PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL PERAWAT TERHADAP PENCEGAHAN TERJADINYA INFEKSI
NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD)
KOTA LANGSA
T E S I S
Oleh
FAKHRUL RAZI
097032091/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE INFLUENCE OF NURSE INTERNAL AND EXTERNAL FACTORS ON NOSOCOMIAL INFECTION PREVENTION
IN THE POST SURGICAL TREATMENT WARD
AT GENERAL HOSPITAL IN LANGSA CITY
T H E S I S
BY
FAKHRUL RAZI 097032091/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL PERAWAT TERHADAP PENCEGAHAN TERJADINYA INFEKSI
NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD)
KOTA LANGSA
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FAKHRUL RAZI
097032091/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL PERAWAT TERHADAP PENCEGAHAN TERJADINYA INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) KOTA LANGSA
Nama Mahasiswa : Fakhrul Razi Nomor Induk Mahasiswa : 097032091
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP)
Ketua Anggota
(dr. Mohd. Makmur Sinaga, M.S)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 12 Oktober 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP Anggota : 1. dr. Mohd. Makmur Sinaga, M.S
PERNYATAAN
PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL PERAWAT TERHADAP PENCEGAHAN TERJADINYA INFEKSI
NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD)
KOTA LANGSA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2011 Penulis,
ABSTRAK
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang terdapat di rumah sakit, yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa bakteri, virus, fungi dan parasit. Data yang diperoleh dari profil Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa tahun 2010, terdapat 303 kasus infeksi nosokomial di 7 ruangan, di mana ruang rawat bedah RSUD Kota Langsa dengan kasus tertinggi, terdapat 88 kasus infeksi nosokomial.
Penelitian ini merupakan penelitian survai explanatory yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor internal (pengetahuan dan sikap) dan eksternal (fasilitas dan pengawasan) perawat terhadap pencegahan infeksi nosokomial. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang terdapat di ruang rawat bedah yang berjumlah sebanyak 35 orang dan sekaligus menjadi sampel penelitian. Metode pengumpulan data meliputi data primer melalui wawancara dan pengamatan serta data sekunder dari catatan dan dokumen RSUD Kota Langsa dan dianalisis dengan regresi logistik.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel pengetahuan, fasilitas keperawatan, dan pengawasan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di ruang rawat bedah RSUD Kota Langsa.
Disarankan kepada pihak RSUD Kota Langsa untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan bagi perawat pelaksana di ruang rawat bedah, melakukan upaya promosi kesehatan 2 kali dalam 1 tahun seperti mengkampanyekan bentuk pencegahan terjadinya infeksi nosokomial, Manajemen rumah sakit melalui direktur RSUD Langsa disarankan membentuk komite medik pengendalian infeksi nosokomial yang ditunjuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara rutin.
ABSTRACT
Nosochomial infection is an infection found in a hospital caused by the micro-organisms such as bacteria, viruses, fungi, and parasites. The data obtained from the Profile of Langsa Municipal General Hospital in 2010 showed that there were 303 nosochomial infection cases in 7 wards and the cases in the post surgical treatment wards of Langsa Municipal General Hospital was the highest with 88 nosochomial infection cases.
The purpose of this explanatory survey study was to analyze the influence of internal (knowledge and attitude) and external (facility and supervision) factors of the nurses on the prevention of nosochomial infection. The population of this study were all of the 35 nurses working in the post surgical treatment wards and all of them were selected to be the samples for this study. The primary data for this study were obtained through observation and interviews and the secondary data were obtained through the medical record and documents available at Langsa Municipal General Hospital. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests.
The result of the statistic test showed that the variables of knowledge, nursing facilities, and supervision were the variables which had influence on the prevention of nosochomial infection in the post surgical treatment wards at Langsa Municipal General Hospital.
The management of Langsa Municipal General Hospital is suggested to improve the education and training of the nurses working in the post surgical treatment wards and to do health promotion twice (2 times) a year such as a campaign for the prevention of the incident of nosochomial infection. The hospital management, through the Director of General Langsa Municipal Hospital, is suggested to establish a nosochomial infection medical supervision committee assigned to do a routine supervision and evaluation.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya penulis
telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal
Perawat terhadap Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Bedah Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa Tahun 2011’’
Selama proses penyusunan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,
M.Sc, (CTM), Sp.A (K).
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku komisi penguji
atau pembanding Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
5. Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP dan dr. Mohd. Makmur Sinaga, M.S
meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing
penulis dalam penyusunan tesis ini.
6. dr. Fauzi, S.K.M selaku komisi penguji atau pembanding yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini. 7. Keluarga yang telah memberikan motivasi serta dukungan kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan.
8. Rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu penulis dan masih bersedia untuk dapat berkonsultasi dalam penyusunan tesis ini dan semua pihak yang
telah membantu proses penyusunan tesis ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan tesis ini.
Medan, Desember 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Fakhrul Razi dilahirkan di Kota Langsa pada tanggal 26 Januari
1986 dan anak dari pasangan H. Muhammad Ali Hasyem dan Hj. Wardah.
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar No. 1 Kota
Langsa tamat tahun 1998. Tahun 2001 penulis menamatkan Sekolah Menengah Pertama
Negeri 1 Kota Langsa, dan menamatkan Sekolah Menengah Atas di Kota Langsa tahun 2004.
Terakhir tahun 2008 Penulis menamatkan Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Kota Medan.
Penulis aktif mengikuti berbagai organisasi baik itu internal maupun eksternal
kampus. Tahun 2005 penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas
Kesehatan Masyarakat, tahun 2006-2008 penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Langsa
(IMLA-Medan) Jabatan sebagai Ketua Umum, tahun 2007 penulis aktif di Pemerintahan Mahasiswa
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (PEMA – FKM USU) dan Ikatan
Pemuda Pelajar Mahasiswa Tanah Rencong (IPTR) USU jabatan Humas, dan tahun 2008
Lembaga konsultan kesehatan koetaradja (KHCo) Departemen Kemitraan dan Konseling.
Jenjang Karir yang telah penulis lewati tahun 2009 fasilitator perbaikan gizi
masyarakat Kota Medan (Project Nice) dan sampai hari ini penulis bekerja di Dinas
DAFTAR ISI
2.1.6. Kondisi-kondisi yang mempermudah terjadinya Infeksi Nosokomial ... 11
2.6. Standar Operational Prosedur (SOP) ... 22
2.7. Perawat ... 23
2.8. Rumah Sakit ... 24
2.9. Landasan Teori ... 30
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 34
4.1.1. Sejarah Perkembangan Rumah Sakit Umum Kota Langsa . 40 4.1.2. Letak Geografis ... 41
4.1.3. Tugas Pokok dan Fungsi RSUD Langsa ... 41
4.1.4. Visi Dan Misi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa ... 42
4.1.5. Ketenagaan di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ... 42
4.1.6. Pemanfaatan Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ... 43
4.3.4. Pengawasan Responden ... 53
4.3.5. Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 55
4.4. Analisis Bivariat ... 59
4.4.1. Hubungan Pengetahuan Perawat dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 60
4.4.2. Hubungan Sikap Perawat dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 60
4.4.3. Hubungan Fasilitas Keperawatan dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 61
4.4.4. Hubungan Pengawasan Perawat dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 62
4.5. Analisa Multivariat ... 62
BAB 5. PEMBAHASAN ... 65
5.1. Pengaruh Pengetahuan Perawat dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 65
5.3. Pengaruh Fasilitas Keperawatan dengan Pencegahan Infeksi
Nosokomial... 69
5.4. Pengaruh Pengawasan dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 70
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
6.1. Kesimpulan ... 73
6.2. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1 Jumlah Seluruh Ketenagaan di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ... 42 4.2 Pemanfaatan Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Langsa ... 43
4.3 Distribusi Karakteristik Responden di Ruang Rawat Bedah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa ... 44
4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Ruang Rawat Bedah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa ... 46
4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan tentang Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 49 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap ... 50 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap tentang Pencegahan
Infeksi Nosokomial ... 51 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Fasilitas Keperawatan ... 52
4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Fasilitas Keperawatan tentang Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 53
4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Pengawasan ... 54 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengawasan tentang
Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 55 4.12 Hasil Pengamatan terhadap Perawat yang Melakukan Tindakan Medis
di Ruang Rawat Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota
Langsa ... 56 4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pencegahan Infeksi
4.14 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Pencegahan Infeksi
Nosokomial ... 60
4.15 Hubungan Sikap Responden dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 61
4.16 Hubungan Fasilitas dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 61
4.16 Hubungan Pengawasan dengan Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 62
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Skema Rantai Penularan Infeksi Nosokomial ... 9
2.2. Kerangka Teori Green ... 32
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
ABSTRAK
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang terdapat di rumah sakit, yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa bakteri, virus, fungi dan parasit. Data yang diperoleh dari profil Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa tahun 2010, terdapat 303 kasus infeksi nosokomial di 7 ruangan, di mana ruang rawat bedah RSUD Kota Langsa dengan kasus tertinggi, terdapat 88 kasus infeksi nosokomial.
Penelitian ini merupakan penelitian survai explanatory yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor internal (pengetahuan dan sikap) dan eksternal (fasilitas dan pengawasan) perawat terhadap pencegahan infeksi nosokomial. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang terdapat di ruang rawat bedah yang berjumlah sebanyak 35 orang dan sekaligus menjadi sampel penelitian. Metode pengumpulan data meliputi data primer melalui wawancara dan pengamatan serta data sekunder dari catatan dan dokumen RSUD Kota Langsa dan dianalisis dengan regresi logistik.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel pengetahuan, fasilitas keperawatan, dan pengawasan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di ruang rawat bedah RSUD Kota Langsa.
Disarankan kepada pihak RSUD Kota Langsa untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan bagi perawat pelaksana di ruang rawat bedah, melakukan upaya promosi kesehatan 2 kali dalam 1 tahun seperti mengkampanyekan bentuk pencegahan terjadinya infeksi nosokomial, Manajemen rumah sakit melalui direktur RSUD Langsa disarankan membentuk komite medik pengendalian infeksi nosokomial yang ditunjuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara rutin.
ABSTRACT
Nosochomial infection is an infection found in a hospital caused by the micro-organisms such as bacteria, viruses, fungi, and parasites. The data obtained from the Profile of Langsa Municipal General Hospital in 2010 showed that there were 303 nosochomial infection cases in 7 wards and the cases in the post surgical treatment wards of Langsa Municipal General Hospital was the highest with 88 nosochomial infection cases.
The purpose of this explanatory survey study was to analyze the influence of internal (knowledge and attitude) and external (facility and supervision) factors of the nurses on the prevention of nosochomial infection. The population of this study were all of the 35 nurses working in the post surgical treatment wards and all of them were selected to be the samples for this study. The primary data for this study were obtained through observation and interviews and the secondary data were obtained through the medical record and documents available at Langsa Municipal General Hospital. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests.
The result of the statistic test showed that the variables of knowledge, nursing facilities, and supervision were the variables which had influence on the prevention of nosochomial infection in the post surgical treatment wards at Langsa Municipal General Hospital.
The management of Langsa Municipal General Hospital is suggested to improve the education and training of the nurses working in the post surgical treatment wards and to do health promotion twice (2 times) a year such as a campaign for the prevention of the incident of nosochomial infection. The hospital management, through the Director of General Langsa Municipal Hospital, is suggested to establish a nosochomial infection medical supervision committee assigned to do a routine supervision and evaluation.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu rumah sakit dituntut
untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan (Depkes RI, 2007).
Rumah sakit sebagai suatu unit pelayanan medis tentunya tak lepas dari pengobatan dan perawatan penderita-penderita dengan kasus penyakit infeksi. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat atau setelah selesai dirawat disebut
infeksi nosokomial. (Darmadi, 2008)
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba
patogen yang bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Akibat lainnya yang juga cukup merugikan adalah hari rawat penderita yang bertambah,
beban biaya menjadi semakin besar, serta merupakan bukti bahwa manajemen pelayanan medis rumah sakit kurang bermutu (Darmadi, 2008).
Pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit (PPIRS) sangat penting
karena menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit. Apalagi akhir–akhir ini muncul berbagai penyakit infeksi baru (new emerging, emerging diseases dan re-emerging
Kegiatan pencegahan dan pengedalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya merupakan suatu standar mutu pelayanan dan penting bagi pasien, petugas kesehatan maupun pengunjung rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya. Pengendalian infeksi harus dilaksanakan oleh semua rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya untuk melindungi pasien, petugas kesehatan dan pengunjung dari kejadian infeksi dengan memperhatikan cost
effectiveness (Depkes RI, 2007).
Penyebab infeksi nosokomial adalah akibat mikroorganisme berupa bakteri,
virus, fungi dan parasit, tetapi umumnya terjadi akibat virus dan bakteri. Sumber infeksi dapat berasal dari pasien, petugas rumah sakit, pengunjung atau lingkungan rumah sakit. Dari keempat sumber penularan, pada umumnya kejadian infeksi
nosokomial terjadi melalui tangan petugas rumah sakit yang tercemar kuman akibat berhubungan dengan pasien, bahan atau alat yang tercemar (Depkes, 1995).
Menurut Timby (1999), kelalaian petugas rumah sakit untuk mencuci tangan
merupakan penyebab umum terjadinya infeksi yang diperoleh di rumah sakit. Cara penularan melalui tangan yang kurang bersih atau secara tidak langsung melalui
peralatan yang ditempatkan sebagai penyebab utama infeksi nosokomial (Utji, 1993). Triatmodjo (1993), menemukan bahwa 34,4% tangan perawat terkontaminasi oleh kuman penyebab infeksi nosokomial dan 34,4% dari alat-alat bedah steril siap pakai
ternyata dalam kondisi tidak steril.
Berbagai macam kasus infeksi di rumah sakit setiap tahunnya terjadi
Perdalin Jaya di Rumah Sakit penyakit infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta
(2003) didapatkan angka infeksi nosokomial untuk ILO (Infeksi Luka Operasi) 18,9%, ISK (Infeksi Saluran Kemih) 15,1%, IADP (Infeksi Aliran Darah Primer)
26,4%, Pneumonia 24,5% dan Infeksi Saluran Napas lain 15,1%, serta Infeksi lain 32,1% (Depkes RI, 2007). Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangkusumo (2002) diketahui penyebab dari terjadinya infeksi nosokomial yaitu
petugas tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan yaitu sebesar 85,7%.
Kejadian infeksi nosokomial belum diimbangi dengan pemahaman tentang cara mencegah infeksi nosokomial dan implementasi secara baik. Kondisi ini memungkinkan angka nosokomial di rumah sakit cenderung tinggi. Oleh karena itu
dibutuhkan pemahaman yang baik tentang cara-cara penyebaran infeksi yang mungkin terjadi di rumah sakit.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa kejadian infeksi nokomial terjadi
akibat banyak faktor seperti pengetahuan tentang infeksi nosokomial masih kurang, fasilitas yang terdapat di rumah sakit belum memadai serta pengawasan yang kurang.
Penelitian Linda (2001) pada perawat pelaksana tentang upaya pencegahan infeksi nosokomial di ruang rawat inap di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta menemukan sebanyak 53,9% tidak menggunakan sarana dan 21,6% selalu melakukan
pengawasan di ruangan. Hasil penelitian lain yang dilakukan Fuadi (2009) menemukan bahwa kurang dari 50% perawat yang ada di Rumah Sakit Zainoel
Menurut Utama (2006) pencegahan infeksi nosokomial memerlukan suatu
rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan dan
penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterillisasi, dan desinfektan, mengontrol risiko penularan dari lingkungan, melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.
Adapun upaya yang dilakukan untuk pencegahan infeksi nosokomial yaitu dengan menerapkan kewaspadaan umum dengan membudayakan cara kerja yang
mengacu pada Standar Operasional Prosedur (SOP). Agar perawat pelaksana dapat melaksanakan kegiatannya sesuai dengan SOP infeksi nosokomial dibutuhkan pengawasan (supervisi) oleh kepala ruangan (Depkes 1998). Supervisi adalah proses
dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan bawahannya sesuai dgn rencana, perintah, tujuan/kebijakan yang telah ditentukan. Selain itu supervisi juga didefinisikan sebagai segala usaha untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas, dimana dalam pelaksanaannya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu
menghargai potensi tiap individu, mengembangkan potensi tiap individu, dan menerima tiap perbedaan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban kepala ruangan sebagai manajer keperawatan, melaksanakan supervisi untuk mengetahui sejauh mana
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa merupakan rumah sakit rujukan
dengan type kelas B, dari data yang diperoleh tahun 2010, terdapat sebanyak 303 kasus di 7 ruangan (Bedah, Penyakit Dalam, THT/Mata, VIP, ICU, ICCU, dan
KUA/Super VIP) yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Langsa dengan berbagai jenis infeksi nosokomial (Medical Record RSUD Kota Langsa Maret 2011).
Dari tujuh ruangan, ruangan bedah yang tertinggi kasus infeksi, terdapat 88
kasus jenis infeksi nosokomial yaitu 47 kasus infeksi nosokomial oleh phlebitis, 1 kasus oleh infeksi luka operasi, 6 kasus oleh decubitus, 17 kasus oleh sepsis, dan 17
kasus oleh pneumonia (Medical Record RSUD Kota Langsa, bulan Maret Tahun 2011).
Survei pendahuluan menunjukkan bahwa dari 7 perawat di ruang bedah yang
diwawancarai hanya 28,5% yang mensterilkan alat medis, menggunakan alat pelindung diri seperti penutup mulut dan sarung tangan, mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan, sedangkan 71,5% perawat tidak melaksanakan prosedur
itu secara keseluruhan. Sesuai prosedur penggunaan alat medis bahwa sebelum dan sesudah menggunakan alat medis wajib dibersihkan dan disterilkan termasuk
peralatan-peralatan yang terkecil sekalipun. Berdasarkan pengamatan penulis, ketika sedang melakukan survei pendahuluan penulis menemukan air yang ada pada wastafel tidak hidup serta sabun pencuci tangan tidak peneliti temukan berada
Berdasarkan permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
tentang apakah ada pengaruh faktor internal (pengetahuan dan sikap) dan eksternal (fasilitas keperawatan dan pengawasan) perawat terhadap pencegahan terjadinya
infeksi nosokomial di ruang rawat bedah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa tahun 2011.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, dalam menjalankan pekerjaannya seorang
perawat berisiko untuk terjadinya infeksi. Oleh sebab itu, dibutuhkan pengetahuan, sikap, fasilitas serta pengawasan dalam upaya mengurangi terjadinya infeksi
nosokomial. Berdasarkan permasalahan di atas belum diketahuinya pengaruh faktor permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang apakah ada pengaruh faktor internal (pengetahuan dan sikap) dan eksternal (fasilitas keperawatan
dan pengawasan) perawat terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di ruang rawat bedah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa tahun 2011.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh faktor internal (pengetahuan dan sikap) dan eksternal (fasilitas keperawatan dan pengawasan) perawat terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di ruang rawat bedah di Rumah Sakit Umum Daerah
1.4. Hipotesis Penelitian
1.4.1. Ada pengaruh faktor internal (pengetahuan dan sikap) perawat terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di ruang rawat bedah di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa tahun 2011.
1.4.2. Ada pengaruh faktor eksternal (fasilitas keperawatan dan pengawasan) perawat terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di ruang rawat bedah di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa tahun 2011.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Memberi masukan bagi Rumah Sakit Umum Kota Langsa dalam
merumuskan perencanaan pencegahan infeksi nosokomial pada petugas kesehatan.
b. Menjadi informasi bagi petugas kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kota Langsa dalam mencegah perilaku-perilaku yang berisiko terhadap terjadinya infeksi nosokomial dalam melakukan aktivitas di
Rumah Sakit Umum Kota Langsa.
c. Sebagai khasanah menambah ilmu pengetahuan tentang pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di Rumah Sakit khususnya bagi perawat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Nosokomial
2.1.1. Pengertian Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital Acquired Infection (HAI) adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien di rawat di rumah sakit (WHO, 2004). Sumber lain mendefinisikan infeksi nosokomial merupakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan setelah dirawat 2x24 jam. Sebelum dirawat, pasien tidak memiliki gejala tersebut dan tidak dalam
masa inkubasi. Infeksi nosokomial bukan merupakan dampak dari infeksi penyakit yang telah dideritanya. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang paling berisiko terjadinya infeksi nosokomial, karena
infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas kesehatan, dari pasien ke pengunjung atau keluarga ataupun dari petugas ke pasien (Husain, 2008).
Menurut Vincent (2003) Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang tidak terinkubasi dan terjadi ketika pasien masuk ke rumah sakit atau akibat dari fasilitas kesehatan lainnya yang ada di rumah sakit. Menurut Breathnach (2005) Infeksi
2.1.2. Cara penularan Infeksi Nosokomial
Menurur Depkes RI (1995) macam-macam penularan infeksi nosokomial bisa berupa :
1) Infeksi silang (Cross Infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara langsung atau tidak langsung.
2) Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri berpindah tempat dari satu jaringan kejaringan
lain
3) Infeksi lingkungan (Enverenmental infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada
di lingkungan rumah sakit, misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain.
2.1.3. Skema Rantai Penularan Infeksi Nosokomial
Penjamu yang Rentan
Tempat Masuk
Cara Penularan Kontak Langsung
dan Tidak Langsung Tempat Keluar
Sumber Penyebab
Dari gambar 2.1. diatas di jelaskan bahwa awal rantai penularan infeksi
nosokomial dimulai dari penyebab (di bagian tengah gambar) dimana penyebabnya seperti jamur, bakteri, virus atau parasit menuju ke sumber seperti manusia ataupun
benda. Selanjutnya kuman keluar dari sumber menuju ke tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu (baik itu kontak langsung maupun tidak langsung) melalui udara, benda ataupun vektor masuk ke tempat tertentu (pasien lain). Di
karenakan di rumah sakit banyak pasien yang rentan terhadap infeksi maka dapat tertular. Selanjutnya kuman penyakit ini keluar dari pasien tersebut dan meneruskan
rantai penularan lagi.
2.1.4. Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pengendalian infeksi nosokomial adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan dalam upaya menurunkan angka
kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit (Depkes, 1993). Center for disease control and prevention (2002) menjelaskan bahwa salah satu pengendalian infeksi
nosokomial adalah cuci tangan. Intervensi lainnya seperti pemasangan dan perawatan yang tepat dari peralatan invasif, penggunaan alat steril dan aseptik pada waktu pergantian balutan, perawatan kebersihan kulit, dekontaminasi dan sterilisasi dan
surveilans yang berkelanjutan terhadap infeksi nosokomial.
2.1.5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial
meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan tubuh dan kondisi-kondisi
tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis serta lingkungan (Parhusip, 2005).
Menurut WHO (2004) faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial adalah tindakan invasif dan pemasangan infus, ruangan terlalu penuh dan kurang staf, penyalahgunaan antibiotik, prosedur strilisasi yang tidak tepat dan ketidaktaatan
terhadap peraturan pengendalian infeksi khususnya mencuci tangan.
Weinstein (1998) menyatakan bahwa meningkatnya kejadian infeksi
nosokomial dipengaruhi oleh 3 hal utama yaitu pemakaian antibiotik dan fasilitas perawatan yang lama, beberapa staf rumah sakit gagal mengikuti program pengendalian infeksi dasar seperti mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien dan
kondisi pasien rumah sakit yang semakin immunocompromised.
2.1.6. Kondisi-kondisi yang mempermudah terjadinya Infeksi nosokomial
Menurut (Farida, 1999) Infeksi nosokomial mudah terjadi karena adanya
beberapa keadaan tertentu, yaitu sebagai berikut:
1) Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit atau pasien, sehingga jumlah dan jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak dari pada ditempat lain.
3) Rumah sakit sering kali melakukan tindakan invasif mulai dari sederhana
misalnya suntikan sampai tindakan yang lebih besar, operasi. Dalam melakukan tindakan sering kali petugas kurang memperhatikan tindakan aseptik
dan antiseptik.
4) Mikroorganisme yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotik, akibat penggunaan berbagai macam antibiotik yang sering tidak rasional.
5) Adanya kontak langsung antara pasien atau petugas dengan pasien, yang dapat menularkan kuman patogen.
6) Penggunaan alat-alat kedokteran yang terkontaminasi dengan kuman
Sumber infeksi nosokomial dapat berasal dari pasien, petugas rumah sakit, pengunjung ataupun lingkungan rumah sakit. Selain itu setiap tindakan baik
tindakan invasif maupun non invasif yang akan dilakukan pada pasien mempunyai resiko terhadap infeksi nosokomial. Menurut Farida (1999) sumber infeksi tindakan invasif (operasi) adalah :
1. Petugas :
a) Tidak/kurang memahami cara-cara penularan
b) Tidak/kurang memperhatikan kebersihan perorangan c) Tidak menguasai cara mengerjakan tindakan
d) Tidak memperhatikan/melaksanakan aseptik dan antiseptik
2. Alat :
a) Kotor b) Tidak steril
c) Rusak/karatan
d) Penyimpanan kurang baik 3. Pasien:
a) Persiapan diruang rawat kurang baik b) Higiene pasien kurang baik
c) Keadaan gizi kurang baik (malnutrisi) d) Sedang mendapat pengobatan imunosupresif 4. Lingkungan
a) Penerangan/sinar matahari kurang cukup b) Sirkulasi udarah kurang baik
c) Kebersihan kurang (banyak serangga, kotor, air tergenang)
d) Terlalu banyak peralatan diruangan e) Banyak petugas diruangan
2.1.7. Penyebab Infeksi Nosokomial
Mikroorganisme penyebab infeksi dapat berupa : bakteri, virus, fungi dan parasit, penyebab utamanya adalah bakteri dan virus, kadang-kadang jamur dan
2.1.8. Patogenesis Infeksi Nosokomial
Patogenesis adalah kemampuan mikroba menyebabkan penyakit, patogenitas lebih jauh dapat dinyatakan dalam virulensi dan daya invasinya.
Virulensi adalah pengukuran dari beratnya suatu penyakit dan dapat diketahui dengan melihat morbiditas dan derajat penularan.
Daya invasi adalah kemampuan mikroba menyerang tubuh. Jumlah
mikroba yang masuk sangat menentukan timbul atau tidaknya infeksi dan bervariasi antara satu mikroba dengan mikroba lain dan antara satu host dengan host yang
lain (Wirjoatmodjo, 1993).
2.1.9. Upaya-upaya yang Dilakukan untuk Mencegah Terjadinya Infeksi Nosokomial
Menurut depkes (1998), upaya pencegahan terhadap terjadinya infeksi nosokomial dirumah sakit yaitu untuk menghindarkan terjadinya infeksi selama pasien di rawat di rumah sakit. Adapun bentuk upaya pencegahan yang dilakukan
antara lain : a. Cuci Tangan
Cuci tangan adalah cara pencegahan infeksi yang paling penting. Cuci tangan harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lainnya. Untuk mengetahui kapan
sebaiknya perawat melakukan cuci tangan dan bagaimana cara mencuci tangan yang benar, berikut ini akan dijelaskan mengenai tujuan mencuci tangan, dan
1. Tujuan
a) Menekan pertumbuhan bakteri pada tangan
b) Menurunkan jumlah kuman yang tumbuh dibawah sarung tangan
2. Indikasi
a) Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, sebelum dan sesudah melakukan tindakan pada pasien, seperti mengganti, membalut, kontak
dengan pasien selama pemeriksaan harian atau mengerjakan pekerjaan rutin seperti membenahi tempat tidur
b) Sebelum dan sesudah membuang wadah sputum, secret ataupun darah c) Sebelum dan sesudah menangani peralatan pada pasien seperti infus set,
kateter, kantung drain urin, tindakan operatif kecil dan peralatan
pernafasan.
d) Sebelum dan sesudah ke kamar mandi e) Sebelum dan sesudah makan
f) Sebelum dan sesudah membuang ingus/membersihkan hidung g) Pada saat tangan tampak kotor
h) Sebelum dan sesudah bertugas di sarana kesehatan 3. Prosedur Standar
a) Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir
b) Taruh sabun dibagian tengah tangan yang telah basah c) Buat busa secukupnya
e) Bilas kembali dengan air sampai bersih
f) Keringkan tangan dengan handuk atau kertas bersih atau tisu atau handuk katun sekali pakai
g) Matikan keran dengan kertas atau tissue
h) Pada cuci tangan aseptic diikuti larangan menyentuh permukaan tidak steril dan penggunaan sarung tangan dan waktu untuk mencuci tangan
antara 5-10 menit b. Dekontaminasi
Menurut depkes (1998) dekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya. Agar seorang perawat dapat melakukan proses dekontaminasi dengan benar, maka
perawat tersebut haruslah mengetahui tujuan dari dekontaminasi, indikasi dari proses dekontaminasi, dan prosedur standar dari dekontaminasi.
1. Tujuan Dekontaminasi
a) Mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau suatu permukaan benda
b) Mematikan mikroorganisme, misalnya HIV, HBV, dan kotoran lain yang tidak tampak
c) Mempersiapkan permukaan alat untuk kontak langsung dengan
2. Indikasi
a) Langkah pertama bagi alat kesehatan bekas pakai sebelum dicuci dan proses lebih lanjut
b) Langkah pertama pada penanganan tumpahan darah/cairan tubuh
c) Langkah pertama pada dekontaminasi meja/permukaan lain yang mungkin tercemar darah/cairan tubuh lain
d) Langkah pertama pada sarana kesehatan yang tidak memiliki insenerator yaitu sebelum alat tersebut dikubur dengan cara kapurisasi
3. Prosedur Standar a) Cuci tangan
b) Pakai sarung tangan, masker, kaca mata/pelindung wajah
c) Rendam alat kesehatan segera setelah dipakai dalam larutan desinfektan selama 10 menit
d) Segera bilas dengan air sampai bersih
e) Lanjutkan dengan pembersihan
f) Buka sarung tangan, masukkan dalam wadah sementara menunggu
dekontaminasi sarung tangan dan proses selanjutnya g) Cuci tangan
2.2. Pengetahuan
Menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan merupakan hasil tahu, yang terjadi
diperoleh dari pendidikan formal atau melalui mendengar, melihat, merasa baik
secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan (Sumantri, 1984), mengatakan pada hakekatnya pengetahuan adalah segenap apa yang diketahi manusia tentang
objek tertentu, termasuk ilmu pengetahuan yang ada pada manusia bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dihadapinya sehari-hari untuk memepermudah manusia itu sendiri. Pengetahuan di ibaratkan merupakan suatu alat yang dapat
dipergunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Menurut Purwanto (1990), pengetahuan merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan individu berbuat atau bertindak. Dengan demikian perbuatan atau tingkah laku sesorang dapat terjadi menurut apa yang diketahui dan diyakini sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda,
pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan peranan penting dalam pekerjaannya. Hal ini berarti pengetahuan berpengaruh dalam kehidupan seseorang karena pengetahuan akan melahirkan sikap yanga akan mengarahkan seeorang untuk
berbuat sesuatu.
Parkinson (1982) mengatakan meningkatkan kesadaran, meningkatkan
pengetahuan, merubah sikap, mengubah perilaku dan menurunkan resiko merupakan urutan kompleksitas kebutuhan dan tujuan mulai dari sederhana hingga yang paling komplek dan tidak selalu berhubungan sebab akibat antara yang satu dengan yang
lain dan bukan merupakan urutan kejadian.
Pudjowati (1998) mengatakan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara
karena berasal dari pedidikan non formal maupun informal dapat meningkatkan
pengetahuan serta mempengaruhi perilaku. Ini bisa dimaklumi mengingat bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang perlu, tapi bukan merupakan faktor yang cukup
kuat untuk mengubah perilaku, bahkan tidak jarang orang yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang sesuatu yang berkaitan dengan keterampilan cendrung untuk bertindak ceroboh. Berdasarkan kenyataan diatas sebetulnya dengan
pengetahuan yang cukup tinggi merupakan modal utama untuk merubah perilaku, tetapi tentunya perlu diimbangi dengan niat yang kuat sehingga seseorang bertindak
sesuai dengan pengetahuannya.
2.3. Sikap
Gibson (2002) mengatakan bahwa sikap merupakan faktor penentu perilaku. Sikap menggambarkan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap obyek. Sikap
diperoleh dari pengalamn sendiri atau dari pengalaman orang lain yang paling dekat. Notoatmojo (2003) menyatakan sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
2.4. Fasilitas Keperawatan
Fasilitas keperawatan adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat
untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, seperti peralatan untuk mencuci tangan, melaksanakan dekontaminasi alat-alat kesehatan dan untuk mengelola limbah padat yang ada di ruang rawat inap. Musadad (1992) menyatakan bahwa hanya
42,9% rumah sakit yang menyediakan sarana untuk cuci tangan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan. Menurut Depkes (1998)
agar perawat pelaksana dapat bekerja secara maksimal pimpinan harus bertanggung jawab atas penyediaan, pemeliharaan sarana klinis dan non klinis yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kewaspadaan umum, misalnya menyediakan sarana untuk cuci
tangan ditempat yang mudah dijangkau.
Menurut Green (1996) sarana dan fasilitas merupakan faktor predisposisi yang
dapat bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu perilaku kepatuhan seseorang sangat dipengaruhi oleh sarana dan fasilitas yang tersedia, bagaimana cara
Stimulus Rangsangan
Proses Stimulus
Reaksi
Tingkah Laku (terbuka)
Sikap (tertutup)
penggunaanya, posisi atau letak dari sarana tersebut dan bagaimana cara
pemeliharaan sarana tersebut.
2.5. Pengawasan
Kontrol atau pengawasan adalah fungsi di dalam manajemen funsional yang
harus dilaksanakan oleh setiap pimpinan atau manajer semua unit/satuan kerja terhadap pelaksanaan pekerjaan dilingkungannya. Oleh karena itu berarti juga setiap pimpinan/manajer memiliki fungsi yang melekat didalam jabatannya untuk
melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok masing-masing, sehingga disebut pengawasan melekat.
Sesuai dengan Bird yang dikutip Munir (1998), terjadinya infeksi disebabkan karena adanya kekurangan dalam system pengawasan manajeman. Kurangnya pengawasan manajemen (Lack of control Managemen) dapat terbentuk kurang
program, kurangnya standar dari program atau kegagalan memenuhi standar. Pengawasan salah satu unsur manajer profesional yang harus dilaksanakan oleh
semua anggota manajemen, baik ia seorang pengawas atau pimpinan utama suatu organisasi.
Supervisi bertujuan untuk mengorientasi, melatih kerja, memimpin, memberi
arahan, dan mengembangkan kemampuan perawat pelaksana. Sedangkan supervisi berfungsi untuk mengatur dan mengorganisir proses atau mekanisme pelaksanaan dan
(Depkes, 1998). Menurut Kron (1987) kepala ruangan harus mengajarkan,
membimbing, mengobservasi, dan mengevaluasi setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat pelaksana selalu melakukan kewaspadaan umum sesuai dengan SOP yang
telah ditetapkan.
Musadad (1992) menyatakan bahwa supervisi dari pimpinan sangan mempengaruhi kesadaran perawat pelaksana untuk melakukan cuci tangan.
Notoatmodjo (1989) mengemukan bahwa perubahan perilaku pada orang dewasa, pada umumnya lebih sulit dari pada perubahan orang yang belum dewasa. Jadi, ketika
seseorang terus diberi rangsangan dan informasi, maka perilaku kepatuhan dalam pencegahan infeksi nosokomial akan sulit dilaksanakan, terutama pada perawat pelaksana yang sudah berumur tua dan sudah lama bekerja.
2.6. Standar Operasional Prosedur (SOP)
Standar operasional prosedur (SOP) infeksi nosokomial adalah prosedur tetap yang disusun oleh komite pengendalian infeksi nosokomial yang harus dilaksanakan
oleh setiap petugas rumah sakit. SOP ini dibutuhkan untuk menyatukan persepsi petugas rumah sakit mengenai tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Pemahaman yang benar mengenai SOP infeksi nosokomial, akan berkaitan
langsung terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial. Menurut Notoatmodjo (2003) seseorang baru bisa berperilaku apabila ditunjang oleh pengetahuan, dimana
Menurut Green (1996) pengetahuan merupakan faktor predisposisi dalam
perilaku positif, karena dengan pengetahuan seseorang akan mulai mengenal dan mencoba atau melakukan suatu tindakan. Cara lain untuk menambah pengetahuan
adalah dengan jalan diskusi antar perawat pelaksana, dengan melaksanakan komunikasi dua arah, diskusi partisipasi merupakan salah satu cara yang paling efektif dalam memberikan informasi dan pesan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Dengan adanya SOP infeksi nosokomial diharapkan dapat menurunkan angka terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit.
2.7. Perawat
Perawat adalah orang yang memberikan paling banyak tindakan. Jika pasien memerlukan terapi intravena, biasanya perawat memasang jalur intravena dan memberikan cairan dan obat yang ditentukan. Jika pasien memerlukan injeksi maka
perawat yang memberikannya. Perawat mengganti balutan pasien dan memantau penyembuhan lukanya. Perawat memberikan medikasi untuk nyeri. Perawat
memantau kemajuan pasien untuk pemulihan tanpa komplikasi, karena perawat lebih sering kontak dengan pasien daripada staf lain, mereka sering menemukan masalah sebelum orang lain menemukannya (Monica, 1998).
Seorang perawat yaitu seorang yang berperan dalam perawatan atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injuri dan proses
berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengaan kewenangannya (Depkes, 2002)
Perawat merawat pasien secara kontinu, 24 jam sehari, membantu pasien
melakukan apa yang akan mereka lakukan untuk diri mereka sendiri jika mereka mampu. Perawat memperhatikan pasien, menjamin mereka bernafas dengan baik, mendapat cairan dan cakupan nutrisi, membantu istirahat dan tidur, menyakinkan
bahwa mereka nyaman dan dukungan pada pasien dan keluarganya (Monica, 1998)
2.7.1. Tujuan dan Manfaat Proses Keperawatan
Tujuan dari penerapan proses keperawatan pada tantanan pelayanan kesehatan
adalah :
1. Untuk mempraktekkan suatu metoda pemecahan masalah dalam praktek keperawatan.
2. Sebagai standar untuk praktek keperawatan
3. Untuk memperoleh suatu metode yang baku, sistematis, rasional, serta ilmiah
dalam memberikan asuhan keperawatan.
4. Untuk memperoleh suatu metoda dalam memberikan asuhan keperawatan yang dapat digunakan dalam segala situasi sepanjang siklus kehidupan.
5. Untuk memperoleh hasil asuhan keperawatan yang bermutu.
Penerapan proses keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan klien
a. Meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
b. Pengembangan ketrampilan intelektual dan teknis bagi tenaga keperawatan c. Meningkatkan citra profesi keperawatan
d. Meningkatkan peran dan fungsi keperawatan dalam pengelolaan asuhan keperawatan
e. Pengakuan otonomi keperawatan
f. Peningkatan rasa solidaritas
g. Meningkatkan kepuasan kerja tenaga keperawatan
h. Untuk mengembangkan ilmu keperawatan
2.7.2. Standar praktik keperawatan
Dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada klien, digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktik keperawatan telah dijabarkan oleh PPNI (2000) yang mengacu dalam tahapan proses keperawatanm yang meliputi :
Pengkajian, diagnosis keperawatan, mperencanaan, implementasi dan evaluasi a. Standar I ; Pengkajian
Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sitematis,
1) Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang.
2) Sumber data adalah klien, mkeluarga atau orang lain yang terkait, tim
kesehatan, rekam medis dan catatan lain.
3) Data yang dikumpulkan difokuskan untuk mengevaluasi : status kesehatan masa lalu, saat ini, bio-psiko-sosial dan spiritual, respon, harapan dan resiko-
resiko tinggi masalah.
4) Kelengkapan data dasar mengandung unsur lengkap, akurat, relevan dan baru.
b. Standar II : Diagnosis keperawatan
Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosa keperawatan. Kriteria proses meliputi :
1) Proses diagnosa terdiri atas analisa, interpretasi data, identifikasi masalah klien, dan perumusan diagnosa keperawatan
2) Diagnosis keperawatan terdiri dari : masalah, penyebab dan tanda atau
gejalaatau terdiri dari masalah dan penyebab
3) Bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lainnya untuk memvalidasi
diagnosis keperawatan
4) Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa berdasarkan data terbaru c. Standar III : Perencanaan Keperawatan
1) Perencanaan terdiri atas penetapan prioritas masalah, tujuan dan rencana
tindakan keperawatan
2) Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan
3) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien 4) Mendokumentasikan rencana keperawatan.
d. Standar IV : Implementasi keperawatan
Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan. Kriteria proses meliputi :
1) Bekerja sama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan 2) Kolaborasi dengan tim kesehatanh lain
3) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah klien
4) Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai
konsep,ketrampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakan
5) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respon klien
e. Standar V : Evaluasi Keperawatan
Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan.
Proses ini meliputi :
1) Menyusun perencanaan evaluasi hasil dan intervensi secara komprehensif,
2) Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukur perkembangan
kearah pencapaian tujuan
3) Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat.
4) Bekerjasama dengan klien, keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan
5) Mendokumentasikan hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan
2.8. Rumah Sakit
Rumah sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara merata dengan mengutamakan upaya penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan penyakit dalam suatu tatanan rujukan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga dan penelitian (Wiyono, 1997)
Rumah sakit yang ideal adalah tempat orang sakit mencari dan menerima perawatan, juga menjadi tempat pendidikan klinis bagi tenaga kesehatan. Rumah
sakit juga berperan dalam studi penyelidikan dan penelitian dalam ilmu pengetahuan kedokteran maupun penelitian ilmu-ilmu dasar (Wolfer, 2001).
Dalam menjalankan fungsinya melayani masyarakat, rumah sakit memberikan
pelayanan dalam bentuk pelayanan gawat darurat, pelayanan rawat jalan dan pelayanan rawat inap. Pelayanan gawat darurat adalah bagian dari pelayanan
menyelamatkan kehidupannya. Di setiap rumah sakit lazim ditemukan unit gawat
darurat (Hospital based emergency unit) (Azwar, 1996).
Menurut Azwar 1996, Pelayanan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran
yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap. Pelayanan rawat jalan oleh klinik rumah sakit secara umum dibedakan :
1. Pelayanan darurat, untuk menangani pasien yang membutuhkan pertolongan
segera dan mendadak.
2. Perawatan rawat jalan paripurna, memberikan pelayanan rawat jalan paripurna
sesuai kebutuhan pasien.
3. Pelayanan rujukan, melayani pasien yang dirujuk oleh sarana kesehatan lain.
4. Pelayanan bedah jalan, memberikan pelayanan bedah yang selesai dan pasien
pulang pada hari yang sama.
Pelayanan rawat inap adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik dan atau kesehatan lainnya
dengan menempati tempat tidur. Batasan tempat tidur adalah tempat tidur yang tercatat dan tersedia di ruang rawat inap (Wiyono, 1997).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa merupakan Rujukan atas mata rantai sistim kesehatan di Pemerintah Kota Langsa. Berdasarkan SK Menkes Republik Indonesia No. 51/Men.Kes/SK/II/1979 tanggal 22 Februari 1979 diberikan
status menjadi Rumah Sakit dalam klasifikasi type C, kemudian pada tahun 1997 ditingkatkan klasifikasinya menjadi Rumah Sakit type B Non pendidikan berdasarkan
tanggal 20 Mei 1997. Kemudian berdasarkan Kepres No. 40 tahun 2001 berubah
status menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa dan telah juga ditetapkan dengan Qanun Pemerintah Kota Langsa No. 5 Tahun 2005, dan Qanun Pemerintah
Kota Langsa No.10 Tahun 2009 tentang rincian pokok dan fungsi pemangku jabatan struktural dilingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa.
Berdasarkan Qanun Pemerintah Kota Langsa No.10 Tahun 2009 adapun tugas
pokok dan fungsi pemangku Jabatan Struktural dilingkungan RSUD Kota Langsa adalah :
1. Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilakukan secara serasi yang terpadu dengan tidak meninggalkan upaya meningkatkan dan
pencegahan serta melaksanakan pusat rujukan, melaksanakan pendidkan tenaga kesehatan, penelitian, pengembangan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan
2. Melakasanakan pelayanan kesehatan yang bermutu berdasarkan standar pelayanan Rumah Sakit dengan menerapkan prinsip profesional dan Islami.
(Profil Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa, 2009).
2.9. Landasan Teori
Bloom (1956) membedakan perilaku menjadi 3 kelompok yaitu Kognitif,
(Practice). Bentuk operasional perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3 macam
yaitu :
a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi atau
rangsangan dari luar
b. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar subjek
c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah nyata (konkrit) berupa perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar.
Manusia berperilaku tertentu karena ada hal-hal yang mendorong serta mengarahkan untuk memilih bentuk-bentuk perilaku seperti yang sudah diperlihatkannya. Faktor pendorong ini lazimnya muncul dari sistem kebutuhan yang
didapat dalam dirinya, sedangkan faktor pengarahnya adalah sikap.
Green (1996) menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku dan
faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu : 1. Faktor Predisposing yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
2. Faktor Enabling yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.
3. Faktor Reinforcing yang terwujud dalam peraturan-peraturan, kebijakan, pengawasan, dan perilaku petugas yang merupakan kelompok referensi dari
Gambar 2.3. Kerangka Teori Green
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa variabel yang termasuk dalam predisposing antara lain pengetahuan, sikap, norma-norma, kepercayaan, tradisi.
Untuk variabel enabling antara lain ketersediaan fasilitas, sarana dan akses dan untuk variabel reinforcing antara lain meliputi pelatihan, sikap dan perilaku petugas/pejabat.
peraturan-peraturan, kebijakan dan pengawasan. Predisposing
• Pengetahuan
• Sikap
• Norma-norma
• Kepercayaan
• Tradisi
Enabling
• Ketersediaan fasilitas dan sarana
• Akses
• Lingkungan fisik
Reinforcing
• Pelatihan
• Sikap dan perilaku
petugas/pejabat
• Peraturan-peraturan
• Kebijakan
• Pengawasan
2.10. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian maka dapat disusun kerangka konsep sebagai
berikut :
Berdasarkan Gambar 2.3. di atas, diketahui variabel independen dalam
penelitian ini adalah pengetahuan, sikap, ketersedian fasilitas perawatan dan pengawasan, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah pencegahan
infeksi nosokomial di ruang rawat bedah.
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian
Faktor Internal
• Pengetahuan
• Sikap
Faktor Eksternal
• Fasilitas perawatan
• Pengawasan
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian survey dengan pendekatan
explanatory research untuk menganalisis pengaruh faktor internal (pengetahuan dan
sikap) dan eksternal (fasilitas keperawatan, dan pengawasan) perawat terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di ruang rawat bedah di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa tahun 2011.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota
Langsa, dengan pertimbangan berdasarkan hasil pengamatan masih ditemukan kondisi-kondisi yang berisiko terjadinya infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa.
Penelitian ini membutuhkan waktu selama 6 (enam) bulan terhitung Februari sampai Agustus 2011.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang ada di ruang bedah rawat inap baik itu RBA maupun RBB di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data meliputi :
1. Data primer yaitu data diperoleh melalui kuesioner dan pengamatan terhadap
responden
2. Data Sekunder adalah data-data yang mendukung dalam penelitian ini seperti profil rumah sakit dan laporan tahunan
3.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauhmana suatu ukuran atau nilai yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu alat ukur dengan cara
mengukur korelasi antara variabel dengan skor total variabel pada analisis reliability dengan melihat nilai correlation corrected item, dengan ketentuan jika nilai r hitung > r tabel, maka dinyatakan valid dan sebaliknya.
Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan
metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali pengukuran, dengan ketentuan, jika nilai r alpha > r tabel, maka dinyatakan reliabel (Sugiyono, 2004). Nilai r Tabel dalam penelitian ini menggunakan critical value of
the product moment pada taraf signifikan 95%, maka untuk sampel 30 orang yang
diuji nilai r-Tabelnya adalah sebesar 0,361. Uji ini dilakukan pada perawat yang
3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Dependen
Variabel dependen yaitu pencegahan infeksi nosokomial adalah suatu upaya
yang dilakukan atau bentuk tindakan perawat yang dilakukan dalam hal pencegahan infeksi nosokomial
3.5.2. Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini meliputi : pengetahuan, sikap, ketersediaan fasilitas keperawatan dan pengawasan
a. Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui responden tentang infeksi nosokomial, dan upaya pencegahannya.
b. Sikap adalah respons atau tanggapan responden tentang infeksi nosokomial,
dan upaya pencegahannya.
c. Fasilitas Keperawatan adalah ketersediaan/kelengkapan fasilitas keperawatan yang disediakan oleh pihak rumah sakit sepeti sarung tangan, wastafel, sabun
mandi.
d. Pengawasan adalah kegiatan kepala ruangan dalam hal memantau perawat
setelah melakukan tindakan seperti pemeriksaan kepada pasien, operasi.
3.6. Metode Pengukuran
a. Pengukuran Variabel Dependen
di tandai maka diberi skor 1 dan jika tidak di tandai maka diberi skor 0. Selanjutnya
dikategorikan menjadi :
1) Dilaksanakan, jika responden memperoleh skor ≥ median skor 9,5
2) Tidak Dilaksanakan, jika responden memperoleh skor < median skor 9,5
b. Pengukuran Variabel Independen
1. Variabel Pengetahuan
Pengukuran variabel pengetahuan didasarkan dari 14 pertanyaan yang diajukan dengan alternatif jawaban benar dan salah, dimana untuk pertanyaan 1, 3, 4, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 13 dan 14 setiap responden yang menjawab benar diberikan skor 1 dan salah diberikan skor 0. Sebaliknya untuk pertanyaan 2, 5, 12 dan 15 setiap responden yang menjawab benar diberi skor 0 dan salah diberi skor 1. Total skor berjumlah 15.
Selanjutnya dikategorikan menjadi :
1. Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median skor 7 2. Tidak Baik, jika responden memperoleh skor < median skor 7
2. Variabel Sikap
Pengukuran variabel sikap didasarkan dari 7 pertanyaan yang diajukan dengan
alternatif jawaban :
a. Setuju diberi skor 2
b. Kurang Setuju diberi skor 1
Selanjutnya dikategorikan menjadi :
1. Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median skor 7 2. Tidak Baik, jika responden memperoleh skor < median skor 7
3. Variabel Fasilitas Keperawatan
Pengukuran variabel fasilitas keperawatan didasarkan dari 5 pertanyaan yang diajukan dengan alternatif jawaban:
a. Baik diberi skor 1 b. Tidak baik diberi skor 0
Selanjutnya dikategorikan menjadi :
1. Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median skor 2,5 2. Tidak Baik, jika responden memperoleh skor < median skor 2,5
4. Variabel Pengawasan
Pengukuran variabel pengawasan didasarkan dari 4 pertanyaan yang diajukan dengan alternatif jawaban:
a. Ya diberi skor 2
b. Kadang-kadang diberi skor 1
c. Tidak diberi skor 0
Selanjutnya dikategorikan menjadi :
1. Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median skor 4
3.7. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mencakup :
1. Analisis univariat, yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal
variabel-variabel independen dan dependen dalam bentuk distribusi frekuensi.
2. Analisis bivariat, yaitu untuk melihat hubungan variabel independen dengan dependen menggunakan uji chi-square pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05).
3. Analisis multivariat, yaitu analisis lanjutan untuk melihat pengaruh antara variabel independen dengan dependen menggunakan uji regresi logistik pada
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Adapun gambaran umum dalam penelitian ini meliputi : Sejarah Perkembangan
Rumah Sakit Umum Kota Langsa, Letak Geografis, Tugas Pokok dan Fungsi RSUD Langsa dan Visi Dan Misi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa, ketenagaan dan pemanfaatan pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa.
4.1.1. Sejarah Perkembangan Rumah Sakit Umum Kota Langsa
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa merupakan Rujukan atas mata rantai sistim kesehatan di Pemerintah Kota Langsa. Berdasarkan SK Menkes
Republik Indonesia No. 51/Men.Kes/SK/II/1979 tanggal 22 Februari 1979 diberikan status menjadi Rumah Sakit dalam klasifikasi type C, kemudian pada tahun 1997 ditingkatkan klasifikasinya menjadi Rumah Sakit type B Non pendidikan berdasarkan
Surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 479/Men.Kes/SKV/1997 tanggal 20 Mei 1997. Kemudian berdasarkan Kepres No. 40 tahun 2001 berubah
status menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa dan telah juga ditetapkan dengan Qanun Pemerintah Kota Langsa No. 5 Tahun 2005, dan Qanun Pemerintah Kota Langsa No.10 Tahun 2009 tentang rincian pokok dan fungsi pemangku jabatan
4.1.2. Letak Geografis
Kota Langsa merupakan bagian dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak pada 04O 24’35,68” – 04O 33’27,03” Lintang Utara dan 97O 53’14,59” – 98O 04’42,16” Bujur timur. Luas Wilayah keseluruhan 262,41 Km2
Adapun lokasi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa yang terletak di
Kecamatan Kota Langsa, dengan status pemilikan Pemerintahan Kota Langsa, yang berdasarkan wilayah sebagai berikut :
, Panjang garis Pantai 16 Km dengan Batasan Wilayah Kota Langsa.
• Sebelah Utara berbatasan dengan selat malaka
• Sebelah Barat berbatasan dengan Birem Bayeun Kab.Aceh Timur
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Birem Bayeun Kab.Aceh Timur
• Sebelah Timur Berbataan dengan Kec.Manyak Payed Kab.Aceh Tamiang
4.1.3. Tugas Pokok dan Fungsi RSUD Langsa
Berdasarkan Qanun Pemerintah Kota Langsa No.10 Tahun 2009 tugas pokok
dan fungsi pemangku Jabatan Structural dilingkungan RSUD Kota Langsa adalah : 3. Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan
mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilakukan secara serasi yang terpadu dengan tidak meninggalkan upaya meningkatkan dan pencegahan serta melaksanakan pusat rujukan, melaksanakan pendidkan
4. Melakasanakan pelayanan kesehatan yang bermutu berdasarkan standar
pelayanan Rumah Sakit dengan menerapkan prinsip profesional dan islami.
4.1.4. Visi dan Misi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa
a) Visi
Menjadi Rumah Sakit Rujukan Unggulan Dalam Semua Bidang Pelayanan Kesehatan 2008-2013.
b) Misi
1.
Memberikan pelayanan yang bermutu, cepat, tepat dan bernuansa islami.2.
Mengembangkan produk unggulan pada bidang pelayanan traumatologi,kebidanan, anak dan penyakit dalam
3. Meningkatkan kemampuan operasional rumah sakit sebagai pusat pelayanan kesehatan terpadu di kota langsa
4.1.5. Ketenagaan di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa
Ketenagaan yang ada dalam tabel adalah seluruh petugas yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa
Tabel 4.1. Jumlah Seluruh Ketenagaan di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa
No Kualifikasi Purna
Waktu
Paruh
Waktu Jumlah
1. Dokter Umum 18 - 18
2. Dokter Gigi 5 - 5
3. Dokter Ahli Pernyakit Dalam 2 1 1
4. Dokter Ahli Kebidanan & Kandungan 3 - 3
5. Dokter Ahli Anak 3 - 3
Tabel 4.1 (lanjutan)
7. Dokter Penyakit Mata 2 - 2
8. Dokter Ahli THT 2 - 2
9. Dokter Ahli Jiwa - 1 1
10. Dokter Ahli Kardiologi/ Jantung 1 - 1
11. Dokter Ahli Paru 2 - -
12. Dokter Ahli Radiologi 1 - 1
13. Dokter Ahli Patologi Klinik - 1 1
14. Dr. Kulit Kelamin 2 - 2
15. Apoteker - - 4
16. Tenaga Keperawatan - - 299
17. Tenaga Non Keperawatan - - 89
18. Tenaga Non Kesehatan - - 109
19. Non PNS/ Tenaga Honorer - - 520
Jumlah Dokter 43 5 1065
4.1.6. Pemanfaatan Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Langsa
Pemanfaatan pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Langsa antara lain :
Tabel 4.2. Pemanfaatan Pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
BOR. Rata-rata 74,7 % 71 % 65,5 %
BOR Kelas III Maskin 21,3 % 67,1 % 71,5 %
LOS 2,6 hari 3,4 hari 12,1 hari
% Mati Kurang dari 48 Jam 24,8 % 29,78 % 30,4 %
Rata-Rata Rawat Jalan Sehari 246 Orang 222 Orang 220 Orang
Rata-rata Rawat Inap Setahun 35, 49 % 37,29 % 23,7 %
Sumber : Profil Dinas Kesehatan Tahun 2010
4.2 Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan dan lama kerja.