Sekuen Pengendapan Sedimen Miosen Tengah
Kawasan Selat Madura
PURNA SULASTYA
PUTRA
a aPusat Penelitian Geoteknologi, LIPI, Jl. Sangkuriang Bandung 40135
______________________________________________________________________________________________________________________________ ABSTRACT Penelitian sekuen pengendapan sedimen telah dilakukan di kawasan Selat Madura. Daerah penelitian termasuk dalam Cekungan belakang busur Jawa Timur Utara. Penelitian difokuskan pada sedimen Miosen Tengah yang merupakan reservoar utama di cekungan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui runtunan stratigrafi sikuen dan penyebaran system tract-nya yang selanjutnya diaplikasikan untuk mengetahui daerah yang potensial menjadi pemerangkap hidrokarbon. Berdasarkan hasil analisis stratigrafi sikuen dengan menggunakan 18 lintasan seismik dan 2 data sumuran, daerah penelitian terbagi menjadi lima runtunan pengendapan yaitu Sikuen Miosen Tengah – 1 (Sikuen MT – 1) yang terdiri dari Lowstand System Tract Miosen Tengah – 1 (LST MT – 1), Transgressive System Tract Miosen Tengah – 1 (TST MT -1) dan Highstand System Tract Miosen Tengah – 1 (HST MT – 1); Sikuen Miosen Tengah – 2 (Sikuen MT – 2) yang terdiri dari TST MT –2 dan HST MT – 2; Sikuen Miosen Tengah – 3 (Sikuen MT – 3) yang terdiri dari LST MT – 3, TST MT –3 HST MT – 3; Sikuen Miosen Tengah – 4 (Sikuen MT – 4) yang terdiri dari LST MT – 4, TST MT – 4 dan HST MT – 4; dan Sikuen Miosen Tengah – 5 (Sikuen MT – 5) yang terdiri dari TST MT – 5 dan HST MT – 5. Prospek pemerangkapan hidrokarbon di daerah penelitian dijumpai di beberapa bagian. Prospek pemerangkapan hidrokarbon pada endapan LST MT – 3 berupa perangkap antiklin. Prospek pemerangkapan hidrokarbon pada endapan LST MT – 4 yaitu perangkap struktur berupa antiklin dan perangkap stratigrafi berupa pembajian endapan LST MT – 4 sebagai reservoar pada tinggian Miosen Awal. Prospek pemerangkapan hidrokabon pada HST MT – 2 berupa perangkap antiklin. Prospek pemerangkapan hidrokarbon pada HST MT – 3 dan HST MT – 4 berupa perangkap antiklin di dua daerah dan pada endapan HST MT – 5 prospek pemerangkapan hidrokaron juga berupa struktur antiklin
Kata Kunci: Sekuen pengendapan, Miosen Tengah, Selat Madura
__________________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Aplikasi konsep stratigrafi sikuen sangat membantu untuk eksplorasi hidrokarbon karena stratigrafi sikuen merupakan alat untuk menganalisis pengisian cekungan oleh sedimen hasil interaksi perubahan muka air laut, tektonik dan suplai sedimen. Stratigrafi sekuen dapat digunakan untuk memahami hubungan pola sedimentasi di beberapa bagian cekungan, sehingga dapat digunakan untuk menentukan atau memprediksi lokasi reservoir dan perangkapnya yang terdapat dalam kawasan Selat Madura, Cekungan Jawa Timur Utara khususnya yang meliputi sedimen – sedimen Miosen Tengah sebagai target eksplorasi utama di Cekungan Jawa Timur Utama. Pemahaman runtunan stratigrafi dan penyebaran system tract mutlak dilakukan untuk mengetahui dan memahami penyebaran reservoar dan potensi pemerangkapan hidrokarbonnya.
Sebagai salah satu tujuan eksplorasi hidrokarbon utama di Indonesia, sedimen Miosen Tengah Cekungan Jawa Timur Utara telah banyak diteliti. Namun penelitian – penelitian tersebut masih terfokus di onshore. Penelitian sekuen stratigrafi pada sedimen – sedimen Miosen Tengah di lepas pantai Cekungan Jawa Timur Utara belum banyak dilakukan . Maksud dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui daerah yang potensial untuk pemerangkapan hidrokarbon. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebaran system tract dan runtunan stratigrafi sikuen secara lateral dan vertikal yang merupakan hasil dari interaksi perubahan muka air laut, tektonik dan suplai sedimen.
DAERAH PENELITIAN
Geologi RegionalSecara geografis daerah penelitian berada di Kawasan Selat Madura. Secara geologis daerah ini adalah cekungan busur – belakang (back arc basin) dari Cekungan Jawa Timur Utara, yang merupakan pada tepi benua Sunda yang stabil (Darman & Sidi, 2000). Yulihanto et al. (1995) menyebutkan bahwa Cekungan Jawa Timur Utara secara umum dibentuk oleh beberapa elemen struktur utama dari selatan ke utara yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang Selatan dan Randublatung, dan Zona Rembang Utara dan madura Utara. Zona Kendeng memanjang dengan arah Timur – Barat, terutama dicirikan oleh struktur lipatan, sesar normal maupun anjak. Zona Rembang Selatan dan Randublatung, dicirikan pola oleh struktur berarah Timur – Barat dan terutama dicirikan oleh lipatan dan struktur kubah yang berasosiasi dengan struktur sesar. Zona Rembang Utara dan Madura Utara, dicirikan oleh struktur antiklinorium yang terangkat dan tererosi pada Plio–Pleistosen, berasosiasi dengan sistem sesar mendatar mengiri berarah timurlaut – baratdaya yang menerus ke kawasan Kalimantan Selatan. Di daerah lepas pantai didominasi oleh pola struktur berarah timurlaut – baratdaya yang membentuk pola struktur tinggian dan rendahan atau cekungan.
Perkembangan fase tektonik yang berkembang di Cekungan belakang busur Jawa Timur tidak bisa lepas dari aktivitas penunjaman lempeng Australia di bawah lempeng Benua Asia yang menghasilkan busur magmatik. Arah jalur penunjaman tersebut senantiasa berubah di sepanjang waktu geologi (Hamilton, 1979). Kingston (1990 dalam Lemigas, 2003), menyebutkan bahwa posisi jalur penunjaman akan searah dengan jalur magmatis yang dihasilkannya, dan membentuk pola orientasi struktur yang searah pula. Adanya dua pola arah umum struktur geologi di Cekungan Jawa Timur Utara yaitu baratdaya – timurlaut dan barat – timur (Pulunggono & Soejono (1994) dalam Purwanto et al. (1997); Manur & Barraclough (1994); Yulihanto et al. (1995)) tidak lepas dari perubahan posisi dan arah jalur penunjaman tersebut. Pola arah umum baratdaya – timurlaut diperkirakan merupakan hasil penunjaman pada zaman Kapur yang menghasilkan jalur magmatis di daerah Peg. Meratus, Karangsambung dan Ciletuh yang berumur Kapur (Martodjojo et al. (1990)
dalam Lemigas (2003)). Arah umum barat – timur searah dengan busur magmatik old andesit
formation di daerah Kulon Progo sampai volcanic arch Besole (Formasi Besole) di pantai selatan Jawa Timur, terbentuk pada kala Oligosen – Miosen Awal (Lemigas, 2003). Dengan dijumpainya busur magmatik tersebut diperkirakan penunjaman lempeng Australia di bawah lempang Benua Asia telah berubah menjadi arah barat – timur (Lemigas, 2003). Dengan adanya pergeseran busur magmatik lebih ke utara yaitu dibuktikan oleh keberadaan jalur gunung api resen, maka pola orientasi struktur barat – timur ini semakin dominan. Fase tektonik yang kuat yaitu tektonik inverse, terjadi pada kala Miosen Tengah dan dilanjutkan pada kala Plio–Pleistosen. Fase tektonik ini dicirikan oleh lipatan – lipatan yang kuat diikuti dengan perkembangan sesar naik berarah barat – timur. (Lemigas, 2003).
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah berupa struktur lipatan dan sesar mendatar mengiri yang dimanifestasikan sebagai struktur bunga (flower structure) dengan arah relatif barat – timur (B – T) dan timurlaut – baratdaya (TL – BD). Struktur lipatan dan sesar mendatar tersebut diinterpretasikan sebagai hasil dari fase tektonik compressional wrenching Miosen Tengah (Lemigas 2003). Fase tektonik ini menghasilkan struktur lipatan yang kemudian diikuti dengan berkembangnya sesar geser berarah barat – timur (B – T) dan timurlaut – baratdaya (TL – BD).
Perkembangan secara vertikal dari sesar geser tersebut membentuk flower structure dan menyebabkan pengangkatan di bagian utara dan selatan daerah penelitian membentuk tinggian. Daerah tinggian di sebelah utara dan selatan ini akan menjadi sumber material di cekungan di tengahnya. Akibat pergeseran dua sesar tersebut, di bagian tengah terbentuk terban yang merupakan sebuah cekungan.
Aktivitas tektonik tersebut masih berlangsung setelah pengendapan sedimen Miosen Tengah dicirikan dengan ikut terlipat dan tersesarkannya sedimen Miosen Tengah. Aktifitas sesar geser juga mengakibatkan teraktifkannya sesar – sesar yang terentuk sebelumnya dan di beberapa tempat aktivitasnya mengontrol proses pengendapan sedimen Miosen Tengah ini. Perkembangan sesar berstruktur bunga ini terjadi bersamaan dengan pengendapan sedimen Miosen Tengah. Pada kondisi demikian, ruang akomodasi untuk pengendapan sedimen semakin bertambah dan sedimen yang diendapkan menjadi semakin tebal di sekitar sesar ini. Struktur geologi berarah relatif barat – timur (B – T) tersebut akan mempengaruhi pola penyebaran endapan sedimen Miosen Tengah yang akan mengikuti pola barat – timur dari pola struktur.
Struktur lipatan berkembang di bagian barat daerah penelitian dengan arah relatif barat – timur (B – T). Sesar geser yang secara vertikal memperlihatkan flower structure berkembang di bagian baratdaya (BD), baratlaut (BL), timurlaut (TL), daerah penelitian. Struktur sesar ini tidak berkembang dengan baik di bagian tenggara maupun tengah daerah penelitian.
Fase tektonik di Cekungan belakang busur Jawa Timur dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase tarikan (extensional) dan fase tekanan (compressional). Secara regional paling tidak telah terjadi empat fase tektonik (Lemigas, 2003) yaitu fase tekanan Kapur, fase tarikan (rifting) Paleogen, fase
compressional wrenching Neogen/Miosen Tengah dan fase compressional inversian pasca Neogen. Fase Compressional Kapur merupakan fase tektonik awal yang terjadi pasca pembentukan jalur magmatik Meratus – Karangsambung \ Ciletuh. Fase tektonik ini membentuk kelurusan struktur berarah timurlaut – baratdaya.
Fase Extensional / Rifting Paleogen disebabkan oleh tektonik regangan (extension) yang mengakibatkan daerah penelitian mengalami proses rifting, menghasilkan sesar – sesar normal. Sesar-sesar normal ini merupakan perkembangan dari sesar – sesar geser yang terbentuk sebelumnya dengan arah timurlaut – baratdaya (arah sesar geser), yang kemudian membentuk ridge maupun trough (Florence Ridge, Bawean Ridge, Pati Trough, North Tuban Trough dsb.)
Fase Compressional Wrenching Neogen (Miosen Tengah) dicirikan dengan pembentukan struktur en echelon fold (penjajaran bersusun lipatan – lipatan) yang dikontrol oleh tektonik wrenching yang menghasilkan sesar – sesar geser (wrench fault) berarah baratdaya – timurlaut dan barat – timur. Secara vertikal sesar geser tersebut berkembang menjadi flower structure.
Fase Compressional Inversion Pasca Neogen (Plio – Pleistosen) menghasilkan struktur lipatan dan sesar naik berarah barat – timur serta sesar geser / turun berarah timurlaut –baratdaya dan baratlaut – tenggara. Struktur sesar ini merupakan hasil reaktifasi dari produk gaya utama utara – selatan yang membalikkan (inversi) sedimen – sedimen yang telah terlipatkan sehingga membentuk sesar naik pada puncak lipatan.
Gambar 1. Evolusi tektonik Cekungan Jawa Timur Utara (Lemigas, 2003).
Sratigrafi Regional Selat Madura
Menurut Kusumastuti et al. (1999), secara regional stratigrafi di Cekungan Jawa Timur Utara bisa dibagi menjadi tiga sikuen utama, yaitu Sikuen Eosen – Oligosen Awal, Sikuen Oligosen Akhir – Miosen dan Sikuen Plio – Pleistosen. (Gambar 2.) Sikuen Eosen – Oligosen Awal berasosiasi dengan pemekaran awal Cekungan Jawa Timur Utara dan terdiri dari sedimen – sedimen klsatika dan karbonat dari Formasi Ngimbang. Sedimen klastika Eosen diendapkan di lingkungan fluvial – aluvial dengan kondisi lakustrin lokal dan diyakini mengandung batuan induk utama untuk pembentukan hidrokarbon di Cekungan Jawa Timur Utara.
Sikuen Oligosen Akhir – Miosen dipisahkan dari sikuen sebelumnya oleh ketidakselarasan regional yang menutupi sikuen di bawahnya dengan orientasi arah ENE - WSW. Platform karbonat dari Formasi Prupuh terbentuk selama Oligosen Akhir dan kemudian diikuti oleh pertumbuhan batugamping terumbu selama Miosen Awal. Selama akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir pemasukan sedimen klastik baik dari arah utara dan selatan dari cekungan menyebabkan terhentinya pengendapan karbonat. Endapan volkaniklastik menutupi setengah bagian selatan dari cekungan kearah selatan dari utara Selat Madura saat ini. Batuan volkaniklastik tersebut didominasi oleh batuan hasil erosi dari “Old Andesite Formation”. Di area Cepu – Tuban, di sepanjang pantai utara, sedimen klastik berasal dari erosi batuan granit dan menghasilkan endapan batupasir dari Formasi Ngrayong.
Sikuen Plio – Pleistosen secara tidak selaras terendapkan di atas sikuen Oligosen Akhir – Miosen. Secara lokal, ketidakselarasan mengerosi sikuen Miosen Tengah dan Miosen Akhir. Pengendapan sikuen ini dimulai di bagian timur dengan pengendapan batugamping Formasi Paciran dan napal Formasi Kalibeng di bagian barat. Formasi Paciran terdiri atas batugamping pelagik kaya akan globigerina semakin meningkat ke arah barat menjadi napal Formasi Kalibeng.
Setelah pengendapan Formasi Paciran dan Kalibeng, terjadi pengendapan secara cepat dari sedimen – sedimen yang secara progradasi membaji ke arah timur laut sebagai Formasi Pucangan dan Lidah. Formasi Pucangan terdiri dari sedimen – sedimen volkaniklastik. Secara umum sedimen volkaniklastik tersebut diendapkan dari arah baratdaya. Formasi Lidah didominasi dari serpih laut dan terdapat juga batugamping yang berupa hasil rombakan batugamping yang lebih tua.
Pada akhir Plio – Pleistosen hingga Resen, endapan yang terendapkan adalah endapan darat (non marine) selama pengendapan Formasi Kabuh dan Formasi Notopuro.
METODE
Penelitian dilakukan dengan menggunakan 18 data lintasan seismik (Gambar 3) dan dua buah data sumur yang sudah disediakan oleh Lemigas (Gambar 3). Pada data log sumur dilakukan analisis sekuen dengan batas sekuen diinterpretasikan berdasar perubahan pola log. Data seismik digunakan untuk menentukan batas atas dan bawah horizon Miosen Tengah, batas sekuen (sequence boundary), serta pembagian system tract setelah hasil analisis sekuen dari log sumur diikatkan.
Langkah selanjutnya adalah membuat peta bawah permukaan yang berupa peta puncak struktur dan peta isokron masing–masing system tract, sehingga didapatkan gambaran penyebaran
system tract. Sebaran system tract ini digunakan dalam mengetahui runtunan stratigrafi sikuen dan diaplikasikan untuk penentuan daerah yang berpotensi sebagai pemerangkap hidrokarbon. Peta puncak struktur diperlukan untuk mengetahui penyebaran daerah tinggian dan rendahan, termasuk pola tinggian – rendahan base sedimen Miosen Tengah yang secara langsung akan mempengaruhi penyebaran sedimen Miosen Tengah. Topografi base cekungan Miosen Tengah hasil tektonik awal Miosen Tengah akan mempengaruhi pola penyebaran sedimen – sedimen yang terendapkan setelahnya.
HASIL PENELITIAN & DISKUSI
Bagian bawah dari runtunan sikuen pengendapan Miosen Tengah ini adalah bidang ketidakselarasan yang merupakan puncak dari sedimen Miosen Awal. Bidang ketidakselarasan ini diperkirakan terjadi karena penurunan muka air laut yang lebih cepat dibandingkan dengan penurunan dasar cekungan, hal ini berhubungan dengan Fase Kompresi Miosen Tengah yang menurut Muin (1985), dalam Djuhaeni (1997), menyebabkan perubahan fasies dari transgresi menjadi regresi yang menyebabkan ketidakselarasan secara regional. Bidang ini dikenali pada penampang seismik yaitu berupa pola
refleksi seismik truncation yang terletak di bawah bidang ketidakselarasan ini. Bidang
ketidakselarasan ini juga dikenali berupa pola refleksi seismik onlap yaitu terminasi strata yang lebih muda keatas kemiringan pada strata lebih tua yang kedudukan mulanya miring yang merupakan bidang ketidakselarasan tersebut.
Bagian atas dari endapan sedimen Miosen Tengah juga merupakan bidang ketidakselarasan. Pada penampang seismik dikenali adanya pola truncation sedimen Miosen Tengah yang terletak di bawah bidang ketidakselarasan ini. Di atas bidang ketidakselarasan yang merupakan puncak sedimen Miosen Tengah ini terdapat pola refleksi seismik onlap endapan – endapan Miosen Akhir. Pola refleksi onlap secara regional menunjukkan adanya suatu bidang ketidakselarasan.
Sekuen Miosen Tengah – 1 (Sikuen MT – 2)
Sikuen Miosen Tengah – 1 memiliki penyebaran yang sangat terbatas. Sikuen MT – 1 merupakan runtunan pengendapan yang terdiri dari Lowstand System Tract Miosen Tengah – 1 (LST MT – 1), Transgressive System Tract Miosen Tengah – 1 (TST MT – 1) dan Highstand System Tract
Miosen Tengah – 1(HST MT – 1). Sikuen ini hanya teramati pada satu lintasan seismik yaitu lintasan Sy – 52 – 01. Pada lintasan seismik Sy – 52 – 01 terdapat sumur AAP – 1. Penyebaran endapan Sikuen Miosen Tengah – 1 (Sikuen MT – 1) ini hanya terbatas di sekitar sumur AAP – 1. Ke arah lateral endapan sikuen ini langsung pinchout dan menghilang di atas bidang ketidakselarasan yang merupakan puncak sedimen Miosen Awal (Gambar 4).
Sikuen Miosen Tengah – 2 (Sikuen MT – 2)
Sikuen Miosen Tengah – 2 (Sekuen MT – 2) tersusun oleh Transgressive System Tract
Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2) dan Highstand System Tract Miosen Tengah – 2 (HST MT – 2). Turunnya muka air laut setelah terbentuknya endapan Highstand System Tract Miosen Tengah – 1 (HST MT – 1) menyebabkan tebentuknya endapan lowstand system tract namun di daerah telitian tidak berkembang endapan lowstand system tract Miosen Tengah – 2. Sekuen ini menempati bagian baratlaut daerah telitian yang berupa daerah rendahan.
Transgressive System Tract Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2)
Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2) ini berkembang di
bagian baratlaut (BL) daerah telitian. Sebagian besar endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2) ini terendapkan di atas bidang ketidakselarasan yang merupakan puncak sedimen Miosen Awal. Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2) ini dicirikan oleh pola refleksi seismik onlap pada puncak sedimen Miosen Awal yang merupakan bidang ketidakselarasan.
Gambar 5.Pola refleksi seismik downlap ke selatan pada lintasan Sy – 52 – 01.
Struktur geologi yang berkembang pada endapan ini adalah struktur lipatan dan sesar berstruktur bunga (flower structure). Pola refleksi seismik yang downlap ke arah selatan menunjukkan arah suplai material relatif berasal dari arah utara. (Gambar 5).
Highstand System Tract Miosen Tengah – 2 (HST MT – 2)
Highstand System Tract Miosen Tengah – 2 (HST MT – 2) terendapkan secara selaras di atas endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2). Endapan Highstand System Tract Miosen Tengah – 2 (HST MT – 2) ini terendapan saat kenaikan muka air laut relatif mendekati posisi maksimumnya sehingga memungkinkan untuk tersedianya suplai sedimen yang cukup untuk progradasi dan downlap ke atas permukaan di bawahnya yang merupakan permukaan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 2 (TST MT – 2).
Penyebaran endapan Highstand System Tract Miosen Tengah – 2 (HST MT – 2) ini tedapat
di bagian baratlaut (BL) dari daerah telitian (Gambar 5). Arah suplai material diinterpretasikan berasal dari arah utara, ditunjukkan oleh adanya refleksi seismik yang downlap ke arah selatan.
Sikuen Miosen Tengah – 3 (Sikuen MT – 3)
Sikuen Miosen Tengah – 3 (Sekuen MT – 3) juga merupakan runtunan pengendapan yang terdiri dari urutan tiga system tract yaitu Lowstand System Tract Miosen Tengah – 3 (LST MT – 3),
Transgressive System Tract Miosen Tengah – 3 (TST MT – 3) dan Highstand System Tract Miosen Tengah – 1(HST MT – 3). Sikuen Miosen Tengah – 3 ini memiliki penyebaran yang bersifat setempat – setempat saja. Endapan Sikuen Miosen Tengah – 3 ini berkembang di dua tempat yaitu di bagian baratlaut (BL) dan di bagian timurlaut daerah telitian dan menempati daerah rendahan.
Lowstand System Tract Miosen Tengah – 3 (LST MT – 3)
Endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 3 (LST MT – 3) yang berkembang di
bagian baratlaut daerah telitian terendapkan di atas endapan Highstand System Tract Miosen Tengah – 2 (HST MT – 2). Setelah terendapkan HST MT – 2 terjadi penurunan secara cepat muka air laut relatif dari level highstandsystem tract Miosen Tengah – 2 sehingga terjadi erosi pada daerah paparan yang merupakan tinggian. Endapan ini dicirikan oleh pola refleksi seismik downlap (Gambar 5), diinterpretasikan endapan ini adalah merupakan endapan lowstandslope fan yang merupakan endapan turbidit dan aliran debris pada bagian tengah dan dasar lereng, yang terbentuk akibat penurunan muka air laut relatif yang konstan.
Arah suplai material dari endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 3 (LST MT – 3) yang berkembang di bagian baratlaut daerah telitian diperkirakan berasal dari arah utara yang merupakan daerah tinggian. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pola refleksi seismik yang downlap ke arah selatan seperti yang nampak pada lintasan seismik Sy – 52 – 01(Gambar 5).
Endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 3 (LST MT – 3) yang berkembang di
bagian timurlaut (TL) daerah telitian terendapkan secara langsung di atas bidang ketidakselarasan yang merupakan puncak sedimen Miosen Awal. Sedimen Miosen Awal pada bagian timurlaut (TL) ini merupakan daerah tinggian meskipun tertutup air laut. Endapan ini dicirikan oleh pola refleksi seismik downlap ke dua arah. Endapan ini diinterpretasikan merupakan endapan lowstand basin flour fan yang berkembang di dasar cekungan.
Transgressive System Tract Miosen Tengah – 3 (TST MT – 3)
Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 3 (TST MT – 3) ini terendapkan
secara selaras di atas endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 3 (LST MT – 3), meskipun ke arah selatan dan timur endapan ini terendapkan di atas puncak sedimen Miosen Awal, berkembang di bagian baratlaut (BL) dan timurlaut (TL) daerah telitian. (Gambar 5). Pada penampang seismik endapan ini dicirikan oleh pola refleksi seismik subparalel dan onlap ke endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 3 (LST MT – 3) (Gambar 5). Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 3 (TST MT – 3) ini terendapkan pada saat kenaikan muka air laut relatif setelah fase
Lowstand System Tract Miosen Tengah – 3 (LST MT – 3) berakhir. Pola refleksi seismik downlap ke arah selatan menunjukkan suplai material berasal dari arah utara.
Highstand System Tract Miosen Tengah – 3 (HST MT – 3)
Endapan Highstand System Tract Miosen Tengah – 3 (HST MT – 3) ini terendapkan di atas
endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 3 (TST MT – 3). Pada penampang seismik dicirikan oleh pola refleksi sigmoid yang menunjukkan terjadinya cukup suplai sedimen untuk progradasi dan downlap ke permukaan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 3 (TST MT – 3) di bawahnya. Arah suplai sedimen diperkirakan berasal dari arah utara, diperlihatkan oleh pola refleksi seismik progradasi ke arah selatan.
Sikuen Miosen Tengah – 4 (Sekuen MT – 4)
Sikuen Miosen Tengah – 4 ini merupakan runtunan pengendapan yang terdiri dari Lowstand System Tract Miosen Tengah – 4 (LST MT – 4), Transgressive System Tract Miosen Tengah – 4 (TST MT – 4) dan Highstand System Tract Miosen Tengah – 4(HST MT – 4). Sikuen Miosen Tengah – 4 ini mempunyai pelamparan yang paling luas dan hampir seluruh daerah telitian tertutupi oleh endapan sikuen ini. Sebagian besar endapan Sikuen Miosen Tengah – 4 terutama yang berkembang di bagian selatan daerah telitian terendapkan secara langsung di atas bidang ketidakselarasan yang merupakan
puncak sedimen Miosen Awal. Perkembangan endapan Sikuen Miosen Tengah – 4 ini di beberapa bagian juga tidak lepas dari perkembangan secara vertikal dari flower structure yang menyebabkan terbentuknya daerah tinggian sebagai sumber material endapan sikuen ini.
Lowstand System Tract Miosen Tengah – 4 (LST MT – 4)
Endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 4 (LST MT – 4) mempunyai pelamparan
yang luas dibandingkan endapan system tract sebelumnya namun tidak seluruh daerah telitian tertutupi oleh endapan ini. Sebagian besar terendapkan di atas batas sekuen yang merupakan puncak
sedimen Miosen Awal. Berkembangnya pengendapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 4
(LST MT – 4) ini diinterpretasikan sebagai akibat cepatnya penurunan dasar cekungan sehubungan dengan aktifnya sistem sesar tarik yang mengontrol pembentukan cekungan Miosen Tengah. Aktifnya sesar tarik tersebut diperkirakan menghasilkan sesar – sesar normal yang merupakan perkembangan dari sesar – sesar geser dengan arah relatif baratdaya – timurlaut (BD – TL). Perkembangan sesar – sesar geser ini secara vertikal membentuk flower structure. Hal ini terlihat jelas pada bagian baratdaya (BD) daerah telitian dimana sesar berstruktur bunga tersebut sangat berkembang dan mempengaruhi
pengendapan dari endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 4 (LST MT – 4) ini, yang
menghasilkan endapan lowstand system tract yang semakin tebal(Gambar 6).
Gambar 6. Pola refleksi seismik humocky pada LST MT – 4, downlap ke selatan pada HST MT – 3 dan subparalel pada TST MT – 3.
Gambar 7. Penyebaran endapan LST MT – 4.
Endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 4 (LST MT – 4) ini terendapkan menjadi
lima bagian yang terpisah. Bagian pertama adalah endapan LST MT – 4 yang berkembang di bagian baratdaya (BD) daerah telitian. Endapan LST MT – 4 ini dicirikan oleh pola refleksi seismik
hummocky (Gambar 7). Endapan LST MT – 4 ini diinterpretasikan merupakan endapan lowstand slope fan, berupa endapan turbidit dan aliran debris yang berkembang di bagian lereng cekungan. Ke arah timurlaut (TL) endapan ini merupakan endapan lowstand basin flour fan, yang berkembang di bagian dasar cekungan yang merupakan daerah rendahan. Endapan LST MT – 4 yang berkembang di bagian ini perkembangannya dikontrol oleh adanya akitifitas sesar geser yang menyebabkan terjadinya penebalan karena bertambahnya ruang akomodasi dan bersamaan dengan itu terendapkan material – material hasil erosi menjadi endapan LST MT – 4 ini.
Endapan LST MT – 4 yang kedua adalah endapan lowstand yang berkembang di bagian
tenggara daerah telitian. Endapan LST MT – 4 di bagian ini secara langsung diendapkan di atas sedimen Miosen Awal. Endapan LST MT – 4 ini dicirikan oleh pola refleksi seismik hummocky dan
downlap ke arah utara. Endapan LST MT – 4 ini diinterpretasikan merupakan endapan lowstand slope fan, yaitu berupa endapan turbidit dan aliran debris yang berkembang di bagian lereng cekungan. Arah suplai material diperkirakan berasal dari arah selatan dan atau baratdaya yang merupakan daerah tinggian Pulau Jawa.
Endapan LST MT – 4 yang ketiga adalah endapan lowstand yang berkembang di bagian
timurlaut (TL) daerah telitian. Endapan ini memiliki penyebaran yang cukup luas, lebih luas daripada endapan LST MT – 4 yang berkembang di bagian baratdaya (BD) dengan arah penyebaran relatif berarah Barat – timur (B – T) (Gambar 7). Endapan ini dicirikan oleh refleksi seismik hummocky
diinterpretasikan merupakan endapan lowstand slope fan. Pengaruh struktur terhadap perkembangan endapan ini sangat intens, yaitu adanya penebalan endapan akibat berkembangnya flower structure.
Endapan LST MT – 4 yang keempat adalah endapan lowstand yang berkembang di bagian baratlaut (BL) daerah telitian. Endapan ini penyebarannya relatif lebih terbatas di bandingkan endapan LST MT – 4 yang lainnya (Gambar 7). Pola penyebaran endapan ini relatif berarah baratlaut – tengara (BL – TG). Seperti halnya endapan LST MT – 4 yang di bahas sebelumnya, endapan ini merupakan endapan lowstand slope fan.
Endapan LST MT – 4 yang kelima adalah endapan lowstand yang berkembang di bagian
barat daerah telitian. Endapan ini diinterpretasikan merupakan endapan lowstand basin flour fan
karena berkembang di bagian dasar cekungan. Karena keterbatasan data, pola penyebaran endapan ini tidak diketahui, demikian juga dengan arah suplai materialnya.
Transgressive System Tract Miosen Tengah – 4 (TST MT – 4)
Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 4 (TST MT – 4) ini mempunyai
penyebaran yang paling luas daripada endapan system tract lainnya dengan pola penyebaran berarah barat – timur (B – T) (Gambar 7). Endapan ini terbentuk setelah fase susut laut yang menghasilkan endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 4 (LST MT – 4), ketika terjadi naiknya muka air laut relatif dengan kecepatan semakin meningkat, sehingga menambah pembentukan ruang akomodasi baru. Pada penampang seismik, endapan ini dicirikan oleh pola refleksi seismik subparalel dan onlap
pada puncak sedimen di bawahnya (Gambar 8).
Arah suplai material dari endapan ini diperkirakan berasal dari arah selatan dan utara. Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 4 (TST MT – 4) yang berkembang di bagian selatan arah suplai material diperkirakan berasal dari arah selatan, hal ini dilihat dari pola refleksi seismik yang downlap ke arah utara. Endapan TST MT – 4 yang berkembang di utara arah suplai material diperkirakan dari arah utara, hal ini dilihat dari pola refleksi seismik yang downlap ke arah selatan.
Highstand System Tract Miosen Tengah – 4 (HST MT – 4)
Endapan Highstand System Tract Miosen Tengah – 4 (HST MT – 4) ini mempunyai
pelamparan yang lebih terbatas dibandingkan endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 4 (TST MT – 4) dengan pola penyebaran berarah barat – timur (B – T) (Gambar 7). Pada penampang seismik endapan ini dicirikan oleh pola refleksi seismik subparalel dan downlap yang menunjukkan progradasi ke atas endapan TST MT – 4. (Gambar 8). Endapan ini terjadi setelah fase genang laut maksimum yaitu akhir dari fase transgresif dari TST MT – 4 yang merupakan fase regresif sehingga di beberapa bagian endapan HST MT – 4 ini tidak menutupi endapan TST MT – 4.
Sikuen Miosen Tengah – 5 (Sekuen MT – 5)
Sikuen Miosen Tengah – 5 (Sekuen MT – 5) hanya terdiri atas endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 5 (TST MT – 5) dan Highstand System Tract Miosen Tengah – 5 (HST MT – 5). Suksesi regresif yang membentuk endapan Highstand System Tract Miosen Tengah – 4 (HST MT – 4) yang berupa penurunan muka air laut relatif tidak mampu membentuk endapan Lowstand System Tract Miosen Tengah – 5 karena segera disusul oleh suksesi transgresif yang berupa kenaikan muka air laut relatif yang membentuk endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 5 (TST MT – 5).
Gambar 8.Pola Refleksi Seismik subparalel dan downlap pada endapan TSTMT – 4 dan HST MT – 4.
Transgressive System Tract Miosen Tengah – 5 (TST MT – 5)
Endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 5 (TST MT – 5) ini berkembang di
hampir menutupi seluruh daerah telitian, kecuali di bagian baratdaya (BD) daerah telitian (Gambar 8). Hal ini diinterpretasikan naiknya muka air laut relatif setelah terbentuknya endapan Highstand System
Tract Miosen Tengah – 4 (HST MT – 4) tidak mampu menutupi endapan HST MT – 4 yang
berkembang di bagian baratdaya (BD), sehinga endapan TST MT – 5 tidak berkembang di bagian ini, dikarenakan bagian barat daya daerah telitian adalah berupa daerah tinggian. Pada penampang seismik endapan ini dicirikan oleh pola refleksi subparalel.
Highstand System Tract Miosen Tengah – 5 (HST MT – 5)
Endapan Highstand System Tract Miosen Tengah – 5 (HST MT – 5) mempunyai penyebaran
yang hampir sama dengan penyebaran endapan Transgressive System Tract Miosen Tengah – 5 (TST MT – 5) dengan arah penyebaran barat – timur. Endapan ini terbentuk setelah terjadinya fase genang laut maksimum yaitu akhir dari fase transgresif serta ditandai oleh peningkatan suplai material sedimen berpola progradasi.
Daerah Prospek Pemerangkapan Hidrokarbon
Pada dasarnya semua jenis system tract dapat bertindak sebagai batuan reservoir. Endapan yang dapat bertindak sebagai batuan reservoar yang baik adalah endapan lowstand system tract yang memiliki ukuran butir besar dan mempunyai porositas dan permeabilitas yang besar sehingga
hidrokarbon dapat tersimpan, karena endapan ini terbentuk pada saat muka air laut mengalami penurunan dan menyingkapkan daerah paparan sehingga terjadi erosi dan material hasil erosi terendapkan menjadi endapan lowstand ini. Endapan yang dapat bertidak sebagai batuan induk dan batuan penutup adalah endapan transgressive system tract yang merupakan endapan berbutir halus.
Beberapa prospek pemerangkapan hidrokarbon pada lowstand system tract Miosen Tengah – 3 (LST MT – 3) dijumpai di bagian timur daerah telitian, yaitu berupa perangkap struktur antiklin. Prospek pemerangkapan hidrokarbon pada endapan LST MT – 4 terdapat di tiga daerah. Daerah prospek pertama berada di bagian selatan daerah telitian (LST MT – 4A), prospek yang kedua (LST MT – 4B) berada di sebelah utara daerah prospek pertama, dan daerah prospek pada LST MT – 4 yang ketiga (LST MT – 4C) terletak di bagian utara daerah telitian (Gambar 7). Daerah – daerah prospek pada endapan LST MT – 4 ini merupakan bentukan perangkap antiklin, namun demikian daerah prospek ini juga berpotensi sebagai perangkap stratigrafi karena endapan endapan tersebut
pinchout pada tinggian sedimen Miosen Awal.
Prospek pemerangkapan hidrokarbon pada endapan HST MT - 2 terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian pertama berada di sekitar Sumur AAP – 1 dan bagian kedua berada di sebelah utaranya (Gambar 12). Daerah prospek pemerangkapan hidrokarbon pertama pada HST MT – 2 (HST MT – 2A) yang terletak di sekitar Sumur AAP – 1 merupakan perangkap antiklin. Daerah prospek yang kedua (HST MT – 2B) juga merupakan perangkap antiklin (Gambar 12).
Pada endapan HST MT – 3 terdapat dua daerah prospek pemerangkapan hidrokarbon. Daerah prospek pertama (HST MT – 3A) berada di sekitar Sumur AAP – 1 dan merupakan perangkap antiklin. Daerah prospek kedua (HST MT – 3A) juga merupakan bentukan perangkap antiklin.
Pada endapan HST MT – 4 terdapat dua daerah prospek pemerangkapan hidrokarbon. Daerah prospek pertama (HST MT – 4A) berada di bagian selatan dan merupakan perangkap. Daerah prospek kedua juga berupa perangkap antiklin. Pada endapan HST MT – 5 hanya terdapat satu daerah prospek hidrokarbon berupa perangkap antiklin di bagian utara daerah telitian.
Gambar 9.Ilustrasi daerah prospek pemerangkapan hidrokarbon berupa perangkap stratigrafi di daerah telitian.
Gambar 10. Daerah prospek pemerangkapan hidrokarbon berupa perangkap stratigrafi pada lintasan seismik P – 82 – 26
Gambar 11. Ilustrasi daerah prospek pemerangkapan hidrokarbon berupa perangkap struktur (antiklin) di daerah telitian.
Gambar 12.Daerah prospek pemerangkapan hidrokarbon berupa perangkap struktur (antiklin) pada lintasan seismik Sy – 52 – 01.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa stratigrafi sikuen dengan menggunakan data seismik dan data sumuran, Cekungan Jawa Timur Utara di kawasan Selat Madura terdiri dari lima runtunan pengendapan yaitu Sikuen Miosen Tengah – 1 (Sekuen MT – 1) yang terdiri dari LST MT – 1, TST MT -1 dan HST MT – 1; Sikuen Miosen Tengah – 2 (Sikuen MT – 2) yang terdiri dari TST MT -2 dan HST MT – 2; Sikuen Miosen Tengah – 3 (Sikuen MT – 3) yang terdiri dari LST MT – 3, TST MT -3 dan HST MT – 3; Sikuen Miosen Tengah – 4 (Sikuen MT – 4) yang terdiri dari LST MT – 4, TST MT - 4 dan HST MT – 4, Sikuen Miosen Tengah – 5 (Sikuen MT – 5) yang terdiri dari TST MT - 5 dan HST MT – 5.
Struktur geologi yang berkembang di daerah telitian adalah struktur lipatan dan sesar geser mengiri yang dimanifestasikan sebagai sesar berstruktur bunga (flower structure) yang berarah barat – timur (B – T) dan baratdaya – timurlaut (BD – TL). Adanya sesar geser mengiri yang berstruktur bunga tersebut mengontrol terjadinya penebalan sedimen Miosen Tengah pada daerah tersesarkan, karena perkembangan secara vertikal dari sesar ini terjadi bersamaan dengan proses pengendapan sedimen Miosen Tengah.
Prospek pemerangkapan hodrokarbon dapat dijumpai di beberapa system tract, baik berupa perangkap struktur maupun stratigrafi. Prospek pemerangkapan hidrokarbon pada endapan LST MT – 3 berupa perangkap antiklin. Prospek pemerangkapan hidrokarbon pada endapan LST MT – 4 yaitu perangkap struktur berupa antiklin dan perangkap stratigrafi berupa pembajian endapan LST MT – 4 sebagai reservoar pada tinggian Miosen Awal. Prospek pemerangkapan hidrokabon pada HST MT – 2 berupa perangkap antiklin. Prospek pemerangkapan hidrokarbon pada HST MT – 3 dan HST MT – 4 berupa perangkap antiklin di dua daerah dan pada endapan HST MT – 5 prospek pemerangkapan hidrokaron juga berupa struktur antiklin
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, W. 1993. Depositional model for the Early Middle Miocene Ngrayong Formation and implications for exploration in the East Java Basin. Procc 22nd Ann. Conv. IPA.
Bransden, P.J.E., dan Mathews, S.J. 1992. Structural and stratigraphic evolution of the East Java Sea Indonesia. Proc. 21st Ann. Conv. IPA.
Brown, L. F. 1994. Sequence stratigraphy: its role in petroleum exploration and development. AAPG Short Course.
Darman, H., dan Sidi, F.H. 2000. An outline of the geology of Indonesia. IAGI, 2000.
De Genevraye, P., dan Samuel, L. 1972. Geology of the Kendeng Zone (Central and East Java). Proc 1st Ann. Conv. IPA.
Djuhaeni.1997. Fenomena stratigrafi selama Miosen Tengah hingga Pliosen di cekungan Jawa Timur Utara. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XXVI, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jakarta, hal. 314 – 324.
Emery, D. dan Myers, K. 1996. Sequence stratigraphy. BP exploration, Stockley Park Uxbridge, London, hal - 11.
Hamilton, W. 1979. Tectonics of The Indonesian Region. USGS Proffesional Paper.
Koesoemadinata, R. P. 1996. “Sequence stratigraphy” pergeseran paradigma dalam ilmu geologi. Proc. 25th Ann. Conv. IAGI.
Koesoemo, Y.P., Yuwono, N.T., Musliki, S. 1995. Sequence stratigraphy concepts apllied to the Middle Miocene to Pliocene outcrops in the North East Java Basin. Proc.of The International Symposium on Sequence Stratigraphy in SE Asia.
Kusumastuti A., Darmoyo A.B., Suwarlan W., Sosromihardjo S.P.C. 1999. The Wunut Field: Pleistocene volcaniclastic gas sands in East Java. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 27th Annual Convention & Exhibition, Jakarta, hal 196-197, 204-206.
PPPTMGB Lemigas. 2003. Pembuatan prospect dan lead serta play concept penemuan cadangan migas di cekungan Selat Madura. Proyek Peningkatan Cadangan Migas. Laporan Tertutup. Manur, H. dan Barraclough. 1994. Structural control on hydrocarbon habitat in the Bawean Area, East
Java Sea., Proc. 23rd Ann. Conv. IPA.
Martodjojo, S. 1978. Sedimentation regime of East Java. Geology Departement of ITB, Bandung. Yulihanto, B. 1993. Lembah torehan Miosen Atas dan peranannya dalam terbentuknya perangkap
stratigrafi di daerah Cepu dan Sekitarnya. Proc. 22nd Ann. Conv. IPA.
Yulihanto, B. dan Sriwahyuni, L. 1995. Endapan lowstand Miosen sebagai target eksplorasi hidrokarbon di masa mendatang, dengan contoh: cekungan Sumatra Utara dan Jawa Timur Utara. Pros, Diskusi Ilmiah VIII PPTMGB “Lemigas”.
Yulihanto, B., Sriwahyuni, L., Situmorang, B. 1995. Peranan tektonik tarikan pada perkembangan runtunan pengendapan Tersier di bagian barat kawasan daratan cekungan Jawa Timur Utara. Pros, Diskusi Ilmiah VIII PPTMGB “Lemigas”.
Naskah masuk: 5 Februari 2006 Naskah diterima: 23 Mei 2007