• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS ANEMIA PADA BALITA STATUS GIZI RENDAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS ANEMIA PADA BALITA STATUS GIZI RENDAH"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS ANEMIA PADA BALITA STATUS GIZI RENDAH

Oleh:

WULANSARI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA

(2)

SKRIPSI

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS ANEMIA PADA BALITA STATUS GIZI RENDAH

Oleh:

WULANSARI 100630244

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA

(3)

PENGESAHAN

Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan Diterima untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM) pada tanggal 11 Juli 2008

Mengesahkan Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat

a.n. Dekan,

Kepala Bagian Akademik

Dr. Hari Basuki Notobroto, dr., M.Kes NIP. 13015148

Tim Penguji :

(4)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)

Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Airlangga

Oleh :

WULANSARI NIM. 100630244

Surabaya, 17 Juli 2008

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Departemen, Pembimbing,

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat terselesaikannya skripsi dengan judul “FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS ANEMIA PADA BALITA STATUS GIZI RENDAH”, sebagai salah satu persyaratan akademis dalam rangka menyelesaikan kuliah di Program Pendidikan Sarjana (S1) Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Skripsi ini disusun untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi status anemia pada balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya. Kami menyampaikan terimakasih kepada Ibu Merryana Adriani, SKM., M.Kes, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan petunjuk, koreksi serta saran sehingga terwujudlah skripsi ini

Terimakasih kami sampaikan pula kepada:

1. Prof. Dr. J. Mukono, dr., M.S., M.PH, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

2. Dr. Sri Adiningsih, dr., M.S., M.CN, selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga 3. Para kader posyandu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Evi yang telah membantu dalam analisa sampel darah

(6)

6. Orangtua tercinta yang selalu memberi dorongan, semangat dan nasehat, terutama bunda yang selalu bersemangat dalam memotivasi. Dinda tersayang yang selalu setia menemani hingga larut dalam pengetikan skripsi ini.

7. Tim sukses “anemia balita”, atas kekompakan dan kerjasama yang luar biasa. 8. Tim sukses “reglog” yang selalu setia bertukar pikiran.

9. Teman-teman seangkatan dan sepeminatan yang selalu memberi masukan, bantuan dan semangat.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala amal yang telah diberikan dan semoga skripsi ini berguna baik bagi diri kami sendiri maupun pihak lain yang memanfaatkannya.

(7)

ABSTRACT

Iron deficiency of anemia was one of disease accompanied protein energy malnutrition. Iron deficiency of anemia was anemia that caused by less iron reserve in the body. It would be less eritropoesis and than decrease of haemoglobin formed. Iron deficiency of anemia could be effect degradation intellectual ability and impenetrability of infant body. For these condition, the research was done to learned about the factors affected the infant anemia in Mojo village, Gubeng Subdistrict Surabaya.

The aim of the research was to learn about the factors affected the infant anemia. In the other hand, this research were learned about family and infant charactheristics, infant consumption, wormy, and infection history.

This reseach was analytic observational with comparation study.. According to the time, it was cross sectional study. The samples criteria were infant in age range 2-5 years old and underweight. There were 15 samples and was drawn using simple random sampling technique. The laboratory data consist of haemoglobin level and feses test. The other data was collect by questioner. Chi square and logistic regression test were used to statistical analysis.

The results of this research showed there were factor that affected infant anemia. Mother nutrient knowledge and infection history had significant influence to infant anemia (p<0,05).

According to the results of this research could be concluded that the most affected anemia on 2-5 years old infant was infection history, for that require to be conducted by improvement personal higiene and environmental sanitation.

(8)

ABSTRAK

Anemia defisiensi besi merupakan salah satu penyakit yang sering menyertai gizi kurang. Anemia defisiensi zat besi (Fe) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi dalam tubuh sehingga penyediaan besi untuk

eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan Hb berkurang.

Pengaruh masalah anemia gizi besi pada balita adalah penurunan kekebalan tubuh dan penurunan kemampuan intelektual. Atas dasar kenyataan itu maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada balita dengan status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi status anemia pada balita status gizi rendah. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mempelajari karakteristik balita dan karakteristik keluarga balita, pola konsumsi balita, status kecacingan dan riwayat infeksi balita.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancang bangun penelitian studi komparasi dan data dikumpulkan secara cross sectional. Kriteria sampel pada penelitian ini adalah balita berusia 2-5 tahun dengan status gizi rendah. Terdapat 15 sampel dan ditentukan dengan teknik simple random

sampling. Data yang dikumpulkan terdiri dari kadar hemoglobin dan hasil uji

feses. Data lain dikumpulkan dengan questioner. Analisa data yang digunakan adalah chi square dan regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukan terdapat faktor yang mempengaruhi status anemia pada balita. Tingkat pengetahuan ibu dan riwayat infeksi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap status anemia balita (p<0,05).

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa riwayat infeksi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap status anemia pada balita 2-5 tahun dengan status gizi rendah, untuk itu perlu dilakukan peningkatan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan agar kasus anemia pada balita dapat diturunkan

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

LEMBAR PERSETUJUAN iii

KATA PENGANTAR iv

ABSTRACT vi ABSTRAK vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xvii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Identifikasi Masalah 4

1.3 Perumusan Masalah 6

BAB II TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 7

2.1 Tujuan Umum 7

2.2 Tujuan Khusus 7

2.3 Manfaat Penelitian 8

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 9

3.1 Balita 9

3.1.1 Definisi Balita 9

3.1.2 Pertumbuhan Balita 9

3.1.3 Penentuan Status Gizi Balita 17

3.2 Anemia Defisiensi Besi 20

3.2.1 Definisi Anemia Defisiensi Besi 20

3.2.2 Gejala Anemia 22

3.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Anemia 23 3.2.4 Akibat Anemia Defisiensi Besi Pada Balita 42 3.2.5 Metode Penentuan Status Anemia 43

BAB IV KERANGKA KONSEPTUAL 45

4.1 Kerangka Konseptual 45

4.2 Hipotesis 47

BAB V METODE PENELITIAN 48

5.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian 48

5.2 Populasi 48

5.3 Sampel, Besar Sampel dan Cara Penentuan Sampel 48

5.3.1 Sampel 48

(10)

5.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 50 5.5 Kerangka Operasional Penelitian 51 5.6 Variabel, Definisi Operasional dan Cara pengukuran 52

5.6.1 Variabel Penelitian 52

5.6.2 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran 53 5.7 Teknik dan Instrumentasi Pengumpulan Data 56

5.7.1 Teknik Pengumpulan Data 56

5.7.2 Instrumen Pengumpulan Data 58 5.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 59

BAB VI HASIL PENELITIAN 60

6.1 Gambaran Umum Dan Lokasi Penelitian 60

6.1.1 Keadaan Geografi 60

6.1.2 Keadaan Demografi 60

6.1.3 Keadaan Sosial Ekonomi 61

6.1.4 Sarana Kesehatan 63

6.2 Karakteristik Balita 64

6.2.1 Umur Balita 64

6.2.2 Jenis Kelamin Balita 64

6.3 Karakteristik Keluarga Balita 65

6.3.1 Umur Ibu Balita 65

6.3.2 Tingkat Pendidikan Ibu 65

6.3.3 Jenis Pekerjaan Ibu 66

6.3.4 Tingkat Pengetahuan Ibu 66

6.3.5 Jumlah Pendapatan Keluarga 67 6.3.6 Jumlah Anggota Keluarga 68

6.4 Pola Konsumsi Balita 68

6.4.1 Frekuensi Pemberian Makanan 69 6.4.2 Jenis Makanan Yang Diberikan 73 6.4.3 Jumlah Makanan Yang Diberikan 74 6.4.4 Tingkat Konsumsi Balita Terhadap Zat Gizi 76 6.4.5 Tingkat Konsumsi Balita Terhadap Zat Non Gizi 78

6.5 Status Kecacingan 81

6.10.1 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan

Status Anemia Pada Balita Status Gizi Rendah 84 6.10.2 Hubungan Jumlah Pendapatan Keluarga Dengan

Status Anemia Pada Balita Status Gizi Rendah 85 6.10.3 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga Dengan

Status Anemia Pada Balita Status Gizi Rendah 86 6.10.4 Hubungan Tingkat Konsumsi Energi Dengan

(11)

6.10.6 Hubungan Tingkat Konsumsi Vitamin C Dengan Status Anemia Pada Balita Status Gizi Rendah 88 6.10.7 Hubungan Tingkat Konsumsi Zat Besi Dengan

Status Anemia Pada Balita Status Gizi Rendah 89 6.10.8 Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan

Sumber Tanin Dengan Status Anemia

Pada Balita Status Gizi Rendah 90 6.10.9 Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan

Sumber Fitat Dengan Status Anemia

Pada Balita Status Gizi Rendah 90 6.10.10 Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan

Sumber Oksalat Dengan Status Anemia

Pada Balita Status Gizi Rendah 91 6.10.11 Hubungan Status Kecacingan Balita Dengan

Status Anemia Pada Balita Status Gizi Rendah 92 6.10.12 Hubungan Riwayat Infeksi Balita Dengan Status

Anemia Pada Balita Status Gizi Rendah 93 6.11 Faktor Yang Mempengaruhi Status Anemia Pada Balita 95

BAB VII PEMBAHASAN 97

7.1 Karakteristik Balita 97

7.2 Karakteristik Keluarga Balita 97

7.3 Pola Konsumsi 100

7.4 Status Kecacingan 104

7.5 Riwayat Infeksi 105

7.6 Status Gizi Balita 105

7.7 Kadar Hemoglobin 106

7.8 Status Anemia 107

7.9 Faktor Yang Mempengaruhi Status Anemia Pada Balita 108

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 121

8.1 Kesimpulan 121

8.2 Saran 122

DAFTAR PUSTAKA 123

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

3.1 Penentuan Status Gizi Balita Berdasarkan

Z Score Baku NCHS 19

3.2 Batas Normal Kadar Hemoglobin Menurut

Kelompok Umur Dan jenis Kelamin 21

3.3 Kecukupan Energi Pada Anak Per Orang Per Hari 31 3.4 Kecukupan Protein Pada Anak Per Orang Per Hari 32 3.5 Kecukupan Vitamin C Pada Anak Per Orang Per Hari 34 3.6 Kecukupan Zat Besi Pada Anak Per Orang Per Hari 35 5.1 Variabel, Definisi operasional dan Cara Pengukuran 53 6.1 Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur

di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 61

6.2 Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Agama di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 61

6.3 Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 62

6.4 Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 63

6.5 Distribusi Balita Menurut Umur di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 64 6.6 Distribusi Balita Menurut Jenis Kelamin di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 64 6.7 Distribusi Ibu Balita Menurut Umur di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 65 6.8 Distribusi Ibu Balita Menurut Tingkat Pendidikan di

Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 65

6.9 Distribusi Ibu Balita Menurut Jenis Pekerjaan di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 66

6.10 Distribusi Ibu Balita Menurut Tingkat Pengetahuan Ibu di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 67

6.11 Distribusi Ibu Balita Menurut Tingkat Pendapatan Keluarga di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 67

6.12 Distribusi Ibu Balita Menurut Jumlah Anggota Keluarga di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

(13)

6.13 Distribusi Balita Menurut Pola Makan Sehari

di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 69

6.14 Distribusi Balita Menurut Frekuensi Pemberian Makanan Sumber Zat Gizi Pada Kelompok Anemia di

Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 70

6.15 Distribusi Balita Menurut Frekuensi Pemberian Makanan Sumber Zat Gizi Pada Kelompok Tidak Anemia di

Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 71

6.16 Distribusi Balita Menurut Frekuensi Pemberian Makanan Sumber Zat Non Gizi Pada Kelompok Anemia di

Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 72

6.17 Distribusi Balita Menurut Frekuensi Pemberian Makanan Sumber Zat Non Gizi Pada Kelompok Tidak Anemia di

Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 73

6.18 Distribusi Balita Menurut Jenis Makanan Yang Diberikan di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 74

6.19 Distribusi Balita Menurut Jumlah Zat Gizi Yang Diberikan Pada Kelompok Anemia di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 74 6.20 Distribusi Balita Menurut Jumlah Zat Gizi Yang Diberikan

Pada Kelompok Tidak Anemia di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 75 6.21 Distribusi Balita Menurut Tingkat Konsumsi Energi

di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 76

6.22 Distribusi Balita Menurut Tingkat Konsumsi Protein di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 77

6.23 Distribusi Balita Menurut Tingkat Konsumsi Vitamin C di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 77

6.24 Distribusi Balita Menurut Tingkat Konsumsi Zat Besi di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 78

6.25 Distribusi Balita Menurut Frekuensi Konsumsi Teh di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008. 79

6.26 Distribusi Balita Menurut Waktu Konsumsi Teh

di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

(14)

6.27 Distribusi Balita Menurut Frekuensi Konsumsi Umbi-Umbian di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 80

6.28 Distribusi Balita Menurut Frekuensi Konsumsi Kacang-Kacangan di Kelurahan Mojo Kecamatan

Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 80

6.29 Distribusi Balita Menurut Frekuensi Konsumsi Bayam di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 81

6.30 Distribusi Balita Menurut Frekuensi Konsumsi Daun Singkong di Kelurahan Mojo Kecamatan

Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 81

6.31 Distribusi Balita Menurut Status Kecacingan

di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 82

6.32 Distribusi Balita Menurut Kebiasaan Memakai Alas Kaki di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 82

6.33 Distribusi Balita Menurut Riwayat Kesehatan di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 83

6.34 Distribusi Balita Menurut Kadar Hemoglobin

di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 84

6.35 Tabulasi Silang Tingkat Pengetahuan Ibu dengan

Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 85 6.36 Tabulasi Silang Jumlah Pendapatan Keluarga dengan

Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 85 6.37 Tabulasi Silang Jumlah Anggota Keluarga dengan

Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 86 6.38 Tabulasi Silang Tingkat Konsumsi Energi dengan

Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 87 6.39 Tabulasi Silang Tingkat Konsumsi Protein dengan

Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 88 6.40 Tabulasi Silang Tingkat Konsumsi Vitamin C Dengan

Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 88 6.41 Tabulasi Silang Tingkat Konsumsi Zat Besi dengan

Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 89 6.42 Tabulasi Silang Frekuensi Konsumsi Teh dengan

(15)

6.43 Tabulasi Silang Frekuensi Konsumsi Kacang-Kacangan dengan Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 91

6.44 Tabulasi Silang Frekuensi Konsumsi Bayam dengan Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di

Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 92

6.45 Tabulasi Silang Status Kecacingan dengan Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 92 6.46 Tabulasi Silang Riwayat Kesehatan dengan

Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo

Kecamatan Gubeng Kota Surabaya Tahun 2008 93 6.47 Rangkuman Hasil Uji Chi-Square Antara Variabel

Independent dan Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

Tahun 2008 94

6.48 Rangkuman Hasil Regresi Logistik Antara Variabel

Independent dan Status Anemia Balita Status Gizi Rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

4.1 Kerangka Konseptual Faktor Yang mempengaruhi 45 Status Anemia Pada Balita

5.1 Kerangka Operasional Faktor Yang Mempengaruhi

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Lampiran Halaman

1 Lembar Kuesioner “Tingkat Pengetahuan

Ibu Tentang Anemia Balita” 126

2 Lembar Wawancara “Faktor Yang

Mempengaruhi Status Anemia Pada Balita

Status Gizi Rendah” 128

3 Lembar Food Frequency 131

4 Lembar Food Recall 24 Hours 132

5 Hasil uji dengan SPSS 133

6 Daftar Balita dan Kadar Hemoglobin 151

7 Daftar Balita dan Kecacingan 152

(18)

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Daftar Arti Lambang

< : Kurang dari

BB/TB : Berat badan menurut tinggi badan BB/U : Berat badan menurut umur

TB/U : Tinggi badan menurut umur cm : Centimeter

cm/tahun : Centimeter per tahun kg/tahun : Kilogram per tahun mg : Miligram

mg/dl : Miligram per desiliter

mg/kg BB : Miligram per kilogram berat badan gr/dl : Gram per desiliter

kkal/kg BB : Kilokalori per Kilogram Berat Badan Hb : Hemoglobin

HCl : Asam klorida

DNA : Deoxyribonucleic Acid

Ca : Calsium

Depkes : Departemen Kesehatan Menkes : Menteri Kesehatan No. : Nomor

NCHS : National Center for Health Statistics RI : Republik Indonesia

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Masa balita sering dinyatakan sebagai masa kritis dalam rangka mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, terlebih pada periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal pada balita (Azrul, 2004)

Kecepatan pertumbuhan anak melambat setelah tahun pertama kehidupan. Pada usia 1 tahun berat badan anak menjadi 3 kali berat badan lahir, tetapi pada usia 2 tahun berat badan anak hanya 4 kali berat badan lahir. Panjang badan anak bertambah 50% pada usia 1 tahun, namun panjang badan menjadi 2 kali panjang badan lahir baru tercapai pada usia 4 tahun. Walaupun pada masa ini pertumbuhan fisiknya lambat, tetapi merupakan masa untuk perkembangan sosial, kognitif dan emosional (Soetjiningsih, 2002).

(20)

Berdasarkan hasil laporan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur pada tahun 2006, jumlah balita gizi kurang dan gizi buruk di Jawa Timur mencapai 17,50%, dengan rincian gizi buruk 2,60% dan gizi kurang 14,90% (PSG, 2006). Tidak terjadi peningkatan yang signifikan terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada tahun 2007, yaitu 17,60% dengan rincian gizi buruk menjadi 2,70% dan gizi kurang tetap 14,90% (PSG, 2007).

Pada tahun 2008, banyak ditemukan kasus gizi buruk dan gizi kurang. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ekonomi keluarga, yang didukung oleh meningkatnya harga bahan pangan pokok, sehingga keluarga dengan ekonomi yang terbatas semakin tidak mampu membeli bahan makanan pokok tersebut, dimana hal ini berpengaruh terhadap pola asuh terutama dalam pangan / gizi balita (YNI, 2008).

Menurut Bambang (2006), anemia defisiensi besi merupakan salah satu penyakit yang sering menyertai gizi kurang. Anemia adalah keadaan dimana masa eritrosit atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Kejadian anemia ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin atau hematokrit di bawah nilai ambang batas, hal ini disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit) dan hemoglobin, meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis) atau kehilangan darah yang berlebihan (Fatmah, 2007).

Anemia defisiensi zat besi (Fe) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi dalam tubuh sehingga penyediaan besi untuk

eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang

(21)

Pengaruh anemia gizi besi pada balita adalah penurunan kekebalan tubuh dan penurunan kemampuan intelektual. Defisiensi besi mempengaruhi pemusnahan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ), dan prestasi belajar di sekolah. Selain mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko menderita infeksi dan berpengaruh terhadap kemampuan intelektual, anemia defisiensi besi dapat menghambat pertumbuhan fisik (Arlinda, 2004).

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, pevalensi anemia gizi besi pada balita adalah sebesar 48,10%, nilai ini meningkat dibandingkan tahun 1995 yaitu sebesar 40,00%. Prevalensi anemia defisiensi zat besi untuk balita usia 12-23 bulan sebesar 58,00% balita, usia 24-35 bulan sebesar 45,10% balita, usia 36-47 bulan sebesar 38,60% dan usia 58-59 bulan sebesar 32,10% balita (Azrul, 2004).

Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi masalah anemia. Dalam jangka pendek pemerintah mengatasi anemia dengan pemberian suplemen Fe berupa tablet penambah darah. Dalam jangka panjang upaya penanggulangan anemia diupayakan dengan menerapkan keluarga sadar gizi dan pola hidup sehat dan bersih. Tetapi pada kenyataannya penanganan anemia secara nasional baru diprioritaskan pada ibu hamil (Depkes, 1995).

(22)

1.2 Identifikasi Masalah

Usia balita 1–5 tahun merupakan usia dimana pertumbuhan tidak sepesat pada masa bayi, tetapi aktivitasnya banyak. Melalui aktivitas bermain balita belajar banyak hal. Belajar memanfaatkan perangkat fisiknya sendiri, belajar mengenal arti berkawan, belajar berkomunikasi dengan bahasa verbal yang sama dengan bahasa orang-orang di lingkungannya serta belajar berperilaku terkendali sesuai dengan tata aturan yang berlaku.

Karakteristik keluarga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya pola konsumsi pangan dalam keluarga. Jumlah anggota keluarga sangat berpengaruh terhadap pembagian porsi makan dalam keluarga. Pemenuhan jumlah porsi makan hendaknya disesuaikan dengan jumlah pendapatan seluruh anggota kelurga. Setiap keluarga memiliki jumlah pendapatan yang berbeda, jumlah pendapatan ini sangat bergantung terhadap jenis pekerjaanya. Selain itu, pola konsumsi pangan dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh ketrampilan seorang guide keeper, dalam hal ini adalah ibu, memilih menu yang sehat untuk keluarganya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang guide keeper (ibu) tentang gizi maka semakin tinggi pula ketrampilan ibu dalam menyajikan menu sehat untuk keluarganya.

(23)

seperti protein hewani dan berbagai macam vitamin dalam menu sehari. Rendahnya masukan zat besi dalam makanan berkaitan dengan faktor ekonomi yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi akses terhadap makanan. Sedangkan rendahnya tingkat penyerapan zat besi disebabkan oleh komposisi menu makanan yang banyak mengandung bahan yang menghambat penyerapan zat besi seperti, tanin, fitat dan oksalat. Sedangkan konsumsi bahan makanan yang dapat membantu penyerapan zat besi seperti vitamin C dan protein hewani proprosinya lebih sedikit dalam menu sehari.

Selain faktor pangan, anemia defisiensi besi juga dapat disebabkan oleh faktor non pangan. Faktor non pangan yang menjadi penyebab terjadinya anemia defisiensi zat besi yang paling banyak dijumpai adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit seperti kecacingan dan malaria. Kebutuhan zat besi akan meningkat pada kasus-kasus pendarahan kronis yang disebabkan oleh parasit seperti kejadian kecacingan.

Anemia dapat menjadi semakin berat apabila diikuti dengan adanya infeksi. Hal ini dapat terjadi karena infeksi mengganggu masukan makanan, penyerapan, penyimpanan serta penggunaan berbagai zat gizi termasuk zat besi. Jika keseimbangan zat besi dalam tubuh goyah, infeksi yang berulang-ulang akan menyebabkan terjadinya anemia, terutama pada balita yang tingkat kesakitannya lebih besar daripada orang dewasa.

Kelurahan Mojo merupakan salah satu wilayah yang berada di tengah kota dan masih terdapat balita gizi rendah. Gizi rendah merupakan keadaan gizi salah

(malnutrition) yang pada umumnya disertai dengan penyakit lain. Anemia adalah

(24)

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi status anemia pada balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya perlu dilakukan.

1.3 Perumusan Masalah

(25)

BAB II

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

2.1 Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi status anemia pada balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.

2.2 Tujuan Khusus

1. Mempelajari karakteristik balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

2. Mempelajari karakteristik keluarga balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

3. Mempelajari pola konsumsi balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

4. Mempelajari status kecacingan balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

5. Mempelajari riwayat infeksi balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

6. Mempelajari status gizi balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

(26)

8. Mempelajari status anemia balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya

9. Menganalisa faktor yang mempengaruhi status anemia pada balita status gizi rendah di Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.

2.3 Manfaat

1. Manfaat bagi masyarakat

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada masyarakat terutama mengenai anemia balita sehingga dapat dilakukan pencegahan awal terhadap terjadinya anemia balita.

2. Manfaat bagi peneliti

Hasil penelitian dapat meningkatkan pengetahuan, pengalaman dan wawasan peneliti serta dapat digunakan sebagai bentuk penerapan ilmu yang telah didapat terutama di bidang masalah gizi.

3. Manfaat bagi peneliti lain

(27)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Balita

Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan inteligensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini. Bahkan ada seorang sarjana yang mengatakan bahwa the child is the father of the man. Sehingga setiap kelainan sekecil apapun apabila tidak terdeteksi apalagi tidak ditangani dengan baik akan mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak.

3.1.1 Definisi Balita

Menurut DS Oswarida (2005), balita adalah individu atau sekelompok individu dari suatu penduduk yang berada dalam rentang usia tertentu. Sedangkan menurut Moore (1997), usia balita dapat dikelompokan menjadi 3 golongan yaitu golongan usia bayi (0-2 tahun), golongan batita (2-3 tahun) dan golongan prasekolah (> 3-5 tahun). Sedangkan menurut WHO, kelompok usia balita adalah 0-60 bulan (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI, 1998). Sumber lain mengatakan bahwa usia balita adalah 1-5 tahun.

3.1.2 Pertumbuhan Balita

(28)

remaja di mana pertumbuhannya sangat pesat. Walaupun pada masa anak pertumbuhan fisiknya menjadi lambat tetapi merupakan masa untuk perkembangan sosial, kognitif dan emosional (Soetjiningsih, 2002).

Menurut Kapita Selekta Kedokteran (2000), penilaian tumbuh kembang meliputi evaluasi pertumbuhan fisis (kurva atau grafik berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, lingkar dada dan lingkar perut), evaluasi pertumbuhan gigi-geligi, evaluasi neurologis dan perkembangan sosial serta evaluasi keremajaan.

1. Pertumbuhan Tinggi dan Berat Badan.

Selama tahun kedua, angka penambahan berat badan adalah 0,25 kg/bulan, lalu, menjadi sekitar 2 kg/tahun sampai berusia 10 tahun. Panjang rata-rata pada akhir tahun pertama bertambah 50% (75 cm) dan menjadi dua kali lipat pada akhir tahun keempat (100 cm). Nilai baku yang sering dipakai adalah grafik (peta pertumbuhan atau growth chart) yang disusun oleh NCHS untuk berat badan dan tinggi badan. Mulai usia 2 tahun sampai pra remaja tinggi badan bertambah 6-8 cm/tahun. Pada masa ini seolah-olah anak tetap kecil, karena pertumbuhan lambat.

2. Perkembangan Indera.

(29)

3. Pertumbuhan Gigi

Pembentukan struktur gigi yang sehat dan sempurna dimungkinkan dengan gizi yang cukup protein, kalsium, fosfat dan vitamin (terutama vitamin C dan vitamin D). Klasifikasi gigi dimulai pada umur janin 5 bulan mencakup seluruh gigi susu. Erupsi gigi yang terlambat dapat ditemukan pada hipotiroidisme, gangguan gizi dan gangguan pertumbuhan.

Pada usia 16-18 bulan, gigi taring mulai muncul. Sampai dengan umur 2 tahun, umur bayi dapat diukur secara kasar dengan menghitung jumlah gizi ditambah 6, untuk menentukan umur dalam bulan. Gigi susu mulai tanggal pada 6 tahun dan beakhir pada usia 10-12 tahun.

4. Ukuran Kepala (lingkar kepala)

Ukuran kepala bertambah 10 cm pada tahun pertama hidupnya. Nilai baku yang dipakai untuk ukuran kepala (lingkar kepala) adalah grafik Nelhaus. 5. Pertumbuhan Otot

Pada anak-anak, pertumbuhan otot sangat cepat. Pada bayi, lingkar lengan atasnya bertambah ± 10 cm ketika lahir, menjadi sekitar 16 cm pada umur 12 bulan, tetapi hanya mekar 1 cm pada 4 tahun berikutnya.

6. Tulang Belulang

Selama beberapa bulan dari kelahiran hanya ubun-ubun depan yang masih terbuka, tetapi biasanya tertutup pada umur 18 bulan.

7. Denyut Jantung

(30)

Menurut Soetjiningsih (2002) selain pertumbuhan, perkembangan pada usia balita juga perlu diperhatikan karena akan berdampak pada perkembangan selanjutnya yakni masa prasekolah, sekolah, akil balik dan remaja.

Soejatmiko (2006), berpendapat bahwa dalam mengembangkan kecerdasan anak diperlukan stimulasi dini. Stimulasi dini adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi baru lahir (bahkan sebaiknya sejak janin 6 bulan di dalam kandungan) dilakukan setiap hari, untuk merangsang semua sistem indera (pendengaran, penglihatan, perabaan, pembauan, pengecapan). Selain itu harus pula merangsang gerak kasar dan halus kaki, tangan dan jari-jari, mengajak berkomunikasi, serta merangsang perasaan yang menyenangkan dan pikiran bayi dan balita. Rangsangan yang dilakukan sejak lahir, terus menerus, bervariasi, dengan suasana bermain dan kasih sayang, akan memacu berbagai aspek kecerdasan anak (kecerdasan multipel) yaitu kecerdasan logiko-matematik, emosi, komunikasi bahasa (linguistik), kecerdasan musikal, gerak (kinestetik), visuo-spasial, senirupa dan sebagainya.

Pada umumnya anak memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang normal, dan ini merupakan hasil interaksi banyak faktor yang mempengaruhinya. Soetjiningsih (2002) membagi faktor-faktor tersebut dalam 2 golongan, yaitu : 1. Faktor Dalam (Internal).

Faktor internal meliputi : a. Perbedaan ras atau bangsa.

(31)

badan setiap bangsa berlainan, pada umumnya ras orang kulit putih mempunyai ukuran tungkai yang lebih panjang daripada orang Mongol. b. Keluarga.

Ada kecenderungan keluarga yang tinggi-tinggi dan ada keluarga yang gemuk-gemuk.

c. Umur

Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun pertama kehidupan dan masa remaja.

d. Jenis kelamin.

Pada umumnya wanita lebih cepat dewasa dibanding anak laki-laki. Pada masa pubertas wanita umumnya tumbuh lebih cepat daripada laki-laki dan kemudian setelah melewati masa pubertas laki-laki akan lebih cepat. e. Kelainan genetika.

Sebagai salah satu contoh, Achondroplasia (kelainan herediterkongenital) yang menyebabkan darfisme (kerdil), sedangkan sindroma marfan yang menyebabkan pertumbuhan tinggi badan yang berlebihan.

f. Kelainan kromosom

Kelainan kromosom umumnya disertai dengan kegagalan pertumbuhan seperti pada sindroma Down′s dan sindroma Turner’s.

2. Faktor Luar (Eksternal / lingkungan)

(32)

a. Faktor Prenatal 1) Gizi

Tumbuh kembang anak tidaklah dimulai sejak anak lahir tetapi dimulai sejak ibu hamil. Nutrisi ibu hamil terutama dalam trisemester akhir kehamilan akan memperngaruhi pertumbuhan janin.

2) Mekanis

Posisi fetus yang abnormal bisa menyebabkan kelainan kongenital. 3) Toksin / zat kimia.

Minopetrin dan obat kontrasepsi dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti palatoskisis.

4) Endokrin.

Seperti pada diabetes militus dapat menyebabkan makrosomia kardiomegali, hyperplasia adrenal.

5) Radiasi

Paparan radium dan sinar roentgen dapat mengakibatkan kelainan pada janin seperti mikrosefali, spina bifida, retardasi mental dan deformitas anggota gerak, kelainan kongenital mata dan kelainan jantung.

6) Infeksi

Infeksi pada trisemester pertama dan kedua adalah oleh TORCH

(Toksoplasma, Rubella, Sitomegalo virus, Herpes simpleks), PMS

(33)

penyakit infeksi. Pemberian imunisasi terhadap beberapa penyakit harus dilakukan sesuai waktunya, disamping pemeliharaan kebersihan dan sanitasi lingkungan.

7) Kelainan imunologi.

Eritroblastosis fetalisi timbul atas dasar perbedaan golongan darah

antara janin dan ibu sehingga ibu membentuk antibodi terhadap sel darah merah janin, kemudian melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah janin dan akan menyebabkan hemolisis yang selanjutnya mengakibatkan hiperbilirubinemia kemicterus yang akan menyebabkan kerusakan janin otak.

8) Anoksia embrio

Anoksia embrio (kekurangan penyediaan O2) yang disebabkan oleh

gangguan fungsi plasenta sehingga menyebabkan pertumbuhan terganggu.

9) Psikologis ibu

Kehamilan yang tidak diinginkan, perlakuan salah/kekerasan mental pada ibu hamil dan lain-lain.

10) Faktor persalinan.

Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala dan asfiksia

dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak. b. Pasca Natal

1) Gizi

(34)

2) Penyakit kronis

Tuberkulosis, anemia, kelainan jantung bawaan dapat mengakibatkan retardasi pertumbuhan jasmani.

3) Lingkungan fisik dan kimia

Sanitasi lingkungan yang kurang baik, kurangnya sinar matahari, paparan sinar radioaktif, zat kimia tertentu (Pb, merkuri, rokok dan lain-lain) mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan anak. 4) Psikologis

Psikologis dari anak adalah adanya hubungan anak dengan orang sekitarnya. Seorang anak yang tidak dikehendaki oleh orang tuanya atau anak yang selalu merasa tertekan akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

5) Endokrin

Gangguan hormon misalnya pada penyakit hipotiroid akan menyebabkan anak mengalami hambatan pertumbuhan. Defisiensi hormon pertumbuhan akan menyebabkan anak menjadi kerdil.

6) Sosio ekonomi

Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makan, kesehatan lingkungan yang jelek dan ketidaktahuan, akan menghambat pertumbuhan anak.

7) Lingkungan pengasuhan 8) Stimulasi

(35)

keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain terhadap kegiatan anak, perlakuan ibu terhadap prilaku anak.

9) Obat-obatan

Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama akan menghambat pertumbuhan, demikian halnya dengan pemakaian obat perangsang terhadap susunan saraf pusat yang menyebabkan terhambatnya produksi hormon pertumbuhan.

3.1.3 Penentuan Status Gizi Balita

Menurut Kapita Selekta Kedokteran (2000) status gizi adalah refleksi kecukupan zat gizi. Cara penilaian status gizi dilakukan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, data antropometri, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologik. Sedangkan menurut IDN Supariasa (2002), status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu.

Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan anemia. Kekurangan protein maupun energi seperti yang terjadi pada balita status gizi rendah merupakan perwujudan dalam jangka yang cukup lama. Hal ini yang akan menyebabkan kekurangan berbagai bahan yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah (M Sadikin, 2002).

(36)

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit (IDN Supariasa, 2002).

1. Umur

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Menurut Puslitbang Gizi Bogor (1980), batasan umur yang digunakan adalah tahun umur penuh (Completed Year) dan untuk anak umur 0-2 tahun digunakan bulan usia penuh (Completed Month) (IDN Supariasa, 2002).

2. Berat Badan

(37)

3. Ukuran antropometri yang dipakai secara umum dan luas di Indonesia. 4. Ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur. 5. Telah digunakan dalam KMS (Kartu Menuju Sehat) sebagai dasar

pengisiannya untuk memonitor kesehatan anak

6. Berat badan terhadap tinggi badan merupakan indeks yang tidak tergantung terhadap umur.

7. Alat pengukur dacin mudah diperoleh meskipun di pedesaan.

IDN Supariasa (2002) menyebutkan bahwa cara termudah mengukur status gizi di lapangan adalah dengan pengukuran antropometri. Hal ini dilakukan karena murah, mudah dilakukan, sederhana dan cukup teliti. Pengukuran antropometri pada balita sebaiknya digunakan indeks antropometri Tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Dalam penentuan status gizi balita diperlukan nilai ambang batas. Beberapa klasifikasi penentuan status gizi bagi anak balita berdasarkan Z-score baku NCHS dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1 Penentuan Status Gizi Balita Berdasarkan Z Score Baku NCHS Indeks Antropometri Status Gizi Ambang Batas Berat Badan menurut

Umur (BB/U)

Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Gemuk

(38)

3.2 Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi merupakan bentuk anemia yang paling sering dijumpai di negara berkembang. Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari setengahnya merupakan penderita anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi lebih sering terjadi di negara berkembang sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah dan infestasi parasit yang merupakan masalah endemik. Saat ini di Indonesia anemia defisiensi besi maasih merupakan masalah gizi utama di samping Kekurangan Energi Protein (KEP), Kekurangan Vitamin A (KVA) dan Gangguan Kekurangan Yodium (GAKY) (Bambang dkk, 2005).

3.2.1 Definisi Anemia Defisiensi Besi

Menurut IM. Bakta (2007), anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron stage) sehingga penyediaan besi besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai dengan anemia

hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC (Total Iron Binding Capacity)

meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi.

(39)

kebutuhan untuk pertumbuhan, diperlukan sejumlah kecil tambahan untuk mengimbangi kehilangan besi normal oleh pengelupasan sel. Karena itu, untuk mempertahankan keseimbangan besi positif pada anak, diperkirakan 1 mg besi harus direabsorpsi setiap hari (Behrman et al, 2000).

Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin (Arlinda, 2004).

Arisman (2004) menjabarkan batas normal kadar hemoglobin menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut ini.

Tabel 3.2 Batas Normal Kadar Hemoglobin Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Kelompok Umur Hemoglobin (gr/L) Hematokrit (gr/L) Anak

Dewasa

6 bulan-6 tahun 5-11 tahun

Sumber : WHO 1972 dalam Arisman, 2007

Jika dilihat dari besarnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Deplesi besi (iron depleted state), yaitu cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu

(40)

3. Anemia defisiensi besi yaitu cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.

Pada kasus anemia defisiensi besi dapat dilakukan diagnosa melalui skreening kadar hemoglobin dan indeks eritrosit. Hasil yang didapat anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan terhadap penurunan hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi hemoglobin dalam darah merah (MCH) (IM Bakta, 2007).

3.2.2 Gejala Anemia

Menurut Atilla Dewanti bayi yang mengalami anemia umumnya lebih rewel, susah makan, kulit pucat, suhu tubuh kadang-kadang dingin dan daya tahan tubuh menurun yang ditandai dengan gampang jatuh sakit dibandingkan dengan anak sebayanya (Anna, 2007)

IM Bakta (2007) menggolongkan gejala anemia defisiensi besi menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Gejala Umum Anemia

(41)

2. Gejala Khas Akibat Anemia Defisiensi Besi

Gejala yang khas pada anemia defisiensi besi dan tidak dijumpai pada anemia jenis lainnya adalah:

a. Koilonychia atau kuku sendok (spoon nail), yaitu kuku menjadi rapuh,

bergaris vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.

b. Atrofi papil lidah yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang.

c. Stomatitis angularis yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga

tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan

d. Disfagia yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring

e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

f. Sindroma Plummer Vinson (Peterson kelly) yaitu kumpulan gejala yang

terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atropi papil lidah dan disfagia

3. Gejala Penyakit Dasar.

Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia pendarahan kronik akibat kanker dijumpai gejala tergantung pada lokasi kanker tersebut.

3.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Anemia

1. Pola Konsumsi

(42)

masyarakat ini dapat menunjukan tingkat keberagaman pangan masyarkat yang selanjutnya dapat diamati dari parameter pola pangan harapan (Yayuk, 2006).

Tingkat konsumsi makanan berpengaruh terhadap penyimpanan zat gizi dalam tubuh. Penyimpanan ini selanjutnya menghasilkan tingkatan pertumbuhan fisik yang baik dan kemampuan imunologik yang memadai akan menghasilkan tingkat kesehatan yang baik pula. Sebaliknya pertumbuhan fisik yang terhambat biasanya disertai dengan kemampuan yang rendah sehingga berakibat kematian (Irianto, 2000).

Penganekaragaman konsumsi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan status gizi (Sunita A, 2005).

Pola konsumsi balita dipengaruhi oleh beberapa faktor di bawah ini: a. Karakteristik Balita

1) Umur Balita

Balita yang sedang mengalami pertumbuhan memerlukan makanan bergizi lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa. Dengan semakin bertambahnya umur akan semakin meningkatkan pula kebutuhan zat tenaga bagi tubuh (Wied, 1986). Menurut Soetjiningsih (2002), umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi.

2) Jenis Kelamin

(43)

b. Karakteristik keluarga 1) Tingkat Pengetahuan

Menurut Soekidjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Tetapi, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Proses pembelajaran sendiri dipengaruhi oleh kondisi subyek belajar yaitu: intelegensi, daya tangkap, daya ingat, motivasi, dan sebagainya. Melalui jenjang pendidikan, seseorang akan cenderung mendapatkan latihan-latihan, tugas-tugas dan aktivitas yang terkait dengan kemampuan kognitif sehingga diharapkan mampu mengubah perilaku dan pola pikir yang lebih positif.

(44)

Faktor yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan adalah: a) Umur

Menurut Huclock yang dikutip Siti Paryani (2001), semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dewasa dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya.

b) Pendidikan

Menurut Kuncoroningrat yang dikutip oleh Siti Paryani (2001), makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya, pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan.

Menurut Sayogjo (1986) bahwa tingkat pendidikan rata-rata penduduk yang masih rendah, khususnya di kalangan wanita merupakan salah satu masalah pokok yang berpengaruh terhadap masalah kesehatan. Khususnya untuk pendidikan ibu, pengaruhnya terhadap status gizi anggota keluarganya sangat besar, karena biasanya ibu rumah tangga menjadi penentu dan pengatur konsumsi makan dalam keluarga.

(45)

pendidikan menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh (Wied, 1986).

c) Pekerjaan

Menurut Markum yang dikutip oleh Siti Paryani (2001), berpendapat bahwa bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Seseorang yang bekerja cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada yang tidak bekerja. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh teman sekerja yang merupakan sumber informasi yang menambah pengetahuan seseorang.

2) Jumlah Pendapatan Keluarga

Menurut Berg (1986) pendapatan mempengaruhi daya beli keluarga akan bahan makanan yang bergizi dan tingkat penghasilan menentukan jenis pangan yang akan dibeli.

Sayogjo (1986) juga menyebutkan bahwa rendahnya pendapatan sebagai rintangan lain yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Ada pula keluarga yang berpenghasilan cukup tetapi sebagian anaknya menderita gizi kurang karena kurang baiknya pengaturan belanja, mutu dan keragaman pangan serta belum terbiasa membuat perencanaan pengeluaran keluarga yang baik.

(46)

3) Jumlah Anggota Keluarga

Menurut Soetjiningsih (2002) jumlah anak yang banyak pada keluarga yang sosial ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak. Terlebih jika jarak anak terlalu dekat sedangkan pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi kurang, jumlah anak banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan tidak terpenuhi.

Wied (1986) menyebutkan jumlah anak yang banyak akan menyulitkan dalam mengurusnya juga kurang bisa menciptakan suasana tenang dan akan berpengaruh terhadap kecukupan makan, ditambah dengan pendapatan yang rendah akan menyebabkan pemerataan dan kecukupan makan dalam keluarga kurang terjamin.

2. Tingkat Konsumsi

(47)

konsumsi seseorang dan dinyatakan dalam Recommended Dietary Allowances

(RDA), yaitu :

a. Tingkat konsumsi baik : ≥ 100% RDA b. Tingkat konsumsi sedang : 80-99 % RDA c. Tingkat konsumsi kurang : 70-79 % RDA d. Tingkat konsumsi defisit : < 70 % RDA

Untuk menentukan konsumsi makan seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu (IDN Supariasa 2002) :

a. Metode recall 24 jam.

Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh.

(48)

menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi lebih besar tentang intake harian seseorang.

b. Metode frekuensi makanan (food frequency).

Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden.

Tingkat konsumsi balita meliputi asupan terhadap zat gizi dan zat non gizi. Zat gizi yang berperan dalam kejadian anemia defisiensi besi adalah energi, protein vitamin C dan zat besi. Selain asupan zat gizi, perlu diperhatikan juga mengenai asupan zat non gizi yang merupakan faktor penghambat (inhibitor)

penyerapan zat besi dalam tubuh. Zat non gizi tersebut meliputi tanin, fitat dan oksalat.

a. Energi

(49)

Zat-zat gizi yang mengandung energi terdiri dari protein, lemak dan karbohidrat. Dianjurkan agar jumlah energi yang diperlukan didapat dari 50-60% karbohidrat, 25-35% lemak, sedangkan selebihnya (10-15%) berasal dari protein (S Pudjiadi, 2000).

Energi tidak mempunyai peranan secara langsung dalam proses pembentukan Hemoglobin, namun energi secara tidak langsung berhubungan dengan peningkatan derajat anemia, yaitu melalui salah satu fungsi energi yaitu melangsungkan aksi penghematan terhadap penggunaan protein dalam tubuh. Kekurangan energi pada balita akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi (Sunita A, 2005).

Tabel 3.3 Kecukupan Energi pada Anak per Orang per Hari

Golongan Umur Berat Badan (Kg) Energi (Kkal)

1-3 tahun 12 1000

4-6 tahun 17 1550

Sumber: Menkes RI. 2005. Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta

b. Protein

Protein merupakan sumber asam amino esensial yang diperlukan sebagai zat pembangun, yaitu untuk pertumbuhan dan pembentukan protein dalam serum, hemoglobin, enzim, hormon serta antibodi; mengganti sel-sel tubuh yang rusak; memelihara keseimbangan asam basa cairan tubuh dan sumber energi (Sunita A, 2005).

(50)

penyakit terutama gamma globulin dan sebagai pengatur aliran darah dalam membantu bekerjanya jantung (IDN Supariasa, 2002)

Menurut S Pudjiadi (2000), disarankan untuk memberikan 2,5-3 gr/kg BB bagi bayi dan 1,5-2 gr/kg BB bagi anak sekolah sampai adolesensia. Jumlah protein yang diberikan dianggap adekuat jika mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap oleh tubuh, maka protein yang diberikan harus sebagian berupa protein yang berkualitas tinggi seperti protein hewani.

Fungsi khusus dari protein yaitu sebagai alat pengangkut hemoglobin dimana hemoglobin mengangkut oksigen dalam eritrosit, sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi diangkut dalam plasma darah oleh

transferin dan disimpan dalam hati sebagai kompleks dengan feritin, suatu protein

yang berbeda dengan transferin (Budiyanto, 2001).

Menurut Sunita A (2005), jika jumlah protein dalam tubuh mengalami defisit maka kemampuan untuk mengangkut besi ke dalam sel darah merah menjadi berkurang, sehingga terjadi gangguan absorbsi dan transport besi yang akan menyebabkan terjadinya anemia.

Tabel 3.4 Kecukupan Protein pada Anak per Orang per Hari

Golongan Umur Berat Badan (Kg) Protein (gram)

1-3 tahun 12 25

4-6 tahun 17 39

Sumber: Menkes RI. 2005. Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta

c. Vitamin C

(51)

Konsumsi vitamin C dapat meningkatkan absorbsi zat besi non heme sampai empat kali lipat. Vitamin C dengan zat besi membentuk senyawa askorbat besi kompleks yang larut dan mudah diabsorbsi (Husaini, 1989).

Vitamin C atau asam organik sangat membantu penyerapan besi non hem dengan merubah bentuk feri menjadi bentuk fero, karena bentuk fero lebih mudah diserap. Di samping itu, vitamin C membentuk gugus besi askorbat yang tetap larut dalam pH lebih tinggi dalam duodenum. Oleh karena itu sangat dianjurkan mengkonsumsi vitamin C setiap kali makan. Asam oranik lainnya adalah asam sitrat (Sunita A, 2005).

Pada kelompok yang mengkonsumsi zat penghambat absorpsi zat besi dianjurkan untuk mengonsumsi suplemen vitamin C agar memperkuat penyerapan zat besi guna mencukupi kebutuhan sehari-sehari. Sedangkan pada usia lanjut yang kadar asam lambungnya rendah sering terjadi anemia defisiensi besi akibat berkurangnya penyerapan zat besi (Etisa, 2006). Selain itu konsumsi vitamin C meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi kekebalan (Sunita A, 2005)

(52)

Tabel 3.5 Kecukupan Vitamin C pada Anak per Orang per Hari

Golongan Umur Berat Badan (Kg) Vitamin C (mg)

1-3 tahun 12 40

4-6 tahun 17 45

Sumber: Menkes RI. 2005. Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta

d. Zat Besi

Zat besi dalam tubuh terdiri dari bagian fungsional dan simpanan. Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam bentuk hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk myoglobin dan jumlah yang sangat kecil tetapi vital adalah hem enzim dan non hem enzim (Arlinda, 2004).

Zat besi memiliki hubungan langsung dengan terjadinya anemia melalui perannya dalam pembentukan hemoglobin darah. Fungsi utama zat besi dalam tubuh adalah untuk pembentukan hemoglobin baru, mengembalikan hemoglobin ke nilai normal setelah terjadi pendarahan dan menggantikan kehilangan zat besi lewat darah zat besi yang tidak mencukupi bagi pembentukan sel darah akan mengakibatkan anemia, menurunkan kekabalan sehingga sangat peka terhadap serangan penyakit infeksi (Budiyanto, 2001)

(53)

dan remaja yang mengalami pertumbuhan maka kebutuhan zat besi perlu ditambahkan.

Sebelum diabsorbsi zat besi dibebaskan dari ikatan organik seperti protein. Sebagian besar besi dalam bentuk feri direduksi menjadi fero. Hal ini terjadi dalam suasana asam di dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang terdapat dalam makanan (Sunita A, 2005).

Zat besi bersama protein dan protoportirin mempunyai peranan penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat pada beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter dan proses katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, saraf pusat, kardiovaskuler, imunitas dan perubahan tingkat selular. Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, bioavaibilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kg BB atau sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan 3% dalam bentuk myoglobin. Hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2% sebagai enzim. Bayi baru lahir tubuhnya mengandung zat besi sekitar 0,5 gram (Bambang, 2005).

Di bawah ini merupakan kebutuhan zat besi berdasarkan usia pada balita. Tabel 3.6 Kecukupan Zat Besi pada Anak per Orang per Hari

Golongan Umur Berat Badan (Kg) Zat Besi (mg)

1-3 tahun 12 8

4-6 tahun 17 9

(54)

d. Tanin, Fitat dan Oksalat

Tanin merupakan polifenol yang terdapat dalam teh, kopi dan beberapa jenis sayuran dan buah juga menghambat absorpsi besi dengan cara mengikatnya. Bila besi tubuh tidak terlalu tinggi sebaiknya tidak mengkonsumsi teh atau kopi dalam jangka waktu yang cukup lama (Sunita A, 2005).

Menurut Ari (2008), senyawa polifenol tersebar luas pada organ tanaman, yaitu terdapat pada daun, akar, bunga, buah, biji dan selalu terdapat bahan pangan nabati. Asam fenolat banyak terdapat pada tanaman yang digunakan sebagai pertahanan diri terhadap infeksi mikroba, predator dan parasit. Telah diketahui bahwa biji bunga matahari dan dedaunan mengandung asam fenolat tinggi.

Menurut Bambang (2004) zat tanin yang terkandung di dalam teh terbukti dapat menghambat penyerapan besi dalam usus. Oleh karena itu, jika ingin mengonsumsi teh, sebaiknya diberi jarak waktu sekitar 1 jam setelah mengonsumsi sayuran atau daging yang tinggi kandungan zat besinya. Langkah tersebut dimaksudkan agar zat besi dapat diserap terlebih dahulu oleh usus halus dan tidak terjadi tarik menarik antara zat besi dengan tanin yang akan menghambat penyerapan zat besi tersebut (Etisa, 2006).

(55)

Hal ini menyebabkan mineral dan protein tidak dapat diserap tubuh, atau nilai cernanya rendah. Oleh karena itu, asam fitat dianggap sebagai antinutrisi pada bahan pangan (Ari, 2008)

Peranan fitat dalam kesehatan yang dianggap positif adalah sebagai antioksidan dimana antioksidan dapat berfungsi menangkal adanya radikal bebas maupun senyawa non radikal yang dapat menimbulkan oksidasi pada biomolekuler seperti protein, karbohidrat, lipida, dam lain-lain. Disamping itu, diduga adanya inositol di dalam senyawa fitat dapat dijadikan sebagai sumber energi bagi atlet yang mengkonsumsi minuman suplemen kaya akan fitat. Akan tetapi, dampak negatif bagi kesehatan adalah kemampuannya mengikat mineral dan protein sehingga nilai kecernaannya dalam tubuh menjadi rendah (Purwanto, 2003).

Fitat banyak terdapat dalam gandum, dan biji-bijian lainnya. Meskipun jumlahnya sedikit fitat ternyata dapat mengurangi penyerapan zat besi (DeMaeyer, 1995).

(56)

kandungan seratnya masih tinggi. Hal ini juga akan menghambat penyerapan zat besi (Etisa, 2006).

2. Kecacingan

Anemia defisiensi besi dipengaruhi juga oleh konsekuensi dari infeksi kecacingan dengan hilangnya darah secara kronis. Penyakit kecacingan dan anemia gizi merupakan masalah yang saling terkait dan dijumpai bersamaan dalam suatu masyarakat, yaitu karena rendahnya sosial ekonomi masyarakat dan sanitasi lingkungan yang sangat tidak memadai sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi terutama infeksi kecacingan (Rasmaliah, 2004).

(57)

Telur cacing ditemukan pada tinja orang yang terinfeksi cacing tersebut. Dalam tanah yang lembab dan teduh cacing akan menetas setelah 1-2 hari tetapi pada tanah yang kurang baik, telur akan menetas setelah 3 minggu. Larva yang hidup akan masuk dalam tubuh manusia dengan menembus kulit dan masuk dalam jaringan bawah kulit dan akhirnya masuk dalam saluran getah bening dan pembuluh darah. Larva biasanyan mencapai paru pada hari ketiga sejak menembus kulit. Dalam paru larva ke luar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam alveolus, bronkus atau trakea dan bersama air ludah tertelan masuk dalam usus. Seekor cacing dewasa diperkirakan akan menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,03 ml/hari. Oleh karena itu gejala utama ancylostomiasis adalah anemia. Anemia yang terjadi adalah anemia defisiensi besi dan terkadang menunjukan tanda anemia megaloblastik. Anemia akan semakin jelas dan parah pada pasien yang dietnya kurang energi dan protein. Pada anak yang cukup makan protein, anemia yang terjadi tidak begitu berat. Protein dibuat untuk membentuk globin (fraksi hemoglobin) (Ngastiyah, 2005).

Selain cacing tambang (Ancylostoma Duonale), cacing yang dapat menyebabkan anemia adalah cacing Ascaris Lumbricoides (cacing gelang) dan

Trichuris Trichiura. Infeksi cacing Ascaris Lumbricoides relatif ringan karena

sering tidak nampak jelas gejala klinis sampai penderita mengeluarkan cacing ini bersama feses. Infeksi cacing Trichuris Trichiura biasanya terjadi akibat tanah yang terkontaminasi secara terus menerus oleh tinja manusia. Cacing Enterobius

Vermicularis merupakan cacing yang lebih banyak menginfeksi anak daripada

(58)

Anak yang terinfeksi akan menderita gangguan emosional, anoreksia, penurunan berat badan dan enuresis (Rampengan, 2008).

Untuk mengetahui banyaknya cacing tambang dalam usus dapat dilakukan dengan menghitung banyaknya telur cacing dalam tinja. Bila dalam tinja terdapat sekitar 2000 telur per gram tinja berarti terdapat 80 ekor cacing tambang dalam usus (Rasmaliah, 2004).

3. Infeksi

Penyakit infeksi masih merupakan masalah medis baik di negara berkembang maupun negara maju. Jika mekanisme pertahanan tubuh menurun dan penanganan infeksi kurang adekuat maka dapat berlanjut menjadi sepsis. Untuk mencegah terjadinya sepsis dan memberikan terapi pada penderita sepsis maupun yang sudah mengalami syok septik diperlukan pengetahuan tentang etiologi yang mencakup tentang mikroorganisme penyebab sepsis, patogenesis yang melibatkan berbagai bahan baik dari mikroorganisme sendiri seperti endotoksin/eksotoksin maupun mediator yang dihasilkan sel-sel tubuh (Eddy, 2002).

Penyakit infeksi banyak menyebabkan kematian pada anak. Penyakit ini disebabkan oleh kuman yang menyerang tubuh dan dapat ditularkan dari orang ke orang. Tubuh bisa melindungi diri dari kuman bila orang tersebut diimunisasi. Imunisasi berarti bahwa obat yang disebut vaksin disuntikan ke dalam tubuh atau ditelan (vaksin poliomielitis) untuk melindungi terhadap kemungkinan terhadap kemungkinan serangan dari kuman-kuman (WHO, 1995).

(59)

infeksi virus dan bakteri tinggi. Dalam masyarakat tersebut makanan yang sering dimakan mengandung sangat sedikit energi. Jika keseimbangan zat besi goyah, infeksi yang berulang dapat menyebabkan terjadinya anemia terutama pada balita yang tingkat kesakitannya lebih besar daripada orang dewasa (DeMaeyer, 1995).

WHO menyatakan, dari setiap 10 balita yang meninggal di dunia, tujuh di antaranya karena serangan penyakit infeksi. Tercatat, ada empat jenis penyakit infeksi yang digolongkan sebagai pembunuh berdarah dingin pada balita. Penyakit itu adalah difteri, pertusis, tetanus, dan hepatitis (khususnya hepatitis B), namun Dr Srikusumo menambahkan tiga penyakit infeksi lagi yang perlu diwaspadai menyebabkan kematian pada balita. Penyakit infeksi itu adalah tuberkolusis, polio dan campak (PD Persi, 2001).

(60)

Menurut Arisman (2004), tindakan yang penting dilakukan sebagai pengawasan penyakit infeksi adalah upaya pencegahan seperti penyediaan air bersih, perbaikan sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan. Mencuci tangan merupakan salah satu cara mencegah terjadinya kecacingan pada balita (Adi Sasongko, 2003).

3.2.4 Akibat Anemia Defisiensi Besi Pada Balita

Dampak yang ditimbulkan anemia gizi pada anak adalah kesakitan dan kematian meningkat, pertumbuhan fisik sehingga tidak dapat mencapai tinggi yang optimal, perkembangan otak, motorik, mental dan kecerdasan terhambat, daya tangkap belajar menurun, pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun serta interaksi sosial kurang (Depkes RI, 2005).

Arlinda (2004) mengelompokan dampak anemia defisiensi besi menjadi: 1. Terhadap Kekebalan Tubuh

Kekurangan zat besi dalam tubuh dapat lebih meningkatkan kerawanan terhadap penyakit infeksi. Seseorang yang menderita defisiensi besi (terutama balita) lebih mudah terserang mikroorganisme, karena kekurangan zat besi berhubungan erat dengan kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme kekebalan tubuh yang penting untuk menahan masuknya penyakit infeksi.

2. Imunitas Humoral

(61)

3. Imunitas sel mediated

Terdapat reduksi yang nyata jumlah sel T pada anak yang menderita defisiensi besi sesudah pemberian suplemen besi.

4. Fagositosis

defisiensi zat besi dapat mengganggu sintesa asam nukleat mekanisme seluler yang membutuhkan metaloenzim yang mengandung Fe. Anak yang menderita defisiensi besi menyebabkan limfosit T menurun dan keadaan ini dapat diperbaiki dengan suplementasi besi.

5. Terhadap Kemampuan Intelektual

Defisiensi besi mempengaruhi pemusnahan, perhatian, kecerdasan dan prestasi belajar anak.

3.2.5 Metode Penentuan Status Anemia

Penilaian status gizi yang baik dapat diperoleh dengan menggunakan beberapa indikator secara bersamaan. Temuan dua atau lebih nilai yang tidak normal mencerminkan adanya gangguan pada status besi (Arisman, 2004).

IDN Supariasa (2002), penentuan status anemia dapat dilakukan dengan metode: 1. Metode Sahli

Pada metode sahli, hemoglobin dihidrolisis dengan HCl menjadi globin

ferroheme. Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi

ferriheme yang segera bereaksi dengan ion HCl membentuk ferrihemechlorid

(62)

Meskipun demikian untuk pemeriksaan di daerah yang belum mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode sahli masih memadai dan bila pemeriksanya sudah terlatih hasilnya dapat diandalkan.

2. Metode Cyanmethemoglobin

Metode Cyanmethemoglobin merupakan metode yang lebih canggih bila dibandingkan dengan metode sahli. Pada metode ini hemoglobin dioksidasi oleh

kalium ferrosianida menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion

(63)

BAB IV

KERANGKA KONSEPTUAL

4.1 Kerangka Konseptual

`

Karakteristik balita: Umur dan jenis kelamin

Karakteristik keluarga: 1. Umur (ibu)

2. Tingkat pendidikan (ibu) 3. Pekerjaan (ibu)

4. Tingkat pengetahuan gizi (ibu) 5. Jumlah pendapatan keluarga 6. Jumlah anggota keluarga

Pola konsumsi:

1.Frekuensi pemberian makanan 2.Jenis makanan yang diberikan 3.Jumlah makanan yang diberikan

Tingkat konsumsi zat gizi: energi, protein, lemak, vitamin A, vitamin C, Zink, Fe, I.

Tingkat konsumsi zat gizi: energi, protein, vit C dan Fe

: tidak diteliti

Parasit Status Kecacingan

Malaria

Gangguan absorbsi Tingkat

konsumsi zat non gizi: tanin, pitat dan oksalat

Gambar

Gambar 4.1 Kerangka Konseptual Faktor Yang Mempengaruhi Status
Gambar 5.1  Kerangka Operasional Faktor Yang Mempengaruhi Status Anemia Pada Balita Status Gizi Rendah
Tabel 5.1 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran
tabel silang. Data-data yang diperoleh disajikan dengan metode statistik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kematangan emosi pada wanita dewasa

Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2) ini dicirikan oleh pola refleksi seismik onlap pada puncak sedimen Miosen Awal yang merupakan bidang

Orang-orang berkelompok dan kekerja sama dalam suatu organisasi untuk mencapai satu tujuan organisasi berbekal pengetahuan, tujuan, problem dan keyakinan berbeda yang

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 13 (Tahun 1994) untuk investasi dinyatakan agak berbeda dengan perusahaan, karena investasi yang dilakukan

Saat bronkoskopi berlangsung banyaknya sekret dahak dinilai menjadi 3 derajat, yaitu derajat 1: hampir tidak ada sekret dahak; derajat 2: memerlukan larutan garam fisiologis

pengembangan pada Kampung Pesindon. Pada tahun 2011, Kampung Pesindon ditetapkan menjadi salah satu destinasi wisata batik di Kota Pekalongan yang mengalami perubahan

&#34;Kata kegiatan bisa mempunyai arti melaksanakan sesuatu, mengeJjakan sesuatu. Sedangkan kata keagamaan berkaitan dengan nilai-nilai atau hal-hal yang sangat penting dan

Figure 3.18 Pie chart of hypothesis 1 - Mitha Tours and Travel need to have web- based reservation and sales support