TESIS
Oleh
IRMA ATIKA RANGKUTI 097005058 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRMA ATIKA RANGKUTI 097005058/HK
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 097005058
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H) Ketua
(Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Dr. Suhaidi, S.H,M.H) (Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H
Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum
2. Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum
3. Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum
utang debitur. Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pemberian jaminan, seorang penjamin/guarantor memiliki hak istimewa tetapi biasanya kreditor akan meminta supaya penjamin melepaskan hak-hak istimewanya tersebut, padahal pemberian hak-hak istimewa tersebut adalah wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan, mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak perusahaan, dan untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Teknik Pengumpulan data melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan ditelit Alat Pengumpulan data yang dipergunakan berupa dokumen. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif.
Dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan diatur mengenai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penjamin/guarantor yang pengaturannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Hak istimewa seorang penjamin/guarantor tersebut memang dapat dihilangkan ketika melakukan perjanjian pemberian garansi/jaminan, namun hal ini merugikan penjamin/guarantor karena seolah-olah yang berutang adalah si penjamin/guarantor, padahal yang berutang adalah debitor. Sebaiknya debitor yang melunasi utangnya tersebut terlebih dahulu, apabila jumlah pembayaran utang tidak mencukupi oleh harta debitor, maka penjamin/guarantor yang harus membayar terhadap sisa utang debitor tersebut.
off his debt. The provision which regulates the case of guarantor is stipulated in Chapter 17, from Article 1820 to Article 1850 of the Civil Code. In giving the guarantee, a guarantor has a privilege, but a creditor usually ask him to release the privilege. The fact is that the guarantor’s privilege is the realization of legal protection to the guarantor. This research was aimed to know the regulation of this privilige in the agreement of giving guarantee, the legal connection between a holding company and its subsidiary, and the holding company’s responsibility as the guarantor for its subsidiary’s bankruptcy in the agreement of giving guarantee.
The method of the research was judicial formative by conducting library research or secondary data which consisted of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The data were gathered by using scientific documents or books to obtain theoritical framework, such as positive legal materials. The device of gathering the data was documents. The data were analyzed qualitatively.
The agreement of giving the guarantee regulates the guarantor’s privilige. This is in accordance with the provisions in the Civil Code. In reality, the guarantor’s privilige can be eliminited when the agreement of giving the guarantee is signed, but this will harm the guarantor because it seems that he is the one who owes and not the debtor. It is recommended that the debtor should pay off his debt; if he fails to do it, then the guarantor will pay off the rest of the debtor’s debt.
dengan rahmat dan hidayatnya, saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan.
Tesis ini berjudul Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan, penulis berharap kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.
Penulis yakin dengan pepatah yang mengatakan “tiada gading yang tak retak” artinya bahwa tiada manusia yang luput dari kesalahan yang diperbuatnya, oleh karena itu penulis akan dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang bersifat konstruktif dan edukatif demi kesempurnaan penulisan tesis yang penulis buat ini.
Di dalam hal pembuatan tesis ini penulis yakin tidak akan terselesaikan begitu saja tanpa adanya arahan, bimbingan, dorongan, motivasi dari orang-orang yang ada disekitar penulis, baik yang bersifat moril ataupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, perkenankanlah dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan rasa terima kasih secara khusus kepada yang terhormat:
1. Bapak, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), SP.A(K), selaku
Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program
Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H, selaku Komisi Pembimbing Utama
Penulis.
5. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Kedua Penulis.
6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum selaku Komisi Pembimbing Ketiga
penulis.
7. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum selaku Komisi Penguji Penulis.
8. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H, M.Hum selaku Komisi Penguji Penulis.
Yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan arahan, bimbingan,
petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan penulisan ini
hingga bisa terselesaikan. Atas segala bantuan tersebut, penulis berdoa kepada Allah
Swt agar para pembimbing dan para penguji penulis senantiasa mendapat lindungan,
rahmat, hidayah dan kasihNya dan senantiasa mendapatkan kebahagiaan di dunia
dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya sebagai kalangan akademisi
dan di akhirat kelak.
Selanjutnya penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Darma Yamin Rangkuti dan Ibunda penulis
Wardah, S.Pd atas doa, kasih sayang, cinta, bimbingan, motivasi dan perhatian
2. Adik Muhammad Ridho Luthfi Rangkuti, S.H dan Muhammad Taufik Akbar
Rangkuti semoga senantiasa dalam lindungan Allah Swt dan senantiasa
dimudahkan segala cita-citanya.
3. Briptu Rivai Irwan atas kesabaran dan motivasi yang diberikan.
4. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan pada Program Studi magister Ilmu Hukum
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Semua Pihak yang tak mampu penulis sebutkan satu persatu.
Demikianlah kata pengantar dari penulis ini. Akhir kata dengan segala
kekurangan dan segala keterbatasan penulis berharap semoga penulisan tesis ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca sekalian.
Medan, Juli 2011
Penulis
Nama : Irma Atika Rangkuti
Tempat/Tanggal Lahir : Perdagangan, 06 September 1987
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : 1. SD Satrya Budi Perdagangan (1993-1999)
2. SLTP Negeri 1 Bandar Perdagangan (1999-2002)
3. SMU Al-Azhar Medan (2002-2005)
4. S-1 Fakultas Hukum UISU (2005-2009)
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A...Latar Belakang ... 1
B...Permasa lahan ... 9
C...Tujuan Penelitian ... 9
D...Manfaat Penelitian ... 10
E...Keaslian Penelitian ... 10
F...Kerangk a Teori dan Konsepsi... 11
G. Metode Penelitian... 24
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 25
2. Sumber Data... 26
3. Tekhnik Pengumpulan Data... 27
4. Analisis Data ... 28
BAB II: PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI... 29
A...Perjanjia n Pemberian Garansi/jaminan ... 29
B...Pentingn ya Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan... 33
C...Akibat Hukum Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan ... 38
... 46
BAB III: HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN
ANAK PERUSAHAAN ... 50
A...Induk
Perusahaan dan Anak Perusahaan ... 50
1... Induk
Perusahaan ... 50
2...Anak
Perusahaan ... 54
B...Hubung
an Hukum Induk Perusahaan Dengan Anak
Perusahaan... 58
BAB IV: TANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN SEBAGAI
PENJAMIN/GUARANTOR TERHADAP KEPAILITAN
ANAK PERUSAHAAN DALAM PERJANJIAN
PEMBERIAN GARANSI. ... 70
A...Kedudu
Guarantor Terhadap Kepailitan Anak Perusahaan Dalam
Perjanjian Pemberian Garansi ... 75
C.Kasus Induk Perusahaan (PT. Ometraco Corp. Tbk)
Sebagai Penjamin/Guarantor (Corporate Guarantee)
Terhadap Kepailitan Anak Perusahaan (PT. Ometraco
Multi Artha). ... 81
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN... 90
A...Kesimp
ulan ... 90
B...Saran
... 94
utang debitur. Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pemberian jaminan, seorang penjamin/guarantor memiliki hak istimewa tetapi biasanya kreditor akan meminta supaya penjamin melepaskan hak-hak istimewanya tersebut, padahal pemberian hak-hak istimewa tersebut adalah wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan, mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak perusahaan, dan untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Teknik Pengumpulan data melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan ditelit Alat Pengumpulan data yang dipergunakan berupa dokumen. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif.
Dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan diatur mengenai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penjamin/guarantor yang pengaturannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Hak istimewa seorang penjamin/guarantor tersebut memang dapat dihilangkan ketika melakukan perjanjian pemberian garansi/jaminan, namun hal ini merugikan penjamin/guarantor karena seolah-olah yang berutang adalah si penjamin/guarantor, padahal yang berutang adalah debitor. Sebaiknya debitor yang melunasi utangnya tersebut terlebih dahulu, apabila jumlah pembayaran utang tidak mencukupi oleh harta debitor, maka penjamin/guarantor yang harus membayar terhadap sisa utang debitor tersebut.
off his debt. The provision which regulates the case of guarantor is stipulated in Chapter 17, from Article 1820 to Article 1850 of the Civil Code. In giving the guarantee, a guarantor has a privilege, but a creditor usually ask him to release the privilege. The fact is that the guarantor’s privilege is the realization of legal protection to the guarantor. This research was aimed to know the regulation of this privilige in the agreement of giving guarantee, the legal connection between a holding company and its subsidiary, and the holding company’s responsibility as the guarantor for its subsidiary’s bankruptcy in the agreement of giving guarantee.
The method of the research was judicial formative by conducting library research or secondary data which consisted of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. The data were gathered by using scientific documents or books to obtain theoritical framework, such as positive legal materials. The device of gathering the data was documents. The data were analyzed qualitatively.
The agreement of giving the guarantee regulates the guarantor’s privilige. This is in accordance with the provisions in the Civil Code. In reality, the guarantor’s privilige can be eliminited when the agreement of giving the guarantee is signed, but this will harm the guarantor because it seems that he is the one who owes and not the debtor. It is recommended that the debtor should pay off his debt; if he fails to do it, then the guarantor will pay off the rest of the debtor’s debt.
A.Latar Belakang
Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut
sejalan dengan kegiatan perusahaan yang secara terus menerus dan tanpa putus
serta sifatnya terbuka. Transaksi dilakukan sebagai tempat untuk menampung
bertemunya suatu kesepakatan yang disebut perjanjian.1 Salah satu perjanjian
yang dilakukan adalah perjanjian kredit. Perjanjian kredit sering digunakan dalam
perusahaan untuk memenuhi kekurangan modal perusahaan tersebut sehingga
perusahaan dapat melaksanakan kegiatan usahanya.
Perjanjian kredit adalah “perjanjian pokok atau perjanjian induk yang
mengatur hak dan kewajiban antara kreditor dan debitor. Kreditor berkewajiban
mencairkan pinjaman sebesar pinjaman yang disetujui dan debitor berkewajiban
mengembalikan pinjaman sesuai jadwal waktu yang ditetapkan dalam perjanjian
kredit.”2
Perjanjian kredit dapat berupa pinjaman kredit dari bank ataupun fasilitas
pinjaman dari kreditur. Namun bagi para kreditur khususnya Bank, setiap
pemberian kredit atau pinjaman memiliki resiko, walaupun telah dilakukan
berbagai analisis secara seksama. Resiko tersebut seperti debitor tidak mampu
1
Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Dalam Gugatan Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 5. 2
pendapatan usaha debitor atau memang debitor sengaja tidak mau membayar
karena karakter debitor yang tidak baik. Oleh karena itu perlu pengamanan dalam
pengembaliannya. Bentuk pengamanan ini dalam prakteknya dilakukan dalam
pemberian garansi/jaminan.3
Keberadaan garansi/jaminan merupakan upaya guna memperkecil risiko,
dimana garansi/jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu
kepastian hukum akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi
oleh debitur atau oleh penjamin debitur.4 Dalam pemberian garansi/jaminan
sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemberian garansi/jaminan yang
dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan pemberian garansi/jaminan yang
dilakukan oleh badan hukum (corporate guarantee). Pada dasarnya keduanya
memiliki prinsip yang sama, karena baik hak dan kewajiban yang dimiliki
pemberi garansi (penjamin) pada kedua jenis penanggungan tersebut identik,
hanya saja subjek pelakunya berbeda.5
Pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal
guarantee) dan pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan
(corporate guarantee), berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga
(guarantor/penjamin), bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan
3
Megarita, Upaya Mencegah Timbulnya Kredit Bermasalah, Jurnal Hukum USU vol 12 No. 1, Februari 2007, hal. 65.
4
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Kebendaan Lain Yang
Melekat Pada Tanah dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996), hal. 23.
5
melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan
kewajiban debitor tersebut. Adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditor dapat
menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau
tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.
Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab
ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1820 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Penjamin/Guarantee adalah suatu perjanjian/persetujuan dengan mana seorang
pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatan si berutang manakala orang itu sendiri tidak dapat memenuhinya.”
Perjanjian pemberian garansi/jaminan ini bersifat sukarela dan accesoir.
Dikatakan sukarela karena pihak ketiga secara sukarela bersedia mengikatkan
dirinya untuk memberikan jaminan bahwa ia akan membayar utangnya kepada
debitor, bahkan dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitor.6 Bersifat accesoir
artinya bahwa perjanjian penjaminan utang tidak akan ada tanpa adanya suatu
perjanjian pokok,7 Penjaminan juga tidak dapat dilakukan melebihi kewajiban
debitor sebagaimana tercantum dalam perjanjian pokok. Hal ini diatur pada Pasal
1822 KUHPerdata.8 Sebagai perjanjian accesoir, eksistensi perjanjian
6
Pasal 1823 KUHPerdata.
7
Pasal 1821 KUHPerdata.
8
Pada umumnya perjanjian pendahuluan ini berupa perjanjian utang
piutang, perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit, atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Kehadiran perjanjian
utang piutang tersebut menjadi dasar timbulnya perjanjian garansi/jaminan, atau
sebaliknya dengan berakhirnya perjanjian pendahuluan, berakhir pula perjanjian
jaminannya. Dalam perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula antara debitor
dan kreditor bahwa pinjamannya tersebut dibebani pula dengan suatu
garansi/jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan garansi/jaminan,
yang dapat berupa pengikatan jaminan kebendaan atau jaminan perseorangan.9
Sebagai perjanjian ikutan, eksistensi perjanjian garansi/jaminan amat
tergantung kepada perjanjian pendahuluannya yang menjadi dasar timbulnya
pengikatan jaminan. Artinya perjanjian garansi/jaminan dimaksudkan untuk
mengubah kedudukan kreditor-kreditornya menjadi kreditor preferent. Akibatnya
kreditor akan merasa aman dan memperoleh kepastian atas pelunasan pinjaman
yang diberikan olehnya kepada debitor, karena diikuti dengan pemberian
garansi/jaminan kepada kreditor. Untuk itulah dikatakan bahwa perjanjian
pemberian garansi/jaminan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian
9
Apabila debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada kreditor
maka salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang
piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap kreditur yang tidak
terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada
pengadilan sesuai dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.11
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai pemberian garansi
(penjaminan). Dalam istilah Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang disebut penanggungan yang diatur dalam Pasal
141, Pasal 164 dan Pasal 165. Dari bunyi pasal-pasal tersebut tidak tertulis bahwa
penjamin/guarantor tidak dapat diajukan pernyataan pailit terhadapnya. Hal ini
senada dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850
KUHPerdata yang mengatur mengenai pemberian garansi (penjaminan). Pasal
1820 menyatakan bahwa “Penanggungan/penjaminan adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan kreditor, mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatannya debitor manakala orang ini sendiri tidak
10
Ibid., hal. 86-87.
11
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
berkewajiban melunasi utang debitor kepada kreditor atau para kreditornya
apabila tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih.
Oleh karena penjamin/guarantor adalah debitor, maka penjamin/guarantor dapat
dinyatakan pailit berdasarkan Undang-Undang Kepailitan.12
Apabila penjamin/guarantor dapat dinyatakan pailit, bagaimana dengan
hak istimewa yang dimilikinya berdasarkan ketentuan Pasal 1831 KUHPerdata,
yang menyatakan “penjamin tidaklah diwajibkan membayar kepada kreditor,
selain jika debitor lalai, sedangkan benda-benda debitor ini harus lebih dahulu
disita dan dijual untuk melunasi utangnya”. Hak istimewa ini memungkinkan
bahwa kekayaan penjamin/guarantor hanya merupakan cadangan untuk menutup
sisa utang yang tidak dapat ditutup dengan kekayaan debitor. Selain hak istimewa
tersebut, penjamin/guarantor juga memiliki hak-hak istimewa lain, yaitu hak
untuk meminta pemecahan utang apabila terdapat lebih dari satu orang penjamin
yang dimuat dalam Pasal 1837 KUHPerdata dan hak dibebaskan dari penjaminan
bilamana karena salahnya kreditor, si penjamin tidak dapat menggantikan
hak-haknya Hipotik/Hak Tanggungan dan hak-hak istimewa yang dimiliki kreditor
sebagaimana dimuat dalam Pasal 1848 dan 1849 KUHPerdata.13
12
Ibid., hal.98.
13
wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Memang
dalam hal ini KUHPerdata juga memberikan peluang bagi guarantor/penjamin
secara sukarela melepaskan hak istimewanya tersebut, yang memberikan kepada
kreditor suatu kedudukan yang lebih menguntungkan. Dalam perkara-perkara
kepailitan selama ini, lepasnya hak istimewa dari guarantor/penjamin tersebut
kerap menjadi sebab dimohonkannya guarantor/penjamin untuk pailit. Oleh
karena itu, masalah dapat atau tidaknya penjamin/guarantor dimintakan pailit
harus dikaitkan dengan persoalan, apakah penjamin/guarantor yang bersangkutan
sesuai kemungkinan yang diberikan padanya oleh Pasal 1832 KUHPerdata,
melepaskan hak istimewa yang dimiliki olehnya sebagai penjamin/guarantor
berdasarkan Pasal 1831 KUHPerdata.14
Salah satu contoh pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh
perusahaan (corporate guarantee) adalah pada kasus No. 05/Pailit/1998/PN
Niaga, dalam hal ini PT. Ometraco (induk perusahaan) sebagai pemberi garansi
(guarantor) atas utang anak perusahaannya yaitu PT. Ometraco Multi Artha,
karena PT. Ometraco Multi Artha (anak perusahaannya) tersebut lalai, maka PT.
Ometraco selaku guarantor yang dalam hal ini melepaskan hak istimewanya
dengan mengikatkan dirinya secara tanggung renteng yang tertuang dalam
14
induk perusahaan bertanggung jawab kepada kreditor terhadap pelunasan utang
anak perusahaannya tersebut.
Dalam perusahaan grup (holding company) terdapat induk perusahaan dan
anak perusahaan, hubungan hukum yang timbul antara induk perusahaan dengan
anak perusahaannya merupakan hubungan antara pemegang saham (induk
perusahaan) dengan anak perusahaan. Salah satu fungsi kepemilikan saham induk
perusahaan pada anak perusahaan adalah kepemilikan saham pada anak
perusahaan memberikan hak suara kepada induk perusahaan untuk
mengendalikan anak perusahaan melalui berbagai mekanisme pengendalian yang
ada, seperti rapat umum pemegang saham untuk mendukung konstruksi
perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi.15
Meskipun dari sudut kegiatan ekonomi perusahaan grup tersebut
merupakan suatu kesatuan, namun dari segi yuridis masing-masing perusahaan
anggota grup tersebut mempunyai karakteristik tersendiri dalam pengertian
bahwa masing-masing perusahaan yang bergabung dalam perusahaan grup
adalah merupakan badan-badan hukum yang berdiri sendiri. Apabila salah satu
anak perusahaan memperoleh kredit dari kreditor, maka keterikatan secara yuridis
15
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi?
2. Bagaimana hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak
perusahaan?
3. Bagaimana tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor
terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian
garansi.
2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak
perusahaan.
3. Untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai
penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian
pemberian garansi.
16
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan tesis ini juga diharapkan
bermanfaat untuk berbagai hal di antaranya:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara
teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum
kepailitan.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Memberikan sumbangan kepada penegak hukum terutama dalam
menyelesaikan masalah hukum yang berkenaan dengan hukum kepailitan.
b. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran
hukum tentang bagaimana hak istimewa dalam perjanjian pemberian
garansi oleh induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam kepailitan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis
di perpustakaan Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum ada
penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup
penelitian ini, yaitu mengenai “Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian
Akan tetapi ada tesis terdahulu yang menyangkut dengan masalah kepailitan,
yaitu:
1. Halida Rahardini, tesis pada tahun 2002 dengan judul “Analisis Hukum
Terhadap Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadi Kepailitan
Perseroan.”
2. Atmawati, tesis pada tahun 2003 dengan judul “Penyelesaian Utang
Piutang Melalui Hukum kepailitan Suatu Antisipasi terhadap Kredit
Bermasalah.”
Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini
tidaklah sama dengan penelitian tersebut, Oleh karena itu penelitian ini adalah
asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif, dan
terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun
sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Teori yang dipergunakan dalam membahas permasalahan yang
dirumuskan dalam penelitian ini adalah teori hukum tentang keadilan yang
dikemukakan oleh Aristoteles. Teori keadilan dipergunakan karena relevan
dengan filosofi dari kepaillitan itu sendiri yakni menciptakan keadilan bagi
mampu memelihara keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang
dilindungi dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi
bagiannya.17 Aristoteles juga mengemukakan dua macam keadilan yaitu:18
a. Keadilan Distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap
orang jatah menurut jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang
sama banyaknya.
b. Keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang
sama banyaknya tanpa mengingat jasa-jasa perorangan.
Beliau juga mengatakan keadilan adalah perlakuan yang sama bagi
mereka yang sederajat di depan hukum.19 Seseorang berlaku tidak adil apabila
orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya, orang yang tidak
menghiraukan hukum adalah tidak adil karena semua hal yang didasarkan pada
hukum dapat dianggap sebagai adil.20
Senada dengan hal tersebut John Rawls berpendapat keadilan adalah
ukuran dari keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama.21 Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena
hanya dengan keadilan ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi
benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu perlu aturan-aturan.
17
M. Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, (Medan: USU, 2010), hal. 24.
18
Ibid.
19
Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wishnu Bhakti, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), hal. 4.
20
Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Filsafat Hukum, (Medan: USU, 2010), hal. 5-12.
21
Disinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju,
hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.22
Menurut W. Friedman suatu Undang-Undang haruslah memberikan
keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di
antara pribadi-pribadi tersebut.23 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith
(1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori
hukum dari Glasgow University pada tahun 1750,24 telah melahirkan ajaran
mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan: “tujuan keadilan adalah untuk
melindungi diri dari kerugian” (the gold of justice is to secure from injury).25
Kepailitan menurut merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang
mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh
pengadilan dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak
dapat membayar utangnya.26 Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan
harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para
kreditor akan berlomba dengan segala cara baik yang halal maupun tidak, untuk
mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan
mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis, hal ini
22
Darji Darmodiharjo dan shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum ( Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 159. 23
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori
Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1993), hal. 7.
24
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,
Pidato pada pengukuhan sebagai Guru Besar, ( USU-Medan, 17 April 2004), hal. 4-5.
25
Ibid., hal. 9 26
sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi
maksud dan tujuan Undang-Undang Kepailitan.27 Dengan kehadiran
Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang diharapkan antara debitor dan kreditor dapat mengetahui apa
yang menjadi hak dan kewajiban mereka masing-masing sehingga terwujudlah
keadilan diantara mereka, karena salah satu filosofi hukum kepailitan tersebut
adanya nilai keadilan. Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya
mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:28
a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa
debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas
semua utang-utangnya kepada semua krediturnya.
b. Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan
eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.
Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga
atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat
asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 KUH
Perdata. Adapun asas hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah” merupakan
jantung peraturan hukum, karena selain sebagai landasan yang paling luas bagi
27
Rudhy A. Lontoh, et. al., Penyelesaian Utang Piutamg Melalui Pailit Atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, ( Bandung: Penerbit Alumni, 2001), hal. 75-76.
28
olahirnya suatu peraturan hukum, juga sebagai alasan (dasar pemikiran) bagi
lahirnya suatu peraturan hukum.”29
Keberadaan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan
bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas
kepailitan yakni:
1. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan
perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang
dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga
kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan
yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga
kepailitan oeh kreditur yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan
perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran
29
atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan
kreditur lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa
sistem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem
hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.30
Selain teori keadilan yang dipergunakan dalam membahas permasalahan
yang dirumuskan, dalam penelitian ini juga menggunakan teori pemberian
garansi/jaminan. Dalam memberikan pinjaman berupa kredit dari bank atau
fasilitas pinjaman dari kreditor kepada debitor selalu mengandung resiko,31 oleh
karena itu perlu pengamananan dalam pengembaliannya. Bentuk pengamanan ini
dalam prakteknya dilakukan dalam pemberian jaminan. Adanya jaminan tersebut
dapat memberikan rasa aman bagi bank selaku pihak pemberi kredit, yaitu bila
debitor gagal melunasi utangnya, ada jaminan dari seorang penjamin yang akan
melunasi utang debitor tersebut.32
Menurut Sutan Remy Sjahdeini untuk memantapkan keyakinan kreditor
bahwa debitor akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka
waktu pinjaman berakhir, dalam hukum terdapat beberapa asas menyangkut
jaminan. Asas yang pertama menentukan apabila debitor ternyata pada waktunya
30
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 14-17.
31
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar dan Tekhnik Management Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), hal. 4.
32
Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa Kritis Putusan-Putusan
tidak melunasi utangnya kepada kreditor karena suatu alasan tertentu, maka harta
kekayaaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi agunan atau jaminan
utangnya yang dapat dijua untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini di
dalam KUHPerdata dituangkan dalam Pasal 1131 yang bunyinya: “Segala harta
kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk
segala perikatan debitor.”33
Pasal 1131 KUHPerdata tersebut menentukan, harta kekayaan debitor
bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang
diperoleh dari perjanjian kredit diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua
kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. Oleh karena Pasal 1131
KUHPerdata menentukan, semua harta kekayaan (aset) debitor menjadi agunan
bagi pelaksanaan kewajibannya bukan kepada kreditor tertentu saja tetapi juga
semua kreditor lainnya, maka perlu ada aturan main tentang cara membagi aset
debitor itu kepada para kreditornya apabila aset itu dijual karena tidak dapat
membayar utang-utangnya. Aturan main itu ditentukan oleh Pasal 1132
KUHPerdata, yang merupakan asas kedua yang menyangkut jaminan.34
Secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan
perorangan dan jaminan kebendaan. Pada jaminan kebendaan, debitor atau pihak
33
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 4.
34
yang menerima pinjaman, memberi jaminan benda kepada kreditor atau pihak yang
memberi pinjaman sebagai jaminan atas utang yang dipinjam debitor. Jadi apabila
debitur tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditor dapat
menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitor tersebut untuk
melunasi utangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan dalam praktek biasanya
yang menjadi penjamin/guarantor adalah orang atau perusahaan yang ada hubungan
kepentingan di bidang bisnis antara debitor dengan penjamin/gurantor tersebut.
bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan,
dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka
penjamin/guarantor tersebut bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut.
Dengan adanya jaminan tersebut maka pihak kreditor dapat menuntut kepada
penjamin untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau tidak mampu untuk
membayar utangnya tersebut.35
Berkaitan dengan pemberian garansi/ jaminan dalam perusahaan yang
biasanya dilakukan oleh penjamin/guarantor dalam perjanjian pemberian kredit,
maka dengan adanya perjanjian pemberian garansi/jaminan, penjamin/guarantor
dapat melakukan kewajiban debitor apabila debitor tidak dapat melakukan
kewajibannya terhadap kreditor. Dan apabila penjamin tidak dapat melakukan
kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh kreditor. Jadi kepailitan
perusahaan sebagai debitor utama sangat berpengaruh kepada penjamin/guarantor.
35
Namun penjamin/guarantor dalam hal ini mempunyai hak istimewa sehingga hak
istimewa penjamin/guarantor ini membawa akibat hukum bahwa penjamin/guarantor
tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum harta
kekayaan debitor disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya. Apabila
hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi hutangnya debitor, berarti
penjamin/guarantor hanya akan melunasi sisa kewajiban debitor yang belum
dipenuhinya kepada kreditor.36 Dengan adanya hak istimewa tersebut kedudukan
penjamin/guarantor tidak berubah menjadi debitor, sehingga penjamin merasa
terlindungi dan hal ini dirasa adil kepada penjamin/guarantor.
Dalam hal pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan
(corporate guarantee), yang biasanya induk perusahaan bertindak sebagai
penjamin/guarantor terhadap utang anak perusahaannya. Dalam hal ini kepadanya
berlaku doktrin piercing the corporate veil yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (2)
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pertanggung jawaban
terbatas pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tidak berlaku dalam hal:
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
36
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung
Doktrin ini mengartikan bahwa sungguhpun suatu badan hukum bertanggung
jawab secara hukum hanya terbatas harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal
tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus (piercing).37
Yahya Harahap mengemukakan walaupun secara normal pada perusahaan
grup tetap berlaku dasar prinsip tanggung jawab entitas terpisah (separate legal
entity) yang berujung pada prinsip tanggung jawab terbatas (limited liability) induk
perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan, akan tetapi dalam perseroan
yang bersifat grup, dimana perseroan anak:38
a. Dimodali oleh induk perusahaan, sehingga anak perusahaan tersebut
benar-benar di bawah permodalan induk perusahaan.
b. Dalam keadaan di bawah permodalan anak perusahaan tersebut, anak
perusahaan berada dalam keadaan tidak independen eksistensi ekonomi dan
perusahaanya.
c. Anak perusahaan itu semata-mata berperan dan berfungsi sebagai wakil
(agent) melakukan bisnis perusahaan grup.
Oleh karena itu dalam kasus perseroan grup yang demikian, induk perusahaan
bertanggung jawab terhadap utang anak perusahaan. Dalam kasus yang demikian,
anak perusahaan didominasi dan dijadikan alat oleh induk perusahaan, maka
induk perusahaan patut dan layak bertanggung jawab terhadap utang anak
37
Munir Fuady, Hukum perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 61.
38
Yahya Harahap, Separate Entity, Limited Liability, dan Piercing The Corporate Veil, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26, No. 3 Tahun 2007, hal. 47.
perusahaan. Penerapan penghapusan tanggung jawab terbatas, sehingga tanggung
jawabnya menembus kepada induk perusahaan sesuai asas piercing the corporate
veil, berdasar alasan keadilan dan kepatutan dikarenakan doktrin piercing
corporate veil ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama
bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-sewenang atau tidak layak yang
dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak
ketiga ataupun yang timbul dari hubungan kontraktual.39
2. Konsepsi
Bagian kerangka konsepsional ini akan menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan konsep yang digunakan dalam tesis ini, agar secara operasional
diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
1. Hak istimewa adalah hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut
agar harta kekayaan milik si berutang utama (debitor) terlebih dahulu
disita dan dijual/dilelang, jika hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak
cukup untuk melunasi hutangnya, kemudian baru harta kekayaan
penjamin,40 hak untuk meminta pemecahan utang,41dan hak untuk
dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya si kreditor.42
39
Ibid.
40
Pasal 1831 KUHPerdata.
41
Pasal 1837 KUHPerdata.
42
2. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.43
3. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.44
4. Kreditor preferen adalah golongan kreditor yang kedudukan hutangnya
mempunyai kedudukan yang istimewa dengan memiliki hak untuk
mendapatkan pelunasan lebih dahulu dari hasil penjualan lelang harta
pailit.45
5. Kreditor konkuren adalah kreditor-kreditor yang tidak termasuk dalam
golongan khusus/istimewa, pelunasan piutang mereka dicukupkan dengan
sisa hasil penjualan /pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian
golongan khusus dan istimewa.46
6. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.47defenisi yang
lebih jelas dikemukakan oleh subekti, dimana Ia memberikan perumusan
bahwa: “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal”.48
Dedi Harianto, Bahan Kuliah, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 4.
46 Ibid,.
47
Pasal 1313 KUHPerdata.
48
7. Perjanjian pemberian garansi/Penjaminan adalah suatu persetujuan dimana
seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang itu sendiri tidak
memenuhinya.49
8. Induk perusahaan adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki
saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau
lebih perusahaan lain tersebut.50
9. Anak perusahaan adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus
dengan perseroan lainnya yang terjadi karena lebih dari lima puluh persen
sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya atau lebih dari lima puluh
persen suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham dikuasai oleh induk
perusahaannya dan atau kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan,
dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh induk
perusahaannya.51
10.Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing
baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari
(kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang
wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak
49
Pasal 1820 KUHPerdata.
50
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 83.
51
kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
debitor.52
11.Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menurut Kartini
Muljadi sebagaimana dikemukakan oleh Rudi A. Lontoh adalah
“pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi
utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian
utang kepada kreditor konkuren dan pada akhirnya jika dapat terlaksana
dengan baik debitor akan dapat memenuhi kewajibannya-kewajibannya
dan meneruskan usahanya.”53
12.Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas.54 Suatu keadaan dimana seorang tidak
mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim,
hal ini diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun tekhnologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.
Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah
dikumpulkan.55
Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka metodologi penelitian
yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang
menjadi induknya.56 Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan
upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan
metode tertentu.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian
yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif.57 Dengan pertimbangan bahwa
titik tolak penelitian untuk menganalisis hak istimewa dalam perjanjian
pemberian garansi dikaitkan dengan kepailitan anak perusahaan sesuai dengan
kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif yang mengaturnya.
Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut
dengan istilah penelitian doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the
55
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 2005), hal. 5-6.
56
Soerjono Soekanto dan sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64.
57
book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan
(law as it decided by the jungle through judicial process).58
Sifat penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis, penelitian
bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,
menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.59
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier,
yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki60 seperti peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu peraturan
perundang-undangan di bidang hukum kepailitan yaitu Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
58
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,
disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2.
59
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6.
60
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,
pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil
simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.61 Dalam
penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa
buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai
makalah yang berkaitan.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder62
berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang
relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data.
Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan
dipilah-pilah guna memperoleh Pasal-Pasal (di dalam Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berisi kaedah-kaedah hukum
yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan di
61
Jhony Ibrahim, op.cit, hal. 296.
sistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut
akan dianalisis secara induktif-kualitatif untuk sampai pada kesimpulan,
sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.63
4. Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dianalisis
secara normatif kualitatif, analisis tersebut dilakukan dengan memilih
peraturan-peraturan hukum tentang hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi oleh
induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam kepailitan. Langkah
selanjutnya membuat sistematika kaidah-kaidah hukum dalam peraturan tersebut
sehingga menghasilkan klasifikasi yang relevan dengan objek permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini. Kemudian analisis dilanjutkan dengan metode
deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum
terhadap permasalahan konkret yang dihadapi sehingga dapat menjadi acuan dan
pertimbangan hukum dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang
dihadapi.
63
A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan
Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang
mendahuluinya, yaitu perjanjian utang piutang yang disebut perjanjian pokok
karena tidak mungkin ada perjanjian pemberian garansi/jaminan tanpa ada
perjanjian pokoknya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian
pemberian garansi/jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti
perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai, maka perjanjian
garansi/jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian seperti ini disebut dengan
accessoir.
Kedudukan perjanjian pemberian garansi/jaminan sebagai perjanjian yang
bersifat accessoir (tambahan) mempunyai ciri-ciri:64
a. Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok;
b. Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok;
c. Ikut beralih dengan berlihnya perjanjian pokok.
Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan kredit,
jaminan yang ideal (baik) itu adalah:65
64
Edy Putra Tje ‘Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberti, 1985), hal. 41.
65
1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang
memerlukannya;
2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan
(meneruskan) usahanya;
3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu
mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si debitur.
Adapun perjanjian pemberian garansi/jaminan ini bersifat accesoir, yang
berarti bahwa perjanjian pemberian garansi/jaminan ini dapat terjadi atau
terbentuk karena adanya perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok. Dalam hal
ini jelas bahwa harus tetap ada perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok yang
menjadi landasan atau dasar terbentuknya perjanjian pemberian garansi/jaminan
ini. Namun seorang penjamin/guarantor tidak dapat mengikatkan untuk syarat
yang lebih berat daripada perjanjian pokok, artinya perjanjian pemberian
garansi/jaminan ini hanya dapat dibentuk dan sebagai suatu keseluruhan syarat
dalam perjanjian pokok. Namun tidak boleh melebihi dari perjanjian pokok,
seperti yang disebutkan bahwa tidak mungkin ada borgtocht untuk kewajiban
perikatan yang isinya lain daripada menyerahkan sejumlah uang atau melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. Orang hanya menjamin perikatan sekunder yang
muncul dari perikatan bersangkutan.66
66
Hal ini tidak akan mengakibatkan batal secara langsung terhadap perjanjian
pemberian garansi/jaminan atau perjanjian penanggungan itu, melainkan
perjanjian pemberian garansi/jaminan itu hanya sah sebatas apa yang diliputi atas
syarat dari perjanjian pokok, selain itu tidak sah (dapat dibatalkan).67 Hal ini logis
bila dilihat dari sifat perjanjian pemberian garansi/jaminan itu sendiri, juga
didukung oleh dasar bahwa suatu perikatan dalam suatu perjanjian yang sifatnya
tunduk kepada suatu perjanjian pokok, tidak bisa melebihi perikatan-perikatan
yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu. Sesuai dengan sifat accesoir dari
perjanjian pemberian garansi/jaminan ini, maka jaminan ini turut beralih apabila
pokoknya beralih. Masalah peralihan ini baru berarti apabila disertai dengan
diberikan kepada orang lain yang juga mengalihkan perjanjian pokoknya. Dalam
hal ini hak kreditor tidak mengalami perubahan yang berarti sepanjang tidak
ditentukan lain. Dalam rumusan yang diberikan oleh Pasal 1820 KUH Perdata
mengenai penjamin/borgtocht mengandung tiga unsur, yaitu:68
1. Ciri sukarela
Seorang pihak ketiga yang sama sekali tidak mempunyai urusan dan
kepentingan apa-apa dalam suatu persetujuan yang dibuat antara debitor dan
kreditor, dengan sukarela membuat “pernyataan mengikatkan diri” akan
menyanggupi pelaksanaan perjanjian, apabila nanti si debitor tidak
melaksanakan pemenuhan kewajiban terhadap kreditor.
67
Megarita, Op. Cit., hal. 66.
68
2. Ciri subsidair
Yakni dengan adanya pernyataan mengikatkan diri memenuhi perjanjian dari
borg/ penjamin, seolah-olah konstruksi perjanjian dalam hal ini menjadi dua,
tanpa saling bertindih. Yang pertama ialah perjanjian pokok itu sendiri antara
kreditor dan debitor. Perjanjian yang kedua, yang kita anggap perjanjian
subsidair ialah perjanjian pemberian garansi/ jaminan tersebut antara si
penjamin/guarantor dengan pihak kreditor.
3. Ciri accesoir
Sebenarnya dengan memperhatikan ciri subsidair diatas, sudah jelas terlihat
accesoir yang melekat atau menempel pada perjanjian pokok yang dibuat oleh
debitor dan kreditor. Apabila debitor sendiri telah melaksanakan
kewajibannya kepada debitor, hapuslah kewajiban penjamin/guarantor.
4. Perjanjian pemberian garansi/jaminan batal, apabila perjanjian pokoknya
batal. Dalam prakteknya untuk mencegah agar perjanjian pemberian
garansi/jaminan tidak batal disebabkan batalnya perjanjian pokok, maka
perjanjian pemberian garansi/jaminan selalu dikumulasikan dengan pemberian
indemnity ex Pasal 1316 KUHPerdata. Pemberian indemnity ex Pasal 1316
KUHPerdata adalah perjanjian pokokyang berdiri tersendiri di samping
perjanjian utang piutangnya, sehingga bila perjanjian utang piutang itu batal,
maka pemberian indemnity ini tidak akan ikut menjadi batal.
Lahirnya suatu perjanjian pemberian garansi/penjaminan dapat juga dikatakan
oleh perseorangan (personal guarantee) maupun suatu badan usaha (corporate
guarantee). Seperti yang telah disebutkan lahirnya perjanjian pemberian
garansi/jaminan ini harus diikuti dengan perjanjian pokok terlebih dahulu, baik itu
perjanjian kredit bank maupun perjanjian lainnya. Sesuai dengan sifat dari
perjanjian pemberian garansi/jaminan itu sendiri yang senantiasa diikuti dan
didahului oleh perjanjian pokok. Jadi jelas bahwa perjanjian pemberian
garansi/jaminan timbul sebagai adanya akibat perjanjian pokok yang
menyebutkan secara khusus adanya penjaminan tersebut.
B. Pentingnya Perjanjian pemberian Garansi/Jaminan
Setiap kredit yang diberikan oleh Bank atau fasilitas kredit yang diberikan
oleh kreditor lainnya kepada debitor diharapkan oleh bank atau kreditor
lainnya untuk dibayar kembali oleh debitor tepat pada waktunya, Setelah
masa pembayaran kredit tiba, Bank mengharapkan agar debitor membayar
kredit dan bunga yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit.
Kredit yang diberikan oleh Bank biasanya disertai dengan adanya pemberian
garansi/jaminan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 8 Ayat (1) Undang-undang
No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang berbunyi “Dalam memberikan
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank umum wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau
Oleh karena itu pada umumnya Bank menggunakan instrumen analisa
yang terkenal dengan the fives of credit atau 5C, yaitu:69
1. Character (watak)
Watak dapat diartikan sebagai kepribadian, moral dan kejujuran pemohon
kredit. Debitor yang mempunyai watak yang tidak baik seperti tidak jujur,
kemungkinan besar akan melakukan penyimpangan dalam menggunakan
kredit. Kredit yang digunakan tidak sesuai tujuan yang ditetapkan dalam
perjanjian kredit akibatnya proyek yang dibiayai dengan kredit tidak
menghasilkan pendapatan sehingga mengakibatkan kredit macet.
2. Capital (modal)
Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis
sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya.
Seorang yang akan mengajukan permohonan kredit baik untuk
kepentingan produktif atau konsumtif maka orang itu harus memiliki
modal. Pemohon kredit yang berbentuk badan usaha, besarnya modal yang
dimiliki pemohon kredit ini dapat dicermati dari laporan keuangannya.
Semakin besar jumlah modal yang dimiliki maka menunjukkan
perusahaan tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban
membayar utangnya.
69
3. Capacity (kemampuan)
Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran, debitor harus memiliki
kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadi jika
debitor perorangan atau pendapatan perusahaan bila debitor berbentuk
badan usaha.
4. Collateral (jaminan)
Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna
menjamin kepastian pelunasan utang jika di kemudian hari debitor tidak
melunasi utangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil
pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu.
Jaminan meliputi jaminan yang bersifat materil berupa barang atau benda
yang bergerak atau benda yang tidak bergerak misalnya tanah, bangunan,
mobil, motor, saham dan jaminan yang bersifat immateril seperti jaminan
pribadi.
5. Condition of Economy (kondisi ekonomi)
Selain faktor-faktor di atas, yang perlu mendapat perhatian penuh dari
analis adalah kondisi ekonomi negara. Kondisi ekonomi adalah situasi
ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu
diberikan oleh Bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada
kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon
kredit untuk melunasi utangnya. Bermacam-macam kondisi diluar
ekonomi yang dapat mempengaruhi kemampuan pemohon kredit
mengembalikan utangnya sering sulit untuk diprediksi. Kondisi ekonomi
negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan
pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada kemampuan
pemohon kredit untuk melunasi utangnya.
Bank tidak akan memberikan kredit kepada siapapun tanpa disertai dengan
garansi/jaminan dengan disyaratkan adanya suatu garansi/jaminan di dalam
permohonan kredit. Diharapkan apabila ternyata di kemudian hari debitor
lalai yaitu tidak membayar utang beserta bunga, maka garansi/jaminan inilah
yang akan dipergunakan oleh pihak kreditor (bank) untuk melunasi utang
debitor. Karena sesuai dengan pengertian dari Pasal 1820 KUHPerdata yang
menentukan bahwa “pemberian garansi/penjaminan adalah suatu
perjanjian/persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si
berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang
manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.”70
Pemberi garansi/penjamin ini merupakan jaminan berupa orang
pribadi/badan hukum dengan tujuan melindungi kepentingan kreditor atau
Bank yang bersifat umum artinya dapat mengakibatkan seluruh harta
kekayaan pemberi garansi/penjamin menjadi jaminan dari debitor yang
bersangkutan. Perjanjian pemberian garansi/jaminan dapat diminta oleh
kreditor dengan menunjuk pemberi garansi/penjamin tertentu, atau yang
70
diajukan debitor. Dalam pemberian garansi/jaminan ini bukan berarti setiap
orang atau badan hukum bisa menjadi penjamin, melainkan orang atau badan
hukum yang betul-betul mampu membayar utangnya debitor. Agar dapat
menjadi pemberi garansi/penjamin seseorang atau badan hukum harus
memenuhi syarat-syarat yaitu:71
1. Cakap atau mampu untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian
artinya tidak dibawah umur, dibawah pengampuan atau pailit.
2. Mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai
pemberi garansi/penjamin artinya yang bersangkutan dinilai mampu
dan mempunyai harta yang cukup untuk memenuhi kewajibannya.
3. Berdiam di wilayah Indonesia, syarat ini bertujuan untuk memudahkan
bagi kreditor (bank) di dalam menagih utang tersebut. Sebab bila
pemberian garansi/penjamin berada di luar negeri tentunnya akan
menyulitkan untuk menyelesaikan masalah penjaminan tersebut.
Dengan adanya perjanjian pemberian garansi antara kreditor dengan
pemberi garansi/jaminan, maka lahirlah akibat-akibat hukum yang berupa
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus diperhatikan baik oleh
pemberi garansi/penjamin maupun oleh kreditor.
Bentuk akta perjanjian pemberian garansi/jaminan dapat dibuat dengan
akta di bawah tangan atau dengan akta otentik karena Undang-undang tidak
mensyaratkan atau menentukan secara formal mengenai bentuk akta
71
perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut. Namun pada umumnya dalam
praktek perbankan akta perjanjian pemberian garansi/jaminan selalu dibuat
dengan akta notaris karena lebih menjamin kebenaran dan kelengkapan isi
akta perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut dan dapat menjamin
kekuatan pembuktian sebagai akta otentik sekaligus agar para pihak
mengetahui masing-masing yang menjadi hak dan kewajibannya.72
C. Akibat Hukum Perjanjian Pemberian Garansi/jaminan
Suatu perjanjian pemberian garansi/jaminan akan membawa akibat hukum,
sebagai berikut:
1. Akibat hukum antara guarantor/penjamin dengan kreditor
Perjanjian pemberian garansi/jaminan merupakan perjanjian antara seorang
penjamin/guarantor dengan kreditur yang menjamin pembayaran kembali utang
debitor manakala debitor sendiri tidak memenuhinya (cidera janji).
Penjamin/guarantor merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri kepada
kreditor untuk menjamin pembayaran kembali utang debitor. Penjamin yang
mengikatkan diri kepada kreditor dapat dilakukan dengan sepengetahuan debitor
atau diluar pengetahuan debitor. Seorang guarantor/penjamin yang telah
mengikatkan diri sebagai guarantor/penjamin membawa akibat hukum bagi
72