• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan self-esteem dengan kecenderungan berperilaku bull ying pada rem aja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan self-esteem dengan kecenderungan berperilaku bull ying pada rem aja"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

LUTHFIAH

NIM. 102070026045

Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikoloqi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

Oleh:

LUTHFIAH

NIM : 102070026045

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing II

Hartati. M. Si Shol\c

セセ@

€?::7filt

GLセ@

15 938 NIP. 150 293 234

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDAY ATULLAH

JAKARTA

(3)

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam

Negeri Syarif Hiclayatullah Jakarta pada tanggal 27 Februari 2007. Skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Psikologi (S. Psi.)

Jakarta, 27 Februari 2007

Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan I/

2'15 938

Anggota

Ora. H. N tt Hartati, M. Si.

NIP. 1 215 938

Pem1 imbing II,

(4)

-Jfai ora110-orann ya1l{J 6erima11, ja111Ja11fali suatu fig.um menoofok,-ofof(,fig,n fig.um

yann fain (lig,mia) 6ofeli ju.di. mere/ig, (Jann awfof(,-ofo/if\fln)

{e6ifi

6aik,tfari ;nerefig,

(Jann menoofok,-ofof(,lig,n) tfan jannan pufa wanita-wanita (menoofoft-oful{.lig,n)

wanita-wanita fain (lig,mia) 6ofeli ju.di. wanita-wanita (Jann atperofok,-ofok,lig,n)

fefjifi 6aik,tfari wanita (Jann menoofo/(,-ofof(,/ig,n) tfan Jannanfali fig.mu mencefa

&rimu semliri tfan jannanfali fW,mu pa1llJlJif-mema111J!Ji£ d"engan gefar-gefuryann

6urul(, ... (Jlf-Jfujurat: 11)

"J[aroa auimu

tidal(,

6eratfa patfa puntfak, orann fain,

tapi

& atas puntfaR!,nu.

Sefama C111JfW,U titfaftmenoliar9ai orann fain, titfaftpantas 6ll1Jimu menU71ti!JU

pC11fJliar9aan tfari siapa pun»

(5)

'Yil}Iffafi 6erifafi afi,u rezelij cinta-'.Mu

Jan cinta oratl{J yatl{J 6enna1ifaat 6uatk,u cintarrya Ji sisi-'.Mu 'Ya jl{[afi segafa yatl{J 'E11fj/igu rezclijfi.gn untuk,/(,u

Ji antara yang a/iy ci11tai, jadifi.gn itu se6agai kff(,uatan untu/(,menJapat/ign yang 'Engfi.gu cintai

'Ya }lffafi apa yatl{J 'Etl{J/i.siu sing/ijrftrtn di antara scsuatu yang a/(,u cintai, jadi'fi.gn itu kf6e6asan wztuk,liy Jafam segafa fia{ yatl{J 'Etl{J/i.siu cintai

)lmin 'Ya ra66afafamin (J{rJ?.,Jlt-'Iirmizi)

'l(JLpersem6ali.l{fr.n

'Kflrya setferlianak,u

ini

untuk,orang-orang tercintak,u:

.Jlya/i. dan I6uk,u yang tefali. m.erufuftk,da.n mem6im6ingk,u

'l(flempat

ャサヲイLャサヲイNセャサヲイNャサヲイNォLォNオ@

yang pengertian dan aatk,k,u yang

(6)

(C) LUTHFIAH

(A) Fakultas PSikologi (B) Februari 2007

(D) HUBUNGAN SELF-ESTEEM DENGAN KECENDERUNGAN

BERPERILAKU BULL YING PADA REMAJA

(E) xix+1149 halaman

(F) Masa remaja merupakan transisi periode perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada masa ini, remaja sedang mencari jati dirinya. Hal ini ditandai dengan hubungan yang erat dengan teman sebayanya. Pada masa ini kebutuhan, keinginan, dan minat remaja mulai meningkat. Salah satu kebutuhan pada masa remaja adalah,

kebutuhan akan harga diri. Harga diri remaja berkembang dan terbentuk dari interaksinya dengan orang lain, melalui penghargaan, penerimaan, serta perilaku orang lain terhadap individu yang bersangkutan. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diakui keberadaannya

menyebabkan remaja dengan self-esteem tinggi melakukan bullying di

sekolah terhadap adik kelasnya. Mereka tidak terima jika ada junior yang melakukan hal yang dapat melukai harga dirinya.

Bullying adalah bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sadar oleh orang/kelompok yang memiliki kekuatan yang lebih besar terhadap orang yang lebih lemah, bertujuan untuk menyakiti korban baik secara fisik, verbal maupun psikologis, dan dilakukan secara berulang-ulang, dalam periode waktu tertentu.

Self-esteem yang adalah penilaian, penghormatan dan keyakinan seseorang terhadap kemampuan, kekuatan dan keberartian dirinya

berdasarkan standar subyektif yang diekspresikan dalam bentuk kata-kata (verbal) maupun perilaku.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara

self-esteem dengan kecenderungan berperilaku bullying pada remaja. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 180 orang. Sampel penelitian ini berjumlah 123 siswa kelas 3 SMKN 7 Rawamangun, dimana 102 orang adalah responden laki-laki dan 21 orang responden wanita. Pengambilan

sampel dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling. Teknik

(7)

mengetahui sejauhmana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi.

Setelah kedua skala diuji validitasnya dengan korelasi product moment

Pearson dan diuji reliabilitas dengan Alpha Cronbach, untuk skala self-esteem diperoleh 37 item valid dan koefisien reliabilitas 0,869., semua

item yang valid pada skala self-esteem ini digunakan sebagai alat ukur

dalam penelitian , dan untuk skala kecenderungan berperilaku bullying

diperoleh 69 item yang valid dengan koefisien reliabiiitas 0,939., namun, tidak semua item yang valid tersebut digunakan sebagai alat ukur

penelitian, dengan pertimbangan efisiensi dan efektifitas kerja peneliti dan juga waktu responden yang terbatas. Item valid yang digunakan sebagai alat ukur penelitian dipilih berdasarkan nilai validitas yang lebih tinggi sedangkan nilai validitas yang rendah diabaikan. Dengan demikian, item valid yang digunakan dalam penelitian sebanyak 55 item, kemudian data

dianalisis dengan menggunakan program SPSS 12.0 for Windows dengan

teknik uji korelasi Spearman's rho. Dari hasil penelitian diperoleh r-hitung

sebesar (-0,283) lebih besar dari r-tabel pada signifikansi 0,05 adalah 0, 176 dan uji signifikansinya dengan nilai t-hitung = 2,0939 > nilai t-tabel

=

1,980 pada tingkat signifikansi 0,05(df121). Dengan demikian

keputL1san statistiknya adalah

Ho

ditolak dan menerima

H

1• maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatrr yang signifikan antara

(8)

(C) Luthfiah

(D) Correlation of Self-Esteem with Bullying behavior tendences in

adolescent (E) xix+ 149 pages

(F) Adolescent is development period transition between children and adulthood. In this period, adolescent were searching their self identity. This is marked with close relationship with their friends. In this period, need desire and interest of adolescent are beginning for improve. One of needs in adolescent is need fer self esteem. Self esteem of adolescent developes and shaped in interaction to others, through appreciation and accepldnce, and aether's behavior to pertinent indiv!dual. Existence of adolescent want" to be confessed by others with try to be part of them. Need for existence confession causes adolescents with high self esteem to behave bullying in school to their juniors. They don't accept if there is a junior do anything may hurt their self esteem.

Bullying is awared aggressive behavior form by person or group who has bigger power to weak person, aims to hurt victim physically, verbally and psychologically, and done repeatedly in a certain times.

Self esteem is assessment, respectation and confidence of somebody about ability, power and self meaning based subjective standarts were expressed verbally and behavior.

This reseach aims to find the existence correlation between self esteem with bullying behavior tendencies in adolescents. The population in this research is 180 persons. The sample in this research 123 third year students SMKN 7 Rawamangun, in which there are 102 boys and 21 girls as respondents. Sample taking was done by used random sampling technique. Data taking technique by used Likert scale. Scale was used is self esteem scale and bullying behavior tendencies scale.

(9)

and reliability coefficient is 0,939., but no that valid all items were used as measu1ing instruments, with consideration of work efficiency and

effectivity of researcher and time limited af respondents. Valid items were used as measuring instruments of research were choosen based higher values of validity. While lower values of validity were disregarded. So, valid items were used in this research were 55 items.and then, the datas were analized by using the program of SPSS for windows version 12.00 with Spearman's rho correlation technique,. From the finding research was reached r is -0,283 and it is ィゥァィ・セ@ than r table on significantion 0,05 is 0, 176., and the significantion was tested by t value= 2,0939 > ttable value= 1,980 on significantion 0,05 (df=121 ). So the statistical decision is HO is refused and 1-11 is accepted. So, it is conclused there are significant negative correlation between self esteem with bullying behavior tendences in adolescents.

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWf yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul "Hubungan Self-Esteem dengan Kecenderungan Berperilaku

Bullying pada Remaja". Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah atas Nabi Muhammad Saw., yang telah menjadi suri tauladan terbaik bagi umat

manusia, kepada keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga <'lkhir

zaman.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesulitan-kesulitan yang

penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini. Tugas akhir ini dapat

terselesaikan berkat kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan

penuh rasa hormat perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih

yang mendalam kepada:

1. Oekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ibu Ora. Hj.

Netty Hartati, M. Si; Pudek Fakultas Psikologi ibu Hj. Zahrotun Nihayah,

M. Si., beserta civitas akademik Psikologi yang telah membantu

kelancaran administrasi untuk penelitian.

2. Bapak Ors. Sugeng Priyana selaku Kepala Sekolah, dan Bapak Kusmanto

(11)

3. lbu Ora. Hj. Netty Hartati, M. Si. Selaku dosen pembimbing I dan ibu

Solicha, S. Ag. Selaku dosen pembimbing II, yang di tengah

kesibukannya telah meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan,

bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah banyak memberikan ilmu

dan bimbin\:jannya.

5. Teruntuk Bapak dan lbuku tercinta, H. Muhammad dan Hj. Zulfah yang

dengan tulus ikhlas memberikan kasih sayang dan dorongan baik moriil

maupun materi, serta doa yang tak henti-hentinya dipanjatkan guna

keberhasilan dan kebahagiaan anak-anakmu, terima kasih kepada-mu

yang tak terhingga.

6. Untuk kakak-kakak dan adikku tercinta, terima kasih atas nasehat,doa

dan dukungan yang telah kalian berikan.

7. Untuk Nurul, terima kasih atas informasi mengenai sekolahnya dan

bantuannya dalam penyebaran angket.

8. Untuk Atop dan Oiah, terima kasih atas bantuan kalian yang telah dengan

setia menemani penulis selama penelitian, serta gelak tawa yang telah

(12)

10. Untuk kakak seniorku, Ag us yang telah meminjamkan buku-bukunya

selama berbulan-bulan guna penyeiesaian skripsi ini, terima kasih juga

atas kursus SPSS yang telah diberikan secara cuma-cuma.

11. Teruntuk sahabat-sahabatku (Dhona, lka, Hany, Vivi, lrha, dan Ozi),

terima kasih atas persahabatan yang teiah kalian berikan dengan begitu

indah yang te.lah mewarnai masa-masa perkuliahan.

Terakhir, terima kasih kepada seluruh pihak yang belum disebutkan, semoga

Allah membalas semuanya. Amien.

Jakarta, Februari 2007

(13)

HALAMAN JU DUL ...

.i

LEMBAR PERSETUJUAN ...

.ii

LEM BAR PENGESAHAN ...

iii

MO TIO ...

.iv

PERS EM BA HAN ...

v

ABSTRAKSI ...

vi

KAT

A

PENG

ANT

AR ...

x

DAFT

AR ISi. ...

xiii

DAFT AR T

ABEL ...

xvii

DAFT AR GAMBAR ...

xix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-10

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. ldentifikasi Masalah ... 8

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

1.3.1. Pembatasan Masalah ... 8

1.3.2. Perumusan Masalah ... 9

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1. Tujuan Penelitian ... 9

(14)

2.1. Bullying .... 11

2.1.1. Definisi bullying ..... 11

2.1.2. Tempat エ・セ。、ゥョケ。@ bullying ...... 15

2.1.3. Jenis-jenis bullying ....... 16

2.1.4. Karakteristik pelaku bullying ....... 17

2. 1. 5. Tipe korban bullying ...... 19

2.1.6. Sumber-sumber psikologis yang mendasari perilaku Bullying ...... .20

2.1.7. Dampak bullying terhadap korban ... 21

2.2. Self Esteem ...... 22

2.2.1. Definisi Self-esteem .... 22

2.2.2. Komponen Self-esteem ... 25

2.2.3. Karakteristik orang berdasarkan harga dirinya ... 27

2.3. Remaja ... 30

2.3.1. Definisi Rernaja ... 30

2.3.2. Batasan Remaja ... 32

(15)

BAB 3 METODOLOGI PENEUTIAN ... 44-60

3.1. Jenis Penelitian ... ___ ... ___ -·· -·· ... ___ ... ·-- ... ·-- --· .. .44

3.1.1. Pendekatan Penelitian ... -·- ___ ... --· ... ___ -·· ... -·- .. .44

3.1.2. Metode Penelitian ... .44

3.2. Variabel Penelitian ___ ... 44

2 .2.1. Definisi Konseptual. .... _ .... ____ ... ____ ... _ ... ____ .... _ .. -45

3.2.2. Definisi Operasional Variabel. ... .45

3.2.2.1. lndikator perilaku bullying ... .46

3.2.2.2. lndikator self-esteem ... _______ .. ___ ... ____ .... .47

3.3. Pengambiian Sampel.. ... .47

3.3. i. Populasi dan sampel. ... .47

3.3.2. Teknik pengambilan sampel.. ... .48

3.4. Pengumpulan Data ... .48

3.4.1. Metode dan lnstrumen Penelitian ... 48

3.4.2. Teknik uji instrumen penelitian ... 52

3.5. Teknik Analisa Data ... 58

(16)

4.1.2. Gambaran subjek berdasarkan usia ... 67

4.1.3. Gambaran subjek berdasarkan penyebaran skor. ... 62

4.2. Hasil Utama Penelitian ... 67

4.2.1. Uji persyaratan ... 67

4.2.2. Uji hipotesis ... 72

4.2.3. Uji signifikansi.. ... 7 4 4.3 Hasil tambahan penelitian ... 74

BAB 5

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ...•... 77-84

1.1. Kesimpulan ... 77

1.2. Diskusi.. ... 77

1.3. Saran ... 84

'

DAFT AR PUST AKA ... 85-90

(17)
[image:17.518.34.443.165.640.2]

Tabel 2.1. Bagan kerangka berpikir. ... 42

Tabel 3.1 Bobot nilai ... .49

Tabel 3.2 Blue print self-esteem ..... 50

Tabel 3.3 Blue print perilaku bullying ... .. 51

Tabel 3.4 Blue print hasil try out skala self-esteem ..... 54

Tabel 3.b Blue print hasil try out skala kecenderungan berperilaku bullying ..... 56

Tabel 4.1 Gambaran subyek berdasarkan jenis kelamin ... 61

Tabel 4.2 Gambaran subyek berdasarkan usia ... 62

Tabel 4.3 Deskripsi statistik skor skala self-esteem laki-laki dan perempuan ... 62

Tabel 4.4 Statistik skor skala self-esteem ..... 63

Tabel 4.5 lnterpretasi skor self-esteem ..... 64

Tabel 4.6 Kategorisasi skor skala self-esteem ..... 64

Tabel 4.7 Deskripsi statistik skor skala kecenderungan berperilaku bullying laki-laki dan perempuan ... 65

Tabel 4.8 Statistik skor skala kecenderungan berperilaku bullying ...... 66

Tabel 4.9 lnterpretasi skor kecenderungan berperilaku bullying ...... 66

(18)

Tabel 4.13 Hasil uji homogenitas ... 72

Tabel 4.14 Hasil uji hipotesis ... 73

Tabel 4.15 Nilai rata-rata jenis bullying laki-laki dan perempuan ... 75

[image:18.518.31.447.118.507.2]
(19)
[image:19.519.87.433.163.492.2]

Gambar4.1

Gambar4.2

Scatterplot skala self-esteem .... 69 Scatterplot skala kecenderungan berperilaku

(20)

1.1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk dapat menjadikan

manusia yang seutuhnya, yang berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri,

melainkan juga untuk keluarga, bangsa dan negara. Dalam

perkembangannya, untuk memenuhi tuntutan zaman yang semakin

kompleks, anak membutuhkan pendidikan lebih dari yang bisa didapatkan

dari keluarga. Oleh karenanya, anak kemudian membutuhkan sebuah

lembaga pendidikan yang bersifat formal untuk dapat mengembangkan

potensi yang ada di dalam dirinya dan memperlu2s wawasannya. Lem!:Jaga

pendidikan yang dimaksud itu adalah sekolah. Sebagai lembaga pendidikan,

sekolah sudah sepatutnya menjadikan anak didiknya sebagai manusia yang

cerdas tidak hanya secara intelektual tetapi juga cerdas secara emosional

dan spiritual. Namun pada kenyataannya banyak para pelajar yang masih

berperilaku negatif dan melakukan tindak kekerasan. Hal ini bisa kita lihat dari

berbagai pemberitaan di media massa tentang pelajar yang melakukan

tawuran, menggunakan obat terlarang, dan berkelahi. Kekerasan dan

(21)

lingkungan sekolah bentuk dari tindak kekerasan yang sering terjadi antara

lain adalah pemukulan, pemalakan, olok-olok, intimidasi dan lain sebagainya

yang dilakukan oleh seorang siswa atau sekelompok siswa terhadap siswa

lainnya. Berikut ini adalah contoh kasus kekerasan yang terjadi di sekolah

yang dilakukan oleh sekelompok siswa terhadap siswa lainnya:

" ... _ .. Wiwik merasa sedih ketika menceritakan kembali mengenai anak /aki-/akinya yang berperawakan kecil kerap jadi bahan ejekan teman-temannya saat masih duduk di kelas 1 SMA. Dia diejek sebagai banci Jan ha/ ini menyebabkannya mogok seko/ah. Pemah karena tak tahan, si anak melawan, lalu terjadi perke/ahian tak seimbang karena yang mengeroyok adalah sekelompok anak berbadan besar. Sedangkan teman anaknya diejek dengan sebutan homo, gendut sampai-sampai si anak sakit akibat tekanan psikis ... "(Kompas, 26 Maret 2006)

Kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus kekerasan yang

terjadi di sekolah. Faisal (bukan nama sebenarnya), pernah dilempari kulit

duren di mukanya hanya karena ia memakai tindik di kuping dan dianggap

menyalahi aturan tidak resmi para senior. Dia dianggap bertingkah dan

memancing kemarahan para senior (Hai, Juli 2006). Lain lagi yang pernah

dialami oleh Andi, ia pemah diculik sewaktu pulang sekolah. t:saru hari

(22)

keempat temannya satu angkatan, ia diangkut ke kawasan Cilandak di salah

satu rumah sang senior. Di rumah itu, Andi dan kawan-kawan harus

menghadapi bentakan, dikerjai habis, sampai dipukul

(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/06/muda/3!:i1498.htm, 21 Juli

2005). Olok-olok, intimidasi, pengucilan, atau serangan fisik adalah

warna-warni kehidupan di sekolah. Perilaku tersebut mengandung unsur tindakan

agresivitas 'jang sistematis, terencana dan bertujuan dari satu pihak kepada

pihak lain dengan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang.

Tindakan ini dikenal ciengan istilah bui/ying (Olweus, 1993, Smith &

Sharp, 1994 dalam Randall, 1997).

lstilah bullying menurut laporan SEJIWA, belum banyak dikenal di Indonesia,

kendati fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika

kehidupan di sekolah-sekolah negeri ini. Sebenarnya bullying dapat terjadi

kepada siapa pun dan di mana pun antara lain "ketika ada sejumlah orang

yang merasa punya kekuasaan menemukan pihak lain untuk dikuasai"

(http://news.antara.eo.id/seenws/?id=33112, 5 Mei 2006).

Bullying berpotensi menciptakan pribadi-pribadi yang rapuh seperti sulit berkonsentrasi sehingga menurunkan kemampuan akademis siswa, minder,

merasa tidak berharga bahkan menyumbangkan saham terhadap

(23)

yang menganggap kekerasan yang terjadi di sekolah seperti olok-olok,

ejekan, intimidasi, dan pengucilan adalah hal yang biasa dalam kehidupan

remaja. Padahal jika perilaku tersebut didiamkan dan tidak diatasi, maka

perilaku ini terus-menerus akan tumbuh subur,dan ada kemungkinan korban

dari bullying menjadi pelakunya di kemudian hari (http://www.republika

. co .id/korandetail .asp?id=245850&katid=13&katid 1 &katid2=).

Olweus (1993) mengatakan bahwa sekolah tanpa diragukan lagi merupakan

tempat yang paling banyak timbulny3 perilaku bullying, dai1 pefil8ku bullyi.ryg

di antara murid rata-rata banyak terjadi di sekolah yang besar dan kelas yang

besar. Hasil penelitian tim Fakultas Psikologi UI menunjukkan, bullying

banyak terjadi di kalangan SMA, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta,

Bogor, dan Bandung

(http://www.sampoernafoundation.org/contenUview/99/105/lang.id/27 April

2006)

Bullying di sekolah biasanya terjadi pada saat MOS (masa orientasi siswa) yang kemudian diperpanjang waktunya secara tidak resmi oleh pihak-pihak

yang tidak bertanggung jawab sampai satu atau dua tahun, sehingga hal

tersebut menimbulkan perasaan tertekan bagi siswa (dalam Ayu Ambarwati &

Andra Nuryadi, 2005). Kebanyakan pelaku bullying atau yang biasa disebut

(24)

kelas atau senior dan target atau sasaran bullying mereka adalah para siswa baru.

Senioritas adalah sebuah julukan yang sering disangkutkan dengan

kekuasaan. Celakanya, menurut Dr. Winarni Wilman D Mansoer, dosen

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam kekuasaan itu ada unsur

kekuatan. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa (dalam Ayu Ambarwati &

Andra Nuryadi, 2005). Sehingga setiap junior sudah sepatutnyaiah mengikuti

a;:ia yang dikatakan oleh senior sebag"li pihak yang berkuasa dail tidak boleh

bertingkah macam-macam di depan senior. Jika sang junior bertingkah

dengan melakukan hal tidak disukai oleh senior maka junior akan

mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari senior, perlakuan

tersebut antara lain dalam bentuk hinaan, intimidasi, pengucilan dan lain

sebagainya. Bentuk perilaku-perilaku tersebut merupakan perilaku yang

disebut dengan bullying.

Fenomena bullying di Indonesia, menurut Ratna Juwita, psikolog sosial dari

Fakultas Psikologi UI, memiliki keunikan tersendiri. Jika di Negara-negara

barat, bully biasanya hanya perorangan atau geng kecil, di Indonesia bully

sering dilakukan oleh satu angkatan terhadap angkatan yang lebih muda

(25)

Pada dasarnya pelaku bullying/bullies tidak memperhitungkan alasan

mengapa mereka melakukan bullying tersebut. Terkadang pelaku hanya

mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya

melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban, tetapi

perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan

membuat korban mengalami Iuka baik fisik maupun psikologis. Hasil

penelitian Dina Wiyasti (2004) tentang gambaran penyebab terjadinya

bullying oleh senior terhadap senior di SMU "Z" menunjukkan bahwa salah

satu penfebab terjadinya bullying adalah ka.-ena adik kelas bersikap tidak

menghargai seniornya.

Pelajar di sekolah menengah tingkat atas (SMA) pada umumnya berada pada

tahapan usia remaja. Usia remaja ditandai oleh terjadinya perubahan yang

besar dalam aspek fisik yaitu terjadinya pubertas, perubahan kognitif,

maupun perubahan psikososial (Santrock, 2002).

Masa remaja ini merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan

karena masa ini dikenal antara lain sebagai masa dimana individu melakukan

pencarian identitas diri. Remaja yang sedang dalam proses pencarian

identitas diri, penilaian orang lain menjadi sangat penting bagi dirinya karena

hal ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan remaja akan harga diri

(26)

Coopersmith menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil penilaian

individu terhadap dirinya sendiri. Pendapat ini didukung oleh Klass dan

Hodge yang menambahkan bahwa harga diri tersebut sebagian besar

dihasilkan oleh refleksi penghargaan orang lain terhadap dirinya (dalam

Muryantinah M. Handayani, 2001).

Abraham Maslow (dalam Goble, 1998) menjelaskan bahwa, setiap orang

memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan, yakni harga diri dan

penghargaa11 dari orang lain. Pertama, harga diri meliput1: kebutuh::m akan

kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi,

ketidaktergantungan dan kebebasan. Kedua, penghargaan dari orang lain

meliputi: prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik

serta penghargaan. Brocker (dalam Berta Esti Ari Prasetya, 2002)

menyatakan hal yang serupa bahwa setiap orang memiliki kebutuhan untuk

mendapat penerimaan dan penghargaan dari orang lain. Dalam teorinya

disebutkan c;emakin kebutuhan ini ticiak dipenuhi, maka semakin kuat

keinginan individu tersebut untuk memuaskan kebutuhan ini dengan cara

apapun, termasuk dengan melakukan bullying.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin mengangkat permasalahan

tersebut ke dalam penelitian yang berjudul "Hubungan Self-Esteem dengan

(27)

1.2. ldentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis

mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Apakah orang yang berkecenderungan melakukan bullying memiliki harga

diri yang tinggi?

2. Bentuk-bentuk bullying yang seperti apakah yang sering muncul di

st!kolah tersebut?

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.3.1. Pembatasan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada:

a. Perilaku Bullying yang dimaksud adalah perilaku kekerasan yang terjadi di

:>ekolah yang dilakukan oleh siswa senior terhadap juniornya dilakukan

secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari

perilaku bullying dapat berupa fisik, psikologis baik verbal maupun

nonverbal, dan gabungan dari keduanya.

b. Self-esteem yang dimaksud dalam penelitian adalah keyakinan individu terhadap keberhargaan dan kemampuan dirinya.

c. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas 3 di SMKN 7 Grafika

(28)

1.3.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis

merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu "Apakah ada hubungan

antara Self-esteem dengan kecenderungan berperilaku bullying pada

remaja?"

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara

self-esteem dengan kecenderungan berperilaku bullying pada remaja?

1.4.2. Manfaat penelitian

1.4.2.1. Manfaat secara Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam melengkapi

kajian ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Psikologi tentang bahaya

bullying dalam lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan.

1.4.2.2. Manfaat secara praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi praktisi

pendidikan untuk mencari cara bagaimana menghentikan perilaku bullying

(29)

1.5.

Sistematika Penulisan

Bab I PENDAHULUAN meliputi: latar belakang masalah, identifikasi

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, sistematika penulisan.

Bab II

Bab Ill

Bab IV

BabV

KAJIAN PUSTAKA meliputi: definisi bullying, tempat

terjadinya bullying, jenis-jenis bullying, karakteristik pelaku

bullying, tipe korban bullying, sumber-sumber psikologis yang

mendasari perilaku bullying, dampak bullying terhadap

korban, definisi self-esteem, komponen self esteem,

karakteristik orang berdasarkan harga dirinya, definisi remaja,

batasan remaja, tugas perkembangan dan

kebutuhan-kebutuhan remaja.

METODOLOGI PENELITIAN meliputi: pendekat<:.n dan

metode penelitian, definisi konseptional dan definisi

operasional, populasi dan sampel, teknik pengambilan

s<=!mpel, metode dan instrumen penelitian, teknik uji instrumen

penelitian, teknik analisa data, dan prosedur penelitian.

PRESENTASI DAN ANALISIS DATA meliputi: gambaran

umum subyek penelitian, presentasi data, hasil penelitian dan

hasil tambahan penelitian.

(30)

2.1.

BULL YING

2.1.1. Definisi Bullying

Berbagai definisi serta konsep mengenai perilaku bullying telah banyak

diberikan oleh para ahli diantaranya yaitu Olweus (1993) yang mendefinisikan

bullying sebagai berikut: "A student is being bullied or victimized when fie ur she is exposed, repeatedly and over time, to negative actions on the part of

one or more other students" . Sedangkan David Elkind mendefinisikan

bullying: "Children who consistently try to control peers through verbal or physical aggression to relieve their own feelings of inadequacy" (dalam Sheras,P & Sherill T, 2002).

Randall mengatakan bahwa perilaku bullying adalah: "Bullying is the

aggressive behavior arising from the deliberate intent to cause physical or psychological distress to others" (Randall, 1997). Smith dan Sharp juga

memberikan definisi bullying sebagai berikut: "Bullying can be described as

(31)

Ketua yayasan Semai Jiwa Amini, Diena Trigg, yang aktif melakukan

penelitian tentang bullying di sekolah-sekolah mendefinisikan bullying

sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang

atau kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya

(http:/lwww .sampoernafoundation.org/content/view/99/105/lang, id/).

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bullying adalah

suatu perilaku agresif yang dilakukan secara sadar oleh individu atau

ke1ompok yang te1iihat memiliki kekuasaan dan kekuatan (seni0;) terhadap

orang yang lemah (junior), bertujuan untuk menyakiti korban, serta

menimbulkan ketakutan pada diri korban, dan dilakukan secara

berulang-ulang, dalam periode waktu tertentu.

Sullivan (2000) mengatakan ada beberapa elemen di dalam bullying yaitu:

1. Adanya niat melukai atau merugikan orang lain

2. Adanya ketidak-seimbangan kekuatan (imbalance of power')

3. Dilakukan secara terorganisir dan sistematis

4. Dilakukan secara berulang-ulang dalam periode tertentu

5. Pengalaman yang menyakitkan bagi korban yang berbentuk fisik

(32)

Ketidak-seimbangan kekuatan/kekuasaan antara pelaku dengan korban

dapat berbentuk macam-macam, misalnya ketidakseimbangan yang

berkaitan dengan keadaan tubuh, kapasitas untuk mendominasi orang lain

secara verbal, maupun mengucilkan seseorang dari kelompok tertentu.

Menurut Olweus (1993), ketidakseimbangan kekuatan/kekuasaan (imbalance

of power) antara pelaku dengan korban ini merupakan ciri khusus dari perilaku bullying.

Pelaku bullying memiliki tujuan untuk menyakiti orang lain, maksudnya adalah

hal yang dilakukan oleh pelaku merupakan hal yang disengaja bukan hal

yang tidak disengaja untuk dilakukan. Kebanyakan pelaku bullying mencari

popularitas dengan cara menekankan agresi pada anak-anak yang lemah,

tidak populer dan tidak mampu balas dendam. Beberapa anak terlihat baik

dan ramah secara pribadi akan tetapi berperilaku bullying ketika berkelompok

(Sheras, P. & Sherill T, 2002).

Bullying memiliki makna yang berbeda dengan sarkasme, meskipun

sarkasme juga mengandung olok-olok ataupun penghinaan untuk menyakiti orang lain.

(33)

Gorys, 1985). Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2000) sarkasme

mengandung arti penggunaan kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang

lain; cemoohan atau ejekan kasar. Pengertian lain menyebutkan sarkasme

adalah sindiran yang disajikan secara keras dan kasar tanpa menggunakan

upaya penyiratan melalui pembalikkan makna

(http://en.bitacle.org/v/4z7c--eipp0/majas.html?usrmode=1 ).

Berbeda dengan bullying, di dalam sarf(8sme tic!3k ada unsur kekuasaan

ataupun kekuatan sedangkan pada bullying terdapat unsur tersebut. Pelaku

sarkasme bukanlah orang yang terlihat memiliki kekuasaan dan kekuatan, siapapun bisa melakukannya. Dengan kata lain tidak ada unsur senioritas di

dalam sarkasme. Sarkasme sering diekspesikan dalam pernyataan sindiran

dan sering digunakan dalam gaya humor dan kadang-kadang diekspresikan

melalui intonasi suara yang khusus

(http://www.gooqle.eo.id/search?hl=id&defl=en&q=define:sarcasm&sa=X&oi=

glossary definition&ct=title). Dalam sarkasme terdapat pembalikkan makna.

Hal ini mengandung pengertian bahwa apa yang dikatakan berlainan dengan

apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya, dan sarkasme ini akan

berhasil apabila pendengar sadar akan maksud yang disembunyikan di balik

(34)

Bullying dan sarkasme pada dasarnya memiliki kesamaan yakni bisa menyakiti orang lain. Namun di dalam sarkasme tidak terdapat

elemen-elemen yang terkandung dalam bullying seperti terdapat unsur kekuasaan,

dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu.

2.1.2. Temrat Terjadinya Bullying

Penelitian mengenai sekolah sebagai salah satu tempat terjadinya perilaku

bullying pernah dilakukan ol6h Olweus (1993) ci mana menurutnya se:mlah tanpa diragukan lagi merupakan tempat yang paling banyak timbulnya

perilaku bullying dan perilaku ini banyak terjadi di antara murid di sekolah

yang besar dan kelas yang besar.

Sheras, P dan Sherill T. (2002) menyebutkan beberapa tempat terjadinya

bullying, tempat-tempat tersebut adalah di halaman sekolah, di dalam kelas, kamar mandi sekolah, bus sekolah, dalam perjalanan pulang dari sekolah,

(35)

2.1.3. Jenis-Jenis Bullying

Jenis bullying menurut Randall, P. (1997) adalah:

1. Bullying yang bersifat fisik, seperti: menjambak, memukul, menendang, mengunci di kamar, mendorong, mencakar, meludahi dan berbagai

serangan fisik lainnya. Termasukjuga diantaranya merusak barang orang.

2. Bullying yang bersifat nonfisik/psikologis Dapat bersifat verbal maupun nonverbal

11 Bullying yang bersifat verbal, misalnya: telepon ancaman, meminta

uang atau barang dengan paksaan (memalak), intimidasi, meniberi

julukan yang tidak pantas, mengolok-olok ras, pelecehan seksual

secara verbal, mempermalukan, menyebarkan isu tidak benar.

" Bullying yang bersifat nonverbal terbagi lagi menjadi dua, yakni:

langsung dan tidak langsung. Yang langsung mencakup mimik muka

yang jahat dan gerak tubuh yang kasar. Yang tidak langsung

mencakup manipulasi dan meruntuhkan pertemanan, mengisolasi atau

tidak mengikutsertakan seseorang, dan mengirimkan catatan yang

menjelek-jelekan.

Bullying dapat dilakukan dalam salah satu bentuk di atas atau kombinasi dari

beberapa bentuk perilaku bullying. Pada perilaku bullying tidak

memperhitungkan alasan pelaku melakukan bullying. Terkadang pelaku

hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan,

(36)

tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan

membuat korban mengalami Iuka baik fisik maupun psikologis.

Pada umumnya anak laki-laki lebih sering melakukan bullying. Hal tersebut

dikarenakan hubungan pertemanan di antara sesama laki-laki lebih keras,

lebih kuat, dan lebih agresif daripada hubungan pertemanan di antara

sesama perempuan (Randall, 1997). Selain itu, laki-laki lebih sering

menggunakan perilaku bullying aktif seperti menyerang korban daripada

perilaku bullying pasif seperti memperlihatkan mimik rr.uka yang jahat. Bukan

berarti laki-laki tidak pernah melakukan perilaku bullying dalam bentuk pasif.

Menurut Olweus (1993), jumlah laki-laki yang melakukan bullying pasif

setidaknya hampir sama dengan perempuan yang melakukan perilaku

bullying pasif, walaupun perempuan yang melakukan bullying lebih sedikit daripada laki-laki.

2.1.4. Karakteristik pelaku Bullying

Para pelaku bullying memiliki karakteristik umum (Olweus, 1993) yaitu:

1. Memiliki kebutuhan yang besar untuk mendominasi orang lain

2. Menggunakan orang lain untuk mendapatkan hal yang diinginkan

3. Hanya memperhatikan kesenangan dan kebutuhan diri sendiri, serta

(37)

4. Apabila merupakan anak laki-laki, maka memiliki fisik yang lebih kuat

dibandingkan anak laki-laki pada umumnya.

5. Memiliki sikap positif terhadap kekerasan

6. Populer dalam pergaulan di sekolah.

7. Memiliki rasa percaya diri yang tinggi

Sedangkan Stephenson dan Smith (1989, dalam Diana Amalia Z, 2005),

mengatakan bahwa ada tiga tipe pelaku bullying, yaitu:

1. Pelaku dengan tipe percaya diri. Memiliki karakteristik sebagai berikut:

secara fisik kuat, menikmati agresivitas, merasa aman dan biasanya

populer.

2. Pelaku dengan tipe pencemas. Memiliki karakteristik sebagai berikut:

secara akademik lemah, lemah dalam berkonsentrasi, kurang populer dan

kurang merasa aman.

3. Pelaku/korban. Memiliki karakteristik sebagai berikut: seseorang yang

terkadang menjadi pelaku, terkadang menjadi セッイ「。ョL@ tergantung situasi.

Menurut beberapa psikolog dan psikiatris, individu yang berperilaku agresif

dan memiliki kekuatan sebenamya merupakan individu yang mempunyai sifat

cemas dan tidak aman di dalam diri mereka akan tetapi mereka mempunyai

rasa percaya diri yang tinggi. Tidak semua bully yang berkelompok terdiri dari

orang-orang yang selalu memberikan inisiatif atau bully aktif. Hal itu

(38)

saling mendukung satu sama lain sehingga dalam suatu kelompok ada bully

aktif dan ada bully pasif atau pengikut. Ada juga kelompok bully yang

semuanya aktif. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa karakter utama dari

pAlaku bullying dapat dijelaskan sebagai seseorang yang memiliki perilaku

agresif yang dikaitkan dengan fisik yang kuat (Olweus, 1993).

2.1.5. Tipe Korban Bullying

Stephenson dan Smith (1989, dalam Dina Amalia Z., 2005), membagi tipe

korban bullying menjadi tiga:

1. Korban dengan tipe pasif. Memiliki karakteristik sebagai berikut:

pencemas, memiliki self-esteem yang rendah, secara fisik lemah dan tidak

populer. Mereka tidak melakukan apa-apa untuk mengantisipasi tindakan

bullying dan mereka juga tidak bisa melawan ketika peristiwa itu terjadi. 2. Korban dengan tipe provokatif. Memiliki karakteristik sebagai berikut:

secara fisik lebih kuat daripada korban dengan tipe pasif, memiliki

masalah dengan kemampuan konsentrasi, ュセュゥ」オ@ amarah atau

ketidaksukaan dari orang-orang sekeliling mereka sehingga

memungkinkan terjadinya tindak bullying pada mereka.

3. Korban/pelaku. Memiliki karakteristik sebagai berikut: Perry (1988, dalam

Diana Amalia Z., 2005), menemukan bahwa banyak dari korban bullying

(39)

satu pihak, tetapi juga melampiaskan amarahnya terhadap murid lain

yang lebih lemah.

2.1.6. Sumber-sumber Psikologis yang Mendasari Perilaku Bullying

Olweus (1993) mengemukakan beberapa sumber psikologis yang mendasari

munculnya perilaku bullying, yang sebagian berkaitan dengan motif.

Sumber-sumber psikologis tersebut adalah:

1. Para bully mempunyai keinginan yang kuat untuk kekuasaan dan

dominasi. Mereka terlihat sangat menikmat' dalam mengontrol orang lain

dan adanya keinginan untuk memiliki orang lain dalam maksud yang tidak

baik.

2. Bagaimana para bully ini dibesarkan di lingkungan keluarganya. Bully

dibesarkan di dalam keluarga yang authoritarian dengan tingkat kepaduan

yang rendah dan menunjukkan sikap bermusuhan. Orangtua

menganggap bahwa pendapat orangtualah yang benar dan tidak

menghargai pendapat anak. Hukuman fisik pun sering dilakukan untuk

menghukum anak mereka. Dengan demikian, adalah hal yang wajar untuk

berasumsi bahwa para bully tersebut telah rnengembangkan sikap

bermusuhan terhadap lingkungan mereka sendiri, seperti perasaan yang

dapat membuat mereka merasa senang atau puas ketika telah membuat

(40)

3. Adanya komponen keuntungan atas perilaku mereka. Para pelaku bullying

terkadang suka memaksa korban bullying untuk memberikan mereka

uang, rokok, atau sesuatu yang berharga atau ada harganya untuk para

bu//y. Dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku yang mengandung komponen antisosial dan perilaku yang suka melanggar

aturan. Hal itu dapat menyebabkan remaja yang berperilaku agresif dan

suka melakukan bu//ying terhadap orang lain mempunyai kesempatan

menjadi seseorang yang selalu dipenuhi dengan masalah-masalah seperti

kriminalitas dan alkoholik (pecandu !Tlinuman kercis).

Peter Sheras dan Sherill Tippins (2002) mengatakan bahwa kebanyakan

pelaku bu//ying mencari popularitas dengan cara menekankan agresi pada

anak-anak yang lemah, tidak populer dan tidak mampu balas dendam.

2.1.7. Dampak Bullying terhadap Korban

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ciri-ciri d"!ri korban bullying

adalah pemalu, penakut, memiliki harga diri yang rendah, lemah secara fisik

dan lain sebagainya. Bullying juga mempunyai dampak yang tidak baik bagi

korbannya. Bullying bagi korban akan menjadi pengalaman yang tidak

menyenangkan (trauma) dan memunculkan gejala psikosomatis. Karban

berisiko besar untuk depresi dan seringkali menghindari situasi yang

(41)

menghambat kemajuan siswa karena dapat menurunkan kemampuan

akademis siswa. Hal ini dikarenakan siswa kerapkali gundah, sulit

berkonsentrasi sehingga kurang bergairah dalam belajar. Mereka juga kerap

takut dan tidak percaya diri. Dampaknya, potensi siswa gaga! diberdayakan di

sekolah (http://www.republika.eo.id/korandetail.asp?id=245850&kat

id=13&kat id1=&kat id2=).

2.2.

SELF-ESTEEM

:.!.2.1. Definisi Self-esteem

Coopersmith (dalam Murtadho imam, 2005) menjelaskan bahwa harga diri

(self-esteem) adalah "The evaluation which the individual makes and

customarily maintains with regard to himself,· it's expressesan attitude of approval or disapproval and indicates the extent to which the individual believes himself to be capable significance, successful and worthy''. (Self-esteem merupakan evaluasi atau penilaian yang dibuat individu mengenai keberhargaan dirinya, yang ditampilkan dalam sikap penerimaan atau

penolakan dan menunjukkan keyakinan individu kepada diri sendiri bahwa ia

mampu, berarti, berhasil dan berharga).

Lebih lanjut ia menjelaskan pula bahwa penilaian atau evaluasi diri

(42)

penampilan-penampilan, kecakapan-kecakapan dan sifat-sifatnya

berdasarkan standar pribadi dan nilai-nilai yang dimilikinya sampai akhirnya

menjadi sebuah keputusan mengenai harga diri. Self-esteem merupakan

pengalaman subyektif seseorang yang diekspresikan dalam sikap-sikap yang

dipegang individu kepada orang lain baik dalam bentuk kata-kata (verbal)

maupun dalam bentuk perilaku ekspressif secara terbuka lainnya (Gilmore,

1974 dalam Murtadho Imam, 2005).

Sant,ock (2002) dalam b:.ikunya y::mg berjudul "Life-Span develop,11enf'

menerangkan bahwa Self-esteem adalah "Dimensi penilaian (evaluatif) global

dari kepribadian" atau "suatu penilaian atau pencitraan diri yang mengacu

pada suatu bidang keterampilan-keterampilan yang berbeda dan penilaian

diri secara umum".

Sedangkan Abraham Maslow salah seorang tokoh psikologi humanistik

(dalam Goble, 1998) secara panjang lebar menjelaskan bahwa, setiap orang

memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan, yakni harga diri dan

penghargaan dari orang lain. Pertama, harga diri meliputi: kebutuhan akan

kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi,

ketidaktergantungan dan kebebasan. Kedua, penghargaan dari orang lain

meliputi: prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan; ;1ama baik

(43)

Dalam uraian tersebut nampak bahwa Abraham Maslow membagi self-esteem menjadi dua kategori, yakni harga diri dan penghargaan dari orang lain serta memandangnya sebagai sebuah kebutuhan, sama halnya dengan

kebutuhan-kebutuhan yang berada di bawahnya, yakni; Kebutuhan akan rasa

cinta dan memiliki-dimiliki, kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan

fisiologis (fisik). Kemudian, selain kebutuhan tersebut, terdapat pula

kebutuhan yang disebut dengan kebutuhan aktualisasi diri (self actualization)

yang berada di atas kebutuhan self-esteem. Masing-masing tersusun secara

hierarki::i-jika kebutuhan di bawahnya belum t&rpenuhi maka pemenuilan

kebutuhan di atasnya menjadi tertunda.

Branden Nathaniel (2005) mengatakan bahwa self-esteem adalah suatu

kebutuhan mendasar bagi manusia karena bisa berfungsi sebagai kontributor

utama dalam proses kehidupan seseorang. Self-esteem sangat diperlukan

bagi tercapainya pengembangan hidup yang sehat dan normal serta

mengandung nilai-nilai kelangsungan hidup (survival value).

Terpuaskannya kebutuhan akan harga diri pada individu akan menghasilkan

sikap percaya diri, rasa berharga, rasa kuat, mampu dan perasaan berguna.

Akan tetapi sebaliknya, frustasi karena terhambatnya pemuasan kebutuhan

ini akan menimbulkan sikap rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, rnk

(44)

mengalami kehampaan, keputusasaan, guilty feeling serta penilaian yang rendah atas dirinya sendiri dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan

perkataan lain, self-esteem merupakan hasil usaha individu yang

bersangkutan dan merupakan bahaya psikologis yang nyata apabila

seseorang lebih mengandalkan rasa harga dirinya pada opini orang lain

ketimbang pada kemampuan dan prestasi nyata dirinya sendiri (Engkos

Koswara, 1991).

Dari berbagai uraian pengerti::m self-esteem di atas, dapat ditarik sebuah

pengertian bahwa self-esteem merupakan penilaian, penghormatan dan

keyakinan seseorang terhadap kemampuan, kekuatan dan keberartian

dirinya berdasarkan standar subyektif yang diekspresikan dalam bentuk

kata-kata (verbal) maupun perilaku.

2.2.2. Komponen Harga Diri

Brown (1998) mengatakan bahwa ada dua komponen harga diri, yaitu:

1. feelings of belonging

Menyangkut perasaan bahwa seseorang dicintai dan dihargai dengan tanpa

syarat apapun. Komponen ini merupakan dasar perasaan secure

seseorang dalam hidupnya dan merupakan komponen yang menunjukkan

(45)

2. feelings of mastery

Menyangkut perasaan seseorang bahwa dia adalah orang yang berharga

dan memiliki peran yang berarti di dalam lingkungannya. Komponen ini

lebih menunjukkan sisi kognitif dari harga diri.

Sela in itu Felker (197 4 dalam Margarheta T. Kuera, 2005) juga menyebutkan

bahwa harga diri terdiri dari tiga kornponen. Kornponen harga diri itu adalah:

1 . feelings of belonging

Komponen ini menyangi<ut perasaan bahwa seorang individu merupakan

bagian dari kelompok tertentu, diterima, dicintai, dan dihargai oleh

kelompoknya.

2. feelings of competence

Komponen ini menyangkut perasaan individu ketika dia berhasil mencapai

suatu hasil yang diharapkan. Perasaan ini merupakan persepsi mengenai

kemampuan yang dimiliki seseorang.

3. feelings of worth

Merupakan komponen harga diri yang menyangkut perasaan mengenai

apakah seseorang berharga atau tidak di mata orang lain.

Jika dilihat dengan seksama, sebenarnya komponen-komponen harga diri

ケ」Zセァ@ disebutkan oleh tokoh-tokoh di atas tidak memiliki perbedaan yang

(46)

dengan feelings of belonging menu rut Felker. Sedangkan feelings of mastery

menurut Brown serupa dengan feelings of competence menu rut Felker.

Hanya saja Felker mengajukan satu lagi komponen harga diri, yaitu feelings

of worth.

2.2.3. Karakteristik orang berdasarkan harga dirinya

Coopersmith menyebutkan beberapa karakteristik orang dengan harga diri

yang tinggi dan orang dengan harga diri yang rendah. Adapu11 karakteristik

orang der.gan harga diri tinggi (dalam Margarheta T. K11era, 2005):

1. Merasa bahwa dirinya adalah individu yang berharga dan sama baiknya

dengan orang lain yang sebaya dan juga dapat menghargai orang lain.

2. Dapat mengendalikan dan mengontrol tindakan-tindakannya terhadap

dunia di luar dirinya dan dapat menerima kritik dari orang lain.

3. Menyukai tugas baru yang menantang dan tidak mudah bingung bila ada

hal-hal tertentu yang terjadi di luar rencana.

4. Memiliki prestasi akademis, aktif, dan dapat mengekspresikan diri dengan

baik.

5. Tidak menganggap bahwa dirinya adalah individu yang sempurna,

mengetahui keterbatasan-keterbatasan diri, dan selalu mengharapkan

perbaikan diri.

6. Memiliki nilai-nilai dan sikap-sikap demokratis serta orientasi yang

(47)

···- -. . I

---

MMMMMMMMセM MMセMNj@

7. Lebih bahagia dan efektif dalam menghadapi tuntutan lingkungan.

Sedangkan karakteristik orang dengan harga diri rendah (Margarheta T.

Kuera, 2005) yaitu:

1. Merasa bahwa dirinya adalah individu yang tidak berharga dan tidak

disukai sehingga seringkali takut mengalami kegagalan dalam melakukan

hubungan sosial. Oleh karena itu, individu ini sering menolak dirinya

sendiri, merasa tidak puas, dan bahkan meremehkan dirinya sendiri.

2. T:dak mer11iliki keyakinan terhadap pendapat dan kema.npuan dirinya

sendiri sehingga kurang mampu mengnekspresikan diri dan menganggap

ide serta pekerjaan orang lain pasti jauh lebih baik.

3. Tidak menyukai hal atau tugas baru sehingga sulit untuk beradaptasi ke

segala sesuatu yang belum jelas.

4. Merasa bahwa tidak banyak yang dapat diharapkan dari dirinya, baik pada

saat ini maupun pada masa yang akan datang, sehingga individu ini

Sf:!ringkali kelihatan putus asa dan depresi.

5. Merasa bahwa orang lain tidak ada yang memperhatikan dirinya, merasa

diasingkan, dan tidak dicintai.

6. Menganggap bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya akan selalu

(48)

Rendahnya harga dirilself-esteem memang mungkin sekali menimbulkan gangguan fungsional, tetapi harga diri yang tinggi dan dibuat-buat bisa

menimbulkan masalah juga. Anak yang diajari mantra "Aku anak istimewa"

akan merugikan diri si anak jika tanpa disertai pengembangan keterampilan

yang diperlukan dalam hidup secara berkesinambungan. Pujian berlebihan

dan serampangan tanpa membantu si anak untuk sungguh-sungguh meraih

sesuatu yang patut mendapat penghargaan dapat menyebabkan bencana

ketika dunia si anak tidak terus menerus memujinya atas kesuksesan yang

bukan hosil jerih payahnya.

Dr. Robert Hare, pakar terkemuka mengenai para psikopat melakukan

penelitian atas anggapan bahwa self-esteem yang tinggi biasanya

menghambat sikap agresif dan tindakan abnormal lainnya kepada sejumlah

besar pembunuh berantai dan penjahat kambuhan sadis yang mendekam di

penjara di seluruh dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak dari

mereka mengaku memiliki harga diri yang berlebihan dan menggambarkan

diri mereka sebagai manusia yang sangat hebat. lbu mereka mencintai

mereka dan pacar mereka memuja mereka (Stein, Steven dan Howard E.

Book, 2004). Hal senada juga dikatakan oleh Baumeister, Smart, dan Boden

(1996 dalam Baron, Roberta dan Donn Byrne, 2003), orang yang agresif

cenderung memiliki self-esteem yang tinggi. Pria y-:::ng sangat jahat, sebagai

(49)

dalam kekerasan ketika ada orang yang tidak memandang diri mereka

sepositif ia memandang dirinya sendiri, sehingga harga diri mereka terluka.

2.3. Remaja

2.3.1. Defrnisi Remaja

lstilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere, yang

berarti "tumbuh" atau "tumbuh menjadi dewasa". Hurlock (1980) menjelaskan

istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang

lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Hal ini

sejalan dengan Santrock (2000) yang mengatakan bahwa usia remaja

ditandai oleh terjadinya perubahan yang besar dalam aspek fisik yaitu

terjadinya pubertas, perubahan kognitif, maupun perubahan psikososial.

Sarlito (2004) mengemukakan bahwa seringkali orang mendefinisikan remaja

sebagai periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, atau masa

usia belasan tahun, atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu

seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya dan sebagainya.

Menurut Hurlock (1980) masa remaja merupakan suatu periode transisi di

mana seseorang berubah secara fisik dan psikologis dari seorang anak

(50)

Sedangkan Salzman (dalam Syamsu Yusuf, 2004) mengemukakan bahwa

remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence)

terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual,

perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.

Masa remaja ini merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan.

Masa ini dikenal sebagai suatu periode peralihan; suatu masa perubahan;

usia bermasalah; saat dimana individu mencari identitas; usia yang

menai<utkan; masa tidak realistik dan masa ambang dewasa (Hurlock,

r::.,

1980).

Masa remaja merupakan periode perubahan yang sangat pesat baik dalam

perubahan fisiknya maupun perubahan sikap dan perilakunya. Ada empat

perubahan yang bersifat universal selama masa remaja, yaitu:

" Meningkatnya emosi, ini tergantung intensitasnya pada tingkat perubahan

fisik dan psikologis yang terjadi; perubahan emosi ini banyak terjadi pada

awal remaja.

" Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial

untuk diperankan, menimbulkan masalah baru, sehingga selama masa ini

remaja merasa ditimbuni masalah.

" Dengan berubahnya minat dan perilaku, maka nilai-nilai juga berubah.

(51)

tidak lagi. Kalau pada masa kanak-kanak kuantitas yang dipentingkan

sekarang segi kualitas yang diutamakan.

" Sebagian besar remaja bersikap ambivalensi terhadap setiap perubahan.

Mereka menginginkan dan me;iuntut kebebasan, tetapi mereka sering

takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan

mereka untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.

2.3.2. Batasan Remaja

Terd2pat ambiguitas mengenai batasan masa ·emaja. Sebagian para teoritis

menyatakan dalam usia, sehingga mengesankan masa remaja berkisar

antara usia

11

hingga

18

atau

20

tahun. Sebagian lagi menyatakan masa

remaja dalam tahun-tahun yang terbentang sejak timbulnya pubertas hingga

dimilikinya peran-peran dan tanggung jawab orang dewasa. Beane dan Lipka

(dalam Tetty Elitasari, 1996) menyatakan bahwa konflik mengenai batasan

usia dan peran merupakan sumber kebingungan dalam pencarian identitas

diri remaja.

Hurlock (1980) membagi masa remaja menjadi dua periode, yaitu masa

remaja awal dan masa remaja akhir, hal tersebut disebabkan karena

perubahan perilaku, sikap dan nilai-nilai sepanjang remaja tidak hanya

menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi k:bih cepat pada awal masa

(52)

perilaku, sikap dan nilai-nilai pada awal masa remaja berbeda dengan pada

akhir masa remaja. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari usia 13-16

atau 17 tahun bagi anak perempuan, dan bagi anak laki-laki berlangsung

kira-kira dari usia 14-16 atau 17 tahun. Sedang masa remaja akhir dimulai

dari usia 16 atau 17 tahun sampai dengan usia 18 tahun. Sedangkan

menurut J.P Chaplin (2002) membatasi usia remaja pada usia 12-21 tahun

untuk anak perempuan yang dinilai lebih cepat menjadi matang daripada

anak laki-laki, dan antara 13-22 tahun bagi anak laki-laki.

Menurut Zakiah Daradjat (1995) masa remaja berlangsung dari usia 13-21

tahun. Pada masa ini terjadi perubahan peranan yaitu ke arah kemandirian

dalam berpikir dan bertanggung jawab seperti halnya orang dewasa.

Selanjutnya WHO (dalam Sarlito, 2004) memberi batasan kurun usia remaja

dalam dua bagian, yaitu remaja awal pada 10-14 tahun dan remaja akhir

15-20 tahun. Demikian juga PBB memberikan batasan bagi remaja di Indonesia

dalam kurun usia 14-24 tahun yang dikemukakan dalam sensus penduduk

1980.

Dari beberapa batasan mengenai remaja di atas, maka peneliti mengambil

batasan berdasarkan teori Hurlock (1980) karena dinilai lebih mewakili

(53)

rentang usia 17-18 tahun, di mana usia tersebut adalah usia remaja akhir

yang duduk di bangku kelas 3 SMA.

2.3.3. Tugas Perkembangan dan Kebutuhan-kebutuhan Remaja

Menurut Havinghurst (dalam Abin Syamsuddin M., 2004) tugas

perkembangan yang harus dilakukan pada masa ini adalah:

1. mencapai hubungan-hubungan yang baru dan lebih matang dengan

teman-teman sebaya dari kedua jenis.

2. mencapai suatu peranan sosial sebagai pria atau wanita

3. menerima dan menggunakan fisiknya secara efektif

4. mencapai kebebasan emosional dari orangtua dan orang lainnya

5. mencapai kebebasan keterjaminan ekonomis

6. memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan/jabatan

7. mempersiapkan diri bagi perkawinan dan berkeluarga

8. mengembangkan konsep-konsep dan keterampilan intelektual yang

diperlukan sebagai warga Negara yang ォッュー・エセョ@

9. secara sosial menghendaki dan mencapai kemampuan bertindak secara

bertanggungjawab

10. mempelajari dan mengembangkan seperangkat system nilai-nilai dan

(54)

Selanjutnya Havinghurst (1972 dalam Woro Aryati P dan Farida

L.

S., 1990)

mengemukakan bahwa remaja mempunyai kebutuhan-kebutuhan psikis

seperti:

., Kebutuhan akan afeksi, yang berarti kebutuhan akan kasih sayang yang

wajar. Mereka ingin memperoleh perhatian dan kasih sayang terutama

dari orangtua mereka sendiri. Bila hal ini tidak dipenuhi maka mereka

akan mencarinya di luar hubungan dengan orangtua/keluarga tersebut.

" Kebutuhan akan rasa ikut memiliki dan dimiliki (sense of belonging).

Kebutuhan ini cukup kuat pada diri seseorang, adar.ya perasaan aman,

karena adanya keterikatan pada seseorang atau sekelompok dengan

adanya keterlibatan diri

., Kebutuhan akan kemandirian. Kebutuhan ini sudah nampak semenjak

awal dan makin penting artinya dalam masa remaja. Ada keinginan untuk

menentukan dan membuat keputusan sendiri. Semua ini adalah bekal

seseorang untuk menjadi orang dewasa dan bertanggung jawab serta

mempunyai kepercayaan diri, di samping mengetah_ui batasannya.

'" Kebutuhan untuk berprestasi atau mencapai sesuatu. berprestasi

menumbuhkan aspek-aspek positif dalam diri dan mengurangi

pertumbuhan aspek-aspek negatif dalam diri seseorang.

'" Kebutuhan akan pengakuan. Apabila seseorang memperoleh pengakuan

akan kemandiriannya, hal ini dapat menimbulkan perasaan bahwa ia

(55)

menumbuhkan perasaan bahwa ia adalah penting, paling tidak cukup

penting sehingga layak diperhatikan. Dengan demikian ia pun akan dapat

menghargai orang lain dan menganggap orang lainpun penting selain

dirinya sendiri.

m Kebutuhan akan harga diri. Dengan terpenuhinya kebutuhan ini ia pun

akan dapat belajar menghargai orang lain, menghormati orang lain secara

layak sebagai sesama.

Kebutuhan tersebut di atas berkaitan satu sama lainnya dan sating

menunjang. Cara bagaimana terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut

memang tidak sama pada semua orang dan tidak selalu sesuai dengan

harapan atau sebagaimana diinginkannya. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhan tersebut baik secara wajar ataupun kurang wajar, baik

dalam perbandingan yang seimbang maupun yang kurang seimbang; hal ini

akan saling berkaitan dan menunjang serta mewamai perilaku seseorang

dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik kepada kelompok sebayanya

sehingga tak jarang orangtua dinomor duakan sedangkan kelompoknya

dinomor satukan. Apa-apa yang diperbuatnya ingin sama dengan anggota

kelompok lainnya, kalau tidak sama ia akan merasa turun harga dirinya dan

(56)

sangat kuat. Dengan peer affiliation, seseorang mengukuhkan

konsep-konsep dirinya, mengintegrasikan individu ke kelompoknya dan memudahkan

proses ia mengembangkan diri dari orangtuanya. Dalam kelompok teman

sebaya, remaja dapat memenuhi kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk

dimengerti, kebutuhan diperhatikan, kebutuhan mencari pengalaman baru,

kebutuhan berprestasi, kebutuhan diterima statusnya, kebutuhan harga diri,

rasa aman yang belum tentu dapat diperoleh di rumah rnaupun sekolah.

Pada 111asa ini juga berkembang sikap "conformity", yaitu kecenderungo.n untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran

(hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun

yang negatif bagi dirinya.

2.4.

Kerangka berpikir

Masa remaja adalah tahapan yang penting dalam rentang kehidupan

manusia karena pada masa ini dikenal antara lain sebagai masa dimana

individu melakukan pencarian identitas diri. Remaja yang sedang dalam

proses pencarian identitas diri, penilaian orang lain menjadi sangat penting

bagi dirinya karena hal ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan remaja

(57)

rentang usia 16-18 tahun yang juga berada pada tahapan remaja yang

sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sangat membutuhkan

harga diri. Harga diri remaja berkembang dan terbentuk dari interaksinya

dengan orang lain, melalui ーセョァィ。イァ。。ョL@ penerimaan, dan respons sikap

yang baik dari orang lain secara terus menerus.

Maslow (dalam Goble, 1998) mengatakan bahwa kebutuhan akan harga diri

pada remaja merupakan kebutuhan yang sangat penting. Dalam kebutuhan

harga diri terkandu:ig harga diri dan peng:1argaan dari orang lain. Harga diri

meliputi kebutuhan akan prestasi, keunggulan dan kompetensi, kepercayaan

diri, kemandirian dan kebebasan. Sedangkan penghargaan dari orang lain

meliputi prestise, kedudukan, kemasyuran dan nama baik, kekuasaan,

pengakuan, perhatian, penerimaan, martabat dan penghargaan.

Coopersmith (dalam Muryantinah M. Handayani, 2000) mengatakan bahwa

yang memiliki peran besar dalam pembentukan harga diri seseorang adalah

orang-orang yang berada di sekitar anak tersebut, seperti orangtua, teman

sebaya dan lain-lain. Orangtua memiliki andil yang sangat besar dalam

pembentukan harga diri ini.

Terpuaskannya kebutuhan akan harga diri pada individu akan menghasilkan

(58)

Akan tetapi sebaliknya, frustasi karena terhambatnya pemuasan kebutuhan

ini akan menimbulkan sikap rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, tak

mampu, dan rasa tak berguna, sehingga menyebabkan individu tersebut

mengalami kehampaan, keputusasaan, gui:ty feeling serta penilaian yang

rendah atas dirinya sendiri dalam berinteraksi dengan orang lain.

Pada umumnya orang beranggapan bahwa seseorang dengan self-esteem

yang tinggi sudah pasti memiliki sikap dan perilaku yang baik. Namun

beberapa pene!itian mer.unjukkar. bahwa harga diri yans terlalu tinggi atau

tidak stabil lebih berkemungkinan untuk menimbulkan tindakan kekerasan

daripada self-esteem yang rendah. Sebagai contoh, angka pembunuhan di

AS yang tinggi lebih dikarenakan mereka memandang bahwa

mempertahankan kehormatan sangat penting artinya bagi mereka yang

memiliki norma kultural sama, dan tindakan balasan sebagai respons

terhadap pelanggaran kehormatan pribadi atau kelompok adalah tindakan

yang wajib dilakukan (Krahe, Barbara, 2005).

Kekerasan yang banyak terjadi di kalangan pelajar kemungkinan besar

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan self-esteem. Mengingat pada

masa remaja ini kebutuhan akan self esteem menjadi meningkat. lnomata

(1996, dalam Syamsul Bachri Thalib, 2002) mengatakcui bahwa sifat-sifat

(59)

Ada berbagai macam kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar, salah

satunya yakni bullying. Umumnya, orang lebih mengenal bullying dengan

istilah penggencetan, pengucilan, intimidasi dan lain-lain. Bullying adalah

suatu perilaku agresif yang dilakukan secara sadar oleh individu atau

kelompok yang memiliki kekuatan terhadap orang yang lemah, bertujuan

untuk menyakiti korban, serta menimbulkan ketakutan pada diri korban, dan

dilakukan secara berulang-ulang, dalam periode waktu tertentu.

Bullying di sekolah bukar.lah sesuatu hal yang oaru. Fenomena ini sangat banyak terjadi terutama di sekolah, namun hal ini kurang mendapatkan

perhatian dari para guru dan orangtua murid. Bullying yang terjadi di sekolah

biasanya dilakukan oleh senior terhadap juniornya. Sang junior merupakan

sasaran empuk bagi para seniornya. Gejala "bullying" diawali dengan adanya

tradisi MOS (Masa orientasi siswa) dan sejenisnya, yang kemudian secara

informal diperpanjang sampai satu atau dua tahun, sehingga hal tersebut

menimbulkan perasaan tertekan bagi siswa. Gejala ini juga dianggap hal

yang biasa terjadi pada siswa SMA

Motif yang melatarbelakangi tindakan bullying yang dilakukan bullies ini pada

dasarnya kurang diperhitungkan. Berbagai macam alasan dikemukakan oleh

para bully agar tindakan yang mereka lakukan dapat diterima, mulai dari

(60)

kedisiplinan. Akan tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang

cukup lama dan membuat korban mengalami Iuka baik fisik maupun

psikologis. Namun hasil penelitian Dina Wiyasti (2005) tentang gambaran

penyebab terjadinya bullying oleh senior terhadap junior di SMU "Z"

menunjukkan bahwa motif perilaku bullying yang dilakukan oleh kakak kelas

terhadap adik kelasnya adalah lebih kepada motif ingin dihormati dan

dihargai. Motif lain dari bullying ini adalah mencari popularitas dengan cara

menekankan agresi pada anak-anak yang lemah, tidak populer dan tidak

mamr:u balas dendam (Sheras, Peter dan Sherill T!ppins, 2002).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri

mempunyai pengaruh terhadap perilaku kekerasan yang dilakukan oleh

siswa. Salah satu perilaku kekerasan yang dilakukan oleh siswa yaitu

perilaku bullying. Karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa harga diri

yang terlalu tinggi atau tidak stabil lebih berkemungkinan untuk menimbulkan

tindakan kekerasan daripada self-esteem yang rendah, maka dapat

diasumsikan semakin tinggi self-esteem maka kecenderungan berperilaku

bullying juga tinggi dan sebaliknya, semakin rendah self-esteem

(61)

Gambar

Tabel 2.1.
Tabel 4.12
Gambar4.1 Gambar4.2 Scatterplot skala self-esteem .................................Scatterplot skala kecenderungan berperilaku
Tabel 2.1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan hasil penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan perilaku bullying pada remaja..

91,3% faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying, antara lain : pola asuh orangtua, norma kelompok dan iklim sekolah. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan,

Hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini yaitu ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara harga diri dengan kecenderungan

Lebih lanjut mengenai pola asuh otoriter dapat mengarahkan anak pada perilaku bullying , ini dibuktikan dengan beberapa penelitian, seperti penelitian yang

Namun dalam penelitian ini, hipotesis yang diajukan ditolak bahwa tidak ada hubungan antara empati dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP.. Berdasarkan

Kekerasan antar siswa juga kerap terjadi yaitu berupa bullying yang merupakan perilaku agresif dan menekan dari seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih

Penelitian diawali dengan mencari topic atau fenomena menarik yang ingin diteliti. Dalam penelitian ini, fenomena yang dipilih berkaitan dengan perilaku agresif verbal yang

Selain banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kesepian pada lansia tersebut, pada penelitian ini merupakan penelitian populasi yang hanya menggunakan 31 subjek di