• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN KOVENAN INTERNASIONAL HAK HAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN KOVENAN INTERNASIONAL HAK HAK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN

POLITIK TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA DAN

BERKEYAKINAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan isu terpenting baik permasalahan di tingkat nasional, regional maupun internasional. Sejak dideklarasikannya Universal Declaration on Human Rights (DUHAM) penghormatan akan hak asasi manusia gencar ditegakkan. Manusia semenjak lahir memiliki sebuah hak yang melekat sebagai hak kodrati atau alamiah yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi (non-derogable). Pada tahun 1966, Majelis Umum PBB melalui Resolusinya membagi HAM menjadi dua macam yaitu Hak-hak Sipil dan Politik serta Hak-Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan disahkannya ICCPR dan ICESCR. Hak sipil dan politik adalah hak yang harus dipenuhi peme-nuhannya oleh pemerintah/negara. Dalam hak-hak sipil terdapat hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (freedom of religion and concience).

(2)

Pada tanggal 10-11 Juli 2013, Komite Hak Asasi Manusia sebagai Pengawas pelaksanaan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengadakan dialog mengenai laporan Indonesia terkait implementasi ICCPR. Dalam dialog tersebut banyak persoalan yang dibahas didalamnya, antara lain Komite memandang di samping mengakui ber-bagai kemajuan penegakan HAM di tanah air, Komite juga mencatat terdapatnya berbagai peristiwa yang dianggap kurang sejalan dengan komitmen Indonesia. Hal ini, menurut Komite, perlu ditangani dengan baik agar tidak menghambat berbagai kemajuan tersebut. Namun demikian, Komite juga menegaskan bahwa tantangan tersebut meru-pakan hal yang umum dihadapi Negara Pihak ICCPR lainnya, bahkan Negara Maju sekalipun.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, dapat ditarik poin-poin pertanyaan sebagai berikut:

1. Terkait dengan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik:

a. Bagaimanakah sejarah terbentuknya Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada tahun 1966 sampai saat ini diratifikasi oleh lebih dari 120 negara? b. Substansi materi apa saja yang diatur di dalam ketentuan Kovenan Internasional

Hak-hak Sipil dan Politik?

2. Terkait dengan Penerapan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik di Indonesia:

a. Bagaimanakah sejarah pemberlakuan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik di Indonesia?

b. Bagaimana pula pengaturan mengenai kebebasan beragama, berkeyakinan di Indonesia?

3. Terkait dengan berbagai contoh permasalahan-permasalahan kebebasan beragama di Indonesia:

a. Bentuk-bentuk pembatasan seperti apa saja yang terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia? serta

(3)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR 1966)

2.1.1. Sejarah Pembentukan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

Setelah perang dunia kedua, terdapat kesepakatan luas di dunia internasional untuk adanya perlindungan manusia oleh masyarakat internasional. Sejarah menunjukkan telah terjadi berbagai kekejaman terhadap manusia, kelompok tertentu, yang memperlihatkan bahwa suatu negara gagal dalam melaksanakan kewajibannya untuk melidungi warga negaranya. Bahkan diberbagai negara, justru negara dan aparatusnya yang menjadi pelaku berbagai kekejaman tersebut. Berdasarkan pada pelajaran tersebut, negara-negara yang tergabung dalam PBB meminta Hak Asasi Manusia dimasukkan dalam Piagam PBB. Langkah pertama adalah menyusun the Universal Declaration of Human Rights, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.1

Dengan maksud untuk memastikan pelaksanaan perlindungan kehidupan manusia dan negara, tidak cukup dengan adanya pernyataan deklarasi, namun perlu diterjemahkan dalam bentuk hukum yang kuat dengan suatu perjanjian internasional (international treaty/convention). Mejelis Umum PBB memerintahkan Komisi HAM untuk mem-persiapkan dua perjanjian internasional; kovenan untuk hak-hak sipil dan politik dan kovenan untuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.2

Pada saat itu, negara-negara barat dan negara-negara sosialis belum begitu yakin kegunannya, namun dukungan diberikan oleh negara-negara dunia ketiga yang meminta mereka untuk menyetujui hasil dari proses negosiasi yang berlangsung berlarut-larut. Terdapat sejumlah perdebatan dalam proses pembentukan Kovenan ini, diantaranya soal jaminan untuk menentukan nasib sendiri3, perumusan tentang pasal terkait dengan hak

milik, dan masalah sistem pengawasan terhadap Kovenan.

Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB mengadopsi dua Kovenan, dengan cara konsensus tanpa ada yang abstain.4 Kedua Kovenan tersebut adalah the

1 Kansil, C.S.T., Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta: DJAMBATAN. 2003. hlm 14 2 Resolusi PBB No. 543 (VI), 4 Februari 1952.

3 Perdebatan ini, antara negara-negara sosialis dan dunia ketiga dengan negara-negara barat, yang diantaranya soal apakah rights of self determination merupakan suatu prinsip politik atau hak.

(4)

International Covenant on Civil and Political Rights dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Sampai dengan Agustus 2012, 167 negara telah meratifikasi ICCPR.

ICCPR mempunyai dua protocol tambahan; pertama, Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, yakni protocol tambahan untuk mekanisme komplain individu. Protokol ini mengakui kompetensi Komite HAM untuk mempertimbangkan komplain dari individu atau kelompok yang menyatakan bahwa hak-hak mereka yang dijamin dalam ICCPR telah dilanggar. Kedua, protokol untuk mengatur lebih lanjut mengenai hukuman mati, yaitu Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty (protokol opsional kedua tambahan yang betujuan untuk penghapusan hukuman mati).

2.1.2. Substansi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi negara-negara pihak (state parties) ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak – hak negatif (negative rights). Artinya, hak – hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara.

Inilah yang membedakannya dengan model legislasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (biasanya disingkat ICESCR) yang justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus. ICESCR karena itu sering juga disebut sebagai hak – hak positif (positive rights).

Ada dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah :

(5)

2. hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture). 3. hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery). 4. hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian.

5. hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut (hak sebagai subjek hukum). 6. hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama.

Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).

Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah :

1. hak atas kebebasan berkumpul secara damai.

2. hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh.

3. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan).

Negara-negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengungangi atau mengadakan penyimpangan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi: (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Prof. Rosalyn Higgins menyebut ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback”, yang memberikan suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara.5 Untuk menghindari

hal ini, ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak pada ICCPR.

Tanggung-jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam Kovenan ini adalah di pundak Negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak pada ICCPR. Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, Negara-negara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui

(6)

dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua induvidu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apa pun. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 ayat

(2)). Prinsip-prinsip nondiskriminasi ini terdapat dalam sejumlah ketentuan dalam ICCPR; pertama, menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

Kedua, menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan (Pasal 3). Ketiga, semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain (Pasal 26).

Bahwa non-diskriminasi, bersama dengan kesetaraan di depan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi, merupakan prinsip dasar dan umum sehubungan dengan perlindungan hak asasi manusia. Mewajibkan setiap Negara Pihak untuk menghormati dan menjamin bagi semua orang yang berada di wilayahnya dan menjadi subyek yurisdiksinya hak-hak yang diakui oleh Kovenan tanpa pembedaan atas dasar apapun.

(7)

Perlu diketahui, tanggung-jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately). Singkatnya hak-hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat “justiciable”. Inilah yang membedakannya dengan tanggung-jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICESCR, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap (progressively), dan karena itu bersifat “non-justiciable”.6

Dari uraian ringkas di atas tampaklah bahwa, Kovenan ini tidak mengandung sesuatu yang bersifat “subversif” yang bakal menyulitkan Negara-negara yang menjadi Pihak pada Kovenan tersebut. Termasuk ketentuan mengenai hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) (Pasal 1), dan ketentuan mengenai kewajiban negara untuk mengizinkan kelompok minoritas (etnis, agama atau bahasa) “untuk menikmati kebudayaan mereka, menyatakan atau mempraktekkan agama meraka atau menggunakan bahasan mereka sendiri” dalam komunitasnya (Pasal 27). Kovenan ini jelas tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mensubversi integritas wilayah suatu negara. Karena itu, sulit bagi kita menerima alasan mengapa sampai hari ini kita belum menjadi Negara Pihak dari perjanjian multilateral yang sangat penting ini.7

2.2

. Penerapan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik di Indonesia

2.2.1. Sejarah Keberlakuan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

Indonesia adalah Negara Hukum, ketentuan tersebut telah terejawantahkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hal tersebut menimbulkan sebuah konsekuensi bahwa negara Indonesia wajib mengakui dan melindungi hak asasi setiap warga negaranya. Seperti konsep yang dikemukakan oleh Frederich Julius Stahle dengan konsep Negara Hukumnya yaitu Rechtstaat8. Stahle mengemukakan konsepnya yang ditandai oleh empat unsur pokok, yaitu:

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

b. Negara didasarkan pada teori Trias Politica;

c. Pemerintah diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur);

6 Makalah yang berjudul “Sedikit Tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik” disampaikan oleh Ifdhal Kasim (Mantan Ketua Komnas HAM RI) di Hotel Grand Angkasa Medan, 2-5 Mei 2011 hlm. 3-4

7 Ibid.

(8)

d. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menganani kasus per-buatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overgheidsdaad)9.

Pengakuan dan perlindungan HAM kini telah diatur di dalam UUD 1945. Sebelum Amandemen, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 sangatlah terbatas yaitu hanya 7 butir pasal. Pengaturan tersebut tidak lepas dari sejarah perdebatan pembentukan UUD 1945 antara Mr. Seopomo dan Bung Karno dengan M. Yamin dan Bung Hatta antara memasukkan ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia atau tidak. Yang pada akhirnya disepakati untuk memberikan pengaturan tentang HAM yang sangat terbatas yaitu Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945. Namun, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 29 ayat (2).10

Pada hakikatnya, hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi.11 Sehingga Hak Asasi Manusia adalah hak yang tidak dapat disimpangi

(non-derogable rights) seperti yang dijelaskan diatas. Mengingat era Orde Baru, masyarakat Indonesia serasa terbelenggu dengan situasi pemerintahan yang Otoritarian (sentralistis). Masyarakat selalu dihantui oleh rasa ketakutan terhadap pemerintah. Sampai pada akhirnya, tahun 1998 mahasiswa berhasil menumbangkan zaman yang penuh kegelapan yaitu Orde Baru menuju era politik baru yaitu Reformasi. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru membawa sejarah besar perjalanan Negara Indonesia. Kebebasan menjadi tujuan utama.

Penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia mulai membaik dengan ditandai adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.12

9 Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia PU. 2008. hlm. 57 10 Asshiddiqie, Jimly, Op. Cit., hlm. 352

11 Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka. 2010. hlm 52

(9)

Amandemen UUD 1945 dilakukan, salah satu langkah pertama merubah sistem dari otoriter menuju kebebasan yang dibatasi peraturan. Sehingga, ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia (human rights) dimasukkan sebagai pengakuan negara terhadap suatu hak warga negara yang harus diakui dan dilindungi keberadaannya. Pengaturan mengenai HAM di dalam konstitusi di adopsi dari UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Puncaknya Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan di sahkan menjadi UU No. 12 tahun 2005 yang mulai diaksesi tanggal 26 Februari 2006. Akan tetapi realitas penegakan instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia tersebut dalam kehidupan masyarakat, belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini tercermin dari beberapa kasus yang terjadi dimana-mana pelanggaran hak sipil dan politik di dalamnya.

2.2.2. Pengaturan Hak Kebebasan Beragama di Indonesia

Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM) di indonesia sampai pada saat ini belumlah mencapai hasil yang maksimum. Karena masih banyaknya kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yang belum diselesaikan dengan sebaik mungkin. Padahal negara Indonesia adalah negara hukum, sebuah negara yang bisa dikatakan bermoral tinggi. Namun sagatlah disayangkan, karena masih banyaknya warga negara yang belum merasakan haknya yang sepenuhnya.

Bila dilihat dari banyaknya hukum ataupun perundang-undangan yanh berlaku di indonesia, harusnya negara indonesia adalah negara yang damai dan sejahtera. Namun semua itu masih saja menjadi harapan belaka, karena sampai saat ini, yang satu agamapun belum juga ada rasa persatuan dan kesatuan, bagaimana dengan agama yang lain.

Secara hukum, istilah HAM di indonesia diatur dalam UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.13 HAM

berbeda dengan hak-hak manusia. HAM dan Hak-hak Manusia sering dianggap sama padahal hakikat dan jangkauannya berbeda. Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) secara jelas diatur dalam UUD 1945 yang diamandemenkan, tapi bukan berarti sebelum itu UUD 1945 tidak memuat HAM.

Jika kita merujuk dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” serta pada Pasal 28E

(10)

ayat (2) UUD 1945, menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-undang ini disempurnakan pula dengan Pasal 29 ayat (2) yang menyebutkan: Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Undang-undang yang baru disebutkan diatas pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan pikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.

Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam ICCPR ada di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR yang menyebutkan bahwa: “Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan berada di wilayah yuridiksinya, tanpa pembedaan jenis apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.” juga menurut Article 18 dalam the Universal Declaration of Human Rights (UDHR 1948) menuangkan adanya pengakuan bahwa “freedom of thought, conscience, religion and belief as a non-derogatable human right”. Perlindungan dan pemenuhan kewajiban hak-hak dan kebebasan dalam ICCPR oleh negara adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately) atau justiciable.

(11)

Namun demikian, melihat fenomena yang dicontohkan beberapa kasus yang telah disebutkan sebelumnya, agaknya jaminan konstitusi terhadap hak-hak tersebut belum terimplementasi dengan baik. Jika saja undang-undang ini terimplementasi dengan baik, barangkali tidak akan ada kelompok yang diklaim sebagai aliran sesat, dan atau jikapun ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat masih bebas menikmati haknya untuk tetap hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan sebaliknya, perlakuan terhadap mereka yang dinilai sesat justru mencerminkan penghakiman terhadap keyakinan yang bersumber dari hati nurani mereka.

Fenomena yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki kekuatan (power) mengikat sedikitpun. Terbukti, tindakan kurang adil yang dilakukan pemerintah (juga mayoritas masyarakat) terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat ini bukan didasarkan pada konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan tersebut dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan (fatwa MUI misalnya), tentu keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat diberlakukan secara universal. Pada akhirnya konstitusi yang semestinya bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama di negeri ini mengalami kerapuhan dengan sendirinya, jika tidak dikatakan kurang berguna, atau justru tidak berguna sama sekali.

2.3. Permasalahan-Permasalahan Kebebasan Beragama di Indonesia

2.3.1. Batasan-batasan Kebebasan Beragama

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia. Penduduk-penduduk tersebutpun memiliki agama dan keyakinan masing-masing sesuai dengan tradisi di daerah masing-masing. Namun, dalam kenyataannya kebebasan memeluk agama dan keyakinan sesuai dengan tradisi tersebut telah terjadi diskriminasi terhadap pemenuhannya. Bukan hanya sekali terjadi, tapi sudah berkali-kali masyarakat adat (daerah) kesulitan beribadah, ada yang dianggap aliran sesat, menyimpang dengan syariat Islam, dan lain-lain. Sesuatu yang sama sekali bertolak belakang dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Batasan-batasan untuk kebebasan beragama dan beribadah antara lain tergambar berbagai kasus dibawah ini:

(12)

belakangan Konghucu diakui kembali sejak masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pembatasan 5 dan atau 6 agama yang diakui di Indonesia tentu menjadi ancaman serius terhadap masa depan kebebasan beragama. Apabila pembatasan ini mutlak dipahami dan dipegang teguh oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, akan sangat wajar jika agama-agama lain diluar agama yang diakui tersebut sulit untuk di terima hidup di negeri ini, bahkan agama-agama lokal sekalipun yang memang lahir dan tumbuh dari tradisi asli bangsa Indonesia, seperti agama Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di daerah Jawa, dan agama Parmalin yang terdapat di Tanah Batak Sumatera Utara, yang kerap dipandang sebagai kebudaya belaka. Lebih dari itu, pembatasan ini sangat jelas bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia, khususnya yang termaktub pada Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pada tanggal 2 April 2010, Kecamatan Parung di Bogor mengeluarkan sebuah surat yang melarang Perayaan Paskah di Gereja Santo Johannes Baptista. Berbagai individu juga terus menekan pemimpin-pemimpin daerah untuk menghalangi pembangunan sebuah gereja.

Gereja HKBP di Karawang, Jawa Barat, ditutup oleh polisi pada tanggal 24 Januari 2010 setelah gereja tersebut di demonstrasi oleh anggota-anggota organisasi Muslim radikal. Pada masa akhir laporan ini gereja tersebut telah melakukan kegiatannya secara normal kembali dengan perizinan dari pemerintah setempat.

Pada tanggal 10 Oktober 2009, ratusan orang, termasuk pemimpin-pemimpin agama dari Desa Karang Gayam di Sampang, Madura, Jatim, mendatangi kantor polisi setempat untuk meminta agar orang-orang yang menyebarkan ajaran “Tajul Muluk” segera ditindak. Menurut mereka ajaran tersebut telah menghujat agama Islam dengan menyatakan bahwa Al-Qur'an telah dirubah isinya. Dan kejadian tersebut kembali terulang pada November 2012.

(13)

setelahnya. Berdasarkan interpretasi yang berbeda dari perizinan pembangunannya, beberapa pejabat setempat merasa bahwa pihak pengelola pura harus memiliki surat izin dan persetujuan dari warga masyarakat setempat sebelum dapat memulai kegiatan renovasi. Para pengelola pura merasa bahwa renovasi, berbeda dengan pembangunan baru, bisa dilakukan tanpa persetujuan pemerintah daerah dan warga setempat. Dalam masa laporan ini dibuat, para umat Hindu berhenti menggunakan pura tersebut untuk kegiatan keagamaan setelah mendapatkan ancaman dari kelompok-kelompok yang tidak dikenal.

Antara bulan Juni dan Desember 2009, aparat pemerintah setempat melarang Gereja Baptis Kristen Jakarta di Tangerang, Banten, untuk melakukan kegiatan ibadah hari Minggu di tanah milik mereka. Pelarangan ini diduga atas tekanan kelompok-kelompok radikal.

2.3.2. Pelanggaran-pelanggaran Kebebasan Beragama

Bukan hanya pembatasan-pembatasan kebebasan begarama saja, namun juga pelanggaran-pelanggaran (dalam arti yang lebih ringan) kebebasan beragama yang tercatat lebih dari 200 insiden menurut sebuah survei. Angka tertinggi terjadi di Jawa Barat dan Jakarta. Dalam masa laporan ini, pemerintah secara langsung maupun tidak langsung membatasi kebebasan beragama kelompok-kelompok yang dirasakan menganut aliran Islam yang tidak sepaham dengan kelompok mayoritas.

Anggota kelompok radikal menyerang SMA Katolik Saint Bellarminus di Jatibening, Bekasi, Jabar, tanggal 7 Mei 2010. Para demonstran mengklaim bahwa aksi mereka dipicu oleh sebuah tulisan anti-Islam di internet oleh salah seorang siswa sekolah tersebut. Sang siswa yang berusia 16 tahun saat ini menghadapi dakwaan penghujatan agama dengan tuntutan hukuman penjara maksimal dua tahun.

(14)

Selain kelompok Ahmadiyah, Undang-Undang Penodaan Agama juga dikenakan pada kelompok-kelompok lainnya yang mengaku masih berhubungan dengan Islam namun dianggap sebagai “ajaran/aliran sesat.”

Pada tanggal 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa Lia Eden, pemimpin kelompok Jamaah Salammulah, berasalah atas tuduhan penodaan agama serta memicu kebencian antara umat beragama lewat penyebaran ajaran-ajarannya ke lembaga-lembaga pemerintah, termasuk ke Istana Negara. Lia Eden dijatuhi hukuman dua tahun dan enam bulan di penjara. Pengikut Eden, Wahyu Wibisono, dijatuhi dua tahun penjara karena menulis dan menerbitkan ajaran-ajaran keagaaman Eden. Eden dan ke 23 pengikutnya ditahan pada bulan Desember 2008 atas tuduhan penodaan agama. Ini adalah kali keduanya Eden diadili untuk penodaan agama. Tahun 2006 dia dijatuhi hukuman dua tahun penjara, namun dibebaskan pada bulan Oktober 2007setelah menjalani 16 bulan masa hukumannya. Pada bulan November 2007, Mahkamah Agung menjatuhi hukuman tiga tahun pada Abdul Rahman, putra Eden, yang mengklaim bahwa dia adalah titisan Nabi Muhammad.

Pemerintah juga melakukan berbagai tindakan hukum pada kelompok Al-Qa'ida Al-Islamiyah. Pada tanggal 2 Mei 2008, Pengadilan Negeri Padang menjatuhi hukuman tiga tahun penjara pada kedua aktivis kelompok ini, Dedi Priadi dan Gerry Lufthi Yudistira, untuk tuduhan penodaan agama. Pada tanggal 23 April 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhi hukuman empat tahun penjara untuk penodaan agama pada Ahmad Moshaddeq atas tuduhan mengaku sebagai seorang nabi.

BAB III Kesimpulan

(15)

Pengaturan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan telah ada semenjak disahkan UUD 1945 sebagai Dasar Negara. Dan setelah ICCPR 1966 diratifikasi menjadi UU maka semakin kuatlah pengakuan Indonesia terhadap adanya Hak Asasi Manusia setiap warga negaranya. Kenyataannya saat ini, kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih jauh dengan rasa aman. Sebut saja seperti kaum Badui, Kaharingan, Ahmadiyah, dan lain-lain yang kesemuanya adalah kaum minoritas yang masih dipertanyakan apa agama mereka. Hal tersebut menimbulkan diskrimasi yang notabene dilarang keras oleh UUD 1945. Indonesia sepatutnya sebagai Negara yang menjunjung tinggi Hukum tidak sepatutnya membiarkan warga negaranya di perlakukan seperti itu. Dari berbagai macam contoh kasus mengenai kebebasan beragama di atas adalah sebuah wujud bahwa perlu adanya pengaturan dan sanksi yang lebih berat bagi para pelanggar HAM. Terakhir pada bulan Juli lalu, Komite HAM PBB sebagai pengawas pelaksanaan ICCPR melakukan pembahasan dengan pemerintah Indonesia terkait laporan Indonesia mengenai Implementasi ICCPR. Di dalamnya terdapat beberapa rekomendasi yang salah satunya bahwa Indonesia harus segera menyelesaikan masalah yang terkait dengan Kebebasan Beragama (kasus terakhir yaitu Kaum Syiah di Sampang).

Kembali kepada semboyan Negara kita yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Semboyan tersebut mewakilkan keberagaman suku, agama, ras, aliran, bahasa, dan lain-lain yang berbeda namun dapat bersatu menjadi Indonesia. Semoga lambat laun kasus-kasus atau pelanggaran-pelanggaran HAM khususnya Kebebasan Beragama dapat segera terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Kansil, C.S.T., Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta: DJAMBATAN. 2003

Higgins, Rosalyn, “Derogations Under Human Rights Treaties”, London: British Yearbook of International Law, 1979

(16)

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia PU. 2008

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka. 2010

M. Gaffar, Janedjri, Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Konstitusi Press (Konpress). 2012 Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Makassar: Sinar

Grafika. 2013

Karya Ilmiah:

Makalah yang berjudul “Sedikit Tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik” disampaikan oleh Ifdhal Kasim (Mantan Ketua Komnas HAM RI) di Hotel Grand Angkasa Medan, 2-5 Mei 2011

Peraturan Perundang-undangan:

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

Website:

http://ekomarhaendy.wordpress.com/2007/12/20/kebebasan-beragama-dan-implementasi-ham-di-indonesia/ diakses hari Jumat 6 Desember 2013 pukul 13.30

http://www.kalyanamitra.or.id/2013/06/8-tahun-implementasi-konvensi-hak-sipil-dan-politik/

diakses hari Jumat 6 Desember 2013 pukul 13.31

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kapasitas pengeringan kemoreaksi dengan kapur api dan pengaruh ketebalan irisan pada pengeringan jahe, terhadap

Perubahan jenis pembangkit untuk beberapa sistem kecil / isolated (sebagian PLTU Merah Putih dan PTMPD) menjadi system Hybrid dengan PLTD maupun PLTMG. Bahan bakar dapat berupa CPO,

Tujuan kegiatan pemantapan mutu internal adalah : (1) pemantapan dan penyempurnaan metode pemeriksaan dengan mempertimbangkan aspek analitik dan klinis; (2) mempertinggi

Pengelola hutan adat sebagaimana dimaksud pada diktum KEENAM wajib melaporkan kepada Bupati Sarolangun melalui Camat setiap tahunnya dengan tembusan Dinas Perkebunan dan

Agar suatu proyek dapat dibiayai oleh PPP, proyek yang dibiayai oleh kerjasama Pemerintah dan Swasta, maka proyek tersebut harus merupakan proyek seperti yang tercantum pada

Pengalaman jabatan di Perseroan: Sebagai Komisaris Utama/ Independen Perseroan sejak 19 Juni 2009 sampai diangkat sebagai Wakil Direktur Utama pada 22 Juni 2010, sebelumnya

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) atau rasuah adalah

Adira Dinamika Multi Finance Cabang Nangka Pekanbaru, adalah dengan membuat suatu perjanjian/kesepakatan oleh calon debitur dengan memberikan suatu jaminan/agunan