• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perda keagamaan dalam pelaksanaan otonomi daerah di kota Solok Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perda keagamaan dalam pelaksanaan otonomi daerah di kota Solok Sumatera Barat"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHi)

Oleh:

Esa Mariyani

106045201528

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JIINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Maret 2011

(5)

i

Rasa puji dan syukur kupanjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

yang tak terhingga kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul: “

Perda Keagamaan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota

Solok-Sumatera Barat. Sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta

para sahabat, keluarga dan pengikutnya sampai hari ini. Semoga di akhirat nanti kita

men

dapatkan syafa’at dari beliau Rasulullah SAW.

Alhamdulillah skripsi ini dapat penulis selesaikan meskipun penulis sadari

masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga saran dan kritik yang

berguna dari pembaca akan sangat penulis hargai. Akhir kata penulis berharap

semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapat banyak bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa

terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, membantu dan memotivasi

penulis, antara lain:

1.

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM sebagai dekan Fakultas

(6)

ii

banyak membantu penulis selama masih dalam masa kuliah.

3.

Bapak Dr. Rumadi M.Ag selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktu, tenaga dan pikiranya disela-sela kesibukannya untuk memberikan

bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4.

Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali

penulis dengan Ilmu yang berharga yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan terimaksih penulis semoga

mendapat balasan yang setimpal dari-Nya.

5.

Kepada seluruh staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

membantu penulis untuk mendapatkan buku-buku yang berkaitan dengan

skripsi ini.

6.

Bapak Jhon Hendra, A.Md (Wakil Ketua DPRD Kota Solok) dan Ibu Asfiyeni

(Kabag Hukum dan Persidangan) serta pegawai di Kantor DPRD yang telah

memberikan kemudahan dan kelancaran dalam memberikan data untuk

penyelesaian skripsi ini.

7.

Orang tuaku tercinta, Jalal (ayah) dan Ratna Wilis (ibu), Esa memohon maaf

untuk segala macam perilaku yang tidak berkenan dihati dan terimakasih yang

(7)

iii

restunya yang tiada hentinya.

8.

Untuk adikku, Ilham Affandi, Umar Dani Saputra, Rafli Setiawan, dan Julia

Anggraini, tetap semangat ya dek dalam menuntut ilmu, jangan kecewakan

ayah dan ibu. Dan untuk keluarga besar ku di Sarolangun, I Love u All...

9.

My beloved boyfriend

Bustomi Marza yang telah membuat hari-hari ku begitu

terasa indah. Terimakasih atas supportnya yang tiada henti agar terus

semangat menyelesaikan skripsi ini.

10.

Keluarga di Solok makasih udah mau menampung dan direpotin sama Esa

selama Esa penelitian di Solok

11.

Teman-teman SS angkatan 2006, Ila, Rifqo, Uti, Yuda (makasih buat support

dan kebersamaannya di detik2 terakhir pendaftaran skripsi ^.^) Echa, Apri,

Jawir, Lutfi, Lina, Achi, Ziah, Atiqoh, Pardi, Iim, Bowo, Alif, dan teman2

lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih ya temen2 buat

kebersamaannya selama menuntut ilmu dikampus tercinta ini, semoga kita

menjadi orang sukses dimasa depan amiiin...

12.

Sahabat2 ku Rina Bereng, Eka, Nina, Nini, Nunuy, Alfi, Popon, Pity, makasih

buat semangat dan doanya yang kalian berikan buat esa untuk cepat2

(8)

iv

penulis ucapkan terimakasih tang sebesar-besarnya.

Jakarta, 15 Maret 2011

(9)

v

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ... 1

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.

Review Studi Terdahulu ... 8

E.

Metodologi Penelitian ... 11

F.

Sistematika Penulisan ... 14

BAB II

SYARIAT ISLAM,

TAQNIN AL-AHKAM

DAN OTONOMI

DAERAH

A.

Syariat Islam ... 16

1.

Pengertian Syariat Islam ... 16

2.

Sumber-Sumber Syariat Islam ... 19

3.

Sejarah Perjuangan Syariat Islam di Indonesia ... 26

B.

Taqnin Al-Ahkam

... 31

1.

Pengertian

Taqnin Al-Ahkam

... 31

(10)

vi

1.

Pengertian Otonomi Daerah ... 35

2.

Sejarah Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia ... 37

3.

Otonomi Daerah dan Perda Keagamaan ... 41

BAB III

GAMBARAN UMUM KOTA SOLOK

A.

Gambaran Umum Kota Solok ... 48

1.

Sejarah Kota Solok ... 48

2.

Arti Lambang Kota Solok ... 51

3.

Geografis dan Topografi Kota Solok ... 52

4.

Sosial dan Ekonomi Kota Solok ... 54

5.

Sosial Keagamaan Kota Solok ... 57

6.

Politik dan Pemerintahan Kota Solok ... 59

BAB IV

WEWENANG

PEMERINTAH

KOTA

SOLOK

DALAM

PENERAPAN PERDA KEAGAMAAN

A.

Perda-Perda Keagamaan di Kota Solok ... 65

1.

Perda Kota Solok No. 13 Tahun 2003 tentang Pengelolaan

Zakat ... 65

[image:10.612.117.542.56.544.2]
(11)

vii

C.

Dampak Perda Keagamaan di Kota Solok ... 80

D.

Analisis Terhadap Perda Keagamaan di Kota Solok ... 81

BAB V

PENUTUP

A.

Kesimpulan ... 85

B.

Saran-saran ... 86

(12)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Keberadaan otonomi daerah di Negara Republik Indonesia telah menjadi

konsensus nasional. Pemikiran perlunya keberadaan otonomi daerah di Indonesia

telah dilontarkan oleh para pembentuk amandemen UUD 1945 tanpa ada kontra

argumentasi. Pengadaan otonomi daerah bukan hanya sekedar untuk menjamin

efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan saja, atau menampung

kenyataan wilayah Negara Indonesia yang luas, penduduknya banyak, dan

berpulau-pulau yang terpisah-pisah, namun otonomi daerah merupakan dasar memperluas

pelaksanaan demokrasi dan instrumen dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat.

Amandemen UUD 1945 telah memberikan sejumlah paradigma baru dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah pasca

Amandemen UUD 1945 telah mengalami perubahan yang signifikan dibanding

sebelumnya, karena yang semula ketentuan pasal 18 terdiri dari 1 pasal saja, pasca

Amandemen UUD 1945 bertambah menjadi 3 pasal. Pasal 18 terdiri dari 7 ayat, pasal

18A terdiri dari 2 ayat, dan pasal 18B juga terdiri atas 2 ayat. Berdasarkan perubahan

tersebut, maka gagasan Otonomi Daerah tetap dipertahankan di dalam UUD 1945

(13)

tidak bisa dielakkan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki payung

hukum yang kuat karena merupakan amanah konstitusi.

Sejak disahkan Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah sebagai pelaksanaan dari otonomi daerah, Pemerintah Daerah

memiliki kewenangan yang luas dalam pengelolaan di daerahnya. Dengan adanya

kewenangan yang luas inilah, maka implementasi Peraturan Daerah (Perda) Syariat

marak terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Perda inilah yang kemudian dikenal

dengan Perda Syariat Islam.

1

Secara umum, Perda syariat Islam sering dimaknai

sebagai Perda yang dicurigai diambil dari ketentuan-ketentuan legal syariat Islam,

baik yang bersifat tekstual maupun substansi ajarannya.

2

Sampai saat ini, ada 92 perda yang terdaftar di Dirjen Peraturan

Perundang-undangan. Perda Syariat terbanyak terdapat di Sumatera Barat yaitu ada 22 Perda.

Lainnya adalah 13 Perda di Sulawesi Selatan, 12 Perda di Jawa Barat, 10 Qanun

Aceh, 9 Perda di Kalimantan Selatan, 7 Perda di Banten, 5 Perda di NTB, 4 Perda di

Jawa Timur, 2 Perda di Gorontalo, 1 Perda di Bengkulu, 3 Perda di Sumatera Selatan,

1 Perda di Lampung, 1 Perda di Bangka Belitung, 1 Perda di Kepulauan Riau, dan 1

Perda di NTT.

3

Bukan hanya dalam bentuk Perda tetapi juga dalam bentuk Rencana

Strategis (Renstra), Surat Keputusan, Instruksi atau Edaran Bupati dan lainnya yang

1

Ramli Abdul Wahid, Urgensi Peraturan Daerah Syariah, dalam Waspada Online, Jumat, 02

November 2007 21:31 WIB. 2

Rumadi, Perda Syariat Islam: Jalan Lain Menuju Negara Islam?, Tashwirul Afkar, Jurnal

Refleksi Pemikiran keagamaan dan Kebudayaan; Perda Syariat Islam Menuai Makna, Edisi No. 20

Tahun 2006, hal. 3 3

(14)

isinya mengatur penerapan Syariat Islam dengan bentuk yang beragam, dari yang

m

engatur persoalan Sholat Jum’at khusyuk, k

eharusan bisa baca tulis al-Quran,

berbusana muslim, pemberdayaan Zakat, Infak, dan Sedekah, pencegahan dan

pemberantasan maksiat, penertiban minuman keras dan pelacuran, hingga penerapan

sebagian hukum pidana Islam (kendati yang disebut terakhir hanya terjadi di Aceh),

seperti hukum cambuk bagi penjudi dan pelaku

khalwat

(laki-laki dan wanita dewasa

berdua-duaan di tempat sepi).

Seringkali proses pembuatan Perda bernuansa agama itu tidak memenuhi

standar baku ketentuan pembuatan undang-undang sebagaimana diatur UU No. 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal paling

mencolok adalah sepinya konsultasi publik dalam pengertian sesungguhnya.

Kalaupun ada konsultasi publik, hanya sekedar klaim-klaiman segelintir orang yang

punya kepentingan pragmatis.

Dengan berpijak pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan yang dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa Pemerintah

Daerah bisa membuat peraturan daerah atau lokal, maka daerah-daerah berlomba

untuk merumuskan Perda-Perda sesuai dengan keunikan daerah masing-masing,

termasuk keunikan keberagamaannya. Perumusan Perda-Perda bernuansa agama itu

pun didasarkan pada argumentasi UUD 1945 pasal 29 yang membenarkan penganut

agama untuk melaksanakan ajaran agamanya. Kenyataan ini tentu saja melahirkan

problem. Karena di satu sisi UU kita membenarkan daerah untuk memproduksi Perda

(15)

dilupakan, sebagaimana tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, disebutkan ada enam urusan yang menjadi urusan

pemerintahan pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan,

moneter dan fiskal serta agama. Artinya, pemerintah daerah tidak memiliki

kewenangan mengatur peraturan tentang agama, karena pengaturan agama hanya

menjadi wewenang pemerintah pusat.

4

Implementasi beberapa Perda Syariat banyak menimbulkan kontroversi,

bukan saja dari kalangan non-muslim yang menganggapnya sebagai perda

diskriminatif, namun dari kalangan muslim pun serta para ahli hukum tatanegara

tidak jarang yang menolak pemberlakuan Perda Syariat, karena Perda Syariat

dianggap tidak sesuai dengan hukum ketatanegaraan Indonesia.

Menyikapi pemberlakuan Perda Syariat Islam di berbagai daerah muncul

pendapat yang setuju dan tidak setuju. Kalangan yang setuju, terutama dari kelompok

Islam politik (elite politik), menganggap adanya perda tersebut bisa menjadi media

sosial untuk memberantas berbagai masalah di masyarakat seperti kemaksiatan,

perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil. Mereka memiliki

argumentasi bahwa keberadaan Perda Syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral

bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus

bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Jakarta membutuhkan

perjuangan yang lama.

4Diskusi Abdul Mun’

im, Rumadi, dkk, tentang Perda Syariat dalam Bingkai Negara Bangsa,

(16)

Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakuan Perda Syariat Islam

beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan pancasila dan substansi

perundang-undangan diatasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan

bangsa (disintegrasi bangsa), karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk

mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka

anut.

Keberadaan Perda-Perda berdimensi agama di Sumatra Barat, selalu dikaitkan

faktor sosial budaya masyarakat Minang yang identik dengan Islam yang tercermin

dalam filosofi adat Minangkabau yakni ABS-SBK (

adat basandi syarak-syarak

basandi Kitabullah

).

5

Sejak era Otonomi Daerah kabupaten dan kota di Sumatra

Barat berlomba-lomba untuk melahirkan Perda-Perda tersebut. Rata-rata tiap kota

atau kabupaten mempunyai 2 sampai 4 buah Perda yang berdimensi agama (Islam).

Lahirnya berbagai Perda bernuansa Syariat di Provinsi Sumatera Barat diawali

dengan keluarnya Perda Provinsi Sumatera Barat No. 11 Tahun 2001 tentang

Pencegahan Maksiat. Kota Solok merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera

Barat yang memiliki 2 Perda bernuansa syariah, yaitu Perda No. 13 Tahun 2003

tentang Pengelolaan Zakat, dan Perda No.6 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Maksiat di Kota Solok. Mayoritas penduduk Kota Solok beragama

Islam. Jumlah penduduk beragama Islam di daerah ini mencapai 98 %, sedangkan

penganut agama Kristen sebesar 1,6 %, dan penganut agama Lain-lain hanya 0,4 %.

5

Postulat adat ini sangat tegas menggariskan bahwa yang menjadi sendi dasar adat istiadat

(17)

Menguatnya keinginan berbagai daerah untuk melakukan formalisasi hukum

Islam melalui berbagai produk perundang-undangan, menjadi salah satu isu pokok

yang penting untuk dibahas. Keinginan tersebut tidak saja dapat dilihat sebagai akses

dari otonomi daerah semata, tetapi juga cerminan keagamaan masyarakat dalam

menyikapi perkembangan yang terjadi, seperti prilaku generasi muda dalam

berpakaian dan maraknya kemaksiatan serta rasa frustasi masyarakat berhadapan

dengan sistem pemerintahan

yang „korup’. Dalam hal ini kebijakan

-kebijakan yang

berkaitan dengan hukum Islam dianggap sebagai salah satu

problem solving

.

Dengan melihat latar belakang yang di paparkan di atas, maka penulis

terdorong untuk melakukan penelitian dan pembahasan, sehingga penulis

menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul:

“Perda Keagamaan Dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Solok-

Sumatera Barat.”

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat sangat luasnya masalah yang akan dijadikan sasaran penelitian dan

tidak mungkin dapat dipecahkan dalam satu penelitian pada penelitian kali ini, maka

perlu dibuat batasan masalah, yakni masalah yang menuntut adanya pemecahan

dengan segera dan berada dalam jangkauan kemampuan peneliti dari sudut

pengetahuan, waktu dan biaya serta fasilitas-fasilitas lainnya. Maka pembahasan ini

terfokus pada pembentukan Perda bernuansa keagamaan yang ada di Kota Solok, dan

(18)

2. Perumusan Masalah

Melihat judul skripsi tersebut maka penulis perlu membuat rumusan masalah

yang dianggap penting yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini. Di antara

rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:

1.

Mengapa Pemerintah Kota Solok membuat atau menerapkan sejumlah

Perda-Perda keagamaan?

2.

Bagaimana strategi dan kebijakan Pemerintah Kota Solok dalam

mengimplementasikan Perda keagamaan di Kota Solok?

3.

Bagaimana dampak dari Perda keagamaan terhadap masyarakat Kota

Solok?

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis,

diantaranya:

a.

Untuk mengetahui mengapa Pemerintah Kota Solok membuat sejumlah

Perda-Perda bernuansa keagamaan.

b.

Untuk mengetahui strategi dan kebijakan Pemerintah Kota Solok dalam

mengimplementasikan Perda-Perda bernuansa keagamaan yang ada di

Kota Solok.

c.

Untuk mengetahui dampak dari Perda keagamaan terhadap masyarakat

(19)

2. Manfaat Penelitian

Adapun dari segi manfaat yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a.

Teoritis: Penelitian ini berguna untuk memberikan informasi dan

kontribusi bagi kalangan intelektual, akademisi dan masyarakat umum

yang ingin tahu lebih lanjut tentang Perda Keagamaan di Kota Solok.

b.

Kebijakan: Tulisan ini juga bertujuan untuk menambah khasanah

keilmuan bagi mahasiswa/mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Sy

ari’ah dan Hukum.

D.

Review Studi Terdahulu

Penelitian tentang tema Peraturan Daerah bernuansa agama, sudah dilakukan

banyak kalangan, baik dari perguruan tinggi maupun sejumlah lembaga swadaya

masyarakat. Penelitian-penelitian itu mengambil fokus tertentu sesuai dengan concern

dan kepentingannya. Ada yang memberi perhatian pada isu perempuan, isu hukum,

menguatnya ideologi salafisme, dan sebagainya. Fokus daerah yang diteliti juga

berpencar-pencar, sesuai dengan kebutuhan penelitian. Berikut ini merupakan

paparan atas sebagian karya-karya penelitian tersebut:

Pertama buku yang disunting oleh Muntoha berjudul: “

Otonomi Daerah dan

Perkembangan Peraturan Daerah Bernuansa Syariah

”. Buku ini membahas tentang

perkembangan peraturan-peraturan daerah bernuansa syariah pada era otonomi

(20)

Daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan

UU baru tentang Pemerintahan Daerah, merupakan respon pemerintah terhadap

tuntutan demokratisasi pada era reformasi, dengan memberikan kebijakan

desentralisasi yang lebih luas kepada daerah. Implikasi dari kebijakan desentralisasi

itu telah berdampak pada beberapa daerah di Indonesia yang berbasis Islam kuat,

mulai

menuntut

diberlakukannya

syariat

Islam

secara

formal

untuk

diimplementasikan di masing-masing daerah itu. Lahirlah kemudian beberapa Perda

yang mengatur beberapa aspek dari ajaran Islam sehingga perda-perda tersebut lazim

dipersepsikan sebag

ai “Perda

-perda Bernuansa Syari

ah”.

Buku kedua berjudul

Syariah Islam dan HAM; Dampak Perda Syariah

Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim

(Jakarta:2007).

Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Centre for Study of

Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Daerah yang menjadi

tempat penelitian dalam buku ini yaitu Kabupaten Bireun, Nanggroe Aceh Darusslam

(NAD); Kabupaten Bulukumba; Kabupaten Tasikmlaya; Kabupaten Bima;

Kabupaten Indramayu; dan Kabupaten Tangerang. Nilai lebih dari riset ini adalah

penggunaan dua metodologi sekaligus, kuantitatif dan kualitatif. Namun demikian,

data kualitatif yang disajikan dalam riset ini lebih cenderung sebagai pendukung

temuan-temuan data kuantitatif. Akibatnya, riset ini hanya memberi gambaran umum

tentang perda syariat dan belum melihat dampak yang sosial yang lebih riil dari

perda-perda itu. Kalau toh riset ini melihat dampak, maka dampak itu juga diukur

(21)

persepsi masyarakat, namun ia belum bisa memberi informasi lebih detail mengenai

dampak sosial politiknya.

Ada beberapa kesimpulan penting dari riset ini: 1) Dukungan masyarakat

terhadap perda sangat kuat; 2) Manfaat yang paling meyakinkan dari perda-perda

yang diriset adalah meningkatnya keamanan dan ketertiban sosial; 3) perda-perda itu

dirumuskan melalui prosedur yang kurang demokratis. Hal ini dibuktikan dengan

rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan perda. Perda cenderung

dibuat secara tertutup, tanpa proses dialog partisipatif dengan melibatkan sebanyak

mungkin elemen masyarakat; 4) Perda syariah lebih sebagai agenda elit yang tidak

mempunyai korelasi dengan kebutuhan masyarakat.

Penelitian yang sama juga dilakukan Syamsurijal Ad’han dan Zubair Umam

di Bulukumba, “Perdaisasi Syariat Islam di Bulukumba”

(Jurnal Taswirul Afkar,

edisi 20/2006).

Kesimpulan penting dari riset ini nyaris sama dengan riset

sebelumnya, bahwa perdaisasi syariat Islam menjadi alat untuk menggapai

kepentingan politik. Perda-perda itu juga dinilai tidak toleran terhadap tradisi lokal

yang telah dipraktikkan masyarakat secara turun temurun.

Berbeda dengan dua buku dan penelitian diatas, pada penelitian ini penulis

lebih fokus pada perda-perda keagamaan yang ada di Kota Solok, karna nyaris belum

ada penelitian yang melihat perkembangan Perda keagamaan di Kota Solok. Dan

penulis juga membahas wewenang pemerintah Kota Solok dalam penerapan Perda

(22)

E.

Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode yang bersifat

deskriptif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran

terhadap keadaan seseorang, lembaga atau masyarakat sekarang ini, berdasarkan

faktor-faktor, latar belakang pendidikan yang nampak dalam situasi yang diselidiki.

Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah dan keadaan

sebagaimana keadaan, sehingga hanya merupakan penyingkapan fakta.

6

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan adalah studi lapangan (

field research

), yaitu

suatu cara pendekatan dengan jalan terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan

data yang dibutuhkan. Untuk menambah data yang dibutuhkan, penulis mencoba

untuk menggunakan tiga sumber data, yaitu:

a.

Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama dan otentik, yaitu al-Quran dan Hadits, UUD 1945,

Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

b.

Data Sekunder

6

Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

(23)

Data sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk

buku, jurnal, artikel maupun melalui media internet.

c.

Data tersier

Data tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap data-data primer dan sekunder, yaitu berupa

kamus-kamus ilmiah dan buku pedoman penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009.

7

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

a.

Studi Kepustakaan (

Library Research

) yaitu melakukan pengumpulan

data-data yang dibutuhkan dari buku-buku, tulisan-tulisan dari berbagai

referensi, dan mengumpulkan, meneliti, menelaah serta mengkaji data dan

informasi dari berbagai media yang relevan dan obyektif.

b.

Studi Lapangan (

Field Research

) yaitu berupa wawancara secara

langsung antara penulis dengan pihak-pihak yang ada kaitannya dengan

judul skripsi ini yaitu Pemerintah Daerah Kota Solok. Digunakan untuk

memperoleh informasi yang lebih jelas dan akurat berkaitan dengan hal

yang diteliti.

4. Teknik Analisis Data

7

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun Singkat, (Jakarta: PT. Raja

(24)

Teknik analisis data dalam penulisan skripsi ini adalah analisis kualitatif atau

bisa juga disebut dengan analisa isi (

contens analysis

).

Contens analysis

yaitu

menguraikan data melalui kategorisasi-kategorisasi, perbandingan serta pencarian

sebab akibat dengan menggunakan teknik analisis induktif (usaha penemuan jawaban

dengan menganalisa berbagai data untuk diambil sebuah kesimpulan).

Adapaun dalam menganalisa data-data tersebut penulis menggunakan metode

deskriptif analisis yaitu suatu teknik analisa data dimana penulis mengolah dan

menganalisa data-data yang diperoleh.

Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan sacara

berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi

di lapangan dengan langkah abstrkaksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan,

dengan mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat

memungkinkan dianggap mendasar dan universal.

8

5. Teknik Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi,

tesis, disertasi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

diterbitkan oleh UIN Jakarta Press 2008, dengan pengecualian kutipan tercemahan al

Quran dan hadits di tulis satu spasi.

8

Burhan Bagin, Metode Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodolodis ke Arah Ragam

(25)

F.

Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok

penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata

urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai

berikut:

BAB I

Pendahuluan

Pada bab ini penulis akan membahas Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika

Penelitian.

BAB II

Syariah Islam,

Taqnin Al-Ahkam

dan Otonomi Daerah

Pada Bab II ini penulis akan membahas Pengertian Syariat Islam,

Sumber-Sumber Syariat Islam, Sejarah Perjuangan Syariat Islam di

Indonesia, Pengertian

Taqnin Al-Ahkam

, Sejarah Awal

Taqnin

Al-Ahkam

, Dasar Pemikiran

Taqnin

di Kalangan Ulama Klasik,

Pengertian Otonomi Daerah dan Sejarah Penerapan Otonomi Daerah di

Indonesia, Otonomi Daerah dan Perda Keagamaan.

BAB III

Gambaran Umum Kota Solok

Pada bab III ini penulis akan membahas Sejarah Kota Solok, Arti

Lambang Kota Solok, Geografis dan Topografi Kota Solok, Sosial dan

Ekonomi Kota Solok, Sosial Keagamaan Kota Solok dan Politik dan

[image:25.612.111.537.196.422.2]
(26)

BAB IV

Wewenang Pemerintah Kota Solok Dalam Penerapan Perda

Keagamaan

Pada bab IV ini penulis akan membahas, Perda-Perda Keagamaan di

Kota Solok, Strategi dan Kebijakan Pemerintah Kota Solok dalam

Mengimplementasikan Perda Keagamaan, Dampak Perda Keagaaman

di Kota Solok dan Analisis Terhadap Perda Keagamaan di Kota Solok.

BAB V

Penutup

Pada bab kelima ini penulis akan menguraikan kesimpulan dari bab

sebelumnya serta memberikan saran mengenai Perda Keagaaman

(27)

16

A.

Syariah Islam

1.

Pengertian Syariah Islam

Secara etimologis (bahasa)

, syariah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau

“jalan yang harus diikuti” atau tempat lalu air di sungai”.

1

Secara terminologis

(istilah), syariah menurut Syaikh Mahmud Syaltut, mengandung arti hukum-hukum

dan tata aturan yang Allah syariatkan bagi hambanya untuk diikuti. Menurut Faruq

Nabhan secara istilah syariah berarti “segala sesuatu yang disyariatkan Allah kepada

hamba-

hambanya. Sedangkan menurut Manna’ al

-

Qathan, syariah berarti “segala

ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya, baik menyangkut akidah,

ibadah, akhlak maupun muamalah.

2

Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Quran seperti pada surat

al-Maidah (5): 48; al-Syura (42): 13; dan al-Jatsiyah (45): 18, yang mengandung arti

“jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama yang

ditetapkan Allah untuk manusia disebut syariah, dalam artian bahasa, karena umat

Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan syariah Islam

dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syariah ia akan

1

Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.

I, h. 1 2

Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A, Filsafat Hukum Islam; Bagian Pertama, (Jakarta: Logos

(28)

mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan

tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab

kehidupan jiwa insani.

3

Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang

disinggung Allah dalam surat al-Syura (42): 13, namun kemudian dikhususkan

penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama

pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan syariah berlaku

untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan

demikian kata syariah lebih khusus dari agama.

4

Pembahasan tentang syariah sesungguhnya berbicara tentang nilai, norma,

hukum, aturan atau yang lebih tepat disebut ajaran atau doktrin Islam yang bersumber

dari al-Quran dan Hadits Nabi, sejarah Muhammad SAW, dan sejarah Islam secara

keseluruhan. Karena ajaran atau doktrin yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini

masih membutuhkan penjabaran yang lebih luas, maka oleh para mufasir dilakukan

penafsiran terhadap teks kitab suci untuk menangkap makna yang terkandung di

dalamnya agar dapat dimengerti dan dipahami oleh umat Islam.

Segala sesuatu yang dihasilkan dari proses penafsiran yang mencakup seluruh

ruang lingkup hukum atau aturan yang tertulis dalam al-Quran dan Hadits ataupun

produk hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan penafsiran

3

Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid I..., h. 1

4

(29)

terhadap doktrin dan sejarah Islam yang telah ditetapkan dengan

„ijma

(konsensus

ulama) dan

qiyas

inilah yang kemudian disebut dengan syariah.

Menurut Yusuf Qardhawi, Syariat Islam itu terdiri atas:

5

1.

Hukum-hukum yang telah ditetapkan langsung oleh nash al-Quran dan

Sunnah secara jelas. Porsi bagian ini lebih sedikit, tetapi urgensinya

sangat besar. Ia merupakan dasar yang kokoh untuk bangunan syariat

seluruhnya.

2.

Hukum yang telah ditetapkan melalui jalan ijtihad oleh para ulama ahli

fikih (fuqaha) dengan merujuk pada ketentuan al-Quran, Sunnah, atau

merujuk pada hukum-hukum yang tidak ada nashnya, misalnya

melalui qiyas, istihsan, istishab, maslahatul murslah dan lain-lain.

Porsi pembagian yang kedua inilah yang paling banyak pembahasan

hukum Islamnya. Ia merupakan kawasan kajian ilmu fikih dan bidang

garapan para fuqaha.

Apabila berbicara tentang syariah, maka tidak bisa dipisahkan dari fiqh, hal

ini dikarenakan hubungan antara keduanya sangat erat. Fiqh adalah pemahaman

tentang syariah, syariah merupakan landasan fiqh. Adapun fiqh dalam bahasa Arab

adalah

Fiqh

yang artinya faham atau pengertian. Adapun secara istilah disebut

ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam.

6

5

Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), Cet, I, hal. 18

6

M. Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja

(30)

2.

Sumber-Sumber Syariah Islam

Hukum-hukum

amaliyah

yang

diambil

dari

dalil-

dalil syar’iyyah

berlandaskan pada 4 dasar pokok, (1) al-Quran, (2) as-Sunnah, (3) al-

Ijma’, dan (4)

al-Qiyas. Oleh sebagian ulama keempat landasan tersebut disepakati sebagai dalil.

Sepakat pula bahwa sistem penggunaan dalil dari keempat dalil tersebut dengan

susunan:

pertama,

al-Quran;

kedua

, as-Sunnah;

ketiga,

al-

Ijma’

; dan yang

keempat,

al-Qiyas.

7

Alasan mengenai penggunaan empat dalil tersebut adalah firman Allah:

































































Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang

sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),

jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu

lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(QS. an-Nisa {4}: 59).

Berikut adalah pembahasan dalil yang empat tersebut.

a.

Al-Quran

Secara etimologis al-Quran adalah masdar (kata dasar) dari kata

qa-ra-a.

Ada

dua pengertian al-Quran dalam Bahasa Arab, yaitu Quran berarti

bacaan

dan “apa

yang tertulis padanya”.

8

Al-quran adalah kalam Allah yang diturunkan melalui

perantaraan malaikat jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw. dengan menggunakan

7

Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy,

(Bandung: Gema Risalah Pers, 1996), Cet. I, h. 36 8

(31)

bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah (penguat) dalam hal

pengakuannya sebagai Rasul, dan agara dijadikan sebagai undang-undang bagi

seluruh umat manusia, disamping merupakan amal ibadah jika membacanya.

Al-quran itu dikompilasikan dinatas dua ujung yang dimulai dari surat al-Fatihah dan

ditutup dengan surat an-Nas, yang sampai kepada kita secara tertib dalam bentuk

tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh atau terpelihara dari perubahan dan

pergantiannya sekaligus dibenarkan oleh Allah di dalam firman-Nya:

9



















Artinya:

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al Quran, dan

Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

(QS. Al-Hijr {15}: 9).

Al-Syaukani menyebutkan pengertian al-Qur

an sebagai berikut: “Kalam Allah

yang diturunkan kepada Muhammad Rasulullah, tertulis dalam mushaf dan

dinukilkan secara mutawatir”. Sementara Fazlur Rahman sebagaimana yang dikutip

Khusnul Khatimah menyebutkan bahwa Al-Qur

an adalah “Dokumen keagamaan dan

etika yang bertujuan praktis, yakni untuk menciptakan masyarakat yang bermoral

baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia shaleh, religius, memiliki

kesepakatan dan keyakinan akan adanya satu tuhan yang memerintahkan kebaikan

dan melarang kejahatan.

10

9

Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh..., h. 39

10

(32)

Firman Allah SWT. dalam Surat Al-Jatsiyah:





























Artinya:

“Kemudian Kami jadikan kamu berada diatas syari‟at (peraturan)

dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari‟at itu dan janganlah kamu ikuti hawa

nafsu orang-orang yang

tidak mengetahui.”

(QS. 45: 18)

Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT. kepada rasul-Nya, supaya menjadi

hujjah

(dalil) baginya, dan menjadi undang-undang (

dustur

) bagi manusia. Secara

garis besar setidaknya hukum yang dikandung oleh al-Quran ada tiga macam, yaitu:

Pertama

, hukum-hukum akidah (keimanan), yang bersangkut paut dengan hal-hal

yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf, mengenai malaikat-Nya, kitab-Nya, para

rasul-Nya dan hari kiamat (doktrin Aqoid).

Kedua

, hukum yang bersangkut paut

dengan hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa suatu

keutamaan dan menghindarkan diri dari kehinaan (doktrin akhlak). Dan

Ketiga

,

hukum amaliyah yang bersangkut paut dengan hal tindakan setiap mukallaf yang

meliputi ucapan, perbuatan, akad (kontrak) dan pembelanjaan (pengelolaan harta

benda), atau dengan istilah doktrin syariah atau fikih.

11

b.

Al-Hadits

Sunnah

secara etomilogi (bahasa) berarti “jalan yang bisa dilalui” atau “cara

yang senantiasa dilakukan”, apakah cara yang baik atau buruk.

Pengertian sunnah

11

Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushul Fiqh), penj.

(33)

secara etimologis ini ditemukan dalam Sabda Rasulullah SAW yang artinya:

“Barang

siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima

pahalanya dan pahala orang-

orang sesudahnya yang mengamalkannya”.

(HR.

Muslim).

12

Menuru

t istilah syara’, as

-

Sunnah ialah “sesuatu yang datang dari Rasulullah,

baik ucapan, perbuatan atau taqrir (persetujuan).

As-Sunnah al-Qauliyah

(sunnah

ucapan), ialah “hadits

-hadits Rasulullah saw. Yang berupa ucapan di dalam berbagai

tujuan dan permasalahan.

As-Sunnah al-

Fi‟liyah

(sunnah perbuatan), yaitu perbuatan

Rasulullah saw. misalnya perbuatan melakukan shalat lima kali lengkap dengan

kaigiyah-nya (cara melakukan) dan rukun-rukunnya; serta perbuatan Rasulullah saw.

menunaikan ibadah haji, perbuatan mengadili seseorang dengan seorang saksi dan

sumpah dari pihak tertuduh.

As-Sunnah at-Taqririyah

, ialah perbuatan beberapa

sahabat Nabi yang disetujui oleh Rasulullah saw. baik mengenai ucapan sahabat atau

perbuatannya. Taqrir disini, terjadang dengan cara membiarkan atau tidak ada

tanda-tanda menolak atau merespon atau menganggap baik terhadap perbuatan itu.

13

Secara garis besar bahwa Sunnah (hadits) dalam pengertian sumber hukum

adalah sumber syariah Islam yang kedua setelah al-Quran. Dalam posisinya sebagai

sumber hukum kedua setelah al-Quran, Sunnah lebih banyak berfungsi sebagai

bayan

atau penjelas terhadap berbagai ketentuan yang ada dalam al-Quran, mempertegas

12

Harun Nasrun, Ushul Fiqh I...,h.38.

13

(34)

ketentuan Quran dan terkadang menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh

al-Quran.

14

Telah sepakat umat Islam, bahwasanya apa yang keluar dari Rasululah saw.

baik itu ucapan atau perbuatan dan atau taqrir yang dimaksudkan dengan itu,

membentuk hukum syariah Islam atau tuntunan, dan disampaikan kepada kita dengan

sanad yang sahih yang mendatangkan kepastian atau dugaan yang kuat, maka

kebenarannya itu sekaligus merupakan hujjah atas umat Islam, sumber daripada

pembentukan hukum syariah Islam. Artinya bahwa hukum yang datang dalam

sunnah-sunnah ini adalah hukum yang datang di dalam al-Quran, sebagai

undang-undnag yang harus diikuti.

15

c.

Ijma’

Secara etimologi, ijma

’ berarti “kesepakatan” atau konsensus.

16

Menurut

istilah Ahli Ushul Fiqh,

Ijma’

ialah

kesepakatan para imam mujtahid diantara umat

Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhad

ap hukum syara’ tentang suatu

masalah atau kejadian.

17

Berdasarkan fakta mengenai definisi ijma’, terdapat keterangan bahwa ijma’

kesepakatan semua mujtahid ummat Islam pada suatu masa atas syariat Islam. Dari

14

Husnul Khatimah, Penerapan Syari‟at Islam, Bercermin pada Sistem Aplikasi Syari‟ah

Zaman Nabi, h.56. 15

Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam..., h. 48.

16

Harun Nasrun, Ushul Fiqh I...,h.51

17

(35)

sini dapat diambil kesimpulan bahwa sendi ijma

’ yang menjadi syarat terbentuknya

ijma’ menurut syara’ ada empat, yaitu:

18

1)

Adanya sebilangan para Mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa,

karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa

pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan yang lainnya.

2)

Adanya kesepakatan semua Mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara’

mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang

negeri mereka, kebangsaannya atau kelompknya.

3)

Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat

masing-masing mereka secara jelas mengenai suatu kejadian, baik penampilan itu

berbentuk ucapan (

qauli

), misalnya dengan memberikan fatwa mengenai

suatu kejadian, atau bentuk perbuatan (

fi‟li

) misalnya suatu keputusan

mengenai suatu hal atau kejadian.

4)

Dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum.

Seandainya pada sebagian besar mereka telah terjadi kesepakatan, maka

tidaklah terjadi ijma’ atas dasar kesepakatan sebagian besar, ketika

jumlah penentang itu sedikit dan jumlah yang mufakat itu banyak, karena

selama masih terdapat pertentangan, berarti masih terdapat pula

kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah (keliru)

bagi pihak lainnnya. Jadi kesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah

syariyyah secara pasti dan apalagi dikukuhkan.

18

(36)

d.

Qiyas

Secara bahasa artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan,

atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.

19

Menurut ulama Ushul, al-Qiyas berarti

menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada

nash-nya pad nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanash-nya kesamaan diantara dua

kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.

20

Setiap kias terdiri dari empat rukun: (1)

al-Ashl

ialah sesuatu yang hukmnya

terdapat dalam nash, biasa disebut sebagai

Maqis „Alaih

(yang dipakai sebgai

ukuran),

Mahmul „Alaih

(yang dipakai sebgai tanggungan), atau

Musyabbah Bih

(yang dipakai sebagai penyerupaan). (2)

al-

Far‟u

ialah sesuatu yang hukumnya tidak

terdapat di dalam nash, dan hukumnya disamakan kepada al-Ashl. (3)

Hukmu‟l

-Ashl

ialah hukum syara yang terdapat nash-nya menurut al-ashl, dan dipakai sebagai

hukum asal bagi cabang (al-

far’u). (4)

al-Illat

ialah keadaan tertentu yang dipakai

sebagai dasar bagi hukum ashl (asal), kemudian cabang (al-

far’u) itu d

isamakan

kepada asal dalam hal hukumnya.

21

Selain empat dalil tersebut, terdapat pula dalil-dalil lain, namun tidak semua

jumhur ulama sepakat menjadikannya sebagai dalil bagi hukum syara’, bahkan ada

yang menolak. Dalil-dalil yang diperselisihkan itu yang terkenal ialah:

a)

Istihsan (meninggalkan hukum khusus kepada yang umum),

b)

Maslahah Mursalah (menetapkan hukum demi kemaslahatan),

19

Harun Nasrun, Ushul Fiqh I ..., h. 62.

20

Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh..., h. 92

21

(37)

c)

Istishab (memilih yang disukai),

d)

„Uruf (adat istiadat),

e)

Madzhab Shahaby (mengikuti sahabat),

f)

Syar’un man Qablana (Syariat orang

-orang sebelum kita).

Maka jumlah dalil syara’ terdapat sepuluh dalil, empat dalil telah menjadi

kesepakatan

ulama,

sedang

enam

dalil

lainnya

masih

diperselisihkan

penggunaannya.

22

3.

Sejarah Penerapan Syariah Islam di Indonesia

Syariah Islam telah menjadi sejarah bangsa Indonesia. Sejak Islam masuk ke

negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan Islam di

daerahnya. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang

masih ada berusaha menegakkannya, walaupun secara berangsur-angsur hukum barat

ataupun hukum adat diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam

menempatkan penerapan Islam sebagai cita-cita.

Perdebatan tentang syariah Islam sudah mulai nampak ketika pemerintah

penjajah Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 24 April 1945, sebagai perwujudan janji

pemerintah Jepang atas kemerdekaaan Indonesia. Perdebatan berporos pada dua

kubu; nasionalis muslim dan nasionalis sekuler. Ketika kelompok nasionalis sekuler

mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, ditentang oleh kelompok nasionalis

muslim, dengan alasan bahwa Pancasila hanya sekedar hasil pemikiran filosofis

22

(38)

manusia. Golongan nasionalis muslim menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar

dan falsafah negara, tapi keinginan ini ditentang oleh kelompok nasionalis sekuler.

Perdebatan yang alot ini kemudian berhasil mencapai titik temu dan kompromi, yaitu

dengan adanya tambahan pada sila pertama Pancasila, dengan tambahan kata; dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tapi, sehari setelah

proklamasi kemerdekaan, kelompok Kristen menemui Muhammad Hatta, dan

menyatakan keberatan atas bunyi sila pertama dalam Piagam Jakarta. Setelah Bung

Hatta menemui kelompok nasionalis Muslim, kemudian dicapai kesepakatan,

sehingga bunyi sila pertama Pancasila menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa.

Golongan nasionalis muslim menerima formula baru itu karena kata; Yang Maha Esa

yang dicantumkan setelah kata Ketuhanan, mencerminkan doktrin kepercayaan tauhid

yang berarti sesuai dengan akidah Islam.

23

Perdebatan antara kelompok nasionalis muslim dan nasionalis sekuler,

kembali mencuat di era kepemimpinan Presiden Soekarno (Orde Lama). Pada tahun

1955 perdebatan tentang tentang dasar negara kembali menjadi polemik di

Konstituante, partai-partai Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara (yang

merupakan prasyarat pemberlakuan syariah Islam), tapi partai-partai nasionalis

mempertahankan Pancasila. Polemik itu diakhiri dengan keluarnya Dekrit Presiden

pada tanggal 5 Juli 1959, untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945. Selain di

Konstituante, keinginan sebagian umat Islam atas Islam sebagai dasar negara,

23

Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Badan Litbang

(39)

diwujudkan dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, seperti munculnya DI/TII

di Jawa Barat, yang dipimpin Karto Suwiryo, di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh,

dan di Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakar.

Setelah Bung Karno diberhentikan oleh MPRS, masuklah era Orde Baru. Di

bawah pimpinan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan asas

negara, hubungan Islam dan negara, dan juga hubungan partai-partai politik dengan

negara. Ketiga politik Orde Baru itu dikenal dengan politik; non-sektarian, massa

mengambang, dan ke

seragaman „ideologi’ Pancasila.

Menurut Taufiq Nugroho, kebijakan Orde Baru dalam hubungannya dengan

Islam, dapat dibagi pada dua fase,

Pertama

, antara tahun 1966-1985, pada masa ini

Orde Baru dalam hubungannya dengan Islam dipenuhi dengan suasana kecemasan

sekaligus harapan, dan mendukung Islam jalur kultur dan memotong jalur struktur.

Pada periode ini, ada gerakan Islam yang dipelopori oleh Imron, yang dikenal dengan

peristiwa Tanjung Priok yang menggelorakan jihad, dan gerakan Warman di

Lampung yang menggelorakan gerakan anti komunisme

Kedua,

antara tahun

1985-1997, pada periode ini kebijakan Orde Baru lebih melunak terhadap Islam dan

cenderung mengorganisir dan mengakomodasi kepentingan Islam. Seperti restu

Presiden Soeharto atas berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Di

era Orde Baru, isu tentang syariat Islam merupakan sesautu yang tabu, dan kelihatan

melemah.

24

24

Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Badan Litbang

(40)

Era Orde Baru berakhir tahun 1998, kemudian masuk pada era reformasi,

berpengaruh juga pada kehidupan keagamaan masyarakat Islam. Setidaknya ada dua

fenomena yang cukup menarik.

Pertama,

semakin menguatnya identitas dan gerakan

kelompok keagamaan di luar mainstream kelompok keagamaan dalam masyarakat

Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyah, Kelompok di luar dua organisasi itu

kemudian bermunculan, seperti FPI, Forum Komunikasi Aswaja, Majelis Mujahidin

Indonesia, HTI, dan HAMMAS.

Kedua

, Selain itu juga bermunculan parpol

keagamaan. Pada masa Orde Baru parpol keagamaan hanya satu yaitu PPP, tapi di era

reformasi ini bermunculan parpol berbasis keagamaan, seperti PBB, PKB, PAN, dan

PKS. Pada tahun 2000, upaya membuat payung syariat lewat konstitusi mengemuka

lagi dalam sidang amandemen UUD 1945, yaitu Fraksi PBB dan Fraksi PPP. Usulan

dua fraksi itu terfokus pada amandemen pasal 29 UUD 1945 ayat (1), yang intinya

kedua fraksi itu menginginkan ada tambahan kata, se

hingga menjadi,”Negara

berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat

Islam bagi pemeluk-

pemeluknya”. Usulan amandemen itu kemudian gagal, tapi

gerakan syariat Islam lewat perda-perda menguat di daerah-daerah.

Dipertengahan terakhir Orde Baru berkuasa, beberapa ketentuan syariat Islam

sudah bisa diakomodir oleh negara. Bukti-bukti akomodasi itu dapat digolongkan ke

(41)

(3) akomodasi infrastruktural; dan (4) akomodasi kultural. Bentuk akomodasi yang

pertama dapat kita saksikan misalnya:

25

a)

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawian

b)

Disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1989

(yang mewajibkan setiap anak didik mendapat pelajaran agama sesuai

agama yang dianutnya

c)

Diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989

d)

Kompilasi Hukum Islam tahun 1991

e)

Diubahnya kebijakan tentang jilbab tahun 1991

f)

Dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan

Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (Bazis) tahun 1991

g)

UU No. 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan (yang memberi

keabsahan berdirinya perbankan syariah), menyusul berdirinya Bank

Muamalat Indonesia (BMI) dan berdiri pula satu lembaga bernama

“Badan Arbitrase Muamalat Indonesia” (BAMUI) yang mempunyai

wewenang mengadili perselisihan dikalangan umat Islam dalam seluruh

aspek keperdataan.

h)

Dihapuskannya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB tahun

1993, dan terkahir dimasa reformasi dikeluarkan Undang-Undang

Pelaksanaan Haji dan Undang-Undang Zakat.

25

Khamami Zada, Wacana Syariat Islam; Menangkap Potret Gerakan Islam di Indonesia,

Jurnal Tashwirul Afkar Edisi 12 Tahun 2002, hal. 27. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara;

(42)

B.

Taqnin Al-Ahkam

1.

Pengertian

Taqnin al-Ahkam

Secara etimologis, kata

taqnin

(

نينقت

) merupakan bentuk masdar dari

qannana

(

نَنق

), yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari

Bahasa Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia.

Seakar dengan

taqnin

adalah kata

qanun

(

نْوناق

) yang berarti ukuran segala sesuatu,

dan juga berarti jalan atau cara

(thariqah)

.

Secara terminologis,

taqnin al-ahkam

berarti mengumpulkan hukum-hukum

dan kaidah-kaidah penetapan hukum

(tasyri‟)

yang berkaitan dengan masalah

hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan

kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat

yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai

undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak

hukum menerapkannya di tengah masyarakat.

26

2.

Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam

Taqnin al-ahkam

juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya,

taqnin

bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para

ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad

pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik

antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut

26

Rashid, Taqnin Al-Ahkam Dalam Pandangan Ulama, diakses pada tgl 30 Desember 2010

(43)

merupakan salah satu bentuk

taqnin

yang pernah dilakukan oleh pemerintahan

Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya

taqnin

tersebut

,

Rasulullah juga

masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap

akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam

sejarah hukum Islam.

Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya

untuk melakukan

taqnin al-ahkam.

Salah satunya adalah

al-Fatawa al-Hindiyah

yang

disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang

berkaitan tentang ibadah, sanksi

(uqubah),

dan

mu‟amalah.

Selain

Fatawa

al-Hindiyah,

ada juga

al-Ahkam al-Adliyyah

yang mengandung sejumlah hukum tentang

jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh

Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada

mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab

hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi

mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada

perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan

pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.

Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah

al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi

hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas

pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya

(44)

Majallah al-Ahkam al-Adliyyah.

Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak

kompilasi tersebut.

3.

Dasar Pemikiran

Taqnin

di Kalangan Ulama Klasik

Meskipun istilah

taqnin

di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal

tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim

untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan

suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi

mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi

dua kelompok,

pertama

melarang dan

kedua

membolehkan.

Menurut

kelompok pertama

, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim

untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara.

Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki,

Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al

-Hasan yang notabene

keduanya adalah murid Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal

pandangan itu sudah tidak diperselisihkan lagi. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat

demikian dan menyepakati pandangan tersebut.

Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada

beberapa dalil, seperti ayat:

Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan

kebenaran (QS. Shad: 26).

Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu.

Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.

Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk

(45)

kepada mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang

senang jika para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka

bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan

pendapat itu maka orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun jika mereka berbeda

pendapat, maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang yang lain

mengambil pendapat yang lain pula. Dengan demikian, terdapat keleluasaan untuk

memilih.”

Sedangkan menurut kubu kedua, penguasa boleh mewajibkan kepada para

hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu

mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak

disetujui oleh kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah

beralasan, wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan

kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim,

maka jabatan itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini

karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa

melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada,

maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan

kitab undang yang telah disahkan penguasa.

Dari uraian di atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat

pertama yang diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah

maka ia mungkin bisa dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui

(46)

dan rasul-Nya, maka ia wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu.

Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud

dengan

adil (al-adl),

dalam ayat Alquran:

Dan jika kalian memutuskan suatu perkara

di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan

adil

(QS: an-Nisa: 58).

C.

Otonomi Daerah

1.

Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi atau

Autonomy

berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu:

autos

yang berarti “sendiri atau

self

” dan “

nomous

” yang berarti

“hukum atau

peraturan” yang berarti: memberi aturan sendiri, pemeri

ntahan sendiri; atau hak untuk

memerintah sendiri.

27

Secara etimologi, otonomi adalah kemampuan untuk membuat

keputusan sendiri tentang apa yang hendak dilakukan terlepas dari pengaruh orang

lain, atau mengungkapkan apa yang ingin diperbuat.

28

Secara terminologi, otonomi berarti perasaan bebas.

29

Sering pula digunakan

untuk menyebut hak untuk menentukan sendiri dalam kebebasan moral dan

pemikiran religius; atau hak memerintah sendiri (

self government

) bagian dari suatu

kota, negara atau bangsa.

30

27

Liat William L. Reece, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western

Though, Exponded Edition, New York: Humanity Books, 1996), h. 54, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I (Jakarta: Balai Pustakan, 1998), h. 58

28

Baca Jhon Sinclair (Ed), Collins COBUIL English Language Dictionary, Cet. 6, (London:

Collins, 1990), h. 85 29

Baca Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Cet. 2, Terj. Redaksi, (Jakarta: LP3ES,

1985), h. 16. 30

(47)

Dalam Kamus I

lmiah Populer kata “Otonom

Gambar

GAMBARAN UMUM KOTA SOLOK
Gambaran Umum Kota Solok
Gambar. 1
GAMBARAN UMUM KOTA SOLOK
+5

Referensi

Dokumen terkait

Persyaratan untuk diterima melalui jalur Selnas Bakat Minat berbasis portofolio, jalur Selnas PMB PTKKN berbasis ujian tulis, maupun jalur seleksi nasional berdasarkan

Pengamatan dilakukan oleh peneliti selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini dilakukan dengan cara mengobservasi siswa secara langsung, wawancara dan

lihatkan gejala-gejala, seperti guru-guru saling ber- lomba mencari dan mengumpulkan angka kredit seolah pelaksanaan tugasnya adalah untuk mencari dan mengum pulkan angka kredit,

 Psikologi lingkungan : adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya.  Tingkah laku : adalah perbuatan-perbuatan manusia,

Adat merupakan pedoman untuk kita di dalam kehidupan masyarakat juga sebagai pengontrol setiap perbuatan atau tingkah laku manusia yang terikat dari kesatuan

Dengan diberikannya pembinaan keterampilan bagi anak didik pemasyarakatan diharapkan mereka dapat menjadi manusia mandiri sehingga setelah mereka kembali ke

Penyakit Masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan masyarakat dan merugikan

Untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan sebuah sistem pendukung keputusan untuk pemberian kredit dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang