• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep Madu Asia (Pernis Ptilorhynchus) Di Kabupaten Belitung Timur Berbasis Data Satellitetracking

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep Madu Asia (Pernis Ptilorhynchus) Di Kabupaten Belitung Timur Berbasis Data Satellitetracking"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KESESUAIAN HABITAT SINGGAH SIKEP MADU

ASIA (

Pernis ptilorhynchus

) DI KABUPATEN BELITUNG

TIMUR BERBASIS DATA

SATELLITE-TRACKING

ANGGI MARDIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) di Kabupaten Belitung Timur berbasis Data Satellite-tracking adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015 Anggi Mardiyanto NIM A451110101

(4)

RINGKASAN

ANGGI MARDIYANTO. Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) di Kabupaten Belitung Timur berbasis Data Satellite-tracking. Dibimbing oleh SYARTINILIA dan AFRA D. N. MAKALEW.

Pengetahuan mengenai distribusi habitat singgah adalah suatu prasyarat untuk memahami ekologi dan pengelolaan habitat singgah. Kabupaten Belitung Timur adalah habitat singgah yang penting bagi elang migran Sikep Madu Asia (SMA) (Pernis ptilotrhynchus) berdasrkan data satellite-tracking tahun 2006-2009. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) membangun model kesesuaian habitat singgah SMA berbasis data satellite-tracking, (2) mengekstrapolasi model ke seluruh wilayah Kabupaten Belitung Timur, dan (3) menyusun rekomendasi pengelolaan habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur.

Distribusi dan karakteristik habitat singgah SMA ditentukan melalui sistem informasi geografis (SIG) dan data satellite-tracking. Analisis regresi logistik digunakan untuk mengalisis beberapa variabel lingkungan meliputi kemiringan lahan, elevasi, dan jarak terdekat terhadap beberapa penutupan lahan untuk menentukan distribusi dan karakteristik habitat singgah SMA.

Model regresi logistik menghasilkan 5 variabel lingkungan yang mempengaruhi distribusi dan karakteristik habitat singgah SMA. Variabel lingkungan tersebut, yaitu jarak terdekat dengan elevasi lebih dari 300 m, jarak terdekat dengan badan air, jarak terdekat dengan hutan, jarak terdekat dengan perkebunan, dan jarak terdekat dengan area tambang. Model tersebut layak berdasarkan uji Hosmer & Lemeshow dengan nilai sebesar 98.7%. Nilai Negelkerke R2 hasil perhitungan sebesar 85.4%. Hal itu menunjukkan bahwa 85.4% distribusi habitat singgah SMA dapat dijelaskan oleh variabel dalam model dan 14.6% dijelaskan oleh variabel atau faktor lain di luar model. Ekstrapolasi model menunjukkan luas habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur sebesar 2 453.14 km2 mencakup 94.93% area Kabupaten Belitung Timur. Identifikasi karakteristik lanskap dari penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dasar bagi pembangunan wilayah Kabupaten Belitung Timur berbasis ekologi dan pengelolaan habitat singgah.

(5)

SUMMARY

ANGGI MARDIYANTO. Spatial suitability model of stopover habitats used by oriental honey buzzards in East Belitung based on satellite-tracking data. Supervised by SYARTINILIA and AFRA D. N. MAKALEW.

Knowledge of spatial distribution the stopover habitats of migratory raptors is a prerequisite to understanding their stopover ecology and managing their habitats. East Belitung is the important stopover habitat of migratory raptors Oriental Honey Buzzards (OHBs Pernis ptilorhynchus) based on satellite-tracking data 2006-2009. The aims of this study were: (1) to develop OHBs’ stopover habitat suitability model based on satellite-tracking data, (2) to extrapolate model to the whole area of East Belitung, and (3) to provide recommendations for managing the stopover habitat in East Belitung.

Distribution and characteristics of OHBs stopover habitats in East Belitung could be determined by using geographic information systems (GIS) and satellite-tracking data. Logistic regression analysis were used for analyzing several environmental variables (i.e. slope, elevation and distance to the nearest several

land cover) for characterizing the landscape characteristics of OHBs’ stopover

habitats.

Logistic regression model generated five environmental variables that affect

the distribution of OHBs’ stopover habitat. Those variables, which were nearest distance to elevation more than 300 m, nearest distance to water body, nearest distance to the forest, nearest distance to the plantation, and nearest distance to the mining area. This model was feasible based on the Hosmer & Lemeshow test because it has a value of 98.7%. The result of Negelkerke R2 test revealed 85.4%

value. This showed that 85.4% of OHBs’ stopover habitat distribution could be

explained by the variables in the model and 14.6% were explained by variables or other factors outside the model. Extrapolation model showed that distribution of stopover habitats covered 2 453.14 km2 (94.93%) of East Belitung area. Indentification these landscape characteristics provide baseline for ecological-based development of East Belitung and managing stopover habitats.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

MODEL KESESUAIAN HABITAT SINGGAH SIKEP MADU

ASIA

(Pernis ptilorhynchus)

DI KABUPATEN BELITUNG

TIMUR BERBASIS DATA

SATELLITE-TRACKING

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Segala puji dan syukur bagi Allah Swt. atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun penelitian dengan judul Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) di Kabupaten Belitung Timur berbasis Data Satellite-tracking. Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada suri teladan Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian dalam kerjasama

peneliti yang berjudul “Hibah Kerjasama Luar Negeri dan Publikasi Internasional

No. 203/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2012 Tahun Anggaran 2012 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan ketua tim Dr. Syartinilia, SP, M.Si.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada 1. Prof. Hiroyoshi Higuchi (Keio University, Jepang) atas kesediannya

memberikan izin kepada penulis untuk menggunakan data satellite-tracking dari individu Sikep Madu Asia (SMA);

2. Dr. Syartinilia, SP, M.Si. dan Dr. Ir. Afra D. N. Makalew, M.Sc. selaku komisi pembimbing atas saran, nasihat, dan bimbingannya;

3. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc. dan Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. selaku penguji atas komentar, saran, dan nasihatnya;

4. Pemerintah Kabupaten Belitung Timur atas izin dan bantuan yang diberikan saat pelaksanaan survei;

5. Bapak, ibu, adik, dan keluarga tercinta atas nasihat, doa, dan dukungannya; 6. Teman-teman tercinta atas doa, dukungan, dan bantuannya.

Mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan nilai manfaat dan menjadi amal saleh yang diterima oleh Allah Swt., amin.

(11)

DAFTAR ISI

Alat dan Data Penelitian 8

Tahapan Penelitian 8

4 KONDISI UMUM 19

Letak 19

Fisik 20

Kondisi Masyarakat 20

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Model Kesesuaian Habitat Singgah SMA 21

Ekstrapolasi Model Habitat Singgah SMA 30

Periode Singgah SMA 31

Rekomendasi Pengelolaan Habitat Singgah SMA 33

6 SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 39

(12)

DAFTAR TABEL

1 Pengambilan informasi dan data 8

2 Klasifikasi kemiringan lahan 11

3 Komposisi penutupan lahan Kabupaten Belitung Timur 12

4 Deskripsi kelas penutupan lahan 14

5 Variabel lingkungan 15

6 Hasil uji VIF 21

7 Hasil uji t-test variabel lingkungan 22

8 Hasil analisis regresi logistik forward stepwise 23 9 Perbedaan karakteristik habitat singgah dan habitat musim dingin SMA 25

DAFTAR GAMBAR

1 Rute migrasi 23 individu SMA tahun 2006-2009 1

2 Kerangka pikir studi 2

3 Sikep Madu Asia 4

4 Peta lokasi penelitian 7

5 Bagan alir studi 9

6 Bagan alir pembuatan peta elevasi dan peta kemiringan lahan 10

7 Peta elevasi Kabupaten Belitung Timur 10

8 Peta kemiringan lahan Kabupaten Belitung Timur 11

9 Bagan alir pembuatan peta tutupan lahan 12

10 Kondisi penutupan lahan (a) area tambang, (b) badan air, (c) permukiman, (d) semak belukar, (e) hutan, (f) perkebunan, dan (g) tegalan 13 11 Peta penutupan lahan Kabupaten Belitung Timur 14

12 Area pembuatan model 17

13 Peta administrasi Kabupaten Belitung Timur 19

14 Keadaan buruh menurut sektor dan jenis kelamin di Kabupaten tahun 2010 20

15 Leading line 24

16 Model habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur 25 17 Lanskap (a) hutan mangrove dan (b) hutan lahan kering 27

18 Lanskap badan air 28

19 Lanskap perkebunan sawit 29

20 Lanskap area tambang 29

21 Struktur habitat singgah SMA 30

22 Model ekstrapolasi habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung 31 23 Lama singgah SMA di Belitung Timur pada migrasi musim gugur 32 24 Lama singgah SMA di Belitung Timur pada migrasi musim semi 32

25 Lama tinggal SMA di Pulau Kalimantan 32

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai akurasi umum dan akurasi kappa 40

2 Peta euclidean distance badan air 41

3 Peta euclidean distance semak belukar 42

4 Peta euclidean distance hutan 43

5 Peta euclidean distance perkebunan 44

6 Peta euclidean distance permukiman 45

7 Peta euclidean distance area tambang 46

8 Peta euclidean distance tegalan 47

9 Peta euclidean distance elevasi 0-300 m 48

10 Peta euclidean distance elevasi >300 m 49

11 Peta euclidean distance slope 0-3% 50

12 Peta euclidean distance slope 3-8% 51

13 Peta euclidean distance slope 8-15% 52

14 Peta euclidean distance slope 15-25% 53

15 Peta euclidean distance 25-40% 54

16 Peta euclidean distance >40% 55

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Elang adalah burung pemangsa yang menempati posisi tertinggi dalam rantai makanan, serta berfungsi sebagai spesies indikator bagi kesehatan ekosistem. Penurunan jumlah populasi elang dapat menunjukkan penurunan kualitas pada ekosistem yang menjadi habitatnya. Kelestarian habitat elang terancam karena perubahan struktur dan fungsi pada suatu lanskap seperti deforestasi, fragmentasi lahan, dan perburuan liar (Syartinilia dan Tsuyuki 2008). Keberadaan elang di Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 tahun 1999.

Sikep Madu Asia (SMA) (Pernis ptilorhynchus) merupakan salah satu jenis elang yang melakukan migrasi dan diketahui mempunyai habitat untuk tiga tujuan, yaitu: reproduksi (habitat berkembang biak), persinggahan (habitat singgah), dan tinggal sementara pada masa musim dingin (habitat musim dingin). SMA berkembang biak di bagian Selatan Siberia, Utara Mongolia, Timur Laut Cina, Korea dan Jepang yang kemudian bermigrasi ke arah Selatan pada musim dingin (Ornithological Society of Japan 2000). SMA mempunyai habitat musim dingin di Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste (Syartinilia et al. 2015).

Kabupaten Belitung Timur merupakan habitat singgah SMA yang sangat penting. Berdasarkan data satellite-tracking tahun 2006-2009, 23 individu SMA (11 betina dan 12 jantan) menggunakan Kabupaten Belitung Timur sebagai habitat singgah terakhir sebelum mencapai habitat musim dinginnya di Kalimantan (Gambar 2). Kerusakan pada lanskap Kabupaten Belitung Timur dapat mengancam kelestarian habitat singgah SMA yang dapat mengakibatkan kepunahan SMA karena kehilangan salah satu dari tiga habitat dalam hidupnya.

Gambar 1 Rute migrasi 23 individu SMA tahun 2006-2009 (Sumber: ARGOS)

(16)

2

Pembangunan model kesesuaian habitat diperlukan untuk mengetahui distribusi habitat singgah SMA. Pembangunan model kesesuaian habitat singgah SMA diharapkan dapat mengidentifikasi karakteristik habitat singgah yang dapat digunakan sebagai acuan dalam rekomendasi pengelolaan habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur (Gambar 2). Model kesesuaian habitat singgah SMA dibangun berdasarkan data satellite-tracking yang diintegrasikan dengan SIG. Satellite-tracking memberikan informasi mengenai waktu dan lokasi keberadaan SMA. Pengintegrasian data satellite-tracking dan SIG memungkinkan untuk menganalisis karakteristik habitat singgah SMA.

Elang

§ Sistem Informasi Geografis (SIG)

§ Data spasial (variabel lingkungan)

Model kesesuaian

(17)

3

Perumusan Masalah

Suatu ekosistem akan lestari apabila struktur dan fungsinya terjaga dengan baik. Elang merupakan spesies indikator yang paling sensitif terhadap perubahan ekosistem. SMA merupakan elang yang melakukan migrasi pada musim dingin untuk memenuhi kebutuhan makanannya menuju wilayah tropis yang mempunyai iklim lebih hangat. Salah satu habitat musim dingin SMA adalah Indonesia. Sebelum menetap di suatu tempat di Indonesia, terlebih dahulu mereka singgah untuk mengumpulkan energi, istirahat, dan menunggu keadaan iklim yang baik. Data satellite-tracking pada tahun 2006-2009 menunjukkan bahwa Kabupaten Belitung Timur adalah habitat singgah terakhir sebelum menuju habitat musim dingin di Kalimantan.

SMA merupakan burung migrasi yang mempunyai data satellite-tracking paling lengkap. Data satellite-tracking merupakan data yang paling akurat untuk mengetahui distribusi habitat dibandingkan dengan data lain seperti: (1) sarang yang diteliti oleh Syartinilia dan Tsuyuki (2008) pada distribusi Elang Jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, (2) jarak dari padang rumput, sungai, dan pantai pada model habitat Banteng di Ujung Kulon oleh Rekyanto (2010), (3) tutupan lahan hutan dan badan air pada model kesuaian habitat Harimau Sumatera oleh Putri (2010), dan (4) pergerakan satwa setelah bertelur, bunyi satwa, serta serasah yang terinjak oleh satwa pada model habitat burung Maleo di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone oleh Ambagau (2010). Keberadaan habitat singgah di Kabupaten Belitung Timur terancam apabila tidak ada pengelolaan yang baik. Pembangunan model kesesuaian habitat singgah SMA serta identifikasi kondisi habitat sangat diperlukan untuk menyusun rekomendasi pengelolaan habitat singgah SMA.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) membangun model kesesuaian habitat singgah SMA berbasis data satellite-tracking; (2) mengekstrapolasi model ke seluruh Kabupaten Belitung Timur; dan (3) menyusun rekomendasi pengelolaan habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perencanaan dan pengelolaan wilayah yang berbasis ekologi dan menjadi pedoman konservasi bagi wilayah lain yang menjadi habitat singgah SMA.

Ruang Lingkup Penelitian

(18)

4

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sikep Madu Asia

SMA (Gambar 3) merupakan elang berukuran sedang, berwarna gelap dengan jambul kecil panjang sekitar 53–65 cm, lebar sayap sekitar 113-142 cm, dan lebar ekor sebesar 24-29 cm serta burung ini bertengger secara berkelompok (Ferguson dan Christie 2005). Berat jantan dewasa antara 0.75 hingga 1.28 kg dan pada betina antara 0.95 hingga 1.49 kg (ARRCN 2012). Warna sangat bervariasi dengan penampilan warna terang, normal, dan gelap dari dua ras yang berbeda, masing-masing menyerupai jenis-jenis Spizaetus dan Buteo. Tubuh bagian atas coklat, bagian tubuh bawah putih sampai merah sawo matang dan coklat gelap, berbintik-bintik, serta bergaris-garis banyak. Pada ekor terdapat garis-garis yang tidak teratur.

Gambar 3 Sikep Madu Asia (Sumber: Purwanto 2009)

(19)

5

Model Kesesuaian Habitat

Model merupakan penyederhanaan bentuk nyata. Pemodelan Arsitektur Lanskap adalah bagaimana membangun model yang dapat menerangkan hubungan antar parameter/variabel dalam lanskap, dan dengan simulasi yang dibuat dapat menciptakan lanskap yang ideal (harmonis, serasi, indah, dan nyaman) (Hadi 2012). Pemodelan kesesuaian habitat singgah SMA dibangun berdasarkan data satellite-tracking yang dibangun dengan teknik SIG. Model yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengetahui distribusi habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur secara menyeluruh dengan asumsi tertentu.

Model mengandung dua pengertian, yaitu abstraksi dari suatu kenyataan yang ada di permukaan bumi dan representasi dari data realitas (Jaya 2007). Model spasial merupakan model berbasis data spasial yang dapat dikelaskan dalam tiga klasifikasi model bergantung pada masukan data, analisis, maupun keluaran dari model tersebut (Rekyanto 2010). Model kesesuian habitat merupakan model lokasi penyebaran kesesuaian habitat. Model tersebut berbentuk peta kesesuaian habitat. Model kesesuaian habitat merupakan sebuah model yang menunjukkan kemampuan suatu unit habitat untuk mendukung kehidupan dan perkembangbiakan satwa (Nursal 2007).

Model spasial adalah sesuatu yang memiliki satu atau lebih variabel bebas yang merupakan fungsi suatu ruang atau sesuatu yang dapat dihubungkan dengan variabel bebas (Ambagau 2010). Pemodelan kesesuaian habitat satwa liar adalah suatu analisis hubungan kompleks antara beberapa variasi faktor lingkungan yang tersedia yang merupakan kebutuhan hidup dari satwa liar dalam bentuk geografis (Coop dan Catling 2002). Pemodelan dalam peneltian ini digunakan untuk memprediksi penyebaran habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur. Model tersebut merupakan kelompok pemodelan prediktif (Jaya 2002). Dalam penelitian ini pembangunan model menggunakan variabel-variabel prediktor yang berasal dari data spasial. Pemodelan prediktif pada umunya menggunakan teknik statistik dalam penyusunan model dan yang metode yang digunakan biasanya menggunakan analisis regresi (Putri 2010).

Habitat Singgah

Makhluk hidup memerlukan sebuah habitat atau lingkungan untuk hidup. Habitat merupakan suatu lanskap dimana makhluk hidup tinggal, mencari makanan, dan berkembang biak. Habitat bagi satwa liar mempunyai fungsi sebagai penyedia makanan, air, dan perlindungan (Alikodra 1983; Bailey 1984). Setiap makhluk hidup mempunyai karakter habitat masing-masing. Selama migrasi, SMA memiliki habitat-habitat yang umumnya digunakan untuk tiga tujuan, yaitu: reproduksi (breeding site), persinggahan (stopover), dan tinggal sementara pada masa musim dingin (wintering site).

(20)

6

tempat singgah sementara bagi burung pemangsa selama sekitar satu minggu atau lebih. Aktivitas persinggahan ini seringkali digunakan untuk antisipasi terhadap migrasi yang melewati habitat yang tidak terlalu baik (Bildstein dan Keith 2006). Habitat musim dingin (wintering site) didefinisikan sebagai area dimana SMA tinggal di dalam area yang kurang dari diameter 30 km dalam kurun waktu 24 jam (Higuchi dan Pierre 2005).

Habitat singgah merupakan stepping stone, yaitu suatu tapak sebagai tempat pemberhentian satwa yang memungkinkan melakukan aktivitas lain seperti berkembang biak dan membuat sarang (Forman dan Godron 1986). Kabupaten Belitung Timur merupakan stepping stone terakhir bagi SMA sebelum mencapai habitat musim dinginnya di Pulau Kalimantan. Keberadaan habitat singgah sangat penting pada satwa yang melakukan migrasi sebagai tempat untuk beristirahat dan memulihkan energi untuk mencapai habitat musim dinginnya.

Satellite-tracking dan SIG

Satellite-tracking merupakan teknologi yang digunakan untuk studi pergerakan burung mulai skala lokal sampai skala global (Syartinilia et al. 2015). Habitat burung migrasi jarak jauh dapat diketahui melalui data satellite-tracking (Fiedler 2009). Data mengenai jejak SMA didapat dari data satellite-tracking yang berisi informasi mengenai waktu dan posisi SMA. Satellite-tracking adalah suatu teknik luar biasa untuk meniliti pergerakan satwa karena memberikan para ahli ilmu burung jejak individu satwa dimanapun di dunia (Cohn 1999 dan Webster et al. 2002 dalam Higuchi et al. 2005). Melalui data satellite-tracking dapat diketahui jalur dan habitat dari satwa yang melakukan migrasi. Sejak tahun 2003 satellite-tracking telah sukses digunakan untuk merekam jejak SMA. Studi tersebut menghasilkan rute migrasi SMA (Higuchi et al. 2005), penggunaan rute yang sama dalam setiap migrasi (Shiu et al. 2006), dan perubahan rute migrasi (Yamaguchi et al. 2008). Satellite-tracking telah digunakan pada studi identifikasi rute migrasi pada bebek, angsa, bangau, dan elang (Higuchi 2012). Jejak SMA yang direkam melalui data satellite-tracking yang teridentifikasi di Indonesia salah satunya terdapat di Kabupaten Belitung Timur.

(21)

7

3

METODE

Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung (Gambar 4). Penelitian dilakukan bulan November 2012 sampai Februari 2015. Survei lapang dilakukan pada bulan Desember 2012.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian

(22)

8

Alat dan Data Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kamera digital, binokular, Global Positioning System (GPS), perangkat lunak ArcGIS 9.3 (Environmental Systems Research Institute 2009), SPSS 16, ERDAS Imagine 9.1 (Leica Geosystems Geospatial Imaging LLC 2008), dan RAMAS GIS (Version 4.0). Data yang digunakan dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengambilan informasi dan data

No. Jenis data Sumber Bentuk Kegunaan

ARGOS : Advanced Research and Global Observation Satellite

ASTER GDEM : Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model

BAPPEDA : Badan Perencana Pembangunan Daerah

Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap (Gambar 5), yaitu: 1. pembangunan model SMA berbasis data satellite-tracking; 2. ekstrapolasi model ke seluruh Kabupaten Belitung Timur; dan

(23)

9

Gambar 5 Bagan alir studi

(Sumber: Modifikasi dari Ameliawati 2014)

Pembangunan Model Kesesuaian Habitat Singgah SMA

Pembangunan model kesesuaian habitat singgah SMA dilakukan melalui dua tahap, yaitu penyusunan data spasial dan analisis data.

1. Penyusunan Data Spasial

Penyusunan data spasial adalah kegiatan pembuatan peta tematik yang berupa peta elevasi, peta kemiringan lahan, peta penutupan lahan, data presence dan pseudo-absence, serta peta variabel lingkungan. Peta tematik dibuat menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 9.3 dan ERDAS Imagine versi 9.1. Peta tersebut dilengkapi dengan informasi deskripsi (attribute) yang menerangkan peta tersebut.

a. Peta elevasi dan kemiringan lahan

(24)

10

9.1. Kemiringan lahan diklasifikasikan menjadi enam kelas (Gambar 8 dan Tabel 2).

Peta DEM

Pemotongan sesuai area studi

Proyeksi ke UTM

Peta elevasi

Analisis topografi

Peta kemiringan lahan

Gambar 6 Bagan alir pembuatan peta elevasi dan peta kemiringan lahan (Sumber: Modifikasi dari Putri 2010)

(25)

11

Gambar 8 Peta kemiringan lahan Kabupaten Belitung Timur Tabel 2 Klasifikasi kemiringan lahan

Kelas Kemiringan lahan Klasifikasi

I 0-3% Datar

II 3-8% Agak datar

III 8-15% Bergelombang

IV 15-25% Agak curam

V 25-40% Curam

VI >40% Sangat suram

(26)

12

b. Peta penutupan lahan

Peta penutupan lahan dihasilkan dari analisis citra SPOT 4 tanggal 19 Agustus 2011. Bagan alir pembuatan peta penutupan lahan terdapat pada Gambar 9. Kelas penutupan lahan dibagi ke dalam 7 kelas (Tabel 3).

Tabel 3 Komposisi penutupan lahan Kabupaten Belitung Timur

No. Jenis penutupan lahan Luas (ha) Presentase (%)

1 Area tambang 34 646.3 13.41

Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine versi 9.1 dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan batasan parameter maximum likelihood. Klasifikasi terbimbing dilakukan berdasarkan informasi yang didapatkan dari survei pada lokasi penelitian (ground truth check). Informasi tersebut digunakan sebagai training area untuk klasifikasi terbimbing dan validasi (Gambar 10). Validasi penutupan lahan menggunakan akurasi Kappa dan akurasi keseluruhan. Tingkat akurasi keseluruhan dapat dipercaya apabila mempunyai nilai minimal 75% (Lampiran 1). Peta penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 11. Deskripsi masing-masing kelas penutupan lahan terdapat pada Tabel 4.

Citra SPOT 4

Koreksi geometrik

Klasifikasi terbimbing

Validasi (hasil ground truth check)

Peta penutupan lahan

Ya Tidak

(27)

13

(a)

(b) (c)

(d) (e)

(f) (g)

(28)

14

Gambar 11 Peta penutupan lahan Kabupaten Belitung Timur

Tabel 4 Deskripsi kelas penutupan lahan

No. Kelas penutupan lahan Deskripsi

1 Area tambang Area terbuka yang meliputi area pertambangan meliputi sarana dan prasarananya dimana masih terdapat vegetasi seperti rumput dan semak belukar

(29)

15 Tabel 4 Deskripsi kelas penutupan lahan (lanjutan)

No. Kelas penutupan lahan Deskripsi

3 Semak belukar Kawasan yang terdapat vegetasi perdu dan pohon rendah serta semak

4 Hutan Kawasan yang didominasi oleh vegetasi pohon baik kering atau basah

5 Perkebunan Kawasan yang didominasi oleh tanaman perkebunan, yaitu kelapa sawit

6 Permukiman Kawasan permukiman penduduk dan ruang terbangun lainnya

7 Tegalan Kawasan pertanian lahan kering yang ditanami sayuran dan palawija

c. Titik presence dan pseudo-absence

Data satellite-tracking SMA digunakan sebagai data presence. Sedangkan data pseudo-absence ditentukan secara acak pada lokasi yang diduga tidak ditemukan atau ditemukan titik satellite-tracking SMA dalam intensitas rendah. Pembuatan sampel pseudo-absence menggunakan random sample plug-in hawths tools pada perangkat lunak ArcGIS 9.3 dengan grid 1000x1000 m.

d. Peta variabel lingkungan

Variabel lingkungan yang diamati meliputi elevesi, kemiringan lahan dan jenis tutupan lahan (badan air, area tambang, semak belukar, pemukiman, sawah, kebun, tegalan, dan hutan) (Tabel 5). Variabel lingkungan tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan hidup SMA yang disesuaikan dengan kondisi geografi pada wilayah studi. Variabel tersebut selanjutnya dibuat peta jarak (euclidean distance) (Lampiran 2-16) menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Euclidean distance difungsikan untuk memberikan informasi tentang jarak setiap sel dalam raster ke sumber terdekat (ESRI 2007).

Tabel 5 Variabel lingkungan

Variabel lingkungan Singkatan Sumber

Jarak Terdekat ke Elevasi 0-300 m JTE1 Ekstraksi dari Jarak Terdekat ke Elevasi >300 m JTE2

(30)

16

Tabel 5 Variabel lingkungan (lanjutan)

Variabel lingkungan Singkatan Sumber Jarak Terdekat ke Badan Air JTBA Ekstraksi dari

Peta Penutupan Lahan yang dibuat menjadi Peta Euclidean Distance Jarak Terdekat ke Semak Belukar JTBL

Jarak Terdekat ke Hutan JTHT Jarak Terdekat ke Perkebunan JTKB Jarak Terdekat ke Permukiman JTPK Jarak Terdekat ke Area Tambang JTTB Jarak Terdekat ke Tegalan JTTL 2. Analisis Data

Prosedur analisis data meliputi pembangunan model, validasi, dan ekstrapolasi hingga menghasilkan peta distribusi habitat singgah SMA.

a. Pembangunan model

Model kesesuaian habitat singgah SMA dibangun berdasarkan data satellite-tracking. Pemodelan prediktif pada umumnya menggunakan teknik statistik dalam penyusunan model, dan metode yang digunakan secara umum adalah analisis regresi (Putri 2010). Analisis regresi yang digunakan untuk membangun model adalah regresi logistik (Logistic Regression). Total titik satellite-tracking SMA yang terdeteksi di Kabupaten Belitung Timur adalah 181 titik. 60% (112 titik) digunakan untuk membangun model, sedangkan 40% (69 titik) digunakan untuk validasi (Gambar 12). Data presence (112 titik) dan pseudo-absence (112 titik) ditumpang tindih dengan peta euclidean distance variabel lingkungan untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi habitat singgah SMA. Variabel yang mempengaruhi habitat singgah SMA ditentukan melalui analisis regresi logistik menggunakan perangkat lunak SPSS 16 dengan metode stepwise forward pada taraf 5%. Sebelumnya variabel lingkungan diuji untuk mengetahui adanya multikolinearitas antar variabel bebas melalui uji Variance Inflation Factor (VIF). Uji independent t-test (α<0.01) dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh nyata atau tidak antar variabel lingkungan tersebut. Variabel lingkungan yang signifikan dari hasil uji VIF dan independent t-test selanjutnya digunakan dalam analisis regresi logistik. Persamaan regresi logistik (LR) adalah sebagai berikut:

P adalah peluang kesesuaian habitat singgah Sikep Madu Asia, adalah variabel/peubah bebas (covariate), i adalah pixel, , adalah

koefisien hasil pengukuran dan k adalah jumlah peubah.

Tingkat kesesuaian habitat singgah ditentukan berdasarkan pada dua kategori yaitu tidak sesuai (non suitability) dengan nilai probabilitas

j

x

0

(31)

17 0 dan sesuai (suitability) dengan nilai probabilitas 1. Hasil analisis regresi logistik berupa persamaan regresi logistik kemudian diolah menggunakan perangkat lunak RAMAS GIS dan ArcGIS 9.3 untuk membuat peta distribusi habitat singgah SMA. Penelitian mengenai kesesuaian habitat menggunakan model regresi logistik telah dilakukan oleh (1) Syartinilia dan Tsuyuki (2008) pada distribusi Elang Jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango; (2) Rekyanto (2010) pada model habitat Banteng di Ujung Kulo; (3) Putri (2010) pada model kesuaian habitat Harimau Sumatera di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan sekitarnya; dan (4) Ambagau (2010) pada model habitat burung Maleo di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Gambar 12 Area pembuatan model b. Uji kelayakan model

(32)

18

determinasi ditentukan dengan menggunakan model Nagelkerke R2. Apabila model tersebut layak, tahap selanjutnya adalah memvalidasi model tersebut.

c. Validasi Model

Pada tahap validasi terdapat dua jenis kesalahan (error) yang dapat ditemui, yaitu omission error dimana model memprediksi lokasi tidak sesuai untuk habitat SMA, meskipun pada lokasi terdapat data satellite-tracking SMA dan commission error dimana model memprediksi lokasi sesuai dengan habitat SMA, akan tetapi tidak ada data satellite-tracking SMA di lokasi tersebut. Validasi model menggunakan 40% (46 titik) data satellite-tracking SMA. Teknik validasi menggunakan omission dan commission error sudah umum digunakan pada beberapa penelitian sebelumnya (Boone dan Krohn 1999; Ottaviani et al. 2004; Syartinilia dan Tsuyuki 2008). Model yang telah divalidasi selanjutnya diekstrapolasi ke seluruh wilayah Kabupaten Belitung Timur.

Ekstrapolasi Model

(33)

19

4

KONDISI UMUM

Letak

Secara geografis Kabupaten Belitung Timur terletak antara 107o45’ BT sampai108o18’ BT dan 02o30’ LS sampai 03o15’ LS. Kabupaten Belitung terdiri dari tujuh kecamatan, yaitu: Kecamatan Dendang, Simpang Pesak, Gantung, Simpang Renggiang, Damar, Manggar, dan Kelapa Kampit (Gambar 13).

Gambar 13 Peta administrasi Kabupaten Belitung Timur

(34)

20

bulannya. Temperatur rata-rata pada tahun yang sama bervariasi antara 25.8oC sampai 27.3oC, kelembaban udaranya bervariasi antara 80% sampai 91%, dan tekanan udara antara 1 008.8 mb sampai dengan 1 011.0 mb.

Fisik

Kabupaten Belitung Timur berada pada elevasi 0-421 m di atas permukaan laut. Kemiringan lahan di Kabupaten Belitung Timur beragam, yaitu: 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-25%, 25-40%, dan >40%. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran lembah dan sebagian kecil merupakan perbukitan dan pegunungan. Kabupaten Belitung Timur memiliki keindahan panorama pasir putih, bebatuan granit, dan laut yang jernih yang menjadikan Kabupaten Belitung mempunyai potensi sebagai tempat wisata alam yang menarik. Obyek wisata yang ada saat ini meliputi, Pantai Nyiur Melambai, Pantai Punai, Pantai Tanjung Keluang, dan Pantai Burung Mandi.

Kondisi Masyarakat

Jumlah penduduk Kabupaten Belitung Timur pada tahun 2010 berjumlah 110 315 jiwa. Penyebaran penduduk tidak merata dan terpusat di Kecamatan Manggar dengan kepadatan 114.03 jiwa per km2. Mata pencaharian utama, yaitu: pertanian dan perkebunan, serta pertambangan (Gamabar 14). Data tersebut didapatkan dari data Belitung Timur dalam Angka 2011. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Belitung Timur pada sektor buruh sebagian besar bekerja pada bidang pertanian dan perkebunan.

Gambar 14 Keadaan buruh menurut sektor dan jenis kelamin di Kabupaten tahun 2010

(Sumber: Belitung Timur dalam Angka 2011)

(35)

21

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Kesesuaian Habitat Singgah SMA

Hasil uji multikolinieritas presence dan pseudeo-absence menghasilkan variabel yang signifikan sebanyak delapan variabel (Tabel 6). Dari hasil uji tersebut tidak ada variabel yang terdapat multikolinieritas karena nilai toleransi (tolerance value) >0.1 dan nilai VIF antara 0 dan 10.

Tabel 6 Hasil uji VIF

Parameter Collinearity statistics

Tolerance VIF Elevasi 0-300 m (JTE1) 0.913 1.09558941 Elevasi >300 m (JTE2) 0.550 1.817533978 Slope 0-3% (JTK1) 0.480 2.081382764 Slope 3-8% (JTK2) 0.559 1.79038272 Slope 8-15% (JTK3) 0.697 1.434146737 Slope 15-25% (JTK4) 0.347 2.885766855 Slope 25-40% (JTK5) 0.245 4.086625189 Slope >40% (JTK6) 0.239 4.183914253

Badan Air (JTBA) 0.635 1.574972739

Semak Belukar (JTBL) 0.648 1.543960077

Hutan (JTHT) 0.650 1.537774616

Perkebunan (JTKB) 0.470 2.125849658

Permukiman (JTPK) 0.503 1.98628153

Area Tambang (JTTB) 0.479 2.086288461

Tegalan (JTTL) 0.651 1.536490303

(36)

22

Tabel 7 Hasil uji t-test variabel lingkungan

Parameter t-test for Equality of Means Keterangan

t df Sig. (2-tailed)

Elevasi 0-300 m (JTE1) -1 222 0.318399238 Tidak signifikan

-1 111 0.319485507

Elevasi >300 m (JTE2) -7.98705 222 7.4278E-14 Signifikan -7.98705 210.3878 8.93323E-14

Slope 0-3% (JTK1) 4.341919 222 2.14729E-05 Signifikan

4.341919 157.5466 2.5178E-05

Slope 3-8% (JTK2) 4.538691 222 9.27467E-06 Signifikan

4.538691 177.8549 1.03955E-05

Slope 8-15% (JTK3) 0.444502 222 0.657112817

Tidak signifikan 0.444502 221.6046 0.65711359

Slope 15-25% (JTK4) -1.67023 222 0.096282699

Tidak signifikan -1.67023 221.9941 0.096282737

Slope 25-40% (JTK5) -0.43702 222 0.662520827

Tidak signifikan -0.43702 209.2187 0.66254676

Slope >40% (JTK6) 0.110357 222 0.912225788

Tidak signifikan 0.110357 198.7818 0.912237426

Badan Air (JTBA) -4.57591 222 7.88822E-06 Signifikan -4.57591 198.7421 8.34083E-06

Semak Belukar (JTBL) -7.55669 222 1.0735E-12 Signifikan -7.55669 161.2012 2.93001E-12

Hutan (JTHT) 6.173797 222 3.13574E-09 Signifikan 6.173797 167.3076 4.8784E-09

Perkebunan (JTKB) 4.548683 222 8.88096E-06 Signifikan 4.548683 217.8077 8.96153E-06

Permukiman (JTPK) 1.200394 222 0.231265739

Tidak signifikan 1.200394 221.9853 0.231265823

Area Tambang (JTTB) -8.70129 222 7.47788E-16 Signifikan -8.70129 160.4713 3.73538E-15

(37)

23

1 Pi

1 exp 0.103 4.300JTE2 1.707JTBA 3.213JTHT 1.203JTKB 1.039JTTB

     

dengan area tambang (JTTB) (Tabel 8). Hasil tersebut ditunjukkan dengan nilai p-value kurang dari 5%.

Tabel 8 Hasil analisis regresi logistik forward stepwise

Variabel β p-value

(sig)

Hosmer & Lemeshow

Nagelkerke R2

Elevasi >300 m (JTE2) -4.300 0.000 98.7% 85.4%

Hutan (JTHT) 3.213 0.000

Badan Air (JTBA) -1.707 0.000

Perkebunan (JTKB) 1.203 0.021 Area Pertambangan (JTTB) -1.039 0.029

Konstanta 0.103

Model tersebut layak berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow karena mempunyai nilai 98.7% (di atas 5%). Nilai Negelkerke R2 hasil perhitungan sebesar 85.4%. Hal itu menunjukkan bahwa 85.4% distribusi habitat singgah SMA dapat dijelaskan oleh variabel dalam model dan 14.6% dijelaskan oleh variabel atau faktor lain di luar model. Persamaan regresi logistik distribusi habitat singgah SMA adalah:

Model regresi tersebut menunjukkan bahwa variabel yang mempengaruhi model kesesuaian habitat singgah SMA berdasarkan besarnya koefisien regresi secara berurutan adalah elevasi lebih dari 300 mdpl, hutan, badan air, perkebunan, dan area tambang.

(38)

24

Gambar 15 Leading line (Sumber: Bildstein (2006))

(39)

25

Gambar 16 Model habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur Karakteristik habitat singgah SMA berbeda dengan karakteristik habitat musim dingin SMA di Kalimantan yang diteliti oleh Syartinilia et al. (2015) dengan menggunakan metode analisis komponen utama dan habitat musim dingin SMA di Jawa Barat yang diteliti oleh Ameliawati (2014) dengan menggunakan metode regresi logistik (Tabel 9).

(40)

26

(41)

27 angin termal. Hutan merupakan variabel yang penting baik pada habitat singgah maupun habitat musim dingin SMA. Hutan memberikan sumber makanan dan tempat istirahat bagi SMA yang dapat berupa tempat bertengger (roosting site).

Selain faktor topografi suatu wilayah, pemilihan habitat SMA dapat dipengaruhi oleh cuaca dan distribusi makanan (Higuchi 2012). Larva lebah dan tawon merupakan makanan SMA (Yamaguchi et al. 2008). Lebah dan tawon membangun sarangnya di hutan dan mencari makan di sekitar lahan pertanian dan kawasan perkebunan (Syartinilia et al. 2015). Hal tersebut mendukung hasil analisis bahwa habitat singgah SMA dipengaruhi oleh variabel jarak terdekat dengan hutan (JTHT) dan variabel jarak terdekat dengan perkebunan (JTKB). Terdapat dua jenis ekosistem hutan di Kabupaten Belitung Timur, yaitu hutan lahan kering dan hutan mangrove (Gambar 17).

(a)

(b)

Gambar 17 Lanskap (a) hutan mangrove dan (b) hutan lahan kering

(42)

28

ketinggian rendah dan diameter batang yang kecil. Pada hutan kerangas memungkinkan ditemukannya sumber makanan utama SMA berupa larva lebah yang berasal dari sarang lebah.

Jenis hutan lain yang ditemui di Kabupaten Belitung Timur adalah hutan mangrove. Mangrove merupakan ekosistem yang dihuni oleh beberapa jenis binatang seperti kelelawar, kera, ular, serta lebah (Azmi et al. 2012). Selain larva lebah, SMA juga dapat memakan jenis reptil seperti ular dan jenis amfibia yang dapat ditemui pada ekosistem mangrove.

Variabel badan air (JTBA) mempengaruhi karakter habitat singgah karena badan air merupakan ekosistem yang kaya akan organisme yang memberikan sumber makanan alternatif dan minum bagi SMA. Badan air pada yang ditemui pada area studi meliputi sungai, rawa, dan danau (Gambar 19). Air dan energi merupakan sumber daya bagi elang dalam melakukan migrasi (Bildstein 2006). Makanan bagi SMA yang dapat dijumpai pada ekosistem badan air berupa jenis reptil dan amfibia.

Gambar 18 Lanskap badan air

Area perkebunan dalam studi ini merupakan perkebunan kelapa sawit (Gambar 18). Area perkebunan dapat menjadi salah satu area yang dikunjungi SMA karena perkebunan memungkinkan menyediakan nektar bagi lebah terutama pada saat berbunga. Selain tempat untuk mencari makan, SMA juga dapat memanfaatkan tanaman sawit sebagai tempat untuk beristirahat dan bertengger (roostng site).

(43)

29

Gambar 19 Lanskap perkebunan sawit

Area pertambangan dalam studi ini merupakan area terbuka berupa pertambangan beserta fasilitasnya yang masih terdapat beberapa vegetasi seperti rumput dan semak (Gambar 20). Area tambang tersebut berupa lahan tambang aktif dan lahan pasca tambang. Jenis tambang yang diusahakan adalah tambang timah. Pertambangan tersebut dikelola oleh PT Timah dan masyarakat lokal. Elang melakukan perburuan pada area terbuka untuk mencari mangsa seperti tikus, kadal, dan burung (Yong 2011). SMA mempunyai habitat terbuka di daerah tropis berupa hutan dengan kanopi terbuka (Sievwright 2011). SMA melakukan perburuan pada area terbuka untuk mencari makanan alternatif berupa serangga, reptil, burung, dan tikus. Hal tersebut mendukung hasil analisis bahwa jarak terhadap area tambang (JTTB) mempengaruhi karakteristik habitat singgah.

(44)

30

Identifikasi karakteristik habitat singgah menunjukkan karakter lanskap yang menyerupai satoyama (Gambar 21). Satoyama merupakan lanskap mosaik yang terdiri dari sawah, lahan pertanian, sungai, semak belukar, dan perbukitan, serta terletak di antara pegunungan dan area permukiman (Higuchi 2014). Karakter habitat singgah SMA meliputi perpaduan antara lanskap alami dan lanskap yang termodifikasi.

Gambar 21 Struktur habitat singgah SMA

Ekstrapolasi Model Habitat Singgah SMA

Hasil ekstrapolasi model menunjukkan luas area yang sesuai sebagai habitat singgah SMA sebesar 2 453.14 km2 (94.93%), sedangkan luas area yang tidak sesuai sebesar 131.07 km2 (5.07%) (Gambar 21). Hampir seluruh wilayah di Kabupaten Belitung Timur sesuai sebagai habitat singgah SMA. Karakteristik lanskap pada area ekstrapolasi menyerupai karakteristik lanskap pada area pembuatan model. Area yang tidak sesuai memiliki jenis penutupan lahan yang relatif homogen dan didominasi oleh area tambang yang merupakan area terbuka. Area terbuka tersebut minim akan tegakan pohon yang digunakan SMA sebagai tempat bertengger (roosting site). SMA bertengger pada tegakan pohon untuk beristirahat maupun mengintai mangsa. Model ekstrapolasi menunjukkan potensi Kabupaten Belitung Timur sebagai habitat singgah yang sangat penting. Jarak antara Kalimantan dan Kabupaten Belitung Timur kurang lebih 200 km. Sebelum tiba di Kalimantan SMA harus melintasi Selat Karimata, sehingga SMA memerlukan tempat istirahat dan memulihkan tenaga untuk dapat melanjutkan perjalanan migrasinya baik menuju habitat musim dingin di Kalimantan, maupun perjalanan dari Kalimantan menuju habitat berkembang biak di Jepang. Ketersediaan sumber energi dan air sangat penting bagi SMA untuk melanjutkan perjalanan migrasinya dari Kabupaten Belitung Timur. Jika kondisi habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur rusak maka SMA dapat kehilangan salah satu dari habitat dalam siklus hidupnya yang dapat mengancam kelestariannya.

421 m

Hutan Kebun & lahan pertanian Permukiman

(45)

31

Gambar 22 Model ekstrapolasi habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur

Periode Singgah SMA

(46)

32

Gambar 23 Lama singgah SMA di Belitung Timur pada migrasi musim gugur

Gambar 24 Lama singgah SMA di Belitung Timur pada migrasi musim semi Grafik lama waktu singgah SMA pada Gambar 22 dan 23 menunjukkan lama waktu singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur sekitar 1-15 hari. Hal tersebut berbeda dengan lama waktu SMA tinggal di habitat musim dinginnya di Pulau Kalimantan berdasarkan data satellite-tracking tahun 2006-2009, yaitu antara 19-135 hari (Gambar 25). Dari data tersebut diketahui waktu SMA tinggal di Kabupaten Belitung Timur lebih singkat dibandingkan dengan lama tinggal SMA di Pulau Kalimantan.

Gambar 25 Lama tinggal SMA di Pulau Kalimantan

0

40753 40759 40782 40789 40790 66547 66549 66550 66551 66552 66553 76324 84426 84428 84430 85233 90753 90754 90756 90758 95444 95445 40729

W

40753 40759 40782 40789 40790 66547 66549 66550 66551 66552 66553 76324 84426 84428 84430 85233 90753 90754 90756 90758 95444 95445 40729

W

40753 40759 40782 40789 40790 66547 66549 66550 66551 66552 66553 76324 84426 84428 84430 85233 90753 90754 90756 90758 95444 95445 40729

(47)

33 Individu SMA yang tinggal lebih dari 10 pada grafik yang terdapat pada Gambar 22 mempunyai ruang jelajah yang luas (Gambar 26). Kualitas habitat singgah menentukan lama durasi burung migrasi singgah pada suatu tempat (Newton 2006). Kualitas habitat singgah terdiri dari ketersediaan makanan, kondisi cuaca, dan persaingan dengan spesies residen (Newton 2006). Semakin cepat durasi singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur dapat menunjukkan kualitas habitat singgah yang baik, yaitu ketersediaan makanan yang cukup, kondisi cuaca yang baik, dan persaingan dengan spesies residen rendah. Sebaliknya, semakin lama durasi SMA singgah di Kabupaten Belitung Timur dapat menunjukkan kualitas habitat singgah yang tidak baik.

Gambar 26 Gambar distribusi individu SMA yang singgah lebih dari 10 hari

Rekomendasi Pengelolaan Habitat Singgah SMA

Kabupaten Belitung Timur merupakan habitat singgah SMA terakhir dalam perjalanan menuju habitat musim dinginnya di Kalimantan. Kualitas habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur sangat penting dijaga supaya SMA dapat mencapai habitat musim dinginnya di Pulau Kalimantan. Pengelolaan habitat singgah SMA diperlukan untuk menjaga kelestarian SMA. Informasi mengenai karakteristik lanskap habitat singgah memberikan informasi dasar bagi pembangunan berbasis ekologi dan pengelolaan habitat singgah SMA.

(48)

34

Implikasi pengelolaan habitat singgah SMA yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Variabel lingkungan yang mempengaruhi kesesuaian habitat singgah SMA selanjutnya adalah elevasi >300 mdpl, hutan, badan air, perkebunan, dan area tambang. Konservasi kombinasi bentukan lahan dengan elevasi >300 mdpl dan penutupan lahan berupa hutan, badan air, perkebunan, dan area tambang perlu dilakukan.

2. Habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur sangat dipengaruhi oleh elevasi di atas 300 mdpl. Elevasi merupakan bagian dari topografi yang memberikan kebutuhan angin termal bagi SMA. Konservasi kawasan dengan elevasi tersebut perlu dilakukan terutama pada wilayah yang mempunyai elevasi di atas 300 mdpl, yaitu: Desa Mempaya dan Desa Mengkubang, Kecamatan Damar; Desa Mentawak Kecamatan Kelapa Kampit; Desa Renggiang dan Desa Simpang Tiga, Kecamatan Simpang Renggiang; Desa Nyuruk dan Desa Jangkang, Kecamatan Dendang; dan Desa Gantung, Kecamatan Gantung.

3. Aktivitas SMA pada habitat singgah adalah beristrahat dan memulihkan energi. Aktifitas tersebut sangat terkait dengan ketersediaan sumber makanan. Hutan menyediakan sumber makanan dan roosting site bagi SMA. Pelestarian hutan kerangas dan hutan mangrove sebagai sarang lebah madu (bee tree) perlu dilakukan. Pelestarian tersebut dapat berbentuk penetapan kawasan hutan sebagai kawasan ekosistem esensial yang harus dilestarikan.

4. Air merupakan kebutuhan dasar bagi SMA. Selain sebagai sumber air minum, badan air menyediakan makanan alternatif bagi SMA seperti dari jenis reptil dan amfibia yang hidup di dalamnya. Konservasi badan air perlu dilakukan di wilayah Kabupaten Belitung Timur.

5. Aktifitas kegiatan manusia seperti pertambangan dan perkebunan yang tidak terkontrol dapat mengancam kelestarian habitat singgah SMA. Area tambang dan perkebunan harus menyediakan kompensasi berupa penyediaan patch-patch vegetasi alami di dalam area tambang dan perkebunan. Penutupan vegetasi mempunyai peran penting bagi SMA sebagai tempat beristirahat dan mencari makanan. Kegiatan reklamasi lahan pasca tambang perlu dilakukan pada area tambang yang sudah tidak produktif. Selain itu, pembukaan kawasan sebagai area tambang dan perkebunan harus memperhatikan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value) pada area tersebut.

(49)

35

6

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Model regresi logistik menghasilkan lima variabel lingkungan yang mempengaruhi karakteristik lanskap habitat singgah SMA dengan nilai koefisien determinasi menggunakan model Nagelkerke R2 sebesar 85.4% dan nilai uji Hosmer & Lemeshow sebesar 98.7%. Variabel lingkungan tersebut, yaitu jarak terdekat dengan elevasi lebih dari 300 m, jarak terdekat dengan badan air, jarak terdekat dengan hutan, jarak terdekat dengan perkebunan, dan jarak terdekat dengan area tambang. Ekstrapolasi model menunjukkan luas habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur sebesar 2 453.14 km2 mencakup 94.93% area Kabupaten Belitung Timur. Identifikasi karakteristik lanskap habitat dari model ini menjadi informasi dasar pembangunan wilayah Kabupaten Belitung Timur berbasis ekologi dan rekomendasi pengelolaan habitat singgah SMA. Pengelolaan habitat singgah SMA di Kabupaten Belitung Timur dapat dilakukan melalui konservasi kombinasi penutupan lahan yang berupa lanskap alami dan lanskap buatan, konservasi topografi, konservasi hutan kerangas dan hutan mangrove, konservasi badan air, penyediaan patch-patch vegetasi alami pada area tambang dan perkebunan, memperhatikan nilai konservasi tinggi kawasan untuk pembukaan area perkebunan, dan reklamasi lahan pasca tambang.

Saran

(50)

36

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1983. Ekologi Banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Ujung Kulon [disertasi]. Bogor (ID): Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ambagau Y. 2010. Analisis Kesesuaian Habitat Burung Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Ameliawati P. 2014. Pemodelan distribusi habitat musim dingin dari raptor migran sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus) di Jawa Barat berbasis data satellite-tracking [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

ARRCN. 2012. Field Guide to Raptors of Asia Vol. 1: Migratory Raptors of Oriental Asia. Jepang: Asian Raptors Research and Conservation Network. Azmi WA, Ghazi R, Mohamed NZ. 2012. The importance of Carpenter Bee,

Xylocopa Varipuncta (Hymenoptera: Apidae) as pollination agent for mangrove community of Setiu Wetland, Terengganu. Sains Malaysiana 41(9): 1057–1062.

Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. New York (US): John Wiley & Sons.

Bildstein, Keith L. 2006. Migrating Raptor of the World. London (GB): Cornell University Press.

Boone RB, Krohn, W. 1999. Modeling the occurrence of bird species: are the errors predictable? Ecological Applications 9, 835–848.

Chang K. 2002. Introduction to Geographic Information Systems. New York (US): McGraw-Hill.

Cohn, JP. 1999. Tracking wildlife high-tech devises help biologists trace the movement of animals through sky and sea. BioScience 49: 12-17.

Coop NC, Catling PC. 2002. Prediction of spatial distribution and relative abundance of grown-dwelling mammals using remote sensing imagery and simulation models. Landscapes Ecology 17: 173-188.

ESRI. 2007. Understanding euclidean distance analysis [Internet]. [diunduh 2013 Jan 8]. Tersedia pada: http://webhelp.esri.com/arcgisdesktop/9.2/index.cfm? TopicName=Understanding_Euclidean_distance_analysis.

Ferguson J, Christie DA. 2005. Raptors of the World. London (GB): Black Publishers.

Fiedler W. 2009. New technologies for monitoring bird migration and behaviour. Ringing & Migration 24, 175–179.

Forman RTT, Godron M. 1986. Landscape Ecology. New York (US): Wiley and Sons. 619p.

Hadi S. 2012. Pemodelan Arsitektur Lanskap. Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. IPB.

Higuchi H, Pierre JP. 2005. Satellite tracking and avian conservation in Asia. International Consortium of Landscape and Ecological Engineering and Springer-Verlag Tokyo. 1: 33-42.

(51)

37 Higuchi H. 2012. Bird migration and the conservation of the global environment.

J Ornithol 153 (Suppl 1): S3–S14.

Higuchi H. 2014. Natural History of Japanese Birds. Tokyo (JP): Heibonsha. Hosmer D, Hosmre T, Le Cessie S, Lemeshow S. 1997. A comparison of

goodness-of-fit tests for the logistic regression model. Statistic in Medicine. Vol. 16 pp.

Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan, Panduan Praktis Menggunakan Arc Info dan Arc View. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Jaya INS. 2007. Teknik-Teknik Pemodelan Spasial dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Laboratorium Inventarisasi Sumber Daya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. MacKinnon J. 1993. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan

Bali. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Newton I. 2006. Can conditions experienced during migration limit the population level of birds?. J Ornithol 147: 146–166.

Newton I. 2008. The migration ecology of birds. London (GB): Elsevier.

Nuarsa IW. 2005. Menganalisis Data Spasial dengan Arcview GIS 3.3 untuk Pemula. Jakarta (ID): PT Elex Media Komputindo.

Nursal WI. 2007. Stand-alone GIS application for wildlife distribution and habitat suitability: case study javan gibbon, Gunung Salak, West Java [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Oktavia D. 2014. Karakteristik Tanah dan Vegetasi di Hutan Kerangas dan Lahan Pasca Tambang Timah di Kabupaten Belitung Timur [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Ornithological Society of Japan. 2000. Check-list of Japanese birds, 6th ed. Obihiro: The Ornithological Society of Japan.

Ottaviani D, Lasinio GJ, Boitani, L. 2004. Two statistical methods to validate habitat suitability models using presence only data. Ecological Modelling 179, 417–443.

Panuccio M. 2011. Across and around barrier: migration ecology of raptors in the Mediterranean basin. Scientifica Acta 5(1): EEG27–36.

Purwanto AA. 2009. Sikep Madu Asia (Crested Honey Buzzard) [Internet]. [diun- duh 2015 Apr 20]. Tersedia pada: http://4raptor.wordpress.com/2009/07/28/ sikep-madu-asiacrested-honey-buzzard/

Putri ASM. 2010. GIS dan Remote Sensing untuk Analisis Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di TN Bukit Tigapuluh dan Sekitarnya [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjan, Institut Pertanian Bogor. Rekyanto SH. 2010. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Potensial Banteng

(Bos javanicus d’Alton) di Taman Naional Ujung Kulon Menggunakan Regresi Logistik Biner [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Shiu HJ, Tokita KI, Morishita E, Wu Y, Nakamura H, Higuchi H. 2006. Route and site fidelity of two migratory raptors: greyfaced buzzards Butastur indicus and honey buzzards Pernis apivorus. Ornithol Sci 5: 151–156.

(52)

38

Soeka BDG, Maarif MS, Sutjahjo SH, Siregar H. 2008. Analisis besaran erosi pada sistem usaha tani lahan kering: studi kasus UPT Rantau Pandan SP 1, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Forum Pascasarjana Vol. 31 No. 1 Januari 1-11.

Syartinilia, Tsuyuki S. 2008. GIS-based modeling of Javan Hawk-Eagle distribution using logistic and autologistic regression models. Biological Conservation. 141: 756-769.

Syartinilia, Makalew ADN, Mulyani YA, Higuchi H. 2015. Landscape characteristics derived from satellite-tracking data of wintering habitats used by oriental honey buzzards in Borneo. Landscape Ecol Eng. 11: 61-71.

Yamaguchi N, Tokita K-I, Uematsu A, Kuno K, Saeki M, Hiraoka E, Uchida K, Hotta M, Nakayama F, Takahashi M, Nakamura H, Higuchi H. 2008. The large-scale detoured migration route and the shifting pattern of migration in oriental honey-buzzards breeding in Japan. J Zool 276: 54–62.

Yong DL. 2011. Raptors in South-east Asia. Nature Society (Singapore) Bird Group and Southeast Asian Biodiversity Society. 45p.

(53)

39

(54)

40

Lampiran 1 Nilai akurasi umum dan akurasi kappa

Kelas Data acuan Total

baris

UA (100%)

1 2 3 4 5 6 7

Badan air 8 0 0 1 0 1 0 10 80

Belukar 0 20 0 1 0 0 1 22 90.91

Hutan 0 1 25 1 0 0 0 27 92.59

Perkebunan 1 0 0 17 0 0 0 18 94.44

Permukiman 0 0 1 0 14 1 1 17 82.35

Area Tambang

1 0 0 0 0 11 1 13 84.62

Tegalan 1 0 0 0 1 0 11 13 84.62

Total kolom 11 21 26 20 15 13 14 120

PA (100%) 72.73 95.24 96.15 85.00 93.33 84.62 78.57 Overall

accuracy = 88.33 Kappa

accuracy = 88.14

(55)
(56)

42

(57)
(58)

44

(59)
(60)

46

(61)
(62)

48

(63)
(64)

50

(65)
(66)

52

(67)
(68)

54

(69)
(70)

56

Lampiran 17 Daftar waktu singgah SMA

Nomor platform SMA

Musim migrasi

MG MS MG MS MG MS MG

2006 2007 2007 2008 2008 2009 2009

40753 3 Nov 21 Feb

(71)

57

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, pada tanggal 7 Juni 1986. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Sehat Suparlan dan Ibu Martuti. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Tahun 1998 penulis lulus dari SD Negeri Pagentan 1. Sekolah lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SMP Negeri 1 Jatilawang. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Purwokerto dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Arsitektur Lanskap, Departemen Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI.

Gambar

Gambar 1  Rute migrasi 23 individu SMA tahun 2006-2009
Gambar 2  Kerangka pikir studi
Gambar 3  Sikep Madu Asia
Gambar 4  Peta lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Arikunto mengatakan yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh (2010 : 172).Sumber data diambil menggunakan

PENGARUH LEADER-MEMBER EXCHANGE, ROLE STRESS DAN PERCEIVED ORGANIZATIONAL SUPPORT TERHADAP TURNOVER INTENTION PADA KARYAWAN HOTEL GRIYA SANTRIAN

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, kenikmatan dan hidayah-Nya sehingga sampai saat ini masih bisa beribadah kepada- Nya, serta penulis

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dua kali dengan perubahan terakhir Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Menindaklanjuti Berita Acara Hasil Evaluasi Penawaran Nomor : 03/ Pokja.12/ ULP-KKM/ I V- 2015 tanggal 13 April 2015, Pokja Pekerjaan Konstruksi Pekerjaan Pembangunan Pasar Siberut

yang disampaikan oleh penyedia barang adalah sebagai berikut:.. Penelitian dan Penilaian Teknis:

Sehubungan dengan proses evaluasi pengadaan jasa konstruksi pekerjaan Rehabilitasi Daerah Irigasi Malakopa (Lanjutan DAK 2014), maka akan dilakukan klarifikasi teknis sesuai

oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah melekat pada diri siswa. Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajar siswa melalui 3