• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Serangan Patogen Pada Tanaman Kubis-Kubisan Terhadap Kesejahteraan Petani: Studi Kasus Di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Serangan Patogen Pada Tanaman Kubis-Kubisan Terhadap Kesejahteraan Petani: Studi Kasus Di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK SERANGAN PATOGEN PADA TANAMAN

KUBIS-KUBISAN TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI: STUDI

KASUS DI DAERAH AGROPOLITAN KABUPATEN

CIANJUR, JAWA BARAT

TEGUH PRATAMA PUJI PAMUNGKAS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Dampak Serangan Patogen pada Tanaman Kubis-kubisan terhadap Kesejahteraan Petani: Studi Kasus di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

(4)

RINGKASAN

TEGUH PRATAMA PUJI PAMUNGKAS. Dampak Serangan Patogen pada Tanaman Kubis-kubisan terhadap Kesejahteraan Petani: Studi Kasus di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA dan ALI NURMANSYAH.

Sayuran kubis-kubisan (Brassicaceae) merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Namun demikian, pembudidayaan sayuran ini tidak terlepas dari infestasi organisme pengganggu tanaman (OPT) terutama infestasi patogen yang dapat menyebabkan penurunan produksi tanaman. Hal ini juga berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat khususnya penurunan pendapatan dan kesejahteraan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis patogen utama dan intensitas penyakit pada sayuran kubis-kubisan dan dampaknya terhadap kesejahteraan petani di daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur.

Penelitian ini dilakukan melalui 2 kegiatan, yaitu (1) penelitian lapangan yang terdiri atas survei petani dan pengukuran intensitas infeksi patogen di Desa Sukatani (Kecamatan Pacet) dan Desa Sindangjaya (Kecamatan Cipanas), kawasan Agropolitan, Kabupaten Cianjur, dan (2) penelitian laboratorium yang berupa identifikasi patogen di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Survei petani melibatkan 100 petani kubis-kubisan sebagai responden yang dipilih secara acak sistematis. Analisis terhadap data karakteristik petani dan jenis-jenis penyakit utama dilakukan secara deskriptif, sedangkan data hubungan antara intensitas penyakit dengan produksi tanaman dan tingkat kesejahteraan petani dilakukan dengan pendekatan regresi linier berganda. Selain itu, analisis data ekonomi dilakukan menggunakan analisis rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) dan keuntungan terhadap biaya (B/C).

Di daerah Agropolitan, Cianjur, patogen utama yang sering menginfestasi tanaman kubis-kubisan (kubis, brokoli, pakcoy, sawi, kembang kol, dan caisin) adalah Plasmodiophora brassicae (penyakit akar gada), Alternaria brassiccicola (penyakit bercak daun), dan Xanthomonas campestris (penyakit busuk hitam). Tingkat keparahan penyakit yang disebabkan oleh tiga patogen tersebut masih tergolong rendah (< 20 %), yaitu berturut-turut sebesar 16.67 % (akar gada), 18.7 % (bercak daun Alternaria), dan 15.11 % (busuk hitam). Hasil analisis regresi linear menunjukkan bahwa penyakit akar gada merupakan penyakit yang paling berpengaruh terhadap penurunan produksi tanaman dan pendapatan petani. Infeksi penyakit akar gada dengan rata-rata intensitas serangan sebesar 16.7 % dapat menyebabkan penurunan pendapatan petani sebesar 24 % - 28 % pada tingkat kepercayaan 95 %. Tingkat infestasi akar gada di bawah 40 % tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani. Akan tetapi, ketika intensitas penyakit tersebut paling sedikit sebesar 40 %, maka infestasi penyakit akar gada, baik dengan maupun tanpa ada infestasi 2 penyakit utama lainnya, akan berpengaruh terhadap kesejahteraan petani.

(5)

ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi pihak-pihak terkait dalam mencari solusi terbaik untuk menurunkan kerugian petani akibat infestasi penyakit akar gada pada pertanamannya.

(6)

SUMMARY

TEGUH PRATAMA PUJI PAMUNGKAS. The Impact of Plant Pathogen Infestation on Cruciferous Crops against Farmer Welfare: a Case Study of Agropolitan Region in Cianjur Regency, West Java. Guided by GEDE SUASTIKA and ALI NURMANSYAH.

Cruciferous vegetables are agricultural commodities that have high economic value and play an important role in improving the welfare of farmers. However, cultivation of the vegetables is not independent of the infestation of plant pests, especially the infestation of pathogens that can cause a decrease in crop production. It also affects the social and economic conditions of society, especially the reduction in income and welfare of farmers. This study was aimed to determine the type of primary pathogens and disease intensities on cruciferous vegetables and their impact on the welfare of farmers in Agropolitan area of Cianjur Regency.

This research was conducted through two activities: (1) field research consisted of farmer survey and measurement of disease intensity in Sukatani Village (District of Pacet) and Sindangjaya Village (District of Cipanas), Agropolitan Area, Cianjur Regency, and (2) laboratory research in the form of pathogens identification in the Laboratories of Plant Bacteria and Plant Mycology, Department of Plant Protection, Bogor Agricultural University. The farmer survey involves 100 cruciferous vegetable farmers as respondents which systematically randomly selected. Data on farmer characteristic and major disease types were analyzed descriptively, while data on the relationship between disease intensity with crop production and the welfare of farmers were analyzed by multiple linear regression approach. The analysis of economic data was performed using revenue and cost ratio (R/C) and benefit and cost ratio (B/C).

In Agropolitan area of Cianjur, primary pathogens that often infested the cruciferous crops (cabbage, broccoli, bok choy, cauliflower, etc.) were Plasmodiophora brassicae (club root disease), Alternaria brassiccicola (leaf spot disease), and Xanthomonas campestris (black rot disease). The disease severity caused by the three pathogens were relatively low (< 20 %), namely as much as 16.67 % (club root), 18.7 % (leaf spot Alternaria), and 15.1 % (black rot), respectively. Results of regression analysis showed that the club root disease was a disease that most affect the decline in crop production and farmer income. Infection of club root disease with an average disease intensity of 16.7 % can lead to a decrease in farmer income by 24% - 28%. The level of infestation of club root disease below 40% did not affect the level of farmer welfare. However, when the intensity of the disease at least by 40%, the infestation of the club root disease, either with or without infestation of two other major diseases, will affect the welfare farmer.

(7)

crops. This information is expected to provide a valuable contribution to the parties involved in finding the best solution to reduce farmers’ loss due to the infestation of club root disease in their crops.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Fitopatologi

DAMPAK SERANGAN PATOGEN PADA TANAMAN

KUBIS-KUBISAN TERHADAPA KESEJAHTERAAN PETANI: STUDI

KASUS DI DAERAH AGROPOLITAN KABUPATEN

CIANJUR, JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini dengan judul “Dampak serangan patogen pada tanaman kubis-kubisan terhadap kesejahteraan petani: studi kasus di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat”.

Ucapkan terimakasih penulis kepada Dr Ir Gede Suastika MSc dan Dr Ir Ali Nurmansyah, MSi selaku pembimbing yang telah memberi saran, petunjuk, koreksi, dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc sebagai Ketua Program Studi Fitopatologi atas petunjuk dan saran kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan. Ungkapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada kelompok tani di daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur, yang telah membantu selama proses pengambilan data di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua dan seluruh keluarga atas segala perhatian, doa, motivasi, dan kasih sayangnya kepada penulis selama menempuh pendidikan. Tak lupa penulis juga ucapkan terimakasih kepada temen-temen yang telah membantu saya dalam pengambilan data di daerah Agropolitan dan pengolahan data, serta seluruh teman-teman di Prodi Fitopatologi atas dukungan dan kerjasamanya.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan bermanfaat.

Bogor, September 2016

(13)

DAFTAR ISI

Analisis Hubungan antara Intensitas Serangan Patogen dan Pendapatan

Petani 12

Deskripsi Daerah Penelitian dan Karakteristik Petani Responden 15

Penyakit Utama dan Intensitas Serangan 18

Nilai Ekonomi Usahatani Kubis-kubisan 23 Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Produksi Kubis-kubisan 24 Dampak Serangan Patogen terhadap Pendapatan Petani 29 Dampak Serangan Patogen terhadap Kesejahteraan Petani 29

5 PEMBAHASAN UMUM 31

6 SIMPULAN DAN SARAN 34

Simpulan 34

(14)

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 41

(15)

DAFTAR TABEL

1 Analisis usahatani sayuran kubis-kubisan dalam satu musim tanam di

daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur 23

2 Hubungan faktor produksi dan intensitas serangan patogen dengan

produski kubis-kubisan 24

3 Pengaruh serangan penyakit terhadap pendapatan 28 4 Estimasi pendapatan petani menurut intensitas serangan penyakit 29

DAFTAR GAMBAR

1 Distribusi luas lahan petani responden 16

2 Distribusi tingkat umur petani responden 16

3 Distribusi tingkat pendidikan petani responden 17

4 Distribusi pengalaman petani responden 17

5 Distribusi status kepemilikan lahan responden 18

6 Gejala akar gada pada 4 jenis kubis-kubisan 19

7 Spora P. brassicae yang diisolasi dari beberapa inang 19 8 Gejala bercak daun Alternaria pada 4 jenis kubis-kubisan 20

9 Hifa dan konidia bercak daun Alternaria 21

10Gejala Xanthomonas campestris pada 4 jenis kubis-kubisan 22

11Mikroskopik X. campestris 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Skoring keparahan penyakit kubis-kubisan 41

2 Asumsi klasik regresi linear berganda 42

3 Data regresi 44

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sayuran kubis-kubisan kelompok Crucifera, seperti kubis (kol), brokoli, kembang kol, pakcoy, caisim, dan sawi adalah jenis sayuran yang memiliki arti ekonomi penting sebagai sumber gizi (vitamin A dan C), mengandung senyawa anti kanker (Anwar dan Khomsan 2009), dan sebagai sumber pendapatan petani (Marsudi 2014; Wijaya et al. 2012). Dengan asumsi produktivitas sebesar 21 ton/ha (DITJENHOR 2015), setiap petani yang umumnya memiliki luas lahan 0.4 ha mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp 12 600 000 per musim dari hasil panen sayuran kubis-kubisan. Dengan demikian, bila dalam 1 tahun petani mampu menanam sebanyak 2 kali, maka usahatani sayuran kubis-kubisan ini dapat menghasilkan keuntungan kepada setiap petani sebesar Rp 25 200 000 per tahun. Dengan besarnya potensi yang dimiliki, budidaya sayuran kubis-kubisan perlu terus dikembangkan.

Salah satu daerah sentra produksi kubis-kubisan terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat yang memberikan kontribusi sebesar 20.7% dari produksi nasional (KEMENTAN 2014). Tingkat produksi ini menempatkan Provinsi Jawa Barat sebagai daerah dengan produksi tertinggi kedua setelah Jawa Tengah. Walaupun memberi kontribusi , produksi kubis-kubisan ini mengalami penurunan. Menurut Kementan (2014) dari tahun 2013 - 2014 terjadi penurunan produksi kubis-kubisan yaitu sebesar 191.815 ton menjadi 177.907 ton atau terjadi penurunan sebesar 7.2%.

Penurunan kubis-kubisan tersebut menghadapi banyak kendala yaitu salah satunya adanya infeksi patogen yang dapat menggagalkan panen sehingga akan berpengaruh terhadap penerimaan petani (Sastrosiswojo et al. 2005; Srivastava et al. 2011). Di Indonesia, beberapa patogen yang banyak menyerang tanaman kubis-kubisan adalah Plasmodiophora brassicae, Peronospora parasitica, Alternaria brassicae, A. brassicicola, Phoma lingam, Xanthomonas campestris, dan Erwinia carotovora (Sastrosiswojo et al. 2005).

Penyakit akar gada yang disebabkan oleh P. brassicae merupakan penyakit utama dengan tingkat infeksi mencapai 46%-89% di beberapa tempat seperti Cianjur, Jawa Barat, dan Tomohon, Manado (Towaki 2014; Widodo dan Suheri 1995). Hadiwiyono et al. (2011) melaporkan bahwa lahan yang terkontaminasi berat akar gada pada tanaman caisim di daerah Ngargoyoso Karanganyar, Jawa Tengah mencapai 90%. Nugroho (2012) melaporkan bahwa persentase insidensi penyakit busuk hitam yang disebabkan oleh Xanthomnas campestris di Desa Kopeng, Kabupaten Semarang mencapai 61%. Kerugian akibat infeksi patogen tersebut dapat menyebabkan penurunan produksi dan kualitas kubis-kubisan sehingga harga menjadi turun. Kondisi ini akan berdampak pada rendahnya pendapatan yang diterima oleh petani.

(18)

Marsudi (2014) melaporkan bahwa usahatani sayuran sawi merupakan jenis usahatani yang memiliki pendapatan yang paling besar dibandingkan dengan sayuran kangkung, bayam, dan daun selada.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa keberadaan patogen-patogen yang menginfeksi pertanaman kubisan dapat menurunkan produksi kubis-kubisan. Kondisi seperti ini tentu akan berrpengaruh terhadap tingkat pendapatan petani yang secara tidak langsung akan berdampak terhadap kesejahteraan petani. Sementara itu, kajian mengenai pengaruh infeksi patogen terhadap kesejahteraan petani belum banyak dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui jenis patogen utama serta intensitas penyakit, dan mengukur dampak serangan patogen tersebut terhadap kesejahteraan petani kubis-kubisan di daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Perumusan Masalah

Daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra penghasil kubis-kubisan. Usahatani kubis-kubisan di daerah tersebut merupakan salah satu sumber mata pencaharian keluarga petani. Oleh karena itu, kubis-kubisan menjadi salah satu komoditas andalan dalam peningkatan pendapatan dalam mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga petani di daerah tersebut.

Pengembangan usahatani kubis-kubisan tak lepas dari kendala-kendala dalam budidaya yang dapat menurunkan produksi. Kendala tersebut diantaranya adalah penggunaaan bibit yang kurang bermutu, pemupukan yang berlebih, penggunaan pestisida yang belum maksimal, kurangnya keterampilan tenaga kerja, dan peningkatan intensitas penyakit. Salah satu faktor penghambat utama yang dapat mempengaruhi penurunan produksi disebabkan oleh peningkatan infeksi patogen. Beberapa patogen yang banyak menginfeksi kubis-kubisan adalah dari kelompok cendawan yaitu Plasmodiophora brassicae, Peronospora parasitica, Alternaria brassicae, A. brassicicola, Phoma lingam, dan dari kelompok bakteri yaitu Xanthomonas campestris, Erwinia carotovora (Sastrosiswojo et al. 2005).

Kerugian akibat infeksi patogen diantaranya dapat meningkatnya biaya produksi untuk pengendalian, menurunnya kualitas dan kuantitas produksi berdampak pada harga jual, dan menurunnya pendapatan petani. Hal ini mengakibatkan perolehan keuntungan yang didapatkan petani sedikit atau bahkan mengalami kerugian.

Usahatani kubis-kubisan yang baik dapat dilihat dari adanya peningkatan produksi. Peningkatan produksi akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Semakin besar keuntungan yang diperoleh petani maka semakin besar peluang untuk dapat menigkatkan kesejahteraan petani melalui usahatani kubis-kubisan. Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat hubungan antara infeksi patogen dan produksi yang berdampak pada pendapatan petani dan kesejahteraan petani. Oleh karena itu dapat dirumuskan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini: 1. Apa jenis patogen utama yang menginfeksi pertanaman kubis-kubisan dan

seberapa besar intensitas penyakit yang ditimbulkan?

(19)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jenis patogen utama serta menghitung intensitas serangannya pada pertanaman kubis-kubisan dan mengukur dampak serangan patogen tersebut terhadap kesejahteraan petani di daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur.

Manfaat Penelitian

(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sayuran Kubis-kubisan

Kubis-kubisan (Brassicaceae) termasuk dalam famili Cruciferae merupakan sayuran daun dan tanaman berbunga. Sayuran ini memiliki karakteristik dengan daun tebal, daun rata, sistem perakaran yang dangkal berakar serabut, tanaman semusim atau berumur pendek, dan perbanyakan dapat dilakukan dengan biji (Vincent dan Yamaguchi 1998). Kubis-kubisan ini memiliki jenis yang cukup banyak, tetapi yang sering ditanam di Indonesia antara lain kubis, kubis ungu, kembang kol, pakcoy, kailan, caisin, sawi putih, serta brokoli.

Kubis-kubisan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena hampir semua bagiannya (bunga, krop, dan daun) dapat diolah menjadi sumber makanan bagi manusia. Sayuran ini juga mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, karena sayuran sangat bermanfaat bagi pemenuhan gizi manusia. Kandungan yang terdapat dalam kubis-kubisan antara lain karbohidrat, vitamin, mineral, protein, dan memiliki antioksidan yang bermanfaat dalam mengurangi resiko penyakit kanker (Draghici et al. 2013; Jeffery et al. 2009). Penelitian Rokayya et al. (2013) mengemukakan bahwa sayuran kubis-kubisan sebagai sumber antioksidan yang tinggi untuk pencegahan penyakit kronis, seperti penyakit kanker.

Kubis-kubisan merupakan jenis sayuran yang berasal dari daerah subtropis dan dapat berkembang pada berbagai jenis tanah. Namun demikian, sayuran ini akan tumbuh dengan optimal ketika ditanam pada tanah yang kaya akan bahan organik. Secara umum kubis-kubisan ini dapat tumbuh di daerah beriklim sedang dan beberapa diantaranya tumbuh di iklim subratik (Vincent 1998).

Penyakit Tanaman Kubis-kubisan

Salah satu permasalahan yang terjadi pada budidaya kubis-kubisan adalah adanya serangan penyakit tanaman. Menurut Sastrosiswojo (2005), beberapa penyakit yang sering menyerang pertanaman kubis-kubisan antara lain :

Penyakit akar gada

Penyakit akar gada disebabkan oleh cendawan P. brassicae merupakan penyakit utama yang menyerang pertanaman kubis-kubisan. Di Negara-negara, seperti Australia, Eropa, Jepan, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan kerusakan akibat penyakit ini berkisar antara 15%-55% (Dixon 2009). Di Indonesia, penyakit ini dapat menyebabkan kerugian yang signifikan terhadap hasil panen kubis-kubisan (Widodo & Suheri 1995). Cicu (2006) menyatakan bahwa kerugian yang disebabkan oleh penyakit ini sekitar 88.60%.

(21)

khas dari penyakit akar gada. Semakin banyak spora yang ada di dalam tanah, maka semakin parah gejalanya yang akan menyebabkan tanaman mungkin akan tumbuh tanpa crop (Kageyama 2009).

Kepadatan spora P. brassicae berada di permukaan tanah (0-5 cm) mencapai 97% dan hanya sedikit spora istirahat yang ditemukan di kedalaman tanah 40 cm. Hal inilah yang mempermudah penyebaran spora P. brassicae, karena penyebaran penyakit ini dapat melalui drainase, bibit, alat-alat pertanian (Cicu 2006). Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa spora istirahat P. brassicae dapat hidup dalam air selama 34 bulan dan menyebar melalui irigasi yang mengandung spora P. Brassicae sedikitnya 10 spora/ml mengakibatkan akar terinfeksi (Donald 2005).

Pengendalian penyakit akar gada untuk saat ini dilakukan dengan pemberian kapur, rotasi tanaman, penggunaan fungisida, serta penggunaan benih yang resisten. Cicu (2006) melaporkan bahwa penggunaan tanaman varietas tahan, kultur teknis, pengendalian hayati, dan perlakuan tanah pembibitan dengan teknik solarisasi juga dapat menjadi alternatif pengendalian penyakit akar gada.

Busuk lunak

Busuk basah atau busuk lunak (soft rot) adalah salah satu penyakit yang merugikan pada tanaman sayuran termasuk kubis-kubisan (Mee-Ngan et al. 2004). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri E. carotovora pv. carotovora, dimana infeksinya terjadi karena adanya luka pada pangkal bunga yang hampir panen (Schaad et al. 2001).

Gejala pada tanaman yang terserang penyakit ini adalah busuk basah berwarna coklat atau kehitaman pada daun pembungkus krop, batang, dan umbi. Pada bagian yang terinfeksi memperlihatkan bercak kebasahan yang akan membesar, bentuknya tidak teratur, berwarna coklat tua kehitaman. Jaringan yang membusuk pada mulanya tidak berbau akan tetapi dengan adanya serangan bakteri sekunder menyebabkan jaringan tersebut mengeluarkan bau khas yang menusuk hidung. Bakteri ini juga dapat mempertahankan diri di dalam tanah dan sisa-sisa tanaman di lahan. Pada umumnya, infeksi terjadi melalui luka karena gigitan serangga atau karena alat-alat pertanian. Larva dan imago lalat buah (Bactrocera spp.) dapat menularkan bakteri ini, karena serangga ini membuat luka dan mengandung bakteri di dalam tubuhnya (Mee-Ngan et al. 2004, Sastrosiswojo et al. 2005). Gejala lain yang disebabkan oleh E. carotovora adalah ditandai dengan adanya busuk pada batang dan pangkal bunga yang mengeluarkan bau yang khas (Schaad et al. 2001)

Pengendalian untuk penyakit ini dapat dilakukan dengan mencabut dan memusnahkan tanaman yang terserang, menanam varietas yang tahan terhadap busuk hitam, pengaturan drainase untuk menghambat penyebaran penyakit, dan menjauhi terjadinya pelukaan pada saat penanaman (Sastrosiswojo et al. 2005). Penelitian Kyeremeh et al. (2000) melaporkan bahwa penggunaan dua strain patogen E. carotovora subsp. carotovora 2T-2 dan TT-4 dengan aktivitas bakteriosin yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan petogen E. carotovora. Penyakit tepung berbulu

(22)

(Rimmer et al. 2007). Penelitian Johansen (2010) menjelaskan bahwa tingkat keparahan pada daun mencapai 100% pada tanaman muda.

Gejala pada daun menimbulkan bintik-bintik nekrosis dan bercak yang berwarna coklat yang menyebabkan kualitas daun berkurang (Rimmer et al. 2007). Gejala lain yang terlihat pada jaringan daun di antara tulang-tulang daun menguning, lama kelamaan akan berubah menjadi coklat-ungu dan tekstur daun menjadi seperti kertas, yang akhirnya akan rontok dan pada permukaan bawah daun terdapat kapang putih seperti tepung (Sastrosiswojo et al. 2005). Rimmer et al. (2007) menjelaskan bahwa penyakit ini dapat menyerang tanaman muda sehingga dapat menyebabkan kematian.

P. parasitica dapat bertahan dari musim ke musim di Indonesia karena selalu terdapat dilahan kubis-kubis. P. parasitica terutama bertahan dalam bentuk oospora dalam sisa-sisa tanaman sakit di dalam tanah (Rimmer et al. 2007). Konidia cendawan ini dapat tersebar melalui angin, percikan air, dan dapat bertahan hidup baberapa hari dibawah daun. Suhu 10 - 15 0C dan kelembapann 90%-98% merupakan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan penyakit ini, dan pada suhu rendah atau tidak adanya uap air penyakit ini dapat bertahan lebih dari 100 hari (Romero et al. 2005)

Penyakit ini dapat dikendalikan dengan pola pergiliran tanaman, pengaturan drainase tanah, sanitasi kebun, serta penyemprotan dengan fungisida (Rimmer et al. 2007). Menurut Romero et al. (2005) mengemukakan bahwa penekanan penyakit ini dapat dilakukan dengan mengurangi kelambaban yang dapat diterapkan terutama di rumah kaca, dan pengendalian yang terpenting adalah pada benih tanaman.

Busuk hitam

Penyakit busuk hitam disebabkan oleh bakteri X. campestris pv. campestris merupakan penyakit penting yag dapat menyerang pertanaman kubis-kubisan (Joana et al. 2013). Penyakit ini merupakan bakteri gram negatif yang dapat menyebabkan kegagalan produksi tanaman dari keluarga kubis-kubisan, seperti kubis, brokoli, kubis bunga, caisin, dan kalian. Bila et al. (2013) melaporkan bahwa X. campestris merupakan patogen yang menyebabkan kegagalan produksi tanaman keluarga kubis-kubisan di Negara Montenegro.

Gejala penyakit X. campestris terlihat pada tanaman kubis dewasa dengan gejala khas adanya bercak kuning yang menyerupai huruf V di sepanjang pinggir daun diikuti oleh nekrosis (Alvares et al. 1994). Pada serangan yang berat, seluruh daun menguning dan mudah luruh atau gugur sebelum waktunya, dan pada akhirnya penyakit ini meluas terus melalui tulang-tulang daun kemudian masuk ke dalam batang yang sakit sehingga tampak berkas pembuluh yang berwarna gelap (Roohie et al. 2012).

(23)

Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan sanitasi tanaman, rotasi tanaman, perlakuan benih dengan air panas, dan menggunakan varietas resisten penyakit busuk hitam (Joana et al. 2013). Alternatif pengendalian juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan antagonis dari patogen tanaman yang sering disebut dengan biokotrol. Treesna (2015) melaporkan bahwa Trichoderma harzianum dan Pseudomonas sp dapat menghambat pertumbuhan X. campestris pv. campestris pada pada in vitro dan skala ruma kaca.

Bercak daun Alternaria

Penyakit bercak daun Alternaria (Alternaria leaf spot) disebabkan oleh cendawan A. brassicae dan A brassicicola (Nowicki et al.2012). Kedua penyakit ini menyebabkan kerugian secara ekonomi yang cukup parah. Di Eropa, kedua penyakit dapat menyerang benih yang diperkirakan sampai dengan 86% (Maude dan Hampherson-Jones 1980).

Gejala pada daun diawali dengan munculnya binti-bintik kecil nekrotik berwarna hitam lingkarang konsentris menyerupai cincin sehingga menjadi becak bulat. Kemudian, lama-kelamaan bercak-bercak tersebut akan menyebar dengan cepat memenuhi permukaan daun (Nowicki et al.2012). Cendawan ini dapat bertahan pada kulit biji, gulma yang rentan, serta pada tanaman tahunan. Propagul patogen ini dapat disebarkan oleh angin, air, alat-alat pertanian. Cendawan ini dapat bertahan hidup dalam tanah (Chauhan et al. 2009).

Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan penggunaan benih resisten atau perlakuan benih dengan fungisida, pengolahan lahan dengan baik, rotasi tanaman, penyemprotan fungisida (Nowicki et al.2012). Selain itu pengendalian juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan agens hayati seperti cendawan atau bakteri. Penelitian Intansari (2015) melaporkan bahwa perlakuan Trichoderma sp. pada sistem hidroponik Nutrient Film Technique mampu menghambat intensitas serangan patogen A. brassicicola.

Penyakit kaki hitam

Penyakit ini disebabkan oleh cendawann Phoma lingam yang merupakan patogen serius yang dapat menyebabkan penyakit kaki hitam, kanker, dan busuk kering (Hadrami et al. 2009). P. lingam dapat menyebabkan kerugian di seluruh dunia lebih dari £ 1000 M setiap tahun pada harga £ 370 per ton (Fitt et al. 2006). Di Kanada dan Eropa, peyakit ini menyebabkan kerugian hingga 95% pada rumah kaca (Gugel dan Petrieitt 1992).

Gejala awal penyakit kaki hitam akan terlihat pada pangkal batang kubis terdapat bercak bulat lonjong berwarna coklat kehitaman, kanker memanjang pada pangkal batang, mula-mula berwarna coklat muda, dan lama kelamaan akan mejadi kehitaman (Brazaukiene et al. 2008). Perakaran yang sakit akan rusak sedikit demi sedikit sehingga tanaman menjadi layu dan kemudian mati (West et al. 1999). P. lingam merupakan patogen seedborne sehingga dapat bertahan selama bertahun-tahun pada tanaman. Patogen ini dapat mempertahankan diri pada kulit biji, sisa-sisa tanaman sakit, dan dapat hidup pada residu tanaman. Selain itu, penyebaran patogen ini dapat melalui alat-alat pertanian, dibantu dengan percikan air, dan angin dalam jarak jauh (Brazaukiene et al. 2008).

(24)

menjadi sumber infeksi bagi pertanaman selanjutnya (West et al. 2001). Pengendalian P. lingam juga dapat dilakukan dengan menggunakan agen biokontrol. Penelitian Hammoudi (2012) melaporkan bahwa isolat Serratia plymuthica adalah isolat yang paling efektif dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh patogen ini dengan intensitas penyakit berkurang 54%-63% pada tanaman yang ditanam di rumah kaca, serta perlakuan benih dengan Glicaldiom catenulatum, Pseudomonas fluorescens dan P. chlororaphis dapat mengurangi intensitas sebesar 52%.

Analisis Pendapatan Usahatani

Konsep usahatani pada dasarnya dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya dengan memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu, dan pengelolaan) yang terbatas secara efektif dan efesien untuk mencapai tujuannya dengan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu (Soekartawi 2002). Rahim dan Hastuti (2007) menjelaskan bahwa usahatani merupakan cara bagaimana petani mengelola faktor-faktor produksi (tanah, modal, tenaga kerja, pupuk, benih, dan pestisida) dengan efektif, efisien, dan kontinu untuk dapat menghasilkan produksi yang lebih tinggi sehingga pendapatan petani meningkat. Dikatakan efektif bila petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya sehingga memberikan manfaat dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi 2002).

Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua komponen pokok yaitu penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Menurut Suratiyah (2006) menjelaskan bahwa penerimaan atau pendapatan kotor adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode yang diperhitungkan dari hasil penjualan. Penerimaan usahatani diperoleh dari jumlah produksi dikali harga per satuan tanaman. Sedangkan pengeluaran usahatani adalah semua input atau biaya yang habis digunakan selama proses produksi (Soekartawi et al. 1986). Biaya yang di maksud adalah biaya tidak tetap yang meliputi biaya yang diperlukan untuk membeli bibit, pupuk, pestisida, dan biaya tenaga kerja.

Usahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produksi dari tanaman yang dibudidayakan, pada akhirnya akan menghasilkan nilai antara total penerimaan yang diperoleh dengan semua biaya yang dikeluarkan. Selisih antara biaya tersebut adalah pendapatan yang diperoleh selama proses berusahatani (Soekartawi et al. 2002). Analisis pendapatan usahatani ini dapat digunakan sebagai ukuran dalam melihat apakah usahatani tersebut menguntungkan atau merugikan, dan seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diperoleh petani dalam usahatani tersebut (Soekartawi et al. 2006).

(25)

(ratio B/C). Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah usahatani tersebut layak atau tidak dan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh. Harmono dan Andoko (2005) menjelaskan bahwa analisis rasio R/C ini menunjukan besarnya penerimaan usahatani yang diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani tersebut, semakin besar nilai ratio R/C yang diperoleh semakin besar peningkatan penerimaan usahatani tersebut. Sedangakan analisis ratio B/C menunjukkan tingkat keuntungan yang diperoleh dengan total biaya yang dikeluarkan selama proses usahatani, semakin besar ratio B/C yang dipeoleh maka akan semakin besar keuntungan yang diperoleh dari usahatani tersebut (Rahardi & Hartono 2003).

Kesejahteraan Petani

Kesejahteraan keluarga petani merupakan tujuan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional untuk mencapai kesejahteraan anggota keluarganya. Menurut BPS (2005) menjelaskan bahwa kesejahteraan adalah suatu kondisi dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup. Sementara itu, Norizan (2003) mendefinisikan kesejahteraan bersifat objektif dan subjektif. Kesejahteraan hidup bersifat objektif dapat dilihat dari terpenuhinya keperluan hidup seperti pendapatan, perumahan, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan, kesejahteraan hidup bersifat subjektif dapat dinilai berdasarkan kepuasan dan nikmat hidup yang dirasakan oleh individu seperti dapat hidup bahagia, bersyukur karena memiliki pekerjaan yang baik, serta memiliki kepuasan dalam hidup berumahtangga.

Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk hidup dengan sejahtera, dimana kondisi keluarga dapat hidup dengan layak, damai, dan makmur. Untuk mencapai kesejahteraan itu, sebagian besar manusia melakukan berbagai macam usaha untuk memperoleh pendapatan yang bertujuan untuk menghidupi keluargnya, salah satunya adalah dengan melakukan usahatani (Wiryono 1997). Menurut Mosher (1987), hal yang paling penting dari kesejahteraaan adalah pendapatan, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan rumah tangga tergantung pada tingkat pendapatan.

Kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor, antara lain faktor internal meliputi pendidikan, pekerjaan, umur, tabungan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, dan pendapatan, dan faktor eksternal meliputi kemudahan akses finansial, akses bantuan pemerintah, akses dalam kredit barang, dan lokasi tempat tinggal (Iskandar et al. 2010). Sedangkan menurut BPS (2015a), indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga meliputi kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, tingkat pengeluaran dan pola konsumsi, perumahan dan lingukungan, dan kemiskinan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini indikator yang digunakan adalah pendapatan dan tingkat pengeluaran dan pola konsumsi rumah tangga petani.

(26)

indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan rumha tangga (BPS 2005a). Pada umumnya konsumsi/pengeluaran rumahtangga berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan di pengaruhi oleh tingkat pendapatan, apabila tingkat pendapatan relatif rendah maka terlebih dahulu mementingkan kebutuhan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dibanding bukan makanan. Rumah tangga dapat dikategorikan sejahtera ketika proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan sebanding dengan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan bukan pangan. Pendekatan dengan menganalisa antara pendapatan petani yang dipeoleh dari usahatani dengan proporsi pengeluaran/konsumsi rumah tangga yang pada akhirnya dapat menjelaskan seberapa besar tingkat kesejahteraan petani (BPS 2015b).

(27)

3

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian lapangan terdiri atas survei petani dan pengukuran intensitas penyakit di Desa Sukatani, Kecamatan Pacet dan Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas, di daerah Agropolitan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat mulai bulan Februari sampai Desember 2014. Penelitian laboratorium, yaitu identifikasi patogen dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Januari sampai Mei 2015.

Metode

Survei Petani

Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan data tentang latar belakang petani, teknik budidaya tanaman, jenis-jenis patogen yang menyerang tanaman, teknik pengendaliannya, dan nilai ekonomi dari infeksi patogen. Survei dilakukan dengan metode wawancara langsung terhadap petani kubis-kubisan menggunakan kuesioner terstruktur. Wawancara dengan petani dilakukan satu per satu yang dilaksanakan di lahan pertanaman kubis-kubisan milik petani tersebut mulai dari pukul 07.00 sampai 16.00. Jumlah petani responden adalah 100 orang terdiri atas 68 orang dari Desa Sukatani dan 32 orang dari Desa Sindangjaya. Petani responden dipilih secara sistematis dengan cara menemuinya di lahan pertanaman pada saat mereka sedang bekerja.

Pengukuran Intensitas Penyakit

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat intensitas penyakit beberapa patogen utama yang menyerang tanaman kubis, pakcoy, brokoli, sawi, caisin, dan kembang kol. Pengukuran intensitas serangan dilakukan dengan menghitung insidensi penyakit (IP) dan keparahan penyakit (KP). IP adalah persentase tanaman yang terserang patogen dari seluruh tanaman yang diamati, sedangkan KP merupakan persentase bagian tanaman (daun, buah, batang, dan akar) yang rusak atau bergejala penyakit akibat infeksi patogen dalam satu tanaman.

Perhitungan insidensi penyakit dan keparahan penyakit dilakukan dengan menggunakan rumus intensitas serangan penyakit (Cooke et al. 2006), sebagai berikut:

Insidensi penyakit dihitung dengan rumus:

dengan IP adalah insidensi penyakit, a jumlah tanaman terserang, dan b jumlah tanaman yang diamati.

(28)

Dengan KP adalah keparahan penyakit, n jumlah tanaman yang terserang dalam kategori skor, v nilai skala untuk setiap kategori serangan, Z nilai skala tertinggi dari kategori gejala serangan, dan N jumlah tanaman yang diamati.

Banyaknya tanaman contoh untuk menghitung KiP dan KeP ini ditentukan berdasarkan rumus Solvin (Sevilla et al. 1992) sebagai berikut:

dengan n adalah ukuran contoh, N adalah ukuran populasi, dan e adalah tingkat kesalahan (ketidakefektifan dalam pengambilan contoh), yaitu 5%. Pengambilan setiap individu tanaman dari ke-n tanaman dilakukan secara acak sistematik dengan pola zig zag.

Identifikasi Penyakit

Kegiatan ini dimaksudkan untuk memastikan penyebab dari penyakit-penyakit utama yang menginfeksi tanaman kubis-kubisan di lahan petani. Identifikasi ini dilakukan dengan mengambil sebanyak 5 tanaman contoh yang bergejala yang mewakili setiap jenis penyakit pada ke-4 jenis kubis-kubisan yang dikaji (kubis, pakcoy, brokoli, dan sawi). Tanaman yang bergejala penyakit kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Jenis patogen yang ditemukan kemudian ditumbuhkan ke dalam media buatan, untuk isolasi cendawan pada media agar dekstrosa kentang (ADK), kemudian akan melihat ciri cendawan tersebut seperti bentuk hifa, bentuk konidia dan konidium, dan isolasi bakteri pada media yeast dextrose casamino-acid agar (YDCA), selanjutnya akan diamati bentuk dan warna koloni patogen.

Analisis Hubungan antara Intensitas Serangan Patogen dan Pendapatan Petani

Analisis dalam penelitian ini meliputi analisis deskripsi petani, analisis ekonomi usahatani, analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat produksi tanaman., dan analisis pengaruh serangan patogen terhadap pendapatan petani.

Analisis Deskripsi. Analisis ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik petani kubis-kubisan dalam menjalankan usahatani kubis-kubisan di lokasi penelitian.

(29)

Analisis R/C rasio merupakan analisis dalam usahatani yang berfungsi untuk mengetahui kelayakan dari kegiatan usahatani yang dilaksanakan dimana membandingkan penerimaan usahatani dengan pengeluaran usahataninya. Analisis rasio R/C dilakukan untuk mengetahui besarnya penerimaan yang dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan pada suatu kegiatan usahatani. Rasio R/C yang dihitung dalam analisis ini terdiri atas R/C atas total penerimaan dan R/C total biaya. Nilai R/C < 1 menunjukkan bahwa usahatani tidak memberikan keuntungan kepada petani, R/C = 1 berarti usahatani yang impas (penerimaan sama dengan biaya produksi), dan R/C > 1 adalah usahatani mampu memberikan keuntungan kepada petani. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut:

a = R/C

dengan a adalah rasio R/C, R total penerimaan, dan C total biaya.

Analisis rasio B/C digunakan untuk menghitung tingkat keuntungan yang diperoleh petani. Rasio B/C merupakan perbandingan antara total keuntungan dengan total biaya produksi. Jika Nilai B/C < 0 menunjukkan bahwa usahatani tidak memberikan keuntungan kepada petani, B/C = 0 berarti usahatani yang impas (penerimaan sama dengan biaya produksi), dan B/C > 0 adalah usahatani mampu memberikan keuntungan kepada petani. Nilai B/C = 1 menandakan bahwa keuntungan yang diperoleh petani sama dengan besarnya biaya produksi. Rumus yang digunakan sebagai berikut:

b = B/C

dengan b adalah rasio B/C, B total keuntungan, dan C total biaya.

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Produksi Tanaman. Analisis ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tanaman kubis-kubisan. Data yang dikumpulkan berupa luas lahan, pemakaian input pertanian, tenaga kerja hingga keparahan penyakit tanaman. Selanjutnya data diolah secara kuantitatif dengan analisis berganda dalam persamaan model sebagai berikut::

dengan Y1 adalah produksi kubis-kubisan, X1 luas lahan, X2 benih, X3 pupuk

anorganik, X4 pupuk organik , X5 kapur, X6 pestisida, X7 tenaga kerja, X8

keparahan penyakit ke-1, X9 keparahan penyakit ke-2, dan X10 keparahan

penyakit ke-n. Koefisien bi yang nyata (uji t dengan nilai P < 0.05) menunjukkan

adanya korelasi yang nyata antara faktor produksi tersebut dengan produksi tanaman. Pendugaan terhadap nilai koefisien regresi (b1, b2, ..., bn) dan

pengujiannya dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS versi 17.0.

Analisis Pengaruh Serangan Patogen terhadap Pendapatan Petani. Analisis ini bertujuan untuk menentukan seberapa besar kontribusi dari serangan patogen tersebut terhadap penurunan pendapatan petani. Kajian ini juga dilakukan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan persamaan model sebagai berikut:

denganY2 adalah pendapatan petani, X1 keparahan penyakit patogen ke-1, X2

(30)
(31)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Daerah Penelitian dan Karakteristik Petani Responden

Kabupaten Cianjur menetapkan dua desa dalam program agropolitan yaitu, Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas, yang memiliki luas wilayah 512 ha dan Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, yang memiliki luas wilayah 376 ha. Kedua desa tersebut dipilih karena daerah ini termasuk ke dalam desa dengan tingkat produksi sayuran yang tinggi, memiliki ketersediaan sumber daya manusia, dan lahan yang luas untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian khususnya untuk budidaya kubis-kubisan. Jamilah (2010) menjelaskan bahwa Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani dipilih sebagai daerah inti agropolitan karena memiliki keunggulan di sektor pertanian khususnya kubis-kubisan. Selain itu, sebagian besar penduduk di daerah agropolitan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani hortikultura.

Daerah Agropolitan di Kabupaten Cianjur merupakan Kabupaten yang menjadi sentra pertanaman sayuran khususnya kubis-kubisan dikarenakan ketinggian tempat yang sesuai serta memiliki tanah yang gembur untuk budidaya kubis-kubisan. Daerah Agropolitan berada pada ketinggian 1 100 - 1 350 m dpl sehingga daerah ini sangat sesuai untuk pertanaman kubis-kubisan. Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani merupakan desa di daerah dataran tinggi yang memiliki kisaran suhu antara 20-25 °C. Berdasarkan letak dan kondisi geografis di atas, wilayah seperti ini sangat cocok untuk budidaya sayuran diantaranya wortel, kubis-kubisan, dan daun bawang (Jamilah 2010).

Jenis tanaman yang banyak diusahakan di daerah agropolitan sebagian besar adalah sayuran seperti kubis-kubisan (kubis, sawi, pakcoy, brokoli, kembang kol, caisim, kailan), tomat, wortel, bawang daun, dan lobak. Hasil panen umumnya dijual kepada tengkulak atau langsung dijual ke pasar. Petani umumnya mengusahakan tanamannya secara monokultur dan tumpangsari sepanjang musim. Hal ini sesuai dengan Jamilah (2010) bahwa rata-rata petani di kedua desa melakukan sistem tumpangsari dalam satu kali musim.

Petani responden sebagian besar belum bisa memproduksi benih sendiri, sehingga benih harus dibeli ke toko atau pedagang benih. Sama halnya dengan penggunaan pupuk yang diperoleh dengan cara membeli langsung ke toko-toko pertanian. Pupuk yang digunakan meliputi pupuk anorganik dan organik (pupuk kandang dan kompos). Selain itu, petani juga menggunakan kapur dalam budidaya kubis-kubisan. Untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman, petani masih menggunakan pestisida kimia. Karakteristik petani responden dalam penelitian ini meliputi luas lahan, umur, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, dan status kepemilikan lahan.

(32)

Sempitnya lahan yang dimiliki oleh petani kubis-kubisan ini disebabkan karena sebagian petani sudah beralih untuk menanam tanaman selain kubis-kubisan seperti wortel, daun bawang, lobak, dan tomat karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Selain itu, beralihnya lahan juga disebabkan adanya penjualan lahan yang dimiliki oleh petani karena kebutuhan ekonomi.

Jumlah responden didominasi umur yang produktif yaitu 20-60 tahun sebanyak 88 orang, sedangkan responden pada usia tua atau kurang produktif yaitu 61-85 tahun sebanyak 12 orang (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden masih tergolong dalam kategori umur produktif. Artinya, petani responden dapat melaksanakan usahatani dengan lebih baik dan selalu berusaha untuk meningkatkan kemampuan dalam berusahatani.

BPS (2013) menjelaskan bahwa sebaran petani berdasarkan umur dikelompokkan menjadi 3 yaitu kelompok umur 0 - 14 tahun merupakan kelompok usia belum produktif, kelompok umur 15 - 64 tahun merupakan kelompok usia produktif, dan kelompok umur di atas 65 tahun merupakan kelompok usia tidak lagi produktif. Pada umumnya, petani dengan usia produktif lebih dinamis, sehingga akan lebih mudah dan cepat menerima inovasi-inovasi yang ada. Soekartawi (2006) menjelaskan bahwa semakin muda umur maka akan memiliki semangat keingintahuan untuk mengetahui apa yang belum diketahui.

Gambar 1 Distribusi luas lahan (ha) petani responden pada daerah agropolitan, Kabupaten Cianjur.

( = 0.02 - 0.5 ha, = 0.6 - 0.7 ha, = 1 ha )

Gambar 2 Distribusi tingkat umur (tahun) petani responden pada daerah agropolitan, Kabupaten Cianjur.

(33)

Tingkat pendidikan petani responden SD memiliki proporsi yang cukup besar yaitu sebanyak 74% dibanding dengan tingkat pendidikan yang lain yaitu SLTA dan SMA (Gambar 3). Sementara itu, petani yang menempuh pendidikan sampai pada tingkat perguruan tinggi (PT) hanya 1%, dan terdapat 5% petani yang tidak sekolah (TS) (Gambar 3). Hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan petani responden di kedua desa tersebut masih rendah atau kurang. Berdasarkan penjelasan tersebut, diketahui bahwa petani responden masih mengandalkan pengalaman dalam melakukan usahataninya dan lebih mengandalkan praktek daripada teori dalam proses usahatani. Soekartawi (2002) menyatakan bahwa pendidikan petani umumnya memengaruhi cara dan pola pikir petani dalam menjalankan usahataninya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, petani akan lebih dinamis, mampu menguasai, dan menerapkan inovasi yang baru dalam mengelola usahataninya.

Pengalaman petani responden didominasi pada kisaran 6 - 65 tahun sebanyak 83%, dan untuk petani reponden dengan pengalaman berusahatani yang kurang berpengalaman pada kisaran 1-5 tahun sebanyak 17% (Gambar 4). Hal ini berarti bahwa sebagian besar petani responden memiliki pengalaman yang matang dalam melaksanakan usahatani kubis-kubisan, dalam hal mencegah, mengetahui, dan mengantisipasi permasalah yang akan timbul ketika melakukan usahatani kubis-kubisan. Menurut Soeharjo dan Patong (1984), pengalaman < 5 tahun dikategorikan kurang berpengalaman, usahatani dikatakan cukup apabila telah berusahatani selama 5 - 10 tahun, sedangkan > 10 tahun dikategorikan berpengalaman.

Gambar 4 Distribusi pengalaman petani responden pada daerah agropolitan, Kabupaten Cianjur.

( = 1 - 5 tahun, = 6 – 10 tahun, = 11 - 65 tahun ) Gambar 3 Distribusi tingkat pendidikan petani responden pada daerah

agropolitan, Kabupaten Cianjur.

(34)

Hasil wawancara dengan petani terdapat beberapa jenis kepemilikan lahan, diantaranya : (a) petani penggarap yaitu petani yang menggarap suatu lahan petani lain dengan sistem bagi hasil dengan petani pemilik lahan, (b) petani penyewa yaitu seorang petani yang menggarap lahan orang lain dengan status sewa dimana biaya sewanya sesuai dengan perjanjian dari kedua belah pihak, dan (c) petani pemilik adalah petani yang memiliki lahan dimana lahan tersebut digarap atau dikelola oleh petani itu sendiri. Adapun komposisi rataan status kepemilikan lahan responden dapat dilihat pada Gambar 6.

Mayoritas petani responden merupakan pemilik lahan yaitu sebanyak 69 responden (Gambar 5). Hal ini dapat menggambarkan bahwa petani responden dapat bertindak sebagai pengelola dalam menjalankan usahataninya (penentu kebijakan) dan petani responden tidak perlu mengeluarkan biaya sewa lahan sehingga dapat memberi keuntungan dalam hal biaya yang dikeluarkan dalam usahatani. Status kepemilikan lahan akan berpengaruh secara langsung terhadap pendapatan yang diterima oleh petani dibandingkan dengan petani penggarap atau penyew. Pendapatan petani yang menggarap lahan milik sendiri akan memiliki pendapatan yang lebih besar daripada pendapatan petani yang menggarap lahan milik orang lain. Hal ini terjadi karena petani yang menggarap lahan milik orang lain akan membagi hasil yang diperoleh dengan pemilik lahan (Maryati 2011).

Penyakit Utama dan Intensitas Serangan

Berdasarkan pengamatan secara langsung di lahan dengan melihat gejala penyakit dan hasil wawancara dengan petani, terdapat 3 penyakit utama yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas hasil panen pada tanaman kubis-kubisan. Tanaman kubis-kubisan yang diamati yaitu tanaman kubis, pakcoy, sawi hijau, kalian, caisin, brokoli, dan kembang kol. Penyakit-penyakit tersebut sebagai berikut.

Penyakit akar gada

Penyakit akar gada disebabkan oleh P. brassicae. Hasil pengamatan di lahan menunjukan bahwa tanaman yang terinfeksi oleh patogen ini mengakibatkan daun tanaman akan mengalami layu seperti kekurangan air ketika dalam kondisi panas atau pada saat siang hari, mulai dari tangkai daun sampai helaian daun terlipat ke bawah, jika penyakit terus berlangsung maka daun akan menguning, dan pada Gambar 5 Distribusi status kepemilikan lahan petani responden pada

(35)

pagi atau sore hari tanaman akan kembali normal atau daun tampak segar. Hal ini sesuai dengan Kong Kaw Wa (2009) yang menjelaskan bahwa di lahan gejala yang jelas pertama dari penyakit ini adalah layu daun, terutama pada panas terik dan hari-hari cerah, dan terjadi pemulihan daun pada malam hari.

Gambar 6 Gejala penyakit akar gada yang menyebabkan pembengkakan akar seperti gada pada 4 jenis kubis-kubisan: kubis (a), pakcoy (b), sawi hijau (c), dan brokoli (d).

Berdasarkan pengamatan di lahan bahwa ketika tanaman dicabut maka terlihat akar tanaman mengalami pembengkakan seperti berumbi, hal ini berarti bahwa menunjukkan akar tanaman telah rusak, kemudian akan berkembang yang nantinya menyerupai gada. Gejala lain yang ditemukan di lahan adalah tanaman menjadi kerdil, dan tidak menghasilkan krop. Cicu (2006) menyatakan bahwa ciri khas gejala serangan P. brassicae yaitu adanya pembengkakan pada akar tanaman seperti gada yang menginfeksi tanaman dari famili Brassicacae. Berdasarkan hasil pengukuran intensitas penyakit di lahan, keparahan penyakit mencapai 16.7% ± 13.3 dan insidensi penyakit mencapai 35.5% ± 27.9.

Hasil pengamatan mikroskopik dengan perbesaran 400x P. brassicae membentuk spora dalam jaringan tanaman dengan bentuk spora bulat atau agak lonjong, spora terpisah/terlepas antara satu dengan lainnya, serta spora berkumpul dalam jaringan tanaman yang masih hidup (Gambar 6). Hal ini sesuai dengan penelitian Riascos et al. (2011) yang menjelaskan bahwa pengamatan pada akar tanaman yang terinfeksi P. brassicae memperlihatkan adanya spora istirahat yang berbentuk bulat yang dikonfirmasi melalui mikroskop compound.

a

b

c

(36)

Gambar 7 Spora P. brassicae yang diisolasi dari beberapa inang: kubis (a), pakcoy (b), sawi (c) hijau, dan brokoli (d).

Hasil mikroskopik juga memperlihatkan spora P. brassicae berkumpul di dalam jaringan tamanan, kemudian jumlah sel akan bertambah banyak dan membesar (Gambar 7). Kumpulan spora inilah yang menginvasi akar tanaman menjadi bengkak dan sel yang berkembang abnormal. Hal ini dapat menjadi stimulus bagi patogen untuk menyebar lebih cepat dan bahkan dapat menyebabkan sel yang awalnya tidak terinfeksi menjadi terinfeksi, serta digunakan oleh plasmodium sebagai sumber makanannya.

Penyakit becak daun Altenaria

Penyakit bercak daun Alternaria ini disebabkan oleh cendawan A. brassicae atau A. brassicicola. Hasil pengamatan di lahan menunjukkan gejala khas dari penyakit bercak daun Alternaria berupa bercak-bercak bulat kecil berwarna cokelat, membentuk lingkaran konsentris, dan terpusat.

Gambar 8 Gejala penyakit bercak daun Alternaria sp yang menyebabkan bulatan konsentris pada daun yang berwarna cokelat pada 4 jenis kubis-kubisan: kubis (a), pakcoy (b), sawi hijau (c), dan brokoli (d).

a

b

c

d

(37)

Gejala penyakit bercak daun Alternaria akan menyebar ke daun tanaman dan nantinya akan membesar dan lama-kelamaan menyebabkan daun berlubang-lubang (Gambar 8). Meena et al. (2010) menjelaskan bahwa A. brassicae dan A. brassicicola banyak menginfeksi pertanaman dengan gejala yang ditandai dengan bintik-bintik bulat berwarna hitam yang menyebar dengan cepat dan membentuk lingkaran konsentris cincin / lesi.

Hasil pengamatan secara makroskopik dengan perbesaran 400x ditemukan miselia Alternaria sp. dengan warna hitam, dengan pertumbuhan yang cepat dan menyebar pada media ADK. Pengamatan secara mikroskopik ditemukan A. brassiccicola dengan konidiofor tegak dan bersekat, spora berbentuk gada dengan warna cokelat, spora dalam bentuk tunggal atau berantai, dan mempunyai 4-6 sekat melintang dan membujur (Gambar 9). Hal ini sesuai dengan penelitian Nowicki (2012) bahwa pengamatan pada media ADK memperlihatkan A. brassiccicola yang tumbuh dengan cepat dengan koloni yang tebal berwarna hitam, dan pengamatan di mikroskop di peroleh konidiofor yang bercabang atau tidak bercabng, hifa berwarna cokelat atau gelap, membentuk seperti gada, dan spora dalam bentuk tunggal panjang.

Gambar 9 Hifa dan konidia bercak daun Alternaria sp.: kubis (a), pakcoy (b), sawi hijau (c), dan brokoli (d).

Berdasarkan pengamatan di lahan, patogen ini menginfeksi daun yang lebih tua, sehingga tidak mengurangi pertumbuhan krop. Hasil pengukuran intensitas serangan patogen ini menyebabkan keparahan penyakit mencapai 18.7% ± 22.0 dan insidensi penyakit mencapai 38.1% ± 46.0.

Penyakit busuk hitam

Penyakit busuk hitam (black rot) disebabkan oleh bakteri X. campestris pv. campestris. Gejala yang ditemukan di lahan memperlihatkan di daun kubis-kubisan menguning klorosis di sepanjang tepi daun yang mengarah ke tengah daun kemudian seluruh daun menguning dan akhirnya daun akan mengering. Hal ini sesuai dengan penelitian Sastrosiswojo et al. (2005) bahwa penyakit ini ditandai dengan munculnya warna kuning kecoklatan pada tepi daun dan kemudian daun akan mengering. Pengamatan gejala X. campestris yang ditemukan di lahan dapat dilihat pada Gambar 11.

a b

c d

a b

(38)

Gambar 10 Gejala penyakit X. campestris yang menyebabkan daun bercak berwarna cokelat yang membentuk huruf V pada 3 jenis kubis-kubisan: brokoli (a), kubis (b), dan pakcoy (c) .

Gejala khas yang juga ditemukan di pertanaman kubis-kubisan yaitu adanya daun menguning yang membentuk huruf V (Gambar 10). Pada infeksi yang berat, seluruh daun menguning, kemudian akan mengering dan akhirnya daun mudah luruh (gugur) sebelum waktunya. Hal tersebut sesuai dengan karakter bakteri X. campestris pv. campestris. Fargier dan Manceau (2007) melaporkan bahwa gejala khas X. campestris ditandai dengan bercak kuning yang berbentuk V yang muncul pada tepi ujung-ujung daun. Berdasarkan hasil pengukuran intensitas serangan, X. campestris menyebabkan keparahan penyakit mencapai 15.1 ± 21.8 dan insidensi penyakit mencapai 32.5 ± 44.3.

Gambar 11 Pertumbuhan koloni X. campestris asal tanaman kubis-kubisan: brokoli (a), kubis (b), pakcoy (c) pada media YDCA.

Preparat berasal dari daun kubis-kubisan yang terinfeksi X. campestris kemudian diisolasi dengan media YDCA dan didapatkan koloni bakteri berwarna kuning dengan bentuk bulat cembung yang dapat dilihat secara jelas, dan pertumbuhan yang cepat (Gambar 11). Hal ini sesuai dengan penelitian Treesna (2015) bahwa koloni X. campestris yang ditemukan pada media YDCA dicirikan

c a

b

(39)

dengan koloni yang berbentuk bulat berwarna kuning, berlendir dan permukaan koloni yang cembung dengan tepian yang rata.

Nilai Ekonomi Usahatani Kubis-Kubisan

(40)

sebesar Rp 1 000 000, usahatani kubis-kubisan akan mampu memberi keuntungan sebesar Rp 2 800 000 - Rp 5 600 000.

Brokoli merupakan komoditas yang memiliki nilai R/C dan B/C tertinggi dibandingkan komoditas lainnya. Usahatani tanaman kubis dinilai lebih baik dibanding usahatani tanaman pakcoy, meskipun biaya produksi usahatani tanaman tersebut sangat tinggi dibandingkan usahatani tanaman kubis-kubisan lainnya. Usahatani kubis memiliki nilai R/C dan B/C lebih baik dibandingkan usahatani pakcoy, meskipun biaya produksi usahatani tanaman pakcoy paling rendah dibandingkan usahatani tanaman kubis-kubisan yang lain tetapi nilai R/C dan B/C usahatani tanaman pakcoy paling rendah dibandingkan usahatani tanaman kubis-kubisan yang lain.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Produksi Kubis-kubisan

Hasil analisis regresi terhadap hubungan antara faktor produksi tanaman dan lingkungan biotik dengan intensitas serangan patogen menunjukkan bahwa luas lahan, benih, pupuk organik, kapur, dan penyakit akar gada memengaruhi produksi tanaman secara nyata. Sementara itu, 5 faktor lainnya (pupuk anorganik, pestisida, tenaga kerja, penyakit bercak daun Alternaria, dan penyakit busuk hitam) tidak berpengaruh nyata terhadap terhadap produksi tanaman (Tabel 2). Berdasarkan nilai koefesien regresinya, faktor produksi tanaman memiliki tanda positif, berarti meningkatkan produksi tanaman. Peningkatan 1 ha luas lahan, 1 g benih, 1 kg pupuk organik, 1 kg kapur berturut-turut dalam usahatani kubis-kubisan akan meningkatkan produksi sebesar 17.72 ton/ha, 0.0084 ton/ha, 0.000005 ton/ha, 0.0006 ton/ha. sedangkan faktor lingkungan biotik (penyakit akar gada) bertanda negatif, berarti menurunkan produksi tanaman. Setiap peningkatan 1% keparahan penyakit akar gada akan menurunkan produksi tanaman sebesar 0.169 ton/ha (Tabel 2).

Pupuk Anorganik 0.000005 0.9774

Pupuk Organik 0.0002 0.0236

Kapur 0.0006 0.032

Pestisida 0.0000001 0.5322

Tenaga kerja 0.0048 0.4726

Bercak daun Alternaria -0.041 0.0619

Akar gada -0.1692 0.000

Busuk hitam -0.0218 0.3228

R2 : 0.71

R2 yang telah disesuaikan : 0.51

(41)

Hasil analisis diperoleh nilai R2 yang telah disesuaikan sebesar 0.51 (51%) yang menunjukkan bahwa model ini mampu menjelaskan variasi produksi kubis sebesar 51%, sedangkan sisanya sebesar 49% dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Berdasarkan hasil estimasi data dalam model regresi didapat nilai konstanta sebesar 7.614 yang bernilai positif. Untuk interpretasi hasil regresi variabel independen,dapat dijelaskan di bawah ini: Agropolitan Kabupaten Cianjur adalah positif dan nyata. Artinya, setiap penambahan luas lahan 1 ha akan meningkatkan produksi kubis-kubisan sebesar 17.7226 ton.

Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh hasil bahwa besarnya luas lahan sangat mempengaruhi hasil produksi. Hal ini dimungkinkan karena petani mampu mengelola lahan sempit yang mereka miliki secara optimal, sehingga luasan lahan tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan petani. Manyamsari (2014) menjelaskan bahwa petani dengan lahan sempit lebih mementingkan jiwa kewirausahaan dimana kebanyakan petani selalu berusaha melakukan usahatani secara kompoten untuk melakukan tugas-tugasnya. Beberapa kompetensi tersebut adalah merencanakan usahatani, waktu yang tepat untuk memanen, dan bagaimana memasarkan hasil panen sehingga luas lahan sempit dapat meningkatkan produksi usahataninya.

Benih

Hasil regresi penggunaan benih menunjukkan bahwa nilai koefisien sebesar 0.0084 dengan tingkat signifikan sebesar 0.0214 dimana nilainya > 0.05 sehingga dapat dikatakan nyata pada α = 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara benih terhadap produksi kubis-kubisan di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur adalah positif dan nyata. Artinya, setiap penambahan benih 1 gr akan meningkatkan produksi kubis-kubisan sebesar 0.0084 ton.

Benih memberikan pengaruh nyata terhadap hasil produksi kubis-kubisan. Hal ini disebabkan bibit yang mereka gunakan merupakan benih dengan label varietas unggul yang tahan terhadap beberapa penyakit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmansyah et al. (2013) menjelaskan bahwa benih berpengaruh secara nyata dan positif terhadap produksi kubis, hal ini dikarenakan umumnya petani menggunakan benih unggul yaitu berlabel yang dibeli dari toko pertanian, sehingga dengan penggunaan benih bermutu dapat meningkatkan produksi kubis.

Pupuk Anorganik

(42)

penambahan pupuk anorganik 1 kg akan meningkatkan produksi kubis-kubisan sebesar 5.0 x 10-6 ton.

Pupuk anorganik menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap produksi kubis-kubisan. Hal ini kemungkinan disebabkan petani melakukan pemupukan tanpa memperhatikan dosis dan cara aplikasi yang tepat. Petani di daerah setempat beranggapan bahwa dengan pemberian pupuk yang berlebih maka akan memberikan peningkatan terhadap produksi kubis-kubisan. Tetapi dengan pemberian pupuk yang berlebih atau tanpa dosis yang tepat maka akan

Hasil regresi pupuk organik menunjukkan bahwa nilai koefisien sebesar 0.0002 dengan tingkat signifikan sebesar 0.0235 di mana nilainya < 0.05 sehingga dapat dikatakan nyata pada α = 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara pupuk organik terhadap produksi kubis-kubisan di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur adalah positif dan nyata. Artinya, setiap penambahan pupuk organik 1 kg akan meningkatkan produksi kubis-kubisan sebesar 0.0002 ton.

Pemberian pupuk organik terhadap pertanaman kubis-kubisan dapat memberikan pengaruh secara nyata terhadap produksi kubis-kubisan secara optimal. Hal ini sesuai dengan penelitian Darmansyah et al. (2013) yang menjelaskan bahwa penggunaan pupuk organik berpengaruh nyata dan positif terhadap produksi kubis. Hal ini dimungkinkan petani dalam menggunakan pupuk organik penelitian sudah cukup baik, selain itu keadaan unsur hara tanahnya masih cukup baik, sehingga dengan penambahan pupuk organik akan semakin meningkatkan produksi tanaman kubis.

Kapur

Hasil regresi penggunaan kapur menunjukkan bahwa nilai koefisien sebesar 0.0006 dengan tingkat signifikan sebesar 0.032 di mana nilainya < 0.05 sehingga dapat dikatakan nyata pada α = 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara pemberian kapur terhadap produksi kubis-kubisan di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur adalah positif dan nyata. Artinya, setiap penambahan kapur 1 kg akan meningkatkan produksi kubis-kubisan sebesar 0.0006 ton.

Pemberian kapur memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan produksi kubis-kubisan. Hal ini disebabkan kapur tersebut dapat menetralkan kemasaman tanah sehingga berakibat pada penyerapan unsur hara oleh tanaman. Hal ini sejalan dengan penelitian Saukani (2015) yang melaporkan bahwa adanya kombinasi antara pemberian pupuk kandang dan kapur memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan kubis bunga. Kombinasi tersebut mampu menyediakan unsur hara sehingga dapat memberikan produksi yang maksimal. Pestisida

(43)

Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur adalah positif dan tidak nyata. Artinya, setiap penambahan biaya pestisida Rp 1 akan meningkatkan produksi kubis-kubisan sebesar 1.03 x 10-7 ton.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa penggunaan pestisida tidak berpengaruh terhadap produksi kubis-kubisan, hal ini disebabkan petani di daerah penelitian kurang memperhatikan dosis pemakaian pestisida yang akan diberikan pada tanaman kubis. Hal ini sejalan dengan penelitian Arifatus dan Eko (2011) yang melaporkan bahwa pemakaian pestisida tidak berpengaruh secara tidak nyata terhadap produksi disebabkan petani dalam melakukan penyemprotan tidak melakukan takaran yang pasti dan hanya mengira-ngira takaran pestisida yang digunakan.

Jumlah Tenaga Terja

Hasil regresi jumlah tenaga kerja menunjukkan bahwa nilai koefisien sebesar 0.0048 dengan tingkat signifikan adalah sebesar 0.4726 di mana nilainya > 0.05 sehingga dapat dikatakan tidak nyata pada α = 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah tenaga kerja terhadap produksi kubis-kubisan di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur adalah positif dan tidak nyata. Artinya, setiap penambahan jumlah tenaga kerja 1 orang akan meningkatkan produksi kubis-kubisan sebesar 0.0048 ton.

Tenaga kerja tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi kubis-kubisan. Hal ini disebabkan petani di daerah penelitian membayar para pekerja dengan sistem borongan atau penggunaaan tenaga kerja yang berlebih. Penelitian ini sejalan dengan Andrea et al. (2012) yang menjelaskan bahwa penggunaan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi ubi kayu. Hal ini disebabkan petani menghitung upah untuk tenaga kerja secara borongan sehingga input tenaga kerja tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi ubi kayu.

Penyakit Bercak Alternaria

Hasil regresi serangan penyakit bercak Alternaria menunjukkan bahwa nilai koefisien sebesar -0.041 dengan tingkat signifikan sebesar 0.0619 di mana nilainya > 0.05 sehingga dapat dikatakan tidak nyata pada α = 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara serangan penyakit bercak daun Alternaria terhadap produksi kubis-kubisan di Daerah Agropolitan Kabupaten Cianjur adalah positif dan tidak nyata. Artinya, setiap penambahan serangan penyakit bercak Alternaria 1% akan menurunkan produksi kubis-kubisan sebesar 0. 41 ton.

Penyakit bercak daun Alternaria tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi kubis-kubisan. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung bahwa patogen ini hanya menyerang bagian daun yang sudah tua sehingga tidak mengganggu krop tanaman kubis-kubisan dan tidak terlalu berpengaruh terhadap produksi kubis-kubisan.

Penyakit Akar Gada

Gambar

Gambar 6 Gejala penyakit akar gada yang menyebabkan pembengkakan akar
Gambar  7 Spora P. brassicae yang diisolasi dari beberapa inang: kubis (a),
Gambar  9  Hifa dan konidia bercak daun Alternaria sp.: kubis (a), pakcoy (b),
Gambar  10 Gejala penyakit X. campestris yang menyebabkan daun bercak
+5

Referensi

Dokumen terkait