• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN AMUK MASSA (Studi pada WilayahHukum Polres Lampung Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN AMUK MASSA (Studi pada WilayahHukum Polres Lampung Timur)"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN AMUK MASSA

(Studi pada WilayahHukum Polres Lampung Timur)

Oleh

FRENCO WILIANDER SITANGGANG

Tugas pokok kepolisian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka kepolisian memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana, khususnya terhadap korban tindak pidana amuk massa. Pada dasarnya korban adalah seseorang yang mengalami penderitan fisik, mental, danatau kerugian ekonomiyang diakibatkan oleh suatu tindak pidana, atas penderitaan yang dialami korban tersebut maka pemberian perlindungan hukum sangatlah penting bagi korban. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pemberian perlindungan hukum terhadap korban amuk massa? dan apakah yang menjadi faktor penghambat dalam pemberian perlindungan hukum terhadap korban amuk massa?.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan, dan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh dengan cara wawancaramenggunakan pedoman tertulis terhadap narasumber yang telah ditentukan. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Polres Lampung Timur pada tahun 2015.

(2)

Penulis memberikan saran kepadasetiap hakim yang menanganai perkara amuk massa agar menjatuhkan pidana tambahan berupa ganti kerugian kepada korban, disarankan kepadaLembaga Eksekutif maupun Legislatif agar dapat merumuskan aturan hukum berkaitan dengan pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban amuk massa, disarankan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar dapat membentuk unit kerja disetiap lingkungan kepolisian di wilayah indonesia berupa unit perlindungan hukum bagi korban tindak pidana, dan disarankan kepada setiap lembaga Kepolisian Republik Indonesia, Instansi Pemerintahan, Lembaga Bantuan Hukum dan Lembaga Swadaya Masyarakat, untuk melakukan kegiatan sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait secara intensif khususnya diwilayah-wilayah yang rentan terjadi tindakan-tindakan yang mengarah pada perbuatan amuk massa.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Korban Amuk Massa

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF LEGAL PROTECTION VICTIMS OF MASS VIOLENCE (Study of Jurisdiction Polres Lampung Timur)

by

FRENCO WILIANDER SITANGGANG

The principal task of the police as stipulated in Article 13 Undang-Undang Number 2 Year 2012 about Kepolisian Negara Republik Indonesia is to maintain security and public order, enforcing the law and providing protection, shelter and service to the community. In line with these provisions, the police have an obligation to provide legal protection for victims of crime, in particular to the victims of the crime of mass violence. Basically the victim is a person who suffered physical misery, mental, or economic loss caused by a criminal act, the suffering experienced by the victims of the provision of legal protection for the victims is essential. The problem in this research is how the provision of legal protection for the victims of mass violence? and if that is the limiting factor in the provision of legal protection for the victims of mass violence ?.

This study used juridical normative and empirical uses primary data and secondary data. The primary data obtained through field studies and secondary data obtained through library. Data obtained by means of interviews using written guidance on sources that have been determined. The study was conducted in jurisdictions Polres Lampung Timur in the year of 2015.

Results of research and discussion concluded that the legal protection of victims of mass violence can be done through the efforts of restitution and compensation, counseling, health services, legal assistance, and granting inormasi case handling. Factors inhibiting the provision of legal protection for the victims of mass violence lies in legislation of factors, factors of law enforcement, and community factors.

(4)

form a working unit in every Kepolisian Republik Indonesia in the region of Indonesia in the form of units of legal protection for victims of crime, and suggested to each institution Indonesian National Police, Government Agencies, Legal Aid and NGOs, to carry out activities of dissemination of laws and regulations related to intensive particularly in the region area prone actions that lead to acts of mass violence.

Keywords: Legal Protection, Victim of Mass Violence

(5)

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN AMUK MASSA

(Studi pada Wilayah Hukum Polres Lampung Timur)

oleh

Frenco Wiliander Sitanggang

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(6)
(7)
(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 23 April 1989 putra pertama dari lima bersaudara, pasangan Ayahanda ST. Sitanggang dan Ibunda S. Sinaga.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada Taman Kanak-kanak Xaverius Bandar Sribhawono yang diselesaikan pada tahun 1993, lulus Sekolah Dasar Kristen 5 Bandar Sribhawono pada tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bandar Sribhawono yang diselesaikan pada tahun 2004, dan Sekolah Menengah Atas Immanuel Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2007.

(9)

PERSEMBAHAN

Syalom, segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu memberikanberkah dan kuasa-Nya, kupersembahkan karya kecilku ini kepada :

Ibuku tercinta, S. Sinaga, Ayahku ST. Sitanggang yang selalu sabar membimbing dalam setiap nafas kehidupanku, yang selalu mencurahkan kasih sayang, doa

yang tiada henti setiap saat dan setiap waktu dalam menanti keberhasilanku.

Keluargaku tercinta, adikkuSelva Yessica BR. Sitanggang, Errin Ethisia BR. Sitanggang, Reagis Talia May Agnes BR. Sitanggang, dan Anggelica Emerencia

BR. Sitanggang, yang selalu memberikan semangat, motivasi, yang senantiasa selalu mengisi hari-hari dengan penuh canda tawa serta doa yang tulus demi

kesuksesanku.

Sahabat dan kawan-kawanku dalam almamater tercinta fakultas hukum angkatan 2008

(10)

MOTTO

Belajarlan dari Masa Lalu, Hiduplah dimassa Sekarang, dan

Rencanakan untuk Hari Esok

Kegagalan tidak akan Terjadi Bila kita Tidak Menyerah

(11)

SANWACANA

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu memberikan berkah dan kuasa-Nya,sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan judul Analisis Perlindungan Hukum TerhadapKorban Amuk Massa (Studi pada Wilayah Hukum Polres Lampung Timur)sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dan menyelesaikan pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari dalam penyusunan hingga selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dorongan dan saran yang diberikan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bpk Prof. Dr. Heriyandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Firganefi, S.H.,M.H. selaku selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung serta selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dan mencurahkan segenap pemikirannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(12)

5. Bpk Dr. Heni Siswanto, S.H.,M.H. selaku Pembahas I ataskritik, saran, koreksi, dan masukannya dalam penulisan skripsi ini.

6. Bpk Budi Rizki Husin, S.H.,M.H. selaku Pembahas II atas kritik, saran, koreksi, dan masukannya dalam penulisan skripsi ini.

7. Bpk Deni Achmad, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik atas arahan dan bimbingan selama penulis menjalani masa perkuliahan hingga selesainya skripsii ni.

8. Bapak dan ibu dosen Fakultas Hukum Unversitas Lampung yang telah mencurahkan segenap kesabaran dan kemampuan dalam mendidik penulis selama menjalani masa perkuliahan.

9. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Pak Narto, Mbak Dian, Mbak Yani, Mbak Yanti, Mbak Sri, Kyai Apri, dan karyawan lainnya yang tidak bias disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama menjalani masa perkuliahan.

10. Untuk Ayah ku ST. Sitanggang yang aku cintai seumur hidupku, yang selalu mencurahkan do’a, kasih sayang, motivasi dan kesabarannya dalam membimbing penulis.

11. Untuk Ibuku S. Sinaga yang sangat kucintai dalam hidupku, terimakasih atas doa, dorongan dan semangat serta kesabaran dalam membesarkan saya selama ini.

(13)

Sitanggang, Tulang Nantulang Kristin, Ayu, Bryan dan adik-adikku yang selalu aku sayangi.

13. Sahabat terbaikku yang selalu menemani dalam suka maupun duka, Bang Likin, Marudut Tampubolon S.H, Pantun Halomoan S.H , Dedi, Riyzal PerdanaS.Pd., M.Pd, Habib, Kristoper S.T, Mahnyong, Selonk, semoga kebersamaan kita selalu menjadi cerita terbaik dimasa depan.

14. Kawan-kawan seperjuangan Fakultas yang telah menemaniku dalam belajar dan mendampingiku dalam keceriaan Rio Riansah Arshad, S.H, Enji Ayomi ,S.H.

15. Almamaterku tercinta.

16. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan sumbangsih pemikiran dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

17. Seseorang dimasa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang yang telah memberikan semangat, dorongan, inspirasi dalam mendewasakan penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan Negara, para mahasiswa, dan pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun penulis harapkan dan akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Bandar Lampung, Desember 2015 Penulis,

(14)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN Halaman

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 13

B. Pengertian Amuk Massa ... 18

C. Tinjauan tentang Korban Kejahatan ... 19

D. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum ... 21

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 27

B. Sumber dan Jenis Data ... 28

C. PenentuanNarasumber ... 30

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30

E. Analisis Data ... 31

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Amuk Massa ... 32

(15)

V. PENUTUP

A. Simpulan... 54 B. Saran ... 56

(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kondisi ketentraman dan rasa aman merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 G Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

(17)

2

Tindak pidana kekerasan merupakan suatu problema yang senantiasa muncul ditengah-tengah masyarakat, masalah tersebut muncul dan berkembang serta membawa akibat tersendiri yang berkepanjangan, perilaku kekerasan semakin hari semakin nampak, dan sungguh sangat mengganggu ketentraman hidup dimasyarakat, tentunya apabila hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya maka tidak mustahil akan menimbulkan kerugian nyata bagi setiap elemen masyarakat.

Adanya tindak pidana kekerasan dalam masyarakat yang disebabkan karena suatu permasalahan kecil seperti adanya seseorang yang melakukan pencurian, maupun pencopetan dianiaya oleh masyarakat hingga luka-luka bahkan meninggal dunia dinilai merupakan cermin hippermoralitas yang terjadi dimasyarakat.

Hippermoralitas merupakan suatu keadaan atau situasi dimana anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk, hal tersebut lah yang membuat masyarakat melakukan kekerasan pada seseorang yang dirasa sebagai bentuk tindakan yang benar dan harus dilakukan tapi justru hal tersebutlah yang sudah melanggar aturan hukum, hal ini juga membuktikan bahwa masyarakat saat ini sudah mengalami penurunan nilai dan norma, sikap

hippermoralitas tersebut terjadi sebagai akibat adanya sikap masyarakat yang tidak menjadikan hukum sebagai acuan.1

1

(18)

3

Salah satu bentuk fenomena sosial berkaitan dengan adanya tindakan amuk massa yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat telah terjadi di Desa Batu Badak, Kecamatan Marga Sekampung, Lampung Timur, adapun kronologis tindak pidana tersebut sebagai berikut :

Peristiwa amuk massa bermula dari meninggalnya seorang warga Desa Batu Badak, Kecamatan Marga Sekampung akibat dianiaya oleh warga Desa Malang Sari, Kecamatan Malang Sari, Kabupaten Lampung Selatan karena diduga melakukan pembegalan, atas kejadian tersebut maka tepatnya pada hari Selasa tanggal 28 Juli 2015 sekelompok warga yang dipimpin oleh Sekretaris Desa Tanjung Sari Adil Darmawan beserta Pegawai Pembantu Pencatat Nikah Desa Malangsari M. Yani, dan Kepala Dusun 3 Desa Malangsari S. Wijaya beserta Kepala Kapolsek Tanjung Bintang, Lampung Selatan Kompol Tri Hendro Prasetyo dan lima anggota polisi mendatangi rumah duka guna menyatakan belasungkawa dan memberikan tali asih. Dengan hadirnya sekelompok warga dari Desa Malang Sari tersebut, maka warga Desa Batu Badak melakukan penganiayaan serta membakar mobil yang digunakan oleh sekelompok warga dari Desa Malang Sari, atas kejadian tersebut Kapolsek Tanjung Bintang, Lampung Selatan Kompol Tri Hendro Prasetyo beserta warga lainnya berhasil menyelamatkan diri, namun Adil Darmawan meninggal dunia akibat dianiaya oleh warga Desa Batu Badak.2

Berkaitan dengan kasus tersebut, maka diketahui bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP yang menentukan :

(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Yang bersalah diancam :

1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;

2

(19)

4

2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;

3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan mati.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur mengenai tugas pokok kepolisian, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat.

Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka ruang lingkup perlindungan hukum terhadap korban amuk massa dalam penelitian ini akan mengkaji kebijakan apakah yang diambil oleh aparat penegak hukum dalam menangani munculnya amuk massa yang terjadi di masyarakat, dan apakah korban mendapat ganti kerugian dalam bentuk restitusi atau kompensasi yang merupakan hak setiap korban sebagai bentuk perlindungan hukum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

(20)

5

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkan dalam tulisan yang berbentuk skripsi dengan judul “Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Amuk Massa (Studi pada Wilayah Hukum Polres Lampung Timur)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban amuk massa (Studi pada Wilayah Hukum Polres Lampung Timur) ?

2. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap korban amuk massa (Studi pada Wilayah Hukum Polres Lampung Timur) ?

2. Ruang Lingkup

(21)

6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. Mengetahui secara jelas mengenai pemberian perlindungan hukum terhadap korban amuk massa.

b. Mengetahui secara jelas mengenai faktor penghambat dalam pemberian perlindungan hukum terhadap korban amuk massa.

2. Kegunaan Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan skripsi itu sendiri, penelitian ini mempunyai dua kegunaan yaitu dari sisi teoritis dan praktis, adapun kegunaan keduanya dalam penelitian ini adalah :

a. Kegunaan Teoritis

(22)

7

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dan rujukan bagi penegak hukum, masyarakat, dan pihak-pihak terkait yang berkaitan dengan upaya perlindungan hukum terhadap korban amuk massa , selain itu sebagai informasi dan pengembangan teori serta tambahan kepustakaan bagi praktisi maupun akademisi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.3

1. Teori Perlindungan Hukum

Dikdik. M. Arief Mansur menyatakan bahwa, dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum, adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut :

1. Asas Manfaat

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.

3

(23)

8

2. Asas Keadilan

Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.

3. Asas Keseimbangan

Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.

4. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.4

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:

a. Dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi

korban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau kepentingan

hukum seseorang).

b. Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh

jaminan/santunan hukum atas penderitaan/ kerugian orang yang telah

menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan “penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik

(rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.5

Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa terus diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain merupakan langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya penanggulangan kejahatan tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal tindak pidana yang secara faktual terus meningkat.

4

Dikdik M Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm,164.

(24)

9

Kebijakan penanggulangan kejahatan, atau politik kriminal digunakan upaya atau sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya untuk perlindungan masyarakat. Tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.6

2. Teori Faktor Penghambat

Faktor penghambat upaya penegakan hukum dapat menggunakan teori-teori mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut : a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).

b. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan.7

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau diinginkan. 8

6

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 2001,hlm 74.

7

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1983, hlm 4

8

(25)

10

Kerangka konseptual yang diketengahkan akan dibatasi pada konsepsi pemakaian istilah-istilah dalam penulisan ini yaitu Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Amuk Massa . Adapun pengertian dari istilah tersebut adalah :

a. Analisis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap suatu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya.9

b. Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untukmemberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya.10

c. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi, yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.11

d. Amuk massa adalah bentuk luapan amarah dan rasa kecewa dari suatu golongan masyarakat tertentu yang biasanya memiliki tujuan yang sama yang cenderung berujung pada kekerasan.12

9

Sulchan Yasin Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta,Balai Pustaka,1997,hlm 34. 10

Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

11

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 12

(26)

11

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi, permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang besifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori dan praktek

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(27)

12

V. PENUTUP

(28)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membagi dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan diatur dalam buku ke dua, sedangkan pelanggaran diatur dalam buku ke tiga. Pada dasarnya kedua macam perbuatan pidana tersebut masing-masing mempunyai konsekuensi tersendiri yang tidak sama dan memiliki ancaman hukuman yang berbeda-beda, akan tetapi setiap ancaman hukuman tidak menjadi penghalang seseorang untuk tidak melakukan kejahatan ataupun pelanggaran.1

Pemahaman tentang tindak pidana tidak terlepas dari pemahaman pidana itu sendiri, sebelum memahami tentang pengertian tindak pidana terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian pidana. Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat atau berisi ketentuan-ketentuan tentang :

1. Aturan umum hukum pidana (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;

1

(29)

14

2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha me-lindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.2

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar yang diterjemahkan dengan dapat atau boleh, dan feit yang diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri, biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum.

Istilah stafbaar feit atau kadang disebut sebagai delict (delik) diterjemahkan ke

2

(30)

15

dalam bahasa indonesia dengan berbagai istilah. “Delik adalah tindakan

kriminal/tindakan melanggar hukum“.3

Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni :

a. Suatu perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman undang-undang; c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang, dan perbuatan yang bersifat pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum. 4

Beberapa sarjana mengemukakan pendapat yang berbeda dalam mengartikan intilah strafbaar feit, sebagai berikut. :

a. Simons :

Tindak pidana adalah perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

3

Adi Gunawan, Kamus Ilmiah Populer, Kartika, Surabaya, 2000, hlm 75

4

(31)

16

b. Moeljatno :

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

c. Pompe :

Menjelaskan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu :

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

d. Vos :

Tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang diancam oleh peraturan undang-undang, jadi suatu perbuatan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.

e. Van Hamel :

Tindak pidana adalah perbuatan orang yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 5

5

(32)

17

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif.

Menurut Lamintang,

Unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat 1 KUHP.

3) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad , misalnya terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

4) Perasaan takut atau vress, antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana Pasal 308 KUHP

Unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan, unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1) Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.

2) Kualitas dari si pelaku.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu sebagai kenyataan.6

6

(33)

18

B. Pengertian Amuk Massa

Amuk massa berasal dari kata amuk dan massa, amuk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kerusuhan, anarki, tindakan yang biasanya bertujuan untuk melakukan protes yang cenderung bersikap negatif ataupun brutal,7 sedangkan massa memiliki arti masyarakat, sekelompok manusia atau golongan tertentu.8

Amuk massa dapat didefinisikan sebagai berikut :

a. Menurut Malcolm Weith amuk massa merupakan perilaku atau tindakan yang secara evolutif akan mengganjal psikis suatu golongan atau kelompok masyarakat (yang melakukan amuk massa) tersebut, dalam arti, tekanan yang dirasakan tidak langsung diwujudkan, tetapi perlahan namun pasti akan tumpah. Hal tersebut membuat amuk massa sulit dikendalikan dan cenderung anarkis.

b. Sedangkan menurut Danelson R. Forsyth perilaku massa dapat disebut agresi (penyerangan) atau amuk apabila menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi orang lain melalui cara-cara diniatkan. Dalam psikologi, agresi massa ini sudah sampai pada gejala de-individuasi massa (mass de-individuation) atau massa yang telah kehilangan kesadaran identitas dirinya.9

7

Sulchan Yasin,Op. Cit, hlm 19. 8

Ibid, hlm 72

9

(34)

19

C. Tinjauan tentang Korban Kejahatan

Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan.10

Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, yang dikeluarkan pada Tahun 1985 sebagai Resolusi PBB Nomor 40/34 Tanggal 29 November 1985 yang telah disepakati oleh banyak negara, kita dapat mengerti bahwa korban kejahatan ialah orang yang secara perseorangan maupun kelompok telah mendapatkan kerugian baik luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan harta benda atau perusakan yang besar terhadap hak dasar mereka melalui tindakan maupun pembiaran yang telah diatur dalam hukum pidana yang dilakukan didalam negara anggota termasuk hukum yang melarang dalam penyalahgunaan kekuasaan.11

Menurut Arif Gosita, yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik, mental, emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansi hak-hak asasi melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran yang melanggar hukum.12

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban sehingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut :

10

Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan ,Graha Ilmu ,Yogyakarta, 2010, hlm 51

11 http://hukum positif.com/node/18, Keberadaan Korban ditinjau Dalam Pandangan Teori dan Praktik, diakses pada tanggal 4 September 2015

12

(35)

20

a. Nonparticipating victims yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan;

b. Latent victims yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban;

c. Procative victims yaitu mereka yang menimbulkan terjadinya kejahatan;

d. Participating victims yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban;

e. False victims yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.13

Tipologi korban sebagaimana dikemukakan diatas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut :

a. Unrelated victims yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku;

b. Provocative victims yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku;

c. Participating victims yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban;

d. Biologically victims yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban;

e. Socially weak victims yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban;

f. Self victimizing victims yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.14

13 Dikdik M Arief Mansur, Op.Cit,hlm 49 14

(36)

21

D. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum

Manusia adalah makhluk sosial, konsekuensi dari eksistensi manusia sebagai makhluk sosial adalah perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban.

Negara wajib menyelenggarakan perlindungan hukum bagi warga negaranya. Sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, yang menyatakan bahwa salah satu tujuan pembentukan pemerintahan republik indonesia adalah melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Perlunya diberikan perlindungan hukum bagi korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan dapat menjadi korban kejahatan dan hal ini merupakan bagian dari perlindungan kepada masyarakat.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Preventif adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak berwajib sebelum penyimpangan sosial terjadi agar suatu tindak pelanggaran dapat diredam atau dicegah sedangkan represif

(37)

22

kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.15

Pemberikan perlindungan hukum bagi korban, tidak lepas dari masalah keadilan dan hak asasi manusia, dimana banyak peristiwa yang ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, perlu perhatian dari pemerintah secara serius, dan memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan dalam upaya menegakan hukum.

Salah satu usaha pencegahan dan penaggulangan kejahatan adalah dengan mengenankan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana, fungsi yang khusus dalam hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya.16

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu :

a. Dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban

tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum

seseorang).

15

Sudikno Mertikusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 41

16

(38)

23

a. Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/ kerugian orang yang telah menjadi korban tindak

pidana”, (jadi identik dengan “penyantunan korban”). Bentuk santunan itu

dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.17

Konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian, hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana, adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut :

1. Asas Manfaat

Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.

2. Asas Keadilan

Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan.

3. Asas Keseimbangan

Karena tujuan hukum di samping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.

17

(39)

24

4. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.18

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, disebutkan perlindungan saksi dan korban berdasarkan pada :

1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia, 2. Rasa aman,

3. Keadilan,

4. Tidak diskriminatif, 5. Kepastian hukum.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lebih mengutamakan hak-hak tersangka / terdakwa, namun demikian terdapat beberapa asas yang dapat dijadikan landasan perlindungan korban, misalnya :

1. Perlakuan yang sama di depan hukum. 2. Asas cepat, sederhana dan biaya ringan. 3. Peradilan yang bebas.

4. Peradilan terbuka untuk umum. 5. Ganti kerugian.

6. Keadilan dan kepastian hukum.19

18

Dikdik. M. Arief Mansur, Op.Cit, Hlm 164. 19

(40)

25

Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Untuk mengetahui hak-hak korban secara yuridis dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan beberapa hak korban dan saksi yaitu sebagai berikut :

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan. 4. Mendapat penerjemah.

5. Bebas dari pertanyaan menjerat.

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus. 7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. 8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

9. Mendapat identitas baru.

10. Mendapatkan tempat kediaman baru.

11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. 12. Mendapat nasihat hukum.

(41)

26

Menurut Arif Gosita, hak-hak korban mencakup :

1. Mendapatkan ganti kerugian atas penderitaannya, pemberian ganti kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan memberi ganti kerugian pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut;

2. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku, (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukannya);

3. Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban meninggal dunia karena tindakan tersebut;

4. Mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi; 5. Mendapat hak miliknya kembali;

6. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi saksi;

7. Mendapatkan bantuan penasihat hukum;

8. Mempergunakan upaya hukum (rechtmidden).20

Keseimbangan dari hak yang melekat, terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh korban, yaitu sebagai berikut :

a. Tidak membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim sendiri);

b. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan, dan korban lebih banyak lagi;

c. Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain;

d. Ikut serta membina pembuat korban;

e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi; f. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat

korban;

g. Memberi kesempatan kepada pembuat korban untuk memberi kompensasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuan (mencicil bertahap/imbalan jasa);

h. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan.21

20

Arif Gosita, Op.Cit, hlm 34

21

(42)

27

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1

Metode pendekatan yang digunakan guna membahas permasalahan dalam panelitian ini yaitu pendekatan yuridis normatif dan dilengkapi dengan pendekatan yuridis empiris guna memperoleh suatu hasil penelitian yang benar dan objektif. Adapun penjelasan mengenai dua metode pendekatan penelitian yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan penelitian secara yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Menurut Soerjono Soekanto, penelitan hukum normatif mencakup :

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum

c. Peelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan hukum

e. Sejarah hukum 2

1

(43)

28

2. Pendekatan secara yuridis empiris dilakukan melalui penelitian secara langsung terhadap objek penelitian dengan cara wawancara.

Pendekatan penelitian yang digunaan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu menelaah masalah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan pendidikan hukum tertulis, pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, serta peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap korban amuk massa.

B. Sumber dan Jenis Data

Menurut Soerjono Soekanto, data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber, berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan. 3

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan melakukan wawancara kepada narasumber, yaitu Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Lampung Timur, Penyidik Polres Lampung Timur, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

2

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2004, hlm 15

3

(44)

29

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian, data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

1.Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer yang meliputi literatur-literatur, makalah-makalah, dan lain-lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang sedang diteliti.

(45)

30

C. Penentuan Narasumber

Narasumber dalam penulisan ini sebanyak 3 (tiga) orang yaitu :

1. Kepala Satuan Reserse Kriminal

Polres Lampung Timur : 1 Orang

2. Penyidik Polres Lampung Timur : 1 Orang

3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 Orang

Jumlah : 3 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini meliputi :

a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, dilakukan dengan cara mengutip hal-hal yang dianggap penting dan perlu dari beberapa peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan.

b. Studi Lapangan

(46)

31

dengan yang diharapan. Studi lapangan dilakukan di wilayah hukum Polres Lampung Timur dengan data penelitian tahun 2015.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Evaluasi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

(47)

54

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Perlindungan hukum terhadap korban amuk massa dapat dilakukan melalui upaya:

a. Pemberian restitusi dan kompensasi yang dimaksudkan sebagai bentuk pemberian ganti kerugian atas dampak yang dialami oleh korban tindak pidana amuk massa, hal ini sangat penting sebab pada dasarnya amuk massa merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

b. Pemberian konseling bagi korban tindak pidana amuk massa agar tidak mengalami dampak psikis berupa kecemasan, kekawatiran dan trauma yang berkepanjangan akibat tindak pidana yang dialaminya.

(48)

55

d. Pemberian bantuan hukum berupa nasihat hukum dan pendampingan terhadap korban tindak pidana, pemberian bantuan hukum terhadap korban tindak pidana haruslah diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita kejahatan ini, adanya sikap membiarkan korban tindak pidana tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban tersebut.

e. Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban, pemberian informasi ini memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

(49)

56

kepolisian berkaitan dengan dilakukannya penyelidikan maupun penyidikan terhadap pelaku amuk massa.

B. Saran

1. Berkaitan dengan upaya-upaya perlindungan hukum terhadap korban amuk massa melalui pemberian konseling, pemberian pelayanan medis, pemberian bantuan hukum, dan pemberian informasi mengenai proses hukum yang sedang berjalan, maka disarankan kepada setiap hakim yang menangani perkara tindak pidana amuk massa agar dapat menjatuhkan pidana tambahan kepada pelaku tindak pidana amuk massa berupa ganti kerugian terhadap korban, sebab pidana tambahan berupa ganti kerugian tersebut sangatlah penting, mengingat kedudukan korban amuk massa seringkali mengalami penderitaan fisik berupa cacat permanen, bahkan meninggal dunia. Apabila diketahui terhadap pelaku atau terdakwa tidak mampu memberikan ganti kerugian, maka dalam amar putusan dapat ditentukan bahwa ganti kerugian dibebankan kepada negara, dengan adanya pemberian ganti kerugian tersebut tentunya dapat lebih mencerminkan keadilan bagi korban dan keluarganya.

2. Berkaitan dengan adanya faktor penghambat dalam perlindungan hukum bagi korban amuk massa yang terdiri dari :

(50)

57

mental, maupun ekonomi, serta telah mengalami pelanggaran hak asasi manusia, maka perlu untuk diberikan kompensasi dan restitusi sebagai bentuk ganti kerugian.

b. Faktor penegak hukum, maka disarankan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar dapat membentuk unit kerja disetiap lingkungan kepolisian di wilayah indonesia berupa unit perlindungan hukum bagi korban tindak pidana, dengan adanya unit tersebut, maka pelaksanaan perlindungan hukum bagi korban dapat berjalan lebih maksimal.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta. PT Raja Grafindo.

Gorsita,Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta. Akademika Pressindo Kartono, Kartini. 2001. Patologi Sosial. Jakarta. Rajawali Pers.

Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta. Citra Aditya Bakti. M. Arief, Dikdik Mansur.2007.Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara

Norma dan Realita. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada Mertikusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum. Yogyakarta. Liberty

Nawawi, Barda Arief. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta. Kencana

Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana. Jakarta. PT Raja Grafindo.

Reksodiputro, Mardjono. 2007. Kriminologi Dan Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta. UI Press.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press.

--- 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta. Rajawali Pers.

--- dan Sri Mamuji. 2004. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Sudarto. 1997. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni.

(52)

Yulia, Rena.2010. Viktimologi Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan.

Yogyakarta Graha Ilmu

Gunawan, Adi. 2000. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya. Kartika

Yasin, Sulchan.1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia

Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HakAsasi Manusia yang Berat Dhichakal.blogspot.com, di akses pada tanggal 3 September 2015

http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=622 diakses tanggal, 3 September 2015

http://www.sinarharapan.co/news, diakses pada tanggal 3 September 2015

http://hukum positif.com/node/18, Keberadaan Korban ditinjau Dalam Pandangan Teori dan Praktik, diakses pada tanggal 4 September 2015

Referensi

Dokumen terkait

Setiap bahasa Melayu mempunyai makna kata yang berbeda antara yang satu dengan..

1) Perbedaan Pengaruh Latihan Double leg speed hops dan Latihan Squat Terhadap Peningkatan Power Otot Tungkai Latihan double leg speed hops dan latihan squat

H 0 : Pembelajaran kooperatif tipe STAD tidak efektif ditinjau dari kemampuan koneksi matematika siswa. Jika dikaitkan dengan kriteria pengujian dengan nilai

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component

kandungan kadar abu yang terdapat dalam susu segar dari sapi perah yang diberi perlakuan pakan tambahan Moringa oleifera Multinutrient Block adalah sebesar 0.72±0.044%.. Hasil ini

Setelah mendapatkan konsep tapak, dengan perletakan, zoning, orientasi bangunan, sirkulasi serta penempatan vegetasi yang baik, langkah selanjutnya menganalisis konsep

[r]

Tingkat kemampuan operasi hitung penjumlahan 1-20 WR meningkat setelah diberikan intervensi dan ada peningkatan pada kondisi baseline 2 (A-2) tanpa menggunakan media, hal