PENDAHULUAN Latar Belakang
Sub-sektor perkebunan merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor pertanian dengan nilai ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai impornya. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor komoditas perkebunan tumbuh dengan laju 6,9% per tahun. Laju pertumbuhan nilai ekspor komoditi tembakau mengalami percepatan bersama dengan komoditi teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015).
Berita yang dimuat di dikutip pada tanggal 17 Juni 2015 berisi Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyatakan, ekspor dan produk tembakau olahan Indonesia diperkirakan tumbuh sekitar 10 persen menjadi US$ 1,1 miliar pada 2015 dari target ekspor tahun ini sebesar US$ 1 miliar (Denis, 2014).
Untuk meningkatkan pendapatan petani tembakau sekaligus meningkatkan ekspor, pemerintah telah menganjurkan kepada petani tembakau untuk melaksanakan intensifikasi. Dalam pelaksanaan intensifikasi ini agar petani tembakau berhasil maka perlu diatur langkah-langkahnya. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan intensifikasi adalah masalah proteksi tanaman atau perlindungan tanaman dari penyakit sejak dini (Ratmawati, 2015).
Salah satu penyakit yang disebabkan oleh cendawan adalah penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. Penyebaran cendawan
Fusarium sangat cepat dan dapat menyebar ke tanaman lain dengan cara
lateral dan melalui luka-luka, yang kemudian menetap dan berkembang di berkas pembuluh. Setelah memasuki akar tanaman, miselium akan berkembang hingga mencapai jaringan korteks akar. Pada saat miselium cendawan mencapai xilem, maka miselium ini akan berkembang hingga menginfeksi pembuluh xilem. Miselium yang telah menginfeksi pembuluh xilem, akan terbawa ke bagian lain tanaman sehingga mengganggu peredaran nutrisi dan air pada tanaman yang menyebabkan tanaman menjadi layu (Semangun, 2005).
Pengendalian yang biasa dilakukan oleh petani untuk mengendalikan layu Fusarium yaitu membongkar dan membakar tanaman yang sakit. Pengendalian cendawan penyebab penyakit layu Fusarium ini perlu dikaji lebih dalam untuk mengetahui metode pengendalian yang tepat khususnya pengendalian yang ramah lingkungan (Nugraheni, 2010). Penggunaan mikroorganisme dari golongan jamur dan bakteri sebagai pengendali hayati penyakit tanaman mempunyai prospek yang sangat baik di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan kedua golongan mikroorganisme ini selain mudah dibiakkan dan diperbanyak juga dapat diperoleh di areal pertanian itu sendiri. Selain itu penggunaan agensia pengendali hayati dalam mengendalikan organisma pengganggu tanaman (OPT) semakin berkembang karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis pestisida. Beberapa keunggulan tersebut adalah: aman bagi manusia dan musuh alami; dapat mencegah timbulnya ledakan OPT sekunder; produk tanaman yang dihasilkan bebas dari residu pesti sida; muda didapat karena ada di sekitar pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida
Berbagai manfaat positif dari bakteri dalam rizosfer telah menjadikannya sumber potensial bagi ketersediaan nutrisi dalam tanah serta mendorong pertumbuhan tanaman sehingga menjadi lebih baik. Beberapa bakteri tanah berasosiasi dengan akar tanaman budidaya dan memberikan pengaruh yang bermanfaat pada tanaman inangnya. Bakteri ini dikelompokkan ke dalam PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Strain PGPR yang sering ditemukan di antaranya Pseudomonas fluorescence (Dewi, 2007).
Pengendalian penyakit tanaman dengan agen pengendali hayati (APH) seperti Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) perlu dimanfaatkan dalam usaha tani perkebunan ramah lingkungan dan berkelanjutan. PGPR merupakan bakteri pemacu pertumbuhan yang hidup di akar dapat menghasilkan antibiotik, sebagai kompetitor, menginduksi ketahanan tanaman untuk pengendalian patogen penyakit dan hama, serta dapat mensekresikan senyawa-senyawa berguna bagi pertumbuhan tanaman (Tombe, 2013).
Pemanfaatan bakteri rizosfer sebagai agensia hayati dan pemacu pertumbuhan tanaman sangat menguntungkan tanaman karena tidak bersifat toksik bagi tanaman, efektif dalam mengendalikan patogen dan meningkatkan ketahanan tanaman, serta tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Bakteri rizosfer juga efektif selama masa hidup tanaman dan dapat menghasilkan senyawa tertentu yang berfungsi sebagai hormon tumbuh, penyedia dan memobilisasi unsur hara sehingga memberi manfaat ganda sebagai pupuk hayati dan agens hayati (Khaeruni et al., 2010).
(biokontrol). Meskipun secara konseptual kedua efek ini sangat berbeda, dalam prakteknya sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin untuk menentukan perbedaan dan batas antara keduanya. Biokontrol terhadap patogen tumbuhan tampaknya menjadi mekanisme utama dari PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Penekanan patogen tumbuhan merupakan hasil dari produksi
metabolit sekunder atau datang pada tanaman dengan sendirinya sebagai sistem pertahanannya. PGPR berbasis inokula seharusnya dapat bersaing dengan mikroorganisme indigenous dan dengan efisien mendiami daerah perakaran tanaman untuk melindunginya. Satu pendekatan untuk menyeleksi organisme dengan potensi untuk mengontrol patogen tumbuhan tular tanah (soilborne phytopathogens) adalah dengan mengisolasi organisme itu dari tanah suppresive
terhadap patogen itu (Dewi, 2007).
Salah satu jenis dari bakteri rizosfer akar adalah bakteri kitinolitik yang memproduksi enzim kitinase. Menurut Ginting (2007) pada tanaman, kitinase dihasilkan dan diakumulasi sebagai respon akibat infeksi jamur atau simbion jamur. Kitinase berperanan penting dalam pengendalian hayati jamur dan nematoda patogen tanaman dimana patogen tersebut menyerang tanaman dengan cara hidup parasit. Kitinase yang dihasilkan oleh rhizobakteri diyakini mempunyai peran aktif dalam pengendalian jamur patogen tanaman.
Sullia et al. (2012) melaporkan Pseudomonas spp. yang diisolasi dari tanaman kubis,gandum, padi, kentang dan tomat (famili solanaceae) mampu menekan pertumbuhan jamur patogen Alternaria brassicae, Alternaria brassicicola, Alternaria alternate, Collectotrichum gleosporoides, Fusarium
menekan pertumbuhan jamur patogen karena menghasilkan siderofor, hydrocyanid acid dan enzim seperti kitinase dan selulase.
Dari paparan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai potensi bakteri kitinolitik rizosfer tanaman tembakau sebagai agens antagonis untuk mengendalikan jamur patogen penyebab layu (F. solani).
Tujuan Penelitian
Untuk mengeksplorasi bakteri kitinolitik rizosfer akar tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum) yang bersifat antagonis terhadap jamur patogen penyebab penyakit layu (F. solani) dan mengetahui potensinya dalam mengendalikan penyakit tersebut.
Hipotesis Penelitian
Terdapat bakteri kitinolitik pada rizosfer akar tanaman tembakau yang memiliki kemampuan antagonisme terhadap patogen F. solani.
Kegunaan Penelitian