• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum Agrari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum Agrari"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tanah menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia pada umumnya. Hal tersebut karena segala aktifitas manusia dan segala aspek dalam kehidupan manusia berhubungan dengan tanah, mulai dari bertempat tinggal hingga menjadi faktor produksi untuk tetap dapat bertahan hidup mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papannya hingga berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakatnya. Dan seiring dengan perkembangan pola kehidupan, tanah memiliki multiple value karena tidak hanya dapat ditinjau dari aspek sosial, karena juga meliputi berbagai aspek kehidupan yang lain hingga menjadi sebuah komoditas yang bernilai ekonomi. Atas kekompleksitasan kebutuhan akan tanah tersebut, tanah dapat menjadi objek timbulnya sengketa/konflik antar individu ataupun kelompok dalam masyarakat. Maka dibutuhkan sebuah pagu peraturan atau hukum untuk mengatur dan mengelola permasalahan-permasalahan terkait bidang pertahanan di suatu wilayah.

Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara tidak terbentuk langsung begitu saja secara instan. Sebagai negara kesatuan yang menjunjung tinggi nilai kebhinekaan dan nilai-nilai pluralitas dalam berbagai aspek, Indonesia tidak dapat terlepas dari serangkaian proses sejarah dan budaya yang membentuknya. Begitu juga halnya dalam aspek pertanahan. Indonesia juga merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, yang mana mengakui keberadaan hukum barat (peninggalan masa kolonial), hukum agama dan hukum adat, hingga dapat membentuk sebuah peraturan perundangan tertulis yang dibuat untuk mengakomodasi berbagai perbedaan tersebut untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat, yang secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:

“Bumi, air, dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.

(2)

2 sebagai UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang memiliki Tujuan Pokok, sebagai berikut:

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Oleh karena itu secara umum dapat dikatakan bahwa UUPA menjadi sebuah hukum/peraturan tertulis yang secara yuridis formal mengatur dan memfungsikan hukum agraria nasional untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan dan keadialan dalam bidang pertanahan dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Tetapi secara deskriptif, dalam praktiknya sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat yang merupakan sebuah hukum yang tidak tertulis untuk mengelola ketertiban di lingkunganya termasuk mengatur hal-hal terkait pengelolaan tanah, karena masih tingginya keyakinan dan pemahaman yang masih dihubungkan dengan nilai magis-religius, terutama pada masyarakat-masyarakat daerah yang memiliki nilai budaya dan adat yang kuat. Misalnya masalah mengenai hak-hak perorangan atau individu atas hak kepemilikikan/pakai/hasil tanah dalam persekutuan masyarakat hukum adat di suatu daerah.

Untuk itu dalam di dalam pembahasan makalah ini, penulis akan mencoba membahas mengenai hukum adat di Indonesia serta bagaimana eksistensi dan kedudukannya dalam kehidupan masyarakat serta dalam tatanan sistem Hukum Tanah Nasional (HTN) melalui UUPA.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa itu Hukum Adat?

2. Bagaimana eksisteni Hukum Adat dalam mengatur permasalahan terkait pertanahan dalam masyarakat?

(3)

3 1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Adat.

2. Membahas bagaimana eksistensi Hukum Adat dalam mengatur permasalahan terkait pertanahan dalam masyarakat.

(4)

4 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hukum Adat

Sebelum mendefinisikan hukum adat, berikut adalah beberapa pendefinisian mengenai hukum adat;

a. Dr. Sukanto, S.H

Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersikap paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum. b. Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven

Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.

c. Soeroyo Wignyodipuro, S.H

Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

Dari beberapa definisi di atas menurut beberapa pendapat di atas, hukum adat dapat didefinisikan sebagai sebuah peraturan atas norma-norma hukum yang tidak tertulis namun tetap menjadi sebuah hukum yang bersifat mengikat, memaksa dan memiliki akibat hukum berupa sanksi-sanksi tertentu sama halnya seperti sifat hukum pada dasarnya dan juga dipahami oleh masyarakat hukum adat di daerah tersebut.

(5)

5 2.2 Konsepsi Hukum Adat Mengenai Pertanahan

Konsepsi hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi nilai-nilai komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan dan berhubungan dengan nilai-nilai magis/religius. Sifat komunalistik merujuk pada hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang kemudian dalam kepustakaan hukum disebut sebagai Hak Ulayat. Jadi di dalam hukum adat, permasalahan tanah tidak hanya terkait kepemilikannya, tetapi juga nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang ada pada pemanfaatan/kepemilikan tanah tersebut.

2.2.1 Pembentuk Masyarakat Adat

Hukum adat mengenai pertanahan berarti peraturan terkait norma-norma adat dalam pengelolaan tanah dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Sedangkan masyarakat adat menurut pertumbuhannya dapat terbentuk dan digolongkan sebagai berikut1:

1. Masyarakat Geneologis

Adalah masyarakat adat yang terbentuk karena adanya ikatan kekeluargaan sehingga tercipta hubungan yang sangat akrab;

2. Masyarakat Teritorial

Adalah masyarakat adat yang terbentuk karena para individunya memiliki keinginan yang sama untuk bertempat tinggal di suatu tempat/daerah;

3. Masyarakat Gabungan

Adalah masyarakat gabungan antara Geneologis dan Teritorial.

Dari pola hubungan masyarakat tersebut, dalam perkembangan dan pertumbuhannya memerlukan beberapa unsur sumberdaya kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya, yang diantaranya:

1. Sumber-sumber alami yang menyediakan atau memberikan bahan-bahan bagi kepentingan hidupnya dimana tanah merupakan pengandung sumber-sumber

1

Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah.

(6)

6 tersebut, sehingga tanah sebagai tempat tinggal dan tanah sebagai pengandung sumber-sumber tersebut

2. Kebudayaan; yang pada waktu itu tumbuh dan dikembangkan oleh para anggota masyarakat itu sendiri

Kebudayaan dan pola pemenuhan atas kebutuhan hidup yang berkembang dalam kehidupan masyarakat menciptakan sebuah peraturan normatik mengenai hak-hak dan kewajiban dalam hal pengelolaan dan pendayagunaan tanah yang bersifat tidak tertulis yang kemudian dipahami dan diakui keberadaannya oleh masyarakat adat yang membentuk suatu persekutuan hukum untuk.

2.2.2 Hak Ulayat dan Hak Milik atas Tanah dalam Hukum Adat

Hak suatu persekutuan hukum atas tanah-tanah di sekitar lingkungannya dikenal dengan istilah Hak Ulayat. Ulayat artinya adalah wilayah, Hak Ulayat tersebut merupakan hak suatu persekutuan hukum (dalam suatu desa/suku) dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah/sebidang tanah yang ada di sekitar lingkungannya atau membatasi penguasaan lain diluar persekutuan hukum yang diakui, dimana pelaksanaannya diatur oleh Ketua Persekutuan Hukum yang biasanya adalah seorang kepala suku atau kepala desa di suatu wilayah yang bersangkutan.

Van Vollenhoven2 (1925) menyatakan, “Hak ulayat mempunyai arti yang cukup luas karena memberikan bermacam-macam hak kepada warga persekutuannya secara terjamin dan terlindungi, yaitu:

1. Hak menggunakan tanah sebagai tempat tinggal (mendirikan bangunan rumah) 2. Melakukan bercocok tanam dan mengumpulkan hasil hutan,

3. Menggembalakan ternak pada tanah-tanah tertentu untuk berburu atau menangkap ikan.

Secara hierarkis, tata-susunan hak-hak penguasaan3 atas tanah dalam hukum adat adalah:

2

Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Jakarta: Bina Aksara hal.89

3

Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

(7)

7 1. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi,

beraspek hukum keperdataan dan hukum publik

2. Hak Kepala Adat dan Parat Tetua Adat, yang bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum publik semata,

3. Hak-hak atas Tanah, sebagi hak-hak individual yang secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum keperdataan.

Jadi Hak Ulayat adalah hak kepemilikan tanah yang dimiliki oleh suatu persekutuan adat (hak kepunyaan bersama) bukan secara individualistik seperti pemahaman Hukum Barat. Namun dalam perkembangannya, Hak Ulayat dalam budaya/hukum adat berkembang juga menjadi hak milik yang hingga kini masih diterapkan dalam sebagian besar masyarakat yang juga bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, atas:

1. Adanya sangsi-sangsi,

2. Adanya aturan-aturan walaupun bersifat tidak tertulis tetapi sangat ditaati, dan diakui sebagai sebuah aturan yang harus dipatuhi.

3. Dilindungi oleh sesuatu kekuatan yang mempunyai wewenang (power and otority) yang dipegang oleh Kepala Persekutuan Adat (Kepala Suku/Ketua Adat) maupun unsur nilai magis-religius yang diyakini oleh masyarakat/persekutuan hukum.

Adapun ketentuan yang secara umum harus dijalankan persekutuan hukum yang memiliki hak milik atas tanah di wilayah hukum adat, yaitu4:

1. Tidak menimbulkan gangguan terhadap warga lainnya,

2. Apabila diperoleh sesuatu sumber yang mengandung bahan/unsur yang bermanfaat bagi kehidupan, penggunaannya diserahkan pada kebijaksanaan Kepala Persekutuan Hukum, dan

3. Apabila tanah tersebut ditelantarkan maka tanah tersebut akan kembali menjadi milik persekutuan hukum yang dilindungi oleh Hak Ulayat dan Kepala Persekutuan

4

Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah.

(8)

8 Hukum akan mengatur pendayagunaannya atau dapat digunakan untuk kepentingan bersama.

Dari ketentuan umum tentang hak milik tanah dalam hukum adat di atas, maka jelas terdapat nilai-nilai sosialisme yang dilaksanakan mendasari kelangsungan hidup bermasyarakat dalam hal pengelolaan dan pendayagunaan sumberdaya tanah.

Dalam sistem Hukum Adat tidak mengenal tidak dikenal lembaga yang menjamin hak atas tanah seperti dalam pengertian modern. Kepala Suku/Ketua Adat sebagai pemimpin dalam persekutuan hukum adat berfungsi pula sebagai pelaksana dan mengawasi aktifitas para masyarakat (anggota persekutuan hukum adat) terkait pengelolaan, pendayaguaan, hingga transaksi yang dilakukan terkait tanah sebagai objek yang diatur dalam hukum adat.

2.3 Hukum Adat Mengenai Pertanahan di Indonesia

Indonesia sebagai negara kesatuan yang mengakui dan menjunjung tinggi nilai kebhinekaan dan nilai-nilai pluralitas dalam berbagai aspek budaya, suku dan beragama memiliki banyak ragam budaya di berbagai daerah yang ada di dalamnya. Banyak daerah yang memiliki penamaan dalam lingkungannya, misalnya tanah wilayah sebagai kepunyaan (pertuanan-Ambon), tanah sebagai tempat yang memberi makan (panyampeto-Kalimantan), tanah sebagai daerah yang dibatasi atau sebagai wilayah (wewengkon-Jawa, prabumian-Bali, limpo-Sulawesi Selatan, dan ulayat-Minangkabau). Penamaaan-penamaan yang berbeda di setiap daerah menunjukkan bahwa sebelum ada hukum positif yang mengatur urusan pertanahan secara formal dalam kehidupan bermasyarakat di sebuah negara, terdapat sebuah sistem adat kedaerahan yang mengatur urusan tersebut.

Seperti dalam pemahaman Hak Ulayat pada pembahasan sebelumnya, dalam sistem agraria di Pulau Jawa dikenal istilah Tanah Bengkok. Tanah Bengkok adalah lahan garapan milik desa yang tidak dapat diperjual belikan tanpa persetujuan seluruh warga desa tetapi dapat disewakan oleh mereka yang diberikan hak untuk mengelolanya. Menurut penggunaannya, Tanah Bengkok dibagi menjadi tiga kelompok5, yaitu;

1. Tanah Lungguh, yang menjadi hak pamong desa untuk menggarapnya sebagai kompensasi gaji yang tidak mereka terima

(9)

9 2. Tanah Kas Desa, tanah yang dikelola oleh pamong desa aktif untuk mendanai

pembangunan infrastruktur atau memenuhi kebutuhan desa.

3. Tanah Pengarem-arem, tanah yang menjadi hak pamong desa yang pensiun untuk digarap sebagai jaminan hari tua. Apabila pamong desa tersebut meninggal, tanah ini dikembalikan pengelolaannya terhadap pihak desa.

Namun tidak semua desa memiliki ketiga unsur pendayagunaan tanah seperti di atas, bentuk lahan yang didayagunakan pun beragam dapat berupa sawah atau ladang, tergantung dengan kondisi geografis daerah/desa.

2.4 Hukum Adat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA)

Seperti yang diketahui, bahwa pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah untuk mengakhiri kebhinekaan dan dualisme sistem yang mengatur permasalahan terkait agrarian yaitu sistem Hukum Adat yang melekat di daerah dan sistem Hukum Barat yang berjalan atas peninggalan masa kolonialisme, dengan mengunifikasi Hukum yang mengatur tentang penguasaan dan pendayagunaan tanah, serta menciptakan Hukum Tanah Nasional yang tunggal dan bersumber pada Hukum Adat.

Pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan Hukum Adat, dinyatakan dalam Konsiderans/Berpendapat UUPA pada:

a. Penjelasan Umum angka III (1), yang menyatakan;

Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum

adat, maka Hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan

hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan

kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan

dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana

dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh

politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feudal”

b. Pasal 5, menyatakan bahwa;

Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang

(10)

peraturan-10 peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini (UUPA) dan dengan peraturan

perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar

pada hukum agama.

c. Penjelasan Pasal 5, dinyatakan;

Penegasan bahwa Hukum Adat dijadikan dasar dari Hukum Agraria yang baru.

d. Penjelasan Pasal 16, dinyatakan, bahwa;

“Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam Pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas

Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan atas

sistematik dari Hukum Adat.

e. Pasal 56, dinyatakan diantara lain;

Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat 1

terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat

setempat…….sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan

Undang-undang ini (UUPA)

f. Pasal 58, disebutkan tidak secara eksplisit sebagai Hukum Adat tetapi peraturan-preaturan yang tidak tertulis, yang mencakup Hukum Adat.

Hukum Adat yang dimaksud dan dijadikan sumber dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional, termasuk untuk membentuk UUPA adalah hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan6. Sehingga dalam tatanan Hukum Tanah Nasional akan mengandung nilai-nilai sosial dan kebersamaan sebagai sebuah negara yang diantaranya:

1. Hak Bangsa Indonesia, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan hukum publik;

2. Hak Menguasai dari Negara yang bersumber pada Hak Bangsa, dan beraspek hukum publik atas pemberian hak pengelolaan

3. Hak-hak Penguasaan Individual, yang kemudian mengatur hak kepemilikan tanah secara individu.

6

Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah.

(11)

11 2.4.1 Hak Ulayat dalam UUPA

Hak Ulayat sebagaimana yang berlaku dalam tatanan Hukum Adat juga diakui di dalam UUPA, tetapi disertai dengan 2 poin syarat yaitu terkait “eksistensi” dan “pelaksanaanya” yang disebutkan di dalam Pasal 3 UUPA. Yang pada intinya menyatakan bahwa Hak Ulayat diakui sepanjang pada kenyataannya masih ada di daerah-daerah yang meyakini hal tersebut, jadi hak ulayat tidak diberlakukan dan dibentuk kembali di daerah-daerah yang sudah tidak menganggap Hak Ulayat itu ada.

Di dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia, Prof. Boedi Harsono menyatakan, “UUPA sengaja tidak membentuk sebuah peraturan/perundangan khusus yang mengatur mengenai Hak Ulayat, pengurusan dan pengaturan terkait Hak Ulayat diserahkan seluruhnya pada ketentuan Hukum Adat. Karena pengaturan terhadap ulayat menurut beberapa ahli hanya akan berakibat menghambat perkembangan alamiah hak ulayat itu sendiri, dan pengunifikasian peraturan terkait hak ulayat akan membuat celah untuk terjadinya konflik di daerah.

2.5 Hukum Adat sebagai Pelengkap Hukum Tanah Nasional Positif yang Tertulis

Di dalam UUPA dikatakan bahwa apabila tidak ada peraturan positif tertulis yang mengatur suatu hal pada kondisi tertentu, maka yang berlaku adalah norma-norma Hukum Adat yang dijadikan sebagai pelengkap. (Pasal 56, 58, dan secara rinci disebutkan dalam Pasal 5 UUPA)

“………sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan

peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini (UUPA) dan dengan peraturan-peraturan

perundangan lainnya………”

Dari pernyataan dalam pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat dapat berlaku, dengan ketentuan:

1. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. 2. Tidak boleh bertentangan dengan Sosialisme Indonesia

3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan UUPA

(12)

12 BAB III

PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Hukum adat merupakan sebuah produk hukum positif yang tidak tertulis yang dihasilkan dari pola/interaksi perkembangan dan pertumbuhan manusia dalam melangsungkan kehidupannya yang kemudian membentuk sebuah persekutuan hukum di suatu wilayah/daerah. Hukum adat terbentuk atas nilai-nilai kebersamaan dan unsur keyakinan magis dan religious, yang kemudian menjadikan kepala suku/adat sebagai sebuah lembaga yang berhak untuk menjalankan hukum tersebut dan memegang kewenangan tertinggi. Hukum adat mengatur berbagai hal yang terkait dalam aspek-aspek kehidupan, termasuk tanah.

Hukum adat tanah secara konsepsi juga menerapkan asas/norma kebersamaan dan keyakinan unsur religius dalam pelaksanaanya. Di dalam hukum adat diatur tentang pengelolaan dan pendayagunaan tanah yang digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat (persekutuan hukum adat), yang kemudian disebut sebagai Hak Ulayat.

Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika sistem politik dan hukum di Indonesia, hukum adat dalam hal pertanahan dijadikan sebagai sumber utama untuk membentuk undang No.5 Tahun 1960 atau yang kemudian disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA dibentuk untuk mengakhiri dualisme sistem hukum pertanahan (Hukum Adat dan Hukum Barat) untuk mengunifikasikan peraturan hukum tentang pertanahan nasional dalam tatanan Hukum Tanah Nasional.

(13)

13 DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku Teks:

Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan

Kartasapoetra, G. 1985. Hukum Tanah: Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Jakarta: Bina Aksara

Sumber Skripsi/Desertasi/Tesis

Siam Musnita SH, Irin. 2008. Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi di Kabupaten Sorong. [Tesis]. Universitas Diponegoro: Semarang

Undang-Undang:

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, keberhasilan perubahan suatu kualitas pengajaran suatu lembaga pendidikan apapun tergantung kepada keberhasilan kualitas pendidik dalam menerapkan

Penelitian mengenai pengawasuaraan BVBJ yaitu vokal /i/ dan / u / pada silabe awal, tengah, dan akhir yang ditinjau dari segi fonetik akustik, peneliti menemukan perbedaan

Data dalam penelitian ini terdiri dari data realisasi PAD, realisasi Total Pendapatan Daerah, realisasi Total Belanja Daerah, target PAD, realisasi

Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya tingkat kepuasan kerja pada PT JAS Engineering dengan pola yang berbeda antara karyawan muslim dan non

Karena dalam penelitian ini belum dimungkinkan untuk dilakukan penebangan pohon untuk memperoleh serbuk kayu dari bagian kayu teras sejumlah yang dibutuhkan untuk kegiatan

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendap DW 3DQGH\ GDQ .KDUH ´ the findings of the research conclude that there is a significant impact of job satisfaction and

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih setiaNya, penulis dapat memenuhi kewajiban untuk menyelesaikan Buku Konsep

Besaran tarif umumnya disesuaikan dengan umur mobil dan waktu sewa, misalnya jangka pendek (harian/mingguan), jangka panjang (bulanan/tahunan). Untuk dapat memberikan