Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHi)
Oleh:
Esa Mariyani
106045201528
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JIINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 Maret 2011
i
Rasa puji dan syukur kupanjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
yang tak terhingga kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul: “
Perda Keagamaan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota
Solok-Sumatera Barat. Sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta
para sahabat, keluarga dan pengikutnya sampai hari ini. Semoga di akhirat nanti kita
men
dapatkan syafa’at dari beliau Rasulullah SAW.
Alhamdulillah skripsi ini dapat penulis selesaikan meskipun penulis sadari
masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga saran dan kritik yang
berguna dari pembaca akan sangat penulis hargai. Akhir kata penulis berharap
semoga laporan ini dapat bermanfaat.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapat banyak bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, membantu dan memotivasi
penulis, antara lain:
1.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM sebagai dekan Fakultas
ii
banyak membantu penulis selama masih dalam masa kuliah.
3.
Bapak Dr. Rumadi M.Ag selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikiranya disela-sela kesibukannya untuk memberikan
bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4.
Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali
penulis dengan Ilmu yang berharga yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan terimaksih penulis semoga
mendapat balasan yang setimpal dari-Nya.
5.
Kepada seluruh staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu penulis untuk mendapatkan buku-buku yang berkaitan dengan
skripsi ini.
6.
Bapak Jhon Hendra, A.Md (Wakil Ketua DPRD Kota Solok) dan Ibu Asfiyeni
(Kabag Hukum dan Persidangan) serta pegawai di Kantor DPRD yang telah
memberikan kemudahan dan kelancaran dalam memberikan data untuk
penyelesaian skripsi ini.
7.
Orang tuaku tercinta, Jalal (ayah) dan Ratna Wilis (ibu), Esa memohon maaf
untuk segala macam perilaku yang tidak berkenan dihati dan terimakasih yang
iii
restunya yang tiada hentinya.
8.
Untuk adikku, Ilham Affandi, Umar Dani Saputra, Rafli Setiawan, dan Julia
Anggraini, tetap semangat ya dek dalam menuntut ilmu, jangan kecewakan
ayah dan ibu. Dan untuk keluarga besar ku di Sarolangun, I Love u All...
9.
My beloved boyfriend
Bustomi Marza yang telah membuat hari-hari ku begitu
terasa indah. Terimakasih atas supportnya yang tiada henti agar terus
semangat menyelesaikan skripsi ini.
10.
Keluarga di Solok makasih udah mau menampung dan direpotin sama Esa
selama Esa penelitian di Solok
11.
Teman-teman SS angkatan 2006, Ila, Rifqo, Uti, Yuda (makasih buat support
dan kebersamaannya di detik2 terakhir pendaftaran skripsi ^.^) Echa, Apri,
Jawir, Lutfi, Lina, Achi, Ziah, Atiqoh, Pardi, Iim, Bowo, Alif, dan teman2
lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih ya temen2 buat
kebersamaannya selama menuntut ilmu dikampus tercinta ini, semoga kita
menjadi orang sukses dimasa depan amiiin...
12.
Sahabat2 ku Rina Bereng, Eka, Nina, Nini, Nunuy, Alfi, Popon, Pity, makasih
buat semangat dan doanya yang kalian berikan buat esa untuk cepat2
iv
penulis ucapkan terimakasih tang sebesar-besarnya.
Jakarta, 15 Maret 2011
v
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ... 1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D.
Review Studi Terdahulu ... 8
E.
Metodologi Penelitian ... 11
F.
Sistematika Penulisan ... 14
BAB II
SYARIAT ISLAM,
TAQNIN AL-AHKAM
DAN OTONOMI
DAERAH
A.
Syariat Islam ... 16
1.
Pengertian Syariat Islam ... 16
2.
Sumber-Sumber Syariat Islam ... 19
3.
Sejarah Perjuangan Syariat Islam di Indonesia ... 26
B.
Taqnin Al-Ahkam
... 31
1.
Pengertian
Taqnin Al-Ahkam
... 31
vi
1.
Pengertian Otonomi Daerah ... 35
2.
Sejarah Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia ... 37
3.
Otonomi Daerah dan Perda Keagamaan ... 41
BAB III
GAMBARAN UMUM KOTA SOLOK
A.
Gambaran Umum Kota Solok ... 48
1.
Sejarah Kota Solok ... 48
2.
Arti Lambang Kota Solok ... 51
3.
Geografis dan Topografi Kota Solok ... 52
4.
Sosial dan Ekonomi Kota Solok ... 54
5.
Sosial Keagamaan Kota Solok ... 57
6.
Politik dan Pemerintahan Kota Solok ... 59
BAB IV
WEWENANG
PEMERINTAH
KOTA
SOLOK
DALAM
PENERAPAN PERDA KEAGAMAAN
A.
Perda-Perda Keagamaan di Kota Solok ... 65
1.
Perda Kota Solok No. 13 Tahun 2003 tentang Pengelolaan
Zakat ... 65
[image:10.612.117.542.56.544.2]vii
C.
Dampak Perda Keagamaan di Kota Solok ... 80
D.
Analisis Terhadap Perda Keagamaan di Kota Solok ... 81
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan ... 85
B.
Saran-saran ... 86
1
A.
Latar Belakang Masalah
Keberadaan otonomi daerah di Negara Republik Indonesia telah menjadi
konsensus nasional. Pemikiran perlunya keberadaan otonomi daerah di Indonesia
telah dilontarkan oleh para pembentuk amandemen UUD 1945 tanpa ada kontra
argumentasi. Pengadaan otonomi daerah bukan hanya sekedar untuk menjamin
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan saja, atau menampung
kenyataan wilayah Negara Indonesia yang luas, penduduknya banyak, dan
berpulau-pulau yang terpisah-pisah, namun otonomi daerah merupakan dasar memperluas
pelaksanaan demokrasi dan instrumen dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
Amandemen UUD 1945 telah memberikan sejumlah paradigma baru dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah pasca
Amandemen UUD 1945 telah mengalami perubahan yang signifikan dibanding
sebelumnya, karena yang semula ketentuan pasal 18 terdiri dari 1 pasal saja, pasca
Amandemen UUD 1945 bertambah menjadi 3 pasal. Pasal 18 terdiri dari 7 ayat, pasal
18A terdiri dari 2 ayat, dan pasal 18B juga terdiri atas 2 ayat. Berdasarkan perubahan
tersebut, maka gagasan Otonomi Daerah tetap dipertahankan di dalam UUD 1945
tidak bisa dielakkan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki payung
hukum yang kuat karena merupakan amanah konstitusi.
Sejak disahkan Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai pelaksanaan dari otonomi daerah, Pemerintah Daerah
memiliki kewenangan yang luas dalam pengelolaan di daerahnya. Dengan adanya
kewenangan yang luas inilah, maka implementasi Peraturan Daerah (Perda) Syariat
marak terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Perda inilah yang kemudian dikenal
dengan Perda Syariat Islam.
1Secara umum, Perda syariat Islam sering dimaknai
sebagai Perda yang dicurigai diambil dari ketentuan-ketentuan legal syariat Islam,
baik yang bersifat tekstual maupun substansi ajarannya.
2Sampai saat ini, ada 92 perda yang terdaftar di Dirjen Peraturan
Perundang-undangan. Perda Syariat terbanyak terdapat di Sumatera Barat yaitu ada 22 Perda.
Lainnya adalah 13 Perda di Sulawesi Selatan, 12 Perda di Jawa Barat, 10 Qanun
Aceh, 9 Perda di Kalimantan Selatan, 7 Perda di Banten, 5 Perda di NTB, 4 Perda di
Jawa Timur, 2 Perda di Gorontalo, 1 Perda di Bengkulu, 3 Perda di Sumatera Selatan,
1 Perda di Lampung, 1 Perda di Bangka Belitung, 1 Perda di Kepulauan Riau, dan 1
Perda di NTT.
3Bukan hanya dalam bentuk Perda tetapi juga dalam bentuk Rencana
Strategis (Renstra), Surat Keputusan, Instruksi atau Edaran Bupati dan lainnya yang
1
Ramli Abdul Wahid, Urgensi Peraturan Daerah Syariah, dalam Waspada Online, Jumat, 02
November 2007 21:31 WIB. 2
Rumadi, Perda Syariat Islam: Jalan Lain Menuju Negara Islam?, Tashwirul Afkar, Jurnal
Refleksi Pemikiran keagamaan dan Kebudayaan; Perda Syariat Islam Menuai Makna, Edisi No. 20
Tahun 2006, hal. 3 3
isinya mengatur penerapan Syariat Islam dengan bentuk yang beragam, dari yang
m
engatur persoalan Sholat Jum’at khusyuk, k
eharusan bisa baca tulis al-Quran,
berbusana muslim, pemberdayaan Zakat, Infak, dan Sedekah, pencegahan dan
pemberantasan maksiat, penertiban minuman keras dan pelacuran, hingga penerapan
sebagian hukum pidana Islam (kendati yang disebut terakhir hanya terjadi di Aceh),
seperti hukum cambuk bagi penjudi dan pelaku
khalwat
(laki-laki dan wanita dewasa
berdua-duaan di tempat sepi).
Seringkali proses pembuatan Perda bernuansa agama itu tidak memenuhi
standar baku ketentuan pembuatan undang-undang sebagaimana diatur UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal paling
mencolok adalah sepinya konsultasi publik dalam pengertian sesungguhnya.
Kalaupun ada konsultasi publik, hanya sekedar klaim-klaiman segelintir orang yang
punya kepentingan pragmatis.
Dengan berpijak pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang dalam salah satu pasalnya menyatakan bahwa Pemerintah
Daerah bisa membuat peraturan daerah atau lokal, maka daerah-daerah berlomba
untuk merumuskan Perda-Perda sesuai dengan keunikan daerah masing-masing,
termasuk keunikan keberagamaannya. Perumusan Perda-Perda bernuansa agama itu
pun didasarkan pada argumentasi UUD 1945 pasal 29 yang membenarkan penganut
agama untuk melaksanakan ajaran agamanya. Kenyataan ini tentu saja melahirkan
problem. Karena di satu sisi UU kita membenarkan daerah untuk memproduksi Perda
dilupakan, sebagaimana tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, disebutkan ada enam urusan yang menjadi urusan
pemerintahan pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal serta agama. Artinya, pemerintah daerah tidak memiliki
kewenangan mengatur peraturan tentang agama, karena pengaturan agama hanya
menjadi wewenang pemerintah pusat.
4Implementasi beberapa Perda Syariat banyak menimbulkan kontroversi,
bukan saja dari kalangan non-muslim yang menganggapnya sebagai perda
diskriminatif, namun dari kalangan muslim pun serta para ahli hukum tatanegara
tidak jarang yang menolak pemberlakuan Perda Syariat, karena Perda Syariat
dianggap tidak sesuai dengan hukum ketatanegaraan Indonesia.
Menyikapi pemberlakuan Perda Syariat Islam di berbagai daerah muncul
pendapat yang setuju dan tidak setuju. Kalangan yang setuju, terutama dari kelompok
Islam politik (elite politik), menganggap adanya perda tersebut bisa menjadi media
sosial untuk memberantas berbagai masalah di masyarakat seperti kemaksiatan,
perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil. Mereka memiliki
argumentasi bahwa keberadaan Perda Syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral
bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus
bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Jakarta membutuhkan
perjuangan yang lama.
4Diskusi Abdul Mun’
im, Rumadi, dkk, tentang Perda Syariat dalam Bingkai Negara Bangsa,
Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakuan Perda Syariat Islam
beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan pancasila dan substansi
perundang-undangan diatasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan
bangsa (disintegrasi bangsa), karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk
mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka
anut.
Keberadaan Perda-Perda berdimensi agama di Sumatra Barat, selalu dikaitkan
faktor sosial budaya masyarakat Minang yang identik dengan Islam yang tercermin
dalam filosofi adat Minangkabau yakni ABS-SBK (
adat basandi syarak-syarak
basandi Kitabullah
).
5Sejak era Otonomi Daerah kabupaten dan kota di Sumatra
Barat berlomba-lomba untuk melahirkan Perda-Perda tersebut. Rata-rata tiap kota
atau kabupaten mempunyai 2 sampai 4 buah Perda yang berdimensi agama (Islam).
Lahirnya berbagai Perda bernuansa Syariat di Provinsi Sumatera Barat diawali
dengan keluarnya Perda Provinsi Sumatera Barat No. 11 Tahun 2001 tentang
Pencegahan Maksiat. Kota Solok merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera
Barat yang memiliki 2 Perda bernuansa syariah, yaitu Perda No. 13 Tahun 2003
tentang Pengelolaan Zakat, dan Perda No.6 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Maksiat di Kota Solok. Mayoritas penduduk Kota Solok beragama
Islam. Jumlah penduduk beragama Islam di daerah ini mencapai 98 %, sedangkan
penganut agama Kristen sebesar 1,6 %, dan penganut agama Lain-lain hanya 0,4 %.
5
Postulat adat ini sangat tegas menggariskan bahwa yang menjadi sendi dasar adat istiadat
Menguatnya keinginan berbagai daerah untuk melakukan formalisasi hukum
Islam melalui berbagai produk perundang-undangan, menjadi salah satu isu pokok
yang penting untuk dibahas. Keinginan tersebut tidak saja dapat dilihat sebagai akses
dari otonomi daerah semata, tetapi juga cerminan keagamaan masyarakat dalam
menyikapi perkembangan yang terjadi, seperti prilaku generasi muda dalam
berpakaian dan maraknya kemaksiatan serta rasa frustasi masyarakat berhadapan
dengan sistem pemerintahan
yang „korup’. Dalam hal ini kebijakan
-kebijakan yang
berkaitan dengan hukum Islam dianggap sebagai salah satu
problem solving
.
Dengan melihat latar belakang yang di paparkan di atas, maka penulis
terdorong untuk melakukan penelitian dan pembahasan, sehingga penulis
menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“Perda Keagamaan Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Solok-
Sumatera Barat.”
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat sangat luasnya masalah yang akan dijadikan sasaran penelitian dan
tidak mungkin dapat dipecahkan dalam satu penelitian pada penelitian kali ini, maka
perlu dibuat batasan masalah, yakni masalah yang menuntut adanya pemecahan
dengan segera dan berada dalam jangkauan kemampuan peneliti dari sudut
pengetahuan, waktu dan biaya serta fasilitas-fasilitas lainnya. Maka pembahasan ini
terfokus pada pembentukan Perda bernuansa keagamaan yang ada di Kota Solok, dan
2. Perumusan Masalah
Melihat judul skripsi tersebut maka penulis perlu membuat rumusan masalah
yang dianggap penting yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini. Di antara
rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:
1.
Mengapa Pemerintah Kota Solok membuat atau menerapkan sejumlah
Perda-Perda keagamaan?
2.
Bagaimana strategi dan kebijakan Pemerintah Kota Solok dalam
mengimplementasikan Perda keagamaan di Kota Solok?
3.
Bagaimana dampak dari Perda keagamaan terhadap masyarakat Kota
Solok?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis,
diantaranya:
a.
Untuk mengetahui mengapa Pemerintah Kota Solok membuat sejumlah
Perda-Perda bernuansa keagamaan.
b.
Untuk mengetahui strategi dan kebijakan Pemerintah Kota Solok dalam
mengimplementasikan Perda-Perda bernuansa keagamaan yang ada di
Kota Solok.
c.
Untuk mengetahui dampak dari Perda keagamaan terhadap masyarakat
2. Manfaat Penelitian
Adapun dari segi manfaat yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a.
Teoritis: Penelitian ini berguna untuk memberikan informasi dan
kontribusi bagi kalangan intelektual, akademisi dan masyarakat umum
yang ingin tahu lebih lanjut tentang Perda Keagamaan di Kota Solok.
b.
Kebijakan: Tulisan ini juga bertujuan untuk menambah khasanah
keilmuan bagi mahasiswa/mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Sy
ari’ah dan Hukum.
D.
Review Studi Terdahulu
Penelitian tentang tema Peraturan Daerah bernuansa agama, sudah dilakukan
banyak kalangan, baik dari perguruan tinggi maupun sejumlah lembaga swadaya
masyarakat. Penelitian-penelitian itu mengambil fokus tertentu sesuai dengan concern
dan kepentingannya. Ada yang memberi perhatian pada isu perempuan, isu hukum,
menguatnya ideologi salafisme, dan sebagainya. Fokus daerah yang diteliti juga
berpencar-pencar, sesuai dengan kebutuhan penelitian. Berikut ini merupakan
paparan atas sebagian karya-karya penelitian tersebut:
Pertama buku yang disunting oleh Muntoha berjudul: “
Otonomi Daerah dan
Perkembangan Peraturan Daerah Bernuansa Syariah
”. Buku ini membahas tentang
perkembangan peraturan-peraturan daerah bernuansa syariah pada era otonomi
Daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan
UU baru tentang Pemerintahan Daerah, merupakan respon pemerintah terhadap
tuntutan demokratisasi pada era reformasi, dengan memberikan kebijakan
desentralisasi yang lebih luas kepada daerah. Implikasi dari kebijakan desentralisasi
itu telah berdampak pada beberapa daerah di Indonesia yang berbasis Islam kuat,
mulai
menuntut
diberlakukannya
syariat
Islam
secara
formal
untuk
diimplementasikan di masing-masing daerah itu. Lahirlah kemudian beberapa Perda
yang mengatur beberapa aspek dari ajaran Islam sehingga perda-perda tersebut lazim
dipersepsikan sebag
ai “Perda
-perda Bernuansa Syari
ah”.
Buku kedua berjudul
Syariah Islam dan HAM; Dampak Perda Syariah
Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim
(Jakarta:2007).
Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Centre for Study of
Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Daerah yang menjadi
tempat penelitian dalam buku ini yaitu Kabupaten Bireun, Nanggroe Aceh Darusslam
(NAD); Kabupaten Bulukumba; Kabupaten Tasikmlaya; Kabupaten Bima;
Kabupaten Indramayu; dan Kabupaten Tangerang. Nilai lebih dari riset ini adalah
penggunaan dua metodologi sekaligus, kuantitatif dan kualitatif. Namun demikian,
data kualitatif yang disajikan dalam riset ini lebih cenderung sebagai pendukung
temuan-temuan data kuantitatif. Akibatnya, riset ini hanya memberi gambaran umum
tentang perda syariat dan belum melihat dampak yang sosial yang lebih riil dari
perda-perda itu. Kalau toh riset ini melihat dampak, maka dampak itu juga diukur
persepsi masyarakat, namun ia belum bisa memberi informasi lebih detail mengenai
dampak sosial politiknya.
Ada beberapa kesimpulan penting dari riset ini: 1) Dukungan masyarakat
terhadap perda sangat kuat; 2) Manfaat yang paling meyakinkan dari perda-perda
yang diriset adalah meningkatnya keamanan dan ketertiban sosial; 3) perda-perda itu
dirumuskan melalui prosedur yang kurang demokratis. Hal ini dibuktikan dengan
rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan perda. Perda cenderung
dibuat secara tertutup, tanpa proses dialog partisipatif dengan melibatkan sebanyak
mungkin elemen masyarakat; 4) Perda syariah lebih sebagai agenda elit yang tidak
mempunyai korelasi dengan kebutuhan masyarakat.
Penelitian yang sama juga dilakukan Syamsurijal Ad’han dan Zubair Umam
di Bulukumba, “Perdaisasi Syariat Islam di Bulukumba”
(Jurnal Taswirul Afkar,
edisi 20/2006).
Kesimpulan penting dari riset ini nyaris sama dengan riset
sebelumnya, bahwa perdaisasi syariat Islam menjadi alat untuk menggapai
kepentingan politik. Perda-perda itu juga dinilai tidak toleran terhadap tradisi lokal
yang telah dipraktikkan masyarakat secara turun temurun.
Berbeda dengan dua buku dan penelitian diatas, pada penelitian ini penulis
lebih fokus pada perda-perda keagamaan yang ada di Kota Solok, karna nyaris belum
ada penelitian yang melihat perkembangan Perda keagamaan di Kota Solok. Dan
penulis juga membahas wewenang pemerintah Kota Solok dalam penerapan Perda
E.
Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode yang bersifat
deskriptif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran
terhadap keadaan seseorang, lembaga atau masyarakat sekarang ini, berdasarkan
faktor-faktor, latar belakang pendidikan yang nampak dalam situasi yang diselidiki.
Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah dan keadaan
sebagaimana keadaan, sehingga hanya merupakan penyingkapan fakta.
62. Sumber Data
Sumber data yang digunakan adalah studi lapangan (
field research
), yaitu
suatu cara pendekatan dengan jalan terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan
data yang dibutuhkan. Untuk menambah data yang dibutuhkan, penulis mencoba
untuk menggunakan tiga sumber data, yaitu:
a.
Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama dan otentik, yaitu al-Quran dan Hadits, UUD 1945,
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
b.
Data Sekunder
6
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Data sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk
buku, jurnal, artikel maupun melalui media internet.
c.
Data tersier
Data tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap data-data primer dan sekunder, yaitu berupa
kamus-kamus ilmiah dan buku pedoman penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009.
73. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
a.
Studi Kepustakaan (
Library Research
) yaitu melakukan pengumpulan
data-data yang dibutuhkan dari buku-buku, tulisan-tulisan dari berbagai
referensi, dan mengumpulkan, meneliti, menelaah serta mengkaji data dan
informasi dari berbagai media yang relevan dan obyektif.
b.
Studi Lapangan (
Field Research
) yaitu berupa wawancara secara
langsung antara penulis dengan pihak-pihak yang ada kaitannya dengan
judul skripsi ini yaitu Pemerintah Daerah Kota Solok. Digunakan untuk
memperoleh informasi yang lebih jelas dan akurat berkaitan dengan hal
yang diteliti.
4. Teknik Analisis Data
7
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun Singkat, (Jakarta: PT. Raja
Teknik analisis data dalam penulisan skripsi ini adalah analisis kualitatif atau
bisa juga disebut dengan analisa isi (
contens analysis
).
Contens analysis
yaitu
menguraikan data melalui kategorisasi-kategorisasi, perbandingan serta pencarian
sebab akibat dengan menggunakan teknik analisis induktif (usaha penemuan jawaban
dengan menganalisa berbagai data untuk diambil sebuah kesimpulan).
Adapaun dalam menganalisa data-data tersebut penulis menggunakan metode
deskriptif analisis yaitu suatu teknik analisa data dimana penulis mengolah dan
menganalisa data-data yang diperoleh.
Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan sacara
berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi
di lapangan dengan langkah abstrkaksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan,
dengan mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat
memungkinkan dianggap mendasar dan universal.
85. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi,
tesis, disertasi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
diterbitkan oleh UIN Jakarta Press 2008, dengan pengecualian kutipan tercemahan al
Quran dan hadits di tulis satu spasi.
8
Burhan Bagin, Metode Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodolodis ke Arah Ragam
F.
Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai
berikut:
BAB I
Pendahuluan
Pada bab ini penulis akan membahas Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penelitian.
BAB II
Syariah Islam,
Taqnin Al-Ahkam
dan Otonomi Daerah
Pada Bab II ini penulis akan membahas Pengertian Syariat Islam,
Sumber-Sumber Syariat Islam, Sejarah Perjuangan Syariat Islam di
Indonesia, Pengertian
Taqnin Al-Ahkam
, Sejarah Awal
Taqnin
Al-Ahkam
, Dasar Pemikiran
Taqnin
di Kalangan Ulama Klasik,
Pengertian Otonomi Daerah dan Sejarah Penerapan Otonomi Daerah di
Indonesia, Otonomi Daerah dan Perda Keagamaan.
BAB III
Gambaran Umum Kota Solok
Pada bab III ini penulis akan membahas Sejarah Kota Solok, Arti
Lambang Kota Solok, Geografis dan Topografi Kota Solok, Sosial dan
Ekonomi Kota Solok, Sosial Keagamaan Kota Solok dan Politik dan
[image:25.612.111.537.196.422.2]BAB IV
Wewenang Pemerintah Kota Solok Dalam Penerapan Perda
Keagamaan
Pada bab IV ini penulis akan membahas, Perda-Perda Keagamaan di
Kota Solok, Strategi dan Kebijakan Pemerintah Kota Solok dalam
Mengimplementasikan Perda Keagamaan, Dampak Perda Keagaaman
di Kota Solok dan Analisis Terhadap Perda Keagamaan di Kota Solok.
BAB V
Penutup
Pada bab kelima ini penulis akan menguraikan kesimpulan dari bab
sebelumnya serta memberikan saran mengenai Perda Keagaaman
16
A.
Syariah Islam
1.
Pengertian Syariah Islam
Secara etimologis (bahasa)
, syariah berarti “jalan ke tempat pengairan” atau
“jalan yang harus diikuti” atau tempat lalu air di sungai”.
1Secara terminologis
(istilah), syariah menurut Syaikh Mahmud Syaltut, mengandung arti hukum-hukum
dan tata aturan yang Allah syariatkan bagi hambanya untuk diikuti. Menurut Faruq
Nabhan secara istilah syariah berarti “segala sesuatu yang disyariatkan Allah kepada
hamba-
hambanya. Sedangkan menurut Manna’ al
-
Qathan, syariah berarti “segala
ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya, baik menyangkut akidah,
ibadah, akhlak maupun muamalah.
2Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Quran seperti pada surat
al-Maidah (5): 48; al-Syura (42): 13; dan al-Jatsiyah (45): 18, yang mengandung arti
“jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama yang
ditetapkan Allah untuk manusia disebut syariah, dalam artian bahasa, karena umat
Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya di dunia. Kesamaan syariah Islam
dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syariah ia akan
1
Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.
I, h. 1 2
Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A, Filsafat Hukum Islam; Bagian Pertama, (Jakarta: Logos
mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan
tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab
kehidupan jiwa insani.
3Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang
disinggung Allah dalam surat al-Syura (42): 13, namun kemudian dikhususkan
penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama
pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan syariah berlaku
untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan
demikian kata syariah lebih khusus dari agama.
4Pembahasan tentang syariah sesungguhnya berbicara tentang nilai, norma,
hukum, aturan atau yang lebih tepat disebut ajaran atau doktrin Islam yang bersumber
dari al-Quran dan Hadits Nabi, sejarah Muhammad SAW, dan sejarah Islam secara
keseluruhan. Karena ajaran atau doktrin yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini
masih membutuhkan penjabaran yang lebih luas, maka oleh para mufasir dilakukan
penafsiran terhadap teks kitab suci untuk menangkap makna yang terkandung di
dalamnya agar dapat dimengerti dan dipahami oleh umat Islam.
Segala sesuatu yang dihasilkan dari proses penafsiran yang mencakup seluruh
ruang lingkup hukum atau aturan yang tertulis dalam al-Quran dan Hadits ataupun
produk hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan penafsiran
3
Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid I..., h. 1
4
terhadap doktrin dan sejarah Islam yang telah ditetapkan dengan
„ijma
(konsensus
ulama) dan
qiyas
inilah yang kemudian disebut dengan syariah.
Menurut Yusuf Qardhawi, Syariat Islam itu terdiri atas:
51.
Hukum-hukum yang telah ditetapkan langsung oleh nash al-Quran dan
Sunnah secara jelas. Porsi bagian ini lebih sedikit, tetapi urgensinya
sangat besar. Ia merupakan dasar yang kokoh untuk bangunan syariat
seluruhnya.
2.
Hukum yang telah ditetapkan melalui jalan ijtihad oleh para ulama ahli
fikih (fuqaha) dengan merujuk pada ketentuan al-Quran, Sunnah, atau
merujuk pada hukum-hukum yang tidak ada nashnya, misalnya
melalui qiyas, istihsan, istishab, maslahatul murslah dan lain-lain.
Porsi pembagian yang kedua inilah yang paling banyak pembahasan
hukum Islamnya. Ia merupakan kawasan kajian ilmu fikih dan bidang
garapan para fuqaha.
Apabila berbicara tentang syariah, maka tidak bisa dipisahkan dari fiqh, hal
ini dikarenakan hubungan antara keduanya sangat erat. Fiqh adalah pemahaman
tentang syariah, syariah merupakan landasan fiqh. Adapun fiqh dalam bahasa Arab
adalah
Fiqh
yang artinya faham atau pengertian. Adapun secara istilah disebut
ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam.
65
Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), Cet, I, hal. 18
6
M. Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
2.
Sumber-Sumber Syariah Islam
Hukum-hukum
amaliyah
yang
diambil
dari
dalil-
dalil syar’iyyah
berlandaskan pada 4 dasar pokok, (1) al-Quran, (2) as-Sunnah, (3) al-
Ijma’, dan (4)
al-Qiyas. Oleh sebagian ulama keempat landasan tersebut disepakati sebagai dalil.
Sepakat pula bahwa sistem penggunaan dalil dari keempat dalil tersebut dengan
susunan:
pertama,
al-Quran;
kedua
, as-Sunnah;
ketiga,
al-
Ijma’
; dan yang
keempat,
al-Qiyas.
7Alasan mengenai penggunaan empat dalil tersebut adalah firman Allah:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. an-Nisa {4}: 59).
Berikut adalah pembahasan dalil yang empat tersebut.
a.
Al-Quran
Secara etimologis al-Quran adalah masdar (kata dasar) dari kata
qa-ra-a.
Ada
dua pengertian al-Quran dalam Bahasa Arab, yaitu Quran berarti
“
bacaan
”
dan “apa
yang tertulis padanya”.
8Al-quran adalah kalam Allah yang diturunkan melalui
perantaraan malaikat jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw. dengan menggunakan
7
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy,
(Bandung: Gema Risalah Pers, 1996), Cet. I, h. 36 8
bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah (penguat) dalam hal
pengakuannya sebagai Rasul, dan agara dijadikan sebagai undang-undang bagi
seluruh umat manusia, disamping merupakan amal ibadah jika membacanya.
Al-quran itu dikompilasikan dinatas dua ujung yang dimulai dari surat al-Fatihah dan
ditutup dengan surat an-Nas, yang sampai kepada kita secara tertib dalam bentuk
tulisan maupun lisan dalam keadaan utuh atau terpelihara dari perubahan dan
pergantiannya sekaligus dibenarkan oleh Allah di dalam firman-Nya:
9
Artinya:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
(QS. Al-Hijr {15}: 9).
Al-Syaukani menyebutkan pengertian al-Qur
an sebagai berikut: “Kalam Allah
yang diturunkan kepada Muhammad Rasulullah, tertulis dalam mushaf dan
dinukilkan secara mutawatir”. Sementara Fazlur Rahman sebagaimana yang dikutip
Khusnul Khatimah menyebutkan bahwa Al-Qur
an adalah “Dokumen keagamaan dan
etika yang bertujuan praktis, yakni untuk menciptakan masyarakat yang bermoral
baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia shaleh, religius, memiliki
kesepakatan dan keyakinan akan adanya satu tuhan yang memerintahkan kebaikan
dan melarang kejahatan.
109
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh..., h. 39
10
Firman Allah SWT. dalam Surat Al-Jatsiyah:
Artinya:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada diatas syari‟at (peraturan)
dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari‟at itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.”
(QS. 45: 18)
Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT. kepada rasul-Nya, supaya menjadi
hujjah
(dalil) baginya, dan menjadi undang-undang (
dustur
) bagi manusia. Secara
garis besar setidaknya hukum yang dikandung oleh al-Quran ada tiga macam, yaitu:
Pertama
, hukum-hukum akidah (keimanan), yang bersangkut paut dengan hal-hal
yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf, mengenai malaikat-Nya, kitab-Nya, para
rasul-Nya dan hari kiamat (doktrin Aqoid).
Kedua
, hukum yang bersangkut paut
dengan hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa suatu
keutamaan dan menghindarkan diri dari kehinaan (doktrin akhlak). Dan
Ketiga
,
hukum amaliyah yang bersangkut paut dengan hal tindakan setiap mukallaf yang
meliputi ucapan, perbuatan, akad (kontrak) dan pembelanjaan (pengelolaan harta
benda), atau dengan istilah doktrin syariah atau fikih.
11b.
Al-Hadits
Sunnah
secara etomilogi (bahasa) berarti “jalan yang bisa dilalui” atau “cara
yang senantiasa dilakukan”, apakah cara yang baik atau buruk.
Pengertian sunnah
11
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushul Fiqh), penj.
secara etimologis ini ditemukan dalam Sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Barang
siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima
pahalanya dan pahala orang-
orang sesudahnya yang mengamalkannya”.
(HR.
Muslim).
12Menuru
t istilah syara’, as
-
Sunnah ialah “sesuatu yang datang dari Rasulullah,
baik ucapan, perbuatan atau taqrir (persetujuan).
As-Sunnah al-Qauliyah
(sunnah
ucapan), ialah “hadits
-hadits Rasulullah saw. Yang berupa ucapan di dalam berbagai
tujuan dan permasalahan.
As-Sunnah al-
Fi‟liyah
(sunnah perbuatan), yaitu perbuatan
Rasulullah saw. misalnya perbuatan melakukan shalat lima kali lengkap dengan
kaigiyah-nya (cara melakukan) dan rukun-rukunnya; serta perbuatan Rasulullah saw.
menunaikan ibadah haji, perbuatan mengadili seseorang dengan seorang saksi dan
sumpah dari pihak tertuduh.
As-Sunnah at-Taqririyah
, ialah perbuatan beberapa
sahabat Nabi yang disetujui oleh Rasulullah saw. baik mengenai ucapan sahabat atau
perbuatannya. Taqrir disini, terjadang dengan cara membiarkan atau tidak ada
tanda-tanda menolak atau merespon atau menganggap baik terhadap perbuatan itu.
13Secara garis besar bahwa Sunnah (hadits) dalam pengertian sumber hukum
adalah sumber syariah Islam yang kedua setelah al-Quran. Dalam posisinya sebagai
sumber hukum kedua setelah al-Quran, Sunnah lebih banyak berfungsi sebagai
bayan
atau penjelas terhadap berbagai ketentuan yang ada dalam al-Quran, mempertegas
12
Harun Nasrun, Ushul Fiqh I...,h.38.
13
ketentuan Quran dan terkadang menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh
al-Quran.
14Telah sepakat umat Islam, bahwasanya apa yang keluar dari Rasululah saw.
baik itu ucapan atau perbuatan dan atau taqrir yang dimaksudkan dengan itu,
membentuk hukum syariah Islam atau tuntunan, dan disampaikan kepada kita dengan
sanad yang sahih yang mendatangkan kepastian atau dugaan yang kuat, maka
kebenarannya itu sekaligus merupakan hujjah atas umat Islam, sumber daripada
pembentukan hukum syariah Islam. Artinya bahwa hukum yang datang dalam
sunnah-sunnah ini adalah hukum yang datang di dalam al-Quran, sebagai
undang-undnag yang harus diikuti.
15c.
Ijma’
Secara etimologi, ijma
’ berarti “kesepakatan” atau konsensus.
16Menurut
istilah Ahli Ushul Fiqh,
Ijma’
ialah
“
kesepakatan para imam mujtahid diantara umat
Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhad
ap hukum syara’ tentang suatu
masalah atau kejadian.
17Berdasarkan fakta mengenai definisi ijma’, terdapat keterangan bahwa ijma’
kesepakatan semua mujtahid ummat Islam pada suatu masa atas syariat Islam. Dari
14
Husnul Khatimah, Penerapan Syari‟at Islam, Bercermin pada Sistem Aplikasi Syari‟ah
Zaman Nabi, h.56. 15
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam..., h. 48.
16
Harun Nasrun, Ushul Fiqh I...,h.51
17
sini dapat diambil kesimpulan bahwa sendi ijma
’ yang menjadi syarat terbentuknya
ijma’ menurut syara’ ada empat, yaitu:
181)
Adanya sebilangan para Mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa,
karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa
pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan yang lainnya.
2)
Adanya kesepakatan semua Mujtahid umat Islam atas suatu hukum syara’
mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang
negeri mereka, kebangsaannya atau kelompknya.
3)
Adanya kesepakatan mereka itu dengan menampilkan pendapat
masing-masing mereka secara jelas mengenai suatu kejadian, baik penampilan itu
berbentuk ucapan (
qauli
), misalnya dengan memberikan fatwa mengenai
suatu kejadian, atau bentuk perbuatan (
fi‟li
) misalnya suatu keputusan
mengenai suatu hal atau kejadian.
4)
Dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum.
Seandainya pada sebagian besar mereka telah terjadi kesepakatan, maka
tidaklah terjadi ijma’ atas dasar kesepakatan sebagian besar, ketika
jumlah penentang itu sedikit dan jumlah yang mufakat itu banyak, karena
selama masih terdapat pertentangan, berarti masih terdapat pula
kemungkinan benar bagi suatu pihak dan kemungkinan salah (keliru)
bagi pihak lainnnya. Jadi kesepakatan mayoritas itu tidak menjadi hujjah
syariyyah secara pasti dan apalagi dikukuhkan.
18
d.
Qiyas
Secara bahasa artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan,
atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
19Menurut ulama Ushul, al-Qiyas berarti
menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada
nash-nya pad nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanash-nya kesamaan diantara dua
kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.
20Setiap kias terdiri dari empat rukun: (1)
al-Ashl
ialah sesuatu yang hukmnya
terdapat dalam nash, biasa disebut sebagai
Maqis „Alaih
(yang dipakai sebgai
ukuran),
Mahmul „Alaih
(yang dipakai sebgai tanggungan), atau
Musyabbah Bih
(yang dipakai sebagai penyerupaan). (2)
al-
Far‟u
ialah sesuatu yang hukumnya tidak
terdapat di dalam nash, dan hukumnya disamakan kepada al-Ashl. (3)
Hukmu‟l
-Ashl
ialah hukum syara yang terdapat nash-nya menurut al-ashl, dan dipakai sebagai
hukum asal bagi cabang (al-
far’u). (4)
al-Illat
ialah keadaan tertentu yang dipakai
sebagai dasar bagi hukum ashl (asal), kemudian cabang (al-
far’u) itu d
isamakan
kepada asal dalam hal hukumnya.
21Selain empat dalil tersebut, terdapat pula dalil-dalil lain, namun tidak semua
jumhur ulama sepakat menjadikannya sebagai dalil bagi hukum syara’, bahkan ada
yang menolak. Dalil-dalil yang diperselisihkan itu yang terkenal ialah:
a)
Istihsan (meninggalkan hukum khusus kepada yang umum),
b)
Maslahah Mursalah (menetapkan hukum demi kemaslahatan),
19
Harun Nasrun, Ushul Fiqh I ..., h. 62.
20
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh..., h. 92
21
c)
Istishab (memilih yang disukai),
d)
„Uruf (adat istiadat),
e)
Madzhab Shahaby (mengikuti sahabat),
f)
Syar’un man Qablana (Syariat orang
-orang sebelum kita).
Maka jumlah dalil syara’ terdapat sepuluh dalil, empat dalil telah menjadi
kesepakatan
ulama,
sedang
enam
dalil
lainnya
masih
diperselisihkan
penggunaannya.
223.
Sejarah Penerapan Syariah Islam di Indonesia
Syariah Islam telah menjadi sejarah bangsa Indonesia. Sejak Islam masuk ke
negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan Islam di
daerahnya. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang
masih ada berusaha menegakkannya, walaupun secara berangsur-angsur hukum barat
ataupun hukum adat diterapkan. Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam
menempatkan penerapan Islam sebagai cita-cita.
Perdebatan tentang syariah Islam sudah mulai nampak ketika pemerintah
penjajah Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 24 April 1945, sebagai perwujudan janji
pemerintah Jepang atas kemerdekaaan Indonesia. Perdebatan berporos pada dua
kubu; nasionalis muslim dan nasionalis sekuler. Ketika kelompok nasionalis sekuler
mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, ditentang oleh kelompok nasionalis
muslim, dengan alasan bahwa Pancasila hanya sekedar hasil pemikiran filosofis
22
manusia. Golongan nasionalis muslim menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar
dan falsafah negara, tapi keinginan ini ditentang oleh kelompok nasionalis sekuler.
Perdebatan yang alot ini kemudian berhasil mencapai titik temu dan kompromi, yaitu
dengan adanya tambahan pada sila pertama Pancasila, dengan tambahan kata; dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tapi, sehari setelah
proklamasi kemerdekaan, kelompok Kristen menemui Muhammad Hatta, dan
menyatakan keberatan atas bunyi sila pertama dalam Piagam Jakarta. Setelah Bung
Hatta menemui kelompok nasionalis Muslim, kemudian dicapai kesepakatan,
sehingga bunyi sila pertama Pancasila menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa.
Golongan nasionalis muslim menerima formula baru itu karena kata; Yang Maha Esa
yang dicantumkan setelah kata Ketuhanan, mencerminkan doktrin kepercayaan tauhid
yang berarti sesuai dengan akidah Islam.
23Perdebatan antara kelompok nasionalis muslim dan nasionalis sekuler,
kembali mencuat di era kepemimpinan Presiden Soekarno (Orde Lama). Pada tahun
1955 perdebatan tentang tentang dasar negara kembali menjadi polemik di
Konstituante, partai-partai Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara (yang
merupakan prasyarat pemberlakuan syariah Islam), tapi partai-partai nasionalis
mempertahankan Pancasila. Polemik itu diakhiri dengan keluarnya Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959, untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945. Selain di
Konstituante, keinginan sebagian umat Islam atas Islam sebagai dasar negara,
23
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Badan Litbang
diwujudkan dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, seperti munculnya DI/TII
di Jawa Barat, yang dipimpin Karto Suwiryo, di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh,
dan di Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakar.
Setelah Bung Karno diberhentikan oleh MPRS, masuklah era Orde Baru. Di
bawah pimpinan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan asas
negara, hubungan Islam dan negara, dan juga hubungan partai-partai politik dengan
negara. Ketiga politik Orde Baru itu dikenal dengan politik; non-sektarian, massa
mengambang, dan ke
seragaman „ideologi’ Pancasila.
Menurut Taufiq Nugroho, kebijakan Orde Baru dalam hubungannya dengan
Islam, dapat dibagi pada dua fase,
Pertama
, antara tahun 1966-1985, pada masa ini
Orde Baru dalam hubungannya dengan Islam dipenuhi dengan suasana kecemasan
sekaligus harapan, dan mendukung Islam jalur kultur dan memotong jalur struktur.
Pada periode ini, ada gerakan Islam yang dipelopori oleh Imron, yang dikenal dengan
peristiwa Tanjung Priok yang menggelorakan jihad, dan gerakan Warman di
Lampung yang menggelorakan gerakan anti komunisme
Kedua,
antara tahun
1985-1997, pada periode ini kebijakan Orde Baru lebih melunak terhadap Islam dan
cenderung mengorganisir dan mengakomodasi kepentingan Islam. Seperti restu
Presiden Soeharto atas berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Di
era Orde Baru, isu tentang syariat Islam merupakan sesautu yang tabu, dan kelihatan
melemah.
2424
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Badan Litbang
Era Orde Baru berakhir tahun 1998, kemudian masuk pada era reformasi,
berpengaruh juga pada kehidupan keagamaan masyarakat Islam. Setidaknya ada dua
fenomena yang cukup menarik.
Pertama,
semakin menguatnya identitas dan gerakan
kelompok keagamaan di luar mainstream kelompok keagamaan dalam masyarakat
Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyah, Kelompok di luar dua organisasi itu
kemudian bermunculan, seperti FPI, Forum Komunikasi Aswaja, Majelis Mujahidin
Indonesia, HTI, dan HAMMAS.
Kedua
, Selain itu juga bermunculan parpol
keagamaan. Pada masa Orde Baru parpol keagamaan hanya satu yaitu PPP, tapi di era
reformasi ini bermunculan parpol berbasis keagamaan, seperti PBB, PKB, PAN, dan
PKS. Pada tahun 2000, upaya membuat payung syariat lewat konstitusi mengemuka
lagi dalam sidang amandemen UUD 1945, yaitu Fraksi PBB dan Fraksi PPP. Usulan
dua fraksi itu terfokus pada amandemen pasal 29 UUD 1945 ayat (1), yang intinya
kedua fraksi itu menginginkan ada tambahan kata, se
hingga menjadi,”Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Usulan amandemen itu kemudian gagal, tapi
gerakan syariat Islam lewat perda-perda menguat di daerah-daerah.
Dipertengahan terakhir Orde Baru berkuasa, beberapa ketentuan syariat Islam
sudah bisa diakomodir oleh negara. Bukti-bukti akomodasi itu dapat digolongkan ke
(3) akomodasi infrastruktural; dan (4) akomodasi kultural. Bentuk akomodasi yang
pertama dapat kita saksikan misalnya:
25a)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawian
b)
Disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1989
(yang mewajibkan setiap anak didik mendapat pelajaran agama sesuai
agama yang dianutnya
c)
Diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989
d)
Kompilasi Hukum Islam tahun 1991
e)
Diubahnya kebijakan tentang jilbab tahun 1991
f)
Dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (Bazis) tahun 1991
g)
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan (yang memberi
keabsahan berdirinya perbankan syariah), menyusul berdirinya Bank
Muamalat Indonesia (BMI) dan berdiri pula satu lembaga bernama
“Badan Arbitrase Muamalat Indonesia” (BAMUI) yang mempunyai
wewenang mengadili perselisihan dikalangan umat Islam dalam seluruh
aspek keperdataan.
h)
Dihapuskannya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB tahun
1993, dan terkahir dimasa reformasi dikeluarkan Undang-Undang
Pelaksanaan Haji dan Undang-Undang Zakat.
25
Khamami Zada, Wacana Syariat Islam; Menangkap Potret Gerakan Islam di Indonesia,
Jurnal Tashwirul Afkar Edisi 12 Tahun 2002, hal. 27. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara;
B.
Taqnin Al-Ahkam
1.
Pengertian
Taqnin al-Ahkam
Secara etimologis, kata
taqnin
(
نينقت
) merupakan bentuk masdar dari
qannana
(
نَنق
), yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari
Bahasa Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia.
Seakar dengan
taqnin
adalah kata
qanun
(
نْوناق
) yang berarti ukuran segala sesuatu,
dan juga berarti jalan atau cara
(thariqah)
.
Secara terminologis,
taqnin al-ahkam
berarti mengumpulkan hukum-hukum
dan kaidah-kaidah penetapan hukum
(tasyri‟)
yang berkaitan dengan masalah
hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan
kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat
yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai
undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak
hukum menerapkannya di tengah masyarakat.
262.
Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
Taqnin al-ahkam
juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya,
taqnin
bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para
ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad
pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik
antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut
26
Rashid, Taqnin Al-Ahkam Dalam Pandangan Ulama, diakses pada tgl 30 Desember 2010
merupakan salah satu bentuk
taqnin
yang pernah dilakukan oleh pemerintahan
Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya
taqnin
tersebut
,
Rasulullah juga
masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap
akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam
sejarah hukum Islam.
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya
untuk melakukan
taqnin al-ahkam.
Salah satunya adalah
al-Fatawa al-Hindiyah
yang
disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang
berkaitan tentang ibadah, sanksi
(uqubah),
dan
mu‟amalah.
Selain
Fatawa
al-Hindiyah,
ada juga
al-Ahkam al-Adliyyah
yang mengandung sejumlah hukum tentang
jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh
Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada
mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab
hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi
mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada
perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan
pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.
Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah
al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi
hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas
pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya
Majallah al-Ahkam al-Adliyyah.
Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak
kompilasi tersebut.
3.
Dasar Pemikiran
Taqnin
di Kalangan Ulama Klasik
Meskipun istilah
taqnin
di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal
tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim
untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan
suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi
mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi
dua kelompok,
pertama
melarang dan
kedua
membolehkan.
Menurut
kelompok pertama
, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim
untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara.
Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki,
Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al
-Hasan yang notabene
keduanya adalah murid Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal
pandangan itu sudah tidak diperselisihkan lagi. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat
demikian dan menyepakati pandangan tersebut.
Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada
beberapa dalil, seperti ayat:
Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan
kebenaran (QS. Shad: 26).
Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu.
Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.
Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk
kepada mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang
senang jika para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka
bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan
pendapat itu maka orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun jika mereka berbeda
pendapat, maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang yang lain
mengambil pendapat yang lain pula. Dengan demikian, terdapat keleluasaan untuk
memilih.”
Sedangkan menurut kubu kedua, penguasa boleh mewajibkan kepada para
hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu
mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak
disetujui oleh kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah
beralasan, wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan
kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim,
maka jabatan itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini
karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa
melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada,
maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan
kitab undang yang telah disahkan penguasa.
Dari uraian di atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat
pertama yang diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah
maka ia mungkin bisa dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui
dan rasul-Nya, maka ia wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu.
Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud
dengan
adil (al-adl),
dalam ayat Alquran:
Dan jika kalian memutuskan suatu perkara
di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan
adil
(QS: an-Nisa: 58).
C.
Otonomi Daerah
1.
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi atau
Autonomy
berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu:
“
autos
”
yang berarti “sendiri atau
self
” dan “
nomous
” yang berarti
“hukum atau
peraturan” yang berarti: memberi aturan sendiri, pemeri
ntahan sendiri; atau hak untuk
memerintah sendiri.
27Secara etimologi, otonomi adalah kemampuan untuk membuat
keputusan sendiri tentang apa yang hendak dilakukan terlepas dari pengaruh orang
lain, atau mengungkapkan apa yang ingin diperbuat.
28Secara terminologi, otonomi berarti perasaan bebas.
29Sering pula digunakan
untuk menyebut hak untuk menentukan sendiri dalam kebebasan moral dan
pemikiran religius; atau hak memerintah sendiri (
self government
) bagian dari suatu
kota, negara atau bangsa.
3027
Liat William L. Reece, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western
Though, Exponded Edition, New York: Humanity Books, 1996), h. 54, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I (Jakarta: Balai Pustakan, 1998), h. 58
28
Baca Jhon Sinclair (Ed), Collins COBUIL English Language Dictionary, Cet. 6, (London:
Collins, 1990), h. 85 29
Baca Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Cet. 2, Terj. Redaksi, (Jakarta: LP3ES,
1985), h. 16. 30
Dalam Kamus I
lmiah Populer kata “Otonom