Oleh:
LUTHFIAH
NIM. 102070026045
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikoloqi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh:
LUTHFIAH
NIM : 102070026045
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing II
Hartati. M. Si Shol\c
セセ@
€?::7filt
GLセ@
15 938 NIP. 150 293 234
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDAY ATULLAH
JAKARTA
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hiclayatullah Jakarta pada tanggal 27 Februari 2007. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Psikologi (S. Psi.)
Jakarta, 27 Februari 2007
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pembantu Dekan I/
2'15 938
Anggota
Ora. H. N tt Hartati, M. Si.
NIP. 1 215 938
Pem1 imbing II,
-Jfai ora110-orann ya1l{J 6erima11, ja111Ja11fali suatu fig.um menoofok,-ofof(,fig,n fig.um
yann fain (lig,mia) 6ofeli ju.di. mere/ig, (Jann awfof(,-ofo/if\fln)
{e6ifi6aik,tfari ;nerefig,
(Jann menoofok,-ofof(,lig,n) tfan jannan pufa wanita-wanita (menoofoft-oful{.lig,n)
wanita-wanita fain (lig,mia) 6ofeli ju.di. wanita-wanita (Jann atperofok,-ofok,lig,n)
fefjifi 6aik,tfari wanita (Jann menoofo/(,-ofof(,/ig,n) tfan Jannanfali fig.mu mencefa
&rimu semliri tfan jannanfali fW,mu pa1llJlJif-mema111J!Ji£ d"engan gefar-gefuryann
6urul(, ... (Jlf-Jfujurat: 11)
"J[aroa auimu
tidal(,6eratfa patfa puntfak, orann fain,
tapi
& atas puntfaR!,nu.
Sefama C111JfW,U titfaftmenoliar9ai orann fain, titfaftpantas 6ll1Jimu menU71ti!JU
pC11fJliar9aan tfari siapa pun»
'Yil}Iffafi 6erifafi afi,u rezelij cinta-'.Mu
Jan cinta oratl{J yatl{J 6enna1ifaat 6uatk,u cintarrya Ji sisi-'.Mu 'Ya jl{[afi segafa yatl{J 'E11fj/igu rezclijfi.gn untuk,/(,u
Ji antara yang a/iy ci11tai, jadifi.gn itu se6agai kff(,uatan untu/(,menJapat/ign yang 'Engfi.gu cintai
'Ya }lffafi apa yatl{J 'Etl{J/i.siu sing/ijrftrtn di antara scsuatu yang a/(,u cintai, jadi'fi.gn itu kf6e6asan wztuk,liy Jafam segafa fia{ yatl{J 'Etl{J/i.siu cintai
)lmin 'Ya ra66afafamin (J{rJ?.,Jlt-'Iirmizi)
'l(JLpersem6ali.l{fr.n
'Kflrya setferlianak,u
ini
untuk,orang-orang tercintak,u:
.Jlya/i. dan I6uk,u yang tefali. m.erufuftk,da.n mem6im6ingk,u
'l(flempat
ャサヲイLャサヲイNセャサヲイNャサヲイNォLォNオ@
yang pengertian dan aatk,k,u yang
(C) LUTHFIAH
(A) Fakultas PSikologi (B) Februari 2007
(D) HUBUNGAN SELF-ESTEEM DENGAN KECENDERUNGAN
BERPERILAKU BULL YING PADA REMAJA
(E) xix+1149 halaman
(F) Masa remaja merupakan transisi periode perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada masa ini, remaja sedang mencari jati dirinya. Hal ini ditandai dengan hubungan yang erat dengan teman sebayanya. Pada masa ini kebutuhan, keinginan, dan minat remaja mulai meningkat. Salah satu kebutuhan pada masa remaja adalah,
kebutuhan akan harga diri. Harga diri remaja berkembang dan terbentuk dari interaksinya dengan orang lain, melalui penghargaan, penerimaan, serta perilaku orang lain terhadap individu yang bersangkutan. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diakui keberadaannya
menyebabkan remaja dengan self-esteem tinggi melakukan bullying di
sekolah terhadap adik kelasnya. Mereka tidak terima jika ada junior yang melakukan hal yang dapat melukai harga dirinya.
Bullying adalah bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sadar oleh orang/kelompok yang memiliki kekuatan yang lebih besar terhadap orang yang lebih lemah, bertujuan untuk menyakiti korban baik secara fisik, verbal maupun psikologis, dan dilakukan secara berulang-ulang, dalam periode waktu tertentu.
Self-esteem yang adalah penilaian, penghormatan dan keyakinan seseorang terhadap kemampuan, kekuatan dan keberartian dirinya
berdasarkan standar subyektif yang diekspresikan dalam bentuk kata-kata (verbal) maupun perilaku.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
self-esteem dengan kecenderungan berperilaku bullying pada remaja. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 180 orang. Sampel penelitian ini berjumlah 123 siswa kelas 3 SMKN 7 Rawamangun, dimana 102 orang adalah responden laki-laki dan 21 orang responden wanita. Pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling. Teknik
mengetahui sejauhmana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi.
Setelah kedua skala diuji validitasnya dengan korelasi product moment
Pearson dan diuji reliabilitas dengan Alpha Cronbach, untuk skala self-esteem diperoleh 37 item valid dan koefisien reliabilitas 0,869., semua
item yang valid pada skala self-esteem ini digunakan sebagai alat ukur
dalam penelitian , dan untuk skala kecenderungan berperilaku bullying
diperoleh 69 item yang valid dengan koefisien reliabiiitas 0,939., namun, tidak semua item yang valid tersebut digunakan sebagai alat ukur
penelitian, dengan pertimbangan efisiensi dan efektifitas kerja peneliti dan juga waktu responden yang terbatas. Item valid yang digunakan sebagai alat ukur penelitian dipilih berdasarkan nilai validitas yang lebih tinggi sedangkan nilai validitas yang rendah diabaikan. Dengan demikian, item valid yang digunakan dalam penelitian sebanyak 55 item, kemudian data
dianalisis dengan menggunakan program SPSS 12.0 for Windows dengan
teknik uji korelasi Spearman's rho. Dari hasil penelitian diperoleh r-hitung
sebesar (-0,283) lebih besar dari r-tabel pada signifikansi 0,05 adalah 0, 176 dan uji signifikansinya dengan nilai t-hitung = 2,0939 > nilai t-tabel
=
1,980 pada tingkat signifikansi 0,05(df121). Dengan demikiankeputL1san statistiknya adalah
Ho
ditolak dan menerimaH
1• maka dapatdisimpulkan bahwa terdapat hubungan negatrr yang signifikan antara
(C) Luthfiah
(D) Correlation of Self-Esteem with Bullying behavior tendences in
adolescent (E) xix+ 149 pages
(F) Adolescent is development period transition between children and adulthood. In this period, adolescent were searching their self identity. This is marked with close relationship with their friends. In this period, need desire and interest of adolescent are beginning for improve. One of needs in adolescent is need fer self esteem. Self esteem of adolescent developes and shaped in interaction to others, through appreciation and accepldnce, and aether's behavior to pertinent indiv!dual. Existence of adolescent want" to be confessed by others with try to be part of them. Need for existence confession causes adolescents with high self esteem to behave bullying in school to their juniors. They don't accept if there is a junior do anything may hurt their self esteem.
Bullying is awared aggressive behavior form by person or group who has bigger power to weak person, aims to hurt victim physically, verbally and psychologically, and done repeatedly in a certain times.
Self esteem is assessment, respectation and confidence of somebody about ability, power and self meaning based subjective standarts were expressed verbally and behavior.
This reseach aims to find the existence correlation between self esteem with bullying behavior tendencies in adolescents. The population in this research is 180 persons. The sample in this research 123 third year students SMKN 7 Rawamangun, in which there are 102 boys and 21 girls as respondents. Sample taking was done by used random sampling technique. Data taking technique by used Likert scale. Scale was used is self esteem scale and bullying behavior tendencies scale.
and reliability coefficient is 0,939., but no that valid all items were used as measu1ing instruments, with consideration of work efficiency and
effectivity of researcher and time limited af respondents. Valid items were used as measuring instruments of research were choosen based higher values of validity. While lower values of validity were disregarded. So, valid items were used in this research were 55 items.and then, the datas were analized by using the program of SPSS for windows version 12.00 with Spearman's rho correlation technique,. From the finding research was reached r is -0,283 and it is ィゥァィ・セ@ than r table on significantion 0,05 is 0, 176., and the significantion was tested by t value= 2,0939 > ttable value= 1,980 on significantion 0,05 (df=121 ). So the statistical decision is HO is refused and 1-11 is accepted. So, it is conclused there are significant negative correlation between self esteem with bullying behavior tendences in adolescents.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWf yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul "Hubungan Self-Esteem dengan Kecenderungan Berperilaku
Bullying pada Remaja". Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah atas Nabi Muhammad Saw., yang telah menjadi suri tauladan terbaik bagi umat
manusia, kepada keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga <'lkhir
zaman.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesulitan-kesulitan yang
penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini. Tugas akhir ini dapat
terselesaikan berkat kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
penuh rasa hormat perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih
yang mendalam kepada:
1. Oekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ibu Ora. Hj.
Netty Hartati, M. Si; Pudek Fakultas Psikologi ibu Hj. Zahrotun Nihayah,
M. Si., beserta civitas akademik Psikologi yang telah membantu
kelancaran administrasi untuk penelitian.
2. Bapak Ors. Sugeng Priyana selaku Kepala Sekolah, dan Bapak Kusmanto
3. lbu Ora. Hj. Netty Hartati, M. Si. Selaku dosen pembimbing I dan ibu
Solicha, S. Ag. Selaku dosen pembimbing II, yang di tengah
kesibukannya telah meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan,
bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah banyak memberikan ilmu
dan bimbin\:jannya.
5. Teruntuk Bapak dan lbuku tercinta, H. Muhammad dan Hj. Zulfah yang
dengan tulus ikhlas memberikan kasih sayang dan dorongan baik moriil
maupun materi, serta doa yang tak henti-hentinya dipanjatkan guna
keberhasilan dan kebahagiaan anak-anakmu, terima kasih kepada-mu
yang tak terhingga.
6. Untuk kakak-kakak dan adikku tercinta, terima kasih atas nasehat,doa
dan dukungan yang telah kalian berikan.
7. Untuk Nurul, terima kasih atas informasi mengenai sekolahnya dan
bantuannya dalam penyebaran angket.
8. Untuk Atop dan Oiah, terima kasih atas bantuan kalian yang telah dengan
setia menemani penulis selama penelitian, serta gelak tawa yang telah
10. Untuk kakak seniorku, Ag us yang telah meminjamkan buku-bukunya
selama berbulan-bulan guna penyeiesaian skripsi ini, terima kasih juga
atas kursus SPSS yang telah diberikan secara cuma-cuma.
11. Teruntuk sahabat-sahabatku (Dhona, lka, Hany, Vivi, lrha, dan Ozi),
terima kasih atas persahabatan yang teiah kalian berikan dengan begitu
indah yang te.lah mewarnai masa-masa perkuliahan.
Terakhir, terima kasih kepada seluruh pihak yang belum disebutkan, semoga
Allah membalas semuanya. Amien.
Jakarta, Februari 2007
HALAMAN JU DUL ...
.i
LEMBAR PERSETUJUAN ...
.ii
LEM BAR PENGESAHAN ...
iii
MO TIO ...
.iv
PERS EM BA HAN ...
v
ABSTRAKSI ...
vi
KAT
A
PENG
ANT
AR ...
x
DAFT
AR ISi. ...
xiii
DAFT AR T
ABEL ...
xvii
DAFT AR GAMBAR ...
xix
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1-10
1.1. Latar Belakang Masalah ... 11.2. ldentifikasi Masalah ... 8
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
1.3.1. Pembatasan Masalah ... 8
1.3.2. Perumusan Masalah ... 9
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
1.4.1. Tujuan Penelitian ... 9
2.1. Bullying .... 11
2.1.1. Definisi bullying ..... 11
2.1.2. Tempat エ・セ。、ゥョケ。@ bullying ...... 15
2.1.3. Jenis-jenis bullying ....... 16
2.1.4. Karakteristik pelaku bullying ....... 17
2. 1. 5. Tipe korban bullying ...... 19
2.1.6. Sumber-sumber psikologis yang mendasari perilaku Bullying ...... .20
2.1.7. Dampak bullying terhadap korban ... 21
2.2. Self Esteem ...... 22
2.2.1. Definisi Self-esteem .... 22
2.2.2. Komponen Self-esteem ... 25
2.2.3. Karakteristik orang berdasarkan harga dirinya ... 27
2.3. Remaja ... 30
2.3.1. Definisi Rernaja ... 30
2.3.2. Batasan Remaja ... 32
BAB 3 METODOLOGI PENEUTIAN ... 44-60
3.1. Jenis Penelitian ... ___ ... ___ -·· -·· ... ___ ... ·-- ... ·-- --· .. .44
3.1.1. Pendekatan Penelitian ... -·- ___ ... --· ... ___ -·· ... -·- .. .44
3.1.2. Metode Penelitian ... .44
3.2. Variabel Penelitian ___ ... 44
2 .2.1. Definisi Konseptual. .... _ .... ____ ... ____ ... _ ... ____ .... _ .. -45
3.2.2. Definisi Operasional Variabel. ... .45
3.2.2.1. lndikator perilaku bullying ... .46
3.2.2.2. lndikator self-esteem ... _______ .. ___ ... ____ .... .47
3.3. Pengambiian Sampel.. ... .47
3.3. i. Populasi dan sampel. ... .47
3.3.2. Teknik pengambilan sampel.. ... .48
3.4. Pengumpulan Data ... .48
3.4.1. Metode dan lnstrumen Penelitian ... 48
3.4.2. Teknik uji instrumen penelitian ... 52
3.5. Teknik Analisa Data ... 58
4.1.2. Gambaran subjek berdasarkan usia ... 67
4.1.3. Gambaran subjek berdasarkan penyebaran skor. ... 62
4.2. Hasil Utama Penelitian ... 67
4.2.1. Uji persyaratan ... 67
4.2.2. Uji hipotesis ... 72
4.2.3. Uji signifikansi.. ... 7 4 4.3 Hasil tambahan penelitian ... 74
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ...•... 77-84
1.1. Kesimpulan ... 771.2. Diskusi.. ... 77
1.3. Saran ... 84
'
DAFT AR PUST AKA ... 85-90
Tabel 2.1. Bagan kerangka berpikir. ... 42
Tabel 3.1 Bobot nilai ... .49
Tabel 3.2 Blue print self-esteem ..... 50
Tabel 3.3 Blue print perilaku bullying ... .. 51
Tabel 3.4 Blue print hasil try out skala self-esteem ..... 54
Tabel 3.b Blue print hasil try out skala kecenderungan berperilaku bullying ..... 56
Tabel 4.1 Gambaran subyek berdasarkan jenis kelamin ... 61
Tabel 4.2 Gambaran subyek berdasarkan usia ... 62
Tabel 4.3 Deskripsi statistik skor skala self-esteem laki-laki dan perempuan ... 62
Tabel 4.4 Statistik skor skala self-esteem ..... 63
Tabel 4.5 lnterpretasi skor self-esteem ..... 64
Tabel 4.6 Kategorisasi skor skala self-esteem ..... 64
Tabel 4.7 Deskripsi statistik skor skala kecenderungan berperilaku bullying laki-laki dan perempuan ... 65
Tabel 4.8 Statistik skor skala kecenderungan berperilaku bullying ...... 66
Tabel 4.9 lnterpretasi skor kecenderungan berperilaku bullying ...... 66
Tabel 4.13 Hasil uji homogenitas ... 72
Tabel 4.14 Hasil uji hipotesis ... 73
Tabel 4.15 Nilai rata-rata jenis bullying laki-laki dan perempuan ... 75
[image:18.518.31.447.118.507.2]Gambar4.1
Gambar4.2
Scatterplot skala self-esteem .... 69 Scatterplot skala kecenderungan berperilaku
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk dapat menjadikan
manusia yang seutuhnya, yang berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri,
melainkan juga untuk keluarga, bangsa dan negara. Dalam
perkembangannya, untuk memenuhi tuntutan zaman yang semakin
kompleks, anak membutuhkan pendidikan lebih dari yang bisa didapatkan
dari keluarga. Oleh karenanya, anak kemudian membutuhkan sebuah
lembaga pendidikan yang bersifat formal untuk dapat mengembangkan
potensi yang ada di dalam dirinya dan memperlu2s wawasannya. Lem!:Jaga
pendidikan yang dimaksud itu adalah sekolah. Sebagai lembaga pendidikan,
sekolah sudah sepatutnya menjadikan anak didiknya sebagai manusia yang
cerdas tidak hanya secara intelektual tetapi juga cerdas secara emosional
dan spiritual. Namun pada kenyataannya banyak para pelajar yang masih
berperilaku negatif dan melakukan tindak kekerasan. Hal ini bisa kita lihat dari
berbagai pemberitaan di media massa tentang pelajar yang melakukan
tawuran, menggunakan obat terlarang, dan berkelahi. Kekerasan dan
lingkungan sekolah bentuk dari tindak kekerasan yang sering terjadi antara
lain adalah pemukulan, pemalakan, olok-olok, intimidasi dan lain sebagainya
yang dilakukan oleh seorang siswa atau sekelompok siswa terhadap siswa
lainnya. Berikut ini adalah contoh kasus kekerasan yang terjadi di sekolah
yang dilakukan oleh sekelompok siswa terhadap siswa lainnya:
" ... _ .. Wiwik merasa sedih ketika menceritakan kembali mengenai anak /aki-/akinya yang berperawakan kecil kerap jadi bahan ejekan teman-temannya saat masih duduk di kelas 1 SMA. Dia diejek sebagai banci Jan ha/ ini menyebabkannya mogok seko/ah. Pemah karena tak tahan, si anak melawan, lalu terjadi perke/ahian tak seimbang karena yang mengeroyok adalah sekelompok anak berbadan besar. Sedangkan teman anaknya diejek dengan sebutan homo, gendut sampai-sampai si anak sakit akibat tekanan psikis ... "(Kompas, 26 Maret 2006)
Kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus kekerasan yang
terjadi di sekolah. Faisal (bukan nama sebenarnya), pernah dilempari kulit
duren di mukanya hanya karena ia memakai tindik di kuping dan dianggap
menyalahi aturan tidak resmi para senior. Dia dianggap bertingkah dan
memancing kemarahan para senior (Hai, Juli 2006). Lain lagi yang pernah
dialami oleh Andi, ia pemah diculik sewaktu pulang sekolah. t:saru hari
keempat temannya satu angkatan, ia diangkut ke kawasan Cilandak di salah
satu rumah sang senior. Di rumah itu, Andi dan kawan-kawan harus
menghadapi bentakan, dikerjai habis, sampai dipukul
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/06/muda/3!:i1498.htm, 21 Juli
2005). Olok-olok, intimidasi, pengucilan, atau serangan fisik adalah
warna-warni kehidupan di sekolah. Perilaku tersebut mengandung unsur tindakan
agresivitas 'jang sistematis, terencana dan bertujuan dari satu pihak kepada
pihak lain dengan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang.
Tindakan ini dikenal ciengan istilah bui/ying (Olweus, 1993, Smith &
Sharp, 1994 dalam Randall, 1997).
lstilah bullying menurut laporan SEJIWA, belum banyak dikenal di Indonesia,
kendati fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika
kehidupan di sekolah-sekolah negeri ini. Sebenarnya bullying dapat terjadi
kepada siapa pun dan di mana pun antara lain "ketika ada sejumlah orang
yang merasa punya kekuasaan menemukan pihak lain untuk dikuasai"
(http://news.antara.eo.id/seenws/?id=33112, 5 Mei 2006).
Bullying berpotensi menciptakan pribadi-pribadi yang rapuh seperti sulit berkonsentrasi sehingga menurunkan kemampuan akademis siswa, minder,
merasa tidak berharga bahkan menyumbangkan saham terhadap
yang menganggap kekerasan yang terjadi di sekolah seperti olok-olok,
ejekan, intimidasi, dan pengucilan adalah hal yang biasa dalam kehidupan
remaja. Padahal jika perilaku tersebut didiamkan dan tidak diatasi, maka
perilaku ini terus-menerus akan tumbuh subur,dan ada kemungkinan korban
dari bullying menjadi pelakunya di kemudian hari (http://www.republika
. co .id/korandetail .asp?id=245850&katid=13&katid 1 &katid2=).
Olweus (1993) mengatakan bahwa sekolah tanpa diragukan lagi merupakan
tempat yang paling banyak timbulny3 perilaku bullying, dai1 pefil8ku bullyi.ryg
di antara murid rata-rata banyak terjadi di sekolah yang besar dan kelas yang
besar. Hasil penelitian tim Fakultas Psikologi UI menunjukkan, bullying
banyak terjadi di kalangan SMA, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta,
Bogor, dan Bandung
(http://www.sampoernafoundation.org/contenUview/99/105/lang.id/27 April
2006)
Bullying di sekolah biasanya terjadi pada saat MOS (masa orientasi siswa) yang kemudian diperpanjang waktunya secara tidak resmi oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab sampai satu atau dua tahun, sehingga hal
tersebut menimbulkan perasaan tertekan bagi siswa (dalam Ayu Ambarwati &
Andra Nuryadi, 2005). Kebanyakan pelaku bullying atau yang biasa disebut
kelas atau senior dan target atau sasaran bullying mereka adalah para siswa baru.
Senioritas adalah sebuah julukan yang sering disangkutkan dengan
kekuasaan. Celakanya, menurut Dr. Winarni Wilman D Mansoer, dosen
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam kekuasaan itu ada unsur
kekuatan. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa (dalam Ayu Ambarwati &
Andra Nuryadi, 2005). Sehingga setiap junior sudah sepatutnyaiah mengikuti
a;:ia yang dikatakan oleh senior sebag"li pihak yang berkuasa dail tidak boleh
bertingkah macam-macam di depan senior. Jika sang junior bertingkah
dengan melakukan hal tidak disukai oleh senior maka junior akan
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari senior, perlakuan
tersebut antara lain dalam bentuk hinaan, intimidasi, pengucilan dan lain
sebagainya. Bentuk perilaku-perilaku tersebut merupakan perilaku yang
disebut dengan bullying.
Fenomena bullying di Indonesia, menurut Ratna Juwita, psikolog sosial dari
Fakultas Psikologi UI, memiliki keunikan tersendiri. Jika di Negara-negara
barat, bully biasanya hanya perorangan atau geng kecil, di Indonesia bully
sering dilakukan oleh satu angkatan terhadap angkatan yang lebih muda
Pada dasarnya pelaku bullying/bullies tidak memperhitungkan alasan
mengapa mereka melakukan bullying tersebut. Terkadang pelaku hanya
mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya
melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban, tetapi
perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan
membuat korban mengalami Iuka baik fisik maupun psikologis. Hasil
penelitian Dina Wiyasti (2004) tentang gambaran penyebab terjadinya
bullying oleh senior terhadap senior di SMU "Z" menunjukkan bahwa salah
satu penfebab terjadinya bullying adalah ka.-ena adik kelas bersikap tidak
menghargai seniornya.
Pelajar di sekolah menengah tingkat atas (SMA) pada umumnya berada pada
tahapan usia remaja. Usia remaja ditandai oleh terjadinya perubahan yang
besar dalam aspek fisik yaitu terjadinya pubertas, perubahan kognitif,
maupun perubahan psikososial (Santrock, 2002).
Masa remaja ini merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan
karena masa ini dikenal antara lain sebagai masa dimana individu melakukan
pencarian identitas diri. Remaja yang sedang dalam proses pencarian
identitas diri, penilaian orang lain menjadi sangat penting bagi dirinya karena
hal ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan remaja akan harga diri
Coopersmith menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil penilaian
individu terhadap dirinya sendiri. Pendapat ini didukung oleh Klass dan
Hodge yang menambahkan bahwa harga diri tersebut sebagian besar
dihasilkan oleh refleksi penghargaan orang lain terhadap dirinya (dalam
Muryantinah M. Handayani, 2001).
Abraham Maslow (dalam Goble, 1998) menjelaskan bahwa, setiap orang
memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan, yakni harga diri dan
penghargaa11 dari orang lain. Pertama, harga diri meliput1: kebutuh::m akan
kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi,
ketidaktergantungan dan kebebasan. Kedua, penghargaan dari orang lain
meliputi: prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik
serta penghargaan. Brocker (dalam Berta Esti Ari Prasetya, 2002)
menyatakan hal yang serupa bahwa setiap orang memiliki kebutuhan untuk
mendapat penerimaan dan penghargaan dari orang lain. Dalam teorinya
disebutkan c;emakin kebutuhan ini ticiak dipenuhi, maka semakin kuat
keinginan individu tersebut untuk memuaskan kebutuhan ini dengan cara
apapun, termasuk dengan melakukan bullying.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin mengangkat permasalahan
tersebut ke dalam penelitian yang berjudul "Hubungan Self-Esteem dengan
1.2. ldentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Apakah orang yang berkecenderungan melakukan bullying memiliki harga
diri yang tinggi?
2. Bentuk-bentuk bullying yang seperti apakah yang sering muncul di
st!kolah tersebut?
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1. Pembatasan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada:
a. Perilaku Bullying yang dimaksud adalah perilaku kekerasan yang terjadi di
:>ekolah yang dilakukan oleh siswa senior terhadap juniornya dilakukan
secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari
perilaku bullying dapat berupa fisik, psikologis baik verbal maupun
nonverbal, dan gabungan dari keduanya.
b. Self-esteem yang dimaksud dalam penelitian adalah keyakinan individu terhadap keberhargaan dan kemampuan dirinya.
c. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas 3 di SMKN 7 Grafika
1.3.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis
merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu "Apakah ada hubungan
antara Self-esteem dengan kecenderungan berperilaku bullying pada
remaja?"
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara
self-esteem dengan kecenderungan berperilaku bullying pada remaja?
1.4.2. Manfaat penelitian
1.4.2.1. Manfaat secara Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam melengkapi
kajian ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Psikologi tentang bahaya
bullying dalam lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan.
1.4.2.2. Manfaat secara praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi praktisi
pendidikan untuk mencari cara bagaimana menghentikan perilaku bullying
1.5.
Sistematika Penulisan
Bab I PENDAHULUAN meliputi: latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, sistematika penulisan.
Bab II
Bab Ill
Bab IV
BabV
KAJIAN PUSTAKA meliputi: definisi bullying, tempat
terjadinya bullying, jenis-jenis bullying, karakteristik pelaku
bullying, tipe korban bullying, sumber-sumber psikologis yang
mendasari perilaku bullying, dampak bullying terhadap
korban, definisi self-esteem, komponen self esteem,
karakteristik orang berdasarkan harga dirinya, definisi remaja,
batasan remaja, tugas perkembangan dan
kebutuhan-kebutuhan remaja.
METODOLOGI PENELITIAN meliputi: pendekat<:.n dan
metode penelitian, definisi konseptional dan definisi
operasional, populasi dan sampel, teknik pengambilan
s<=!mpel, metode dan instrumen penelitian, teknik uji instrumen
penelitian, teknik analisa data, dan prosedur penelitian.
PRESENTASI DAN ANALISIS DATA meliputi: gambaran
umum subyek penelitian, presentasi data, hasil penelitian dan
hasil tambahan penelitian.
2.1.
BULL YING
2.1.1. Definisi Bullying
Berbagai definisi serta konsep mengenai perilaku bullying telah banyak
diberikan oleh para ahli diantaranya yaitu Olweus (1993) yang mendefinisikan
bullying sebagai berikut: "A student is being bullied or victimized when fie ur she is exposed, repeatedly and over time, to negative actions on the part of
one or more other students" . Sedangkan David Elkind mendefinisikan
bullying: "Children who consistently try to control peers through verbal or physical aggression to relieve their own feelings of inadequacy" (dalam Sheras,P & Sherill T, 2002).
Randall mengatakan bahwa perilaku bullying adalah: "Bullying is the
aggressive behavior arising from the deliberate intent to cause physical or psychological distress to others" (Randall, 1997). Smith dan Sharp juga
memberikan definisi bullying sebagai berikut: "Bullying can be described as
Ketua yayasan Semai Jiwa Amini, Diena Trigg, yang aktif melakukan
penelitian tentang bullying di sekolah-sekolah mendefinisikan bullying
sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang
atau kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya
(http:/lwww .sampoernafoundation.org/content/view/99/105/lang, id/).
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bullying adalah
suatu perilaku agresif yang dilakukan secara sadar oleh individu atau
ke1ompok yang te1iihat memiliki kekuasaan dan kekuatan (seni0;) terhadap
orang yang lemah (junior), bertujuan untuk menyakiti korban, serta
menimbulkan ketakutan pada diri korban, dan dilakukan secara
berulang-ulang, dalam periode waktu tertentu.
Sullivan (2000) mengatakan ada beberapa elemen di dalam bullying yaitu:
1. Adanya niat melukai atau merugikan orang lain
2. Adanya ketidak-seimbangan kekuatan (imbalance of power')
3. Dilakukan secara terorganisir dan sistematis
4. Dilakukan secara berulang-ulang dalam periode tertentu
5. Pengalaman yang menyakitkan bagi korban yang berbentuk fisik
Ketidak-seimbangan kekuatan/kekuasaan antara pelaku dengan korban
dapat berbentuk macam-macam, misalnya ketidakseimbangan yang
berkaitan dengan keadaan tubuh, kapasitas untuk mendominasi orang lain
secara verbal, maupun mengucilkan seseorang dari kelompok tertentu.
Menurut Olweus (1993), ketidakseimbangan kekuatan/kekuasaan (imbalance
of power) antara pelaku dengan korban ini merupakan ciri khusus dari perilaku bullying.
Pelaku bullying memiliki tujuan untuk menyakiti orang lain, maksudnya adalah
hal yang dilakukan oleh pelaku merupakan hal yang disengaja bukan hal
yang tidak disengaja untuk dilakukan. Kebanyakan pelaku bullying mencari
popularitas dengan cara menekankan agresi pada anak-anak yang lemah,
tidak populer dan tidak mampu balas dendam. Beberapa anak terlihat baik
dan ramah secara pribadi akan tetapi berperilaku bullying ketika berkelompok
(Sheras, P. & Sherill T, 2002).
Bullying memiliki makna yang berbeda dengan sarkasme, meskipun
sarkasme juga mengandung olok-olok ataupun penghinaan untuk menyakiti orang lain.
Gorys, 1985). Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2000) sarkasme
mengandung arti penggunaan kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang
lain; cemoohan atau ejekan kasar. Pengertian lain menyebutkan sarkasme
adalah sindiran yang disajikan secara keras dan kasar tanpa menggunakan
upaya penyiratan melalui pembalikkan makna
(http://en.bitacle.org/v/4z7c--eipp0/majas.html?usrmode=1 ).
Berbeda dengan bullying, di dalam sarf(8sme tic!3k ada unsur kekuasaan
ataupun kekuatan sedangkan pada bullying terdapat unsur tersebut. Pelaku
sarkasme bukanlah orang yang terlihat memiliki kekuasaan dan kekuatan, siapapun bisa melakukannya. Dengan kata lain tidak ada unsur senioritas di
dalam sarkasme. Sarkasme sering diekspesikan dalam pernyataan sindiran
dan sering digunakan dalam gaya humor dan kadang-kadang diekspresikan
melalui intonasi suara yang khusus
(http://www.gooqle.eo.id/search?hl=id&defl=en&q=define:sarcasm&sa=X&oi=
glossary definition&ct=title). Dalam sarkasme terdapat pembalikkan makna.
Hal ini mengandung pengertian bahwa apa yang dikatakan berlainan dengan
apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya, dan sarkasme ini akan
berhasil apabila pendengar sadar akan maksud yang disembunyikan di balik
Bullying dan sarkasme pada dasarnya memiliki kesamaan yakni bisa menyakiti orang lain. Namun di dalam sarkasme tidak terdapat
elemen-elemen yang terkandung dalam bullying seperti terdapat unsur kekuasaan,
dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu.
2.1.2. Temrat Terjadinya Bullying
Penelitian mengenai sekolah sebagai salah satu tempat terjadinya perilaku
bullying pernah dilakukan ol6h Olweus (1993) ci mana menurutnya se:mlah tanpa diragukan lagi merupakan tempat yang paling banyak timbulnya
perilaku bullying dan perilaku ini banyak terjadi di antara murid di sekolah
yang besar dan kelas yang besar.
Sheras, P dan Sherill T. (2002) menyebutkan beberapa tempat terjadinya
bullying, tempat-tempat tersebut adalah di halaman sekolah, di dalam kelas, kamar mandi sekolah, bus sekolah, dalam perjalanan pulang dari sekolah,
2.1.3. Jenis-Jenis Bullying
Jenis bullying menurut Randall, P. (1997) adalah:
1. Bullying yang bersifat fisik, seperti: menjambak, memukul, menendang, mengunci di kamar, mendorong, mencakar, meludahi dan berbagai
serangan fisik lainnya. Termasukjuga diantaranya merusak barang orang.
2. Bullying yang bersifat nonfisik/psikologis Dapat bersifat verbal maupun nonverbal
11 Bullying yang bersifat verbal, misalnya: telepon ancaman, meminta
uang atau barang dengan paksaan (memalak), intimidasi, meniberi
julukan yang tidak pantas, mengolok-olok ras, pelecehan seksual
secara verbal, mempermalukan, menyebarkan isu tidak benar.
" Bullying yang bersifat nonverbal terbagi lagi menjadi dua, yakni:
langsung dan tidak langsung. Yang langsung mencakup mimik muka
yang jahat dan gerak tubuh yang kasar. Yang tidak langsung
mencakup manipulasi dan meruntuhkan pertemanan, mengisolasi atau
tidak mengikutsertakan seseorang, dan mengirimkan catatan yang
menjelek-jelekan.
Bullying dapat dilakukan dalam salah satu bentuk di atas atau kombinasi dari
beberapa bentuk perilaku bullying. Pada perilaku bullying tidak
memperhitungkan alasan pelaku melakukan bullying. Terkadang pelaku
hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan,
tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan
membuat korban mengalami Iuka baik fisik maupun psikologis.
Pada umumnya anak laki-laki lebih sering melakukan bullying. Hal tersebut
dikarenakan hubungan pertemanan di antara sesama laki-laki lebih keras,
lebih kuat, dan lebih agresif daripada hubungan pertemanan di antara
sesama perempuan (Randall, 1997). Selain itu, laki-laki lebih sering
menggunakan perilaku bullying aktif seperti menyerang korban daripada
perilaku bullying pasif seperti memperlihatkan mimik rr.uka yang jahat. Bukan
berarti laki-laki tidak pernah melakukan perilaku bullying dalam bentuk pasif.
Menurut Olweus (1993), jumlah laki-laki yang melakukan bullying pasif
setidaknya hampir sama dengan perempuan yang melakukan perilaku
bullying pasif, walaupun perempuan yang melakukan bullying lebih sedikit daripada laki-laki.
2.1.4. Karakteristik pelaku Bullying
Para pelaku bullying memiliki karakteristik umum (Olweus, 1993) yaitu:
1. Memiliki kebutuhan yang besar untuk mendominasi orang lain
2. Menggunakan orang lain untuk mendapatkan hal yang diinginkan
3. Hanya memperhatikan kesenangan dan kebutuhan diri sendiri, serta
4. Apabila merupakan anak laki-laki, maka memiliki fisik yang lebih kuat
dibandingkan anak laki-laki pada umumnya.
5. Memiliki sikap positif terhadap kekerasan
6. Populer dalam pergaulan di sekolah.
7. Memiliki rasa percaya diri yang tinggi
Sedangkan Stephenson dan Smith (1989, dalam Diana Amalia Z, 2005),
mengatakan bahwa ada tiga tipe pelaku bullying, yaitu:
1. Pelaku dengan tipe percaya diri. Memiliki karakteristik sebagai berikut:
secara fisik kuat, menikmati agresivitas, merasa aman dan biasanya
populer.
2. Pelaku dengan tipe pencemas. Memiliki karakteristik sebagai berikut:
secara akademik lemah, lemah dalam berkonsentrasi, kurang populer dan
kurang merasa aman.
3. Pelaku/korban. Memiliki karakteristik sebagai berikut: seseorang yang
terkadang menjadi pelaku, terkadang menjadi セッイ「。ョL@ tergantung situasi.
Menurut beberapa psikolog dan psikiatris, individu yang berperilaku agresif
dan memiliki kekuatan sebenamya merupakan individu yang mempunyai sifat
cemas dan tidak aman di dalam diri mereka akan tetapi mereka mempunyai
rasa percaya diri yang tinggi. Tidak semua bully yang berkelompok terdiri dari
orang-orang yang selalu memberikan inisiatif atau bully aktif. Hal itu
saling mendukung satu sama lain sehingga dalam suatu kelompok ada bully
aktif dan ada bully pasif atau pengikut. Ada juga kelompok bully yang
semuanya aktif. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa karakter utama dari
pAlaku bullying dapat dijelaskan sebagai seseorang yang memiliki perilaku
agresif yang dikaitkan dengan fisik yang kuat (Olweus, 1993).
2.1.5. Tipe Korban Bullying
Stephenson dan Smith (1989, dalam Dina Amalia Z., 2005), membagi tipe
korban bullying menjadi tiga:
1. Korban dengan tipe pasif. Memiliki karakteristik sebagai berikut:
pencemas, memiliki self-esteem yang rendah, secara fisik lemah dan tidak
populer. Mereka tidak melakukan apa-apa untuk mengantisipasi tindakan
bullying dan mereka juga tidak bisa melawan ketika peristiwa itu terjadi. 2. Korban dengan tipe provokatif. Memiliki karakteristik sebagai berikut:
secara fisik lebih kuat daripada korban dengan tipe pasif, memiliki
masalah dengan kemampuan konsentrasi, ュセュゥ」オ@ amarah atau
ketidaksukaan dari orang-orang sekeliling mereka sehingga
memungkinkan terjadinya tindak bullying pada mereka.
3. Korban/pelaku. Memiliki karakteristik sebagai berikut: Perry (1988, dalam
Diana Amalia Z., 2005), menemukan bahwa banyak dari korban bullying
satu pihak, tetapi juga melampiaskan amarahnya terhadap murid lain
yang lebih lemah.
2.1.6. Sumber-sumber Psikologis yang Mendasari Perilaku Bullying
Olweus (1993) mengemukakan beberapa sumber psikologis yang mendasari
munculnya perilaku bullying, yang sebagian berkaitan dengan motif.
Sumber-sumber psikologis tersebut adalah:
1. Para bully mempunyai keinginan yang kuat untuk kekuasaan dan
dominasi. Mereka terlihat sangat menikmat' dalam mengontrol orang lain
dan adanya keinginan untuk memiliki orang lain dalam maksud yang tidak
baik.
2. Bagaimana para bully ini dibesarkan di lingkungan keluarganya. Bully
dibesarkan di dalam keluarga yang authoritarian dengan tingkat kepaduan
yang rendah dan menunjukkan sikap bermusuhan. Orangtua
menganggap bahwa pendapat orangtualah yang benar dan tidak
menghargai pendapat anak. Hukuman fisik pun sering dilakukan untuk
menghukum anak mereka. Dengan demikian, adalah hal yang wajar untuk
berasumsi bahwa para bully tersebut telah rnengembangkan sikap
bermusuhan terhadap lingkungan mereka sendiri, seperti perasaan yang
dapat membuat mereka merasa senang atau puas ketika telah membuat
3. Adanya komponen keuntungan atas perilaku mereka. Para pelaku bullying
terkadang suka memaksa korban bullying untuk memberikan mereka
uang, rokok, atau sesuatu yang berharga atau ada harganya untuk para
bu//y. Dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku yang mengandung komponen antisosial dan perilaku yang suka melanggar
aturan. Hal itu dapat menyebabkan remaja yang berperilaku agresif dan
suka melakukan bu//ying terhadap orang lain mempunyai kesempatan
menjadi seseorang yang selalu dipenuhi dengan masalah-masalah seperti
kriminalitas dan alkoholik (pecandu !Tlinuman kercis).
Peter Sheras dan Sherill Tippins (2002) mengatakan bahwa kebanyakan
pelaku bu//ying mencari popularitas dengan cara menekankan agresi pada
anak-anak yang lemah, tidak populer dan tidak mampu balas dendam.
2.1.7. Dampak Bullying terhadap Korban
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ciri-ciri d"!ri korban bullying
adalah pemalu, penakut, memiliki harga diri yang rendah, lemah secara fisik
dan lain sebagainya. Bullying juga mempunyai dampak yang tidak baik bagi
korbannya. Bullying bagi korban akan menjadi pengalaman yang tidak
menyenangkan (trauma) dan memunculkan gejala psikosomatis. Karban
berisiko besar untuk depresi dan seringkali menghindari situasi yang
menghambat kemajuan siswa karena dapat menurunkan kemampuan
akademis siswa. Hal ini dikarenakan siswa kerapkali gundah, sulit
berkonsentrasi sehingga kurang bergairah dalam belajar. Mereka juga kerap
takut dan tidak percaya diri. Dampaknya, potensi siswa gaga! diberdayakan di
sekolah (http://www.republika.eo.id/korandetail.asp?id=245850&kat
id=13&kat id1=&kat id2=).
2.2.
SELF-ESTEEM
:.!.2.1. Definisi Self-esteem
Coopersmith (dalam Murtadho imam, 2005) menjelaskan bahwa harga diri
(self-esteem) adalah "The evaluation which the individual makes and
customarily maintains with regard to himself,· it's expressesan attitude of approval or disapproval and indicates the extent to which the individual believes himself to be capable significance, successful and worthy''. (Self-esteem merupakan evaluasi atau penilaian yang dibuat individu mengenai keberhargaan dirinya, yang ditampilkan dalam sikap penerimaan atau
penolakan dan menunjukkan keyakinan individu kepada diri sendiri bahwa ia
mampu, berarti, berhasil dan berharga).
Lebih lanjut ia menjelaskan pula bahwa penilaian atau evaluasi diri
penampilan-penampilan, kecakapan-kecakapan dan sifat-sifatnya
berdasarkan standar pribadi dan nilai-nilai yang dimilikinya sampai akhirnya
menjadi sebuah keputusan mengenai harga diri. Self-esteem merupakan
pengalaman subyektif seseorang yang diekspresikan dalam sikap-sikap yang
dipegang individu kepada orang lain baik dalam bentuk kata-kata (verbal)
maupun dalam bentuk perilaku ekspressif secara terbuka lainnya (Gilmore,
1974 dalam Murtadho Imam, 2005).
Sant,ock (2002) dalam b:.ikunya y::mg berjudul "Life-Span develop,11enf'
menerangkan bahwa Self-esteem adalah "Dimensi penilaian (evaluatif) global
dari kepribadian" atau "suatu penilaian atau pencitraan diri yang mengacu
pada suatu bidang keterampilan-keterampilan yang berbeda dan penilaian
diri secara umum".
Sedangkan Abraham Maslow salah seorang tokoh psikologi humanistik
(dalam Goble, 1998) secara panjang lebar menjelaskan bahwa, setiap orang
memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan, yakni harga diri dan
penghargaan dari orang lain. Pertama, harga diri meliputi: kebutuhan akan
kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi,
ketidaktergantungan dan kebebasan. Kedua, penghargaan dari orang lain
meliputi: prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan; ;1ama baik
Dalam uraian tersebut nampak bahwa Abraham Maslow membagi self-esteem menjadi dua kategori, yakni harga diri dan penghargaan dari orang lain serta memandangnya sebagai sebuah kebutuhan, sama halnya dengan
kebutuhan-kebutuhan yang berada di bawahnya, yakni; Kebutuhan akan rasa
cinta dan memiliki-dimiliki, kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan
fisiologis (fisik). Kemudian, selain kebutuhan tersebut, terdapat pula
kebutuhan yang disebut dengan kebutuhan aktualisasi diri (self actualization)
yang berada di atas kebutuhan self-esteem. Masing-masing tersusun secara
hierarki::i-jika kebutuhan di bawahnya belum t&rpenuhi maka pemenuilan
kebutuhan di atasnya menjadi tertunda.
Branden Nathaniel (2005) mengatakan bahwa self-esteem adalah suatu
kebutuhan mendasar bagi manusia karena bisa berfungsi sebagai kontributor
utama dalam proses kehidupan seseorang. Self-esteem sangat diperlukan
bagi tercapainya pengembangan hidup yang sehat dan normal serta
mengandung nilai-nilai kelangsungan hidup (survival value).
Terpuaskannya kebutuhan akan harga diri pada individu akan menghasilkan
sikap percaya diri, rasa berharga, rasa kuat, mampu dan perasaan berguna.
Akan tetapi sebaliknya, frustasi karena terhambatnya pemuasan kebutuhan
ini akan menimbulkan sikap rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, rnk
mengalami kehampaan, keputusasaan, guilty feeling serta penilaian yang rendah atas dirinya sendiri dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan
perkataan lain, self-esteem merupakan hasil usaha individu yang
bersangkutan dan merupakan bahaya psikologis yang nyata apabila
seseorang lebih mengandalkan rasa harga dirinya pada opini orang lain
ketimbang pada kemampuan dan prestasi nyata dirinya sendiri (Engkos
Koswara, 1991).
Dari berbagai uraian pengerti::m self-esteem di atas, dapat ditarik sebuah
pengertian bahwa self-esteem merupakan penilaian, penghormatan dan
keyakinan seseorang terhadap kemampuan, kekuatan dan keberartian
dirinya berdasarkan standar subyektif yang diekspresikan dalam bentuk
kata-kata (verbal) maupun perilaku.
2.2.2. Komponen Harga Diri
Brown (1998) mengatakan bahwa ada dua komponen harga diri, yaitu:
1. feelings of belonging
Menyangkut perasaan bahwa seseorang dicintai dan dihargai dengan tanpa
syarat apapun. Komponen ini merupakan dasar perasaan secure
seseorang dalam hidupnya dan merupakan komponen yang menunjukkan
2. feelings of mastery
Menyangkut perasaan seseorang bahwa dia adalah orang yang berharga
dan memiliki peran yang berarti di dalam lingkungannya. Komponen ini
lebih menunjukkan sisi kognitif dari harga diri.
Sela in itu Felker (197 4 dalam Margarheta T. Kuera, 2005) juga menyebutkan
bahwa harga diri terdiri dari tiga kornponen. Kornponen harga diri itu adalah:
1 . feelings of belonging
Komponen ini menyangi<ut perasaan bahwa seorang individu merupakan
bagian dari kelompok tertentu, diterima, dicintai, dan dihargai oleh
kelompoknya.
2. feelings of competence
Komponen ini menyangkut perasaan individu ketika dia berhasil mencapai
suatu hasil yang diharapkan. Perasaan ini merupakan persepsi mengenai
kemampuan yang dimiliki seseorang.
3. feelings of worth
Merupakan komponen harga diri yang menyangkut perasaan mengenai
apakah seseorang berharga atau tidak di mata orang lain.
Jika dilihat dengan seksama, sebenarnya komponen-komponen harga diri
ケ」Zセァ@ disebutkan oleh tokoh-tokoh di atas tidak memiliki perbedaan yang
dengan feelings of belonging menu rut Felker. Sedangkan feelings of mastery
menurut Brown serupa dengan feelings of competence menu rut Felker.
Hanya saja Felker mengajukan satu lagi komponen harga diri, yaitu feelings
of worth.
2.2.3. Karakteristik orang berdasarkan harga dirinya
Coopersmith menyebutkan beberapa karakteristik orang dengan harga diri
yang tinggi dan orang dengan harga diri yang rendah. Adapu11 karakteristik
orang der.gan harga diri tinggi (dalam Margarheta T. K11era, 2005):
1. Merasa bahwa dirinya adalah individu yang berharga dan sama baiknya
dengan orang lain yang sebaya dan juga dapat menghargai orang lain.
2. Dapat mengendalikan dan mengontrol tindakan-tindakannya terhadap
dunia di luar dirinya dan dapat menerima kritik dari orang lain.
3. Menyukai tugas baru yang menantang dan tidak mudah bingung bila ada
hal-hal tertentu yang terjadi di luar rencana.
4. Memiliki prestasi akademis, aktif, dan dapat mengekspresikan diri dengan
baik.
5. Tidak menganggap bahwa dirinya adalah individu yang sempurna,
mengetahui keterbatasan-keterbatasan diri, dan selalu mengharapkan
perbaikan diri.
6. Memiliki nilai-nilai dan sikap-sikap demokratis serta orientasi yang
···- -. . I
---
MMMMMMMMセM MMセMNj@7. Lebih bahagia dan efektif dalam menghadapi tuntutan lingkungan.
Sedangkan karakteristik orang dengan harga diri rendah (Margarheta T.
Kuera, 2005) yaitu:
1. Merasa bahwa dirinya adalah individu yang tidak berharga dan tidak
disukai sehingga seringkali takut mengalami kegagalan dalam melakukan
hubungan sosial. Oleh karena itu, individu ini sering menolak dirinya
sendiri, merasa tidak puas, dan bahkan meremehkan dirinya sendiri.
2. T:dak mer11iliki keyakinan terhadap pendapat dan kema.npuan dirinya
sendiri sehingga kurang mampu mengnekspresikan diri dan menganggap
ide serta pekerjaan orang lain pasti jauh lebih baik.
3. Tidak menyukai hal atau tugas baru sehingga sulit untuk beradaptasi ke
segala sesuatu yang belum jelas.
4. Merasa bahwa tidak banyak yang dapat diharapkan dari dirinya, baik pada
saat ini maupun pada masa yang akan datang, sehingga individu ini
Sf:!ringkali kelihatan putus asa dan depresi.
5. Merasa bahwa orang lain tidak ada yang memperhatikan dirinya, merasa
diasingkan, dan tidak dicintai.
6. Menganggap bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya akan selalu
Rendahnya harga dirilself-esteem memang mungkin sekali menimbulkan gangguan fungsional, tetapi harga diri yang tinggi dan dibuat-buat bisa
menimbulkan masalah juga. Anak yang diajari mantra "Aku anak istimewa"
akan merugikan diri si anak jika tanpa disertai pengembangan keterampilan
yang diperlukan dalam hidup secara berkesinambungan. Pujian berlebihan
dan serampangan tanpa membantu si anak untuk sungguh-sungguh meraih
sesuatu yang patut mendapat penghargaan dapat menyebabkan bencana
ketika dunia si anak tidak terus menerus memujinya atas kesuksesan yang
bukan hosil jerih payahnya.
Dr. Robert Hare, pakar terkemuka mengenai para psikopat melakukan
penelitian atas anggapan bahwa self-esteem yang tinggi biasanya
menghambat sikap agresif dan tindakan abnormal lainnya kepada sejumlah
besar pembunuh berantai dan penjahat kambuhan sadis yang mendekam di
penjara di seluruh dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak dari
mereka mengaku memiliki harga diri yang berlebihan dan menggambarkan
diri mereka sebagai manusia yang sangat hebat. lbu mereka mencintai
mereka dan pacar mereka memuja mereka (Stein, Steven dan Howard E.
Book, 2004). Hal senada juga dikatakan oleh Baumeister, Smart, dan Boden
(1996 dalam Baron, Roberta dan Donn Byrne, 2003), orang yang agresif
cenderung memiliki self-esteem yang tinggi. Pria y-:::ng sangat jahat, sebagai
dalam kekerasan ketika ada orang yang tidak memandang diri mereka
sepositif ia memandang dirinya sendiri, sehingga harga diri mereka terluka.
2.3. Remaja
2.3.1. Defrnisi Remaja
lstilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere, yang
berarti "tumbuh" atau "tumbuh menjadi dewasa". Hurlock (1980) menjelaskan
istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang
lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Hal ini
sejalan dengan Santrock (2000) yang mengatakan bahwa usia remaja
ditandai oleh terjadinya perubahan yang besar dalam aspek fisik yaitu
terjadinya pubertas, perubahan kognitif, maupun perubahan psikososial.
Sarlito (2004) mengemukakan bahwa seringkali orang mendefinisikan remaja
sebagai periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, atau masa
usia belasan tahun, atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu
seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya dan sebagainya.
Menurut Hurlock (1980) masa remaja merupakan suatu periode transisi di
mana seseorang berubah secara fisik dan psikologis dari seorang anak
Sedangkan Salzman (dalam Syamsu Yusuf, 2004) mengemukakan bahwa
remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence)
terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual,
perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
Masa remaja ini merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan.
Masa ini dikenal sebagai suatu periode peralihan; suatu masa perubahan;
usia bermasalah; saat dimana individu mencari identitas; usia yang
menai<utkan; masa tidak realistik dan masa ambang dewasa (Hurlock,
r::.,
1980).
Masa remaja merupakan periode perubahan yang sangat pesat baik dalam
perubahan fisiknya maupun perubahan sikap dan perilakunya. Ada empat
perubahan yang bersifat universal selama masa remaja, yaitu:
" Meningkatnya emosi, ini tergantung intensitasnya pada tingkat perubahan
fisik dan psikologis yang terjadi; perubahan emosi ini banyak terjadi pada
awal remaja.
" Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial
untuk diperankan, menimbulkan masalah baru, sehingga selama masa ini
remaja merasa ditimbuni masalah.
" Dengan berubahnya minat dan perilaku, maka nilai-nilai juga berubah.
tidak lagi. Kalau pada masa kanak-kanak kuantitas yang dipentingkan
sekarang segi kualitas yang diutamakan.
" Sebagian besar remaja bersikap ambivalensi terhadap setiap perubahan.
Mereka menginginkan dan me;iuntut kebebasan, tetapi mereka sering
takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan
mereka untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.
2.3.2. Batasan Remaja
Terd2pat ambiguitas mengenai batasan masa ·emaja. Sebagian para teoritis
menyatakan dalam usia, sehingga mengesankan masa remaja berkisar
antara usia
11
hingga18
atau20
tahun. Sebagian lagi menyatakan masaremaja dalam tahun-tahun yang terbentang sejak timbulnya pubertas hingga
dimilikinya peran-peran dan tanggung jawab orang dewasa. Beane dan Lipka
(dalam Tetty Elitasari, 1996) menyatakan bahwa konflik mengenai batasan
usia dan peran merupakan sumber kebingungan dalam pencarian identitas
diri remaja.
Hurlock (1980) membagi masa remaja menjadi dua periode, yaitu masa
remaja awal dan masa remaja akhir, hal tersebut disebabkan karena
perubahan perilaku, sikap dan nilai-nilai sepanjang remaja tidak hanya
menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi k:bih cepat pada awal masa
perilaku, sikap dan nilai-nilai pada awal masa remaja berbeda dengan pada
akhir masa remaja. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari usia 13-16
atau 17 tahun bagi anak perempuan, dan bagi anak laki-laki berlangsung
kira-kira dari usia 14-16 atau 17 tahun. Sedang masa remaja akhir dimulai
dari usia 16 atau 17 tahun sampai dengan usia 18 tahun. Sedangkan
menurut J.P Chaplin (2002) membatasi usia remaja pada usia 12-21 tahun
untuk anak perempuan yang dinilai lebih cepat menjadi matang daripada
anak laki-laki, dan antara 13-22 tahun bagi anak laki-laki.
Menurut Zakiah Daradjat (1995) masa remaja berlangsung dari usia 13-21
tahun. Pada masa ini terjadi perubahan peranan yaitu ke arah kemandirian
dalam berpikir dan bertanggung jawab seperti halnya orang dewasa.
Selanjutnya WHO (dalam Sarlito, 2004) memberi batasan kurun usia remaja
dalam dua bagian, yaitu remaja awal pada 10-14 tahun dan remaja akhir
15-20 tahun. Demikian juga PBB memberikan batasan bagi remaja di Indonesia
dalam kurun usia 14-24 tahun yang dikemukakan dalam sensus penduduk
1980.
Dari beberapa batasan mengenai remaja di atas, maka peneliti mengambil
batasan berdasarkan teori Hurlock (1980) karena dinilai lebih mewakili
rentang usia 17-18 tahun, di mana usia tersebut adalah usia remaja akhir
yang duduk di bangku kelas 3 SMA.
2.3.3. Tugas Perkembangan dan Kebutuhan-kebutuhan Remaja
Menurut Havinghurst (dalam Abin Syamsuddin M., 2004) tugas
perkembangan yang harus dilakukan pada masa ini adalah:
1. mencapai hubungan-hubungan yang baru dan lebih matang dengan
teman-teman sebaya dari kedua jenis.
2. mencapai suatu peranan sosial sebagai pria atau wanita
3. menerima dan menggunakan fisiknya secara efektif
4. mencapai kebebasan emosional dari orangtua dan orang lainnya
5. mencapai kebebasan keterjaminan ekonomis
6. memilih dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan/jabatan
7. mempersiapkan diri bagi perkawinan dan berkeluarga
8. mengembangkan konsep-konsep dan keterampilan intelektual yang
diperlukan sebagai warga Negara yang ォッュー・エセョ@
9. secara sosial menghendaki dan mencapai kemampuan bertindak secara
bertanggungjawab
10. mempelajari dan mengembangkan seperangkat system nilai-nilai dan
Selanjutnya Havinghurst (1972 dalam Woro Aryati P dan Farida
L.
S., 1990)mengemukakan bahwa remaja mempunyai kebutuhan-kebutuhan psikis
seperti:
., Kebutuhan akan afeksi, yang berarti kebutuhan akan kasih sayang yang
wajar. Mereka ingin memperoleh perhatian dan kasih sayang terutama
dari orangtua mereka sendiri. Bila hal ini tidak dipenuhi maka mereka
akan mencarinya di luar hubungan dengan orangtua/keluarga tersebut.
" Kebutuhan akan rasa ikut memiliki dan dimiliki (sense of belonging).
Kebutuhan ini cukup kuat pada diri seseorang, adar.ya perasaan aman,
karena adanya keterikatan pada seseorang atau sekelompok dengan
adanya keterlibatan diri
., Kebutuhan akan kemandirian. Kebutuhan ini sudah nampak semenjak
awal dan makin penting artinya dalam masa remaja. Ada keinginan untuk
menentukan dan membuat keputusan sendiri. Semua ini adalah bekal
seseorang untuk menjadi orang dewasa dan bertanggung jawab serta
mempunyai kepercayaan diri, di samping mengetah_ui batasannya.
'" Kebutuhan untuk berprestasi atau mencapai sesuatu. berprestasi
menumbuhkan aspek-aspek positif dalam diri dan mengurangi
pertumbuhan aspek-aspek negatif dalam diri seseorang.
'" Kebutuhan akan pengakuan. Apabila seseorang memperoleh pengakuan
akan kemandiriannya, hal ini dapat menimbulkan perasaan bahwa ia
menumbuhkan perasaan bahwa ia adalah penting, paling tidak cukup
penting sehingga layak diperhatikan. Dengan demikian ia pun akan dapat
menghargai orang lain dan menganggap orang lainpun penting selain
dirinya sendiri.
m Kebutuhan akan harga diri. Dengan terpenuhinya kebutuhan ini ia pun
akan dapat belajar menghargai orang lain, menghormati orang lain secara
layak sebagai sesama.
Kebutuhan tersebut di atas berkaitan satu sama lainnya dan sating
menunjang. Cara bagaimana terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut
memang tidak sama pada semua orang dan tidak selalu sesuai dengan
harapan atau sebagaimana diinginkannya. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan tersebut baik secara wajar ataupun kurang wajar, baik
dalam perbandingan yang seimbang maupun yang kurang seimbang; hal ini
akan saling berkaitan dan menunjang serta mewamai perilaku seseorang
dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik kepada kelompok sebayanya
sehingga tak jarang orangtua dinomor duakan sedangkan kelompoknya
dinomor satukan. Apa-apa yang diperbuatnya ingin sama dengan anggota
kelompok lainnya, kalau tidak sama ia akan merasa turun harga dirinya dan
sangat kuat. Dengan peer affiliation, seseorang mengukuhkan
konsep-konsep dirinya, mengintegrasikan individu ke kelompoknya dan memudahkan
proses ia mengembangkan diri dari orangtuanya. Dalam kelompok teman
sebaya, remaja dapat memenuhi kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk
dimengerti, kebutuhan diperhatikan, kebutuhan mencari pengalaman baru,
kebutuhan berprestasi, kebutuhan diterima statusnya, kebutuhan harga diri,
rasa aman yang belum tentu dapat diperoleh di rumah rnaupun sekolah.
Pada 111asa ini juga berkembang sikap "conformity", yaitu kecenderungo.n untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran
(hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sikap konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun
yang negatif bagi dirinya.
2.4.
Kerangka berpikir
Masa remaja adalah tahapan yang penting dalam rentang kehidupan
manusia karena pada masa ini dikenal antara lain sebagai masa dimana
individu melakukan pencarian identitas diri. Remaja yang sedang dalam
proses pencarian identitas diri, penilaian orang lain menjadi sangat penting
bagi dirinya karena hal ini berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan remaja
rentang usia 16-18 tahun yang juga berada pada tahapan remaja yang
sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sangat membutuhkan
harga diri. Harga diri remaja berkembang dan terbentuk dari interaksinya
dengan orang lain, melalui ーセョァィ。イァ。。ョL@ penerimaan, dan respons sikap
yang baik dari orang lain secara terus menerus.
Maslow (dalam Goble, 1998) mengatakan bahwa kebutuhan akan harga diri
pada remaja merupakan kebutuhan yang sangat penting. Dalam kebutuhan
harga diri terkandu:ig harga diri dan peng:1argaan dari orang lain. Harga diri
meliputi kebutuhan akan prestasi, keunggulan dan kompetensi, kepercayaan
diri, kemandirian dan kebebasan. Sedangkan penghargaan dari orang lain
meliputi prestise, kedudukan, kemasyuran dan nama baik, kekuasaan,
pengakuan, perhatian, penerimaan, martabat dan penghargaan.
Coopersmith (dalam Muryantinah M. Handayani, 2000) mengatakan bahwa
yang memiliki peran besar dalam pembentukan harga diri seseorang adalah
orang-orang yang berada di sekitar anak tersebut, seperti orangtua, teman
sebaya dan lain-lain. Orangtua memiliki andil yang sangat besar dalam
pembentukan harga diri ini.
Terpuaskannya kebutuhan akan harga diri pada individu akan menghasilkan
Akan tetapi sebaliknya, frustasi karena terhambatnya pemuasan kebutuhan
ini akan menimbulkan sikap rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, tak
mampu, dan rasa tak berguna, sehingga menyebabkan individu tersebut
mengalami kehampaan, keputusasaan, gui:ty feeling serta penilaian yang
rendah atas dirinya sendiri dalam berinteraksi dengan orang lain.
Pada umumnya orang beranggapan bahwa seseorang dengan self-esteem
yang tinggi sudah pasti memiliki sikap dan perilaku yang baik. Namun
beberapa pene!itian mer.unjukkar. bahwa harga diri yans terlalu tinggi atau
tidak stabil lebih berkemungkinan untuk menimbulkan tindakan kekerasan
daripada self-esteem yang rendah. Sebagai contoh, angka pembunuhan di
AS yang tinggi lebih dikarenakan mereka memandang bahwa
mempertahankan kehormatan sangat penting artinya bagi mereka yang
memiliki norma kultural sama, dan tindakan balasan sebagai respons
terhadap pelanggaran kehormatan pribadi atau kelompok adalah tindakan
yang wajib dilakukan (Krahe, Barbara, 2005).
Kekerasan yang banyak terjadi di kalangan pelajar kemungkinan besar
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan self-esteem. Mengingat pada
masa remaja ini kebutuhan akan self esteem menjadi meningkat. lnomata
(1996, dalam Syamsul Bachri Thalib, 2002) mengatakcui bahwa sifat-sifat
Ada berbagai macam kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar, salah
satunya yakni bullying. Umumnya, orang lebih mengenal bullying dengan
istilah penggencetan, pengucilan, intimidasi dan lain-lain. Bullying adalah
suatu perilaku agresif yang dilakukan secara sadar oleh individu atau
kelompok yang memiliki kekuatan terhadap orang yang lemah, bertujuan
untuk menyakiti korban, serta menimbulkan ketakutan pada diri korban, dan
dilakukan secara berulang-ulang, dalam periode waktu tertentu.
Bullying di sekolah bukar.lah sesuatu hal yang oaru. Fenomena ini sangat banyak terjadi terutama di sekolah, namun hal ini kurang mendapatkan
perhatian dari para guru dan orangtua murid. Bullying yang terjadi di sekolah
biasanya dilakukan oleh senior terhadap juniornya. Sang junior merupakan
sasaran empuk bagi para seniornya. Gejala "bullying" diawali dengan adanya
tradisi MOS (Masa orientasi siswa) dan sejenisnya, yang kemudian secara
informal diperpanjang sampai satu atau dua tahun, sehingga hal tersebut
menimbulkan perasaan tertekan bagi siswa. Gejala ini juga dianggap hal
yang biasa terjadi pada siswa SMA
Motif yang melatarbelakangi tindakan bullying yang dilakukan bullies ini pada
dasarnya kurang diperhitungkan. Berbagai macam alasan dikemukakan oleh
para bully agar tindakan yang mereka lakukan dapat diterima, mulai dari
kedisiplinan. Akan tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang
cukup lama dan membuat korban mengalami Iuka baik fisik maupun
psikologis. Namun hasil penelitian Dina Wiyasti (2005) tentang gambaran
penyebab terjadinya bullying oleh senior terhadap junior di SMU "Z"
menunjukkan bahwa motif perilaku bullying yang dilakukan oleh kakak kelas
terhadap adik kelasnya adalah lebih kepada motif ingin dihormati dan
dihargai. Motif lain dari bullying ini adalah mencari popularitas dengan cara
menekankan agresi pada anak-anak yang lemah, tidak populer dan tidak
mamr:u balas dendam (Sheras, Peter dan Sherill T!ppins, 2002).
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri
mempunyai pengaruh terhadap perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
siswa. Salah satu perilaku kekerasan yang dilakukan oleh siswa yaitu
perilaku bullying. Karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa harga diri
yang terlalu tinggi atau tidak stabil lebih berkemungkinan untuk menimbulkan
tindakan kekerasan daripada self-esteem yang rendah, maka dapat
diasumsikan semakin tinggi self-esteem maka kecenderungan berperilaku
bullying juga tinggi dan sebaliknya, semakin rendah self-esteem
Gambar
Dokumen terkait
Kesimpulan hasil penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara regulasi emosi dengan kecenderungan perilaku bullying pada remaja..
91,3% faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying, antara lain : pola asuh orangtua, norma kelompok dan iklim sekolah. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan,
Hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini yaitu ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara harga diri dengan kecenderungan
Lebih lanjut mengenai pola asuh otoriter dapat mengarahkan anak pada perilaku bullying , ini dibuktikan dengan beberapa penelitian, seperti penelitian yang
Namun dalam penelitian ini, hipotesis yang diajukan ditolak bahwa tidak ada hubungan antara empati dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa SMP.. Berdasarkan
Kekerasan antar siswa juga kerap terjadi yaitu berupa bullying yang merupakan perilaku agresif dan menekan dari seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih
Penelitian diawali dengan mencari topic atau fenomena menarik yang ingin diteliti. Dalam penelitian ini, fenomena yang dipilih berkaitan dengan perilaku agresif verbal yang
Selain banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kesepian pada lansia tersebut, pada penelitian ini merupakan penelitian populasi yang hanya menggunakan 31 subjek di