingga merendam puluhan sampai ratusan hektar lawan sawah dan bahkan jika debit luapan air terlalu besar dapat masuk ke rumah-rumah warga. Banjir yang merendam areal persawahan di Ciganjeng terjadi pasang surut. Lama terjadinya banjir bisa mencapai 2-3 minggu kemudian surut selama beberapa hari kemudian datang lagi. Areal persawahan Desa Ciganjeng menjadi langganan banjir juga disebabkan oleh letaknya yang lebih rendah dibandingkan permukaan air sungai Citanduy. Pengupayaan pencegahan banjir yang telah dilakukan adalah membangun tanggul di sekitar sungai-sungai yang berbatasan langsung dengan sawah masyarakat namun hal itu belum mampu menghambat banjir melainkan menyebabkan banjir yang lebih parah.

Berdasarkan catatan Kompas edisi Rabu, 28 September 1986, banjir di Desa Ciganjeng ini pertama kali diberitakan di media cetak3. Sebanyak 39 rumah penduduk dan 190 hektar padi yang telah menguning terendam banjir saat itu. Hingga saat ini banjir terjadi setiap tahun dengan luas wilayah sawah yang terendam makin luas. Berdasarkan catatan Pikiran Rakyat online edisi Minggu, 22 Desember 2013, banjir menggenangi areal persawahan di Desa Ciganjeng dan Tunggilis seluas 500 hektar dengan kerugian ditaksir lebih dari Rp400 juta4.

3

Adaptasi bencana: padi apung untuk siasati banjir. April 2013. Dapat diakses pada http://omahkendeng.org/2013-04/1518/padi-apung-untuk-siasati-banjir/

4

(38)

Frekuensi banjir di Desa Ciganjeng setiap tahunnya tidak dapat diprediksi lagi karena musim pun semakin hari semakin bergeser. Sepuluh tahun yang lalu, masyarakat masih bisa memprediksi bulan-bulan apa saja kemungkinan terjadinya banjir namun sekarang masyarakat sudah sulit memprediksinya.

(39)
(40)

KARATERISTIK PETANI DI DESA CIGANJENG

Bab ini menguraikan mengenai karateristik responden yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Sub bab yang pertama membahas mengenai umur dan tingkat pendidikan responden. Sub bab kedua membahas tentang jenis mata pencaharian responden. Sub bab ketiga membahas tentang tingkat penguasaan lahan yang dimiliki responden. Akhir bab ini juga diberikan ikhtisar singkat yang menggambarkan keseluruhan isi bab ini.

Usia dan Tingkat Pendidikan Responden

Data primer yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden di Desa Ciganjeng, rata-rata usia responden yang terlibat dalam usaha pertanian adalah 52 tahun dengan kisaran usia antara 28 sampai 75 tahun. Semua yang terlibat dalam usaha pertanian adalah kepala rumahtangga masing-masing responden. Dalam penelitian ini, tingkat responden dapat dikategorikan menjadi lima, yaitu kategori sangat rendah (tidak sekolah), rendah (SD/sederajat), sedang (SMP/sederajat), tinggi (SMA/sederajat), dan sangat tinggi (tamat Perguruan Tinggi). Data primer primer di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden, rata-rata pendidikan hanya sampai SD/sederajat dan itu pun tidak semua yang berhasil menamatkannya hingga mendapatkan ijazah.

Sumber: data primer

Gambar 5 Persentase tingkat pendidikan responden rumahtangga petani di Desa Ciganjeng tahun 2013

5,71

85,71

5,71

0,00 2,86

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan

Tinggi

P

er

sent

a

se

(%)

Tingkat pendidikan

(41)

Gambar 5 menunjukkan bahwa 85.71 persen responden hanya sampai pada tingkat pendidikan SD/sederajat. Hal ini semakin terlihat miris karena tidak 100 persen dari 85.71 persen ini mampu menamatkan pendidikan dasarnya dan putus sekolah di kelas 3-4. Selain itu, hanya 5.71 persen dari 35 responden yang mampu mencapai tingkat pendidikan SMP/sederajat. Sebanyak 5.71 persen responden bahkan tidak sekolah dan tidak bisa menulis. Hanya 2.86 persen lain yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan akhir petani tergolong dalam tingkat pendidikan rendah. Rendahnya tingkat pendidikan akhir yang dapat ditempuh petani ini salah satunya disebabkan dari keadaan ekonomi rumahtangga yang rendah pula. Keadaan ekonomi rumahtangga yang rendah menyebabkan ketidakmampuan petani untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan akhirnya terlibat untuk mencari nafkah bagi rumahtangga masing-masing. Bapak AWD (75 tahun) adalah salah satu responden yang tidak sekolah.

“Dulu kan adanya Sekolah Rakyat Neng, cuma yang punya uang saja yang bisa sekolah. Daripada uangnya untuk sekolah lebih baik untuk makan sehari-hari lagipula jaman itu tidak penting sekolah yang penting bisa nyangkul, nanem, dan kerja apa aja juga ngga butuh ijazah.”

Pada zaman dahulu, pekerjaan dapat diperoleh tanpa persyaratan pendidikan yang terlalu tinggi karena jenis pekerjaannya pun lebih banyak menggunakan tenaga. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya pendidikan masih belum tinggi. Contoh responden lain yang dapat menempuh pendidikan hingga tingkat SD adalah Bapak AWG (65 tahun).

“Saya mah SD juga ngga tamat Neng Cuma sampai kelas 5 aja. Istri juga sama cuma sampe 5 lah jaman dulu mah yang penting bisa nyambel, bisa masak udah aja. Dulu mah panen juga ngga punya buat bayar sekolahnya.”

Pendidikan yang rendah membatasi ruang lingkup pekerjaan yang dapat dilakukan oleh rumahtangga petani. Hal ini semakin diperburuk dengan terbatasnya kemampuan individu yang dimiliki oleh rumahtangga petani. Pendidikan yang rendah hanya mampu mendorong anggota rumahtangga bekerja di bidang-bidang yang tidak mensyaratkan pendidikan dan intelektualitas melainkan lebih mengutamakan kemampuan tenaga seperti buruh tani, buruh bangunan, pembantu rumahtangga, dan lain-lain.

Jenis Kelamin Responden

(42)

Tabel 4 Frekuensi dan persentase jenis kelamin responden rumahtangga petani di Desa Ciganjeng tahun 2013

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 30 85.70

Perempuan 5 14.30

Total 35 100.00

Sumber: data primer

Tabel 4 menunjukkan bahwa 85.7 persen dari 35 responden petani berjenis kelamin laki-laki dan hanya 14.3 persen saja yang berjenis kelamin perempuan. Dalam masing-masing rumahtangga responden, usaha di sektor pertanian dominan dilakukan laki-laki walaupun begitu perempuan ikut terlibat dalam proses usahanya bahkan ada yang menjadi buruh tani untuk menambah pendapatan rumahtangga. Salah satu responden laki-laki yang menjadi pencari nafkah utama di sektor pertanian adalah Bapak AWG (65 tahun).

“Saya yang ke sawah kok Neng tapi Ibu juga bantu-bantu misalnya nandur sama ibu-ibu yang lain. Tapi biasanya saya mengerjakan pekerjaan yang berat kalau Ibu mana bisa. Biar aja Ibu di rumah jagain anak waktu dulu masih pada kecil-kecil tapi pas udah pada besar Ibu ikut bantu. Lumayan ngurangin biaya ngeburuhin orang”

Perempuan juga ikut terlibat dalam proses usaha tani namun perannya tidak lebih besar dibandingkan laki-laki. Di Desa Ciganjeng, setelah sawah selesai ditanami maka setiap harinya laki-laki tetap pergi ke sawah atau mencari rumput untuk pakan ternak sedangkan perempuan mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Ada juga laki-laki yang bekerja menjadi buruh tani di desa lain setelah sawahnya selesai ditanami.

Status Perkawinan Responden

Status perkawinan menunjukkan banyaknya tanggungan dalam suatu rumahtangga. Jika berstatus sudah kawin maka jumlah yang ditanggung untuk dinafkahi lebih banyak dibandingkan yang berstatus janda/duda yang ditinggal mati. Data lebih lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5 Frekuensi dan persentase status perkawinan responden rumahtangga petani di Desa Ciganjeng tahun 2013

Status Perkawinan Frekuensi Persentase

Kawin 32 91.4

Janda/Duda 3 8.6

Total 35 100.00

Sumber: data primer

(43)

ditinggal meninggal. Hal ini pun ikut mempengaruhi jumlah pencari nafkah dalam rumahtangga yang menjadi berkurang terlebih lagi apabila yang meninggal adalah pencari nafkah utama dalam rumahtangga masing-masing. Contoh kasus responden yang berstatus janda adalah Ibu DMH (40 tahun).

“Bapak sudah ngga ada Neng sejak lama padahal biasanya yang ke sawah ya Bapak. Saya sekarang cuma ngebuburuh aja bisanya itupun kalau ada yang minta kalau ngga ya di rumah aja.”

Ibu DMH berjuang setiap hari untuk mencari uang demi menghidupi kebutuhannya sendiri karena sudah tidak ada lagi yang menanggung hidupnya sepeninggal suaminya. Berbeda dengan rumahtangga lain yang memiliki banyak anak bahkan hingga cucu pun tinggal bersama dalam satu rumahtangga. Semakin banyak anggota rumahtangga yang ditanggung maka semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi sedangkan hanya beberapa anggota rumahtangga yang dapat mencari nafkah dan menghasilkan pendapatan.

Ikhtisar

Rumahtangga petani yang menjadi responden dalam penelitian ini sebanyak 35 rumahtangga. Rata-rata usia responden yang terlibat dalam usaha pertanian adalah 52 tahun dengan kisaran usia antara 28 sampai 75 tahun. Sebesar 85.71 persen responden hanya sampai pada tingkat pendidikan SD/sederajat. Hal ini terjadi karena pada zaman dahulu orangtua tidak terlalu mementingkan pendidikan anak-anak mereka namun sekarang hal itu sudah berubah. Pendidikan bagi anak mulai menjadi prioritas bagi orangtua dengan harapan akan mampu mengubah nasib keluarga mereka nantinya. Keterbatasan ekonomi juga membuat orangtua tidak mampu membiayai anak mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Data primer di lapangan juga menunjukkan bahwa lebih banyak laki-laki yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan dengan perempuan. Perempuan hanya membantu laki-laki yang dalam hal ini adalah kepala rumahtangga itu sendiri. Perempuan ikut terlibat dalam proses usaha tani namun perannya tidak lebih besar dibandingkan laki-laki. Di Desa Ciganjeng, setelah sawah selesai ditanami maka setiap harinya laki-laki tetap pergi ke sawah atau mencari rumput untuk pakan ternak sedangkan perempuan mengerjakan pekerjaan rumahtangga.

Gambar

Tabel 1 Matriks perbandingan strategi nafkah rumahtangga berdasarkan subyek
Gambar 2 Kurva Sebaran Normal
Tabel 2 Luas lahan menurut penggunaannya di Desa Ciganjeng tahun 2012
Tabel 3  Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Desa Ciganjeng tahun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada turbidimetri, detektor diletakkan segaris dengan sumber sinar (sudut 0 o ), sedangkan untuk nefelometri 90 o .Dapat pula digunakan alat yang lebih canggih, dengan detektor

Kumpulan BP tidak akan bertanggungjawab untuk sebarang kerosakan atau kecederaan akibat daripada penggunaan, selain daripada kegunaan produk bahan yang dinyatakan, kegagalan

Kemampuan Pemecahan Masalah Pada Materi Program Linear Kelas XI MAS Al-Washliyah 22 Tembung Tahun Ajaran 2019/2020. Kata-Kata Kunci: PBI, TGT, kemampuan

pada diri orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (bekerja sama) dengan orang lain. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak

&#34;len dengan usia perkembangan psikosoial dewasa. &#34;lien bahagia dengan hidup yang di#alani sekarang$ meskipun terkadang mendapati masalah$ klien dapat mengatasinya dengan

Dengan adaptasi bahan bakar perkembangan bentuk terjadi, material lantai sudah terbuat dari keramik dan plester aci, dimensi ruang menjadi lebih kompak karena tidak ada lagi

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang mengambil judul “Tanggung

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan program SPSS versi 23 pada tabel 7 dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 99,5% yang berarti bahwa