CRUDE PALM OIL CHARACTERISTICS
DURING STORAGE AND CIRCULATION IN PIPELINE
Desir Detak Insani, Sugiyono, and Nur Wulandari
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering
and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga,
PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia
Phone: +62 8522 345 8881, e-mail: insani90@yahoo.com
ABSTRACT
Crude palm oil (CPO) is one of Indonesia's main commodity. Nowadays,
Indonesia is the largest CPO producer in the world. To increase the competitiveness
of CPO in Indonesia, handling, storage, and transportation of CPO should be
managed efficiently. The objective of this research was to obtain the basic data about
the quality characteristics and rheological properties of CPO during storage and
pipe flow transportation. The quality parameters of CPO that observed in this study
were free fatty acids (FFA), iodine value, carotenoid content, and the deterioration
of bleachability index (DOBI). The observed parameters of the rheological
properties were flow behavior index (n) and consistency index (K). CPO that used in
this research had 3.44% of FFA, 52.64 of iodine value, 816 ppm of carotenoid
content, and 3.21 of DOBI. CPO was stored at the storage temperature of 20, 25,
30, 35, and 40
oC over 4 weeks. The results showed that during storage, FFA levels
increased, while the carotenoid content and DOBI decreased. The higher storage
temperature resulted in higher rate of decline in CPO quality. At each storage
temperature, the longer storage resulted in decreased quality of CPO. Based on this
research, the best storage temperature to maintain the quality of CPO was at 20
oC.
At the room temperature, CPO was pseudoplastic (0<n<1 and K>0), but at the
higher storage temperature, CPO had rheological properties that closer to
Newtonian (n=1 and K>0). The analysis of rheological properties during storage
showed that storage time had no effect on the rheological properties of CPO. Study
on CPO flow by using circulated pipeline in isothermal conditions showed that
melting temperature was the critical temperature for maintaining low viscosity to
assure the flow of CPO. Flow of CPO in high temperature caused decreasing in
quality of CPO significantly.
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Minyak sawit merupakan komoditas non-migas unggulan Indonesia. Saat ini Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dimana produksi dan luas arealnya telah melampaui Malaysia. Saat ini produk minyak sawit yang banyak ditangani di Indonesia berupa minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO) yang merupakan hasil ekstraksi dari sabut (mesokarp) kelapa sawit. Produksi CPO tahun 2010 mencapai 19.84 juta ton dengan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 7.82 juta hektar (Ditjenbun 2011). Dengan sedemikian besarnya volume produksi CPO Indonesia, maka upaya peningkatan efisiensi produksi CPO serta penanganannya perlu terus dilakukan agar daya saing CPO Indonesia semakin meningkat.
Salah satu permasalahan yang perlu diperhatikan dalam penanganan CPO adalah masalah penyimpanan dan transportasi. CPO memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan minyak nabati lainnya yang berpengaruh terhadap penanganannya selama penyimpanan dan transportasi. CPO tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh dengan titik leleh yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pada suhu tertentu dapat terjadi pemisahan fraksi pada CPO. CPO dapat terpisah menjadi fraksi minyak yang tetap cair karena memiliki titik leleh yang rendah (disebut fraksi olein) dan fraksi yang memadat (membeku) karena memiliki titik leleh yang tinggi (disebut fraksi stearin) (Ketaren 2008). Akibatnya, bila suhu penyimpanan dan pengaliran cukup rendah, CPO dapat memadat sebagian atau bahkan seluruhnya. Kondisi fase bahan yang memadat tersebut akan menyulitkan saat CPO dialirkan.
Pada praktik yang selama ini dilakukan, CPO yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) diangkut dengan menggunakan truk tangki menuju tangki penyimpanan. Sebelum disimpan ke dalam tangki penyimpanan, CPO perlu dipanaskan untuk mencairkan minyak yang telah mengkristal dengan cara mengalirkan steam ke dalam truk tangki. Setelah CPO di dalam truk tangki mencair, CPO dialirkan dengan pipa menuju tangki penyimpanan. Untuk keperluan ekspor, CPO dari tangki penyimpanan dialirkan menuju tangki kapal di pelabuhan dengan menggunakan sistem pipa berpompa. Praktik yang terjadi dalam pengaliran CPO di dalam sistem pipa masih berlangsung untuk jarak dekat di pabrik atau saat pengisian tangki yaitu dengan mengalirkan CPO pada kondisi panas di dalam sistem pipa yang berpemanas atau berisolasi untuk mencegah pemadatan.
2 efisiensi proses selama penyimpanan dan pengaliran CPO, data-data dasar mengenai profil mutu serta sifat reologi CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa perlu dikaji lebih mendalam.
.
B.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data karakteristik mutu dan sifat reologi minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO) selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa.
C.
MANFAAT PENELITIAN
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK SAWIT
Hasil tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) yang dipanen adalah tandan buah kelapa sawit. Tandan telah masak apabila jumlah buah yang membrondol telah mencapai dua brondolan per kg tandan (Naibaho 1998). Dari kelapa sawit dapat dihasilkan dua jenis minyak yang sangat berlainan, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) kelapa sawit disebut minyak sawit kasar (CPO/crude palm oil) dan minyak yang berasal dari inti kelapa sawit yang dinamakan minyak inti sawit (PKO/palm kernel oil) (Ketaren 2008). Buah sawit umumnya berukuran panjang 2-5 cm dan berat antara 3-30 gram, berwarna ungu hitam pada saat muda, kemudian menjadi berwarna kuning merah pada saat tua dan matang (Muchtadi 1992). Warna daging buah putih kuning ketika masih muda dan berwarna jingga setelah buah matang (Ketaren 2008). Penampang melintang buah kelapa sawit disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Penampang melintang buah kelapa sawit (Lim 2002).
Minyak sawit yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) masih disebut minyak sawit kasar (CPO/crude palm oil). Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak (3-5%) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1%), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida dan berbagai komponen trace element (Muchtadi 1992). Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dengan persentase yang hampir sama. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar.
Jenis asam lemak Kadar (%) Titik cair (ºC)
Asam lemak jenuh
Asam kaprat (C10:0) Asam laurat (C12:0) Asam miristat (C14:0) Asam palmitat (C16:0) Asam stearat (C18:0) Asam lemak tidak jauh
Asam oleat (C18:1) Asam linoleat (C18:2) Asam linolenat (C18:3)
1-3 0-1 0.9-1.5 39.2-45.8
3.7-5.1
37.44-44.1 8.7-12.5
0-0.6
31.5 44 58 64 70
14 -11
-9
Sumber: Basiron (2005).
Mesokarp
Tempurung
4 Asam palmitat dan asam oleat merupakan asam lemak yang dominan terkandung dalam minyak sawit, sedangkan kandungan asam lemak linoleat dan asam stearatnya sedikit (Siew 2000). CPO tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh. Keseimbangan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh menyebabkan CPO lebih stabil terhadap oksidasi dibanding minyak nabati lainnya dan CPO berwujud semisolid pada suhu ruang (Basiron 2005). Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (meelting point) yang tinggi yaitu 64 oC (Belitz & Grosch 2004). Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu
ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding asam palmitat yaitu 14 oC (Ketaren 2008).
Minyak sawit mempunyai bau dan rasa yang khas, bersifat stabil dan mampu mencegah ketengikan. Minyak sawit memiliki warna mulai dari kuning muda sampai jingga. Penyebab timbulnya warna ini disebabkan adanya sejumlah kandungan karoten, tingkat oksidasi oleh enzim, lama penyimpanan, dan lain-lain. Secara umum sifat fisikokimia minyak sawit meliputi warna, bau/flavor, kelarutan, bobot jenis, indeks bias, titik cair, bilangan iod, dan bilangan penyabunan. Nilai beberapa sifat fisikokimia minyak sawit ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sifat fisikokimia minyak sawit.
Sifat Fisikokimia Nilai
Bobot jenis (40 oC) Indeks bias
Titik cair (oC) (tergantung komponen asam lemak) Bilangan iod
Bilangan penyabunan
0.921-0.925 1.453-1.485
25-50 44-58 195-205
Sumber: Winarno (1999).
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak sawit adalah adanya kandungan air, kotoran, asam lemak bebas, bilangan peroksida dan daya pemucat. Faktor lain adalah titik cair, kandungan gliserida padat, refining loss, plasticity, sifat transparan, kandungan logam berat dan bilangan penyabunan (Ketaren 2008). Badan Standar Nasional (BSN) telah menetapkan standar mutu CPO dalam SNI 01-2901-2006, yang meliputi parameter warna (jingga kemerah-merahan), kadar air dan kadar kotoran (maksimal 0.5%), asam lemak bebas (maksimal 0.5%), bilangan iod (50 – 55 g iod/100 g). Beberapa standar mutu CPO disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar mutu CPO.
Parameter mutu CPO SNI 01-2901-2006 (1) PORIM (2) Standar mutu CPO
di PKS Indonesia (3)
Warna Jingga kemerahan - -
Asam lemak bebas (%) 0.5 maks 3-5 5 maks
Kadar air dan kotoran (%) 0.5 maks 0.25 maks 0.25 maks
Bilangan iod (g iod/100 g) 50-55 52.5 min 51 min
Karoten (ppm) - 600 min 500 min
DOBI - 2.7 2.5 min
Sumber : (1) BSN (2006), (2) PORIM (1995), (3) Ditjenbun (1997).
5 dan kegunaan CPO tersebut, maka mutu dan kualitasnya harus diperhatikan sebab sangat menentukan harga dan nilai komoditas ini.
B. PENYIMPANAN DAN TRANSPORTASI MINYAK SAWIT
Menurut Hilder (1997), yang disebut sebagai proses transportasi minyak nabati secara
bulk pada skala besar pada hakekatnya berlangsung pada kondisi yang sama persis dengan proses penyimpanan, hanya saja tangki atau wadahnya berpindah lokasi. Sebagai contoh, pengiriman minyak sawit yang diekspor ke daratan Eropa mengalami transportasi melalui jalur laut yang membutuhkan waktu sekitar 1 bulan. Ini berarti minyak sawit tersebut mengalami penyimpanan pada kondisi statis di dalam tangki penyimpan selama masa transportasi tersebut.
Hilder (1997) mengemukakan bahwa kondisi penyimpanan minyak sangat ditentukan oleh jenis minyak itu sendiri. Setiap jenis minyak memiliki derajat ketidakjenuhan yang berbeda dan tingkat kandungan antioksidan alami tertentu. Cara untuk mempertahankan mutu minyak sawit selama penyimpanan dan transportasi antara lain (1) meminimalkan kontak dengan udara, (2) menghindari kadar air yang berlebihan, (3) menghindari kontak dengan pro-oksidan dan meminimalkan kadar pro-oksidan di dalam minyak, (4) menyimpan minyak dalam kondisi gelap, (5) mengupayakan penyimpanan minyak dalam waktu dan suhu seminimal mungkin, dan (6) menghindari pengadukan yang tidak perlu.
Setelah selesai diolah minyak sawit masuk ke dalam tangki penimbunan (storage tank).
Pada tangki tersebut terdapat pipa pemanas yang berisi uap bertekanan 3 kg/cm3. Pemanasan bertujuan agar suhu minyak berada pada 40-50 oC, supaya tidak membeku dan tidak terjadi oksidasi serta mencegah kenaikan asam lemak bebas. Untuk penyimpanan dan transportasi minyak nabati, CODEX Alimentarius Commision (CAC) (2005) telah merekomendasikan bentuk, konstruksi dan persyaratan tangki penyimpanan yang digunakan. Secara umum, permukaan tangki harus inert terhadap minyak dan terbuat dari mild steel yang dilapisi epoxy resin atau terbuat dari stainless steel.
Menurut CAC (2005), pada tangki untuk menyimpan minyak sawit, diperlukan juga fasilitas pemanasan untuk memberi kondisi suhu tertentu agar minyak sawit tidak mengalami pemadatan. Jenis peralatan pemanas yang direkomendasikan adalah pipa air panas (bare hot
water pipes), pipa uap (bare steam pipes) atau penukar panas eksternal (external heat
exchanger). Tangki yang digunakan harus memenuhi syarat untuk mempertahankan suhu
6 hari pemanasan pada laju kenaikan suhu 5 oC/24 jam untuk mencapai suhu pengaliran. Pada penyimpanan dengan waktu yang panjang, seluruh minyak harus disimpan pada suhu kamar, dan pemanasan harus dihentikan. Bila fraksi olein menjadi padat, proses pemanasan awal harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menjamin tidak terjadinya kelebihan panas pada lokasi tertentu.
Sebelum dialirkan minyak sawit harus dipanaskan hingga suhu sesuai yang tercantum pada Tabel 4. Suhu yang lebih rendah diterapkan pada minyak dengan titik leleh yang lebih rendah, dan sebaliknya suhu yang lebih tinggi diterapkan pada minyak dengan titik leleh yang lebih tinggi. Suhu-suhu tersebut digunakan untuk minyak kasar dan minyak yang telah dimurnikan untuk setiap jenisnya. Pada kondisi cuaca dingin, suhu pengeluaran harus pada suhu maksimal dari suhu pada Tabel 4, untuk menghindari terjadinya penyumbatan pada jalur pipa yang tidak dipanaskan.
Tabel 4. Suhu minyak sawit selama penyimpanan, pengangkutan, pengisian dan pengeluaran dari tangki.
Jenis minyak sawit
Suhu penyimpanan dan pengangkutan
Suhu pengisian dan pengeluaran
Min (oC) Maks (oC) Min (oC) Maks (oC)
Minyak sawit 32 40 50 55
Olein sawit 25 30 32 35
Stearin sawit 40 45 60 70 (1)
Minyak inti sawit 27 32 40
(1)
45
(1)
Olein inti sawit 25 30 30 35
Stearin inti sawit 32 38 40 45
Catatan: (1) untuk iklim yang lebih hangat, suhu pengisian dan pengeluaran untuk minyak inti sawit minimal 30 oC dan maksimal 39 oC atau suhu kamar.
Sumber: CAC (2005).
Menurut Pahan (2008), alat angkut minyak sawit dilengkapi dengan alat pemanas dan pengontrol suhu, terutama jika jarak pelabuhan jauh dari PKS. Pemanasan minyak pada tangki timbun PKS yang jaraknya jauh dari pelabuhan biasanya dilakukan pada suhu tinggi, dengan memperhitungkan bahwa minyak tersebut tiba di tangki pelabuhan pada suhu di atas titik cair. Kualitas minyak dalam penimbunan dipengaruhi oleh cara penimbunan dan kondisi tangki timbun. Suhu penyimpanan yang tidak terkontrol dan melebihi 55 oC dapat menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi dan hidrolisis.
C. PERUBAHAN MUTU MINYAK SAWIT SELAMA PENYIMPANAN
7 suhu tinggi juga dapat mempercepat terjadinya reaksi oksidasi, dan oleh karena itu setiap tahap proses yang dilakukan harus dikerjakan pada suhu serendah mungkin.
1) Perubahan Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas merupakan salah satu faktor penentu mutu minyak sawit mentah, dan juga merupakan salah satu indikator dalam kerusakan minyak. Asam lemak bebas dalam minyak tidak dikehendaki karena degradasi asam lemak bebas tersebut menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai. Oleh sebab itu, dalam pengolahan minyak diupayakan kandungan asam lemak bebas serendah mungkin (Djatmiko et al. 1985)
Pembentukan asam lemak bebas pada minyak sawit kasar merupakan suatu kerusakan. Kerusakan minyak sawit kasar disebabkan oleh hidrolisis dan oksidasi. Air di dalam minyak akan mempercepat kerusakan minyak karena hidrolisis, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol, yang dapat menyebabkan ketengikan (Ketaren 2008). Reaksi ini dipercepat dengan adanya faktor panas, air, keasamaan, katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini berlangsung ,maka semakin banyak kadar asam lemak bebas yang terbentuk. Gambar 2 menunjukkan reaksi hidrolisis minyak sawit yang mengakibatkan terbentuknya asam lemak bebas.
Trigliserida Air Gliserol Asam lemak bebas
Gambar 2. Reaksi hidrolisis minyak sawit menghasilkan asam lemak bebas (Ketaren 2008).
Kenaikan asam lemak dapat terjadi selama pengolahan dan penyimpanan minyak sawit yang disebabkan oleh hidrolisis autokatalitik, juga disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yaitu jamur lipolitik, di antaranya adalah spesies Paecilomyces, Aspergillus,
Rhizopus dan Torula, hal ini terjadi karena minyak diproduksi dalam keadaan kotor yang
merupakan nutrisi bagi perkembangan jamur lipolitik (Hartley 1988)
Kenaikan asam lemak bebas mempermudah proses oksidasi berantai dan pembentukan senyawa peroksida, aldehida, keton, dan polimer. Oksidasi berantai menyebabkan penguraian konstituen aroma, flavor, dan vitamin. Pembentukan senyawa seperti peroksida, aldehida, dan keton menyebabkan bau tengik, pencoklatan minyak dan kemungkinan menimbulkan keracunan (Ketaren 2008).
8
2) Karotenoid
Warna merah pekat yang muncul pada CPO disebabkan oleh kandungan komponen karotenoidnya yang tinggi, sekitar 500-700 ppm. α-karoten dan terutama β-karoten (Gambar 3) merupakan komponen utama (sekitar 90% dari total karotenoid) (Ooi et al. 1996).
Gambar 3. Struktur β-karoten (Fennema 1996).
Menurut Meyer (1966) sifat fisika dan kimia karotenoid adalah: 1. Larut dalam minyak dan tidak larut dalam air.
2. Larut dalam kloroform, benzene, karbon disulfida dan petroleum eter. 3. Tidak larut dalam dalam etanol dan metanol dingin.
4. Tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum. 5. Peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya. 6. Mempunyai ciri khas absorpsi cahaya.
Adanya struktur ikatan rangkap pada molekul β-karoten (11 ikatan rangkap pada 1
molekul β-karoten) menyebabkan bahan ini mudah teroksidasi ketika terkena udara. Menurut Sundram (2007) karoten sensitif terhadap oksigen dan cahaya. Oksidasi karoten dipicu oleh hidroperoksida yang dihasilkan dari oksidasi lipid, mengakibatkan diskolorisasi dan
bleaching. Bila teroksidasi, aktivitas karotenoid akan menurun karena terjadinya perubahan
isomer dari trans menjadi cis (Iwasaki dan Murakhosi 1992).
Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi dapat terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Bonnie dan Choo 1999). Gross (1991) mengatakan bahwa
laju oksidasi β-karoten meningkat dengan peningkatan suhu.
Marty dan Berset (1990) melakukan penelitian dengan β-karoten all trans sintetis dan menyatakan bahwa ketahanan molekul tersebut pada suhu tinggi dipengaruhi oleh kondisi medium. Pemanasan yang lama pada suhu 180 oC (kondisi tanpa oksigen) hanya menyebabkan sedikit kerusakan pada molekul ini, namun pada bahan pangan (dengan adanya komponen penyusun berupa pati, lemak, air, dan lain-lain) serta dikombinasikan dengan pencampuran secara mekanis akan memberi kesempatan masuknya oksigen dan
menyebabkan kerusakan molekul β-karoten all trans ini lebih besar hingga jauh lebih besar lagi.
Menurut Alyas et al. (2006), peningkatan waktu pemanasan dari 30 menit sampai 120 menit mengakibatkan reduksi β-karoten sebesar 3% pada suhu 50 oC dan 6% pada suhu 100 oC dalam red palm olein (RPOn). Pemanasan RPOn pada suhu yang sangat tinggi 200 oC
selama 30 menit mengakibatkan kehilangan β-karoten hanya 15%. Namun, peningkatan waktu pada suhu 200 oC menyebabkan reduksi sebesar 59% kandungan β-karoten.
Perubahan struktur β-karoten khususnya maupun karotenoid pada umumnya selama pengolahan dan penyimpanan dapat terjadi melalui beragam jalur, tergantung pada kondisi
1 2
4 3 5
6 7 8
9 10
11 12
13 14
15 ’ ’ ’ ’
’ ’ ’ ’ ’
’ ’
’ ’ ’
9 proses reaksinya. Menurut Bonnie dan Choo (1999), jalur degradasi yang umum adalah isomerisasi, oksidasi, dan fragmentasi karotenoid.
Beberapa macam kerusakan karotenoid yang mungkin terjadi, diantaranya: kerusakan pada suhu tinggi. Eskin (1979) menyebutkan bahwa karotenoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi melalui degradasi termal sehingga terjadi dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya intensitas warna karoten atau terjadi pemucatan warna yang terjadi dalam kondisi oksidatif.
Pada suhu tinggi, karoten dapat berubah menjadi senyawa yang berwarna kecoklat-coklatan dan larut dalam minyak sehingga semakin sukar untuk dipucatkan. Penurunan daya pemucatan ini disebut DOBI (deterioration of bleachability index) (Pahan 2008). Adanya warna dan bilangan DOBI yang rendah tidak disukai dalam industri karena minyak sawit semakin sulit untuk dipucatkan. Bilangan DOBI merupakan gambaran kerusakan minyak akibat proses oksidasi yang terjadi sejak panen. Menurut Pahan (2008) nilai DOBI minyak sawit dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu:
DOBI < 1.7 : jelek
< DOBI < 2.3 : kurang baik 2.4 < DOBI < 2.9 : cukup baik DOBI > 2.9 : baik
3) Bilangan Iod dan Bilangan Peroksida
Asam lemak yang menyusun lemak/minyak umumnya berupa campuran antara asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Derajat ketidakjenuhun asam lemak yang menyusun lemak/minyak dapat ditentukan berdasarkan reaksi adisi antara asam lemak dengan iod (I2).
Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh dapat diadisi oleh senyawa iod sehingga menghasilkan senyawa dengan ikatan jenuh. Reaksi adisi ikatan rangkap asam lemak oleh senyawa iod dibantu dengan carrier seperti iodin-klorida atau iodin-bromida (Apriyantono 1989).
Bilangan iod menyatakan jumlah gram iod yang digunakan untuk mengadisi 100gram lemak/minyak. Semakin tinggi bilangan iod, maka semakin banyak ikatan rangkap yang daidisi dan semakin tinggi derajat ketidakjenuhan lemak/minyak tersebut (Sudarmadji 1996). Menurut Ketaren (2008), peningkatan temperatur memungkinkan terjadinya polimerasi dimana ikatan rangkap yang terbentuk terputus kembali sehingga jumlah ikatan rangkap yang menyusun asam lemak berkurang dan bilangan iod menjadi rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Tsaknis et al. (2002) menunjukkan bahwa pemanasan pada suhu 175+5 oC selama 10 jam mengakibatkan penurunan bilangan iod pada minyak, serta mengakibatkan perubahan komposisi asam lemak penyusunnya. Kandungan asam lemak tidak jenuh mengalami penurunan, sedangkan kandungan asam lemak jenuh meningkat.
10 serangan oksigen pada ikatan rangkap (ikatan tidak jenuh) sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh yang bersifat reaktif. Peroksida yang dihasilkan bersifat tidak stabil dan mudah mengalami dekomposisi oleh proses isomerisasi atau polimerisasi, dan akhirnya menghasilkan persenyawaan dengan berat molekul lebih rendah. Senyawa peroksida juga mampu mengoksidasi molekul asam lemak yang masih utuh dengan cara melepaskan 2 atom hidrogen, sehingga membentuk oksida. Terbentuknya peroksida disusul dengan terbentuknya ikatan rangkap baru yang menghasilkan deretan persenyawaan aldehida dan asam jenuh dengan berat molekul rendah (Ketaren 2008).
Menurut Habile (1992), hasil pemecahannya peroksida antara lain aldehida, keton, serta logam-logam transisi tidak diinginkan karena dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada minyak berupa ketengikan (rancidity). Ketengikan terbentuk oleh autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh atau aldehida bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan bilangan peroksida (peroksida value/PV) hanya indikator dan peringatan bahwa minyak sebentar lagi akan berbau tengik. Semakin tinggi bilangan peroksida menunjukkan bahwa jumlah peroksida semakin banyak dan dapat diduga bahwa tingkat reaksi oksidasi pada lemak/minyak semakin tinggi (Apriyantono 1989).
D. REOLOGI DAN KARAKTERISTIK FLUIDA
Reologi merupakan ilmu yang mempelajari hampir semua aspek yang mempengaruhi perubahan bentuk dan aliran bahan sebagai akibat dari adanya tekanan luar (Ferguson & Kemblowski 1991). Menurut Davis dan Sanders (2007), reologi adalah ilmu untuk mengukur dan menginterpretasikan respon suatu materi terhadap input gaya geser (stress) atau gaya tarik
(strain) tertentu yang diberikan, dan ilmu ini merupakan dasar yang penting untuk menentukan
mutu minyak nabati. Sifat reologi adala sifat fisik produk pangan yang berkaitan dengan deformasi bentuk akibat adanya gaya mekanik atau aliran. Sifat yang termasuk sifat reologi antara lain kekentalan, kelengketan, elastisitas, plastisitas, kelenturan, kekenyalan, dan sebagainya. Salah satu parameter reologi yang penting dalam pengaliran fluida adalah viskositas. Matuszek (1997) mengemukakan bahwa viskositas adalah ukuran bertahannya suatu fluida untuk mengalir. Gaya yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya aliran fluida pada kecepatan tertentu terkait dengan viskositas fluida tersebut. Tahanan suatu fluida untuk mengalir dikenal dengan stress. Gaya geser atau shear stress () adalah stress yang terjadi saat molekul-molekul fluida bergeser satu sama lain sepanjang permukaan tertentu. Gradien kecepatan atau
shear rate (-dV/dr atau ) adalah ukuran seberapa cepatnya suatu molekul untuk saling bergeser.
Menurut Singh dan Heldman (2001), viskositas ditentukan oleh sifat fisiko kimia alami bahan dan suhu.
Pada kondisi shear rate yang berbeda, maka nilai viskositas suatu fluida akan berubah (Toledo 1991). Goodrum et al. (2002) mengemukakan bahwa viskositas dinamik fluida nilainya berbanding lurus dengan rasio shear stress terhadap shear rate yang diterapkan. Pada fluida Newtonian, rasio tersebut bernilai konstan, dan nilai viskositas tidak tergantung pada shear rate. Berdasarkan perilaku alirannya, fluida dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu Newtonian dan non-Newtonian. Fluida non-Newtonian dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu bingham plastik, pseudoplastik, dilatan, thiksotropik, dan rheopektik.
11
τ = µ −�� = µγ (1)
Kemiringan (slope) dalam persamaan tersebut disebut viskositas yang bernilai konstan, sehingga viskositas suatu fluida Newtonian tidak dipengaruhi oleh shear rate. Fluida Newtonian memiliki kurva hubungan shear rate dan shear stress berupa garis lurus (Gambar 4a). Bila dua fluida Newtonian mengalami perubahan shear rate, nilai viskositas terukur kedua fluida tersebut akan tetap (Gambar 4b).
(a) (b)
Gambar 4. Hubungan shear rate dan shear stress pada fluida Newtonian (a); dan viskositas dua fluida Newtonian saat mengalami perubahan shear rate (b) (Matuszek 1997).
Fluida yang memiliki karakteristik yang berbeda dari persamaan 1 tersebut dikenal dengan fluida non-Newtonian. Kurva hubungan shear rate dan shear stress untuk fluida non-Newtonian disajikan pada Gambar 5. Pada fluida non-non-Newtonian, viskositasnya merupakan fungsi dari shear rate yang diterapkan. Menurut Matuszek (1997), fluida non-Newtonian memiliki sifat semakin encer dengan semakin meningkatnya shear rate (shear thinning), atau sebaliknya semakin kental dengan semakin meningkatnya shear rate (shear thickening), dan beberapa memiliki gaya geser awal (yield stress). Persamaan yang paling umum untuk karakterisasi fluida non-Newtonian adalah model power law (Persamaan 2) dan model Herschel-Bulkley (Persamaan 3).
τ = K (γ)n
(2)
τ = τ0 + K (γ)n (3)
Dimana n adalah indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index), K adalah indeks konsistensi
(concistency index), dan τ 0 adalah gaya geser awal (yield stress) yang merupakan gaya yang
dibutuhkan fluida untuk mulai mengalir.
µ
12 Gambar 5. Sifat aliran fluida non-Newtonian: (a) viskositas struktural (untuk larutan dengan
molekul besar); (b) aliran dilatan (untuk suspensi dengan konsentrasi tinggi); (c) viskoplastik dengan limit aliran: 1-plastik ideal, 2,3-plastik non-linier; (d)
thixtotropy: 1-antithixtotropy, 2-viskoelastik; (e) aliran rheopexy (Matuszek 1997).
Menurut Goodrum et al. (2002), nilai indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index, n) yang lebih kecil dari satu menunjukkan sifat fluida pseudoplastik, nilai n yang lebih besar dari satu menunjukkan sifat dilatan, dan nilai n = 1 merupakan sifat fluida Newtonian. Parameter K
adalah koefisien konsistensi yang bernilai proporsional terhadap viskositas.
Pada fluida yang bersifat pseudoplastik, terjadi fenomena penurunan viskositas saat dikenai shear rate meningkat, atau dikenal dengan sifat shear thinning. Menurut Singh dan Heldman (2001), saat fluida pseudoplastik mengalami gaya geser, partikel-partikel yang terdistribusi secara acak akan mengatur dirinya sejajar dengan arah aliran, sehingga viskositas menurun. Perubahan viskositas pada shear rate yang sangat rendah (<0.5 s-1) atau pada shear rate yang sangat tinggi (>100 s-1) umumnya sangat kecil, sehingga dalam pengukuran sifat fluida
power law, shear rate yang diterapkan adalah antara 0.5 s-1 hingga 100 s-1.
Fluida non-Newtonian dapat diklasifikasikan dalam time-dependent atau
time-independent. Fluida yang sifat reologinya hanya bergantung pada shear stress (pada suhu
13 pengolahan, penyimpanan, dan transportasi. Suhu sangat berpengaruh terhadap viskositas fluida, dimana secara umum viskositas akan menurun dengan meningkatnya suhu (Rao 1999). Munson
et al. (2001) juga mengungkapkan bahwa secara umum, viskositas suatu fluida akan menurun
dengan meningkatnya suhu. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya penurunan gaya kohesif pada molekul-molekul fluida saat suhu mengalami peningkatan.
Menurut Goodrum et al. (2001), karena viskositas merupakan fungsi dari suhu, maka nilai parameter n dan K juga dapat berubah dengan perubahan suhu. Dengan demikian, n dan K
harus ditentukan melalui percobaan penentuan viskositas pada kondisi suhu tertentu (isotermal). Karena model power law hanya menentukan hubungan antara viskositas dengan shear rate, dibutuhkan analisis lain untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap viskositas.
Wang dan Briggs (2002) telah melakukan pengujian pengaruh suhu (10, 20, 40, 60 dan 90 oC) terhadap sifat reologi 5 jenis minyak kedelai, dan diketahui bahwa viskositas minyak akan menurun dengan suhu yang semakin meningkat, yang juga dipengaruhi oleh komposisi minyak. Menurut Wang dan Briggs (2002), pengaruh suhu terhadap viskositas (µ) untuk fluida Newtonian dapat dinyatakan dalam persamaan tipe Arrhenius (Persamaan 4) yang melibatkan suhu absolut (T), konstanta gas universal (R), dan energi aktivasi (Ea):
µ = A e Ea/RT (4)
Nilai Ea dan konstanta persamaan Arrhenius (A) ditentukan menggunakan regresi linier
dari data percobaan. Nilai Eayang lebih tinggi menunjukkan perubahan viskositas yang lebih
cepat akibat perubahan suhu.
E. SIFAT REOLOGI MINYAK
Kim et al. (2010) telah melakukan pengujian sifat reologi tujuh sampel minyak yaitu
minyak canola, jagung, grapseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari. Minyak nabati tersebut memperlihatkan sifat fluida Newtonian pada suhu pengukuran 25 oC (Gambar 6).
Gambar 6. Kurva hubungan shear stress dan shear rate pada beberapa jenis minyak nabati pada suhu 25 oC (Kim et al. 2010).
Hasil penelitian Goodrum et al. (2002) pada poultry fat dan yellow grase juga menunjukkan bahwa pada shear rate yang tinggi, sifat reologi sampel menyerupai sifat fluida
Shear rate (1/s)
Shea
r
st
re
ss
(P
a
14
Suhu (oC)
Newtonian, dimana viskositas tidak lagi dipengaruhi oleh shear rate. Selain itu Fasina et al.
(2006) juga telah melakukan pengujian pada 12 sampel minyak nabati pada kisaran suhu 5-95 oC, dan terdapat hubungan yang linier antara shear rate dengan shear stress dengan
koefisien regresi lebih besar dari 0.999, yang mengindikasikan bahwa minyak nabati tersebut memiliki sifat fluida Newtonian.
Menurut Munson et al. (2001), pada umumnya minyak dan lemak memiliki sifat pseudoplastik yang mengalami penurunan viskositas saat shear rate meningkat(shear thinning). Geller dan Goodrum (2000) melaporkan bahwa viskositas minyak ditentukan oleh shear rate
dimana pada shear rate yang sangat rendah di bawah 7 s-1, terdeteksi sifat aliran fluida non-Newtonian pseudoplastik. Sebaliknya bila shear rate >7 s-1, minyak bersifat sebagai fluida Newtonian.
Kim et al. (2010) telah melakukan pengujian sifat aliran minyak pada kisaran suhu
20-70 oC (Gambar 7), dimana minyak mengalami penurunan viskositas secara non-linier dengan meningkatnya suhu. Penggunaan model Arrhenius Kim et al. (2010) pada sampel minyak nabati tersebut menghasilkan nilai Ea 24.6 – 26.9 kJ/mol dan konstanta Arrhenius 1.18 x 10-6– 2.23 x
10-6 Pa.s. Menurut Santos et al. (2005) pengaruh suhu tersebut disebabkan oleh terjadinya penurunan interaksi molekuler.
Gambar 7. Pengaruh suhu pada sifat aliran beberapa minyak nabati (Kim et al. 2010).
15
III. METODE PENELITIAN
A.
BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan di dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude
palm oil/CPO) yang diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Indonesia, Jakarta. Bahan
pendukung yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia untuk analisis, yaitu: air destilata, etanol 95%, NaOH, indikator fenolftalein, sikloheksana, larutan Wijs, KI, Na2S2O3, indikator kanji, n-heksana dan iso-oktana.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah inkubator, lemari pendingin, pemanas (hot plate), termometer, pipa sirkulasi skala laboratorium, Haake Rotoviscometer
RV20, spektrofotometer, neraca analitik, buret, erlenmeyer bertutup, pipet Mohr, pipet tetes, gelas piala, gelas ukur, batang pengaduk, sudip, dan corong.
B.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu: (1) analisis mutu dan reologi CPO awal, (2) analisis mutu dan reologi CPO setelah pemanasan awal, (3) analisis mutu dan reologi CPO selama penyimpanan, (4) analisis mutu dan reologi CPO setelah pemanasan sebelum pengaliran, dan (5) analisis mutu dan reologi CPO selama pengaliran dalam pipa. Diagram alir tahap penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Diagram alir penelitian karakteristik CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa.
CPO suhu 25 oC
Analisis mutu dan reologi CPO awal
Pemanasan CPO pada laju pemanasan 5 oC/24 jam hingga mencapai suhu 55 oC
Penyimpanan CPO pada suhu perlakuan (40, 35, 30, 25, dan 20 oC) selama 4 minggu. Analisis mutu dan reologi
CPO selama penyimpanan, setiap 1 minggu sekali
Pemanasan CPO pada laju pemanasan 5 oC/24 jam hingga suhu pengaliran 55 oC
Pengujian pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi. Analisis mutu dan reologi CPO selama
pengaliran dalam pipa
Pengolahan data
Pengolahan data Pengolahan data
Pengolahan data Analisis mutu dan reologi CPO setelah pemanasan awal
16 Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data karakteristik mutu dan reologi CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa. Sebelum dilakukan perlakuan selanjutnya, CPO dianalisis mutu dan reologi awal pada suhu 25 oC. Ketika CPO tiba dari pabrik kelapa sawit (PKS), dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 50-55 oC. Pemanasan dilakukan untuk mempermudah proses bongkar muatan ketika CPO akan dipindahkan ke tangki penyimpanan. Untuk mengetahui pengaruh pemanasan ketika proses bongkar muatan terhadap mutu dan reologi CPO, maka dilakukan analisis mutu dan reologi terhadap CPO yang telah dipanaskan hingga mencapai suhu 55 oC.
Selama penyimpanan, suhu dan lama penyimpanan juga berpengaruh terhadap karakteristik CPO. Suhu penyimpanan yang direkomendasikan oleh CODEX Alimentarius Commison (CAC) (2005) adalah suhu penyimpanan 32-40 oC. Pada penelitian ini dilakukan penyimpanan CPO pada suhu penyimpanan 20, 25, 30, 35, dan 40 oC selama 4 minggu penyimpanan. Selain penyimpanan CPO pada kisaran suhu yang direkomendasikan CAC (2005), dilakukan juga penyimpanan pada suhu yang lebih rendah, yaitu 20, 25, dan 30 oC. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan CPO pada berbagai suhu penyimpanan yang diujikan terhadap parameter mutu maupun reologi CPO.
Sebelum dialirkan, CPO perlu dipanaskan hingga mencapai suhu pengaliran yaitu 50-55 oC. Pemanasan tersebut dilakukan untuk melelehkan kristal lemak pada CPO, sehingga CPO lebih mudah untuk dialirkan. Setelah mengalami pemanasan kembali untuk mencapai suhu pengaliran, mutu dan sifat reologi CPO mengalami perubahan. Untuk mengetahui pengaruh pemanasan hingga mencapai suhu pengaliran CPO, maka dilakukan analisis mutu dan reologi terhadap CPO yang telah dipanaskan kembali hingga mencapai suhu 55 oC.
Praktik yang terjadi dalam pengaliran CPO dalam sistem pipa berlangsung pada kondisi panas di dalam sistem pipa yang berpemanas atau berisolasi untuk mencegah pemadatan selama proses pengaliran. Selama pengaliran sangat memungkinkan terjadinya penurunan mutu CPO, karena pengaliran dilakukan dalam kondisi panas. Selain itu, sifat reologi CPO juga dapat mengalami perubahan akibat pengaruh suhu yang berubah-ubah selama pengaliran CPO. Untuk mengetahui profil perubahan mutu dan sifat reologi CPO selama pengaliran maka dilakukan analisis mutu dan sifat reologi CPO selama pengujian pengaliran CPO dalam sistem pipa.
1. Analisis Mutu dan Reologi CPO Awal
Sampel CPO yang digunakan merupakan sampel yang baru dihasilkan industri pengolah CPO, serta belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Analisis mutu CPO yang dilakukan meliputi kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karoten dan DOBI (deterioration of bleachability index).
17
2. Analisis Mutu dan Reologi CPO Setelah Pemanasan Awal
Analisis mutu dan reologi CPO pada tahap ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemanasan awal sebelum penyimpanan terhadap parameter mutu dan reologi CPO. CPO yang telah dianalisis mutu serta reologi pada tahap sebelumnya, kemudian dipanaskan di dalam inkubator hingga suhu 55 oC dengan kenaikan suhu 5 oC/24 jam. Pemanasan dilakukan untuk mencapai suhu pengaliran sesuai dengan rekomendasi CODEX Alimentarius Commison (CAC 2005). Setelah suhu pemanasan tercapai, kembali dilakukan analisis mutu dan reologi CPO seperti yang dilakukan pada tahap sebelumnya.
3. Analisis Mutu dan Reologi CPO Selama Penyimpanan
Pada tahap ini dilakukan simulasi proses penyimpanan CPO pada kondisi suhu penyimpanan tertentu dengan skala laboratorium. CPO yang telah dipanaskan hingga suhu 55 oC disimpan pada kondisi suhu penyimpanan yang berbeda-beda. Suhu penyimpanan yang dicobakan adalah 20, 25, 30, 35, dan 40 oC, dengan waktu penyimpanan selama 4 minggu. Untuk sampel yang disimpan pada suhu lebih besar atau sama dengan 25 oC, suhu diatur dengan cara menyimpan sampel CPO dalam inkubator yang dilengkapi pengatur suhu. Sedangkan untuk suhu di bawah 25 oC, penyimpanan dilakukan dalam lemari pendingin yang memiliki pengatur suhu. Analisis mutu dan sifat reologi CPO dilakukan setiap minggu terhadap setiap sampel yang disimpan pada suhu penyimpanan yang dicobakan.
4. Analisis Mutu dan Reologi CPO Setelah Pemanasan Sebelum Pengaliran
Sampel CPO yang telah disimpan selama 4 minggu pada suhu penyimpanan yang diujikan kemudian dipanaskan kembali hingga mencapai suhu maksimal pengaliran sesuai rekomendasi CAC (2005) yaitu suhu 55 oC. Sampel CPO dipanaskan dengan kenaikan suhu sebesar 5 oC/24 jam. Setelah suhu pemanasan tercapai, sampel kemudian dianalisis mutu dan sifat reologinya.
5. Analisis Mutu dan Reologi CPO Selama Pengaliran dalam Pipa
18
Keterangan : 1. Pipa stainless steel diameter dalam 1 inci dan panjang 13 meter 2. Tangki pemanas
3. Pengatur laju aliran 4. Termorekorder 5. Pompa sentrifugal
Gambar 9. Sistem pipa sirkulasi skala laboratorium.
Sampel CPO yang digunakan untuk simulasi pengaliran, sebelumnya dipanaskan terlebih dahulu hingga mencapai suhu 55 oC. Setelah suhu pengaliran tercapai, dilakukan pengaliran sampai suhu CPO menurun hingga mencapai kondisi isotermal, yang ditandai dengan tidak terjadinya penurunan suhu lagi (suhu konstan), sambil diamati perubahan mutu serta sifat reologinya.
6. Prosedur Analisis
6.1. Pengukuran kadar asam lemak bebas (BSN 2006)
Penentuan kadar asam lemak bebas dilakukan berdasarkan metode SNI 01-2901-2006. Kadar asam lemak bebas dihitung sebagai persentase berat (b/b) dari asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO) dimana berat molekul asam lemak bebas tersebut dianggap sebesar 25.6 (sebagai asam palmitat). Sampel yang diuji dipanaskan pada suhu 60-70 oC, diaduk hingga homogen. Kemudian sampel seberat 5 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL. Sebanyak 50 mL etanol 95% atau isopropanol yang sudah dinetralkan ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Sampel dipanaskan dalam penangas air dan diatur suhunya pada 40 oC sampai contoh minyak larut semua. Selanjutnya ditambahkan larutan indikator fenolftalein sebanyak 1-2 tetes. Sampel dititrasi dengan titrat sambil digoyang-goyang hingga mencapai titik akhir yang
2 3 4 5
19 ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda yang stabil minimal 30 detik. Penggunaan larutan titrat yang digunakan (mL) dicatat. Analisis dilakukan sekurang-kurangnya duplo dan perbedaan antara kedua uji tidak boleh melebihi 0.05%. Persentase asam lemak dihitung sebagai asam palmitat berdasarkan rumus pada Persamaan 5.
Kadar ALB (%) = 25.6x�x
(5)
Keterangan :
V : Volume titrat yang digunakan (mL) N : Normalitas larutan titrat
W : Berat sampel (g)
25.6 : Konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam lemak palmitat
6.2. Pengukuran bilangan iod (BSN 2006)
Penentuan bilangan iod dilakukan berdasarkan metode SNI 01-2901-2006. Bilangan iod dinyatakan sebagai gram iod yang diserap per 100 gram minyak. Sampel yang diuji dilelehkan pada suhu 60-70 oC, dan diaduk hingga rata. Sebanyak 0.4-0.6 gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup 250 atau 500 mL, lalu ditambahkan sebanyak 15 mL sikloheksana ke dalam erlenmeyer untuk melarutkan larutan uji tersebut. Sebanyak 25 mL larutan Wijs ditambahkan ke dalam erlenmeyer dengan menggunakan pipet, lalu erlenmeyer tersebut ditutup. Erlenmeyer dikocok dan disimpan dalam ruang gelap selam 30 menit. Sebanyak 10 mL larutan KI 10% dan 50 mL air suling ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer ditutup dan dikocok, kemudian dilakukan titrasi dengan larutan natrium tiosufat 0.1N sampai terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi kuning muda. Selanjutnya dilakukan penambahan 1-2 mL indikator kanji, titrasi dilanjutkan sampai warna birunya hilang setelah dikocok kuat-kuat. Dilakukan penetapan sekurang-kurangnya duplo, dan perbedaan antara kedua hasil uji tidak boleh lebih besar dari 0.05. Bilangan iod dihitung berdasarkan rumus pada Persamaan 6.
Bilangan iod (g iod/100 g) = 12.69 � ( 2− 1) (6) Keterangan:
N : Normalitas larutan standar natrium tiosulfat 0.1 N
V2 : Volume larutan natrium tiosulfat 0.1 N blanko V1 : Volume larutan natrium tiosulfat 0.1 N contoh
12.69 : Konstanta untuk menghitung bilangan iod
20
6.3. Pengukuran kadar karotenoid (PORIM 1995)
Sampel ditimbang sebesar 0.1 g ke dalam labu takar 25 mL, kemudian ditepatkan hingga tanda tera dengan n-heksana. Pengenceran dilakukan apabila absorbansi yang diperoleh nilainya lebih dari 0.700. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 446 nm dengan kuvet (lebar 1 cm). Konsentrasi karotenoid dalam sampel minyak sawit dihitung menggunakan panjang gelombang 446 nm menggunakan kuvet 1 cm dengan pelarut heksana. Kadar karotenoid diukur berdasarkan rumus pada Persamaan 7.
Karoten (ppm) = 25 x 383 x (As−Ab )
100 x W (7)
Keterangan :
W : Berat sampel (g) As : Absorbansi sampel Ab : Absorbansi blanko
6.4. Pengukuran nilai DOBI (PORIM 1995)
Sampel ditimbang sebanyak 0.04 g dalam labu ukur 25mL yang telah ditentukan berat kosongnya. Sampel dilarutkan dengan pelarut Iso-oktana p.a. sampai batas garis labu dan digoncang agar minyak atau lemak larut sempurna. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 446 nm (Ab) dan 269 nm (As). Nilai DOBI dihitung berdasarkan rumus pada Persamaan 8.
DOBI = ��
� (8)
Keterangan :
Ab : Absorbansi contoh pada panjang gelombang 446 nm As : Absorbansi contoh pada panjang gelombang 269 nm
6.5. Pengukuran sifat reologi CPO
Pengukuran sifat reologi dilakukan menggunakan Haake Rotoviscometer RV20 (Gambar 10) dengan sistem pengukuran M5. Sistem sensor yang digunakan adalah sensor NV yang terdiri atas sebuah silinder ko-aksial dengan dua celah/gap (celah dalam = 0.35 mm; celah luar = 0.4 mm). Perlakuan suhu selama percobaan dikontrol oleh thermocontroller yang diatur melalui program Haake Rotoviscometer RV20. Selanjutnya sampel dikenai shear rate pada kisaran 1-400 s-1, sehingga dapat diperoleh data gaya geser (shear stress) pada suhu tersebut. Sifat aliran fluida ditentukan dengan model power law dan dihitung nilai n (indeks tingkah laku aliran/flow behaviour index) dan nilai K (indeks konsistensi aliran/concistency index). Data logaritma shear rate dan
shear stress diplotkan untuk memperoleh persamaan power law, dengan data log shear
21
log τ = log K + n log γ (9)
�
: Shear stress�
: Shear raten : Indeks tingkah laku aliran
K : Indeks konsistensi aliran
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
KARAKTERISTIK MUTU DAN REOLOGI CPO AWAL
Minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO) merupakan komoditas unggulan Indonesia yang juga berperan penting dalam perdagangan dunia. Mengingat pentingnya peranan CPO tersebut, maka mutu harus mendapat perhatian yang utama karena sangat mempengaruhi harga dan nilai ekonomisnya (Muchtadi 1998). Penanganan CPO yang kurang baik dapat mengakibatkan kerusakan mutu CPO.
CPO yang digunakan pada penelitian ini merupakan CPO baru yang belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Dengan demikian, diharapkan komposisi kimia dan kondisi kristal lemak di dalamnya belum mengalami perubahan akibat terjadinya kristalisasi dan pelelehan yang berulang. Sebelum dilakukan perlakuan selanjutnya, CPO dianalisis mutu serta reologinya pada suhu 25 oC. Hasil analisis mutu CPO awal yang meliputi pengukuran kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid, dan DOBI
(deterioration of bleachability index) dapat dilihat pada Tabel 5 dengan data lengkap pada
Lampiran 1.
Tabel 5. Parameter mutu CPO awal. Parameter mutu Asam lemak
bebas (%)
Bilangan iod (g iod/100 g)
Karotenoid
(ppm) DOBI
CPO awal 3.44 52.64 642 2.91
Standar mutu SNI 01-2901-2006 Ditjenbun (1997)
0.5 maks 5 maks
50-55 51 min
- 500 min
- 2.5 min
Berdasarkan hasil analisis mutu awal yang dilakukan, sampel CPO yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar asam lemak bebas yang tidak sesuai dengan standar yang diacu, dimana standar asam lemak bebas yang dipersyaratkan dalam SNI 01-2901-2006 maksimal 0.5%. Jika mengacu pada standar mutu CPO di PKS Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perkebunan (Ditjenbun) (1997), sampel CPO yang digunakan masih memenuhi standar, dimana standar asam lemak bebas pada CPO maksimal 5%. Dilihat dari parameter bilangan iod, kadar karotenoid dan DOBI, sampel CPO yang digunakan masih memenuhi standar mutu yang diacu.
Selain dilakukan analisis mutu awal terhadap sampel CPO yang digunakan, juga dilakukan analisis sifat reologi CPO awal. Sifat reologi yang diamati meliputi indeks tingkah laku aliran (n) dan indeks konsistensi (K). Data lengkap analisis reologi CPO awal dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil analisis reologi CPO awal menunjukkan bahwa indeks tingkah laku aliran (n) CPO awal sebesar 0.635, dan indeks konsistensi (K) sebesar 1.505. Dilihat dari nilai n
dan K yang diperoleh berdasarkan persamaan power law diketahui bahwa CPO pada suhu 25 oC merupakan fluida pseudoplastik (0<n<1 dan K>0). Menurut Toledo (1991) pada kondisi shear rate yang berbeda, maka nilai viskositas suatu fluida akan berubah. Hubungan antara shear rate
23 Gambar 11. Hubungan shear rate dan viskositas CPO awal.
Gambar 11 menunjukkan bahwa viskositas CPO pada suhu 25 oC dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang diberikan. Viskositas CPO awal pada suhu 25 oC semakin menurun seiring dengan kenaikan shear rate yang diberikan. Hal ini menunjukkan sifat fluida pseudoplastik. Menurut Moros et al. (2002) fluida pseudoplastik akan mengalami penurunan viskositas saat dikenai shear rate yang meningkat, atau dikenal dengan sifat shear thinning. Sifat reologi CPO yang menunjukkan perilaku fluida pseudoplastik dengan nilai viskositas yang relatif besar pada suhu 25 oC (0.175-0.282 Pa.s) mengakibatkan CPO sulit dialirkan pada suhu pengaliran 25 oC, karena diperlukan gaya dorong yang cukup besar untuk mengalirkan CPO dengan viskositas yang tinggi, selain itu saat dialirkan pada suhu pengaliran tersebut viskositas CPO akan sangat dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang diberikan.
Jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, CPO memiliki sifat reologi yang berbeda pada suhu pengukuran 25 oC. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2010) terhadap tujuh sampel minyak nabati yaitu minyak canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari menunjukkan bahwa ketujuh minyak nabati tersebut memperlihatkan sifat fluida Newtonian pada suhu pengukuran 25 oC dengan nilai viskositas terukur yang rendah (< 0.08 Pa.s). Minyak nabati dengan sifat aliran fluida Newtonian akan lebih mudah ditangani saat proses pengaliran dalam pipa, karena nilai viskositas fluida Newtonian tidak dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang diberikan (Matuszek 1997). Akibatnya minyak dengan sifat fluida Newtonian dengan nilai viskositas yang rendah dapat mengalir di dalam pipa tanpa dipengaruhi besarnya shear rate yang diberikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maskan (2003), komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh mempengaruhi sifat reologi minyak. Terdapat korelasi positif antara komposisi asam lemak bebas penyusunnya terhadap viskositas dari minyak nabati. Minyak nabati yang tinggi asam lemak jenuhnya mempunyai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan minyak nabati yang tinggi asam lemak tidak jenuhnya (Kim et al.
2010). Oleh karena itu CPO yang tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain yang dominan tersusun atas asam lemak tidak jenuh.
0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700
0 50 100 150 200 250 300 350 400
V
is
k
o
si
ta
s
(P
a
.s
)
24
B.
KARAKTERISTIK
MUTU
DAN
REOLOGI
CPO
SETELAH
PEMANASAN AWAL
CPO tersusun dari berbagai asam lemak, baik asam lemak jenuh maupun asam lemak tidak jenuh. Pada suhu tertentu, terjadi pemisahan fraksi pada CPO akibat perbedaan titik leleh komponen asam-asam lemak penyusunnya. CPO dapat terpisah menjadi fraksi minyak yang tetap cair karena memiliki titik leleh yang rendah (disebut fraksi olein) dan fraksi yang memadat (membeku) karena memiliki titik leleh yang tinggi (disebut fraksi stearin) (Ketaren 2008). Akibatnya, bila suhu penyimpanan dan pengaliran cukup rendah, CPO dapat memadat sebagian atau bahkan seluruhnya. Kondisi fase bahan yang memadat tersebut menyulitkan saat proses bongkar muatan CPO dari tangki angkut ke tangki penyimpanan. Sehingga perlu dilakukan pemanasan CPO untuk menyeragamkan fase CPO sebelum dilakukan bongkar muatan. Menurut Naibaho (1998) suhu CPO pada waktu pemuatan/pembongkaran adalah 50-55 oC.
Pemanasan awal yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemanasan CPO sebelum proses bongkar muatan ke dalam tangki penyimpanan CPO. Pada tahap ini CPO dipanaskan hingga mencapai suhu maksimal loading (bongkar muatan) yang direkomendasikan CODEX Alimentarius Commision (CAC) (2005), yaitu suhu 55 oC. Analisis mutu dan sifat reologi CPO dilakukan terhadap CPO yang telah mengalami pemanasan hingga suhu 55 oC dengan laju kenaikan suhu 5 oC/24 jam. Hasil analisis mutu CPO terhadap sampel yang telah mengalami pemanasan awal dapat dilihat pada Tabel 6 dengan data lengkap pada Lampiran 3.
Tabel 6. Parameter mutu CPO setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 oC. Parameter mutu
Asam lemak bebas (%)
Bilangan iod (g iod/100 g)
Karotenoid
(ppm) DOBI
CPO setelah
pemanasan awal 3.85 52.56 604 2.76
Standar mutu SNI 01-2901-2006 Ditjenbun (1997)
0.5 maks 5 maks
50-55 51 min
- 500 min
- 2.5 min
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, setelah mengalami proses pemanasan hingga suhu 55 oC, asam lemak bebas pada CPO meningkat, bilangan iod cenderung tidak mengalami perubahan, sedangkan kadar karotenoid dan DOBI mengalami penurunan. Pada Tabel 6 terlihat bahwa kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid dan DOBI setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 oC masih memenuhi standar mutu CPO di PKS Indonesia yang ditetapkan oleh Ditjenbun (1997). Peningkatan kandungan asam lemak bebas pada CPO yang telah mengalami pemanasan hingga suhu 55 oC terjadi karena perlakuan suhu pemanasan pada CPO dapat mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis yang mengakibatkan trigliserida terurai menjadi asam lemak bebas. Selain itu pemanasan hingga suhu 55 oC juga mengakibatkan terjadinya dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya insentas warna karotenoid (Eskin 1979). Turunnya bilangan DOBI terjadi karena pada suhu tinggi karoten dapat berubah menjadi senyawa yang berwarna kecoklatan dan larut dalam minyak sehingga semakin sukar untuk dipucatkan (Pahan 2008).
25 menunjukkan bahwa CPO setelah dipanaskan hingga mencapai suhu 55 oC memiliki indeks tingkah laku aliran (n) sebesar 0.935, dan indeks konsistensi (K) sebesar 0.033. Dilihat dari nilai
n dan K yang diperoleh, CPO yang dipanaskan hingga suhu 55 oC memiliki sifat yang mendekati fluida Newtonian (n=1 dan K>0). Pemanasan hingga suhu 55 oC mengakibatkan indeks konsistensi menurun, sedangkan indeks tingkah laku aliran meningkat mendekati fluida Newtonian. Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 oC dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO sebelum dan setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 oC.
Berdasarkan data hubungan aantara shear rate dan viskositas CPO pada Gambar 12 terlihat bahwa viskositas CPO setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 oC cenderung tidak dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang diberikan, yaitu berkisar antara 0.023-0.026 Pa.s. Viskositas CPO setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 oC lebih kecil dibandingkan viskositas CPO awal pada suhu 25 oC. Hal ini terjadi karena pemanasan CPO hingga suhu 55 oC akan mengakibatkan kristal lemak pada CPO meleleh. Menurut Himawan et al. (2006), minyak sawit memiliki titik leleh 40 oC. Akibatnya pemanasan hingga suhu di atas titik leleh CPO akan mengakibatkan pelelehan kristal lemak yang mengakibatkan CPO memiliki viskositas yang lebih rendah dengan konsistensi yang lebih cair. Penelitian yang dilakukan oleh Goh (2010) terhadap minyak kelapa, zaitun, kedelai, biji bunga matahari, dan wijen juga menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maka viskositas minyak nabati akan semakin rendah.
Terlihat pada Gambar 12 bahwa viskositas CPO setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 oC cenderung tetap walaupun diberikan shear rate yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa CPO pada suhu 55 oC memiliki sifat fluida Newtonian. Goodrum et al.
(2002) mengemukakan bahwa viskositas dinamik fluida nilainya berbanding lurus dengan rasio
shear stress terhadap shear rate yang diterapkan. Pada fluida Newtonian, rasio tersebut bernilai
konstan, dan nilai viskositas fluida Newtonian tidak dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang bekerja pada fluida, sehingga fluida Newtonian akan memiliki nilai viskositas yang tetap berapapun shear rate yang diberikan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kim et al. (2010) terhadap tujuh sampel minyak nabati yang menunjukkan perilaku fluida Newtonian, terlihat bahwa semakin tinggi suhu mengakibatkan nilai viskositas minyak semakin kecil. Viskositas minyak canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari pada suhu 55 oC berkisar antara 0.020-0.028 Pa.s (Kim et al. 2010). Nilai viskositas CPO yang
0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700
0 50 100 150 200 250 300 350 400
V
is
k
o
si
ta
s
(P
a
.s
)
Shear rate (s-1)
26 telah dipanaskan hingga suhu 55 oC memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan minyak nabati lainnya yaitu berkisar antara 0.023-0.026 Pa.s. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu 55 oC, CPO akan lebih mudah ditangani selama pengaliran, karena memiliki viskositas yang rendah dengan sifat fluida Newtonian, sehingga besarnya gaya yang dibutuhkan untuk mengalirkan CPO akan lebih kecil dibandingkan pada suhu pengaliran 25 oC.
C. KARAKTERISTIK
MUTU
DAN
REOLOGI
CPO
SELAMA
PENYIMPANAN
CODEX Alimentarius Commision (CAC) (2005) dalam panduan penyimpanan dan transportasi lemak dan minyak pada skala besar (bulk) menyatakan bahwa terdapat tiga penyebab kerusakan yang dapat terjadi selama penyimpanan dan transportasi minyak nabati, yaitu terjadinya reaksi oksidasi dengan oksigen di udara, reaksi hidrolisis, dan terjadinya kontaminasi. Suhu penyimpanan yang tidak terkontrol dengan baik dapat mempercepat terjadinya penurunan mutu CPO (Naibaho 1998).
Pengamatan terhadap perubahan karakteristik mutu dan reologi CPO selama penyimpanan dilakukan selama 4 minggu pada beberapa suhu penyimpanan yang berbeda, yaitu suhu penyimpanan 20, 25, 30, 35, dan 40 oC. Analisis mutu dan reologi dilakukan setiap minggu, selama 4 minggu penyimpanan.
1. Mutu CPO Selama Penyimpanan
27
Tabel 7. Parameter mutu CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, dan 40 oC.
Suhu penyimpanan
(oC)
Lama penyimpanan
(minggu)
Parameter mutu ALB
(%)
Bilangan iod (g iod/100 g)
Karotenoid
(ppm) DOBI
20
0 3.85 52.56 604 2.76
1 3.86 52.54 603 2.75
2 3.88 52.57 601 2.72
3 3.89 52.53 600 2.73
4 3.91 52.53 596 2.69
25
0 3.85 52.56 604 2.76
1 3.88 52.52 602 2.72
2 3.91 52.53 599 2.69
3 3.95 52.53 592 2.64
4 3.99 52.53 584 2.60
30
0 3.85 52.56 604 2.76
1 4.09 52.52 589 2.63
2 4.13 52.50 579 2.57
3 4.21 52.52 565 2.51
4 4.38 52.55 549 2.44
35
0 3.85 52.56 604 2.76
1 4.19 52.51 578 2.57
2 4.41 52.52 553 2.51
3 4.58 52.50 524 2.45
4 4.79 52.52 493 2.33
40
0 3.85 52.56 604 2.76
1 4.26 52.52 563 2.56
2 4.52 52.51 538 2.43
3 4.75 52.52 498 2.26
4 4.92 52.53 474 1.98
Standar mutu SNI 01-2901-2006 Ditjenbun (1997)
0.5 maks 5 maks
50-55 51 min
- 500 min
- 2.5 min
Data analisis mutu CPO selama penyimpanan diuji dengan munggunakan instrumen statistika untuk melihat apakah pengaruh suhu dan lama penyimpanan mengakibatkan perubahan mutu yang signifikan selama penyimpanan. Analisis statistika yang digunakan adalah ANOVA (analysis of varian) dengan uji lanjut Duncan. Melalui uji tersebut, juga dapat diketahui apakah perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan berbeda signifikan dengan mutu awal. Dengan uji Duncan, data-data yang tidak berbeda signifikan berada pada subset yang sama, sedangkan data-data yang berbeda signifikan berada pada subset yang berbeda. Hasil analisis statistika dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan terhadap asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid, serta DOBI selama 4 minggu penyimpanan pada suhu penyimpanan yang diujikan dapat dilihat pada Lampiran 6-13.
28 keasaman, dan enzim (Siregar 1991). Pada sampel CPO yang disimpan di suhu 20 oC, selama 4 minggu penyimpanan tidak terjadi peningkatan asam lemak bebas yang signifikan. Pada sampel CPO yang disimpan di suhu 25 oC kenaikan asam lemak bebas yang signifikan mulai terjadi sejak minggu ketiga penyimpanan. Sedangkan pada sampel CPO yang disimpan di suhu 30, 35, dan 40 oC kenaikan asam lemak bebas yang signifikan sudah terjadi sejak minggu pertama penyimpanan. Asam lemak bebas sebagai hasil hidrolisis minyak dipacu oleh berbagai faktor seperti suhu. Menurut Saloko (2011) suhu optimum hidrolisis antara 30-40 oC, yang kisarannya tidak begitu jauh dengan suhu kamar. Berdasarkan hasil ANOVA pengaruh suhu terhadap asam lemak bebas selama penyimpanan (Lampiran 7) terlihat bahwa suhu penyimpanan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap asam lemak bebas (p
value<0.05) mulai minggu pertama sampai minggu keempat penyimpanan. Penyimpanan
CPO pada suhu 20 dan 25 oC tidak berbeda nyata namun saling berbeda nyata dengan penyimpanan pada suhu 30, 35, dan 40 oC.
Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Gambar 13. Kadar asam lemak bebas selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 oC.
Banyaknya ikatan rangkap dalam asam lemak ditunjukkan dengan bilangan iod. Ikatan rangkap akan bereaksi dengan senyawa iod sehingga semakin banyak ikatan rangkap maka jumlah iod yang digunakan semakin banyak dan bilangan iod akan semakin tinggi. Bilangan iod juga menandakan derajat ketidakjenuhan minyak, bilangan iod yang semakin tinggi menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak yang semakin tinggi pula. Menurut Basiron (2005) minyak sawit kasar terdiri dari 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh. Sehingga minyak sawit kasar akan memiliki bilangan iod yang berkisar antara 44-58 g iod/100 g sampel (Winarno 1999). Hasil analisis bilangan iod selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14.
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00
20 25 30 35 40
a a a aababc a b b a b a b
c c
a bc c
d d
a c
d e e
A
sa
m
l
em
a
k
beba
s
(%
)
Suhu penyimpanan (oC)
29
[image:30.595.137.524.99.239.2]Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Gambar 14. Bilangan iod selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 oC.
Gambar 14 menunjukkan bahwa bilangan iod CPO selama 4 minggu penyimpanan pada setiap suhu penyimpanan yang diujikan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada suhu penyimpanan 20-40 oC tidak mempengaruhi bilangan iod CPO. Hal ini terjadi karena perlakuan suhu penyimpanan yang ditetapkan tidak mengakibatkan terjadinya perubahan derajat ketidakjenuhan CPO (komponen asam lemak penyusun tetap). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tsaknis et al. (2002), diketahui bahwa minyak nabati dapat mengalami perubahan bilangan iod jika diberikan perlakuan suhu tinggi (>180oC), dimana pada suhu tersebut dapat mengakibatkan pemutusan ikatan rangkap pada asam lemak sehingga terjadi penurunan bilangan iod. Berdasarkan hasil ANOVA pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap asam lemak bebas selama penyimpanan (Lampiran 8 dan 9) terlihat bahwa suhu penyimpanan yang berbeda serta lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan iod (p value>0.05).
Karotenoid merupakan pigmen yang memberikan warna merah pada kelapa sawit. Karotenoid sangat mudah teroksidasi, hal ini karena adanya ikatan ganda pada karotenoid yang menyebabkan percepatan laju oksidasi. Gross (1991) mengatakan bahwa laju oksidasi karotenoid meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Hasil analisis kadar karotenoid selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15.
[image:30.595.139.522.559.696.2]Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Gambar 15. Kadar karotenoid selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 oC.
50.00 50.50 51.00 51.50 52.00 52.50 53.00
20 25 30 35 40
a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a
Bi
la
n
g
a
n
i
o
d
(g
i
o
d/
1
0
0
g
)
Suhu penyimpanan (oC)
minggu 0 minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4
0 100 200 300 400 500 600 700
20 25 30 35 40
a a a a a b a b a
b
a ab c
c c
a b d
d d
a c
e
e e
Ka
ro
ten
o
id
(ppm
)
Suhu penyimpanan (oC)
30 Gambar 15 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar karotenoid pada CPO selama penyimpanan, namun penurunan kadar karotenoid pada CPO yang disimpan di suhu 20 oC selama 4 minggu penyimpanan tidak signifikan. CPO yang disimpan di suhu 25 oC mulai mengalami penurunan kadar karotenoid yang signifikan setelah 3 minggu penyimpanan. Sedangkan CPO yang disimpan di suhu 30, 35, dan 40 oC sudah mengalami penurunan kadar karotenoid yang signifikan sejak minggu pertama penyimpanan. Berdasarkan hasil ANOVA pengaruh suhu terhadap kadar karotenoid selama penyimpanan (Lampiran 11) terlihat bahwa suhu penyimpanan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kadar karotenoid (p value<0.05). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan kesesuaian dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Alyas et al. (2006) yang menunjukkan bahwa semakin lama dan semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan akan mengakibatkan penurunan kadar karotenoid yang semakin tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Chen (2005) mengenai stabilitas karoten pada jus tomat selama penyimpanan juga menunjukkan hal yang serupa, dimana terjadi kecenderungan penurunan kadar karotenoid seiring dengan peningkatan suhu penyimpanan. Penelitian Hastinah (1997) menunjukkan bahwa degradasi karotenoid sangat dipengaruhi oleh suhu dan lamanya pemanasan. Suhu yang semakin tinggi dan pemanasan yang semakin lama mengakibatkan semakin meningkatnya degradasi karoten.
Akibat pengaruh suhu tinggi atau reaksi oksidasi, karoten dapat berubah menjadi senyawa yang berwarna kecoklat-coklatan dan larut dalam minyak sehingga semakin sukar untuk dipucatkan. Penurunan daya pemucatan ini disebut DOBI (deterioration of
bleachability index) (Pahan 2008). Hasil analisis DOBI selama penyimpanan CPO dapat
dilihat pada Gambar 16.
[image:31.595.160.522.455.601.2]Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Gambar 16. DOBI selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 oC.
Hasil uji Duncan terhadap DOBI selama penyimpanan yang disajikan pada Gambar 16 menunjukkan bahwa selama 4 minggu penyimpanan pada suhu penyimpanan yang diujikan terjadi penurunan DOBI. Penurunan DOBI yang terjadi pada CPO yang disimpan di