PENGARUH MAGNETASI TERHADAP EMISI GAS BUANG,
TEMPERATUR AIR PENDINGIN DAN OLI
PADA MESIN DIESEL STASIONER SATU SILINDER
DENGAN BAHAN BAKAR SOLAR MURNI
SKRIPSI
Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Oleh :
Herry Wibowo Sucipto (110421033)
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
ABSTRAK
Analisa ini dilakukan untuk mengatasi masalah tentang pengurangan polutan
udara akibat emisi gas buang motor diesel dengan menggunakan magnet. Untuk
mereduksi emisi, dilakukan magnetasi pada saluran bahan bakar sebelum solar
murni memasuki ruang bakar. Tujuan dari magnetasi bahan bakar solar murni
pada saluran bahan bakarnya adalah untuk mengurangi penggumpalan (decluster) susunan partikel penyusun bahan bakar solar murni menjadi teratur dan sejajar.
Manfaat dari magnet ini, selain mampu mereduksi emisi pada mesin diesel secara
langsung dan juga mampu meningkatkan keefektifitasan pembakaran mesin diesel
yang dapat mengakibatkan penurunan suhu oli dan air secara tidak langsung.
Magnetasi mesin dengan menggunakan magnet EV-1 yang memiliki gaus sebesar
2500, dapat mengurangi emisi rata – rata diatas 10 % dibanding tidak memakai
magnet.
ABSTRACT
This analysis conducted to solve the problem of air pollutants reduction of exhaust
gas emissions from diesel engine by using magnet. To reduce emissions, the
magnetization performed on the fuel line, before entering the pure diesel fuel
chamber. The purpose of the magnetization of pure diesel fuel in the fuel line is to
reduce clumping (decluster) to arrangement of constituent particles of pure diesel
fuel into regular and parallel. The benefits of this magnet, besides being able to
reduce emissions in diesel engines directly and also able to increase the
effectiveness of diesel engine combustion that could lead to reduced oil
temperature and water indirectly. to magnetize the machine, using the EV1 which
has gauss magnets of 2500 can reduce average emissions over 10% compared to
not using magnets.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat yang tak terbatas yang telah diberikanNya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan Tugas Sarjana ini. Tugas Sarjana ini, merupakan salah satu
syarat untuk menyelesaikan pendidikan untuk mencapai gelar sarjana di
Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Adapun
yang menjadi judul Tugas Sarjana ini yaitu “ PENGARUH MAGNETASI TERHADAP EMISI GAS BUANG, TEMPERATUR AIR PENDINGIN DAN OLI PADA MESIN DIESEL STASIONER SATU SILINDER DENGAN BAHAN BAKAR SOLAR MURNI ”.
Dalam menyelesaikan Tugas Sarjana ini, penulis mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Ir. M. Syahril Gultom, MT sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada
penulis dalam menyelesaikan Tugas Sarjana ini.
2. Bapak Dr. Ing. Ir. Ikwansyah Isranuri, selaku Ketua Departemen Teknik
Mesin Fakultas Teknik USU.
3. Bapak Ir. Syahrul Abda, Msc, selaku Ketua Program Studi PPSE Teknik
Mesin, Fakultas Teknik, USU.
4. Bapak/Ibu Staff Pengajar dan Pegawai di Departemen Teknik Mesin USU.
5. Kepada Ibunda tercinta Ratna Dewi Hasibuan, M.Pd yang telah memberikan
dukungan doa, materi dan semangat yang sangat luar biasa.
6. Segenap kerabat keluarga yang telah memberikan semangat dan doanya
kepada penulis selama menyelesaikan pendidikan S-1.
7. Seluruh teman-teman penulis, baik teman satu angkatan 2011 juga teman-
teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah menemani
menyadari sepenuhnya Tugas Sarjana ini masih jauh dari kesempurnaan dan
banyak kekurangan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan
kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca, untuk memperbaiki dan
melengkapi penulisan ini ke depannya. Penulis berharap, semoga tulisan ini dapat
berguna dan memperkaya ilmu pengetahuan bagi para pembaca.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, 31 Desember 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
1.5 Metodologi Penulisan ... 3
1.6 Sistematika Penulisan ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Solar ... 5
2.2 Karakteristik Minyak Solar ... 5
2.2.1 Cetana Number (CN) ... 5
2.2.2 Cetana Index (CI) ... 6
2.2.3 Nilai Panas ... 6
2.2.4 Densitas ... 7
2.2.5 Titik Anilin ... 7
2.3 Karakteristik Bahan Bakar Minyak Solar Indonesia ... 7
2.4 Prinsip Kerja Motor Diesel ... 9
2.4.1 Siklus Diesel Ideal ... 9
2.4.1.1 Air Fuel Ratio ... 10
2.4.1.2 Thermal Brake ... 11
2.5 Pembakaran ... 16
2.5.1 Definisi Pembakaran... 16
2.5.2 Proses Pembakaran ... 17
2.5.4 Nilai Kalor Bahan Bakar ... 21
2.5.5 Proses Terbentuknya Gas Buang ... 23
2.6 Magnet ... 24
2.6.1 Asal Magnet ... 24
2.6.2 Dipol Magnet ... 25
2.6.3 Medan Magnet ... 26
2.6.4 Jenis Material Magnet ... 27
2.6.5 Pengaruh Suhu Terhadap Perilaku Magnet ... 28
2.7 Efek Magnetisasi Pada Bahan Bakar Diesel ... 28
2.7.1 Reaktifitas Molekul ... 28
2.7.2 Perubahan Spin Elektron Hidrogen ... 30
2.7.3 Polarisasi Senyawa Hidrokarbon ... 31
2.7.4 SistemMonopol Magnet ... 32
2.8 Sistem Pelumasan Pada Motor Diesel ... 33
2.8.1 Pengertian Pelumasan ... 33
2.8.2 Sifat – Sifat Minyak Pelumas ... 34
2.8.3 Bagian – Bagian yang Dilumasi ... 36
2.8.4 Macam – Macam Pelumasan ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 38
3.2 Alat dan Bahan ... 38
3.2.1 Alat ... 38
3.2.2 Bahan ... 42
3.3 Metode Pengumpulan Data... 43
3.4 Metode Pengolahan Data ... 44
3.5 Pengamatan dan Tahap Pengujian ... 44
3.6 Prosedur Pengujian Nilai Kalor Bahan Bakar ... 44
3.7 Prosedur Pengujian Pefomansi Mesin diesel ... 46
BAB IV HASIL DAN ANALISA PENGUJIAN
4.1 Pengujian Nilai Kalor Bahan Bakar ... 49
4.2 Emisi Gas Buang ... 51
4.2.1 Opasitas ... 51
4.2.2 Kadar CO (%) ... 54
4.2.3 Kadar HC (ppm) ... 56
4.3 Temperatur Air Pendingin ... 59
4.4 Temperatur Oli ... 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 65
5.2 Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Kerja Motor Diesel ... 12
Gambar 2.2 Langkah Isap ... 13
Gambar 2.3 Langkah Kompresi ... 14
Gambar 2.4 Langkah Kerja ... 15
Gambar 2.5 Langkah Buang ... 16
Gambar 2.6 Grafik tingkat pembakaran motor diesel pada kecepatan tinggi ... 20
Gambar 2.7 Dipol Magnetik ... 26
Gambar 2.8 Medan Magnet Induksi... 26
Gambar 2.9 Declustering molekul hidrokarbon yang melewati magnet ... 29
Gambar 3.1 Tequipment TD 111 Four Stroke Engine Diesel ... 36
Gambar 3.2 IC Engine Instrumentation TD 114 ... 37
Gambar 3.3 HESHBON Automotive Emission Analyzer HG-150 ... 38
Gambar 3.4 HESHBON Opacity Smoke Meter HD-410 ... 38
Gambar 3.5 Thermocouple... 39
Gambar 3.6 Magnet EV-1 ... 40
Gambar 3.7 Magnet Batang ... 41
Gambar 3.8 Magnet New Femax Silver ... 41
Gambar 3.9 Diagram Alir Pengujian Perfomansi Mesin ... 45
Gambar 3.10 Diagram Alir Prosedur Pengujian Emisi Gas Buang ... 46
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Kadar Opasitas Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Terhadap Tiap Variasi Putaran Pembebanan 3,5 kg ... 50
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Opasitas Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Terhadap Variasi Putaran Dengan Beban 4,5 kg ... 51
Gambar 4.3 Grafik Kadar CO Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Terhadap Variasi Putaran Dengan Beban 3,5 kg ... 53
Gambar 4.4 Grafik Perbandingan Kadar CO Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Terhadap Variasi Putaran Dengan Beban 4,5 kg ... 54
Gambar 4.6 Grafik Perbandingan Kadar HC Dengan atau Tidak Memakai Magnet
Pada Variasi Putaran dengan Beban 4,5 kg ... 56
Gambar 4.7 Grafik Perbandingan Tair Dengan atau Tidak Memakai Magnet tiap
Variasi putaran dengan Beban 3.5 kg ... 58
Gambar 4.8 Grafik Perbandingan Tair Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Tiap
Variasi Putaran dengan Beban 4,5 kg ... 59
Gambar 4.9 Grafik Perbandingan Toli Dengan atau taidak Memakai Magnet tiap
Variasi Putaran Beban 3,5 kg ... 60
Gambar 4.10 Grafik Perbandingan Toli Dengan atau taidak Memakai Magnet tiap
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori Minyak Solar ... 7
Tabel 2.2 Karakteristik Minyak Solar Indonesia ... 8
Tabel 2.3 Viskositas SAE Untuk Pelumas Motor ... 33
Tabel 4.1 Hasil Uji dan Perhitungan Bom Kalorimeter ... 48
Tabel 4.2 Perbandingan Kadar Opasitas Dengan atau Tidak Memakai Magnet Terhadap Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 3,5 kg ... 49
Tabel 4.3 Perbandingan Kadar Opasitas Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Terhadap Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 4,5 kg ... 51
Tabel 4.4 Perbandingan Kadar CO dengan atau tidak memakai Magnet Terhadap Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 3.5 kg ... 52
Tabel 4.5 Perbandingan Kadar CO Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Terhadap Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 4,5 kg ... 53
Tabel 4.6 Perbandingan Kadar HC Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 3,5 kg ... 55
Tabel 4.7 Perbandingan Kadar HC Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 4,5 kg ... 56
Tabel 4.8 Perbandingan Temperatur Air Pendingin Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 3,5 kg ... 57
Tabel 4.9 Perbandingan Kadar Tair Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 4,5 kg ... 58
Tabel 4.10 Tabel Perbandingan Temperatur Oli Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 3,5 kg ... 60
Tabel 4.11 Tabel Perbandingan Temperatur Oli Dengan Atau Tidak Memakai Magnet Tiap Variasi Putaran Mesin Diesel Beban 4,5 kg ... 61
ABSTRAK
Analisa ini dilakukan untuk mengatasi masalah tentang pengurangan polutan
udara akibat emisi gas buang motor diesel dengan menggunakan magnet. Untuk
mereduksi emisi, dilakukan magnetasi pada saluran bahan bakar sebelum solar
murni memasuki ruang bakar. Tujuan dari magnetasi bahan bakar solar murni
pada saluran bahan bakarnya adalah untuk mengurangi penggumpalan (decluster) susunan partikel penyusun bahan bakar solar murni menjadi teratur dan sejajar.
Manfaat dari magnet ini, selain mampu mereduksi emisi pada mesin diesel secara
langsung dan juga mampu meningkatkan keefektifitasan pembakaran mesin diesel
yang dapat mengakibatkan penurunan suhu oli dan air secara tidak langsung.
Magnetasi mesin dengan menggunakan magnet EV-1 yang memiliki gaus sebesar
2500, dapat mengurangi emisi rata – rata diatas 10 % dibanding tidak memakai
magnet.
ABSTRACT
This analysis conducted to solve the problem of air pollutants reduction of exhaust
gas emissions from diesel engine by using magnet. To reduce emissions, the
magnetization performed on the fuel line, before entering the pure diesel fuel
chamber. The purpose of the magnetization of pure diesel fuel in the fuel line is to
reduce clumping (decluster) to arrangement of constituent particles of pure diesel
fuel into regular and parallel. The benefits of this magnet, besides being able to
reduce emissions in diesel engines directly and also able to increase the
effectiveness of diesel engine combustion that could lead to reduced oil
temperature and water indirectly. to magnetize the machine, using the EV1 which
has gauss magnets of 2500 can reduce average emissions over 10% compared to
not using magnets.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini, krisis energi sudah dirasakan dibeberapa negara, mereka
berlomba-lomba untuk mengadakan penghematan dan pemakaian energi yang
tepat diberbagai bidang. Penghematan ini juga digalakkan dibidang otomotif yang
terus berkembang. Sekarang ini, energi yang digunakan pada kendaraan masih
berupa bahan bakar berbentuk fluida, namun tidak semuanya dipakai secara
efisien, masih ada energi yang terbuang sia-sia. Kondisi ini menandakan bahwa
tidak seluruh energi kimia yang dimiliki oleh bahan bakar dapat dirubah oleh
mesin menjadi energi mekanis. Penyebab utamanya adalah ketidaksempurnaan
pembakaran, disamping itu juga kerugian akibat gesekan yang ditimbulkan antar
bagian mesin.
Ketidaksempurnaan pembakaran menimbulkan efek negatif pada mesin,
diantaranya pengaruh kenaikan temperatur air pendingin dan oli, serta kadar emisi
gas buang yang tinggi. Pembakaran baru dapat dikatakan mendekati sempurna jika
kedua kondisi tersebut dapat ditekan semaksimal mungkin. Dengan kata lain
pemakaian secara hemat terhadap penggunaan bahan bakar dan rendahnya emisi
gas buang.
Untuk mencapai pembakaran yang mendekati sempurna adalah hal yang
ingin dicapai. Untuk itu, hal yang mungkin dilakukan adalah menjadikan
pembakaran lebih baik dari sebelumnya. Fakta ini, disadari sepenuhnya oleh
berbagai pihak terutama produsen kendaraan bermotor, berlomba-lomba
memproduksi kendaraan yang diklaim memiliki pembakaran yang lebih sempurna
sehingga hemat dalam pemakaian bahan bakar dan ramah terhadap lingkungan.
Berbagai terobosan terus dilakukan, diantaranya memodifikasi ruang bakar,
menambah jumlah silinder, menambah jumlah katup (valve) dan memperbaiki mekanisme kerja mesin, menaikkan kompresi, penggunaan EFI dan masih banyak
lagi. Dengan tujuan yang sama, ilmuwan dan praktisi mengadakan studi lebih
percobaan untuk mendapatkan proses pembakaran yang jauh lebih sempurna.
Salah satu metode yang saat ini dikembangkan adalah magnetasi bahan
bakar, yang cara kerjanya adalah dengan memasang magnet sebelum bahan bakar
masuk keruang bakar.
Permasalahan magnetasi bahan bakar ini menjadi topik yang sudah hangat
dibicarakan dan menjadi kontroversi diantara para akademis, para produsen dan
termasuk juga didalamnya para pengguna. Para produsen mengklaim bahwa
produknya yang menggunakan asas magnetasi dapat menghemat pemakaian bahan
bakar antara 20-30 % dan menekan kadar gas polutan antara 40-70 % sementara
dikalangan akademis sendiri timbul pertentangan diantara yang setuju dan tidak
dengan adanya efek magnetasi pada bahan bakar tersebut. Ditambah lagi
subyektifitas pengguna yang masih diragukan karena parameter yang dapat
dikatakan kurang valid, semata-mata hanya berdasarkan atas perasaan saja.
Kurangnya pendalaman teori akan magnet dan karakteristik dari bahan
bakar serta fenomena yang timbul akibat pengkombinasian keduanya
menimbulkan keseluruhan pertentangan ini. Hal inilah yang akhirnya mendorong
penulis untuk mengangkat masalah ini menjadi suatu tugas akhir, dengan cara
mengadakan penelitian, studi pustaka dan juga pengujian yang disertai analisa
guna mengetahui benar atau tidaknya efek magnetasi terhadap bahan bakar
tersebut.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penulisan tugas akhir ini dengan memagnetasi bahan bakar
adalah untuk mengetahui :
1. Pengaruh magnetasi terhadap emisi gas buang.
2. Untuk membandingkan pengaruh besar medan magnet yang berbeda
terhadap temperatur air pendingin dan temperatur oli.
1.3 Batasan Masalah
Pembahasan skripsi ini tertuju pada masalah :
1. Bahan bakar yang dipakai adalah solar murni.
adalah Small Engine Test Bed TD111 MKII di Laboratorium Motor Bakar Departemen Teknik Mesin USU.
3. Pengujian yang dilakukan mencakup beberapa hal yaitu:
a. Tingkat emisi sesudah dan sebelum magnetasi.
b. Pengaruh temperatur oli dan air pendingin terhadap kinerja
mesin diesel.
4. Pengujian ini tidak membahas reaksi kimia sebelum dan sesudah
magnet dipasang pada saluran bahan bakar.
1.4 Manfaat Pengujian
1. Sebagai salah satu solusi tepat guna terhadap pengurangan emisi yang
terjadi saat ini dan .
2. Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa lain, untuk mengembangkan
penelitian yang sama dikemudian hari.
3. Sebagai sarana pengaplikasian ilmu yang di peroleh penulis selama duduk
diperkuliahan.
1.5 Metodologi Penulisan Metodologi
a. Studi literatur, berupa studi kepustakaan, mengacu dari buku-buku dan
tulisan-tulisan yang terkait.
b. Browsing internet, berupa studi artikel-artikel, gambar-gambar dan
buku elektronik (e-book).
c. Metode studi lapangan, yaitu dengan mengambil data dari hasil
pengujian yang dilakukan di laboratorium motor bakar fakultas teknik.
d. Diskusi, berupa tanya jawab dengan dosen pembimbing maupun tukar
1.6Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri atas beberapa bab, dengan garis besar tiap bab adalah
sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisikan latar belakang, tujuan, manfaat, dan ruang lingkup
pengujian.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Bab ini berisikan landasan teori yang digunakan yaitu mengenai bahan
bakar, magnet, mesin diesel dan pembakaran mesin diesel, persamaan
persamaan yang digunakan.
Bab III : Metodologi Penelitian
Bab ini memberikan informasi mengenai tempat pelaksanaan pengujian,
bahan dan peralatan yang dipakai serta tahapan dan prosedur pengujian.
Bab IV : Hasil dan Analisa Pengujian
Bab ini membahas tentang hasil data yang diperoleh dari setiap pengujian
melalui pembahasan dan penganalisaan dengan memaparkan kedalam
bentuk tabel dan grafik.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini sebagai penutup berisikan kesimpulan dan saran yang diperoleh.
Daftar Pustaka
Daftar pustaka berisikan literatur yang digunakan untuk menyusun
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Solar
Minyak solar adalah suatu produk destilasi minyak bumi yang khusus
digunakan untuk bahan bakar mesin Compretion Ignation (udara yang dikompresi menimbulkan tekanan dan panas yang tinggi sehingga membakar solar yang
disemprotkan Injector) dan di Indonesia minyak solar ditetapkan dalam peraturan Dirjend Migas No. 002/P/DM/MIGAS/2007.
Minyak solar berasal dari Gas Oil, yang merupakan fraksi minyak bumi
dengan kisaran titik didih antara 2500C sampai 3500C yang disebut juga midle destilat. Komposisinya terdiri dari senyawa hidrokarbon dan non-hidrokarbon. Senyawa hidrokarbon yang ditemukan dalam minyak solar seperti parafinik,
naftenik, olepin dan aromatik. Sedangkan untuk senyawa non-hidrokarbon terdiri
dari senyawa yang mengandung unsur-unsur non-logam, yaitu sulfur, nitrogen,
dan oksigen serta unsur logam seperti vanadium, nikel, dan besi.
2.2 Karakteristik Minyak Solar
Syarat umum yang harus dimiliki oleh minyak solar adalah harus dapat
menyala dan terbakar sesuai kondisi ruang bakar. Minyak solar sebagai bahan
bakar memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh sifat-sifat seperti Cetana Number (CN), Cetana Index (CI), nilai panas, densitas, titik analin dan kandungan sulfur.
2.2.1 Cetana Number (CN)
Cetana Number menunjukkan bahan bakar minyak solar untuk menyala dengan sendirinya (auto ignation) dalam ruang bakar karena tekanan dan suhu ruang bakar. Angka CN yang tinggi menunjukkan bahwa minyak solar dapat
menyala pada temperatur yang relatif rendah dan sebaliknya angka CN yang
rendah menunjukkan minyak solar baru menyala pada temperatur yang relatif
2.2.2 Cetana Index (CI)
Cetana Index merupakan perkiraan matematis dari CN dengan basis suhu destilasi, densitas, titik anilin dan lain-lain. Apabila terdapat aditif yang bersifat
meningkatkan CN maka perhitungan CI tidak dapat langsung digunakan tetapi
variabel-variabel seperti API gravity dan suhu destilasi harus disesuaikan karena karakteristik bahan bakar akan berubah.
2.2.3 Nilai Panas
Nilai panas bahan bakar dapat diukur dengan menggunakan Bomb
kalorimeter dan hasilnya dimasukkan kedalam rumus perhitungan :
8100C + 3400 (H-0/8)
Nilai panas = kkal/kg
100
Nilai H,C, dan O dinyatakan dalam persentasi berat dalam setiap unsur yang
terkadang dalam satu kilogram bahan bakar. Hasil perhitungan tersebut
merupakan suatu nilai panas kotor (gross heating value) suatu bahan bakar dimana termasuk didalamnya panas laten dari uap air yang terbentuk pada pembakaran hidrogen dari bahan bakar. Selisih nilai panas kotor dan bersih
umumnya berkisar antara 600-700 kkal/kg tergantung besar persentase hidrogen
yang ikut terbakar.
Secara kasar nilai panas suatu bahan bakar dapat diperkirakan dari berat
jenis yang bersangkutan :
Berat Jenis pada 150C : 0,85; 0,87; 0,89; 0,91; 0,93
Nilai panas kotor (kkal/kg) : 10900; 10800; 10700; 10600; 10500.
Menurut spesifikasi minyak solar di indonesia mempunyai berat jenis antara
0,820 – 0.870 pada temperatur 600F, dengan demikian dapat diperkirakan
mempunyai nilai panas kotor minimal 10800 kkal/kg karena semakin rendah berat
laboratorium minyak solar berat jenisnya 0,8521 dengan panas kotor 10917
kkal/kg.
2.2.4 Densitas
Berat jenis adalah perbandingan antara berat persatuan volume minyak
solar. Berat jenis suatu minyak solar mempunyai satuan kilogram per meter kubik
(kg/m3). Karakteristik ini sangat berhubungan erat dengan nilai panas kalor dan
daya yang dihasilkan oleh mesin diesel persatuan bahan bakar yang digunakan.
Densitas yang disarankan untuk minyak solar berdasarkan Masdent Point Refinery
untuk tahun 2000 yaitu 826 – 859 km/m3.
2.2.5 Titik Anilin
Titik yang menunjukkan suhu terendah saat dimana dalam volume yang
sama destilasi anilin dan bahan bakar bersangkutan bercampur dengan sempurna.
Titik anilin yang rendah menunjukkan bahwa minyak solar tersebut mempunyai
angka cetana yang rendah.
2.3 Karakteristik Bahan Bakar Minyak Solar Indonesia
Minyak solar berdasarkan CN dikategorikan menjadi tiga bagian, seperti
tabel 2.1. kategori 3 pada tabel 2.1 merupakan batasan yang tertinggi yang
diharuskan pada tahun 2005. Negara swedia sudah menerapkannya sejak tahun
2000. Kebanyakan negara berkembang masuk kategori 1. Secara bertahap
karakteristik dari minyak solar ini harus bergeser menuju pada kategori 3 dengan
minyak solar ber CN diatas 55.
Tabel 2.1 Kategori Minyak Solar
SIFAT Kategori 1 Kategori 2 Kkategori 3
Cetana Number 48 53 55
Cetana Index 45 50 52
Viscositas @400C,mm2/s 2 – 4.5 2 – 4.0 2 – 4.0
Kandungan Sulfur, %wt 0.5 0.03 Bebas
T95, 0C max 370 355 340 Sumber : Gaikindo, 2012
Minyak solar indonesia belum masuk kategori 1 karena CN minyak solar
Indonesia 45 (lihat Tabel 2.1), walaupun hal ini memenuhi baku mutu dari
pemerintah sesuai keputusan ditjend Migas No. 002/P/DM/MIGAS/1979.
Karakteristis minyak solar Indonesia menurut keputusan diatas dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Karakteristik Minyak Solar Indonesia
Unit Min. Max. ASTM method
Spesifik grafite at 60/600F 0.815 0.87 D 1298
Cetana Number 45 - D 613
Calculated Cetana Index 48 - D 976
Viscosity kinematik at 400C CSt 1.6 5.8 D 445
Pour point 0F - 65 D 97
Conradson carbon residue %wt - 0.1 D 189
Color ASTM - 3 D 1500
Flash point 0F 140 - D 93
Sulfur content % wt - 0.5 D 1551
Sediment % wt - 0.01 D 473
Ash content % wt - 0.01 D 482
Total acid number MgKOH - 0.6 D 974
Destilation : recovery at 3000C % vol 40 - D 86 Sumber : DITJEN MIGAS No. 113 K 172/DJM/1999, Tanggal 27 Oktober 2011.
Dari tabel 2.2 dapat dilihat bahwa minyak solar Indonesia masih
mempunyai CN dibawah 48.
2.4 Motor Diesel 2.4.1 Siklus Diesel Ideal
Siklus diesel adalah siklus ideal untuk mesin torak pengapian-kompresi yang
pertama kali dinyatakan oleh Rudolph Diesel tahun 1890. Prinsip kerjanya sama
halnya dengan mesin torak pengapian-nyala, yang dinyatakan oleh Nikolaus A.
Otto tahun 1876, hanya perbedaan utamanya dalam hal metode pembakarannya.
Pada mesin torak pengapian-nyala (mesin bensin) campuran udara-bahan bakar
dikompresi ke temperatur dibawah temperatur pembakaran sendiri (auto ignition) dari bahan bakarnya, kemudian proses pembakarannya oleh percikan bunga api
dari busi. Sedangkan pada mesin torak pengapian kompresi (mesin diesel), udara
dikompresi ke temperatur di atas temperatur auto ignition dari bahan bakarnya, kemudian pembakaran dimulai saat bahan bakar yang diinjeksikan kontak dengan
udara panas tersebut. Maka pada mesin diesel, busi dan karburator digantikan oleh
Gambar 2.1 Diagaram P-v dan Diagram T-s Siklus Ideal Diesel
(Buku Thermodinamika Teknik Jilid 2)
Siklus diesel (ideal) pembakaran tersebut dimisalkan dengan pemasukan
panas pada volume konstan (Y. A. Çengel and M. A. Boles, 2006). Siklusnya
seperti pada diagram P-v dan T-s di atas (Gambar 2.1). Siklus tersebut terdiri dari
empat buah proses berantai yang reversible secara internal. Proses 1-2 isentropik,
2-3 penambahan kalor. Pada siklus Otto kalor dipindahkan ke fluida kerja pada
volume konstan, sedangkan pada siklus diesel, kalor dipindahkan pada tekanan konstan. Proses 3-4 ekspansi isentropic, dan proses 4-1 pelepasan kalor pada volume konstan, di mana kalor keluar dari udara ketika piston berada pada titik
mati bawah.
2.4.1.1Air Fuel Ratio (AFR)
Didalam mesin, bahan bakar dibakar oleh udara. Udara kering
merupakan campuran berbagai gas yang memiliki komposisi representatif 20%
oksigen, 78,09% nitrogen, 0,93% argon, dan sisanya berupa CO2, neon, helium,
metana dan gas lainnya. Pada pembakaran, oksigen merupakan komponen reaktif
dari udara. Bahan bakar yang digunakan pada motor bakar merupakan campuran
dari berbagai komponen hidrokarbon yang didapat melalui proses penyulingan
minyak. Bahan bakar ini didominasi oleh karbon sekitar 86% dan hidrogen 14%.
Walaupun demikian bahan bakar diesel bisa mengandung kadar sulfur hingga 1
biasanya diukur, namun jika tak terdapat alat ukur dapat dihitung melalui rumus
berikut:
AFR = . ... (2.4.1)
2.4.1.2 Thermal Brake
Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil daripada energi yang
dibangkitkan piston karena sejumlah energi hilang akibat adanya rugi rugi
mekanis (mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja
maksimum yang dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar.
Efisiensi ini disebut juga sebagai efisiensi thermal brake (thermal efficiency, ηb).
Jika daya keluaran Pb dalam satuan kW, laju aliran bahan bakar mf dalam
satuan kg/jam, nilai kalor bawah bahan bakar LHV dalam satuan kJ/kg, maka:
η
b= x 3600 ... (2.4.2)Motor diesel dikategorikan dalam motor bakar torak dan mesin pembakaran
dalam (internal combustion engine) (simplenya biasanya disebut “motor bakar” saja). Prinsip kerja motor diesel adalah merubah energi kimia menjadi energi
mekanis. Energi kimia di dapatkan melalui proses reakasi kimia (pembakaran)
dari bahan bakar (solar) dan oksidiser (udara) di dalam silinder (ruang bakar).
Pembakaran pada mesin Diesel terjadi karena kenaikan temperatur campuran
udara dan bahan bakar akibat kompresi torak hingga mencapai temperatur nyala.
Tekanan gas hasil pembakaran bahan bakar dan udara akan mendorong torak
yang dihubungkan dengan poros engkol menggunakan batang torak, sehingga
torak dapat bergerak bolak-balik (reciprocating). Gerakan bolak-balik torak akan diubah menjadi gerak rotasi oleh poros engkol (crank shaft). Dan sebaliknya gerak rotasi poros engkol juga diubah menjadi gerak bolak-balik torak pada
langkah kompresi. Motor diesel pembakaran terjadi karena kenaikan temperatur
campuran udara dan bahan bakar akibat kompresi torak hingga mencapai
motor diesel juga disebut compression ignition engine (Mathur ML, 1980)seperti pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Proses Kerja Motor Diesel
Adapun langkah kerja motor diesel adalah sebagai berikut :
1. Langkah Isap
Sewaktu piston bergerak dari TMA ke TMB, maka tekanan diruang
pembakaran menjadi hampa (vakum). Perbedaan tekanan udara luar yang tinggi dengan tekanan hampa, mengakibatkan udara akan mengalir dan
bercampur dengan gas. Selanjutnya udara murni tersebut masuk melalui
katup masuk yang terbuka mengalir masuk dalam ruang cylinder. Prosesnya adalah :
a. Piston bergerak dari Titik Mati Atas (TMA) menuju Titik Mati Bawah
(TMB).
b. Katup buang tertutup dan katup masuk terbuka, udara murni masuk ke
silinder.
c. Tekanan negatif piston menghisap udara murni dengan tekanan yang
tinggi masuk ke silinder. (Seperti pada gambar 2.2)
Gambar 2.2 Langkah Isap
2. Langkah Kompresi
Setelah melakukan pengisian, piston yang sudah mencapai TMB kembali
lagi bergerak menuju TMA, dimana katup masuk dan katup buang tertutup,
ini memperkecil ruangan diatas piston, sehingga udara murni tersebut
menjadi padat, tekanan dan suhunya naik. Tekanannya naik kira-kira tiga
kali lipat. Beberapa derajat sebelum piston mencapai TMA terjadi
semprotan bahan bakar dari nozle dalam bentuk kabut. Prosesnya sebagai
berikut :
a. Piston bergerak kembali dari TMB ke TMA;
b. Katup masuk menutup, katup buang tetap tertutup;
c. Bahan Bakar termampatkan ke dalam kubah pembakaran (combustion chamber) sehingga suhu dan tekanan akan naik;
d. Sekitar ± 8 derajat sebelum TMA, injektor menyemprotkan bahan bakar
keruang bakar dalam bentuk kabut dan memulai proses pembakaran.
(Seperti pada gambar 2.3)
Gambar 2.3 Langkah Kompresi
3. Langkah Usaha/Tenaga
Dengan cepat campuran yang terbakar ini merambat dan terjadilah
ledakan yang tertahan oleh dinding kepala silinder sehingga menimbulkan
tendangan balik bertekanan tinggi yang mendorong piston turun ke silinder
bore. Gerakan linier dari piston ini dirubah menjadi gerak rotasi oleh poros
engkol. Enersi rotasi diteruskan sebagai momentum menuju flywheel yang
bukan hanya menghasilkan tenaga, counter balance weight pada kruk as membantu piston melakukan siklus berikutnya. Prosesnya sebagai berikut :
a. Ledakan tercipta secara sempurna di ruang bakar, dan Piston terlempar
dari TMA menuju TMB.
b. Katup masuk menutup penuh, katup buang menutup tetapi menjelang
akhir langkah usaha katup buang mulai sedikit terbuka.
c. Terjadi transformasi energi gerak bolak-balik piston menjadi energi
rotasi pada poros engkol.(Seperti pada gambar 2.4)
Gambar 2.4 Langkah Kerja
4. Langka Buang (Exhaust stroke)
Pada langkah buang, piston bergerak dari TMB menuju TMA, katup
penting untuk menghasilkan operasi kinerja mesin yang lembut dan efisien.
Prosesnya adalah :
a. Counter balance weight pada poros engkol memberikan gaya untuk
menggerakkan piston dari TMB ke TMA;
b. Katup buang terbuka Sempurna, katup masuk menutup penuh;
c. Gas sisa hasil pembakaran didesak keluar oleh piston melalui port
exhaust menuju knalpot.(Seperti pada gambar 2.5)
Gambar 2.5 Langkah Buang
2.5 Pembakaran
2.5.1 Definisi Pembakaran
Pembakaran merupakan suatu reaksi kimia yang melibatkan kombinasi
bahan bakar dan oksigen untuk menghasilkan panas dan produk pembakaran.
Definisi pembakaran adalah suatu reaksi oksidasi dan oksigen dan material yang
mudah terbakar, yang ditandai nyala api dan menghasilkan cahaya panas. Dalam
pembakaran dengan bahan bakar, yang dimaksud dengan Cumbutible materials
adalah jenis-jenis material yang mudah terbakar, seperti hidrokarbon. Sedangkan
diperoleh dari udara untuk pembakaran spontan yang mengandung 21 % O2. Dari
definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pada terjadinya peristiwa
pembakaran atau oksidasi setidaknya ada tiga komponen yang dilibatkan, yaitu :
1. Material yang akan mengalami peristiwa pembakaran (dapat berupa
cairan, gas, maupun padatan);
2. Oksigen (komponen dalam udara yang memicu terjadinya oksidasi);
3. Letupan energi yang terjadi saat pembakaran berlangsung (yang
berfungsi sebagai pengaktivasi jalannya reaksi oksidasi).
Jenis-jenis pembakaran ditentukan oleh rasio dari udara (air) dan bahan bakar (fuel) atau ratio A/F.
2.5.2 Proses Pembakaran
Proses pembakaran dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Complete combution, terjadi apabila semua unsur C, H, dan S yang terkandung dalam bahan bakar bereaksi membentuk C02, H2O, dan SO2.
Pembakaran ini umumnya dapat dicapai pada kondisi pembakaran
dengan udara lebih.
b. Perfect combution, terjadi apabila jumlah bahan bakar dan oksidatornya sesuai dengan reaksi stokiometris. Campuran dikatakan stokiometris jika
jumlah oksigen dalam campuran tepat untuk bereaksi dengan unsur C,
H, dan S membentuk CO2, H2O, dan SO2.
c. Incomplete combution, terjadi proses pembakaran bahan bakar menghasilkan produk antara seperti CO, H2, dan aldehit disamping CO2,
H2O, dan N2 (jika oksidatornya dalam udara). Pembakaran parsial ini
dapat terjadi akibat suplai oksidator yang terbatas, nyala ditiup atau
dihembus, nyala didinginkan dengan dikenai permukaan dingin,
pencampuran bahan bakar, dan oksidator yang tidak sempurna.
d. Spontaneous combution, terjadi apabila bahan bakar mengalami oksidasi secara perlahan sehingga kalor yang dihasilkan tidak terlepas,
mencai titik bakarnya (ignation point) hingga bahan bakar habis terbakar dan menyala.
Pada kenyataannya sangat sulit bagi reaksi untuk pembakaran
untuk berlangsung dalam kondisi stokiometris, karena itulah dikenal
istilah pembakaran dengan udara berlebihan. Alasan utama akan
kebutuhan terhadap udara berlebihan (excees air) adalah karena kegagalan aliran (bahan bakar) dan udara untuk dapat bercampur
sempurna pada daerah diamana pembakaran dapat seharusnya dapat
teradi. Berlangsungnya pembakaran dipengaruhi oleh frekuensi
tumbukan antara molekul bahan bakar dengan molekul oksigen. Bila
terjadi deefisiensi dari pencampuran kedua fluida, maka dibutuhkan
oksigen berlebih untuk meningkatkan frekuensi tumbukan antara
molekul tersebut.
Metode yang digunakan untuk menghubungkan kondisi udara aktual
dalam sistem pembakaran dengan jumlah teoritis yang diperlukan dinyatakan
sebagai air factor (AF). Air factor (AF) dinyatakan sebagai ratio dari udara aktual yang digunakan (Arismunandar W, 1983).
2.5.3 Pembakaran Dalam Mesin Diesel a. Mesin Injeksi Udara
Pemecahan, yang disebut pengabutan, dan distribusi bahan bakar dalam mesin injeksi udara adalah sedemikian efisien sehingga
keterlambatan penyalaan sangat sedikit dan tidak timbul masalah yang
berkaitan dengan pembakaran sampai injeksi tanpa udara menjadi makin
diterima secara luas dan kecepatan putar mulai jauh melebihi kecepatan
dari mesin injeksi udara.
b. Mesin Injeksi tanpa Udara
Ketika injeksi dimulai, partikel bahan bakar yang dikabutkan halus
dan bersinggungan dengan udara yang telah dipanasi lebih dahulu oleh
langkah kompresi. Pertama kali, suhunya naik, kemudian mulai
titik nyala, maka reaksi cepat akan dimulai, yang mengakibatkan
kenaikan tekanan dan suhu akan menyebar kepada sisa bahan bakar
dalam ruang bakar. Penyalaan tidak selalu melalui pada titik yang sama,
tetapi pada tempat atau beberapa tempat yang ditentukan oleh keadaan
suhu dan distribusi bahan bakar, dan dapat berawal pada beberapa titik
secara serentak.
c. Pusaran (turbulence)
Keadaan yang terpenting untuk pembakaran yang efisien, terutama
dalam mesin kecepatan tinggi, adalah gerakan yang cukup antara
tetesan bahan bakar dengan udara. Kalau bahan bahan bakar dipecahkan
dalam bentuk kabut, maka kecepatan semprotan dan jangkauan
penyusupannya ketitik yang jauh dalam ruang bakar akan turun sampai
nilai yang agak rendah. Jadi distribusi bahan bakar dan campurannya
dengan udara harus tergantung pada gerakan udara. Gerakan ini yang
disebut pusaran, didapatkan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan bentuk tertentu pada ruang bakar atau puncak torak atau
dengan mengarahkan aliran dari pemasukan udara dalam jalur tertentu,
dan sebagainya.
d. Mesin dengan Kecepatan Tinggi
Pemahaman yang lebih baik tentang apa yang dalam silinder mesin
diesel selama priode pembakaran dapat diperoleh dengan penyajian
grafik. Perubahan tekanan dibuat petanya sebagai ordinat terhadap
sebagai absis. Karena putaran poros engkol untuk kegunaan umumnya
dapat dianggap seragam, maka derajat dari perjalanan engkol dapat
dianggap sebanding dengan waktu, dan absisnya dapat dinyatakan
secara sesuai dalam sudut dari perjalanan engkol. Sebuah diagram
tekanan tertentu ditunjukkan pada gambar dibawah ini, diagram ini
menunjukkan perubahan tekanan selama 1800 dari 900 sebelum titik mati
atas (TMA).
Sampai 900 sesudahnya. Belahan pertama dari diagram, yaitu garis
perubahan tekanan dalam sislinder selama langkah kompresi, seperti
pada grafik berikut:
Gambar 2.6 Grafik tingkat pembakaran motor diesel pada kecepatan tinggi
Kalau bahan bakar di injeksikan dan terjadi pembakaran, maka proses dalam
sebuah mesin diesel dengan kecepatan tinggi dapat dianggap terbagi menjadi
empat tingkat atau periode yang terpisah. Periode pertama mulai pada titik 1,
ketika injeksi dimulai, bahan bakar mulai memasuki silinder, dan berakhir sampai
pada titik 2. Ini adalah periode keterlambatan (delay priode), ini sesuai dengan sudut perjalanan engkol. Selama periode ini tidak terdapat kenaikan tekanan
melebihi yang dihasilkan dengan kompresi udara oleh torak. Bahan bakar terus
menerus masuk melalui nosel dan titik 2, terdapat sejumlah bahan bakar dalam
ruang bakar, yang dipecah halus dan sebagian menguap, dan siap untuk
pembakaran. Ketika bahan bakar akhirnya dinyalakan, akan menyala dengan cepat
yang mengakibatkan kenaikan tekanan mandadak sampai titik 3 tercapai. Priode
pembakaran cepat ini yang sesaui dengan sudut engkol b, membentuk tingkat kedua. Setelah titik 3, bahan bakar yang belum terbakar dan bahan bakar yang
masih tetap diinjeksikan terbakar pada kecepatan yang tergantung pada kecepatan
Periode ini adalah tingkat ketiga dari pembakaran terkendali atau pembakaran
sedikit demi sedikit, ini berakhir pada titik 4 dengan berhentinya injeksi. Selama
tingkat ini tekan dapat naik, tetap konstan, atau turun. Pembakaran pasca tidak
terlihat pada diagram karena pemunduran torak mengakibatkan turunnya tekanan
meskipun panas ditimbulkan oleh pembakaran bagian akhir bahan bakar (Cengel,
Yunus A, 1994).
2.5.4 Nilai Kalor Bahan Bakar
Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan
panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar dibakar
sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific Value). Berdasarkan asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai
kalor bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai
kalor atas dan nilai kalor bawah.
Nilai kalor atas (High Heating Value) HHV, merupakan nilai kalor yang diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan bom kalorimeter dimana hasil pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar
uap air yang terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan
panas latennya. Data yang diperoleh dari hasil pengujian bom kalorimeter adalah
temperatur air pendingin sebelum dan sesudah penyalaan. Selanjutnya untuk
menghitung nilai High Heating Value (HHV), dapat dihitung dengan persamaan berikut :
HHV = ( T2 – T1 – Tkp ) x cv………(persamaan 2.5.4.1) Dimana :
HHV = Nilai Kalor Atas (kJ/kg)
T1 = Temperatur air pendingin sebelum penyalaan (0C)
T2 = Temperatur air pendingin sesudah penyalaan (0C)
Cv = Panas jenis bom kalorimeter (73529,6 kJ/kg 0C)
Tkp = Kenaikan temperatur akibat kawat penyala (0,05 0C)
LHVrata-rata = HHVrata-rata - 3240………(persamaan 2.5.4.2)
Secara teoritis besarnya nilai kalor atas (HHV) dapat dihitung bila
diketahui komposisi bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan Dulog :
HHV = 33950 C + 144200 (H2 – (O2/8)) + 9400 S………(persamaan
2.5.4.3)
Dimana :
HHV = Nilai kalor atas (kJ/kg)
C = Komposisi karbon dalam bahan bakar
H2 = Komposisi hidrogen dalam bahan bakar
O2 = Komposisi oksigen dalam bahan bakar
S = Komposisi sulfur dalam bahan bakar
Nilai kalor bawah Low Heating Value (LHV), merupakan nilai dari kalor bahan bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air. Umumnya
kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15% yang berarti setiap satu
satuan bahan bakar 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses pembakaran
sempurna, air yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah setengah dari
jumlah mol hidrogen.
Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap yang terbentuk pada proses
pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada
didalam bahan bakar (moisture). Panas laten pengkondensasian uap air pada tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang umum timbul pada gas buang) adalah
sebesar 2400 kJ/kg, sehingga besar nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung
berdasarkan persamaan berikut:
LHV = HHV – 2400 (H20 + 9H2)………(persamaan 2.5.4.4) Dimana:
LHV = Nilai kalor bawah (kJ/kg)
Dalam perhitungan efisiensi panas dari mesin bakar, dapat menggunakan
nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi saat gas buang
meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air. Namun dapat juga
menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai tersebut umunya lebih cepat
tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan ASME (American Society of Mechanical Enggineers) menentukan penggunaan nilai kalor atas (HHV), sedangkan peraturan SAE (Society OF Automotive Engineers) menentukan nilai kalor bawah (LHV) (Amir Isril, 1996).
2.5.5 Proses Terbentuknya Gas Buang
Setiap pembakaran pasti mempunyai gas produk atau yang kita kenal emisi,
dibawah ini merupakan emisi yang dihasilkan dari pembakaran selain dari gas
CO2 yaitu :
a. Karbon monoksida (CO)
Bila karbon didalam bahan bakar terbakar dengan sempurna, akan
terjadi reaksi yang menghasilkan CO2 seperti yang terlihat dibawah ini :
C + O2 CO2
Apabila oksigen dalam udara tidak cukup, maka pembakaran akan
berlangsung secara tidak sempurna, sehingga karbon yang terbakar akan
menjadi :
C + ½ O2 CO
Dengan kata lain, emisi CO dalam suatu pembakaran dipengaruhi
oleh perbandingan campuran antara udara dengan bahan bakar.
b. Hidrokarbon
Sumber emisi hidrokarbon dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Bahan bakar yang tidak terbakar dan keluar menjadi gas mentah:
2. Bahan bakar terpecah karena reaksi panas berubah menjadi
gugusan hidrokarbon lain yang keluar bersama dengan gas
Sebab utama timbulnya hidrokarbon pada emisi gas buang
adalah sekitar tempat terjadinya pembakaran bersuhu rendah,
diamana suhu itu tidak mampu melakukan pembakaran.
c. Nitrogen Oksigen (NOX)
Jika terdapat N2 dan O2 pada suhu 18000C s/d 20000C, akan terjadi
reaksi pembentukan gas NO seperti berikut ini:
N2 + O2 2NO
Di udara NO mudah berubah menjadi NO2, NOx, didalam gas
terpilih dari 95% NO, 3-4% NOx, dan sisanya N2O, N2O3, dan
sebagainya.
d. Sulfur Oksidasi (SOx)
Bahan bakar minyak solar mengandung unsur belakang (sulfur).
Pada saat terjadi pembakaran, S akan bereaksi dengan H dan O untuk
membentuk senyawa sulfat dan sulfur oksidasi.
H + S + O HSO
S + O2 SO2
e. Nitrogen (N2)
Udara yang digunakan untuk pembakaran sebagian besar terdiri
dari senyawa nitrogen (N2). Pada saat terjadi pembakaran, sebagian kecil
N2 akan bereaksi dengan O2 dan membentuk NO2. Sebagian besar
lainnya tetap berupa senyawa nitrogen hingga keluar sebagai emisi.
f. Uap air (H2O)
H2O merupakan hasil reaksi pembakaran, dimana air yang
dihasilkan tergantung dar mutu bahan bakar. Makin banyak uap air
dalam gas buang, menandakan pembakaran makin baik.
2.6 Magnet
2.6.1 Asal Kemagnetan
Sifat kemagnetan makroskopik material adalah konsekuensi momen magnet
momen magnet berasal dari pergerakan elektron, ini dipengaruhi oleh konfigurasi
elektron yang berbeda tiap atom atau ikatan antara atom.
Elektron mempunyai dua pergerakan, yakni spin dan orbit, dimana momen
magnet magnet spin elektron memberikan efek lebih besar dari pada orbitnya.
Besar momen magnet di indikasikan oleh Borh magneton, μB = 9,27 x 10-24 A-M2.
Untuk spin keatas dan kebawah bernilai berturut-turut + μB dan - μB. Untuk orbital
yang bernilai μB. m, dimana m nilai kuatum magnetik. Pada orbital atom yang
terisi penuh, momen orbital dan spin dari pasangan elektron saling meniadakan,
material menjadi bukan magnet permanen (Sears & Zemansky Addison Wesley
5th edision).
2.6.2 Dipol Magnetik
Dipol magnet dapat dianalogikan sebagai magnet batang yang terdiri dari
kutub utara dan kutub selatan, pengganti dengan kutub + dan – dari dipol listrik.
Pada lingkungan suatu medan magnet, dipol magnetik pada suatu material
cenderung terorientasi terhadap medan. Dipol magnet dapat menimbulkan medan
magnet, yang dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.7 Dipol Magnetik
2.6.3 Medan Magnet
Suatu partikel bermuatan listrik yang bergerak pada suatu medan magnet
akan mengalami gaya Lorentz yang mendorongnya kearah tegak lurus dengan
medan magnet dan arah gerak (kaidah tangan kanan). Medan magnet aksternal, H
dapat diubah dengan kumparan kawat silinder yang dialiri kawat listrik, sehingga
memberikan medan magnet terinduksi B. Medan magnet terinduksi, B (wb.m-2),
adalah besar kekuatan magnet internal suatu material yang diberikan H, dimana H
= (N/I) I, dengan I adalah arus listrik. (Seperti pada gambar 2.8)
Gambar 2.8 Medan Magnet Induksi
Dari gambar diatas, menjelaskan derajat magnetasi material atau suatu
material dapat diinduksi oleh H. Magnetasi suatu material M, dapat memperkuat
pengorientasian momen magnet terhadap H.
B = μ0H + μ0 M
Dimana: M = XM H dan XM = k-1.
Medan magnet yang timbul pada magnet permanen dihasilkan dari
medan-medan magnet yang sangat kecil dari tiap atom dalam magnet tersebut yang saling
menguatkan. Tingkatan ini dihasilkan oleh pergerakan spin dan orbital dari
elktron. Material feromagnetik yang dapat menghasilkan fenomena ini. Unsur
yang umumnya digunakan sebagai bahan utama material ferromegnetik adalah
Kekuatan magnet dihasilkan oleh magnetik flux density. Yang diukur dalam satuan Gauss. Jenis magnet yang digunakan untuk refrigerator mempunyai
kekuatan sekitar 1000 Gauss sedangkan water treatment dan bahan bakar mempunyai tingkatan sekitar 2000 sampai 4000 Gauss.
2.6.4 Jenis Material Magnet
Berdasarkan konfigurasi elektron, efek magnet pada material terbagi :
a. Diamagnetik
Material yang semua momen spin elektronnya bercouple. Pada suatu medan magnet elsternal momen, magnet terinduksi
(termagnetisasi) secara lemah karena Xm ˂ O (lemah); Xm menandakan
magnetisasi yang didapat pada suatu medan magnet. Asal momen
magnet berasal dari orbit elektron sekitar inti, yang menghasilkan medan
magnet. Pada suatu medan magnet eksternal, ekstra torque diaplikasikan ke elektron menghasilkan orientasi anti-paralel mmomen magnet atom,
yang lemah terhadap medan magnet, karena XM˂ 0.
b. Paramagnetik
Material yang memiliki atom, ion, dan molekul yang berspin tak
terkompensasi dan batas momen magnet spin permanen. Pada non
medan magnet eksternal, orientasi momen magnet atom acak, karena
dipol atom bergerak bebas. Momen spin yang lebih besar dari pada
momen orbitnya menyebabkan perilaku material saat medan magnet
eksternal mengindikasikan momen magnet spin. Pada suatu medan
magnet, momen spin yang tak terkompensasi terorientasi (terinduksi, Xm ˃ 0) hingga beberapa derajat terhadap arah medan magnet(magnetisasi). c. Ferromagnetik
Kasus khusus parakmagnetik dimana momen magnet spin
atom-atom dapat saling berpasangan langsung (direct exchange) atau melalui anion intermediat seperti oksigen (super exchange).
Tidak seperti paramagnetik, saat medan magnet eksternal dilepas, material
menyisakan bagian yang termagnetisasi permanen (penomena histerisis).
Magnetisasi maxsimum (saturasi), MS menggambarkan magnetisasi yang
dihasilkan semua dipol magnet yang terorientasi dengan medan magnet eksternal.
2.6.5 Pengaruh Suhu Terhadap Perilaku Magnet
Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan vibrasi atom-atom, sehingga
mengacak beberapa momen yang terorientasi. Pada ferro-, antiferro-,dan ferri-
magnetik, vibrasi termal meniadakan gaya coupling antara momen dipol atom-atom berdekatan (beberapa dipol akan kehilangan orientasi), sehingga magnetisasi
menurun. Magnetisasi bernilai maksimum pada saat vibrasi minimum (0 K).
Peningkatan suhu menurunkan secara perlahan magnetisasi, yang turun hingga nol
pada suhu curie Tc (spesifik untuk material). Saat Tc gaya coupling spin mutual (ferro- dan ferri- magnetik) hilang sempurna (paramagnetik). Peningkatan suhu
juga menurunkan kemagnetan anti ferromagnetik hingga suhu Neel, TNe, setelah
itu kemagnetan meningkat.
2.7 Efek Magnetisasi pada Bahan Bakar Diesel 2.7.1 Reaktifitas Molekul
Adanya medan magnet statis yang besar, awan elektron mengelilingi
molekul, sehingga molekul bersifat terpolarisasi dan memberikan kenaikan pada
medan yang kecil. Posisi inti atom, pada medan yang sesungguhnya tidak hanya
tergantung sekitarnya, akan tetapi sekeliling molekul sendiri. Pada keadaan cair,
reorientasi molekul terjadi secara acak.
Jika atom yang diletakkan dalam medan magnet yang seragam, elektron
yang mengelilingi inti menjadi berputar. Perputaran ini menyebabkan medan
magnet sekunder yang arahnya berlawanan dengan arah medan magnet yang
Ketika solar masih berada dalam suatu penyimpanan bahan bakar, molekul
hidrokarbon, yang merupakan penyusun utama solar, cenderung untuk saling
tertarik satu sama lain, membentuk molekul-molekul yang bergerombol
(clustering). Penggumpalan ini akan terus berlangsung, sehingga menyebabkan molekul-molekul hidrokarbon tidak saling berpisah pada saat bereaksi dengan
oksigen diruang bakar. Akibat buruk yang ditimbulkannya adalah ketidak
sempurnaan pembakaran yang dapat dibuktikan secara sederhana dengan
ditemuinya kandungan hidokarbon pada gas buang.
Adanya suatu medan magnet permanen yang cukup kuat pada melekul
hidrokarbon yang bersifat diamagnetik akan menyebabkan reaksi penolakan antar
molekul hidrokarbon (desclustering) sehingga terbentuk jarak yang optimal antar molekul hidrokarbon.
Partikel-partikel atom yang membentuk molekul hidrokarbon tersebut akan
terpengaruh oleh medan magnet yang ditimbulkan sehingga akhirnya akan
menjadi semakin aktif dan arahnya akan tersejajar (reorientasi) sesuai dengan arah
medan magnet. Aktifitas molekular yang meningkat akibat medan magnet akan
menyebabkan pengumpulan molekular terpecah. Oksigen akan lebih mudah
bereaksi dengan masing-masing molekul hidrokarbon yang tidak lagi berada
dalam gumpalan, sehingga menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna dan
penurunan kadar emisi gas buang. (Seperti pada gambar 2.9)
Pemecah gumpalan-gumpalan (desclustering) molekul hidrokarbon ini dapat dijelaskan juga melalui teori mengenai momen ikatan. Sebagai contoh, apabila
ikatan polar seperti O-H dibiarkan dalam medan magnet, maka ikatan akan
mengalami sejumlah gaya balik tertentu. Gaya ini secara sederhana mendorong
medan magnet untuk membebaskan ikatan dalam medan. Ikatan yang lebih polar
mengalami gaya lebih besar daripada ikatan yang kurang polar. H-C termasuk
ikatan non-polar, karena nilai momen ikatannya hanya sebesar 0,4 D (Debye). Namun medan magnet yang kuat dapat mengganggu dan mempengaruhi ikatan
H-C. Meskipun ikatan antara atom H-C tidak sampai terlepas satu sama lain, namun
setidaknya kekuatan ikatannya akan sedikit melemah, sehingga atom-atom
hidrogen dan karbon akan lebih mudah tertarik dengan oksigen pada proses
pembakaran.
2.7.2 Perubahan Spin Elektron Hidrogen
Hidrokarbon pada dasarnya memiliki struktur seperti sangkar (cage like). Sebagai contoh metana (CH4), tersusun atas satu atom karbon yang posisinya
berada dibagian paling dalam dan 4 atom hidrogen yang mengelilinginya, dimana
secara kelistrikan netral. Itulah sebanya timbul hambatan untuk mengoksidasi
secara sempurna atom-atom karbon bagian dalam selama proses pembakaran.
Kondisi ini dideteksi dari kadar CO dalam gas buang kendaraan bermotor,
disamping gas CO2. Berbeda halnya dengan atom-atom hidrogen, karena berada
pada posisi paling luar, maka atom-atom hidrogen akan lebih dulu bereaksi
dengan atom-atom oksigen.
Sangat menarik untuk meneliti atom hidrogen, karena dari sudut pandang
energi, jumlah energi terbesar yang besar yang bisa dilepas terletak pada atom
hidrogen. Pada oktana (C8H18), persentasi karbon yang terdapat dalam molekul
adalah 84,2% dari berat molekul total. Ketika dibakar, atom karbon melepaskan
energi sebesar 12,224 BTU/lbm. Sementara itu, atom hidrogen yang persentasinya
hanya 15,8% dari berat molekul total dapat melepaskan energi panas sebesar
9.810 BTU/lbm. Ini menunjukkan bahwa hidrogen secara nyata merupakan unsur
Hidrogen memiliki satu muatan positif (proton) dan satu muatan negatif
(elektron) sehingga menimbulkan momen dipol. Hidrogen juga mempunyai sifat
kemagnetan yang berbeda, yakni bisa menjadi diamagnetik atau paramagnetik
tergantung orientasi relatif dari spin-spin intinya. Hidrogen memiliki dua jenis
isomer yang berbeda sifat yaitu para dan ortho, yang karakternya ditandai melalui
perbedaan spin-spin inti yang berlawanan. Dalam molekul para, keadaan spin
antara satu atom hidrogen dengan atom hidrogen yang lain saling berlawanan arah
(counter clockwise/ antiparalel/ one up - one down), sehingga sifat kemagnetan yang ditimbulkan adalah diamagnetik. Sedangkan dalam molekul ortho, keadaan
spin antara satu atom hidrogen dengan yang lainnya adalah searah, sehingga sifat
kemagnetan yang ditimbulkan adalah paramagnetik.
Orientasi spin memiliki efek nyata pada prilaku fisik (panas spesifik, tekan
uap) sama seperti perilaku molekul gas. Bentuk orthohidrogen sangat tidak stabil
dan pada kenyataannya akan lebih mudah bereaksi bila dibandingkan dengan
parahidrogen. Bentuk orthohidrogen lebih menguntungkan, karena kemungkinan
meningkatkan energi hasil pembakaran. Untuk menjaga perubahan dari bentuk
para ke ortho maka penting untuk mengubah energi dari interaksi antara arah spin
dari molekul hidrogen
Pada suhu 200C (suhu kamar), 75% hidrogen dalam keadaan parahidrogen.
Hanya dengan jalan menurunkan suhu hidrogen cair hingga -2350. Medan magnet
dapat menimbulkan efek terhadap perubahan arah putaran spin-spin elektron dari
hidrogen. Seperti telah diketahui bahwa hidrogen memiliki momen magnet dan
momentum sudut yang tidak dapat dihilangkan, dan tidak ada cara yang dapat
dilakukan untuk mengubah besarnya. Namun arah sumbuh putaran elektron dapat
diubah dengan bantuan torsi yang dikerjakan oleh medan magnet.
2.7.3 Polarisasi Senyawa Hidrokarbon
Ketika ikatan kimia terbentuk antara dua atom yang berbeda
elektrinegativitasnya, maka terdapat beda kerapatan elektron pada dua atom
tersebut. Atom dengan kerapatan elektron yang rendah akan bersifat parsial positif
ini mengakibatkan muatan dipol, yang didefinisikan sebuah muatan positif dan
negatif yang setara (+Q) pada jarak tertentu (r).
Sebuah molekul poliatomik terdiri dari dua atau lebih dipol pada ikatan
yang berbeda, jaringan momen dipol dari molekul tesebut merupakan resultan
vektor dari tiap momen dipol ikatan. Ketika molekul diletakkan pada sebuah
medan magnet, momen dipol dapat terinduksi sesuai dengan arah yang diberikan.
Oksigen yang terdapat pada udara diperlukan untuk pembakaran merupakan
senyawa yang bersifat polar, sedangkan solar memiliki struktur molekular netral
(non polar). Oleh sebab itu, ketika kedua atom tersebut bertemu, keduanya akan
cenderung sulit terlarut/bercampur dalam proses pembakaran. Sehingga dihasilkan
pembakaran yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan pembakaran dapat
dibuktikan secara sederhana dengan ditemuinya kandungan hidrokarbon pada gas
buang.
Salah satu tujuan pemagnetan adalah mempolarisasi solar agar memiliki
kecenderungan bersifat polar. Apabila hal ini dapat terlaksana, ketertarikan
senyawa hidrokarbon dengan oksigen akan lebih kuat bila dibandingkan
hidrokarbon tersebut sama sekali netral. Seperti diketahui, apabila suatu molekul
bersifat polar, maka kecenderungan menarik molekul lain yang bersifat polar akan
semakin kuat. Hal ini kan meningkatkan proses pencampuran oksigen dan
molekul hidrokarbon sehingga akan menyempurnakan pembakaran.
Pendekatan ini menyebutkan bahwa sebagian besar senyawa hidrokarbon
apabila dikenai medan magnet maka akan mempengaruhi bidang rotasi dari
molekul pembentuk hidrogen.
2.7.4 Sistem Monopol Magnet
Arah gaya medan magnet bergerak/dari kutub selatan dan masuk kekutub
utara. Sistem monopol (selatan-selatan) akan memberiakan gaya tolak (repulsif) yang lebih besar dibanding sistem dipol, namun demikian, sistem dipol
mempunyai garis gaya medan magnet yang lebih padat dan seragam.
Menurut Peter Kulish, sifat dan pengaruh kutub magnet utara dan selatan
yang lain. Penggunaan dua kutub yang bersamaan (dipol), menjadi kurang efektif
karena penggabungan kedua kutub magnet memberikan efek yang saling
menetralkan magnetisasi. Magnetisasi monopol, dalam hal ini kutub
selatan-selatan, akan menghasilkan efek yang lebih baik dalam meningkatkan efesiensi
pembakaran.
2.8 Sistem Pelumasan Pada Motor Diesel 2.8.1 Pengertian Pelumasan
Pada dasarnya pelumasan adalah pemisahan dari dua permukaan benda
padat yang begerak secara tangensial terhadap satu sama lain dengan cara
menempatkan suatu zat diantara kedua benda padat tadi yang (Karyanto E, 1986):
a. Mempunyai jumlah yang cukup dan secara terus menerus dan dapat
memisahkan kedua benda sesuai dengan kondisi beban dan suhu.
b. Tetap membasahi permukaan kedua benda.
c. Mempunyai sifat netral secara kimia terhadap kedua benda.
d. Mempunyai komposisi tetap stabil secara kimia pada kondisi operasional.
Suatu zat yang dapat memenuhi persyaratan tersebut diatas disebut
pelumas / lubricant.
Suatu benda atau logam yang tampak halus, sebenarnya tidak pernah
mempunyai permukaan yang licin secara sempurna, seperti yang terlihat dengan
mata biasa, tetapi jika dilihat dengan mikroskop akan terlihat bahwa pada
permukaan tersebut merupakan tonjolan - tonjolan dan lekukan - lekukan
mikroskopis. Sehingga bila kedua permukaan tersebut bersinggunan satu dengan
yang lain, bagian yang merupakan tonjolan dan lekukan pada kedua benda akan
saling mengait. Sehingga apabila kedua permukaan tadi bergerak satu dengan
yang lain maka terjadi suatu tahanan yang besar karena tonjolan dan lekukan
yang saling mengait harus saling mematahkan. Patah nya tonjolan dan lekukan
tadi akan menimbulkan panas, dan tahanan tadi disebut tahanan gesekan. Dan
Permukaan yang kasar tidak dapat dihaluskan seluruhnya dengan cara
digosok atau diamplas, karena tonjolan dan lekukan tadi sangat tidak teratur,
sehingga efek keausan akan berjalan terus.
Jika pemisahan antara kedua permukaan dengan menggunakan pelumas,
gesekan masih tetap ada, yang di sebut gesekan cair. Nilai gesekan cair jauh lebih
kecil dibandingkan gesekan kering.
Fungsi Pelumasan
a. Mengurangi tingkat keausan pada benda yang saling bergerak bergesekan.
b. Mengurangi timbulnya panas yang berlebihan
Fungsi lain dari pelumasan :
• Sebagai media pendingin
Maksudnya, menghilangkan panas dari bsagian-bagian yang bergesekan
• Sebagai zat perapat kebocoran
Artinya, menyekat udara antara ring piston dengan dinding silinder
• Sebagai zat pembersih.
Menghilangkan karbon didalam silinder, debu dan menyaringnya.
• Sebagai peredam suara dari getaran
2.8.2 Sifat-Sifat Minyak Pelumas a. Umum
Agar menghasilkan suatu pelumasan yang baik, maka diperlukan minyak
pelumas yang dapat memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan sesuai
kebutuhan. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan
minyak pelumas adalah :
1) Tekanan bantalan
2) Kecepatan pergesekan
3) Bahan yang bergesekan
4) Ruang antara bahan yang bergesekan
5) Aksesabilitas
b. Viskositas
Viskositas adalah sifat dari suatu fluida, sebagai gesekan internal, yang
menyebabkan fluida tersebut melawan untuk mengalir.
Tabel 2.3 Viskositas SAE Untuk Pelumas Motor
Angka viskositas
SAE
Rentangan Viskositas, Saybolt seconds
Pada suhu 1300F Pada suhu 2100F
Viskositas index adalah suatu ukuran perubahan viskositas dari minyak
terhadap suhu dibandingkan dengan dua macam minyak referensi yang
mempunyai viskositas yang sama pada suhu tertentu.
d. Pour Point
Pour point atau suhu tuang (titik tuang) ialah suhu terendah dimana
minyak dapat mengalir.
e. Flash Point
Flash point atau titik nyala adalah suhu dimana minyak harus dipanaskan
didalam alat percobaan, sehingga timbul uap yang dapat menyala sebentar bila
suatu nyala api kecil didekatkan pada uap tadi.
Titik nyala minyak pelumas yang digunakan pada motor berkisar antara
175º C - 260º C tergantung pada penggunaan motor dan jenis minyak
f. Karbon Residu
Karbon residu ialah berat sisa dari minyak pelumas yang telah terbakar.
g. Acidity atau Neutralization Number
Acidity atau keasaman dinyatakan sebagai jumlah dalam milligram dari
potassium hydroxide, yang diperlukan untuk menetralkan suatu gram minyak.
h. Warna
Warna minyak pelumas berguna hanya untuk tujuan identifikasi, dan
bukan menunjukan kualitas suatu minyak.
2.8.3 Bagian-Bagian yang Dilumasi
Umumnya bagian-bagian yang dilumasi pada motor diesel ialah semua
bagian-bagian yang saling bergesekan misalnya :
a. Antara torak dan tabung silinder
b. Antara poros dengan bantalan poros
c. Antara roda-roda gigi dan sebagainya.
2.8.4 Macam-Macam Sistem Pelumasan
1. Sistem pelumasan sump kering
Sistem pelumasan motor yang tidak memanfaatkan karakternya sebagai
penampung minyak pelumas, tetapi menggunakan tanki tersendiri diluar motor.
Minyak pelumas yang jatuh ke dalam sump, selanjutnya dialirkan dengan
pompa, melalui sebuah filter, dan dikembalikan lagi ke dalam tangki supply yang terletak diluar dari pada motor tersebut. Pompa ini mempunyai kapasitas yang
besar, sehingga dapat mengosongkan sama sekali sumpnya.
Pada umumnya dengan sistem ini, dipergunakan juga sebuah oil cooler, baik yang menggunakan air atau udara sebagai medium pendinginannya untuk
keperluan pendinginan dari pada minyak pelumasnya.
2. Sistem pelumasan sump basah
Sistem pelumasan sump basah ialah sistem pelumasan motor yang
memanfaatkan karakternya sebagai penampung minyak pelumas.
Dalam sistem ini, dibagian bawah pada karter terdapat sebuah piringan (pan) yang merupakan tangki supply, dan ada kalanya sebagai alat pendingin untuk minyak pelumasnya. Minyak yang jatuh menetes dari silinder-silinder dan
bantalan-bantalan kembali jatuh ke tempat ini, yang selanjutnya dialirkan kembali
dengan sebuah pompa minyak kedalam sistem pelumasanya lagi. Tipe sistem
sump basah yang umum diguunakan ialah:
a. Sistem percikan dan sirkulasi pompa
b. Sistem percikan dan tekanan
c. Sistem tekanan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Pengujian dilakukan di laboratorium motor bakar Departemen Teknik
Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara selama lebih kurang tiga
bulan.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Tecquipment TD111 Four-Stroke Diesel Engine
Gambar 3.1 Tecquipment TD111 Four-Stroke Diesel Engine
Spesifikasi:
Type : ROBIN-FUJI DY23D
Max output : 7,5 Kw
Rated output : 5 Kw
Rated speed : 6000 rpm
2. I.C Engine Instrumentation TD 114
Disambungkan ke Small Test Engine Bed TD115 MKII untuk mengukur torsi, temperatur gas buang, dan putaran mesin (RPM).
3. HESHBON Automotive Emission Analyzer HG-510 untuk mengukur kadar CO dan kadar HC pada gas buang.
Gambar 3.3 HESHBON Automotive Emission Analyzer HG-510
Spesifikasi:
Measuring Range HC : 0.0 – 9.99 %
CO : 0 – 9999 ppm
Operation Temperature : 0 - 40oC
Power Source : AC 220V ± 10% 60Hz
4. HESHBON Opacity Smoke Meter HD-410 sebagai alat pengukur opasitas