FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANEMIA PADA SISWI MTS CIWANDAN
CILEGON-BANTEN TAHUN 2015
SKRIPSI
Disusun oleh Eka Pratiwi 109101000050
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Agustus 2015
Eka pratiwi, NIM : 109101000050
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anemia Pada Siswi Mts Ciwandan Kota Cilegon Tahun 2014
Xviii + 192 halaman, 32 tabel, 2 bagan, 2 lampiran
ABSTRAK
(p=0,011)} dan frekuensi makan {frekuensi makan dalam sehari (p=0,000), frekuensi makan sumber heme (p=0,000), frekuensi makan sumber non heme (p=0,000), frekuensi makan penghambat absorbs zat besi (p=0,000), frekuensi makan peningkat absorbsi zat besi (p=0,000). Tidak terdapat hubungan pola konsumsi Tablet Besi (p=0,339).
STATE ISLAMIC UNIBERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICAL AND HEALTH SCIENES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM Thesis, Agustus 2015
Eka Pratiwi, NIM: 109101000050
Factors Associated with Anemia Female Student in MTs Ciwandan Cilegon Town 2014
Xviii + 192 pages, 32 tables, 2 drawings, 2 attachment
ABSTRACT
(p=0,000), Fe intake (p=0,011)} dan frequency of eating {frequency of eating within a day (p=0,000), frequency of eating heme sources (p=0,000), frequency of eating non heme sources (p=0,000), frequency of eating resistor absorption iron(p=0,000), frequency of eating enhancer absorption iron (p=0,000). There is no relationship of iron tablet consumtion pattern (p=0,339).
BIODATA PENULIS
Nama : EKA PRATIWI
Tempat/Tanggal Lahir : Cilegon/27 Agustus 1991 Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Telp/HP : 085945497998
Alamat : jl.ir. Sutami ling. Cimerak Kota Cilegon Provinsi Banten
Email :Akhwat_nies@yahoo.com
Pendidikan
Tahun 1997-2002 : SDN 1 CILEGON Tahun 2002-2005 : SMPN 2 Cilegon
Tahun 2005-2008 : SMAN 2 Krakatau Steel Cilegon Tahun 2008-2015 : Mahasiswi Kesehatan Masyarakat
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Alloh SWT, berkat hidayah, rahmat dan inayah-Nya yang tak terhingga yang telah melimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang dilaksanakan di Kota Cilegon.
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyrakat Peminatan Gizi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga Kepada pihak-pihak terkait yang telah banyak membimbing dan banyak membantu terselesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada :
1. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS dan Bapak DR. Drs. M. Farid Hamzens, M.Si, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan dan saran yang sangat bermanfaat.
2. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Ibu Febrianti, SP, M.Si dan Ibu Febriana, SKM, M.Si, selaku penguji yang telah meluangkan waktunya dan telah memberikan saran, masukan dan kritik dalam ujian skripsi ini.
5. Keluargaku tercinta, Orangtuaku, Saudara-saudaraku, Anak-anaku tersayang Hisyam dan Ibrahim, serta suamiku tercinta Yudan Suhara yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan baik tenaga, moril dan material serta doa yang tiada hentinya selama ini.
6. Teman-teman satu angkatan Gizi angkatan 2009 dan teman satu pembimbing akademik yang telah saling mendukung, memotivasi dan member semangat. 7. Seluruh responden dalam penelitian ini yang berperan sebagai sumber analisis
dalam penyusunan skripsi ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas semua kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan laporan ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi peminatan Gizi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Ciputat, Januari 2016
DAFTAR ISI
ABSTRAK .. i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI . viii
DAFTAR TABEL .... .. xviii
DAFTAR BAGAN xxii
BAB I PENDAHULUAN . 1
1.1 Latar Belakang .. 1
1.2 Rumusan Masalah . 7
1.3 Pertanyaan Penelitian ... 9
1.4 Tujuan Penelitian .. 10
1.5 Manfaat Penelitian 11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja . 13
2.1.1 Pengertian Remaja 13
2.2.4 Penyebab Anemia . 20
2.2.5 Jenis-jenis Anemia 21
2.2.6 Etiologi Anemia 24
2.2.7 Patofisiologi Anemia . 25
2.3 Anemia Gizi Besi (AGB) . 27
2.3.1 Pengertian Anemia Gizi Besi 27
2.3.2 Standar Penentu Anemia Gizi Besi .. 27
2.4 Hemoglobin (Hb) 28
2.4.1 Pengertian Hemoglobin .. 28
2.4.2 Fungsi Hemoglobin 22
2.4.3 Batas Nilai Kadar Hemoglobin ... 29
2.4.4 Cara Pengukuran Kadar Hemoglobin .. 30
2.5 Zat Besi .. 33
2.5.1 Pengertian Zat Besi . 33
2.5.2 Zat Besi dalam Tubuh . 34
2.5.3 Fungsi Zat Besi .. 35
2.5.4 Metabolisme Zat Besi .. 35
2.5.5 Kebutuhan Zat Besi . 36
2.6 Fasilitator Absorpsi Zat Besi 40
2.8 Metode Penilaian Konsumsi Gizi 41 2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Anemia Pada Remaja Putri 42
2.7.1 Sosial Ekonomi ... 43
2.7.1.1 Pengetahuan .. 43
2.7.1.2 Pendidikan 44
2.7.1.3 Pekerjaan .. 46
2.7.1.4 Pendapatan 46
2.7.1.5 Uang Jajan . 48
2.7.2 Status Gizi . 49
2.7.3 Kehilangan Darah .. .. 50
2.7.3.1 Pola Menstruasi .. . 50
2.7.3.2 Penyakit Infeksi 52
2.7.4 Kebiasaan Makanan .. 53
2.7.4.1 Kebiasaan Makan pada Remaja 54
2.7.4.2 Asupan Gizi .. 55
a) Zat Gizi . 55
b) Vitamin C 59
2.7.4.3.1 Frekuensi Makan Sehari . 63 2.7.4.3.2 Frekuensi Makan Sumber Heme 64 2.7.4.3.3 Frekuensi Makan Sumber non Heme . 65 2.7.4.3.4 Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe 66 2.7.4.3.5 Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe 66
2.8 Kerangka Teori . 69
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL . 70
3.1 Kerangka Konsep 70
3.2 Definisi Operasional .. 71
3.3 Hipotesis Penelitian 78
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 79
4.1 Rancangan Penelitian 80
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian . 80
4.3 Populasi dan Sampel . 80
4.3.1 Populasi . 80
4.3.2 Sampel 80
4.4 Pengumpulan Data 82
4.5 Pengolahan dan Analisis Data .. 82
4.5.1 Instrumen Penelitian .. 82
4.5.2.1 Analisis Univariat .. 84
4.5.2.2 Analisis Bivariat . 84
BAB V HASIL . 86
5.1 Profil Madrasah Tsanawiyah Ciwandan . 86
5.1.1 Motto, Visi dan Misi Madrasah Tsanawiyah Ciwandan . 68
5.2 Pelaksanaan Pengumpulan Data . 88
5.3 Karakteristik Responden 89
5.4 Analisis Univariat . 89
5.4.1 Anemia pada Siswi MTs Ciwandan 90
5.4.2 Sosial Ekonomi . 90
5.4.2.1 Pengetahuan 90
5.4.2.2 Uang Jajan .. 91
5.4.2.3 Pendapatan Orangtua .. 92
5.4.2.4 Pendidikan Orangtua .. 92
5.4.3 Pola Menstruasi . 93
5.4.5 Kebiasaan Makan 94
5.4.5.1 Asupan Zat Gizi .. 94
5.4.5.1.4 Asupan Fe 96
5.4.5.2 Frekuensi Makan .. 97
5.4.5.2.1 Frekuensi Makan Sehari-hari 97
5.4.5.2.2 Frekuensi Makan Sumber Heme .. 97
5.4.5.2.3 Frekuensi Makan Sumber non Heme .. 98 5.4.5.2.4 Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe 99 5.4.5.2.5 Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe ... 100
5.5 Analisis Bivariat 100
5.5.1 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia pada Siswi Mts Ciwandan 101 5.5.1.1 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan ... 101 5.5.1.2 Hubungan antara Uang Jajan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan 102
5.5.1.3 Hubungan antara Pendapatan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan 103
5.5.1.4 Hubungan antara Pendidikan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan 104
5.5.2 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan 105
MTs Ciwandan . 106 5.5.3.1 Hubungan antara Asupan Zat Gizi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan .. . 106
5.5.3.1.1 Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan .. 106
5.5.3.1.2 Hubungan antara Asupan Protein dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan . 107
5.5.4.1.3 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan . 108
5.5.4.1.4 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan . 109
5.5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Makan dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan .. 110
5.5.3.2.1 Hubungan antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia
pada Siswi MTs Ciwandan .. . 110
5.5.3.2.2 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia
pada Siswi MTs Ciwandan ... 111
dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan .. 114 5.5.3.2.5 Hubungan antara Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe
dengan Anemia pada Siswi MTs Ciwandan 115
BAB VI PEMBAHASAN .. 116
6.1 Keterbatasan Penelitian 116
6.2 Status Anemia Gizi Besi Siswi MTs Ciwandan 117 6.3 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Anemia Pada Siswi
Mts Ciwandan .. . 123
6.3.1 Hubungan Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan ... . 126
6.3.2 Hubungan Uang Jajan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan .. 132
6.3.3 Hubungan Pendapatan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan . 136
6.3.4 Hubungan Pendidikan Siswi dengan Anemia pada Siswi
MTs Ciwandan 141
6.4 Hubungan Pola Menstruasi dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan .. 145
6.6 Hubungan Kebiasaan Makan dengan Anemia Pada Siswi
6.6.1 Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan 149
6.6.1.1 Hubungan Asupan Energi dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan ... 150
6.6.1.2 Hubungan Asupan Protein dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan ... 154
6.6.1.3 Hubungan Asupan Vitamin C dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan .. 158
6.6.1.4 Hubungan Asupan Fe dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan 162
6.6.2 Hubungan Frekuensi Makan dengan Anemia Pada Siswi
MTs Ciwandan . .. 166
6.6.2.1 Hubungan Frekuensi Makan dalam Sehari-hari dengan Anemia
Pada Siswi MTs Ciwandan . 166
6.6.2.2 Hubungan Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia
Pada Siswi MTs Ciwandan .. 170
6.6.2.3 Hubungan Frekuensi Makan Sumber non Heme dengan Anemia
6.6.2.5 Hubungan Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe dengan Anemia
Pada Siswi MTs Ciwandan 180
BAB VII PENUTUP .. . 185
7.1 Kesimpulan .. . 185
7.2 Saran .. 187
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1 Standar Penentu Anemia Gizi Besi 28
2.2 Kadar Hemoglobin Normal . 30
2.3 Kebutuhan Zat Besi .. 37
2.4 Angka Kecukupan Zat Besi yang dianjurkan (perhari) 38
2.5 Kandungan Zat Besi dalam Bahan Makanan 56
3.1 Definisi Operasional 71
5.1 Distribusi Frekuensi Anemia Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 90
5.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 90
5.3 Distribusi Frekuensi Uang Saku Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 91
5.4 Distribusi Frekuensi Pendapatan Orangtua Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 .. 92
5.7 Distribusi Frekuensi Asupan Energi Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 94
5.8 Distribusi Frekuensi Asupan Protein Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 95
5.9 Distribusi Frekuensi Asupan Vitamin C Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 .. 95
5.10 Distribusi Frekuensi Asupan Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 96
5.11 Distribusi Frekuensi Makan dalam Sehari-hari Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 .. 97
5.12 Distribusi Frekuensi Makan Sumber Heme Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 97
5.13 Distribusi Frekuensi Makan Sumber non Heme Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 98
5.14 Distribusi Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 99
5.15 Distribusi Frekuensi Makan Penghambat Absorpsi Fe Siswi MTs Ciwandan
Cilegon-BantenTahun 2014 .. 100
5.16 Hubungan antara Pengetahuan Siswi dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 101
5.17 Hubungan antara Uang Saku Siswi dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 102
5.19 Hubungan antara Pendidikan Orangtua dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 . 104 5.20 Hubungan antara Pola Menstruasi dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 105
5.21 Hubungan antara Asupan Energi dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014 106
5.22 Hubungan antara Asupan Protein dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014 . 107
5.23 Hubungan antara Asupan Vitamin C dengan Anemia pada Sisiwi MTs
Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 . 108
5.24 Hubungan antara Asupan Fe dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan
Cilegon-Banten Tahun 2014 . 109
5.25 Hubungan antara Frekuensi Makan dalam Sehari dengan Anemia pada Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 . 110 5.26 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber Heme dengan Anemia pada
Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 .. 111 5.27 Hubungan antara Frekuensi Makan Sumber non Heme dengan Anemia pada
Sisiwi MTs Ciwandan Cilegon-Banten Tahun 2014 . 112 5.28 Hubungan antara Frekuensi Makan Peningkat Absorpsi Fe dengan Anemia
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan Halaman
2.1 Kerangka Teori . 69
BAB I
PENDAHULUAN
`
1.1 Latar Belakang
Anemia adalah keadaan di mana terjadi penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) yang ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan
hitung eritrosit (red cell count).Sintesis hemoglobin memerlukan ketersediaan
besi dan protein yang cukup dalam tubuh. Protein berperan dalam pengangkutan
besi ke sumsum tulang untuk membentuk molekul hemoglobin yang baru
(Gallagher, 2008)
Anemia yang terjadi pada remaja putri merupakan risiko terjadinya gangguan
fungsi fisik dan mental, serta dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada
saat kehamilan nantinya (Sediaoetama, 1992).Menurut Yip (1998) status zat besi
harus diperbaiki pada saat sebelum hamil yaitu sejak remaja sehingga keadaan
anemia pada saat kehamilan dapat dikurangi.
Remaja merupakan tahap di mana seseorang mengalami sebuah masa transisi
kanak-Remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk badan, sehingga banyak
yang membatasi konsumsi makan dan banyak pantangan terhadap
makanan.Selain itu adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu
faktor penyebab remaja putri mudah terkena anemia defisiensi besi (Sediaoetama,
2003).Remaja putri juga memerlukan zat gizi yang lebih tinggi termasuk zat besi
untuk pertumbuhannya. Kecukupan gizi sangat diperlukan remaja sampai usia
lanjut.
Remaja putri merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita
anemia.Oleh karena itu, sasaran program penanggulangan anemia gizi telah
dikembangkan yaitu mencapai remaja putri SMP, SMA, dan sederajat, serta
wanita di luar sekolah sebagai upaya strategis dalam upaya memutus simpul
siklus masalah gizi.Walaupun begitu, prevalensi anemia di kalangan remaja putri
masih tergolong dalam kategori tinggi.Hal ini mengindikasikan anemia masih
menjadi masalah kesehatan di Indonesia (Poltekes Depkes, 2010).
Remaja putri memiliki risiko sepuluh kali lebih besar untuk menderita anemia
dibandingkan dengan remaja putra.Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami
menstruasi setiap bulannya dan sedang dalam masa pertumbuhan sehingga
membutuhkan asupan zat besi yang lebih banyak.Selain itu, ketidakseimbangan
asupan zat gizi juga menjadi penyebab anemia pada remaja.Remaja putri biasanya
sangat memperhatikan bentuk tubuh, sehingga banyak yang membatasi konsumsi
makanan dan banyak pantangan terhadap makanan (National Anemia Action
dibongkar.Keadaan seperti ini dapat mempercepat terjadinya anemia (Agus,
2004).
Menurut WHO, Prevalensi anemia dikatakan sebagai masalah kesehatan
masyarakat dikatgorikan sebagai berikut: bukan masalah kesehatan masyarakat
jika <5%, masalah kesehan masyarakat tingkat ringan jika 5-19,9%, masalah
kesehatan tingkat sedang jika 20-39,9%, dan merupakan masalah kesehatan
tingkat berat jika 40% (Depkes, 2003). Anemia merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia.
Lebih dari setengah penduduk dunia usia pra sekolah dan wanita hamil berada
di Negara-negara yang mengalami anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat
tingkat berat dengan presentase sebesar 56,3% dan 57,5%. Sedang presentase
wanita tidak hamil yang mengalami anemia sebesar 29,6% (McLean, 2007).
Anemia pada umumnya terjadi di seluruh dunia, terutama Negara berkembang
(developing countries) dan pada kelompok sosio-ekonomi rendah. Secara
keseluruhan, anemia terjadi pada 45% wanita di Negara berkembang dan 13% di
Negara maju (Fatmah dalam FKM UI, 2009).
Kasus anemia di Indonesia terdapat 19,7% perempuan, 13,1% laki-laki dan
9,8% anak yang mengalami anemia. Sebanyak 60,2% dari anemia tersebut adalah
Prevalensi anemia di kota Cilegon pada remaja putri di wilayah puskesmas
sekota Cilegon berdasarkan pada program kesehatan remaja tahun 2012 yang
telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Cilegon pada remaja putri usia 11-13
tahun menderita anemia sebesar 73,83% (231 orang) dan dari 440 remaja putri
usia 14-17 tahun menderita anemia sebesar 76,69%(337 orang) (Dinkes kota
Cilegon, 2012).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan MTs Negeri Ciwandan pada
bulan Mei tahun 2014 dengan melakukan pengukuran kadar Hb menggunakan
alat Hb meter Easytouch, telah diketahui prevalensi anemia pada remaja putri
kelas 8 adalah sebesar 13% (4 siswi dari 30 siswi). Prevalensi anemia tersebut
termasuk kedalam masalah kesehatan tingkat ringan.
Anemia defisiensi besi lebih cenderung berlangsung di negara berkembang,
dibandingkan dengan negara yang sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau
kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara
berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju
hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta
orang (Arisman, 2010).
Di Indonesia terdapat empat masalah gizi remaja yang utama yaitu Kurang
Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium (GAKI), dan Kurang Vitamin A (KVA). Anemia gizi merupakan
masalah gizi yang paling utama di Indonesia, yang disebabkan karena kekurangan
dalam pembentukan hemoglobin yaitu besi, protein, Vitamin C, Piridoksin,
Vitamin E (Almatsier, 2002).
Menurut USAID (2003) diketahui bahwa terjadinya anemia disebabkan oleh
beberapa faktor.Penyebab utama dapat dikategorikan dengan kategori rendah,
kekurangan, atau produksi sel darah merah yang abnormal; pemecahan sel darah
merah yang berlebihan; dan hilangnya sel darah merah secara
berlebihan.Penyebab yang berkaitan dengan kurang gizi, dihubungkan pada
asupan makanan, kualitas makanan, sanitasi dan perilaku kesehatan; kondisi
lingkungan sekitar; akses kepada pelayanan kesehatan; dan kemiskinan.Penyebab
yang penting juga disesuaikan dengan daerah.
Remaja yang lebih sering mengalami anemia adalah remaja putri, hal ini di
sebabkan remaja putri dalam usia reproduksi setiap harinya memerlukan zat gizi
tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan remaja putra karena remaja putri
mengalami menstruasi setiap bulannya (Arisman, 2004). Selain itu, telah
diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam
menimbulkan kejadian anemia, dan anemia merupakankonsekuensi dari
peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat
besi.Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat
darah tersebut mengakibatkan defisiensi besi (Arumsari, 2008). Hal ini diperparah
dengan pola konsumsi remaja putri yang terkadang melakukan diet pengurusan
badan sehingga semakin sedikit zat besi yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Latar Belakang dan tradisi kebiasaan makan berhubungan dengan lingkungan
hidup, tingkat kehidupan serta pendidikan seseorang. Tidak sedikit remaja putri
yang melakukan suatu upaya menghilangkan kebiasaan makan pagi atau siangnya
untuk mengurangi berat badannya, sedangkan makan yang bernilai gizi seperti
telur, susu dan sayuran sedapat mungkin tidak dimakan. Akibatnya mereka
mengalami kekurangan beberapa zat gizi makanan terutama zat kapur dan besi.
(Suhardjo, 1989).
Kejadian anemia tidak terlepas dari masalah kesehatan lainnya, bahkan
dampaknya dinilai sebagai masalah yang sangat serius terhadap kesehatan
masyarakat. Masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kejadian
anemia pada anak-anak dapat berdampak pada menurunnya kemampuan dan
konsentrasi belajar, menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan
kecerdasaan otak, meningkatkan risiko menderita penyakit infeksi karena daya
tahan tubuh menurun. Dampak anemia pada wanita dapat menurunkan daya tahan
tubuh sehingga mudah sakit dan menurunkan produktivitas kerja. Kadar
hemoglobin dengan produktivitas kerja menunjukkan adanya korelasi yang
positif, hal ini berarti semakin rendah kadar Hb, maka produktivitas kerja subjek
semakin menurun (Widyastuti, 2008)
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks. Menurut
kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya kemampuan
kognitif, menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas kerja
pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada
wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah,
bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan
dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan
pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan terhadap pengaruh racun dari
logam-logam berat.
Dari data tersebut menggambarkan bahwa masalah anemia khususnya pada
remaja putri masih cukup tinggi.Anemia juga sampai saat ini masih merupakan
salah satu faktor yang melatarbelakangi tingginya angka kematian ibu di
Indonesia, maka upaya pencegahannya adalah mengetahui sejak dini apakah
seseorang menderita anemia dan segera mengupayakan langkah-langkah
penanggulangan anemia.
Tingginya prevalensi dan beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadi
anemia pada remaja putri melatarbelakangi penulis untuk mengetahui gambaran
prevalensi dan hubungan sosial-ekonimi,pola menstruasi serta kebiasaan makan
(frekuensi haid dan lama haid) dan kebiasaan makan (asupan zat gizi, frekuensi
makan, kebiasaan minum teh).Remaja putri yang menderita anemia, akan mudah
mengalami infeksi, kebugaran/kesegaran tubuh berkurang dan semangat belajar
serta prestasi menurun, sehingga ketika akan menjadi calon seorang ibu, mereka
berada dalam keadaan resiko tinggi. Pertumbuhan yang pesat pada remaja
memiliki zat besi dalam jumlah yang tidak mencukupi, akan mengalami kondisi
sakit yang berulang dengan frekuensi sering.
Prevalensi anemia di kota Cilegon pada remaja putri di wilayah puskesmas
sekota Cilegon berdasarkan pada program kesehatan remaja tahun 2012 yang
telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Cilegon pada remaja putri usia 11-13
tahun menderita anemia sebesar 73,83% (231 orang) dan dari 440 remaja putri
usia 14-17 tahun menderita anemia sebesar 76,69% (337 orang).Berdasarkan
Studi pendahuluan yang dilakukan MTs Negeri Ciwandan pada bulan Mei tahun
2014 dengan melakukan pengukuran kadar Hb menggunakan alat Hb meter
Easytouch, telah diketahui prevalensi anemia pada remaja putri kelas 8 adalah
sebesar 13% (4 siswi dari 30 siswi). Prevalensi anemia tersebut termasuk kedalam
masalah kesehatan tingkat ringan.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran prevalensi dan
hubungan sosial ekonomi, pola menstruasi dan kebiasaan makan dengan kejadian
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian anemia pada siswidi MTs Ciwandan tahun
2015?
2. Bagaimana gambaran sosial ekonomi (pengetahuan, uang jajan, pendapatan
ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015?
3. Bagaimana gambaran pola menstruasi pada siswi di MTs Ciwandan tahun
2015?
4. Bagaimana gambaran Kebiasaan Makan (asupan gizi dan fekuensi
makan)siswidi MTsCiwandan tahun 2015?
5. Bagaimana hubungan antara sosial ekonomi (pengetahuan, pendapatan
ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) dengan kejadian anemia pada siswidi MTs
Ciwandan Tahun 2015?
6. Bagaimana hubungan pola menstruasi dengan kejadian anemia pada siswi di
MTs Ciwandan tahun 2015?
7. Bagaimana hubungan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi
1.4 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dengan anemia pada siswi
diMTs Ciwandan tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran sosial ekonomi (pengetahuan, uang jajan,
pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) kejadian anemia pada siswidi
MTs Ciwandan tahun 2015.
b. Untuk mengetahui gambaran pola menstruasi padasiswidi MTs
Ciwandan tahun 2015.
c. Untuk mengetahui gambaran Kebiasaan makan (asupan makan dan
frekuensi makan) pada siswi di MTs Ciwandan tahun 2015.
d. Untuk mengetahui hubungan antara sosial ekonomi (pengetahuan,
pendapatan ayah/ibu, pendidikan ayah/ibu) dengan anemia pada siswidi
MTs Ciwandan Tahun 2015.
e. Untuk mengetahui hubungan antara pola menstruasi dengan anemia
pada siswi di MTs Ciwandan Tahun 2015.
f. Untuk mengetahui hubungan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan
frekuensi makan)dengan anemia pada siswidi MTs Ciwandan Tahun
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi MTs Ciwandan
Untuk dijadikan bahan informasi tentang pentingnya mengkonsumsi
asupan zat gzi untuk memenuhi zat besi dalam tubuh serta efek kejadian
anemia terhadap prestasi belajar di sekolah sebagai bahan untuk
mengembangkan kegiatan kesehatan sekolah dan perbaikan kesehatan.
2. Bagi Puskesmas Citangkil
Untuk dijadikan bahan informasi dan dasar untuk mengembangkan
kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan di
sekolah-sekolah khususnya Madrasah Tsanawiyah Ciwandan.
3. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis tentang manfaat asupan zat gizi yang dapat mencegah
dari defisiensi zat besi serta sebagai sarana pembelajaran melakukan
penelitian ilmiah sekaligus mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat di
bangku perkuliahan dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti
selanjutnya.
dan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi dan frekuensi makan) dengan variable
dependen anemia pada remaja putri.
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
berupa umur, kadar Hb, sosial ekonomi (pengetahuan, pendapatan ayah/ibu,
pendidikan ayah/ibu), pola menstruasi, dan Kebiasaan Makan (asupan zat gizi
dan frekuensi makan) dan data sekunder berupa jumlah siswi putrid di MTs
Ciwandan dan Profil MTS Ciwandan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada siswi di MTs
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
2.1.1 Pengertian Remaja
Menurut Kartono (1990) masa remaja adalah masa penghubung atau
masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.Istilah
remaja atau adolescence berasal dari bahasa latinadolescere yang berarti
tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa .Istilahadolescence(dalam bahasa
Inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1999).
Batasan usia remaja diungkapkan oleh beberapa ahli, diantaranya oleh
Monks, dkk (1999) yang membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga
tahap, yaitu :
1) Masa remaja awal (12-15 tahun)
Pada rentang usia ini remaja mengalami pertumbuhan jasmani
yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat
intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada
saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi, namun belum
kemantapan pada diri sendiri yang lebih berbobot. Pada masa ini
remaja mulai menemukan diri sendiri atau jati dirinya (Kartono,
1990).
3) Masa remaja akhir (18-21 tahun)
Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil.
Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola
hidup yang digariskan sendiri, dengan itikad baik dan
keberanian.Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu
berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditentukannya
(Kartono, 1990).
Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (groe spurt) dan merupakan
waktu pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya
periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan.
Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15% dari tinggi badan dan
50% dari berat badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan
dengan peningkatan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi
dan pengeluaran energi. Masa tulang meningkat sebesar 45% dan
remodelingtulang terjadi: jaringan lunak, organ-organ dan bahkan massa sel
darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi
mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan
mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan
adanya pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan
(DiMeglio, 2000)
2.2 Anemia
2.2.1 Pengertian Anemia
Anemia adalah tingkat kekurangan zat besi yang paling berat dan
terjadi bila konsumsi hemogobin jauh dibawah ambang batas yang
ditentukan. Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dalam
darahnya kurang dari 12gr%. Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah
kondisi ibu dengan kadar Hemoglobin dibawah 11gr% pada trimester I dan
trimester II (Muryanti, 2006)
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin kurang dari
nilai normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin.
Gejala yaitu lemah, lesu, letih, mudah mengantuk, napas pendek, nafsu
makan berkurang, bibir tampak pucat, susah buang air besar, denyut jantung
meningkat dan kadang-kadang pusing.Pengertian lain anemia adalah
pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin dan volume sel
c) Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan
telapak tangan menjadi pucat.
Menurut Handayani dan Haribowo (2008), gejala anemia dibagi
menjadi tiga golongan besar yaitu sebagai berikut:
1) Gejala Umum anemia
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau
Anemic syndrome. Gejala umum anemia atau sindrom anemia
adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar
hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik
tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin.
Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang
terkena adalah:
a) Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi,
takikardi, sesak napas saat beraktivitas, angina pektoris,
dan gagal jantung.
b) Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging,
mataberkunang-kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu,
serta perasaan dingin pada ekstremitas.
c) Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.
d) Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit
menurun, serta rambut tipis dan halus.
Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia
adalah sebagai berikut:
a) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah,
stomatitis angularis.
b) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.
d) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan
tanda-tanda infeksi.
3) Gejala Akibat Penyakit Dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia.Gejala
ini timbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia
tersebut. Misalnya anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh
infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti
pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti
jerami.
2.2.3 Dampak Anemia
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks.
persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak
negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya
dari anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas
serta rentan terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat.
Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh.Respon
kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukan
sel-sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis
DNA.Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim
reduktase ribonukleotide yang membutuhkan besi untuk dapat
berfungsi.Disamping itu, sel darah putih yang menghancurkan bakteri tidak
dapat bekerja secara efektif dalam keadaan tubuh kekurangan besi. Enzim
lain yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh yaitu mieloperoksidase
juga akan terganggu fungsinya akibat defisiensi besi (Almatsier, 2001).
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa anemia gizi besi erat
kaitannya dengan penurunan kemampuan motorik (dampak fisik).Dilihat
dari dampak fisik, anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa cepat lelah.
Rasa cepat lelah terjadi karena pada penderita anemia gizi besi pengolahan
(metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan sempurna karena otot
kekurangan oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini
diangkut oleh zat besi dalam darah (hemoglobin). Untuk menyesuaikan
dengan berkurangnya jatah oksigen, maka otot membatasi produksi energi.
Akibatnya, mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila
Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang menderita
anemia gizi besi akan menurunkan produktivitas kerja. Menurunnya
produktivitas kerja, selain disebabkan oleh menurunnya hemoglobin darah,
juga disebabkan oleh berkurangnya enzim-enzim mengandung besi, dimana
besi sebagai kofaktor enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme energi
tersebut (Almatsier,2001)
Selain menurunkan produktivitas kerja yang umumnya terjadi pada
penderita usia dewasa, anemia gizi besi juga mengakibatkan dampak negatif
terhadap anak usia sekolah. Anak usia sekolah yang menderita anemia gizi
besi akan mengalami penurunan kemampuan kognitif, penurunan
kemampuan belajar, dan pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajar.
Menurut Lozzoff dan Youdim (1988) dalam Almatsier (2001), menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara defisiensi besi dengan fungsi
otak.Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama
terhadap fungsi sistem neurotransmitter (penghantar syaraf).Akibatnya,
kepekaan reseptor syaraf dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan
hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan
belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid
2.2.4 Penyebab Anemia
Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992),
anemia gizi besi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab
langsung dan faktor penyebab tidak langsung.Faktor penyebab langsung
meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah,
kebutuhan naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan
jumlah Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh
akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal ini
dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang terdapat
pada setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan.Di
dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan
bagian dari protein yang disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah,
dan disebut mioglobin di dalam sel-sel otot.
Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola
konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai
sumber zat besi yang sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan
hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi
terutama oleh masyarakat pedesaan (DepKes.RI, 1998 dalam Hulu, 2004).
Menurut Almatsier (2001), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan
ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia
dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang, dan
mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan
biologik yang rendah.
Faktor lain yang merupakan penyebab anemia gizi besi adalah faktor
penyebab tidak langsung, yang meliputi praktek pemberian makanan yang
kurang baik, komposisi makanan kurang beragam, pertumbuhan fisik,
kehamilan dan menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi, pelayanan
kesehatan yang rendah, terdapatnya zat penghambat absorbsi,serta keadaan
sosial ekonomi masyarakat rendah (Komite Nasional PBB Bidang Pangan
dan Pertanian,1992). Keadaan sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan,
tingkat pengetahuan, besar keluarga, pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain.
2.2.5 Jenis-jenis Anemia
Menurut Herawati (2009), Pembagian jenis-jenis anemia berdasarkan
faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:
1) Anemia karena defisiensi besi
Anemia defisiensi besi ialah anemia yang disebabkan oleh cadangan
besi tubuh berkurang.Keadaan ini ditandai dengan saturasi transferin
menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang
(RDW), (5) penurunan Mean Corpuscular Volume(MCV), dan terakhir (6)
penurunan hemoglobin (Walmsley, 1999).
Diatasi dengan pemberian suplemen dan mengkonsumsi makanan yang
kaya zat besi, contohnya: daging sapi atau kambing, buncis, sereal yang
diperkaya besi dan kacang-kacangan.
2) Anemia karena defisiensi vitamin B12 dan Asam Folat
Kekurangan kedua vitamin ini menyebabkan sumsum tulang
memproduksi sel darah merah yang berukuran sangat besar.Bagaimanapun
ukuran sel bukan tolak ukur pada kemampuannya dalam membawa lebih
banyak oksigen.Anemia jenis ini dapat diatasi dengan pemberian injeksi
vitamin B12. Sedangkan kekurangan folat bias diatasi dengan pemberian
suplemen folat. Sumber makanan yang mengandung vitamin B12 dan folat
adalah daging dan produk olahan susu.
3) Anemia karena penyakit kronik
Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan
sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau
penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1 2 bulan dan tidak disertai
penyakit hati, ginjal dan endokrin.Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan
metabolism besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di
makrofag. Secara garis besar patogenesis anemia penyakit kronis
dititikberatkan pada 3 abnormalitas utama: (1) ketahanan hidup eritrosit
sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau menurun,
gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi (Lee, 1993).Tidak
ada pengobatan spesifik untuk anemia jenis ini. Dokter akan berusaha
mengatasi penyakit yang mendasarinya. Jika kondisinya sangat parah
diperlukan transfuse darah
4) Anemia Aplastik
Organ penting dalam pembentukan sel darah merah adalah sumsum
tulang.Fungsinya memproduksi semua jenis sel darah, mulai sel darah
merah, sel darah putih dan trombosit (keeping darah).Seandainya organ
tersebut gagal dalam menjalankan fungsinya, maka mengakibatkan anemia
aplastik.Angka kematian disebabkan anemia aplastik sangat tinggi.Biasanya
kematian disebabkan infeksi dan pendarahan. Pada tipe berat ini penderita
bias sembuh jika dilakukan transplantasi sumsum tulang dan harus
menggunakan obat-obatan penekan sistem kekebalan (immunosupressan)
seumur hidup. Pada jenis yang tidak parah, kombinasi immunosupressan
(steroid) dan siklosporin. Pada anemia aplastik, transfusi darah memang
membantu, namun sifatnya simptomatik artinya hanya mengatasi gejala
saja, akan tetapi anemia tetap berulang.
sumsum tulang, limpa dan hati dapat mengetahuinya kemudian berusaha
untuk merusaknya.Jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah
sebelum waktunya (hemolisis) sumsum tulang berusaha menggantinya
dengan mempercepat pembentukan sel darah yang baru, sampai 10 kali
kecepatan normal. Jika penghancuran sel darah merah melebihi
pembentukannya, maka akan terjadi anemia hemolitik. Ada juga
obat-obatan yang merangsang terjadinya anemia ini, seperti obat
tuberculosisyaitu rifampisin (antibiotic golongan koinolin) yang
mempunyai antibody menmpel di sel darah merah meluruh (lisis)
6) Anemia bulan sabit (sicle cell anemia)
Anemia tipe ini merupakan anemia yang diturunkan
(herediter).Permasalahannya terdapat pada sel darah merah.Pada kondisi
normal bentuk sel darah merah fleksibel dan bulat, sedangkan pada
penderita sicle cell anemia sel darah terbentuk sickle (sabit). Bentuk yang
ireguler ini akan mati premature, mengakibatkan kondisi kekurangan sel
darah merah yang kronik. Kasus ini terutama terjadi pada ras Afrika dan
Arab.
2.2.6 Etiologi Anemia
1) Tahap pertama, meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai
berdasarkan penurunan kadar feritin serum. Meskipun tidak disertai
konsekuensi fisiologis yang buruk, namun keadaan ini menggambarkan
untuk jangka waktu lama. Sehingga dapat terjadi defisiensi besi yang
berat.
2) Tahap kedua, ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan
kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada keadaan
ini terjadi penurunan kejenuhan transferin atau peningkatan protoporfirin
eritrosit, dan peningkatan jumlah reseptor transferin serum.
3) Tahap ketiga, defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia karena
defisiensi yang berat, kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dl
(vijayaraghavan, 2004).
2.2.7 Patofisiologi Anemia
Berdasarkan patogenesisnya, anemia digolongkan dalam 3 kelompok
(Wintrobe at all, 1999) yaitu:
1) Anemia karena kehilangan darah
Anemia karena kehilangan darah akibat perdarahan yaitu terlalu
banyaknya sesl-sel darah merah yang hilang dari tubuh seseorang, akibat
dari kecelakaan dimana perdarahan mendadak dan banyak jumlahnya,
yang disebut perdarahan ekternal.Perdarahan dapat pula disebabkan
2) Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah
Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah dapat terjadi karena
bibit penyakit atau parasit yang masuk kedalam tubuh, seperti malaria
atau cacing tambang, hal ini dapat menyebabkan anemia hemolitik.Bila
sel-sel darah merah rusak dalam tubuh, zat besi yang ada di dalam tidak
hilang tetapi dapat digunakan kembali untuk membentuk sel-sel darah
merah yang baru dan pemberian zat besi pada anemia jenis ini kurang
bermaanfaat.Sedangkan asam folat dirusak dan tidak dapat digunakan
lagi oleh karena itu pemberian asam folat sangat diperlukan untuk
pengobatan anemia hemolitik ini.
3) Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah
Sumsum tulang mengganti sel darah yang tua dengan sel darah merah
yang baru sama cepatnya dengan banyaknya sel darah merah yang
hilang, sehingga jumlah sel darah merah yang dipertahankan selalu
cukup banyak di dalam darah, dan untuk mempertahakannya diperlukan
cukup banyak zat gizi. Apabila tidak tersedia zar gizi dalam jumlah yang
cukup akan terjadi gangguan pembentukan sel darah merah baru.
Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah, dapat
timbul karena, kurangnya zat gizi penting seperti zat besi, asam folat,
asam pantotenat, vitamin B12, protein kobalt, dan tiamin, yang
kekurangannya biasa disebut anemia gizi. Selain itu juga kekurangan
eritrosit, infiltrasi sum-sum tulang, kelainan endokrin dan penyakit
2.3 Anemia Gizi Besi
2.3.1 Pengertian Anemia Gizi Besi
Anemia gizi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted
iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang (Bakta, 2006). Anemia gizi besi merupakan tahap defisiensi besi
yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi
besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin
atau nilai hematokrit yang menurun (Abdulmuthalib, 2009).
2.3.2 Standar Penentu Anemia Gizi Besi
Untuk mendeteksi keadaan anemia seseorang, parameter yang biasa dan
telah digunakan secara luas adalah hemoglobin (Hb), karena pada umumnya
tujuan dari berbagai penelitian adalah menetapkan prevalensi anemia dan bukan
prevalensi kurang besi.Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada
sel darah merah.Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml
darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah.
Kandungan hemoglobin yang rendah mengindikasikan anemia (Supariasa, dkk.,
Tabel 2.1
Standar Penentu Anemia Gizi Besi
Kelompok Umur Hb dalam darah (g/dl)
6bulan- 5tahun
6-18 tahun
Wanita dewasa
Wanita hamil
Laki-laki dewasa
<11
<12
<12
<11
<13
Sumber: Sukirman (1999/2000) dalam (Yayuk Farida dkk,2004: 22)
2.4 Hemoglobin
2.4.1 Pengertian Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas
(daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk
oxihemoglobin di dalam sel darah merah.Dengan melalui fungsi ini maka
oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Pearce, 2009).
Hemoglobin adalah suatu senyawa protein dengan Fe yang
dinamakan conjugated protein. Sebagai intinya Fe dan dengan rangka
protoperphyrin dan globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah
karena Fe ini.Eryt Hb berikatan dengan karbondioksida menjadi karboxy
hemoglobindan warnanya merah tua.Darah arteri mengandung oksigen dan
darah vena mengandung karbondioksida (Depkes RI dalam Widayanti,
Menurut William, Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk
bulat yang terdiri dari 4 subunit. Setiap subunit mengandung satu bagian
heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida.Heme adalah suatu
derivat porfirin yang mengandung besi.Polipeptida itu secara kolektif
disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin (Shinta, 2005).
2.4.2 Fungsi Hemoglobin
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh
sel tubuh, sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen untuk
sel-sel otot.Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi
yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi
yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang diserap dari
saluran pencernaan (Soekirman, 2000).
Hemoglobin merupakan komponen yang amat penting dalam
mempertahankan keutuhan sistem sirkulasi tubuh.Fungsi utamanya adalah
dalam mengatur pertukaran O2 dan CO2 dalam jaringan tubuh yaitu
mengambil O2 dari paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan tubuh untuk
digunakan sebagai bahan bakar serta membawa CO2 dari jaringan tubuh
hasil metabolisme ke paru untuk dibuang.Hemoglobin juga turut berfungsi
2.4.3 Batas Nilai Kadar Hemoglobin (Hb)
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam
darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan
jenis kelamin (Depkes RI, 1996). Anemia menurut World Health
Organization (WHO) yang dikutip Stuart Gillespie (1996) diartikan sebagai
suatu keadaan dimana kadar haemoglobin (Hb) lebih rendah dari keadaan
normal untuk kelompok yang bersangkutan. WHO telah menggolongkan
penetapan kadar normal hemoglobin dalam berbagai kelompok seperti di
[image:54.612.136.526.200.556.2]bawah ini:
Tabel 2.2
Kadar Hemoglobin Normal
Usia Hemaglobin (g/dl)
Anak 6 bulan-5 tahun
Anak 5 tahun-18 tahun
Wanita dewasa
11
12
12-14
Sumber: Arisman, 2004
2.4.4 Cara Pengukuran Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin darah dapat ditentukan dengan bermacam-macam
fotoelektrik dan kalorimetrik visual dan yang banyak digunakan di lapangan
penelitian ialah hemoglobinometer digital (WHO, 2001 dalam Raptauli
2012).
Metode pengukuran kadar hemoglobin yang paling sering digunakan
di laboratorium dan paling sederhana adalah metode Sahli. Cara yang cukup
teliti dan dianjurkan oleh International Committee for Standardization in
Hematology (ICSH) adalah cara sian-methemoglobin. Pada metode ini,
hemoglobin dioksidasi olehkalium ferrosianidamenjadi methemoglobinyang
kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk
sian-methemoglobin yang berwarna merah.Intensitas warna dibaca dengan
fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan
alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Penentuan Hb dengan cara ini
memerlukan spektrofotometer yang harga dan biaya pemeliharannya mahal,
maka cara ini belum dapat dipakai secaraluas di Indonesia. Mengingat
bahwa membawa spektrofotometer dapat menyebabkan kerusakan pada
alatnya. Metode ini baik untuk dipakai dalam pemeriksaan kadar Hb di
laboratorium, namun akan mengalami kesulitan jika digunakan untuk survei
lapangan (Supariasa, dkk., 2002).
karboksihemoglobin menjadi sianmethemoglobin. Kadar hemoglobin
ditentukan dari perbandingan absorbansinya dengan absorbansi standard
sianmethemoglobin. Kelebihan dari metode ini adalah cara ini sangat bagus
untuk laboratorium rutin dan sangat dianjurkan untuk penerapan kadar
hemoglobin dengan teliti karena standar sianmethemoglobinyang
ditanggung kadarnya bersifat stabil. Kesalahan cara ini dapat mencapai
kira-kira 2%. Kelemahan dari cara ini adalah kekeruhan dalam suatu sampel
darah dapat mengganggu pembacaan dalam fotokalorimeter dan
menghasilkan absorbansi dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari
sebenarnya contohnya pada keadaan leukositosis dan lipemia (Wijayanti,
2005).
Cara pengukuran hemoglobin yang berikutnya adalah cara
kalorimetrik visual atau sahli. Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi
asam hematin dengan menggunakan larutan HCl, kemudian warna yang
terjadi dibandingkan secara visual dengan standar dalam alat itu. Di
Indonesia cara sahli masih banyak digunakan di laboratorium-laboratorium
kecil yang tidak mempunyai fotokalorimeter. Tetapi, cara ini tidak begitu
dianjurkan karena bukanlah cara yang teliti dan hanya berlandaskan
pengukuran secara visual dan kesalahan cara ini adalah kira-kira 10%
(Wijayanti, 2005).
Hemoglobinometer digital merupakan metode kuantitatif yang
terpercaya dalam mengukur konsentrasi hemoglobin di lapangan penelitian
strip yang digunakan. Bahan kimia yang terdapat pada strip adalah
ferrosianida. Reaksi tindak balas akan menghasilkan arus elektrik dan
jumlah elektrik yang dihasilkan adalah bertindak balas langsung dengan
konsentrasi haemoglobin. Hemoglobinometer digital merupakan alat yang
mudah di bawa dan sesuai untuk penelitian di lapangan karena teknik untuk
pengambilan sampel darah yang mudah dan pengukuran kadar hemoglobin
tidak memerlukan penambahan reagen. Alat ini juga memiliki akurasi dan
presisi yang tinggi berbanding metode laboratorium yang standar.Alat ini
juga stabil dan tahan lasak walaupun digunakan dalam jangka masa yang
lama (Hamill, 2010)
2.5 Zat Besi
2.5.1 Pengertian Zat Besi
Zat besi merupakan microelemen yang esensial bagi tubuh.Zat ini
terutama diperlukan dalam hemopobesis (pembentukan darah), yaitu dalam
sintesa hemoglobin (Hb) (Achmad Djaeni, 2000).
Zat besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin, ketika tubuh
kekurangan zat besi (Fe), produksi hemoglobin akan menurun. Penurunan
sedangkan kebutuhannya lebih tinggi antara 1-2 mg zat besi secara normal
(Muryanti, 2006).
2.5.2 Zat besi dalam tubuh
Salah satu mikronutrien essensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi
yang merupakan mineral mikro paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak
3-5 gram di dalam tubuh. Walaupun terdapat luas di dalam makanan, namun
banyak penduduk di dunia termasuk Indonesia yang mengalami; kekurangan
besi (Almatsier,2002).
Jumlah zat besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 gr
tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi di dalam
tubuh terdapat dalam haemoglobin sebanyak 1,5-3,0 gr dan sisa lainnya
terdapat di dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi terikat dengan
protein yang disebut transferin yaitu sebanyak 3-4 gr. Sedangkan dalam
jaringan berada dalam suatu status esensial dan bukan esensial. Disebut
esensial karena tidak dapat dipakai untuk pembentukan Hb maupun keperluan
lainnya (Soeparman, 1990).
Sedangkan menurut Guyton dan Hall (1997) Jumlah total besi dalam
tubuh rata-rata 4-5 gram, lebih kurang 65 persennya dijumpai dalam bentuk
hemoglobin. Sekitar 4 persennya dalam bentuk mioglobin, 1 persen dalam
bentuk macam-macam senyawa heme yang meningkatkan oksidasi
darah dan 15-30 persen terutama disimpan dalam sistem retikuloendotelial
dan sel parenkim hati, khususnya dalam bentuk feritin.
2.5.3 Fungsi zat besi
Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, zat ini
terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam
sintesa hemoglobin (Hb) (Moehji, 1995).
Seorang ibu yang dalam masa kehamilannya telah menderita kekurangan zat
besi tidak dapat memberi cadangan zat besi kepada bayinya dalam jumlah yang
cukup untuk beberapa bulan pertama. Meskipun bayi itu mendapat air susu dari
ibunya, tetapi susu bukanlah bahan makanan yang banyak mengandung zat besi
karena itu diperlukan zat besi untuk mencegah anak menderita anemia (Arifin,
2000).
2.5.4 Metabolisme zat besi
Besi yang ada pada bahan makanan adalah besi elemen.Hanya Fe++
ini yang diabsorbsi usus halus. Untuk mengatur masuknya besi dalam tubuh
maka tubuh memiliki suatu cara yang tepat guna. Besi hanya dapat masuk
dalam mukosa. Besi yang ada dalam mukosa usus hanya dapat masuk ke
dalam darah bila ia berikatan dengan -globulin yang ada dalam plasma.
Gabungan Fe dengan -globulin disebut ferritin.
Apabila semua -globulin dalam plasma sudah terikat Fe (menjadi
feritin) maka Fe++ yang terdapat dalam mukosa usus tidak dapat masuk ke
dalam plasma dan turut lepas ke dalam lumen usus sel mukosa usus lepas
dan diganti dengan sel baru.Hanya Fe++ yang terdapat dalam transferrin
dapat digunakan dalam eritropoesis, karena sel eritoblas dalam sumsum
tulang hanya memiliki reseptor untuk ferritin.
Kelebihan besi yang tidak digunakan disimpan dalam stroma sumsum
tulang sebagai ferritin.Besi yang terikat pada -globulin selain berasal dari
mukosa usus juga berasal dari limpa, tempat eritrosit yang sudah tua masuk
ke dalam jaringan limpa untuk kemudian terikat pada -globulin (menjadi
transferin) dan kemudian ikut aliran darah ke sum-sum tulang untuk
digunakan eritoblas membentuk hemoglobin. Hemoglobin berfungsi sebagai
pengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh, oleh karena itu apabila
terjadi kekurangan hemoglobin mengakibatkan anemi sehingga aktivitas
tubuh terutama daya berpikir akan menurun (Kuntarti, 2009).
2.5.5 Kebutuhan zat besi
Kebutuhan zat besi yang diserap berbeda-beda antara individu, umur, jenis
kelamin dan kondisi fisiologis.secara umum,kebutuhan zat besi yang diserap
Tabel 2.3 Kebutuhan Zat Besi
Umur / Jenis Kelamin Mg 0-6 bulan
7-11 bulan
1-3 tahun
4-6 tahun
7-9 tahun
Laki-laki
10-12 tahun
13-15
16-18
19->80
Wanita
10-12 tahun
13-15
16-18
19-29
-7
8
9
10
13
19
15
13
20
26
26
Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang
dewasa apabila dihitung bedasarkan kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah
1 tahun dan anak yang berumur 6-16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama
banyaknya dengan laki-laki dewasa. Anak-anak sejak bayi sampai remaja
memerlukan zat besi untuk pertumbuhan dan meningkatkan massa sela darah
serta mengganti sel darah yang hilang (Soemantri, 2005).
Masukan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti zat besi yang
hilang melalui tinja, air kencing dan kulit.Jumlah zat besi yang hilang sangat
bervariasi untuk setiap orang. Pada orang yang mempunyai simpanan zat besi
tinggi,maka zat besi yang dikelurkan dari tubuh juga tinggi, sebaliknya
orang-orang yang anemia jumlah zat besi yang dikeluarkan tubuh adalah rendah. Pada
bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan maka kebutuhan zat
besi diperlukan untuk pertumbuhan jaringan tubuh (DeMaeyer, 1995). Kecukupan
zat besi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari ditunjukkan pada tabel 2.4
Tabel 2.4 Angka Kecukupan Zat Besi yang dianjurkan (perhari)
2.6 Fasilitator Absorbsi Zat Besi
Fasilitator absorpsi zat besi yang paling terkenal adalah asam askorbat
(vitamin C) yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi non heme secara
signifikan. Jadi, buah kiwi, jambu biji, dan jeruk merupakan produk pangan
nabati yang meningkatkan absorpsi besi. Faktor-faktor yang ada di dalam daging
juga memudahkan absorpsi besinon heme(vijayaraghavan, 2004).
2.7 Penghambat Absorbsi Zat Besi
Penghambat zat besi meliputi kalsium fosfat, bekatul, asam fitat, dan
polifenol. Asam fitat banyak terdapat dalam sereal dan kacang-kacangan
merupakan faktor utama yang bertanggung jawab atas buruknya ketersediaan
hayati zat besi dalam jenis makanan ini. Karena serat pangan sendiri tidak
menghambat absorpsi besi, efek penghambat pada bekatul semata-mata
disebabkan oleh keberadaan asam fitat. Perendaman, fermentasi, dan
perkecambahan biji-bijian yang menjadi produk pangan akan memperbaiki
absorpsi dengan mengaktifkan enzim fitase untuk menguraikan asam fitat.
Polifenol (asam fenolat, flavonoid, dan produk polimerisasi) terdapat
dalam teh, kopi, dan anggur merah. Tanin yang terdapat dalam teh hitam
merupakan jenis penghambat paling paten dari semua inhibitor di atas. Kalsium
yang dikonsumsi dalam produk susu seperti susu atau keju juga dapat
menghambat absorpsi besi. Namun demikian, komponen lainnya, terutama
mengimbangi efek penghambat pada polifenol dan kalsium (vijayaraghavan,
2004).
2.8 Metode Penilaian Konsumsi Gizi
Menurut Cameron and Van Staveren dalam Herviani (2004) FFQ (Food
Frequency Questionnaire) merupakan metode/cara food frekuensi biasanya
kualitatif mengggambarkan frekuensi konsumsi per hari, minggu atau bulan.
Metode food frekuensi yang telah dimodifikasi dengan memperkirakan atau
astimasi URT dalam gram dan cara memasak dapat dikatakan dengan metode
yang kuantitatif (FFQ semi kuantitatif).
Pada FFQ semi kuantitatif skor zat gizi yang terdapat disetiap subjek
dihitung dengan cara mengalikan frekuensi relatif setiap jenis makanan yang
dikonsumsi yang diperoleh dari data komposisi yang tepat (Van Steveren at al,
19986 dalam Gibson, 2000)
Kelebihan metode food frekuensi antara lain: relatif murah, sederhana,
dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak memerlukan latihan khusus dan
dapat membantu menjelaskan hubungan penyakit dan kebiasaan makan.
Kekurangan metode food frekuensi antara lain: tidak dapat menghitung intake zat
2.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada Remaja Putri Menurut Junadi (1995), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya
anemia, yaitu :
1. Sebab langsung, yaitu karena ketidakcukupan zat besi dan infeksi penyakit.
Kurangnya zat besi dalam tubuh disebabkan karena kurangnya asupan
makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup, namun bioavailabilitas
rendah, serta makanan yang dimakan mengandung zat penghambat absorpsi
besi. Infeksi penyakit yang umumnya memperbesar resiko anemia adalah
cacing dan malaria.
2. Sebab tidak langsung, yaitu rendahnya perhatian keluarga terhadap wanita,
aktifitas wanita tinggi, pola distribusi makanan dalam keluarga dimana ibu
dan anak wanita tidak menjadi prioritas.
3. Sebab mendasar yaitu masalah ekonomi, antara lain rendahnya pendidikan,
rendahnya pendapatan, status sosial yang rendah dan lokasi geografis yang
sulit. Menurut Depkes (2003), penyebab anemia pada remaja putri dan wanita
adalah :
a. Pada umumnya konsumsi makanan nabati pada remaja putri dan wanita
tinggi, dibanding makanan hewani sehingga kebutuhan Fe tidak
terpenuhi.
b. Sering melakukan diet (pengurangan makan) karena ingin langsing dan
mempertahankan berat badannya.
c. Remaja putri dan wanita mengalami menstruasi tiap bulan yag
2.7.1 Sosial Ekonomi 2.7.1.1 Pengetahuan
Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa hubungan konsep pengetahuan,
sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu kegiatan tidak dapat
dipisahkan. Adanya pengetahuan baru akan menimbulkan respon batin dalam
bentuk sikap terhadap objek yang diketahuinya, kemudian akan
mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang akan
diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan. Menurut Engel et al. (1994) faktor
internal yang menjadi ciri perbedaan individu yaitu pengetahuan dan sikap
yang akan mempengaruhi perilaku.
Notoatmodjo (1997) mengatakan bahwa pengetahuan merupakan resultan
dari akibat proses penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebut
sebagian besar dari penglihatan dan pendengaran. Pengukuran atau penilaian
pengetahuan pada umumnya dilakukan melalui tes atau wawancara dengan
alat bantu kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden.
Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali
kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut didalam
tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk
Kelompok remaja masih berada pada proses belajar sehingga lebih mudah
menyerap pengetahuan sebagai bekal di masa datang (Saraswati, 1997).
Penelitian Dadin (2006) dalam Yasmin (2012) menguatkan teori diatas,
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
kejadian pada remaja putri, yang mana remaja putri dengan pengetahuan gizi
rendah memiliki resiko 2,86 kali menderita anemia dibandingkan dengan
remaja putri yang pengetahuan gizinya baik.
2.7.1.2 Pendidikan
Pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau
mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana
menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan
kesehatan orang lain, kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Faktor pendidikan dapat mempengaruhi
status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang
dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempengaruhi
pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan
seseorang yang berpendidikan lebih rendah (Permaesih, 2005