• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

IRMA ATIKA RANGKUTI 097005058 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

IRMA ATIKA RANGKUTI 097005058/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nomor Pokok : 097005058

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H) Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Suhaidi, S.H,M.H) (Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H

Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum

2. Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum

3. Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum

(5)

utang debitur. Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pemberian jaminan, seorang penjamin/guarantor memiliki hak istimewa tetapi biasanya kreditor akan meminta supaya penjamin melepaskan hak-hak istimewanya tersebut, padahal pemberian hak-hak istimewa tersebut adalah wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan, mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak perusahaan, dan untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Teknik Pengumpulan data melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan ditelit Alat Pengumpulan data yang dipergunakan berupa dokumen. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif.

Dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan diatur mengenai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penjamin/guarantor yang pengaturannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Hak istimewa seorang penjamin/guarantor tersebut memang dapat dihilangkan ketika melakukan perjanjian pemberian garansi/jaminan, namun hal ini merugikan penjamin/guarantor karena seolah-olah yang berutang adalah si penjamin/guarantor, padahal yang berutang adalah debitor. Sebaiknya debitor yang melunasi utangnya tersebut terlebih dahulu, apabila jumlah pembayaran utang tidak mencukupi oleh harta debitor, maka penjamin/guarantor yang harus membayar terhadap sisa utang debitor tersebut.

(6)

off his debt. The provision which regulates the case of guarantor is stipulated in Chapter 17, from Article 1820 to Article 1850 of the Civil Code. In giving the guarantee, a guarantor has a privilege, but a creditor usually ask him to release the privilege. The fact is that the guarantor’s privilege is the realization of legal protection to the guarantor. This research was aimed to know the regulation of this privilige in the agreement of giving guarantee, the legal connection between a holding company and its subsidiary, and the holding company’s responsibility as the guarantor for its subsidiary’s bankruptcy in the agreement of giving guarantee.

The method of the research was judicial formative by conducting library research or secondary data which consisted of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The data were gathered by using scientific documents or books to obtain theoritical framework, such as positive legal materials. The device of gathering the data was documents. The data were analyzed qualitatively.

The agreement of giving the guarantee regulates the guarantor’s privilige. This is in accordance with the provisions in the Civil Code. In reality, the guarantor’s privilige can be eliminited when the agreement of giving the guarantee is signed, but this will harm the guarantor because it seems that he is the one who owes and not the debtor. It is recommended that the debtor should pay off his debt; if he fails to do it, then the guarantor will pay off the rest of the debtor’s debt.

(7)

dengan rahmat dan hidayatnya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan.

Tesis ini berjudul Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan, penulis berharap kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.

Penulis yakin dengan pepatah yang mengatakan “tiada gading yang tak retak” artinya bahwa tiada manusia yang luput dari kesalahan yang diperbuatnya, oleh karena itu penulis akan dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang bersifat konstruktif dan edukatif demi kesempurnaan penulisan tesis yang penulis buat ini.

Di dalam hal pembuatan tesis ini penulis yakin tidak akan terselesaikan begitu saja tanpa adanya arahan, bimbingan, dorongan, motivasi dari orang-orang yang ada disekitar penulis, baik yang bersifat moril ataupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih secara khusus kepada yang terhormat:

1. Bapak, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SP.A(K), selaku

Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu

Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program

(8)

Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H, selaku Komisi Pembimbing Utama

Penulis.

5. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Kedua Penulis.

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Ketiga

penulis.

7. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum selaku Komisi Penguji Penulis.

8. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H, M.Hum selaku Komisi Penguji Penulis.

Yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan arahan, bimbingan,

petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan penulisan ini

hingga bisa terselesaikan. Atas segala bantuan tersebut, penulis berdoa kepada Allah

Swt agar para pembimbing dan para penguji penulis senantiasa mendapat lindungan,

rahmat, hidayah dan kasihNya dan senantiasa mendapatkan kebahagiaan di dunia

dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya sebagai kalangan akademisi

dan di akhirat kelak.

Selanjutnya penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Darma Yamin Rangkuti dan Ibunda penulis

Wardah, S.Pd atas doa, kasih sayang, cinta, bimbingan, motivasi dan perhatian

(9)

2. Adik Muhammad Ridho Luthfi Rangkuti, S.H dan Muhammad Taufik Akbar

Rangkuti semoga senantiasa dalam lindungan Allah Swt dan senantiasa

dimudahkan segala cita-citanya.

3. Briptu Rivai Irwan atas kesabaran dan motivasi yang diberikan.

4. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan pada Program Studi magister Ilmu Hukum

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Semua Pihak yang tak mampu penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah kata pengantar dari penulis ini. Akhir kata dengan segala

kekurangan dan segala keterbatasan penulis berharap semoga penulisan tesis ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.

Medan, Juli 2011

Penulis

(10)

Nama : Irma Atika Rangkuti

Tempat/Tanggal Lahir : Perdagangan, 06 September 1987

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : 1. SD Satrya Budi Perdagangan (1993-1999)

2. SLTP Negeri 1 Bandar Perdagangan (1999-2002)

3. SMU Al-Azhar Medan (2002-2005)

4. S-1 Fakultas Hukum UISU (2005-2009)

(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A...Latar Belakang ... 1

B...Permasa lahan ... 9

C...Tujuan Penelitian ... 9

D...Manfaat Penelitian ... 10

E...Keaslian Penelitian ... 10

F...Kerangk a Teori dan Konsepsi... 11

(12)

G. Metode Penelitian... 24

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 25

2. Sumber Data... 26

3. Tekhnik Pengumpulan Data... 27

4. Analisis Data ... 28

BAB II: PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI... 29

A...Perjanjia n Pemberian Garansi/jaminan ... 29

B...Pentingn ya Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan... 33

C...Akibat Hukum Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan ... 38

(13)

... 46

BAB III: HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN

ANAK PERUSAHAAN ... 50

A...Induk

Perusahaan dan Anak Perusahaan ... 50

1... Induk

Perusahaan ... 50

2...Anak

Perusahaan ... 54

B...Hubung

an Hukum Induk Perusahaan Dengan Anak

Perusahaan... 58

BAB IV: TANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN SEBAGAI

PENJAMIN/GUARANTOR TERHADAP KEPAILITAN

ANAK PERUSAHAAN DALAM PERJANJIAN

PEMBERIAN GARANSI. ... 70

A...Kedudu

(14)

Guarantor Terhadap Kepailitan Anak Perusahaan Dalam

Perjanjian Pemberian Garansi ... 75

C.Kasus Induk Perusahaan (PT. Ometraco Corp. Tbk)

Sebagai Penjamin/Guarantor (Corporate Guarantee)

Terhadap Kepailitan Anak Perusahaan (PT. Ometraco

Multi Artha). ... 81

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN... 90

A...Kesimp

ulan ... 90

B...Saran

... 94

(15)

utang debitur. Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pemberian jaminan, seorang penjamin/guarantor memiliki hak istimewa tetapi biasanya kreditor akan meminta supaya penjamin melepaskan hak-hak istimewanya tersebut, padahal pemberian hak-hak istimewa tersebut adalah wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan, mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak perusahaan, dan untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Teknik Pengumpulan data melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan ditelit Alat Pengumpulan data yang dipergunakan berupa dokumen. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif.

Dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan diatur mengenai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penjamin/guarantor yang pengaturannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Hak istimewa seorang penjamin/guarantor tersebut memang dapat dihilangkan ketika melakukan perjanjian pemberian garansi/jaminan, namun hal ini merugikan penjamin/guarantor karena seolah-olah yang berutang adalah si penjamin/guarantor, padahal yang berutang adalah debitor. Sebaiknya debitor yang melunasi utangnya tersebut terlebih dahulu, apabila jumlah pembayaran utang tidak mencukupi oleh harta debitor, maka penjamin/guarantor yang harus membayar terhadap sisa utang debitor tersebut.

(16)

off his debt. The provision which regulates the case of guarantor is stipulated in Chapter 17, from Article 1820 to Article 1850 of the Civil Code. In giving the guarantee, a guarantor has a privilege, but a creditor usually ask him to release the privilege. The fact is that the guarantor’s privilege is the realization of legal protection to the guarantor. This research was aimed to know the regulation of this privilige in the agreement of giving guarantee, the legal connection between a holding company and its subsidiary, and the holding company’s responsibility as the guarantor for its subsidiary’s bankruptcy in the agreement of giving guarantee.

The method of the research was judicial formative by conducting library research or secondary data which consisted of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The data were gathered by using scientific documents or books to obtain theoritical framework, such as positive legal materials. The device of gathering the data was documents. The data were analyzed qualitatively.

The agreement of giving the guarantee regulates the guarantor’s privilige. This is in accordance with the provisions in the Civil Code. In reality, the guarantor’s privilige can be eliminited when the agreement of giving the guarantee is signed, but this will harm the guarantor because it seems that he is the one who owes and not the debtor. It is recommended that the debtor should pay off his debt; if he fails to do it, then the guarantor will pay off the rest of the debtor’s debt.

(17)

A.Latar Belakang

Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut

sejalan dengan kegiatan perusahaan yang secara terus menerus dan tanpa putus

serta sifatnya terbuka. Transaksi dilakukan sebagai tempat untuk menampung

bertemunya suatu kesepakatan yang disebut perjanjian.1 Salah satu perjanjian

yang dilakukan adalah perjanjian kredit. Perjanjian kredit sering digunakan dalam

perusahaan untuk memenuhi kekurangan modal perusahaan tersebut sehingga

perusahaan dapat melaksanakan kegiatan usahanya.

Perjanjian kredit adalah “perjanjian pokok atau perjanjian induk yang

mengatur hak dan kewajiban antara kreditor dan debitor. Kreditor berkewajiban

mencairkan pinjaman sebesar pinjaman yang disetujui dan debitor berkewajiban

mengembalikan pinjaman sesuai jadwal waktu yang ditetapkan dalam perjanjian

kredit.”2

Perjanjian kredit dapat berupa pinjaman kredit dari bank ataupun fasilitas

pinjaman dari kreditur. Namun bagi para kreditur khususnya Bank, setiap

pemberian kredit atau pinjaman memiliki resiko, walaupun telah dilakukan

berbagai analisis secara seksama. Resiko tersebut seperti debitor tidak mampu

       1

Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Dalam Gugatan Perdata di

Pengadilan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 5.  2 

(18)

pendapatan usaha debitor atau memang debitor sengaja tidak mau membayar

karena karakter debitor yang tidak baik. Oleh karena itu perlu pengamanan dalam

pengembaliannya. Bentuk pengamanan ini dalam prakteknya dilakukan dalam

pemberian garansi/jaminan.3

Keberadaan garansi/jaminan merupakan upaya guna memperkecil risiko,

dimana garansi/jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu

kepastian hukum akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi

oleh debitur atau oleh penjamin debitur.4 Dalam pemberian garansi/jaminan

sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemberian garansi/jaminan yang

dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan pemberian garansi/jaminan yang

dilakukan oleh badan hukum (corporate guarantee). Pada dasarnya keduanya

memiliki prinsip yang sama, karena baik hak dan kewajiban yang dimiliki

pemberi garansi (penjamin) pada kedua jenis penanggungan tersebut identik,

hanya saja subjek pelakunya berbeda.5

Pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal

guarantee) dan pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan

(corporate guarantee), berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga

(guarantor/penjamin), bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan       

3

Megarita, Upaya Mencegah Timbulnya Kredit Bermasalah, Jurnal Hukum USU vol 12 No. 1, Februari 2007, hal. 65. 

4

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Kebendaan Lain Yang

Melekat Pada Tanah dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1996), hal. 23. 

5

(19)

melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan

kewajiban debitor tersebut. Adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditor dapat

menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau

tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.

Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab

ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1820 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Penjamin/Guarantee adalah suatu perjanjian/persetujuan dengan mana seorang

pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi

perikatan si berutang manakala orang itu sendiri tidak dapat memenuhinya.”

Perjanjian pemberian garansi/jaminan ini bersifat sukarela dan accesoir.

Dikatakan sukarela karena pihak ketiga secara sukarela bersedia mengikatkan

dirinya untuk memberikan jaminan bahwa ia akan membayar utangnya kepada

debitor, bahkan dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitor.6 Bersifat accesoir

artinya bahwa perjanjian penjaminan utang tidak akan ada tanpa adanya suatu

perjanjian pokok,7 Penjaminan juga tidak dapat dilakukan melebihi kewajiban

debitor sebagaimana tercantum dalam perjanjian pokok. Hal ini diatur pada Pasal

1822 KUHPerdata.8 Sebagai perjanjian accesoir, eksistensi perjanjian

      

6 

Pasal 1823 KUHPerdata. 

7

Pasal 1821 KUHPerdata. 

8

(20)

Pada umumnya perjanjian pendahuluan ini berupa perjanjian utang

piutang, perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit, atau perjanjian

lainnya yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Kehadiran perjanjian

utang piutang tersebut menjadi dasar timbulnya perjanjian garansi/jaminan, atau

sebaliknya dengan berakhirnya perjanjian pendahuluan, berakhir pula perjanjian

jaminannya. Dalam perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula antara debitor

dan kreditor bahwa pinjamannya tersebut dibebani pula dengan suatu

garansi/jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan garansi/jaminan,

yang dapat berupa pengikatan jaminan kebendaan atau jaminan perseorangan.9

Sebagai perjanjian ikutan, eksistensi perjanjian garansi/jaminan amat

tergantung kepada perjanjian pendahuluannya yang menjadi dasar timbulnya

pengikatan jaminan. Artinya perjanjian garansi/jaminan dimaksudkan untuk

mengubah kedudukan kreditor-kreditornya menjadi kreditor preferent. Akibatnya

kreditor akan merasa aman dan memperoleh kepastian atas pelunasan pinjaman

yang diberikan olehnya kepada debitor, karena diikuti dengan pemberian

garansi/jaminan kepada kreditor. Untuk itulah dikatakan bahwa perjanjian

pemberian garansi/jaminan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian

       9

(21)

Apabila debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada kreditor

maka salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang

piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap kreditur yang tidak

terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada

pengadilan sesuai dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang.11

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai pemberian garansi

(penjaminan). Dalam istilah Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang disebut penanggungan yang diatur dalam Pasal

141, Pasal 164 dan Pasal 165. Dari bunyi pasal-pasal tersebut tidak tertulis bahwa

penjamin/guarantor tidak dapat diajukan pernyataan pailit terhadapnya. Hal ini

senada dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850

KUHPerdata yang mengatur mengenai pemberian garansi (penjaminan). Pasal

1820 menyatakan bahwa “Penanggungan/penjaminan adalah suatu persetujuan

dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan kreditor, mengikatkan diri

untuk memenuhi perikatannya debitor manakala orang ini sendiri tidak       

10

Ibid., hal. 86-87. 

11 

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

(22)

berkewajiban melunasi utang debitor kepada kreditor atau para kreditornya

apabila tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih.

Oleh karena penjamin/guarantor adalah debitor, maka penjamin/guarantor dapat

dinyatakan pailit berdasarkan Undang-Undang Kepailitan.12

Apabila penjamin/guarantor dapat dinyatakan pailit, bagaimana dengan

hak istimewa yang dimilikinya berdasarkan ketentuan Pasal 1831 KUHPerdata,

yang menyatakan “penjamin tidaklah diwajibkan membayar kepada kreditor,

selain jika debitor lalai, sedangkan benda-benda debitor ini harus lebih dahulu

disita dan dijual untuk melunasi utangnya”. Hak istimewa ini memungkinkan

bahwa kekayaan penjamin/guarantor hanya merupakan cadangan untuk menutup

sisa utang yang tidak dapat ditutup dengan kekayaan debitor. Selain hak istimewa

tersebut, penjamin/guarantor juga memiliki hak-hak istimewa lain, yaitu hak

untuk meminta pemecahan utang apabila terdapat lebih dari satu orang penjamin

yang dimuat dalam Pasal 1837 KUHPerdata dan hak dibebaskan dari penjaminan

bilamana karena salahnya kreditor, si penjamin tidak dapat menggantikan

hak-haknya Hipotik/Hak Tanggungan dan hak-hak istimewa yang dimiliki kreditor

sebagaimana dimuat dalam Pasal 1848 dan 1849 KUHPerdata.13

      

12 

Ibid., hal.98. 

13

(23)

wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Memang

dalam hal ini KUHPerdata juga memberikan peluang bagi guarantor/penjamin

secara sukarela melepaskan hak istimewanya tersebut, yang memberikan kepada

kreditor suatu kedudukan yang lebih menguntungkan. Dalam perkara-perkara

kepailitan selama ini, lepasnya hak istimewa dari guarantor/penjamin tersebut

kerap menjadi sebab dimohonkannya guarantor/penjamin untuk pailit. Oleh

karena itu, masalah dapat atau tidaknya penjamin/guarantor dimintakan pailit

harus dikaitkan dengan persoalan, apakah penjamin/guarantor yang bersangkutan

sesuai kemungkinan yang diberikan padanya oleh Pasal 1832 KUHPerdata,

melepaskan hak istimewa yang dimiliki olehnya sebagai penjamin/guarantor

berdasarkan Pasal 1831 KUHPerdata.14

Salah satu contoh pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh

perusahaan (corporate guarantee) adalah pada kasus No. 05/Pailit/1998/PN

Niaga, dalam hal ini PT. Ometraco (induk perusahaan) sebagai pemberi garansi

(guarantor) atas utang anak perusahaannya yaitu PT. Ometraco Multi Artha,

karena PT. Ometraco Multi Artha (anak perusahaannya) tersebut lalai, maka PT.

Ometraco selaku guarantor yang dalam hal ini melepaskan hak istimewanya

dengan mengikatkan dirinya secara tanggung renteng yang tertuang dalam

       14 

(24)

induk perusahaan bertanggung jawab kepada kreditor terhadap pelunasan utang

anak perusahaannya tersebut.

Dalam perusahaan grup (holding company) terdapat induk perusahaan dan

anak perusahaan, hubungan hukum yang timbul antara induk perusahaan dengan

anak perusahaannya merupakan hubungan antara pemegang saham (induk

perusahaan) dengan anak perusahaan. Salah satu fungsi kepemilikan saham induk

perusahaan pada anak perusahaan adalah kepemilikan saham pada anak

perusahaan memberikan hak suara kepada induk perusahaan untuk

mengendalikan anak perusahaan melalui berbagai mekanisme pengendalian yang

ada, seperti rapat umum pemegang saham untuk mendukung konstruksi

perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi.15

Meskipun dari sudut kegiatan ekonomi perusahaan grup tersebut

merupakan suatu kesatuan, namun dari segi yuridis masing-masing perusahaan

anggota grup tersebut mempunyai karakteristik tersendiri dalam pengertian

bahwa masing-masing perusahaan yang bergabung dalam perusahaan grup

adalah merupakan badan-badan hukum yang berdiri sendiri. Apabila salah satu

anak perusahaan memperoleh kredit dari kreditor, maka keterikatan secara yuridis

       15

Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

(25)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi?

2. Bagaimana hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak

perusahaan?

3. Bagaimana tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor

terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian

garansi.

2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak

perusahaan.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai

penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian

pemberian garansi.

      

16

(26)

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan tesis ini juga diharapkan

bermanfaat untuk berbagai hal di antaranya:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara

teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum

kepailitan.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Memberikan sumbangan kepada penegak hukum terutama dalam

menyelesaikan masalah hukum yang berkenaan dengan hukum kepailitan.

b. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran

hukum tentang bagaimana hak istimewa dalam perjanjian pemberian

garansi oleh induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam kepailitan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis

di perpustakaan Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum ada

penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup

penelitian ini, yaitu mengenai “Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian

(27)

Akan tetapi ada tesis terdahulu yang menyangkut dengan masalah kepailitan,

yaitu:

1. Halida Rahardini, tesis pada tahun 2002 dengan judul “Analisis Hukum

Terhadap Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadi Kepailitan

Perseroan.”

2. Atmawati, tesis pada tahun 2003 dengan judul “Penyelesaian Utang

Piutang Melalui Hukum kepailitan Suatu Antisipasi terhadap Kredit

Bermasalah.”

Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini

tidaklah sama dengan penelitian tersebut, Oleh karena itu penelitian ini adalah

asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif, dan

terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya

secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun

sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Teori yang dipergunakan dalam membahas permasalahan yang

dirumuskan dalam penelitian ini adalah teori hukum tentang keadilan yang

dikemukakan oleh Aristoteles. Teori keadilan dipergunakan karena relevan

dengan filosofi dari kepaillitan itu sendiri yakni menciptakan keadilan bagi

(28)

mampu memelihara keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang

dilindungi dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi

bagiannya.17 Aristoteles juga mengemukakan dua macam keadilan yaitu:18

a. Keadilan Distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap

orang jatah menurut jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang

sama banyaknya.

b. Keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang

sama banyaknya tanpa mengingat jasa-jasa perorangan.

Beliau juga mengatakan keadilan adalah perlakuan yang sama bagi

mereka yang sederajat di depan hukum.19 Seseorang berlaku tidak adil apabila

orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya, orang yang tidak

menghiraukan hukum adalah tidak adil karena semua hal yang didasarkan pada

hukum dapat dianggap sebagai adil.20

Senada dengan hal tersebut John Rawls berpendapat keadilan adalah

ukuran dari keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan

bersama.21 Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena

hanya dengan keadilan ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi

benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu perlu aturan-aturan.

       17

M. Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, (Medan: USU, 2010), hal. 24.  

18

Ibid. 

19

Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wishnu Bhakti, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), hal. 4. 

20

Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Filsafat Hukum, (Medan: USU, 2010), hal. 5-12. 

21

(29)

Disinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju,

hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.22

       

Menurut W. Friedman suatu Undang-Undang haruslah memberikan

keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di

antara pribadi-pribadi tersebut.23 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith

(1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori

hukum dari Glasgow University pada tahun 1750,24 telah melahirkan ajaran

mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan: “tujuan keadilan adalah untuk

melindungi diri dari kerugian” (the gold of justice is to secure from injury).25

Kepailitan menurut merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang

mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh

pengadilan dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak

dapat membayar utangnya.26 Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan

harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para

kreditor akan berlomba dengan segala cara baik yang halal maupun tidak, untuk

mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan

mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis, hal ini

  22

Darji Darmodiharjo dan shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum ( Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 159.  23 

W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori

Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1993), hal. 7. 

24 

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,

Pidato pada pengukuhan sebagai Guru Besar, ( USU-Medan, 17 April 2004), hal. 4-5.  

25 

Ibid., hal. 9  26 

(30)

sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi

maksud dan tujuan Undang-Undang Kepailitan.27 Dengan kehadiran

Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang diharapkan antara debitor dan kreditor dapat mengetahui apa

yang menjadi hak dan kewajiban mereka masing-masing sehingga terwujudlah

keadilan diantara mereka, karena salah satu filosofi hukum kepailitan tersebut

adanya nilai keadilan. Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya

mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:28

a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa

debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas

semua utang-utangnya kepada semua krediturnya.

b. Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan

eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.

Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga

atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat

asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 KUH

Perdata. Adapun asas hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah” merupakan

jantung peraturan hukum, karena selain sebagai landasan yang paling luas bagi

       27

Rudhy A. Lontoh, et. al., Penyelesaian Utang Piutamg Melalui Pailit Atau Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, ( Bandung: Penerbit Alumni, 2001), hal. 75-76. 

28

(31)

olahirnya suatu peraturan hukum, juga sebagai alasan (dasar pemikiran) bagi

lahirnya suatu peraturan hukum.”29

Keberadaan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan

bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas

kepailitan yakni:

1. Asas Keseimbangan

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan

perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang

dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga

kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan

yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga

kepailitan oeh kreditur yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan

perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan

mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang

berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya

kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran       

29 

(32)

atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan

kreditur lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa

sistem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem

hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.30

Selain teori keadilan yang dipergunakan dalam membahas permasalahan

yang dirumuskan, dalam penelitian ini juga menggunakan teori pemberian

garansi/jaminan. Dalam memberikan pinjaman berupa kredit dari bank atau

fasilitas pinjaman dari kreditor kepada debitor selalu mengandung resiko,31 oleh

karena itu perlu pengamananan dalam pengembaliannya. Bentuk pengamanan ini

dalam prakteknya dilakukan dalam pemberian jaminan. Adanya jaminan tersebut

dapat memberikan rasa aman bagi bank selaku pihak pemberi kredit, yaitu bila

debitor gagal melunasi utangnya, ada jaminan dari seorang penjamin yang akan

melunasi utang debitor tersebut.32

Menurut Sutan Remy Sjahdeini untuk memantapkan keyakinan kreditor

bahwa debitor akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka

waktu pinjaman berakhir, dalam hukum terdapat beberapa asas menyangkut

jaminan. Asas yang pertama menentukan apabila debitor ternyata pada waktunya

      

30

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 14-17. 

31

Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar dan Tekhnik Management Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), hal. 4.  

32

Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa Kritis Putusan-Putusan

(33)

tidak melunasi utangnya kepada kreditor karena suatu alasan tertentu, maka harta

kekayaaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang

telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi agunan atau jaminan

utangnya yang dapat dijua untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini di

dalam KUHPerdata dituangkan dalam Pasal 1131 yang bunyinya: “Segala harta

kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang

sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk

segala perikatan debitor.”33

Pasal 1131 KUHPerdata tersebut menentukan, harta kekayaan debitor

bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang

diperoleh dari perjanjian kredit diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua

kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. Oleh karena Pasal 1131

KUHPerdata menentukan, semua harta kekayaan (aset) debitor menjadi agunan

bagi pelaksanaan kewajibannya bukan kepada kreditor tertentu saja tetapi juga

semua kreditor lainnya, maka perlu ada aturan main tentang cara membagi aset

debitor itu kepada para kreditornya apabila aset itu dijual karena tidak dapat

membayar utang-utangnya. Aturan main itu ditentukan oleh Pasal 1132

KUHPerdata, yang merupakan asas kedua yang menyangkut jaminan.34

Secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan

perorangan dan jaminan kebendaan. Pada jaminan kebendaan, debitor atau pihak

      

33

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 4. 

34

(34)

yang menerima pinjaman, memberi jaminan benda kepada kreditor atau pihak yang

memberi pinjaman sebagai jaminan atas utang yang dipinjam debitor. Jadi apabila

debitur tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditor dapat

menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitor tersebut untuk

melunasi utangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan dalam praktek biasanya

yang menjadi penjamin/guarantor adalah orang atau perusahaan yang ada hubungan

kepentingan di bidang bisnis antara debitor dengan penjamin/gurantor tersebut.

bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan,

dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka

penjamin/guarantor tersebut bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut.

Dengan adanya jaminan tersebut maka pihak kreditor dapat menuntut kepada

penjamin untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau tidak mampu untuk

membayar utangnya tersebut.35

Berkaitan dengan pemberian garansi/ jaminan dalam perusahaan yang

biasanya dilakukan oleh penjamin/guarantor dalam perjanjian pemberian kredit,

maka dengan adanya perjanjian pemberian garansi/jaminan, penjamin/guarantor

dapat melakukan kewajiban debitor apabila debitor tidak dapat melakukan

kewajibannya terhadap kreditor. Dan apabila penjamin tidak dapat melakukan

kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh kreditor. Jadi kepailitan

perusahaan sebagai debitor utama sangat berpengaruh kepada penjamin/guarantor.

       35

(35)

Namun penjamin/guarantor dalam hal ini mempunyai hak istimewa sehingga hak

istimewa penjamin/guarantor ini membawa akibat hukum bahwa penjamin/guarantor

tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum harta

kekayaan debitor disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya. Apabila

hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi hutangnya debitor, berarti

penjamin/guarantor hanya akan melunasi sisa kewajiban debitor yang belum

dipenuhinya kepada kreditor.36 Dengan adanya hak istimewa tersebut kedudukan

penjamin/guarantor tidak berubah menjadi debitor, sehingga penjamin merasa

terlindungi dan hal ini dirasa adil kepada penjamin/guarantor.

Dalam hal pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan

(corporate guarantee), yang biasanya induk perusahaan bertindak sebagai

penjamin/guarantor terhadap utang anak perusahaannya. Dalam hal ini kepadanya

berlaku doktrin piercing the corporate veil yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (2)

Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pertanggung jawaban

terbatas pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tidak berlaku dalam hal:

1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;

3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.

       36

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung

(36)

Doktrin ini mengartikan bahwa sungguhpun suatu badan hukum bertanggung

jawab secara hukum hanya terbatas harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal

tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus (piercing).37

Yahya Harahap mengemukakan walaupun secara normal pada perusahaan

grup tetap berlaku dasar prinsip tanggung jawab entitas terpisah (separate legal

entity) yang berujung pada prinsip tanggung jawab terbatas (limited liability) induk

perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan, akan tetapi dalam perseroan

yang bersifat grup, dimana perseroan anak:38

a. Dimodali oleh induk perusahaan, sehingga anak perusahaan tersebut

benar-benar di bawah permodalan induk perusahaan.

b. Dalam keadaan di bawah permodalan anak perusahaan tersebut, anak

perusahaan berada dalam keadaan tidak independen eksistensi ekonomi dan

perusahaanya.

c. Anak perusahaan itu semata-mata berperan dan berfungsi sebagai wakil

(agent) melakukan bisnis perusahaan grup.

Oleh karena itu dalam kasus perseroan grup yang demikian, induk perusahaan

bertanggung jawab terhadap utang anak perusahaan. Dalam kasus yang demikian,

anak perusahaan didominasi dan dijadikan alat oleh induk perusahaan, maka

induk perusahaan patut dan layak bertanggung jawab terhadap utang anak

      

37 

Munir Fuady, Hukum perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 61. 

38 

Yahya Harahap, Separate Entity, Limited Liability, dan Piercing The Corporate Veil, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26, No. 3 Tahun 2007, hal. 47.

(37)

perusahaan. Penerapan penghapusan tanggung jawab terbatas, sehingga tanggung

jawabnya menembus kepada induk perusahaan sesuai asas piercing the corporate

veil, berdasar alasan keadilan dan kepatutan dikarenakan doktrin piercing

corporate veil ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama

bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-sewenang atau tidak layak yang

dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak

ketiga ataupun yang timbul dari hubungan kontraktual.39

2. Konsepsi

Bagian kerangka konsepsional ini akan menjelaskan hal-hal yang

berkaitan dengan konsep yang digunakan dalam tesis ini, agar secara operasional

diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

1. Hak istimewa adalah hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut

agar harta kekayaan milik si berutang utama (debitor) terlebih dahulu

disita dan dijual/dilelang, jika hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak

cukup untuk melunasi hutangnya, kemudian baru harta kekayaan

penjamin,40 hak untuk meminta pemecahan utang,41dan hak untuk

dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya si kreditor.42

       39

Ibid. 

40

Pasal 1831 KUHPerdata. 

41

Pasal 1837 KUHPerdata. 

42

(38)

2. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.43

3. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau

Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.44

4. Kreditor preferen adalah golongan kreditor yang kedudukan hutangnya

mempunyai kedudukan yang istimewa dengan memiliki hak untuk

mendapatkan pelunasan lebih dahulu dari hasil penjualan lelang harta

pailit.45

5. Kreditor konkuren adalah kreditor-kreditor yang tidak termasuk dalam

golongan khusus/istimewa, pelunasan piutang mereka dicukupkan dengan

sisa hasil penjualan /pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian

golongan khusus dan istimewa.46

6. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.47defenisi yang

lebih jelas dikemukakan oleh subekti, dimana Ia memberikan perumusan

bahwa: “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji

kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal”.48

Dedi Harianto, Bahan Kuliah, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 4.  

46  Ibid,

47

Pasal 1313 KUHPerdata. 

48

(39)

7. Perjanjian pemberian garansi/Penjaminan adalah suatu persetujuan dimana

seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri

untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang itu sendiri tidak

memenuhinya.49

8. Induk perusahaan adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki

saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau

lebih perusahaan lain tersebut.50

9. Anak perusahaan adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus

dengan perseroan lainnya yang terjadi karena lebih dari lima puluh persen

sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya atau lebih dari lima puluh

persen suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham dikuasai oleh induk

perusahaannya dan atau kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan,

dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh induk

perusahaannya.51

10.Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam

jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing

baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari

(kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang

wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak

       49

Pasal 1820 KUHPerdata. 

50

Munir Fuady, Op. Cit., hal. 83. 

51 

(40)

kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan

debitor.52

11.Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menurut Kartini

Muljadi sebagaimana dikemukakan oleh Rudi A. Lontoh adalah

“pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi

utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian

utang kepada kreditor konkuren dan pada akhirnya jika dapat terlaksana

dengan baik debitor akan dapat memenuhi kewajibannya-kewajibannya

dan meneruskan usahanya.”53

12.Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah

pengawasan hakim pengawas.54 Suatu keadaan dimana seorang tidak

mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim,

hal ini diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun tekhnologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan

untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.

(41)

Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah

dikumpulkan.55

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka metodologi penelitian

yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang

menjadi induknya.56 Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan

upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan

metode tertentu.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian

yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan

kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif.57 Dengan pertimbangan bahwa

titik tolak penelitian untuk menganalisis hak istimewa dalam perjanjian

pemberian garansi dikaitkan dengan kepailitan anak perusahaan sesuai dengan

kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif yang mengaturnya.

Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut

dengan istilah penelitian doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang

menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the

       55

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 2005), hal. 5-6. 

56

Soerjono Soekanto dan sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64. 

57 

(42)

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan

(law as it decided by the jungle through judicial process).58

Sifat penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis, penelitian

bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,

menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.59

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier,

yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki60 seperti peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu peraturan

perundang-undangan di bidang hukum kepailitan yaitu Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

       58

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,

disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2. 

59 

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6. 

60

(43)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku

teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,

pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil

simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.61 Dalam

penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa

buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai

makalah yang berkaitan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder62

berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang

relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data.

Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan

dipilah-pilah guna memperoleh Pasal-Pasal (di dalam Undang-Undang Nomor

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berisi kaedah-kaedah hukum

yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan di       

61

Jhony Ibrahim, op.cit, hal. 296. 

(44)

sistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan

permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut

akan dianalisis secara induktif-kualitatif untuk sampai pada kesimpulan,

sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.63

4. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dianalisis

secara normatif kualitatif, analisis tersebut dilakukan dengan memilih

peraturan-peraturan hukum tentang hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi oleh

induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam kepailitan. Langkah

selanjutnya membuat sistematika kaidah-kaidah hukum dalam peraturan tersebut

sehingga menghasilkan klasifikasi yang relevan dengan objek permasalahan yang

dibahas dalam penelitian ini. Kemudian analisis dilanjutkan dengan metode

deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum

terhadap permasalahan konkret yang dihadapi sehingga dapat menjadi acuan dan

pertimbangan hukum dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang

dihadapi.

      

63 

(45)

A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan

Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

mendahuluinya, yaitu perjanjian utang piutang yang disebut perjanjian pokok

karena tidak mungkin ada perjanjian pemberian garansi/jaminan tanpa ada

perjanjian pokoknya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian

pemberian garansi/jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti

perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai, maka perjanjian

garansi/jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian seperti ini disebut dengan

accessoir.

Kedudukan perjanjian pemberian garansi/jaminan sebagai perjanjian yang

bersifat accessoir (tambahan) mempunyai ciri-ciri:64

a. Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok;

b. Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok;

c. Ikut beralih dengan berlihnya perjanjian pokok.

Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan kredit,

jaminan yang ideal (baik) itu adalah:65

      

64 

Edy Putra Tje ‘Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberti, 1985), hal. 41.  

65

(46)

1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang

memerlukannya;

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan

(meneruskan) usahanya;

3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu

mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si debitur.

Adapun perjanjian pemberian garansi/jaminan ini bersifat accesoir, yang

berarti bahwa perjanjian pemberian garansi/jaminan ini dapat terjadi atau

terbentuk karena adanya perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok. Dalam hal

ini jelas bahwa harus tetap ada perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok yang

menjadi landasan atau dasar terbentuknya perjanjian pemberian garansi/jaminan

ini. Namun seorang penjamin/guarantor tidak dapat mengikatkan untuk syarat

yang lebih berat daripada perjanjian pokok, artinya perjanjian pemberian

garansi/jaminan ini hanya dapat dibentuk dan sebagai suatu keseluruhan syarat

dalam perjanjian pokok. Namun tidak boleh melebihi dari perjanjian pokok,

seperti yang disebutkan bahwa tidak mungkin ada borgtocht untuk kewajiban

perikatan yang isinya lain daripada menyerahkan sejumlah uang atau melakukan

atau tidak melakukan sesuatu. Orang hanya menjamin perikatan sekunder yang

muncul dari perikatan bersangkutan.66

      

66 

(47)

Hal ini tidak akan mengakibatkan batal secara langsung terhadap perjanjian

pemberian garansi/jaminan atau perjanjian penanggungan itu, melainkan

perjanjian pemberian garansi/jaminan itu hanya sah sebatas apa yang diliputi atas

syarat dari perjanjian pokok, selain itu tidak sah (dapat dibatalkan).67 Hal ini logis

bila dilihat dari sifat perjanjian pemberian garansi/jaminan itu sendiri, juga

didukung oleh dasar bahwa suatu perikatan dalam suatu perjanjian yang sifatnya

tunduk kepada suatu perjanjian pokok, tidak bisa melebihi perikatan-perikatan

yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu. Sesuai dengan sifat accesoir dari

perjanjian pemberian garansi/jaminan ini, maka jaminan ini turut beralih apabila

pokoknya beralih. Masalah peralihan ini baru berarti apabila disertai dengan

diberikan kepada orang lain yang juga mengalihkan perjanjian pokoknya. Dalam

hal ini hak kreditor tidak mengalami perubahan yang berarti sepanjang tidak

ditentukan lain. Dalam rumusan yang diberikan oleh Pasal 1820 KUH Perdata

mengenai penjamin/borgtocht mengandung tiga unsur, yaitu:68

1. Ciri sukarela

Seorang pihak ketiga yang sama sekali tidak mempunyai urusan dan

kepentingan apa-apa dalam suatu persetujuan yang dibuat antara debitor dan

kreditor, dengan sukarela membuat “pernyataan mengikatkan diri” akan

menyanggupi pelaksanaan perjanjian, apabila nanti si debitor tidak

melaksanakan pemenuhan kewajiban terhadap kreditor.

       67

Megarita, Op. Cit., hal. 66. 

68 

(48)

2. Ciri subsidair

Yakni dengan adanya pernyataan mengikatkan diri memenuhi perjanjian dari

borg/ penjamin, seolah-olah konstruksi perjanjian dalam hal ini menjadi dua,

tanpa saling bertindih. Yang pertama ialah perjanjian pokok itu sendiri antara

kreditor dan debitor. Perjanjian yang kedua, yang kita anggap perjanjian

subsidair ialah perjanjian pemberian garansi/ jaminan tersebut antara si

penjamin/guarantor dengan pihak kreditor.

3. Ciri accesoir

Sebenarnya dengan memperhatikan ciri subsidair diatas, sudah jelas terlihat

accesoir yang melekat atau menempel pada perjanjian pokok yang dibuat oleh

debitor dan kreditor. Apabila debitor sendiri telah melaksanakan

kewajibannya kepada debitor, hapuslah kewajiban penjamin/guarantor.

4. Perjanjian pemberian garansi/jaminan batal, apabila perjanjian pokoknya

batal. Dalam prakteknya untuk mencegah agar perjanjian pemberian

garansi/jaminan tidak batal disebabkan batalnya perjanjian pokok, maka

perjanjian pemberian garansi/jaminan selalu dikumulasikan dengan pemberian

indemnity ex Pasal 1316 KUHPerdata. Pemberian indemnity ex Pasal 1316

KUHPerdata adalah perjanjian pokokyang berdiri tersendiri di samping

perjanjian utang piutangnya, sehingga bila perjanjian utang piutang itu batal,

maka pemberian indemnity ini tidak akan ikut menjadi batal.

Lahirnya suatu perjanjian pemberian garansi/penjaminan dapat juga dikatakan

(49)

oleh perseorangan (personal guarantee) maupun suatu badan usaha (corporate

guarantee). Seperti yang telah disebutkan lahirnya perjanjian pemberian

garansi/jaminan ini harus diikuti dengan perjanjian pokok terlebih dahulu, baik itu

perjanjian kredit bank maupun perjanjian lainnya. Sesuai dengan sifat dari

perjanjian pemberian garansi/jaminan itu sendiri yang senantiasa diikuti dan

didahului oleh perjanjian pokok. Jadi jelas bahwa perjanjian pemberian

garansi/jaminan timbul sebagai adanya akibat perjanjian pokok yang

menyebutkan secara khusus adanya penjaminan tersebut.

B. Pentingnya Perjanjian pemberian Garansi/Jaminan

Setiap kredit yang diberikan oleh Bank atau fasilitas kredit yang diberikan

oleh kreditor lainnya kepada debitor diharapkan oleh bank atau kreditor

lainnya untuk dibayar kembali oleh debitor tepat pada waktunya, Setelah

masa pembayaran kredit tiba, Bank mengharapkan agar debitor membayar

kredit dan bunga yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit.

Kredit yang diberikan oleh Bank biasanya disertai dengan adanya pemberian

garansi/jaminan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 8 Ayat (1) Undang-undang

No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang berbunyi “Dalam memberikan

kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank umum wajib

mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan

kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau

(50)

Oleh karena itu pada umumnya Bank menggunakan instrumen analisa

yang terkenal dengan the fives of credit atau 5C, yaitu:69

1. Character (watak)

Watak dapat diartikan sebagai kepribadian, moral dan kejujuran pemohon

kredit. Debitor yang mempunyai watak yang tidak baik seperti tidak jujur,

kemungkinan besar akan melakukan penyimpangan dalam menggunakan

kredit. Kredit yang digunakan tidak sesuai tujuan yang ditetapkan dalam

perjanjian kredit akibatnya proyek yang dibiayai dengan kredit tidak

menghasilkan pendapatan sehingga mengakibatkan kredit macet.

2. Capital (modal)

Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis

sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya.

Seorang yang akan mengajukan permohonan kredit baik untuk

kepentingan produktif atau konsumtif maka orang itu harus memiliki

modal. Pemohon kredit yang berbentuk badan usaha, besarnya modal yang

dimiliki pemohon kredit ini dapat dicermati dari laporan keuangannya.

Semakin besar jumlah modal yang dimiliki maka menunjukkan

perusahaan tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban

membayar utangnya.

       69

(51)

3. Capacity (kemampuan)

Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran, debitor harus memiliki

kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadi jika

debitor perorangan atau pendapatan perusahaan bila debitor berbentuk

badan usaha.

4. Collateral (jaminan)

Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna

menjamin kepastian pelunasan utang jika di kemudian hari debitor tidak

melunasi utangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil

pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu.

Jaminan meliputi jaminan yang bersifat materil berupa barang atau benda

yang bergerak atau benda yang tidak bergerak misalnya tanah, bangunan,

mobil, motor, saham dan jaminan yang bersifat immateril seperti jaminan

pribadi.

5. Condition of Economy (kondisi ekonomi)

Selain faktor-faktor di atas, yang perlu mendapat perhatian penuh dari

analis adalah kondisi ekonomi negara. Kondisi ekonomi adalah situasi

ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu

diberikan oleh Bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada

kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon

kredit untuk melunasi utangnya. Bermacam-macam kondisi diluar

(52)

ekonomi yang dapat mempengaruhi kemampuan pemohon kredit

mengembalikan utangnya sering sulit untuk diprediksi. Kondisi ekonomi

negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan

pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada kemampuan

pemohon kredit untuk melunasi utangnya.

Bank tidak akan memberikan kredit kepada siapapun tanpa disertai dengan

garansi/jaminan dengan disyaratkan adanya suatu garansi/jaminan di dalam

permohonan kredit. Diharapkan apabila ternyata di kemudian hari debitor

lalai yaitu tidak membayar utang beserta bunga, maka garansi/jaminan inilah

yang akan dipergunakan oleh pihak kreditor (bank) untuk melunasi utang

debitor. Karena sesuai dengan pengertian dari Pasal 1820 KUHPerdata yang

menentukan bahwa “pemberian garansi/penjaminan adalah suatu

perjanjian/persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si

berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang

manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.”70

Pemberi garansi/penjamin ini merupakan jaminan berupa orang

pribadi/badan hukum dengan tujuan melindungi kepentingan kreditor atau

Bank yang bersifat umum artinya dapat mengakibatkan seluruh harta

kekayaan pemberi garansi/penjamin menjadi jaminan dari debitor yang

bersangkutan. Perjanjian pemberian garansi/jaminan dapat diminta oleh

kreditor dengan menunjuk pemberi garansi/penjamin tertentu, atau yang       

70

(53)

diajukan debitor. Dalam pemberian garansi/jaminan ini bukan berarti setiap

orang atau badan hukum bisa menjadi penjamin, melainkan orang atau badan

hukum yang betul-betul mampu membayar utangnya debitor. Agar dapat

menjadi pemberi garansi/penjamin seseorang atau badan hukum harus

memenuhi syarat-syarat yaitu:71

1. Cakap atau mampu untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian

artinya tidak dibawah umur, dibawah pengampuan atau pailit.

2. Mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai

pemberi garansi/penjamin artinya yang bersangkutan dinilai mampu

dan mempunyai harta yang cukup untuk memenuhi kewajibannya.

3. Berdiam di wilayah Indonesia, syarat ini bertujuan untuk memudahkan

bagi kreditor (bank) di dalam menagih utang tersebut. Sebab bila

pemberian garansi/penjamin berada di luar negeri tentunnya akan

menyulitkan untuk menyelesaikan masalah penjaminan tersebut.

Dengan adanya perjanjian pemberian garansi antara kreditor dengan

pemberi garansi/jaminan, maka lahirlah akibat-akibat hukum yang berupa

hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus diperhatikan baik oleh

pemberi garansi/penjamin maupun oleh kreditor.

Bentuk akta perjanjian pemberian garansi/jaminan dapat dibuat dengan

akta di bawah tangan atau dengan akta otentik karena Undang-undang tidak

mensyaratkan atau menentukan secara formal mengenai bentuk akta       

71

(54)

perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut. Namun pada umumnya dalam

praktek perbankan akta perjanjian pemberian garansi/jaminan selalu dibuat

dengan akta notaris karena lebih menjamin kebenaran dan kelengkapan isi

akta perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut dan dapat menjamin

kekuatan pembuktian sebagai akta otentik sekaligus agar para pihak

mengetahui masing-masing yang menjadi hak dan kewajibannya.72

C. Akibat Hukum Perjanjian Pemberian Garansi/jaminan

Suatu perjanjian pemberian garansi/jaminan akan membawa akibat hukum,

sebagai berikut:

1. Akibat hukum antara guarantor/penjamin dengan kreditor

Perjanjian pemberian garansi/jaminan merupakan perjanjian antara seorang

penjamin/guarantor dengan kreditur yang menjamin pembayaran kembali utang

debitor manakala debitor sendiri tidak memenuhinya (cidera janji).

Penjamin/guarantor merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri kepada

kreditor untuk menjamin pembayaran kembali utang debitor. Penjamin yang

mengikatkan diri kepada kreditor dapat dilakukan dengan sepengetahuan debitor

atau diluar pengetahuan debitor. Seorang guarantor/penjamin yang telah

mengikatkan diri sebagai guarantor/penjamin membawa akibat hukum bagi

       72

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian hukum normatif (yuridis normatif) tersebut diketahui bahwa pertanggungjawaban perusahaan induk sebagai corporate guarantee terhadap anak

Tidak adanya peraturan mengenai perusahaan grup di Indonesia membuat pengaturan tanggung jawab induk perusahaan terhadap anak perusahaan yang telah dinyatakan pailit

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kredit kontraktual dan non kontraktual dengan jaminan sertifikat hak milik, untuk mengetahui permasalahan

dengan jaminan hak tanggungan. Penyelesaian kredit macet dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan serta untuk mengetahui permasalahan yang timbul dalam

Permasalahan yang dibahas adalah Apakah dasar pengaturan Roya Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit bank, Apakah makna hukum dan syarat- syarat Roya Hak

Adapun masalah hukum yang diteliti dan dibahas terkait hal tersebut adalah bagaimana pengaturan perjanjian kemitraan dalam hukum Indonesia, bagaimana pengaturan

Selanjutnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak

Induk perusahaan dapat diminta bertanggung jawab atas perbuatan hukum anak perusahaannya (wanprestasi) bila dapat dibuktikan bahwa:a. Adanya campur tangan induk perusahaan ke