• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekoleksikal Padi, Kelambir, Mergat, dan Buluh: Kajian Ekolinguistik Bahasa Melayu Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ekoleksikal Padi, Kelambir, Mergat, dan Buluh: Kajian Ekolinguistik Bahasa Melayu Serdang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

74 Telangkai Bahasa dan Sastra, Januari 2015, 74-89

Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266

EKOLEKSIKAL PADI, KELAMBIR, MERGAT, DAN BULUH: KAJIAN EKOLINGUISTIK BAHASA MELAYU SERDANG

Faridah

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara idahyafiz@yahoo.co.id

Abstract

This article discusses ecolexical padi, kelambir, mergat, and buluh in Bahasa Melayu Serdang then it stands for BMS. It concerns how the ecolexical vocabulary padi, kelambir, mergat, and buluh which represents the local knowledge vocabulary about BMS environment. In order to get the qualitative data it uses interview, participate observation, and some documentations. The method uses qualitative. Padi,kelambir,mergat, and buluh, are lexically investigated by using ecolinguistic theory specially ecolinguistic parameter as interrelationship, diversity, and environment. Furthermore semantic theory is used in order to inspect the lexical meaning, external referential meanwhile antropolinguistic theory is used in culture meaning. The result shows that the lexical of padi, kelambir mergat, and, buluh, idioms about the lexical representing the richness of nature, language, and Serdang Malay culture. The old generations still know, understand and even they use the life principle represented by the lexical of padi, kelambir, mergat, and buluh. However based on the interview with young generations the idioms and knowledge about the lexical padi,kelambir, mergat,and buluh, with the eksternal referential meaning have rarely used. Even a number of young generation personal having no knowledge as well as understanding, moreover use the lexical richness kelambir, mergat, and buluh.

Keywords: Ecolexical, padi, kelambir, mergat, and buluh, ecolinguistic, environment, and BMS.

PENDAHULUAN

Bahasa Melayu Serdang (selanjutnya disingkat BMS) merupakan salah satu bahasa dari dialek Melayu yang populasi penggunanya tersebar dari Kabupaten Deli Serdang sampai dengan Kabupaten Serdang Bedagai di samping dialek Melayu Deli yang populasi pengggunanya ada di Kota Medan, dialek Melayu Langkat yang populasi penggunanya Kota Binjai dan Kabupaten Langkat, dan dialek Melayu Asahan yang populasi penggunanya meliputi Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai.

Suatu fenomena menarik yang banyak terdapat di tanah air adalah merebaknya perubahan sosialkultural yang sangat cepat menusuk relung jiwa warga etnik. Setakat ini

(2)

75

masyarakat tradisional berbasis etnik di Indonesia jauh lebih dinamis daripada yang umumnya diperkirakan oleh masyarakat sebagaimana juga terjadi pada masyarakat Melayu Serdang. Perubahan sosialekologis yang dimaksudkan di sini adalah adanya fenomena sosial yang terjadi dalam kaitan dengan dampak sosial dan dampak ekologis terhadap pemakaian bahasa, kehidupan bahasa lokal dalam hal ini BMS

Penutur BMS yang pada mulanya sangat memperhatikan lingkungan alam dan memelihara hutan. Lingkungan sangat dipelihara sehingga harus dijaga benar-benar. Hutan hanya boleh dirambah jika sagat diperlukan sekali. Misalnya untuk perladangan atau pembuatan dusun/ huma yang baru atau untuk pembuatan perahu dan alat musik, atau untuk ramuan obat. Pepatah Melayu Lama berbunyi: Kalau tak ada laut, hampalah perut. Bila tak ada hutan, binasalah badan. Kalau binasa hutan yang lebat, rusak lembaga hilanglah adat.

Dewasa ini, diasumsikan bahwa BMS sudah tidak lagi menjalankan fungsinya karena memang tidak lagi sering digunakan. Kesenjangan nilai antargenerasi penutur bahasa dan pendukung etnik berkaitan dengan penyusutan fungsi interpersonal BMS dan nilai-nilai keetnikannya. Hal ini tentu mengakibatkan menghilangnya leksikal-leksikal yang ada pada penutur muda BMS. Padahal khazanah leksikal merupakan gambaran tentang pengetahuan, ide, kekayaan rohani serta ciri dan karakteristik lingkungan dan sosial budaya penutur Bahasa tersebut (Lihat Sapir, 2001: 14).

1. Masalah penelitian dirumuskan dengan bertitik tolak dari latar belakang di atas:

Bagaimanakah gambaran khazanah koleksikal kelambir, mergat, dan buluh dalam BMS yang merepresentasikan pengetahuan lokal tentang lingkungan BMS?

LANDASAN TEORI

Penelitian ini menggunakan teori ekolinguistik, sosiolinguistik, dan antropolinguistik. sebagai landasan teoretis. Alasan memilih tiga pendekatan teori ini adalah yang pertama, penelitian ini memilih pendekatan ekolinguistik khususnya parameter ekolinguistik untuk melihat hubungan antara, bahasa, lingkungan, dan keberagaman leksikal lingkungan Serdang.

Penyingkapan makna dan nilai-nilai etnik Melayu Serdang sangat terkait dengan lingkungan seperti yang dinyatakan Sinar (2010: 72) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan dan kelangsungan leksikal lingkungan kesultanan Serdang di tengah-tengah etnik Melayu dalam perspektif konteks situasi ekolonguistik. Pendekatan ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dalam mengadakan hubungan timbal balik antarmakhluk hidup (biotik) dan dengan benda tak hidup (abiotik) di tempat hidupnya atau lingkungannya.

Kedua, teori sosiolinguistik karena melalui kajian sosiolinguistik peneliti dapat melihat hubungan antara perlakuan bahasa dan status sosial. Selanjutnya dapat dinyatakan bahwa penelitian ini adalah mengkaji tentang bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat sehingga melalui teori sosiolinguistik dapat diteliti mengenai hakekat bahasa dan hakekat masyarakat Melayu Serdang.

(3)

76

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

1. Teori Ekolinguistik

Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haeckel (1834-1914). Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antarmakhluk hidup dan dengan benda tak hidup di tempat hidupnya atau lingkungannya.

Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi seperti yang dikatakan oleh Fiil (2001: m126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000) yakni suatu pendekatan yang mempelajari bahasa dan menghubungkannya dengan lingkungan.

Tiga parameter ekolinguistik yakni (1) adanya ketersalinghubungan (interrelationships), interaksi, (interaction) dan kesalingtergantungan (interdepedensi) (2) adanya lingkungan (environment) tertentu, dan (3) adanya keberagaman (diversity) di lingkungan itu baik manusia maupun makhluk-makhluk lainnya sebagai isi alam di lingkungan tertentu dapat dijadikan pegangan dalam membedah bahasa dan lingkungan (Fill and Muhlhausler, 2001: 1).

Semua berubah yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri. Begitu juga dengan perubahan bahasa, kebudayaan, lingkungan, tentu saja lingkungan sosial-ekologi kesultanan. Bila ditinjau dari sudut pandang ekolinguistik keberadaan bahasa dengan guyub tuturnya juga dipandang sebagai suatu organisme yang hadir, hidup, tumbuh berkembang bahkan punah, setidak-tidaknya tampak jelas pada tataran leksikal lihat Fill and Muhlhausler, dalam (Mbete, 2010: 5).

2. Teori Antropologi Linguistik

Franz Boaz adalah pelopor antropologi linguistik dengan variannya lingustik antropologi di Amerika, sedangkan di Eropa digunakan istilah etnolinguistik (Duranti, 1997) Di Indonesia dikenal dengan istilah linguistik budaya (lihat Riana, 2003: 8). Pada dasarnya linguistik budaya, linguistik antropologi, antropologi linguistik dan etnolinguistik secara umum memiliki kesamaan (lihat Crystal, 1992: 20; Duranti, 2001: 1- 2). Masalah sudut pandang sajalah yang menyebabkan terdapat perbedaan terhadap istilah tersebut. Kita mencermati apa yang dilakukan orang dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi, diam, dan gestures dihubungkan dengan konteks pemunculannya melalui pendekatan antropolinguistik (lihat Duranti, 2001: 9).

(4)

77 3. Teori Sosiolinguistik

Dikemukakan Hudson bahwa sosiolinguistik adalah suatu kajian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat (Hudson, 1995: 1) Dari definisi yang dikemukakan Hudson dapat dinyatakan dua hal yakni hakikat bahasa dan hakikat masyarakat. Dalam hakekat bahasa dinyatakan keberagaman bahasa. Seperti dalam fonologi, ada penutur bahasa Indonesia yang mengucapkan /redio/ atau /radio/ untuk kata “radio”. Dalam morfologi ada penutur yang menggunakan akhiran -kan di samping akhiran -i. Selanjutnya dalam hakekat kemasyarakatan dijelaskan seluruh gejala, sifat, ciri-ciri masyarakat dan budaya dalam perwujudannya secara keseluruhan.

Menurut Fishman kajian sosiolinguistik dapat dikategorikan sebagai suatu disiplin ilmu dengan didasarkan atas tiga hal. Pertama, membenahi pandangan linguistik umum yang berfokus hanya pada internal kebahasaan ke arah studi kebahasaan yang berkaitan dengan masyarakat. Kedua, memperluas pandangan tentang konsep-konsep kemampuan linguistik (linguistic competence) dari penutur asli ke arah konsep kemampuan komunikatif (communicative competence), dengan cara mengubah pandangan dan studi keabsahan yang abstrak menjadi studi kebahasaan yang berkaitan dengan konteks sosial (siapa berbicara dengan siapa tentang apa dalam situasi yang bagaimana) yang lebih dikenal dengan istilah etnografi komunikasi. Ketiga, mengacu kepada sosiologi yang sering disebut sosiologi bahasa yang difokuskan pada bahasa dalam masyarakat (speech community). Ketiga orientasi ini sesungguhnya tidak dapat dipisahkan tapi memiliki kekhasan dalam prinsip-prinsip dasar sosiolinguistik. Yang pertama dan kedua termasuk ke dalam sosiolinguistik mikro sedangkan yang ketiga termasuk ke dalam sosiolinguistik makro (Fishman, 1972: 2).

PEMBAHASAN

1. Leksikal Padi ‘padi’ (Latin: Oryza)

Leksikal padi „padi‟ dengan makna referensial eksternal tanaman padi merupakan tanaman pangan tua dalam masyarakat dan budaya Austronesia. Pengetahuan, penggunaan, pengalaman, dan pewarisan bahasa. Termasuk leksikal tentang biji-bijian dan umbi-umbian sebagai pola budaya kuliner Nusantara, secara sangat unik tanaman padi „padi‟ merupakan kebiasaan dan ciri kuat bangsa Austronesia (Bellwood, 2000: 366). Padi adalah bahan dasar untuk makanan pokok sebagian besar bangsa Indonesia karena budaya kuliner asli itu sudah terwaris ribuan tahun silam. Tanaman padi „padi‟ yang menjadi bahan dasar beras dan nasi, merupakan tanaman pangan sangat sentral karena dalam cita rasa lidah bangsa Indonesia, menyantap nasi sebagai makanan pokoklah yang mampu mendefinisikan konsep makan yang sesungguhnya. Artinya, jikalau belum makan nasi, maka orang belum makan.

Selain bentuk nomina dasar padi „padi‟, dalam masyarakat BMS juga mengenal bentuk-bentuk turunan (derivasi), khususnya bentuk-bentuk “turunan”, hasil ciptaan leksikal baru untuk entitas padi „padi‟ yang merepresentasikan varietas-varietas padi „padi‟. Secara umum memang ada kategori bentuk padi lading dengan varietas-varietasnya dalam bahasa Melayu Serdang yakni: silumut, sirauf, sibuyung, siriyas, dan sigumpal.

(5)

78

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

membeku dengan bentuk-bentuk dasar (lumut, rauf, buyung, riyas, gumpal) merupakan kata sandang (artikel).

Artikel si- dalam bahasa Melayu, yang kemudian terwaris dalam bahasa Indonesia, memang menempati posisi di depan nama diri termasuk nama benda. Dalam konteks bahasa padi ini, penggunaan dan penyatuan tata tulis dengan nama-nama diri yang juga menandai karakter dari varietas-varietas padi itu, merepresentasikan pula interelasi para peladang dengan tanaman budaya itu.

Belajar dari tatanan Subak di Bali, sistem irigasi padi sawah yang dibangun juga menandai pentingnya tanaman tersebut dalam masyarakat Melayu Serdang, Sumatera Utara. Kesultanan Serdang menjadi lumbung beras dan penghasil padi nomor satu di Sumatera Utara. Dalam sejarah kejayaan pangan berbasis padi dan beras itu, sultan-sultan di Sumatera Timur mampu menghadapi tantangan kolonial Belanda yang kala itu hanya Sultan Serdang dengan kemampuan sistem irigasinya itu, ditanya oleh Belanda: “Tuan, berapa lama bisa memberi makan rakyat Tuan?” yang justru dijawab secara lantang oleh Sultan Serdang bahwa Sang Sultan mampu memberi makan rakyatnya seumur hidup. (Wawancara dengan OK Ibnu Hajar, 63, 30 April 2013).

Seperti dipaparkan di atas, keberagaman varietas tanaman biji-bijian yang dikenal dengan terminologi padi, mencerminkan keberagaan leksikal tentang padi, sebagaimana juga sebaliknya keberagaman atau kekhasan leksikal-leksikal spesifik dengan makna-makna referensial eksternal yang khas itu, menggambarkan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan tertentu sesuai dengan pengetahuan dalam kognisi masyarakat tutur, dalam hal ini BMS. Kekayaan terminologi atau leksikal yang khas dan spesifik itu menandai interaksi, interelasi, bahkan interdependensi khusus masyarakat dengan entitas tertentu yang dikodekan dalam bahasa tertentu, khususnya bahasa Melayu Serdang.

Leksikal umum (generic) padi „padi‟ dalam BMS juga menurunkan sejumlah leksikal khusus (spesifik) mengenai tanaman padi „padi‟ di lingkungan penutur BMS. Leksikal-leksikal turunan itu meliputi: bertih yang merupakan padi yang digongseng dan kemudian mengembang berwarna putih yang digunakan salah satu campuran tepung tawaryang merupakan suatu prosesi dalam acara adat Melayu yang dilakukan pada acara pernikahan, sunatan, aqiqah, syukuran dan menyambut tamu tertentu.

Mengetam yang merupakan memanen padi menggunakan ketam‟ani-ani‟. Dinamakan mengetam karena ketika tangan memegang alat tersebut seolah-olah seperti ketam „kepiting‟ (Wawancara dengan Nurhayati, 54, 30 April 2012). Selanjutnya setelah padi terkumpul diadakanlah proses mengirik berasal dari verba ngirik unsur abiotik yang secara semantik tak bernyawa merupakan perangkat leksikal dalam BMS.

Proses pengolahan padi bermula dari verba ketam>mengetam dan diikuti verba proses ngirik>mengirik selanjutnya diikuti juga oleh verba proses tumbuk>menumbuk. Proses selanjutnya yang dilakukan nuroi „mengangin‟ merupakan kegiatan untuk memisahkan kulit dengan padi. pekerjaan terakhir adalah menampi yakni verba proses tampi > menampi untuk memisahkan sekam kulit padi dengan beras.

(6)

79

Hasil olahan sisa-sisa padi muda yang merupakan salah satu kuliner lokal Nusantara adalah emping padi kategori nomina dasar yang secara ekologis termasuk unsur abiotik dan secara semantik tak bernyawa ini merupakan perangkat leksikal l BMS. Di kalangan generasi muda, unsur material yang berasal dari kata kelambir juga ditemukan dari penggalan syair berikut: ”Jok-jok emping, terojok padi mude, mengkale kite ngemping, entah isok entah luse. Dalam teks tersebut ada leksikal ngemping sebuah kata turunan dari kata emping yang secara leksikal mengandung makna referensial eksternal tertentu emping padi. Penggalan syair itu mengandung makna bahwa mengemping itu adalah acara yang dinanti-nantikan karena acara tersebut merupakan pertemuan antara muda-mudi sebelum melangkah ke jenjang perkawinan.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa makna simbolis padi bermula dari interelasi, interaksi, dan interdependensi antara penutur BMS dengan tanaman padi tersebut. Sebagaimana juga telah direpresentasikan dengan ungkapan-ungkapan dan leksikal di atas, kedekatan dan kedalaman relasi itu kaya dengan makna-makna simbolik. Ungkapan” bila diri ingin di kenang, jauhi kata tinggi melambung, turutilah padi di ladang, tambah berisi runduk ke bawah” mengandung makna yang sangat dalam.

Makna idiologis dari ungkapan tersebut ditujukan kepada orang yang mempunyai banyak ilmu pengetahuan namun tetap rendah hati atau tidak menyombongkan pengetahuan yang dimilikinya (bandingkan ungkapan dalam Bahasa Indonesia: Bagai padi makin berisi makin merunduk). Persentase pilihan jawaban responden usia muda terhadap padi yakni hanya ada pada dua kategori pertama Mengenal tidak Menggunakan 30 (25%), dan Tidak Mengenal dan Tidak menggunakan (90 (75%). Responden tua persentase pilihan jawabannya yakni Jarang mengenal Menggunakan, 20 (16,66%), Mengenal Tidak Menggunakan 25 (20,83%), dan Tidak Mengenal dan Tidak Menggunakan 75 (62,5%).

2. Leksikal Kelambir ‘kelapa, nyiur’ (Latin: Coco nucifera)

Ditinjau dari segi bentuk dan kategorinya, kelambirR tergolong leksikal dasar dan termasuk kategori nomina atau kata benda. Secara semantik leksikal kelambir termasuk benda bernyawa nonhuman. Kelambir yang termasuk tumbuhan palma itu memiliki interelasi dan interdependensi yang mendalam dan menjadi tumbuhan serbaguna dan banyak fungsi. Bagi masyarakat penutur BMS khazanah kebahasaan yang menggambarkan keanekaragaman jenis (spesies) kelambir dengan sejumlah nama anak jenis (subspecies) itu tampak pada sejumlah varietas kelambir berikut ini: kelambir puyu, kelambir kuning,karena warna buahnya kuning, kelambir hijau, karena warna buahnya hijau, dan sesuai dengan tahap perkembangan biologisnya, dikategorikan pula kelambir muda dan kelambir tua. Dalam konteks budaya, klasifikasi terakhir ini mengandung makna dan fungsi budaya pula sebagaimana diuraikan di bawah ini.

(7)

80

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

kelambir. Di sisi lain, aneka budaya kuliner atau makanan olahan dari kelambir, jelas memperkaya leksikal, bahasa, dan budaya kuliner masyarakat lokal dan nasional. Kreasi budaya dan bahasa ini dapat disimak dan dicermati pada sejumlah leksikal di bawah ini. Dibandingkan dengan tetumbuhan lainnya, interaksi, interelasi, bahkan interdependensi penutur bahasa dengan kelambir, dikategorikan sebagai sangat mendalam sebagaimana tampak pada berkas-berkas leksikal khas sebagai tanda lingual berupa penamaan bagian-bagian tertentu dari tetumbuhan itu. Bagian lain dari kelambir yang dinamai secara khusus adalah mumbang „putik, bakal buah‟, yakni gambaran tentang tahapan perkembangan terjadinya buah dan pembuahan. Demikian juga leksikal (nomina) tempurung „tempurung‟ yang secara biologis bertumbuh menjadi keras dan bermanfaat sebagai pelindung daging buah dan air kelambir. Berdasarkan pemahaman sifat-sifat tempurung itulah, daya cipta masyarakat menghasilkan leksikal nomina bentuk dasar sudu yakni sendok nasi dan kemudian menurunkan sendok gulai. Daya cipta kata dan bahan alamiah dari kelambir menghasilkan pula leksikal nomina kal „alat ukur tradisional berbentuk setengah tempurung atau batok kelapa‟.

Budaya kuliner lokal yang juga sangat popular di pelbagai wilayah Nusantara adalah hasil olahan daging buah kelambir „kelapa‟ tua yang dikodekan secara lingual dengan bentuk nomina dasar santan „santan‟. Kategori nomina dasar yang secara ekologis termasuk unsur abiotik dan yang secara semantik tak bernyawa ini merupakan perangkat leksikal BMS pula bahkan sudah menjadi khazanah leksikal bahasa nasional bahasa Indonesia. Proses pengolahan daging buah kelambir ini yang bermula dari verba (kukur> mengukur dan diikuti) verba proses ramas, meramas, diramas „diperas‟. Selanjutnya dari kelambir>santan yang diolah itu menghasilkan bentuk majemuk minyak kelambir „minyak kelapa‟ sebagai bahan pengolahan kuliner, obat pengawet rambut dan aneka manfaat lainnya pula.

Dikaitkan dengan manfaat lain dari kelambir sebagai tetumbuhan serbaguna dan aneka fungsi hasil budidaya dan budaya secara lebih khusus dalam produk budaya kuliner, kelambir juga menghasilkan perangkat leksikal kategori nomina dasar lainnya dengan rujukan makna referensial eksternal khusus yakni serundeng „serondeng‟. Unsur leksikal budaya kuliner khusus ini diolah dengan bumbu-bumbu khusus dan menjadi salah satu jenis lauk. Jenis kuliner dari kelambir ini telah menjadi salah satu kekayaan budaya kuliner Nusantara pula.

(8)

81

sudah matang atau tua, secara khusus dikodekan secara lingual dengan bentuk turunan segandeng.

Selain budaya kuliner, arsitektur lokal atau seni bangunan masyarakat BMS, sebagaimana pula masyarakat Nusantara lainnya, berbasiskan pula sumber daya pokok kelambir „pohon kelapa‟. Pengetahuan, pemahaman dan pengalaman lintas generasi masyarakat BMS akan sifat dan karakter pohon dan pokok kelambir „batang kelapa‟ telah memperkaya bahasa dan budaya setempat. Konstruksi kebahasaan dengan makna referensial eksternal bagi entitas yang digolongkan sebagai nomina kompleks dan diklasifikasikan sebagai kata majemuk itu menjadi bahan dasar yang tahan lama dan bermutu untuk bangunan-bangunan rumah tinggal, termasuk jembatan, umumnya berbasis sumber daya alam pokok kelambir „pohon kelapa‟ tua.

Makna dan fungsi kelambir, khususnya air kelambir mude, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masyarakat BMS, tidaklah hanya dapat diminum sebagai suguhan segar dan khas. Air kelambir mude dipercaya oleh masyarakat penutur BMS dapat menyembuhkan sejumlah penyakit, khususnya penyakit panas dalam dan penyakit cacar. Sabut kelampeR bagian kulit terluar dari buah kelampeR, bagi masyarakat tempo dulu bermanfaat untuk menggosok gigi, bahan pencuci piring, dan secara khusus menjadi wadah dan pupuk untuk budi daya tanaman anggrek.

Selain demi kepentingan dan kebutuhan material dan badaniah, ada kandungan makna dan pesan-pesan penting yang ideologis pula di balik peribahasa dan ungkapan-ungkapan dalam BMS, khususnya yang berkaitan dengan kiasan-kiasan berbasis pokok kelambir „pohon kelapa‟. Sabut kelampeR memang hanyalah bagian kulit luar buah kelapa dengan manfaatnya seperti yang diuraikan di atas. Namun ungkapan metonimia bungkuk sabut bermakna untuk mengibaratkan orang-orang tua yang karena mengalami pengapuran tulang sehingga jalannya menjadi bungkuk, diibaratkan seperti bentuk sabut kelapa yang bentuknya memang agak bengkok.

Dalam kepercayaan lama masyarakat penutur BMS, kelambir „kelapa, nyiur‟ juga digunakan dalam memenuhi persyaratan perdukunan atau perlindungan diri serta penjagaan diri dari kekuatan gelap, selain penangkalan dari gangguan makhluk halus, dan gangguan dari niatan jahat orang lain. Bahkan kelambir pun dipercaya dapat melindungi manusia dari serangan binatang buas yang ada di lingkungan. Meskipun demikian, kepercayaan tersebut sudah mulai terkikis setelah masuknya agama-agama besar di Nusantara, khususnya agama Islam di Kesultanan Serdang, Sumatera Utara.

(9)

82

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

pegangan hidup masyarakat Melayu Serdang khususnya generasi tua hingga dewasa ini. Pemaknaan secara simbolik ini adalah salah satu fakta tentang adanya interelasi, interaksi yang teratur sejak para leluhur mereka, dan interdependensi mendalam yang saling menjamin kelestarian antara masyarakat BMS dengan pokok kelambir yang ada di lingkungan hidup. Kearifan lokal inilah pula yang menjadi kekayaan budaya bangsa. Di kalangan generasi tua BMS, tradisi yang kaya makna ini masih dipertahankan.

Makna simbolis kelambir juga secara teratur direpresentasikan kembali di kala ritual mencukur rambut bayi, sebuah inisiasi yang sangat penting dalam masyarakat BMS. Kira-kira setelah tujuh hari atau seminggu bayi dilahirkan, dilakukan suatu ritual yang dikenal dengan istilah aqiqah. Sesuai dengan terminologi yang digunakan, ritual ini lebih bernuansa Islam dengan konteks budaya lokal. Aqiqah adalah ritual memotong dan memasak kambing untuk diberikan kepada fakir miskin sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Khalik atas karunia kelahiran anak. Setelah ritual mencukur rambut perdana anak telah selesai, dilakukanlah penanaman kelambir muda „bibit kelapa‟yang berisikan guntingan rambut bayi disertai dengan kelambir tua. Kelambir mude ditanam pada posisi sebelah bawah, sedangkan kelambir tua di atasnya. Pada saatnya, kelambir tue tersebut tumbuh dan berbuah lebat sehingga orangtua sang bayi selalu mengatakan “Ianlah kelambir gombak anakku petang” yang bermakna: “itu adalah kelapa yang ditanam saat pencukuran rambut anak saya” (Wawancara dengan OK Abdul Khalik, 93 tahun, 20 April 2013).

Perlu dijelaskan pula bahwa penanaman kelambir di saat ritual aqiqah yang dilaksanakan itu dimaksudkan sebagai “penanggalan” kelahiran. Cara dalam ritual ini pun merupakan salah satu cara untuk menghitung usia anak. Tradisi tulis menulis atau mencatat tanggal lahir memang belum ada kala itu, sehingga tradisi lisan dengan maknanya dilakukan dengan cara yang demikian itu.

Seperti disinggung di atas, makna simbolis kelambir bermula dari interelasi, interaksi, dan interdependensi antara para penutur bahasa Melayu Serdang dengan tanaman itu. Seperti direpresentasikan dengan leksikal-leksikal dan ungkapan di atas, kedekatan dan kedalaman relasi itu kaya dengan makna-makna simbolik. Ungkapan “tue-tue kelambir, semakin “tue-tue semakin berminyak” mengandung makna yang sangat dalam. Makna ideologis dalam ungkapan itu ditujukan kepada para tetua agar memiliki kearifan, kebijaksanaan, dan mempunyai kekayaan pengetahuan atau wawasan yang luas dan mendalam (bandingkan pula dengan ungkapan dalam bahasa Indonesia: Tua-tua kelapa, semakin tua semakin berminyak).

Di kalangan generasi muda, unsur material yang berasal dari kelambir juga ditemukan dalam penggalam syair lagu berikut: “Susu lemak manis, santan kelape mude, adek jangan nangis diupah tanduk kude”. Dalam teks tersebut ada leksikal santan kelape muda, sebuah kata majemuk yang secara leksikal mengandung makna referensial eksternal tertentu „santan kelapa‟. Penggalan syair lagu itu mengandung makna bujukan kepada anak-anak agar tidak perlu menangis terlau berlebihan”.

(10)

83

Mengenal dan Tidak Menggunakan,10 (8, 33%), Akan tetapi, berdasarkan wawancara dengan sejumlah generasi muda, ungkapan-ungkapan, bahkan pengetahuan dan pemahaman tentang leksikal-leksikal dengan makna referensial eksternalnya sudah sangat jarang. Sejumlah anggota generasi muda bahkan sudah tidak mengetahui, memahami, apalagi menggunakan kekayaan leksikal-leksikal lingkungan itu. Adapun persentase pengenalan kelambir beserta bentuk-bentuk khususnya oleh generasi muda hanya ada pada dua pilihan yakni Mengenal Tidak menggunakan 60 (50%), dan Tidak Mengenal dan Tidak Menggunakan 60 (50%) Perubahan budaya, perubahan lingkungan kebahasaan, dan perubahan lingkungan secara ragawi (fisik-ekologis) memengaruhi pengetahuan, pemahaman, dan tentunya penggunaan leksikal dan ungkapan-ungkapan lama yang bersumber dari lingkungan BMS. Merosotnya pengetahuan dan penggunaan leksikal kelambir, secara khusus seperangkat leksikal khusus, baik secara literal maupun kontekstual dalam masyarakat penutur BMS, jelas memengaruhi ketahanan seperangkat leksikal asli, sekaligus juga butir-butir daya dan kearifan lokal yang kaya dengan nilai-nilai kehidupan.

3. Leksikal Mergat‘enau’ (Latin: Arenga Pinnata)

Ditinjau dari segi bentuk dan kategorinya mergat „enau‟ tergolong leksikal dasar dan termasuk kategori nomina atau benda. Secara semantik leksikal mergat termasuk benda bernyawa nonhuman. Mergat yang termasuk tumbuhan palma itu memiliki interrelasi dan interaksi dan interdepensi yang mendalam dan menjadi tumbuhan serbaguna dan banyak fungsi.

Mergat dapat ditemukan di lingkungan khusus (ecoregion) daerah Nusantara merupakan tanaman utama sesudah kelambir yang mengandung makna, nilai budaya dan nilai ekonomi yang tinggi. Jika dicermati kembali hampir semua bahagian dan rupa alamiah dan rupa kultural yang diolah dari mergat merupakan bentuk-bentuk turunan dari leksikal mergat menimbulkan leksikal baru (lihat Bundasgaard dan Sure Stefenses dalam Bang and Door, 2000: 19). Makna dan fungsi dalam kehidupan sosial. Secara khusus mergat ditanam untuk menjaga lingkungan alam yakni penyeimbang ekosistem. Meski mempunyai akar serabut namun pohon mergat sangat kokoh sehingga mampu menahan proses erosi tanah dan juga mampu menahan air. Di samping komoditi yang bernilai tinggi disisi lain bentuk-bentuk leksikal yang khas dan beragam yang bersumber leksikal mergat jelas memperkaya leksikal BMS dan BI, kuliner masyarakat lokal dan nasional. Berikut ini dapat disimak dan dicermati kreasi budaya dan bahasa ini.

Interaksi, interelasi dan interdepensi penutur BMS dengan mergat cukup mendalam jika dibandingkan dengan tumbuhan lainnya sebagaimana tampak pada berkas-berkas leksikal khas sebagai tanda lingual berupa penamaan bagian-bagian tertentu pada dari tumbuhan tersebut. Bahagian lain pada mergat yang dinamai secara khusus adalah nira „nira‟ yakni air yang keluar dari tangkai setelah diadakan verba proses „pukul‟ nira ini dimasak di tempat yang dinamai genohor „tempat memasak gula‟. Leksikal gula tepek „gula merah‟ yang merupakan kata majemuk adalah hasil dari verba proses memasak nira.

(11)

84

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

didinginkan, saring sampai benar-benar hilang airnya selanjutnya tambahkan gula sama banyaknya dengan jumlah beluluk „kulang-kaleng‟ Halua beluluk ini dibuat adalah upaya masyarakat Melayu untuk mengawetkan buah mergat ini. Halua beluluk bisa bertahan sampai setahun. MMS dahulu selalu menjaga makanan dengan menghindari pengewet buatan dari zat kimia. Pengewet alami yang dikenal hanya dua yakni garam dan gula. Disamping dibuat halua belulok juga dibuat kolak, dan campuran untuk minuman segar.

Belulok dimakan oleh MMS gunanya untuk menjaga kesehatan tulang karena banyak mengandung kalsium. Belulok yang tidak diambil akan menjadi tua, mengeras, dan berwarna hitam. Belulok tua ini bisa dijadikan cin-cin dengan cara melobangi bahagian tengahnya sesuai dengan ukuran jari untuk melekatkan cincin tersebut.

Ditinjau dari bentuk dan kategorinya ono tergolong leksikal dasar dan termasuk kategori nomina atau kata benda. Secara semantik leksikal ono adalah benda bernyawa nonhuman. Pokok mergat juga menghasilkan ijok yakni semacam sabut berwarna hitam untuk digunakan oleh penutur BMS menyaring air minum yang kekuning-kuningan dan kotor agar menjadi dan jernih dan bersih. Disamping itu ijuk juga bisa digunakan oleh MMS membuat sapu ijuk yakni sapu yang digunakan untuk menyapu rumah. Selain itu ijuk juga digunakan untuk membuat tali dan berus.

Selain tangkai dan buah bahagian tumbuhan mergat yang secara semantik mengacu kepada tahap perkembangan biologis batang tua mergat yakni bahagian yang berada di dalam batang tua mergat yakni diidentifikasi dan dikodekan secara lingual dengan bentuk nomina dasar pulur „bahagian d alam batang‟ bahagian ini dapat menghasilkan sagu untuk membuat kue yang merupakan kuliner dalam budaya Melayu Serdang yakni ongol-ongol.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa tanaman mergat adalah tanaman serba guna yang terpenting setelah kelambir karena boleh dikatakan bahwa semua unsur-unsur tanaman tersebut berguna. Adapun kegunaan lainnya dari tanaman mergat tersebut adalah sebagai berikut: daun digunakan untuk atap. Ijuk digunakan untuk tali, benang, sapu, penyaring air dan juga atap rumah. Pelepah digunakan untuk sapu lidi. Dari lidi diturunkan leksigon sagar atau kalam „alat penunjuk tulisan yang dibaca‟. Pokok „pohon‟ digunakan untuk papan, tongkat juga gorong-gorong yang berfungsi untuk saluran air. Rabuk merupakan sebangsa kabu-kabu dari pokok „pohon‟ mergat yang digunakan untuk membuat api.

Makna dan fungsi mergat berdasarkan kepada pengetahuan dan pengalaman masyarakat penutur BMS dapat dipercaya untuk menyembuhkan sejumlah penyakit yakni sebagai berikut: nira yang diminum dapat menghilangkan batu di ginjal.Selanjutnya akar nira diyakini berfungsi untuk memperlancar air seni, memperlancar haid, dan memperlancar air susu ibu (ASI) yang sedang menyusui bayi, sedangkan akar yang tua diyakini dapat menghambat penyerapan kolesterol.

Leksikal mergat, nira, genohor, dan gula tarek nampaknya sudah kurang dikenal dan dimanfaatkan, hanya gula tepek yang masih dimanfaatkan, itupun dikenal dalam BI gula merah bukan dalam BMS gula tepek. Hal ini dapat dilihat dari hasil persentase jawaban yang diberikan responden yakni untuk responden tua hanya memilih pada kategori Jarang Mengenal dan Menggunakan 60 (50%) Mengenal Tidak Menggunakan 60 (50%).

(12)

85

Dalam kehidupan sehari-hari saat ini MMS baik generasi tua maupun muda kurang begitu mengenal benda tersebut dikarenakan MMS sudah tidak lagi mempunyai kebun mergat. Mereka masih memanfaatkan gula tepek tetapi dengan cara membeli di pasar dan namanya juga umumnya dikenal dalam BI sebagai gula merah. Pekerjaan sebagai tukang gula tepek sudah ditinggalkan mereka bekerja menjadi pedagang, PNS maupun karyawan.

Begitu juga dengan penggunaan lainnya yang diturunkan daril leksikal mergat juga sudah kurang dikenal dan digunakan seperti leksikal sapu ijok kini telah berganti menjadi sapu plastik yang dianggap lebih ringan, dan dapat dicuci meski meski sapu plastik tidak mudah diurai jika sudah tak terpakai lagi sehingga bisa menyebabkan pencemaran lingkungan MMS saat ini tetap memakai sapu plastik tersebut. Sedangkan penggunaan sapu dan berus (sikat) dari mergat akan terurai secara alami jika tidak terpakai.

Contoh di atas membuktikan bahwa sebenarnya penutur BMS sudah melestarikan lingkungan sejak zaman kesultanan dengan cara memanfaatkan semua kebutuhan secara alami dan menjaga lingkungan dengan baik dan tidak mencemari lingkungan dengan benda-benda yang susah diurai sampai puluhan ribu tahun seperti plastik misalnya.

Hasil persentase pilihan jawaban responden leksikal ijuk, beluluk, kolang-kaleng, halua, ono, sagar, dan rabuk adalah untuk responden tua hanya memilih pada kategori Jarang Mengenal dan Menggunakan 60 (50%) Mengenal Tidak Menggunakan 60 (50%).

Responden usia muda memilih hanya pada: Mengenal Tidak Menggunakan 30 (25%), dan Tidak Mengenal dan Tidak Menggunakan 90 (75%). Dalam kehidupan sehari-hari saat ini MMS baik generasi tua maupun muda kurang begitu mengenal benda tersebut dikarenakan mereka tidak lagi menggunakan di samping itu pokok mergat sudah hampir habis.

Tak ada lagi MMS yang pekerjaannya membuat gula tepek dikarenakan minimnya pokok mergat. MMS sudah mengganti tanamannya menjadi tanaman kelapa sawit.

4. Leksikal Buluh‘bambu’, aur, eru’ (Nama Latin: Bambura Vulgaris Schard)

Ditinjau dari bentuk dan kategorinya buluh tergolong leksikal dasar dan termasuk kategori nomina atau kata benda. Secara semantik leksikal buluh merupakan benda bernyawa nonhuman. Kementerian Kehutanan menggalakkan dan mengembangkan lima jenis prioritas Hasil Hutan Bakau, Kayu (HHBK). Salah satunya adalah buluh „bambu‟. Buluh merupakan tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batang. Buluh sangat cepat perkembangannya dan dapat tumbuh dimana-mana terutama tepi sungai. Buluh tumbuhan memiliki banyak fungsi memiliki interelasi dan interdepensi yang mendalam bagi masyarakat Melayu Serdang. Khazanah kebahasaan yang menggambarkan keanekaragaman spesies buluh tampak pada sejumlah varietas berikut ini: buluh betung, buluh lemang, buluh telang, buluh telur, buluh kuning, buluh perindu, buluh bengkok, dan buluh jale.

(13)

86

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

Ditinjau dari segi bentuk dan kategorinya Buluh telang „bambu‟ tergolong leksikal majemuk dan termasuk kategori nomina atau benda. Secara semantik leksikal buluh telang termasuk benda bernyawa nonhuman. Buluh ini merupakan jenis yang besar meskipun tidak sebesar buluh betung, sama halnya dengan buluh betong buluh telang juga sering digunakan oleh MMS untuk membuat kursi. Leksikal buluh telor adalah jenis buluh yang kecil, dikaitkan dengan manfaat lain dari buluh juga menghasilkan perangkat leksikal kategori nomina dasar dengan makna referensial eksternal khusus yakni tepas untuk dinding rumah sampai sekarang masih banyak dipakai.

Buluh termasuk tanaman utama yang mengandung makna dan nilai budaya serta nilai ekonomi yang tinggi (lihat Blog Alamendah,2012:1diunduh tanggal 12 Mei 2014). Bisa ditemukan hampir di seluruh Nusantara jika disimak dan dicermati kembali hampir semua bahagian rupa alamiah dan rupa kulturalnya yang diolah dari buluh itu diberi nama-nama khusus sebagai bentuk-bentuk “turunan” dari leksikal buluh. Selain itu obat -obatan dan aneka budaya kuliner jelas memperkaya leksikal bahasa dan budaya kuliner masyarakat lokal dan nasional. Kreasi budaya dan bahasa ini dapat dicermati pada sejumlah leksikal di bawah ini:

Interaksi, interelasi bahkan interdepensi penutur bahasa Melayu dengan buluh cukup mendalam dibandingkan dengan tetumbuhan lainnya sebagaimana tampak pada berkas-berkas leksikal khas sebagai tanda lingual berupa penamaan bagian-bagian tertentu dari tumbuhan itu (Sapir, 2001: 14-16). Bahagian lain dari buluh yang dinamai secara khusus adalah lemau „buluh tanpa pucuk‟ selanjutnya rebung „buluh yang masih muda‟ yakni cikal bakal buluh yang secara biologis akan mengeras dan menjadi buluh. Pemahaman sifat-sifat buluh daya cipta masyarakat menghasilkan nomina mandah merupakan „tempat padi‟ dan pluritan yakni „lumbung padi‟.

Hasil olahan dari buluh muda merupakan budaya kuliner lokal yang cukup populer di Nusantara yang dikodekan secara lingual dengan bentuk nomina majemuk gulai rebung kategori nomina majemuk yang secara ekologis termasuk unsur abiotik dan secara semantik tak bernyawa ini merupakan perangkat leksikal BMS. Selain itu bakul „keranjang‟ digunakan untuk tempat suatu barang.

Ada kandungan makna dan pesan-pesan penting yang idiologis pula di balik peribahasa dan ungkapan-ungkapan dalam BMS selain demi kepentingan dan kebutuhan material dan badaniah. Ular biar mati, tanah jangan lekuk, buluh jangan pukah ungkapan ini bermakna menyelesaikan suatu perkara hendaklah adil sehingga kedua belah pihak merasa puas. Selanjutnya Berniaga buluh kasap, hujung hilang pangkal lesap ungkapan ini bermakna membuat suatu pekerjaan yang sia-sia belaka.

(14)

87

Leksikal buluh, buluh telang, buluh betung, buluh telur, bakul galas, keranjangdipilih oleh responden tua pada kategori Jarang Mengenal dan Menggunakan 60 (50%) dan Mengenal Tidak Menggunakan 60 (50%).

Responden usia muda memilih hanya pada kategori: Mengenal Tidak Menggunakan 30 (25%), dan Tidak Mengenal dan Tidak Menggunakan 90 (75%). Dalam kehidupan sehari-hari saat ini MMS baik generasi tua maupun muda kurang begitu mengenal benda tersebut dikarenakan mereka tidak lagi menggunakan.

Ditinjau dari segi bentuk dan kategorinya sigai tergolong leksikal dasar dan termasuk kategori nomina atau kata benda. Secara semantik leksikal sigai merupakan benda tak bernyawa nonhuman. Leksikal sigai merupakan jenis buluh yang besar bisa digunakan oleh penutur BMS untuk menjadi tangga karena di kiri dan kanannya ada bahagian yang bisa digunakan untuk memanjat. Sigai ini digunakan untuk mengambil segala sesuatu yang di atas seperti mengambil kelambir yang masih rendah, mengambil nire. Di samping digunakan untuk mengambil yang di atas sigai juga digunakan untuk mengambil sesuatu yang jatuh ke bawah seperti ke dalam telage„sumur‟.

Berdasarkan pemahaman sifat-sifat buluh daya cipta masyarakat menghasilkan leksikal pelita. Ditinjau dari bentuk dan kategorinya pelita tergolong leksikal dasar dan termasuk kategori nomina atau kata benda. Secara semantik leksikal pelita termasuk benda tak bernyawa nonhuman. Pelita merupakan bentuk buluh yang dipotong diisi minyak dan diberi sumbu digunakan sebagai penerangan di malam hari oleh penutur BMS untuk halaman rumah ataupun ladang agar hewan pengganggu tanaman tidak datang di malam hari. Di samping pelita ada obor yang juga dibuat oleh penutur BMS dari buluh, sama dengan pelita obor juga digunakan untuk penerangan namun dapat dibawa berjalan pada malam hari.

Berdasarkan pemahaman sifat-sifat buluh buluh dihasilkan leksikal layang-layang yakni buluh yang dipotong diberi benang dan kertas merupakan permainan anak-anak untuk diterbangkan saat musim panen telah selesai. Selain itu digunakan untuk cetakan gula tepek dari bahagian dalam buluh yang dibelah. Begitu juga buluh digunakan untuk tempat air nira. Leksikal celengan buluh merupakan buluh dipotong dan diberi lubang sedikit digunakan untuk tempat memasukkan uang di dalamnya. Penutur BMS selalu menggunakan celengan buluh ini untuk menyimpan uang.

Leksikal buluh lemang ditinjau dari segi bentuk dan kategori merupakan leksikal majemuk dan termasuk kategori nomina atau kata benda. Secara semantik leksikal buluh lemang termasuk benda bernyawa nonhuman. Buluh lemang juga menghasilkan perangkat leksikal kategori nomina dasar lainnya yakni lemang „lemang‟ unsur eksikon budaya kuliner ini diolah dan dibakar di buluh lemang yang merupakan salah satu kekayaan budaya kuliner Nusantara. Dari leksikal buluh muncul ungkapan lempang buluh yang bermakna seseorang yang diumpamakan seperti buluh walaupun ia jujur namun ada juga sedikit ketidakjujuran pada dirinya. Leksikal bengkok buluh bermakna seseorang meskipun jahat namun pasti ada sisi baiknya. (Bandingkan pula dengan ungkapan dalam Bahasa Indonesia tak ada manusia yang sempurna, semua orang mempunyai kelebihan dan kekurangan).

(15)

88

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-9, No 1, Januari 2015

tradisional yang menghasilkan bunyi yang indah. Mandah adalah digunakan untuk tempat padi dari buluh, peluritan digunakan untuk lumbung padi dari buluh.

Leksikal sigai, pelita, celengan buluh, buluh lemang, tuar, bubu, lemau, keracap, seruling, mandah dan pluritan sudah tidak dikenal dan tidak dimanfaatkan. Responden usia Tua Jarang Mengenal dan Menggunakan 60 (50%) Mengenal Tidak Menggunakan 60 (50%). Responden usia muda memilih hanya pada: Mengenal Tidak Menggunakan 30 (25%), dan Tidak Mengenal dan Tidak Menggunakan 90 (75%). Dalam kehidupan sehari-hari saat ini pennutur BMS baik generasi tua maupun muda kurang begitu mengenal benda tersebut dikarenakan mereka tidak lagi menggunakan dan memanfaatkannya. Responden usia tua nampaknya juga tidak lagi memasak lemang dikarenakan sulitnya ekonomi saat ini. Untuk celengan buluh juga tidak ada lagi yang menggunakan karena dianggap tidak praktis dan berbahaya.

Leksikal kepoh adalah lumbung padi dari buluh, sayak tapisan kelambir dari buluh yang dianyam, nyiru alat penampi beras dari buluh, leksikal mayang adalah alat penangkap ikan terbuat dari buluh yang dibelah. Dewasa ini leksikal buluh dan segala leksikal yang menyangkut dengan kebuluhan sudah mulai kurang dikenal. Meski masih dijumpai penggunaan buluh tetapi tidak seproduktif dahulu. Seiring dengan kemajuan zaman buluh sudah tidak begitu banyak pemakaiannya. Hanya yang masih digunakan adalah buluh sebagai tepas untuk membuat kandang ayam atau kandang kambing maupun kandang lembu. Jadi penutur muda pada umumnya tak mengenal lagi leksikal buluh dan segala hal ikhwal mengenai buluh. Sedangkan penutur tua masih mengenal dan tinggal di kognisi karena sudah banyak yang memang tidak ditemui lagi bendanya.

Begitu juga dengan celengan buluh tak dikenal dan tak ada yang menggunakannya lagi. Sekarang zaman modern pola hidup juga berubah. Untuk menyimpan uang sudah ada bank yang terjamin keamanannya dibanding dengan buluh yang mudah diambil pencuri.

Leksikal kepoh, sayak, nyiru, mayang, tepas juga sedikit yang menggunakannya dilihat dari peresentase adalah sebagai berikut: kurang dikenal oleh MMS bila dilihat dari pilihan jawaban yang diberikan untuk responden usia tua pada pilihan Sering Mengenal Menggunakan hanya 10 (8,33%), Jarang Mengenal Menggunakan10 (8,33%), Mengenal Tidak Menggunakan 20 (16,66), Tidak Mengenal Tetapi Menggunakan 30 (25%), Tidak Mengenal dan Tidak Menggunakan 50 (41,66%).

Pilihan jawaban responden muda untuk Leksikal kepoh, sayak, nyiru, mayang, tepas juga sedikit yang menggunakannya dilihat dari peresentase hanya ada dua yakni pada Mengenal Tidak menggunakan 8 (6,66 )Tidak Mengenal dan Tidak Menggunakan 112 ( 93,33% ).

TEMUAN

(16)

89 SIMPULAN

Leksikal padi, kelambir,mergat, dan, buluh, merupakan leksikal utama yang terdapat pada penutur BMS dibandingkan dengan leksikal flora lainnya dikarenakan multi fungsinya tanaman tersebut. Sejalan dengan itu ditemukannya leksikal turunan dalam jumlah yang besar terhadap ketiga leksikal tersebut. Penutur BMS pada mulanya mempunyai interelasi, interaksi dan interdepedensi yang dalam terhadap ketiga leksikal itu namun sejalan dengan perubahan sosialekolgis penutur maka dewasa ini hubungan antara penutur BMS dengan keempat leksikal tersebut sudah mulai berkurang lebih utama lagi penutur muda bahkan sudah tidak mengenal lagi ketiga leksikal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bonvillain, Nancy, (1977). Language, Culture and Communication the Meaning of Messages. New Jersey: Prentice- Hall-Inc.

Duranti, Alessandro (Ed.). (2001). Linguistic Anthopology. Oxford: Blackawell Publishers.

Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler (eds). (2001). The Ecolinguistic Reader Language Ecology and Environment. London and New York: Continuum.

Fishman, Joshua A. (1972). The Sociology of Language. Rowley. Massachussetts: Newbury House.

Lindo, Ana Vibeka dan Bundsgaard, Jeppe (Eds). (2000). Dialectical Ecolinguistics. Three Essays for the Shymposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: Universiy of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology.

Hudson, Richard. (1995). Sosiolinguistik (terjemahan Rohayah dan Misbah Jamil: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Mbete Aron Meko, (2010). “Sekilas Tentang Linguistik Kebudayaan” Bahan Sederhana untuk Berbagi Pengalaman dengan Mahasiswa Program Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 7 Mei 2010.

Oktavianus, (2006). Nilai Budaya dalam Ungkapan Minangkabau: Sebuah Kajian dari Perspektif Antropologi Linguistik

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimanakah faktor institusional ( institutional factors), faktor social (social factors) serta faktor individu ( individual

3.2 Mengenal teks petunjuk/arahan tentang perawatan tubuh serta pemeliharaan kesehatan dan kebugaran tubuh dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis

Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar kajian dalam penelitian yang dilakukan yaitu Bagaimana peranan komunikasi dalam

- Database Obat dan Laktasi / The Drugs and Lactation Database (LactMed) yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Kedokteran Nasional Amerika Serikat, yang

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran, aktivitas belajar siswa, dan keterampilan siswa dalam menulis karangan

Tercapainya indikator keberhasilan peneliti membuktikan bahwa implementasi model Quantum Teaching dengan teknik BDB dapat meningkatkan hasil belajar IPS yang meliputi ranah

[r]

Komunikasi internal di PT.PLN (Persero) Rayon Medan Kota merupakan proses komunikasi yang berwujud komunikasi antarpribadi ataupun komunikasi kelompok. Proses penyampaian pesan