Hak untuk Tidak Beragama sebagai Hak Asasi
Manusia: Mungkinkah di Indonesia?
Oleh Raimondus Arwalembun
Agama dan Indonesia adalah dua entitas yang sama-sama “kabur.” Kabur karena dua entitas tersebut memiliki arti yang masih terbuka untuk terus diperdebatkan. Bagaimana dengan mereka yang memilih untuk tidak beragama?
Kehidupan beragama di Indonesia belakangan ini dinilai terancam dengan hadirnya berbagai aliran baru yang dinilai sesat. Sebut saja aliran Ahmadiyah dan Lia Eden yang dinilai bertentangan dengan agama-agama yang “dianggap” benar di Indonesia.
Mengapa aliran-aliran ini dianggap sesat? Apakah UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” tidak berlaku untuk aliran kepercayaan seperti Ahmadiyah dan Lia Eden? Kalau itu benar, maka UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang disebutkan di atas tidak sejalan dengan Pasal 18 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan
mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
melecehkan ajaran atau kepercayaan agama lain maka dengan sendirinya akan ditindak secara tegas dengan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama. Pasal 156a KUHP ini jelas-jelas merupakan sebuah produk
kebijakan yang membelenggu kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Kalau aliran-aliran kepercayaan yang ada dianggap bertentangan dengan UUD 1945 maka muncul persoalan baru. Persoalan itu adalah bagaimana dengan hak untuk tidak beragama? Bukankah ini juga merupakan hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang yang ada di muka bumi ini?
Kebebasan untuk Beragama dan Hak untuk Tidak Beragama
Tidak beragama atau tidak memiliki agama bukan berarti atheis. Atheis berarti tidak mengakui adanya Tuhan. Berbeda dengan mereka yang memilih untuk tidak menganut salah satu agama yang ada, mereka percaya bahwa kehidupan ini merupakan anugerah yang tak ternilai dari suatu “zat tertinggi” yang dalam agama-agama yang ada disebut Tuhan. Kalau kebebasan untuk memilih dan memeluk agama atau suatu keyakinan merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat ditawar-tawar, maka
konsekuensi logisnya adalah hak untuk tidak memilih atau
memeluk agama juga merupakan hak asasi manusia. Apakah ini mungkin di Indonesia?
Secara implisit kebebasan untuk tidak beragama di Indonesia memang tidak diatur dalam UU, namun kalau dicermati, UUD 1945 Pasal 29 (2) sebenarnya merupakan jaminan bagi warga negara Indonesia untuk menentukan pilihannya dalam hal memeluk atau tidak memeluk satu agama yang ada. Kalau ini benar, kenapa kita yang beragama ini begitu cemas dengan hadirnya berbagai aliran yang ada? Akankah keimanan kita terancam dengan hadirnya kepercayaan-kepercayaan baru dengan ajaran-ajaran mereka yang dinilai menyimpang dari ajaran agama kita?
keberadaan agama-agama yang “diakui” secara resmi di Indonesia belum matang dan siap menghadapi berbagai
kemungkinan yang mengancam eksistensinya. Karena merasa terancam, maka kelompok agama tertentu mencoba
membentengi diri dengan berbagai aksi kekerasan dan kalau bisa “memaksa” pemerintah atau negara untuk mengekang
kebebasan beragama lewat berbagai kebijakan (peraturan-peraturan) yang ada.
Negara dan Agama
Memberikan jaminan kepada warganegara dalam menjalankan hak-haknya termasuk kebebasan menjalankan agama atau kepercayaannya sudah merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh negara. Sudah seharusnya Indonesia sebagai negara yang mengakui dan menghargai hak asasi manusia melindungi dan menjamin kebebasan warganegaranya dalam memilih dan memeluk agama dan kepercayaan yang dianutnya dan bukan bertindak menurut kehendak mayoritas. Mengutip pernyataan Fanz Magnis Suseno “dalam negara hukum
demokratis modern, ditegaskan secara prinsipil bahwa dalam hal keyakinan, kepercayaan, dan agama prinsip mayoritas tidak berlaku. Prinsip bahwa para warganegara tidak boleh
didiskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan merupakan salah satu implikasi terutama dari pengakuan terhadap martabat manusia dan oleh karena itu diakui sebagai hak asasi manusia (Etika Politik, Gramedia, 2003, hlm. 358).”
Implikasinya, setiap tindakan yang mencoba menentang perbedaan dalam menjalankan agama atau kepercayaannya lewat tindakan kekerasan harus berhadapan dengan negara. Negara akan dinilai gagal kalau tidak mampu melindungi warga negaranya dalam menjalankan kepercayaan atau agama yang dianutnya termasuk melindungi warganegaranya yang memilih untuk tidak beragama. Pertanyaan besar yang muncul berkaitan dengan kewajiban negara ini adalah kalau negara gagal
melindungi warganegaranya dalam menjalankan agama atau kepercayaannya, maka bagaimana dengan mereka yang tidak beragama? Apakah negara mampu menjamin keberadaan orang-orang ini yang belum berani mengakui secara terang-terangan keputusan atau pilihan mereka untuk tidak beragama?