• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Magnetasi Bahan Bakar dan Penggunaan Katalitik Terhadap Emisi Gas Buang, Temperatur Air Pendingin dan Oli Pada Mesin Diesel Satu Silinder

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Magnetasi Bahan Bakar dan Penggunaan Katalitik Terhadap Emisi Gas Buang, Temperatur Air Pendingin dan Oli Pada Mesin Diesel Satu Silinder"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGARUH MAGNETASI BAHAN BAKAR DAN

PENGGUNAAN KATALITIK TERHADAP

EMISI GAS BUANG, TEMPERATUR AIR PENDINGIN DAN

OLI PADA MESIN DIESEL SATU SILINDER

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Adi Martuah Sinaga 110421042

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

10 ABSTRAK

Tingginya emisi yang dihasilkan oleh mesin diesel yang berakibat buruk terhadap lingkungan adalah hal yang melatar belakangi timbulnya pengujian ini. Untuk itu, penting dilakukan magnetasi sebelum bahan bakar memasuki ruang bakar dan penambahan katalitik pada knalpot. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh magnetasi bahan bakar dan katalitik konverter terhadap penurunan kadar emisi gas buang. Magnetasi bahan bakar dilakukan pada saluran (selang) bahan bakar sebelum bahan bakar memasuki ruang bakar dan pemasangan magnet pada saluran bahan bakar dipasang setelah saringan bahan bakar, sedekat mungkin dengan ruang bakar. Sedangkan katalitik dipasang pada saluran gas buang (knalpot berkatalitik). Data diperoleh langsung dari pembacaan alat ukur emisi gas buang (CO, HC, Opasitas), temperatur air pendingin dan temperatur oli yang kemudian hasilnya dijabarkan dalam bentuk tabel dan grafik. Temperatur air mengalami kenaikan pada saat katalitik konverter digunakan. Hal ini disebabkan oleh gas buang yang keluar melalui katalitik sedikit terhambat sebelum emisi dibuang kelingkungan, akibat penyaringan dan sekat-sekat yang ada dalam knalpot berkatalitik. Magnetasi bahan bakar dengan menggunakan magnet EV-1 yang memiliki gauss sebesar 2500, dapat mengurangi emisi rata-rata diatas 15-20% dibanding tidak memakai magnet dan penambahan katalitik pada saluran buang (knalpot).

(11)

11 ABSTRACT

The highly emissions produced by diesel engines that adversely impact to the environment is the background for the emergence of this testing. For that, magnetation before fuel enters the combustion chamber and the exhaust catalytic additions become important. The purpose of research to determine the effect magnetation of fuel and catalytic converters to decreased levels of exhaust emissions. Magnetation conducted on channel (hose) of fuel before the fuel enters the combustion chamber and mounting magnets on fuel channel was installed after the fuel filter and as close as possible to the combustion chamber. Catalytic mounted in the exhaust gas duct (exhaust with catalytic). Data were obtained directly from the measuring instrument readings exhaust emissions (CO, HC, Opacity), cooling water temperature and oil temperature, then results described in the form of tables and graphs. Water temperature has increased during the catalytic converter is used. This is caused by exhaust gases exit through the catalytic slightly delayed before emissions disposed to the environment, due to the filtering and the barriers that exist in the catalytic exhaust. Magnetation of fuel by using magnets EV-1 which has a gauss of 2500, can reduce average emissions over 15-20% compared to not using magnetic and catalytic addition of the exhaust (muffler).

(12)

12 KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat yang diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Sarjana ini. Tugas Sarjana ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan untuk mencapai gelar sarjana di Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul Tugas Sarjana ini yaitu “Pengaruh Magnetasi Bahan Bakar dan Penggunaan Katalitik Terhadap Emisi Gas Buang, Temperatur Air Pendingin dan Oli Pada Mesin Diesel Satu Silinder”

Dalam menyelesaikan Tugas Sarjana ini, penulis mendapat dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Ir. M. Syahril Gultom,MT sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Sarjana ini.

2. Bapak Dr.Ing.Ir.Ikwansyah Isranuri, selaku Ketua Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik USU.

3. Bapak Ir. Syahrul Abda, M.Sc selaku Ketua PPSE Departemen Teknik Mesin USU

4. Bapak/Ibu Staff Pengajar dan Pegawai di Departemen Teknik Mesin USU. 5. Kedua orang tua penulis, Ayahanda St S. Sinaga dan Ibunda L. Br

Peranginangin, yang telah memberikan dukungan doa, materi dan semangat yang sangat luar biasa.

6. Segenap kerabat keluarga yang telah memberikan semangat dan doanya kepada penulis selama menyelesaikan pendidikan S-1.

7. Seluruh teman-teman penulis, baik teman satu angkatan 2011 juga teman- teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah menemani dan memberikan masukan serta semangat kepada penulis.

(13)

13 mengharapkan adanya saran dari para pembaca untuk memperbaiki dan melengkapi penulisan ini ke depannya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat berguna dan memperkaya ilmu pengetahuan bagi para pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, April 2015 Penulis,

(14)

14

1.5 Metodologi Penulisan ... 3

1.6 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Bakar ... 6

2.1.1 Bahan Bakar Diesel ... 6

2.1.2 Karakteristik Bahan Bakar Diesel (Solar) ... 6

2.2 Mesin Diesel ... 9

2.2.1 Siklus Diesel Ideal ... 10

2.2.2 Prinsip Kerja Mesin Diesel ... 11

2.2.3 Proses Pembakaran dan Bahan Bakar ... 15

2.2.4 Nilai Kalor Bahan Bakar ... 19

2.2.5 Air Fuel Ratio (AFR) ... 21

2.2.6 Efisiensi Thermal ... 22

2.3 Proses Terbentuknya Gas Buang ... 22

2.4 Katalitik Konverter ... 23

2.5 Magnet ... 26

2.5.1 Asal Kemagnetan ... 26

2.5.2 Medan Magnet ... 27

2.5.3 Jenis Material Magnet ... 30

(15)

15

2.6 Efek Magnetasi Pada Bahan Bakar Diesel ... 31

2.6.1 Reaktifitas Molekul ... 31

2.7 Pelumasan ... 33

2.7.1 Pengertian Pelumasan ... 33

2.7.2 Sifat - Sifat Minyak Pelumas ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 38

3.2 Alat dan Bahan ... 38

3.2.1 Alat ... 38

3.2.2 Bahan ... 42

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 44

3.4 Metode Pengolahan Data ... 44

3.5 Pengamatan dan Tahap Pengujian ... 44

3.6 Prosedur Pengujian Nilai Kalor Bahan Bakar ... 45

3.7 Prosedur Pengujian Mesin Diesel ... 46

3.8 Prosedur Pengujian Emisi Gas Buang ... 48

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Nilai Kalor Bahan Bakar ... 50

4.2 Emisi Gas Buang ... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 76

(16)

16 DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori Minyak Solar ... 8

Tabel 2.2 Karakteristik Minyak Solar Indonesia ... 9

Tabel 4.1 Data hasil pengujian dan perhitungan Bom Kalorimeter ... 51

Tabel 4.2 CO Tanpa Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 52

Tabel 4.3 CO Dengan Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 53

Tabel 4.4 CO Tanpa Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 54

Tabel 4.5 CO Dengan Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 55

Tabel 4.6 HC Tanpa Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 56

Tabel 4.7 HC Dengan Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 57

Tabel 4.8 HC Tanpa Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 58

Tabel 4.9 HC Dengan Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 60

Tabel 4.10 Opasitas Tanpa Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 61

Tabel 4.11 Opasitas Dengan Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 62

Tabel 4.12 Opasitas Tanpa Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 63

Tabel 4.13 Opasitas Dengan Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 64

Tabel 4.14 Temperatur Air Pendingin Tanpa Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 66

Tabel 4.15 Temperatur Air Pendingin Dengan Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 67

Tabel 4.16 Temperatur Air Pendingin Tanpa Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 68

(17)

17

Tabel 4.18 Temperatur Oli Tanpa Katalitik dan Pembebanan 3,5 Kg ... 70

Tabel 4.19 Temperatur Oli Dengan Katalitik dan Pembebanan 3,5 Kg ... 71

Tabel 4.20 Temperatur Oli Tanpa Katalitik dan Pembebanan 4,5 Kg ... 72

(18)

18 DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram P–V dan Diagram T-s Siklus Ideal Diesel ... 10

Gambar 2.2 Prinsip Kerja Mesin Diesel ... 11

Gambar 2.3 Langkah Hisap ... 12

Gambar 2.4 Langkah Kompresi ... 13

Gambar 2.5 Langkah Usaha ... 14

Gambar 2.6 Langkah Buang ... 14

Gambar 2.7 Proses Pembakaran Motor Diesel ... 16

Gambar 2.8 Catalitik Converter ... 24

Gambar 2.9 Kutub-Kutub Magnet ... 27

Gambar 2.10 Formasi Serbuk Besi yang Dipengaruhi Medan Magnet ... 29

Gambar 2.11 Declustering Molekul Hidrokarbon yang Melewati Magnet ... 32

Gambar 3.1 Mesin Diesel TD111 4-Langkah 1 Silinder dan TD115 ... 38

Gambar 3.2 IC Engine Instrumentation TD114 ... 39

Gambar 3.3 Heshbon Opacity Smokemeter HD-410... 40

Gambar 3.4 Heshbon Automative Emission Analyzer HG-510 ... 40

Gambar 3.5 Katalitik Konverter... 41

Gambar 3.6 Thermocouple ... 42

Gambar 3.7 Magnet I (Magnet EV-1) dan Letak Pemasangannya ... 43

Gambar 3.8 Magnet II (Magnet D1 Spec) dan Letak Pemasangannya ... 43

Gambar 3.9 Magnet III (Magnet Femax Biru) dan Letak Pemasangannya ... 43

Gambar 3.10 Diagram Alir Pengujian Mesin ... 47

Gambar 3.11 Diagram Alir Prosedur Pengujian Emisi Gas Buang ... 49

Gambar 4.1 Grafik CO Tanpa Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 52

(19)

19

Gambar 4.3 Grafik CO Tanpa Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 54

Gambar 4.4 Grafik CO Dengan Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 55

Gambar 4,5 Grafik HC Tanpa Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 57

Gambar 4.6 Grafik HC Dengan Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 58

Gambar 4.7 Grafik HC Tanpa Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 59

Gambar 4.8 Grafik HC Dengan Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 60

Gambar 4.9Grafik Opasitas Tanapa Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 61

Gambar 4.10 Grafik Opasitas Dengan Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 62

Gambar 4.11 Grafik Opasitas Tanpa Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 63

Gambar 4.12Grafik Opasitas Dengan Katalitik Pembebeanan 4,5 Kg ... 65

Gambar 4.13 Grafik Temperatur Air Pendingin Tanpa Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 66

Gambar 4.14 Grafik Temperatur Air Pendingin Dengan Katalitik Pembebanan 3,5 Kg ... 67

Gambar 4.15 Grafik Temperatur Air Pendingin Tanpa Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 68

Gambar 4.16 Grafik Temperatur Air Pendingin Dengan Katalitik Pembebanan 4,5 Kg ... 69

Gambar 4.17 Grafik Temperatur Oli Tanpa Katalitik dan Pembebanan 3,5 Kg... 71

Gambar 4.18 Grafik Temperatur Oli Dengan Katalitik dan Pembebanan 3,5 Kg ... 72

Gambar 4.19 Grafik Temperatur Oli Tanpa Katalitik dan Pembebanan 4,5 Kg... 73

(20)

10 ABSTRAK

Tingginya emisi yang dihasilkan oleh mesin diesel yang berakibat buruk terhadap lingkungan adalah hal yang melatar belakangi timbulnya pengujian ini. Untuk itu, penting dilakukan magnetasi sebelum bahan bakar memasuki ruang bakar dan penambahan katalitik pada knalpot. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh magnetasi bahan bakar dan katalitik konverter terhadap penurunan kadar emisi gas buang. Magnetasi bahan bakar dilakukan pada saluran (selang) bahan bakar sebelum bahan bakar memasuki ruang bakar dan pemasangan magnet pada saluran bahan bakar dipasang setelah saringan bahan bakar, sedekat mungkin dengan ruang bakar. Sedangkan katalitik dipasang pada saluran gas buang (knalpot berkatalitik). Data diperoleh langsung dari pembacaan alat ukur emisi gas buang (CO, HC, Opasitas), temperatur air pendingin dan temperatur oli yang kemudian hasilnya dijabarkan dalam bentuk tabel dan grafik. Temperatur air mengalami kenaikan pada saat katalitik konverter digunakan. Hal ini disebabkan oleh gas buang yang keluar melalui katalitik sedikit terhambat sebelum emisi dibuang kelingkungan, akibat penyaringan dan sekat-sekat yang ada dalam knalpot berkatalitik. Magnetasi bahan bakar dengan menggunakan magnet EV-1 yang memiliki gauss sebesar 2500, dapat mengurangi emisi rata-rata diatas 15-20% dibanding tidak memakai magnet dan penambahan katalitik pada saluran buang (knalpot).

(21)

11 ABSTRACT

The highly emissions produced by diesel engines that adversely impact to the environment is the background for the emergence of this testing. For that, magnetation before fuel enters the combustion chamber and the exhaust catalytic additions become important. The purpose of research to determine the effect magnetation of fuel and catalytic converters to decreased levels of exhaust emissions. Magnetation conducted on channel (hose) of fuel before the fuel enters the combustion chamber and mounting magnets on fuel channel was installed after the fuel filter and as close as possible to the combustion chamber. Catalytic mounted in the exhaust gas duct (exhaust with catalytic). Data were obtained directly from the measuring instrument readings exhaust emissions (CO, HC, Opacity), cooling water temperature and oil temperature, then results described in the form of tables and graphs. Water temperature has increased during the catalytic converter is used. This is caused by exhaust gases exit through the catalytic slightly delayed before emissions disposed to the environment, due to the filtering and the barriers that exist in the catalytic exhaust. Magnetation of fuel by using magnets EV-1 which has a gauss of 2500, can reduce average emissions over 15-20% compared to not using magnetic and catalytic addition of the exhaust (muffler).

(22)

20 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada kebutuhan akan alat transportasi sangat meningkat, di lain sisi lingkungan alam yang mendukung hajat hidup manusia semakin terancam kualitasnya, sehingga efek negatif polusi udara terhadap kehidupan manusia semakin hari semakin bertambah. Penurunan kualitas udara yang terus menerus terjadi selama beberapa tahun terakhir diakibatkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah gas buang kendaraan bermotor terutama bermesin diesel. Sekarang ini, energi yang digunakan pada kendaraan masih menggunakan bahan bakar minyak, namun tidak semuanya dipakai secara efisien, masih ada energi yang terbuang sia-sia. Kondisi ini menandakan bahwa tidak seluruh energi kimia yang dimiliki oleh bahan bakar dapat dirubah oleh mesin menjadi energi mekanis. Penyebab utamanya adalah ketidaksempurnaan pembakaran, disamping itu juga kerugian akibat gesekan yang ditimbulkan antar bagian mesin.

Ketidak sempurnaan pembakaran menimbulkan efek negatif pada mesin, diantaranya kadar emisi gas buang yang tinggi. Emisi gas buang yang dihasilkan dari proses pembakaran pada kendaraan bermotor dapat bersifat racun dan membuat efek negatif. Idealnya, pembakaran dalam mesin menghasilkan pembuangan yang tidak mengganggu kesehatan lingkungan. Tapi kenyataannya tidak semua pembakaran berlangsung sempurna. Bila pembakaran tidak sempurna maka gas buang yang dihasilkan selain menghasilkan gas CO2 dan H2O juga menghasilkan gas-gas yang beracun yaitu CO, HC, NOx dan lain-lain.

(23)

21 pemakaian bahan bakar dan emisi gas buang yang dihasilkan ramah terhadap lingkungan. Berbagai terobosan terus dilakukan, diantaranya memodifikasi ruang bakar, menambah jumlah silinder, menambah jumlah katup (valve) dan memperbaiki mekanisme kerja mesin, menaikkan kompresi, penggunaan EFI dan masih banyak lagi. Dengan tujuan yang sama, ilmuwan dan praktisi mengadakan studi lebih mendalam terhadap karakteristik bahan bakar dan terus menerus, melakukan percobaan untuk mendapatkan proses pembakaran yang menghasilkan gas buang rendah (aman).

Salah satu metode yang saat ini sedang dikembangkan adalah magnetisasi bahan bakar dan penambahan katalitik pada saluran buangnya. Cara kerjanya adalah dengan memagnetisasi bahan bakar yang mengalir menuju ruang bakar pada saluran bahan bakarnya terlebih dahulu dengan menggunakan semacam alat yang mengandung kekuatan magnet tertentu dan juga penambahan katalitik pada saluran gas buangnya. Pada saat ini telah beredar dipasaran dengan nilai kandungan kekuatan medan magnet yang lebih tinggi dari yang terdahulu, namun ada beberapa argument yang muncul dalam penggunaan magnet sebagai penghemat bahan bakar dan sebagai penurun kadar gas polutan kendaraan.

Fenomena yang timbul akibat pengkombinasian ataupun magnetisasi bahan bakar serta kurangnya pemahaman akan magnet, bahan bakar dan katalitik mendorong penulis untuk mengangkat masalah ini menjadi suatu tugas akhir, dengan cara mengadakan penelitian, studi pustaka dan juga pengujian yang disertai analisa guna mengetahui benar atau tidaknya efek magnetisasi bahan bakar tersebut.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penulisan tugas akhir ini dengan memagnetasi bahan bakar dan penambahan katalitik pada saluran gas buang adalah :

(24)

22 2. Pengaruh ada-tidaknya efek dari variasi gauss terhadap magnetasi bahan bakar dan katalitik konverter terhadap persentasi kadar emisi gas buang, temperatur oli dan air pendingin pada mesin disel.

3. Membandingkan pengaruh besar medan magnet yang berbeda terhadap persentasi kadar emisi gas buang, temperatur oli serta air pendingin, tanpa magnetasi bahan bakar dan dengan magnetasi bahan bakar.

1.3. Batasan Masalah

Pembahasan skripsi ini tertuju pada hal-hal berikut : 1. Bahan bakar yang dipakai adalah solar

2. Mesin uji yang digunakan untuk mendapatkan kinerja mesin Diesel adalah Tecquipment Small Engine Test Bed TD 111, Tecquipment TD 115, dan Tecquipment TD 114 I.C Engine Instrumentation pada

laboratorium motor bakar Departemen Teknik Mesin USU.

3. Pengujian yang dilakukan mencakup beberapa hal yaitu pengaruh magnetisasi bahan bakar dan katalitik terhadap emisi gas buang, temperatur oli dan temperatur air pendingin.

4. Hasil pengujian akan dibandingkan dengan kondisi sebelum menggunakan magnet pada saluran bahan bakarnya dan katalitik pada saluran gas buang.

5. Pengujian ini tidak membahas reaksi kimia sebelum dan sesudah magnet dipasang pada saluran bahan bakar.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis sendiri menambah wawasan dan pengetahuan tentang pengaruh magnetisasi bahan bakar.

2. Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa lain, untuk mengembangkan penelitian yang sama dikemudian hari.

(25)

23 1.5. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Studi literatur, berupa studi kepustakaan, kajian dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang terkait.

b. Browsing internet, berupa studi artikel-artikel, gambar-gambar dan buku elektronik (e-book) serta data-data lain yang berhubungan.

c. Metode studi lapangan, yaitu dengan mengambil data dari hasil pengujian yang dilakukan di laboratorium motor bakar fakultas teknik. d. Diskusi, berupa tanya jawab dengan dosen pembimbing yang ditunjuk

oleh Departemen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara. 1.6. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibagi dalam beberapa bab dengan garis besar tiap bab adalah sebagai berikut :

• Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang, tujuan, manfaat, dan ruang lingkup pengujian.

• Bab II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisikan landasan teori yang digunakan yaitu mengenai bahan bakar, mesin diesel dan pembakaran mesin diesel, emisi gas buang, katalitik dan magnet.

• Bab III : Metodologi Penelitian

Bab ini memberikan informasi mengenai tempat pelaksanaan pengujian, bahan dan peralatan yang dipakai serta tahapan dan prosedur pengujian.

• Bab IV : Hasil dan Analisa Pengujian

Bab ini membahas tentang hasil data yang diperoleh dari setiap pengujian melalui pembahasan dan penganalisaan dengan memaparkan kedalam bentuk tabel dan grafik.

• Bab V : Kesimpulan dan Saran

(26)

24

• Daftar Pustaka

Daftar pustaka berisikan literatur yang digunakan untuk menyusun laporan.

• Lampiran

(27)

25 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Bakar

2.1.1 Bahan Bakar Diesel

Bahan bakar diesel yang sering disebut solar (light oil) merupakan suatu campuran hidrokarbon yang diperoleh dari penyulingan minyak mentah pada temperatur 200oC – 340oC. Minyak solar ini biasa disebut juga Gas Oil, Automotive Diesel Oil, High Speed Diesel.

Minyak solar ini digunkan untuk bahan bakar mesin “Compression Ignition” (udara yang dikompresi menimbulkan tekanan dan panas yang tinggi sehingga membakar solar yang disemprotkan oleh injektor). Indonesia menetapkan solar dalam peraturan Ditjen Migas No. 3675K/24/DJM/2006. Minyak solar yang sering digunakan adalah hidrokarbon rantai lurus hetadecene (C16H34) dan alpha-methilnapthalene.

2.1.2 Karakteristik Bahan Bakar Diesel (Solar)

Dapat menyala dan terbakar sesuai dengan kondisi ruang bakar adalah syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu bahan bakar. Minyak solar sebagai bahan bakar memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh sifat-sifat seperti Cetane Number (CN), Cetana Index (CI), nilai panas, densitas, titik analin dan kandungan sulfur.

a. Cetane Number (CN)

Mutu penyalaan yang diukur dengan indeks yang disebut Cetana. Mesin diesel memerlukan bilangan cetana sekitar 50. Angka CN yang tinggi menunjukkan bahwa minyak solar dapat menyala pada temperatur yang relatif rendah dan sebaliknya angka CN yang rendah menunjukkan minyak solar baru menyala pada temperatur yang relatif tinggi.

b. Cetana Index (CI)

Cetana Index merupakan perkiraan matematis dari CN dengan basis suhu destilasi, densitas, titik anilin dan lain-lain. Apabila terdapat aditif yang bersifat meningkatkan CN maka perhitungan CI tidak dapat langsung digunakan tetapi variabel-variabel seperti API gravity dan suhu destilasi harus disesuaikan karena karakteristik bahan bakar akan berubah.

(28)

26 Nilai panas bahan bakar dapat diukur dengan menggunakan Bomb kalorimeter dan hasilnya dimasukkan kedalam rumus perhitungan :

8100C + 3400 (H-0/8)

Nilai panas = kkal/kg 100

Nilai H,C, dan O dinyatakan dalam persentasi berat dalam setiap unsur yang terkandung dalam satu kilogram bahan bakar. Hasil perhitungan tersebut merupakan suatu nilai panas kotor (gross heating value) suatu bahan bakar dimana termasuk didalamnya panas laten dari uap air yang terbentuk pada pembakaran hidrogen dari bahan bakar. Selisih nilai panas kotor dan bersih umumnya berkisar antara 600-700 kkal/kg tergantung besar persentase hidrogen yang ikut terbakar.

Secara kasar nilai panas suatu bahan bakar dapat diperkirakan dari berat jenis yang bersangkutan :

- Berat Jenis

pada 150C : 0,85; 0,87; 0,89; 0,91; 0,93

- Nilai panas

kotor (kkal/kg) : 10900; 10800; 10700; 10600; 10500.

Menurut spesifikasi minyak solar di indonesia mempunyai berat jenis antara 0,820 – 0.870 pada temperatur 600F, dengan demikian dapat diperkirakan mempunyai nilai panas kotor minimal 10800 kkal/kg karena semakin rendah berat jenisnya semakin tinggi nilai panas kotornya dan berdasarkan pengukuran laboratorium minyak solar berat jenisnya 0,8521 dengan panas kotor 10917 kkal/kg.

d. Densitas

Berat jenis adalah perbandingan antara berat persatuan volume minyak solar. Berat jenis suatu minyak solar mempunyai satuan kilogram per meter kubik (kg/m3). Karakteristik ini sangat berhubungan erat dengan nilai panas kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel persatuan bahan bakar yang digunakan. Densitas yang disarankan untuk minyak solar berdasarkan Masdent Point Refinery untuk tahun 2000 yaitu 826 – 859 km/m3.

e. Titik Aniline

(29)

27 f. Kandungan Sulfur atau Belerang

Belerang dalam bahan bakar terbakar bersama minyak dan menghasilkan gas yang sangat korosif yang diembunkan oleh dinding-dinding silinder, terutama ketika mesin beroperasi dengan beban ringan dan suhu silinder menurun, kandungan belerang dalam bahan bakar tidak boleh melebihi 0,5 %-1,5 %.

Minyak solar yang dihasilkan harus memiliki standar dan mutu (spesifikasi) yang memenuhi persyaratan yang bisa dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 2.1 Kategori Minyak Solar

SIFAT Kategori 1 Kategori 2 Kkategori 3

Cetana Number 48 53 55

Sumber : Gaikindo, 2012

Minyak solar indonesia belum masuk kategori 1 karena CN minyak solar Indonesia 45 (lihat Tabel 2.1), walaupun hal ini memenuhi baku mutu dari pemerintah sesuai keputusan ditjend Migas No. 002/P/DM/MIGAS/1979. Karakteristis minyak solar Indonesia menurut keputusan diatas dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2.2 Karakteristik Minyak Solar Indonesia

(30)

28

Sediment % wt - 0.01 D 473

Ash content % wt - 0.01 D 482

Total acid number MgKOH - 0.6 D 974

Destilation : recovery at 3000C % vol 40 - D 86 Sumber : DITJEN MIGAS No. 113 K 172/DJM/1999, Tanggal 27 Oktober 2011.

2.2 Mesin Diesel

Mesin diesel adalah salah satu tipe dari mesin pembakaran dalam (Internal Combuttion Engine). Karakteristik utama dari mesin diesel yang membedakan dari motor bakar yang lain terletak pada metode penyalaan bahan bakarnya. Dalam mesin diesel bahan bakar diinjeksikan kedalam silinder yang berisi udara bertekanan tinggi. Selama proses pengkompresian udara dalam silinder mesin, suhu udara meninggkat, ketika bahan bakar yang berbentuk kabut halus bersinggungan dengan udara panas ini maka bahan bakar akan menyala dengan sendirinya tanpa bantuan alat penyala lainnya. Itu sebabnya mesin diesel juga disebut mesin penyalaan kompresi (Compression Ignition Engines).

Motor diesel memiliki perbandingan kompresi sekitar 15:1 hingga 26:1, jauh lebih tinggi dibandingkan motor bakar bensin yang hanya berkisar 6:1 sampai 9:1. Konsumsi bahan bakar spesifik mesin diesel lebih rendah (kira-kira 25%) dibanding mesin bensin.

Mesin diesel menghasilkan tekanan kerja yang tinggi, itu sebabnya konstruksi motor diesel lebih kokoh dan lebih besar. Disamping itu, mesin diesel menghasilkan bunyi yang lebih keras, warna dan bau gas yang kurang menyenangkan. Namun dipandang dari segi ekonomi, bahan bakar, motor diesel masih lebih disukai (Mathur, 1980).

2.2.1 Siklus Diesel Ideal

(31)

29 kemudian pembakaran dimulai saat bahan bakar yang diinjeksikan kontak dengan udara panas tersebut. Maka pada mesin diesel, busi dan karburator digantikan oleh penginjeksi bahan bakar (fuel injector).

Gambar 2.1 Diagaram P-v dan Diagram T-s Siklus Ideal Diesel (Buku Thermodinamika Teknik Jilid 2)

Siklus diesel (ideal) pembakaran tersebut dimisalkan dengan pemasukan panas pada volume konstan (Y. A. Çengel and M. A. Boles, 2006). Siklusnya seperti pada diagram P-v dan T-s di atas (Gambar 2.1). Siklus tersebut terdiri dari empat buah proses berantai yang reversible secara internal. Proses 1-2 isentropik, 2-3 penambahan kalor. Pada siklus Otto kalor dipindahkan ke fluida kerja pada volume konstan, sedangkan pada siklus diesel, kalor dipindahkan pada tekanan konstan. Proses 3-4 ekspansi isentropic, dan proses 4-1 pelepasan kalor pada volume konstan, di mana kalor keluar dari udara ketika piston berada pada titik mati bawah.

2.2.2 Prinsip Kerja Mesin Diesel

(32)

30 Gambar 2.2 Prinsip kerja mesin diesel

a. Langkah Hisap Yang terjadi adalah :

- Piston bergerak dari TMA (titik mati atas) ke TMB (titik mati bawah). - Katup masuk terbuka dan katup buang tertutup.

- Karena piston bergerak ke bawah maka di dalam silinder terjadi kevakuman sehingga udara bersih akan terhisap dan mengalir masuk ke dalam ruang silinder melalui katup masuk. Dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Langkah Hisap

(33)

31 b. Langkah Kompresi

Prosesnya yaitu :

- Piston akan bergerak dari TMB ke TMA. - Kedua katup (katup masuk dan buang) tertutup.

- Karena piston bergerak ke atas dan kedua katup tertutup maka udara bersih di dalam silinder akan terdorong dan dimampatkan di ruang bakar, akibatnya tertekan dan temperatur udara menjadi tinggi (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Langkah Kompresi

c. Langkah Usaha

(34)

32 Gambar 2.5 Langkah Usaha

d. Langkah Buang Prosesnya yaitu :

- Piston bergerak dari TMB ke TMA

- Katup buang membuka dan katup masuk tertutup, karena piston bergerak ke atas maka sisa hasil pembakaran akan terdorong ke luar melalui katup buang (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Langkah Buang

(35)

33 2.2.3 Proses Pembakaran dan Bahan Bakar

Definisi pembakaran adalah suatu reaksi kimia antara suatu bahan bakar dan suatu oksidan (oksigen) disertai dengan produksi panas yang kadang disertai cahaya dalam bentuk pendar atau api. Proses pembakaran dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Complete combution, terjadi apabila semua unsur C, H, dan S yang terkandung dalam bahan bakar bereaksi membentuk C02, H2O, dan SO2. Pembakaran ini umumnya dapat dicapai pada kondisi pembakaran dengan udara lebih.

b. Perfect combution, terjadi apabila jumlah bahan bakar dan oksidatornya sesuai dengan reaksi stokiometris. Campuran dikatakan stokiometris jika jumlah oksigen dalam campuran tepat untuk bereaksi dengan unsur C, H, dan S membentuk CO2, H2O, dan SO2.

c. Incomplete combution, terjadi proses pembakaran bahan bakar menghasilkan produk antara seperti CO, H2, dan aldehit disamping CO2, H2O, dan N2 (jika oksidatornya dalam udara). Pembakaran parsial ini dapat terjadi akibat suplai oksidator yang terbatas, nyala ditiup atau dihembus, nyala didinginkan dengan dikenai permukaan dingin, pencampuran bahan bakar, dan oksidator yang tidak sempurna.

d. Spontaneous combution, terjadi apabila bahan bakar mengalami oksidasi secara perlahan sehingga kalor yang dihasilkan tidak terlepas, menyebabkan temperatur bahan bakar naik secara perlahan sampai mencai titik bakarnya (ignation point) hingga bahan bakar habis terbakar dan menyala.

Pada kenyataannya sangat sulit bagi reaksi untuk pembakaran berlangsung dalam kondisi stokiometris, karena itulah dikenal istilah pembakaran dengan udara berlebihan. Alasan utama akan kebutuhan terhadap udara berlebihan (excees air) adalah karena kegagalan aliran (bahan bakar) dan udara untuk dapat bercampur sempurna pada daerah diamana pembakaran seharusnya dapat terjadi. Berlangsungnya pembakaran dipengaruhi oleh frekuensi tumbukan antara molekul bahan bakar dengan molekul oksigen. Bila terjadi deefisiensi dari pencampuran kedua fluida, maka dibutuhkan oksigen berlebih untuk meningkatkan frekuensi tumbukan antara molekul tersebut.

(36)

34 factor (AF). Air factor (AF) dinyatakan sebagai ratio dari udara aktual yang digunakan (Arismunandar W, 1983).

Gambar 2.7 Proses pembakaran motor diesel

Pada Gambar 2.7 dapat dilihat tekanan udara akan naik selama langkah kompresi berlangsung. Beberapa derajat sebelum torak mencapai TMA bahan bakar mulai disemprotkan. Bahan bakar akan segera menguap dan bercampur dengan udara yang sudah bertemperatur tinggi. Oleh karena temperaturnya sudah melebihi temperatur penyalaan bahan bakar, bahan bakar akan terbakar sendiri dengan cepat. Waktu yang diperlukan antara saat bahan bakar mulai disemprotkan dengan saat mulai terjadinya pembakaran dinamai periode persiapan pembakaran (1). Sesudah melampaui periode persiapan pembakaran, bahan bakar akan terbakar dengan cepat, hal tersebut dapat dilihat pada grafik sebagai garis lurus yang menanjak, karena proses pembakaran tersebut terjadi dalam suatu proses pengecilan volume (selama itu torak masih bergerak menuju TMA). Sampai torak bergerak kembali beberapa derajat sudut engkol sesudah TMA, tekanannya masih bertambah besar tetapi laju kenaikan tekanannya berkurang. Hal ini disebabkan karena kenaikan tekanan yang seharusnya terjadi dikompensasi oleh bertambah besarnya volume ruang bakar sebagai akibat bergeraknya torak dari TMA ke TMB (Cengel Yunus A, 1994).

(37)

35 dinamai periode pembakaran terkendali (3). Dalam hal terakhir ini jumlah bahan bakar yang masuk ke dalam silinder sudah mulai berkurang, bahkan mungkin sudah dihentikan (titik D). Selanjutnya dalam periode pembakaran lanjutan (4) terjadi proses penyempurnaan pembakaran dan pembakaran dari bahan bakar yang belum sempat terbakar. Laju kenaikan tekanan yang terlalu tinggi tidaklah dikehendaki karena dapat menyebabkan beberapa kerusakan. Maka haruslah diusahakan agar periode persiapan pembakaran terjadi sesingkat-singkatnya sehingga belum terlalu banyak bahan bakar yang siap untuk terbakar selama waktu persiapan pembakaran. Karena itu segenap usaha haruslah ditujukan untuk mempersingkat periode persiapan pembakaran, antara lain dengan cara sebagai berikut :

1. Menggunakan perbandingan kompresi yang tinggi 2. Memperbesar tekanan dan temperatur udara masuk

3. Memperbesar volume silinder sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh perbandingan luas dinding terhadap volume yang sekecil-kecilnya untuk mengurangi kerugian panas

4. Menyemprotkan bahan bakar pada saat yang tepat dan mengatur pemasukan jumlah bahan bakar yang sesuai dengan kondisi pembakaran

5. Menggunakan jenis bahan bakar yang sebaik-baiknya

6. Mengusahakan adanya gerakan udara yang turbulen untuk menyempurnakan proses pencampuran bahan bakar udara

7. Menggunakan jumlah udara untuk memperbesar kemungkinan bertemunya bahan bakar dengan oksigen dari udara.

Hal tersebut merupakan persyaratan mutlak bagi motor diesel karena proses pencampuran bahan bakar-udara hanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jadi, bahan bakar yang sebaiknya digunakan pada motor Diesel adalah jenis bahan bakar yang dapat segera terbakar (sendiri), yaitu yang dapat memberikan periode persiapan pembakaran yang pendek. Sebagai bahan bakar standar dipergunakan bahan bakar hidrokarbon rantai lurus, yaitu hexadecane atau cetane (C16H34) dan alpha-methylnaphtalene.

(38)

36 Bahan bakar dengan bilangan setana yang lebih tinggi menunjukkan kualitas bahan bakar yang lebih baik untuk motor diesel. Bahan bakar motor Diesel komersial yang diperdagangkan mempunyai bilangan setana antara 35-55. Pada umumnya boleh dikatakan bahan bakar hidrokarbon dengan struktur atom rantai lurus mempunyai bilangan setana lebih tinggi daripada bahan bakar dengan struktur atom yang rumit. Motor Diesel kecepatan tinggi sebaiknya menggunakan bahan bakar dengan bilangan setana yang tinggi.

Demikianlah secara umum boleh dikatakan bahwa bahan bakar yang baik untuk motor Diesel adalah bahan bakar yang memiliki bilangan setana tinggi; viskositas yang rendah untuk mengurangi tekanan penyemprotan; sifat melumas yang baik supaya tidak merusak pompa tekanan tinggi; bulk modulus yang tinggi untuk memudahkan penyemprotan, dan titik didih yang tinggi supaya tidak mudah menguap. Selain itu diusahakan agar kadar belerang dan aromatiknya rendah serta adanya aditif untuk meningkatkan mutu bahan bakar.

2.2.4 Nilai Kalor Bahan Bakar

Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar dibakar sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific Value). Berdasarkan asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai kalor bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai kalor atas dan nilai kalor bawah.

Nilai kalor atas (High Heating Value) HHV, merupakan nilai kalor yang diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan bom kalorimeter dimana hasil pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar uap air yang terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya. Data yang diperoleh dari hasil pengujian bom kalorimeter adalah temperatur air pendingin sebelum dan sesudah penyalaan. Selanjutnya untuk menghitung nilai High Heating Value (HHV), dapat dihitung dengan persamaan berikut :

HHV = ( T2 – T1 – Tkp ) x cv ... (2.1)

Dimana :

(39)

37 T1 = Temperatur air pendingin sebelum penyalaan (0C)

T2 = Temperatur air pendingin sesudah penyalaan (0C) Cv = Panas jenis bom kalorimeter (73529,6 kJ/kg 0C) Tkp = Kenaikan temperatur akibat kawat penyala (0,05 0C)

Sedangkan nilai kalor bawah atau Low Heating Value (LHV) dihitung dengan persamaan berikut:

LHVrata-rata = HHVrata-rata - 3240 ... (2.2)

Secara teoritis besarnya nilai kalor atas (HHV) dapat dihitung bila diketahui komposisi bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan Dulog :

HHV = 33950 C + 144200 (H2 – (O2/8 )) + 9400 S ... (2.3)

Dimana :

HHV = Nilai kalor atas (kJ/kg)

C = Komposisi karbon dalam bahan bakar H2 = Komposisi hidrogen dalam bahan bakar O2 = Komposisi oksigen dalam bahan bakar

S = Komposisi sulfur dalam bahan bakar

(40)

38 Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap yang terbentuk pada proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada didalam bahan bakar (moisture). Panas laten pengkondensasian uap air pada tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang umum timbul pada gas buang) adalah sebesar 2400 kJ/kg, sehingga besar nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:

LHV = HHV – 2400 (H20 + 9H2) ... (2.4)

Dimana:

LHV = Nilai kalor bawah (kJ/kg)

H2O = komposisi uap air dalam bahan bakar (moisture)

Dalam perhitungan efisiensi panas dari mesin bakar, dapat menggunakan nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi saat gas buang meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air. Namun dapat juga menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai tersebut umunya lebih cepat tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan ASME (American Society of Mechanical Enggineers) menentukan penggunaan nilai kalor atas (HHV), sedangkan peraturan SAE (Society OF Automotive Engineers) menentukan nilai kalor bawah (LHV) (Amir Isril, 1996).

2.2.5 Air Fuel Ratio (AFR)

Didalam mesin, bahan bakar dibakar oleh udara. Udara kering merupakan campuran berbagai gas yang memiliki komposisi representatif 20% oksigen, 78,09% nitrogen, 0,93% argon, dan sisanya berupa CO2, neon, helium, metana dan gas lainnya. Pada pembakaran, oksigen merupakan komponen reaktif dari udara. Bahan bakar yang digunakan pada motor bakar merupakan campuran dari berbagai komponen hidrokarbon yang didapat melalui proses penyulingan minyak. Bahan bakar ini didominasi oleh karbon sekitar 86% dan hidrogen 14%. Walaupun demikian bahan bakar diesel bisa mengandung kadar sulfur hingga 1 %. Pada pengujian mesin ini, aliran massa udara dan aliran massa bahan bakar biasanya diukur, namun jika tak terdapat alat ukur dapat dihitung melalui rumus berikut:

(41)

39 Dimana:

= laju aliran massa udara (kg/jam) f = laju aliran massa bahan bakar (kg/jam)

Rentang AFR yang normal untuk mesin berpenyalaan kompresi (mesin diesel) dengan bahan bakar diesel adalah 18 ≤ AFR ≥ 70 (Pulkrabek, 1997).

2.2.6 Efisiensi Thermal

Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil daripada energi yang dibangkitkan piston karena sejumlah energi hilang akibat adanya rugi rugi mekanis (mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja maksimum yang dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar. Efisiensi ini disebut juga sebagai efisiensi thermal brake (thermal efficiency, ηb).

Jika daya keluaran Pb dalam satuan kW, laju aliran bahan bakar mf dalam satuan kg/jam, nilai kalor bawah bahan bakar LHV dalam satuan kJ/kg, maka:

η

b= x 3600 ... (2.6)

2.3 Proses Terbentuknya Gas Buang

Setiap pembakaran pasti mempunyai gas produk atau yang kita kenal emisi, dibawah ini merupakan emisi yang dihasilkan dari pembakaran selain dari gas karbon dioksida (CO2) yaitu :

a. Karbon monoksida (CO)

Bila karbon didalam bahan bakar terbakar dengan sempurna, akan terjadi reaksi yang menghasilkan CO2 seperti yang terlihat dibawah ini : C + O2 CO2

Apabila oksigen dalam udara tidak cukup, maka pembakaran akan berlangsung secara tidak sempurna, sehingga karbon yang terbakar akan menjadi :

C + ½ O2 CO

Dengan kata lain, emisi CO dalam suatu pembakaran dipengaruhi oleh perbandingan campuran antara udara dengan bahan bakar.

b. Hidrokarbon (HC)

(42)

40 2. Bahan bakar terpecah karena reaksi panas berubah menjadi

gugusan hidrokarbon lain yang keluar bersama dengan gas buang.

Sebab utama timbulnya hidrokarbon pada emisi gas buang adalah sekitar tempat terjadinya pembakaran bersuhu rendah, diamana suhu itu tidak mampu melakukan pembakaran.

c. Oksigen (O2)

Oksigen (O2) sangat berperan dalam proses pembakaran, dimana oksigen tersebut akan diinjeksikan keruang bakar. Dengan tekanan yang sesuai akan mengakibatkan terjadinya pembakaran bahan bakar.

d. Sulfur Oksidasi (SOx)

Bahan bakar minyak solar mengandung unsur belerang (sulfur). Pada saat terjadi pembakaran, S akan bereaksi dengan H dan O untuk membentuk senyawa sulfat dan sulfur oksidasi.

H + S + O HSO S + O2 SO2 e. Nitrogen (N2)

Udara yang digunakan untuk pembakaran sebagian besar terdiri dari senyawa nitrogen (N2). Pada saat terjadi pembakaran, sebagian kecil N2 akan bereaksi dengan O2 dan membentuk NO2. Sebagian besar lainnya tetap berupa senyawa nitrogen hingga keluar sebagai emisi. f.Uap air (H2O)

H2O merupakan hasil reaksi pembakaran, dimana air yang dihasilkan tergantung dari mutu bahan bakar. Makin banyak uap air dalam gas buang, menandakan pembakaran makin baik.

Untuk mesin Diesel emisi gas buang yang dilihat adalah opasitas (ketebalan asap).

2.4 Katalitik Konverter

(43)

41 Gambar 2.8 Catalitic Converter

Ada dua jenis katalitik konverter dipasaran. Tipe Universal Fit dan tipe Direct Fit. Tipe universal fit dapat dipilih berdasarkan ukuran yang sesuai kemudian dilas di bagian saluran gas buang. Tipe direct fit merupakan tipe katalitik konverter yang hanya menggunakan baut untuk memasangnya di area saluran gas buang. Tipe universal merupakan jenis termurah daripada tipe direct fit, akan tetapi tipe direct fit lebih mudah pemasangannya daripada tipe universal fit.

Alat katalitik konverter tersusun dari dua katalis, yaitu katalis reduksi atau reduction catalyst dan catalyst oksidasi (oxidization catalyst). Kedua katalis ini dilapisi logam, seperti platinum, rodium, dan paladium. Baik katalis reduksi maupun katalis oksidasi, struktur permukaannya di desain sedemikian rupa untuk memaksimalkan permukaan katalis sekaligus meminimalkan jumlah katalis yang dipakai. Perlu diketahui, harga katalis logam mahal. Ada dua jenis struktur permukaan, yaitu struktur sarang lebah (honeycomb) dan keramik (ceramic beads). Struktur sarang lebah lebih paling banyak digunakan.

(44)

42 Kendaraan yang menggunakan katalitik konverter harus menggunakan bensin tanpa timbal, karena timbal pada bensin akan menempel pada katalis yang mengakibatkan katalisator tersebut tidak efektif. Agar katalitik konverter tersebut lebih efektif, campuran udara-bahan bakar harus dalam perbandingan stokiometri. Pada saat motor dilakukan pemanasan, udara sekunder dari pompa didorong menuju ruang udara pembatas. Udara tersebut membantu untuk mengoksidasi katalis mengubah HC dan CO menjadi karbon dioksida dan air. Berikut penjelasan tahapan kerja dari katalitik konverter

1. Tahap awal dari proses yang dilakukan pada katalitik konverter adalah reduction catalyst. Tahap ini menggunakan platinum dan rhodium untuk membantu mengurangi emisi NOx. Ketika molekul NO atau NO2 bersinggungan dengan katalis, sirip katalis mengeluarkan atom nitrogen dari molekul dan menahannya. Sementara oksigen yang ada diubah ke bentuk O2. Atom nitrogen yang terperangkap dalam katalis tersebut diikat dengan atom nitrogen lainnya sehingga terbentuk format N2. Rumus kimianya sebagai berikut: 2NO => N2 + O2 atau 2NO2 => N2 + 2O2.

2. Tahap kedua dari proses di dalam katalitik konverter adalah oxidization catalyst. Proses ini mengurangi hidrokarbon yang tidak terbakar di ruang bakar dan CO dengan membakarnya (oxidizing) melalui katalis platinum dan palladium. Katalis ini membantu reaksi CO dan HC dengan oksigen yang ada di dalam gas buang. Reaksinya sebagai berikut; 2CO + O2 => 2CO2.

3. Tahap ketiga adalah pengendalian sistem yang memonitor arus gas buang. Informasi yang diperoleh dipakai lagi sebagai kendali sistem injeksi bahan bakar. Ada sensor oksigen yang diletakkan sebelum katalitik konverter dan cenderung lebih dekat ke mesin ketimbang konverter itu sendiri. Sensor ini memberi informasi ke Electronic Control System (ECS) seberapa banyak oksigen yang ada di saluran gas buang. ECS akan mengurangi atau menambah jumlah oksigen sesuai rasio udara-bahan bakar. Skema pengendalian membuat ECS memastikan kondisi mesin mendekati rasio stoikiometri dan memastikan ketersediaan oksigen di dalam saluran buang untuk proses oksidasi HC dan CO yang belum terbakar.

(45)

43 sistem injeksi menggunakan dua sensor oksigen yang berbeda tempat. Sensor tersebut berfungsi memberikan informasi ke ECS agar mengatur kembali pasokan udara kedalam ruang bakar.

2.5 Magnet

2.5.1 Asal Kemagnetan

Kata magnet berasal dari bahasa Yunani yaitu magnes atau magnetis lithos yang berarti batu dari magnesia. Magnet merupakan benda yang dapat menarik benda-benda lain di sekitarnya seperti besi, baja, dan kobalt. Kemagnetan adalah suatu penomena material yang memperlihatkan suatu pengaruh gaya tarik atau gaya tolak terhadap material lain. Gaya bekerja pada suatu jarak tertentu dan dapat dianalisis dalam bentuk medan magnet. Seluruh material yang mempunyai sifat magnet seperti besi, nikel, dan kobalt, mempunyai kutub utara (N, north) dan kutub selatan (S, south). Kutub yang sejenis akan tolak-menolak dan kutub yang tidak sejenis akan tarik menarik. Gambar berikut memperlihatkan peristiwa ini.

Gambar 2.9 Kutub-kutub magnet

Sifat kemagnetan suatu bahan ditentukan oleh spin elektron dan gerak elektron mengelilingi inti (obit). Spin elektron membentuk momen magnetik yang merupakan magnet-magnet kecil (magnet elementer). Spin elektron tersebut berpasangan dan tidak menimbulkan sifat kemagnetan, karena arah spinnya berlawanan sehingga saling meniadakan. Spin elektron yang tidak berpasangan bersifat sebagai magnet kecil. Sebuah magnet merupakan gabungan dari spin elektron (magnet-magnet kecil) yang arah spin (utara-selatan)-nya sama (Sears & Zemansky Addison Wesley 5th edision).

(46)

44 cenderung terorientasi terhadap medan. Dipol magnet dapat menimbulkan medan magnet.

2.5.2 Medan Magnet

Medan magnet adalah daerah disekitar magnet yang dipengaruhi oleh gaya magnet. Area medan magnet itu biasa ditunjukkan dengan garis-garis gaya magnet. Garis-garis gaya magnet tersebut saling bertemu di ujung kedua kutubnya. Efek kemagnetan dapat dihasilkan melalui berbagai macam cara. Melalui eksperimen, orang mendapatkan bahwa arus listrik (muatan) yang bergerak menimbulkan

medan magnet. Peristiwa ini dimanfaatkan untuk membuat elektromagnet, yaitu magnet

yang bekerja apabila dialiri arus listrik. Elektromagnet digunakan dalam motor listrik,

dalam bel listrik, dan juga dalam generator listrik.

Medan magnet juga dapat dihasilkan oleh sebatang magnet permanen, yang sifat

kemagnetannya tidak tergantung dari ada atau tidaknya aliran listrik. Magnet permanen

dibuat melalui sebuah proses khusus sehingga kekuatan magnetnya tidak akan hilang

sekejap dan dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama.

Medan magnet yang dihasilkan dari magnet permanen dapat dijelaskan melalui

teori mengenai atom. Atom tersusun dari partikel-partikel yang bermuatan, yakni proton

dan elektron yang bergerak konstan dan simultan. Kejadian yang menyebabkan

timbulnya medan magnetik pada atom adalah:

1. Spin inti. Beberapa inti, seperti atom hidrogen, memiliki keadaan spin tetap yang menghasilkan medan magnet

2. Spin elektron. Elektron mempunyai spin yang dapat berputar menurut arah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam atau - Spin dari partikel bermuatan dapat

menimbulkan medan magnet kecil atau momen magnet.

3. Pergerakan Orbital Elektron. Elektron yang berputar mengelilingi intinya akan menimbulkan medan magnet.

Setiap benda yang memiliki sifat kemagnetan dapat disebut magnet. Bila magnet

diletakkan pada serbuk besi, serbuk besi akan menempel pada ujung-ujung dari magnet

dan tidak ada yang menempel pada bagian tengah magnet. Bagian magnet yang

mempunyai kemagnetan yang kuat disebut kutub magnet. Kutub magnet ada dua macam

yaitu Utara (U) dan Selatan (S).

Bila serbuk besi ditaburkan di atas kaca dan sebuah magnet yang berbentuk tapal

(47)

45 dibawah. Ini menandakan bahwa serbuk besi dipengaruhi oleh kedua kutub utara (U) dan selatan (S) dari magnet tersebut.

Gambar 2.10 Formasi serbuk besi yang dipengaruhi medan magnet

Serbuk besi nampaknya tersebar disepanjang garis-garis yang tidak terlihat.

Garis-garis ini disebut Garis-garis gaya magnet (magnetic line) dan secara keseluruhan disebut fluksi

magnet (magnetic flux). Garis-garis gaya magnet akan selalu ada meskipun serbuk besi

tidak ditaburkan di sekeliling magnet.

Bila kutub U suatu magnet dan kutub S magnet lainnya didekatkan satu dengan

yang lainnya di bawah sepotong kaca, dengan serbuk besi tersebar di atasnya, dengan

mudah dikatakan bahwa saling tertarik satu dengan yang lainnya,

Karakteristik yang dimiliki oleh Fluksi magnet diantaranya adalah :

1. Fluksi magnet dimulai dari kutub U dan berakhir di kutub S suatu magnet atau

magnet-magnet.

2. Arah dari fluksi magnet adalah sesuai dengan arah kutub U jarum magnet bila jarum

berada dalam fluksi

Seperti halnya sabuk karet, garis gaya magnet di dalam fluksi berusaha sependek mungkin, sejajar dan sedekat mungkin dengan poros U-S dari medan magnet. Pada saat yang sama, cenderung menolak garis gaya magnet lainnya yang searah, sehingga juga cenderung membentuk busur keluar dari poros U-S.

Kekuatan magnet dihasilkan oleh magnetik flux density. Yang diukur dalam satuan Gauss. Jenis magnet yang digunakan untuk refrigerator mempunyai kekuatan sekitar 1000 Gauss sedangkan water treatment dan bahan bakar mempunyai tingkatan sekitar 2000 sampai 4000 Gauss.

2.5.3 Jenis Material Magnet

(48)

46 Material yang semua momen spin elektronnya bercouple. Pada suatu medan magnet elsternal momen, magnet terinduksi (termagnetisasi) secara lemah karena Xm < O (lemah); Xm menandakan magnetisasi yang didapat pada suatu medan magnet. Asal momen magnet berasal dari orbit elektron sekitar inti, yang menghasilkan medan magnet. Pada suatu medan magnet eksternal, ekstra torque diaplikasikan ke elektron menghasilkan orientasi anti-paralel momen magnet atom, yang lemah terhadap medan magnet, karena XM < 0.

b. Paramagnetik

Material yang memiliki atom, ion, dan molekul yang berspin tak terkompensasi dan batas momen magnet spin permanen. Pada non medan magnet eksternal, orientasi momen magnet atom acak, karena dipol atom bergerak bebas. Momen spin yang lebih besar dari pada momen orbitnya menyebabkan perilaku material saat medan magnet eksternal mengindikasikan momen magnet spin. Pada suatu medan magnet, momen spin yang tak terkompensasi terorientasi (terinduksi, Xm > 0) hingga beberapa derajat terhadap arah medan magnet (magnetisasi). c. Ferromagnetik

Kasus khusus paramagnetik dimana momen magnet spin atom-atom terdekat (coupling) terorientasi (matually spin alignment) saat non-medan eksternal. Material memiliki Xm > 0 (magnetic susceptibility yang sangat kuat). Spin yang tak terkompensasi pada individu atom-atom dapat saling berpasangan langsung (direct exchange) atau melalui anion intermediat seperti oksigen (super exchange).

Tidak seperti paramagnetik, saat medan magnet eksternal dilepas, material menyisakan bagian yang termagnetisasi permanen (Fenomena histerisis). Magnetisasi maxsimum (saturasi), MS menggambarkan magnetisasi yang dihasilkan semua dipol magnet yang terorientasi dengan medan magnet eksternal.

2.5.4 Pengaruh Suhu Terhadap Perilaku Magnet

(49)

47 2.6 Efek Magnetisasi pada Bahan Bakar Diesel

2.6.1 Reaktifitas Molekul

Adanya medan magnet statis yang besar, awan elektron mengelilingi molekul, sehingga molekul bersifat terpolarisasi dan memberikan kenaikan pada medan yang kecil. Posisi inti atom, pada medan yang sesungguhnya tidak hanya tergantung sekitarnya, akan tetapi sekeliling molekul sendiri. Pada keadaan cair, reorientasi molekul terjadi secara acak.

Jika atom yang diletakkan dalam medan magnet yang seragam, elektron yang mengelilingi inti menjadi berputar. Perputaran ini menyebabkan medan magnet sekunder yang arahnya berlawanan dengan arah medan magnet yang diberikan.

Ketika solar masih berada dalam suatu penyimpanan bahan bakar, molekul hidrokarbon, yang merupakan penyusun utama solar, cenderung untuk saling tertarik satu sama lain, membentuk molekul-molekul yang bergerombol (clustering). Penggumpalan ini akan terus berlangsung, sehingga menyebabkan molekul-molekul hidrokarbon tidak saling berpisah pada saat bereaksi dengan oksigen diruang bakar. Akibat buruk buruk yang ditimbulkannya adalah ketidak sempurnaan pembakaran yang dapat dibuktikan secara sederhana dengan ditemuinya kandungan hidokarbon pada gas buang.

Adanya suatu medan magnet permanen yang cukup kuat pada melekul hidrokarbon yang bersifat diamagnetik akan menyebabkan reaksi penolakan antar molekul hidrokarbon (desclustering) sehingga terbentuk jarak yang optimal antar molekul hidrokarbon.

(50)

48 Gambar 2.11 Declustering Molekul Hidrokarbon yang Melewati Magnet

Pemecah gumpalan-gumpalan (desclustering) molekul hidrokarbon ini dapat dijelaskan juga melalui teori mengenai momen ikatan. Sebagai contoh, apabila ikatan polar seperti O-H dibiarkan dalam medan magnet, maka ikatan akan mengalami sejumlah gaya balik tertentu. Gaya ini secara sederhana mendorong medan magnet untuk membebaskan ikatan dalam medan. Ikatan yang lebih polar mengalami gaya lebih besar daripada ikatan yang kurang polar. H-C termasuk ikatan non-polar, karena nilai momen ikatannya hanya sebesar 0,4 D (Debye). Namun medan magnet yang kuat dapat mengganggu dan mempengaruhi ikatan H-C. Meskipun ikatan antara atom H-C tidak sampai terlepas satu sama lain, namun setidaknya kekuatan ikatannya akan sedikit melemah, sehingga atom-atom hidrogen dan karbon akan lebih mudah tertarik dengan oksigen pada proses pembakaran.

Salah satu tujuan pemagnetan adalah mempolarisasi solar agar memiliki kecenderungan bersifat polar. Apabila hal ini dapat terlaksana, ketertarikan senyawa hidrokarbon dengan oksigen akan lebih kuat bila dibandingkan hidrokarbon tersebut sama sekali netral. Seperti diketahui, apabila suatu molekul bersifat polar, maka kecenderungan menarik molekul lain yang bersifat polar akan semakin kuat. Hal ini kan meningkatkan proses pencampuran oksigen dan molekul hidrokarbon sehingga akan menyempurnakan pembakaran.

(51)

49 2.7 Pelumasan

2.7.1 Pengertian Pelumasan

Pelumas adalah dua benda bergerak untuk mengurangi destilasi minyak bumi yang memiliki suhu 105-135 derajat celcius.

Pelumasan adalah pemisahan dari dua permukaan benda padat yang begerak secara tangensial terhadap satu sama lain dengan cara menempatkan suatu zat diantara kedua benda padat tadi (Karyanto E, 1986).

Pelumas memegang peranan penting dalam desain dan operasi semua mesin otomotif. Umur dan service yang diberikan oleh mesin tergantung pada perhatian yang kita berikan pada pelumasannya. Semua jenis oli pada dasarnya memiliki fungsi sama, yakni sebagai bahan pelumas agar mesin berjalan mulus dan bebas gangguan sekaligus berfungsi sebagai pendingin dan penyekat. Minyak pelumas atau yang sering disebut Oli mengandung lapisan-lapisan halus yang berfungsi mencegah goresan atau keausan. Untuk beberapa keperluan tertentu, aplikasi khusus pada fungsi tertentu, oli dituntut memiliki fungsi tambahan. Mesin diesel misalnya, secara normal beroperasi pada kecepatan rendah tetapi memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan mesin bensin.

Minyak pelumas atau oli memiliki beberapa jenis, yaitu Oli Mineral dan Oli Sintetis. Oli mineral berbahan oli dasar (base oil) yang diambil dari minyak bumi yang telah diolah dan disempurnakan. Beberapa pakar mesin memberikan saran jika telah biasa menggunakan oli mineral selama bertahun-tahun maka jangan langsung menggantinya dengan oli sintetis dikarenakan oli sintetis umumnya mengikis deposit (sisa) yang ditinggalkan oli mineral sehingga deposit tadi terangkat dari tempatnya dan mengalir ke celah-celah mesin sehingga mengganggu pemakaian mesin. Sedangkan Oli Sintetis biasanya terdiri atas Polyalphaolifins yang merupakan bagian terbersih dari pemilahan oli mineral yakni gas. Senyawa ini kemudian dicampur dengan oli mineral. Inilah mengapa oli sintetis bisa dicampur dengan oli mineral dan sebaliknya. Oli sintetis cenderung tidak mengandung bahan karbon reaktif, senyawa yang sangat tidak bagus untuk oli karena cenderung bergabung dengan oksigen sehingga menghasilkan acid (asam). Pada dasarnya oli sintetis didesain untuk menghasilkan kinerja yang lebih efektif dibandingkan dengan oli mineral.

(52)

50 cukup agar terjamin pasokannya ke komponen-komponen yang bergerak. Lapisan halus pada oli kental memberi kemampuan ekstra menyapu atau membersihkan permukaan logam yang terlumasi. Untuk itu, oli harus memiliki kekentalan lebih tepat pada temperatur tertinggi atau temperatur terendah ketika mesin dioperasikan. Dengan demikian, oli memiliki grade (derajat) tersendiri yang diatur oleh Society of Automotive Engineers (SAE). Bila pada kemasan oli tersebut tertera angka SAE 5W-30 berarti 5W (Winter) menunjukkan pada suhu dingin oli bekerja pada kekentalan 5 dan pada suhu terpanas akan bekerja pada kekentalan 30. Tetapi yang terbaik adalah mengikuti viskositas sesuai permintaan mesin. Umumnya, mobil sekarang punya kekentalan lebih rendah dari 5W-30 . Karena mesin belakangan lebih sophisticated (mutakhir-canggih) sehingga kerapatan antar komponen makin tipis dan juga banyak celah-celah kecil yang hanya bisa dilalui oleh oli encer. Tak baik menggunakan oli kental (20W-50) pada mesin seperti ini karena akan mengganggu debit aliran oli pada mesin dan butuh semprotan lebih tinggi. Untuk mesin lebih tua, clearance bearing lebih besar sehingga mengizinkan pemakaian oli kental untuk menjaga tekanan oli normal dan menyediakan lapisan film cukup untuk bearing.

Untuk mengukur standar mutu pelumas dipakai standar American Petroleum Institute (API). American Petroleum Institute adalah sebuah lembaga resmi di Amerika Serikat yang diakui di seluruh dunia, yang membuat kategori pelumas sesuai dengan kerja mesin. Klasifikasi pelumas mesin berbahan bakar bensin ditandai dengan huruf S sedangkan untuk mesin diesel ditandai dengan huruf C. Klasifikasi sesuai dengan tingkat kemampuan pelumas dimulai dari yang terendah adalah SA, SB, SC, SD, SE, SF, SG, SH, SJ dan SL (untuk mesin bensin). Sedangkan untuk mesin diesel yaitu CA, CB, CC, CD, CE, CF-4, CH-4 dan CI-4.

Pelumas yang memenuhi standar mutu ditandai dengan pencantuman kata “API Service”, diikuti dengan klasifikasinya. Contoh: Utuk mesin diesel. Pelumas dengan API Service CH-4 lebih baik kemampuan kerjanya dari pelumas API Service CF-4 demikian seterusnya. Oleh pembuat mesin, setiap kendaraan sudah ditentukan spesifikasi apa yang harus digunakan, yang tercantum dalam buku manual. Menggunakan pelumas yang spesifikasinya lebih tinggi dari yang ditentukan oleh pembuat mesin, tidak jadi masalah. Tetapi sangat tidak disarankan menggunakan pelumas dengan klasifikasi lebih rendah dari yang ditentukan karena akan berakibat kurang baik pada mesin.

2.7.2 Sifat-Sifat Minyak Pelumas a. Umum

(53)

51 kebutuhan. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan minyak pelumas adalah :

1. Tekanan bantalan 2. Kecepatan pergesekan 3. Bahan yang bergesekan

4. Ruang antara bahan yang bergesekan 5. Aksesabilitas

6. Suhu dan tekanan kerja

b. Viscosity adalah kekentalan suatu minyak pelumas yang merupakan ukuran kecepatan bergerak atau daya tolak suatu pelumas untuk mengalir. Pada temperatur normal, pelumas dengan viscosity rendah akan cepat mengalir dibandingkan pelumas dengan viscosity tinggi.

c. Viscosity Index (Indeks viskositas); merupakan kecepatan perubahan kekentalan suatu pelumas dikarenakan adanya perubahan temperatur. Makin tinggi VI suatu pelumas, maka akan semakin kecil terjadinya perubahan kekentalan minyak pelumas meskipun terjadi perubahan temperatur.

d. Flash point (titik nyala) suatu pelumas adalah menunjukkan temperatur kerja suatu pelumas dimana pada kondisi temperatur tersebut akan dikeluarkan uap air yang cukup untuk membentuk campuran yang mudah terbakar dengan udara.

e. Pour point merupakan titik tempratur dimana suatu pelumas akan berhenti mengalir dengan leluasa.

f. Aniline point; merupakan pentunjuk bahwa minyak pelumas tertentu sesuai sifat-sifatnya dengan sifat-sifat karet yang digunakan sebagai seal dan slang.

g. Ash; Apabila pelumas habis terbakar maka akan terbentuk abu (ash) atau abu sulfat. Hal ini berhubungan dengan pengukuran kemurnian suatu pelumas.

(54)

52

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Pengujian dilakukan di laboratorium motor bakar Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara selama lebih kurang 3 bulan.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Mesin diesel Robin Fuji DY23D (TD111) dan TD115

Gambar 3.1 Mesin diesel TD111 4-langkah 1 silinder dan TD115

Spesifikasi:

Type : ROBIN-FUJI DY23D

Swept Volume : 230

Bore : 70 mm

(55)

53 Compression Ratio : 21 : 1

Recommended maximum speed : 3600 rpm

Nominal Out put : 3,5 kW at 3600 rpm Fuel injection timing : BTDC

Weight : 45 kg

2. I.C Engine Instrumentation TD 114

Gambar 3.2 IC Engine Instrumentation TD 114

(56)

54 3. HESHBON Opacity Smokemeter HD-410 sebagai alat pengukur opasitas.

Gambar 3.3 HESHBON Opacity Smokemeter HD-410 Spesifikasi :

Measuring Range : 0.0-100.0% (opacity) Absorption Coifficient : 0.00-21.42 (k)

RPM : 0-8000 rpm

Oil Temperature : 0-150 oC Operation Temperature : 0-40 oC

Power Source : AC220V 100% 50 Hz/60Hz

4. HESHBON Automative Emission Analyzer HG-510 untuk mengukur kadar CO dan kadar HC pada gas buang.

Gambar 3.4 HESHBON Automative Emission Analyzer HG-510

Spesifikasi :

(57)

55 Operation Temperature : 0-40 oC

Power Source : AC220V 10% 60Hz

5. Katalitik Konverter

Katalitik konverter seperti ditunjukkan pada gambar di bawah, berfungsi untuk

mengurangi kadar emisi gas buang dari pembakaran yang terjadi pada mesin.

Pengurangan emisi yang diharapkan adalah pengurangan kadar HC, CO dan Opacity.

Katalitik konverter ini di pasang pada saluran gas buang mesin.

Gambar 3.5 Katalitik Konverter yang dipasang di mesin

6. Thermocouple

Melakukan pengukuran temperatur oli dan air pendingin digunakan instrumen

pengukuran temperatur,yaitu Thermocouple Tipe KW 06-278 Krisbow. Setting

instrument pengukuran temperatur ini dilakukan pada saat akan melakukan pengukuran

temperatur. Temperatur oli di ukur melalui lubang pengisian oli dengan memasukkan

kabel pengukur ke dalam oli, sedangkan temperatur air di ukur pada air keluaran dari

(58)

56 Gambar 3.6 Thermocouple

Spesifikasi Thermocouple Tipe KW 06-278 Krisbow sebagai berikut:

Name : Thermocouple

Input sensitivity : User selectable 0.1°C or 1°C Temperatur range : -50.0°C - 1300°C

-58°F - 2000°F

Accuracy range : ± 0.5 % ± 1 oC

± 0.5 % ± 2 oF

Ukuran : 165 x 76 x 43 mm

Berat : 403 gram

Sumber daya : dua buah baterai 1,5 V Alkaline

7. Alat bantu perbengkelan, seperti : kunci pas, kunci ring, obeng, tang, dan palu. 8. Stopwatch untuk menentukan waktu yang dibutuhkan mesin untuk

menghabiskan bahan bakar.

9. Beaker glass digunakan untuk menentukan jumlah bahan bakar yang akan dipakai.

3.2.2 Bahan 1. Solar

Bahan bakar solar sebanyak 20 liter. 2. Magnet

Magnet yang digunakan ada 3 jenis yaitu :

(59)

57 Gambar 3.7 Magnet EV 1 dan letak pemasangannya

• Magnet II (Magnet D1 Spec) = 1150 gauss

Gambar 3.8 Magnet D1 Spec dan letak pemasangannya

• Magnet III (Magnet Femax biru) = 330 gauss

(60)

58 Posisi pemasangan magnet adalah pada selang bahan bakar yang telah melalui saringan bahan bakar dan pemasangannya harus sedekat mungkin dengan fuel injection.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam pengujian ini meliputi :

1. Data primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari pengukuran dan pembacaan pada unit instrumentasi dan alat ukur pada masing–masing pengujian. Maksudnya adalah pencatatan setiap hasil pengujian yang datanya diperoleh langsung dari setiap perubahan variable uji.

2. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian karakteristik bahan bakar solar dan penggunaan magnet penghemat bahan bakar

3.4 Metode Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari hasil pengujian diolah, kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabulasi dan grafik.

3.5 Pengamatan dan Tahap Pengujian

Parameter yang akan ditinjau dalam pengujian ini adalah : 1. Temperatur air pendingin

2. Temperatur oli 3. Emisi gas buang

Prosedur pengujian dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu :

1. Pengujian mesin diesel tanpa magnet menggunakan bahan bakar solar 2. Pengujian mesin diesel menggunakan Magnet EV 1 berbahan bakar solar 3. Pengujian mesin diesel menggunakan Magnet D1 Spec berbahan bakar

solar

4. Pengujian mesin diesel menggunakan Magnet Femax biru berbahan bakar solar

(61)

59 Alat yang digunakan dalam pengukuran nilai kalor bahan bakar ini adalah alat uji “Bom Kalorimeter”.

Peralatan yang digunakan meliputi :

 Kalorimeter, sebagai tempat air pendingin dan tabung bom  Tabung bom, sebagai tempat pembakaran bahan bakar yang diuji.  Tabung gas oksigen.

 Alat ukur tekanan gas oksigen, untuk mengukur jumlah oksigen yang dimasukkan ke dalam tabung bom.

 Termometer, dengan akurasi pembacaan skala 0.010C.

 Elektromotor yang dilengkapi pengaduk untuk mengaduk air pendingin.

 Spit, untuk menentukan jumlah volume bahan bakar.

 Pengatur penyalaan (skalar), untuk menghubungkan arus listrik ke tangkai penyala pada tabung bom.

 Cawan, untuk tempat bahan bakar di dalam tabung bom.

 Pinset untuk memasang busur nyala pada tangkai, dan cawan pada dudukannya.

Adapun tahapan pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Mengisi cawan bahan bakar dengan bahan bakar yang akan diuji.

2. Menggulung dan memasang kawat penyala pada tangkai penyala yang ada pada penutup bom.

3. Menempatkan cawan yang berisi bahan bakar pada ujung tangkai penyala, serta mengatur posisi kawat penyala agar berada tepat diatas permukaan bahan bakar yang berada didalam cawan dengan menggunakan pinset.

4. Meletakkan tutup bom yang telah dipasangi kawat penyala dan cawan berisi bahan bakar pada tabungnya serta dikunci dengan ring “O” sampai rapat. 5. Mengisi bom dengan oksigen (30 bar).

(62)

60 9. Menutup kalorimeter dengan penutupnya yang telah dilengkapi dengan

pengaduk.

10.Menghubungkan dan mangatur posisi pengaduk pada elektromotor. 11.Menempatkan termometer melalui lubang pada tutup kalorimeter.

12.Menghidupkan elektromotor selama 5 (lima) menit kemudian membaca dan mencatat temperatur air pendingin pada termometer.

13.Menyalakan kawat penyala dengan menekan saklar.

14.Memastikan kawat penyala telah menyala dan putus dengan memperhatikan lampu indikator selama elektromotor bekerja.

15.Membaca dan mencatat kembali temperatur air pendingin setelah 5 (lima) menit dari penyalaan berlangsung.

16.Mematikan elektromotor pengaduk dan mempersiapkan peralatan untuk pengujian berikutnya.

17.Mengulang pengujian sebanyak lima kali berturut-turut.

3.7 Prosedur Pengujian Mesin Diesel

Prosedur pengujian mesin diesel dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Kalibrasi instrumentasi mesin diesel sebelum digunakan

2. Mengoperasikan mesin dengan cara memutar poros engkol mesin, kemudian memanaskan mesin selama 5-8 menit

3. Mengatur putaran mesin pada 1600 RPM menggunakan tuas kecepatan dan memastikan putaran mesin dengan melihat data analog pada instrumen.

4. Memasang magnet serta menentukan volume bahan bakar yang akan diuji. 5. Menghitung waktu konsumsi bahan bakar 56 ml.

6. Mengulang pengujian menggunakan variasi putaran yang berbeda (1600 Rpm, 1800 Rpm, 2000 Rpm, 2200 Rpm, 2400 Rpm, 2600 Rpm) untuk variasi beban 3,5 kg dan 4,5 kg.

Gambar

Gambar 2.6 Langkah Buang
Gambar 3.2 IC Engine Instrumentation TD 114
Gambar 3.11 Diagram Alir Prosedur Pengujian Emisi Gas Buang
Tabel 4.2 CO Tanpa Katalitik, Beban 3,5 Kg
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ratio perbandingan campuran udara dengan bahan bakar ( Air Fuel Ratio ) yang terbakar di silinder mesin atau AFR dari masing-masing pengujian tanpa menggunakan magnet

Penurunan emissi gas buang dengan menggunakan medan magnet permanen yang dipasang pada saluran bahan bakar juga telah diungkap dalam penelitian pengaruh

Adapun yang menjadi judul Tugas Sarjana ini yaitu “ PENGARUH MAGNETASI TERHADAP EMISI GAS BUANG, TEMPERATUR AIR PENDINGIN DAN OLI PADA MESIN DIESEL STASIONER SATU

Manfaat dari magnet ini, selain mampu mereduksi emisi pada mesin diesel secara.. langsung dan juga mampu meningkatkan keefektifitasan pembakaran

tidak seluruh energi kimia yang dimiliki oleh bahan bakar dapat dirubah oleh.. mesin menjadi

maksimum yang dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar.. Efisiensi ini disebut juga sebagai efisiensi th ermal brake (thermal efficiency, η

Shooting Motor Diesel, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1986. Mathur ML, “A course in Internal Combustion Engines,” Dhanpat

Biodiesel dikenal sebagai bahan bakar yang Ramah lingkungan karena bersifat dapat diperbaharui dan menghasilkan STUDI KOMPARASI EMISI GAS BUANG MESIN DIESEL MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR