PENDAHULUAN
A. Latar Belakanq
Kambing Kacang telah dianggap kambing asli Indo- nesia, bertubuh kecil dan konpak, dengan telinga tegak dan pendek serta bentuk tanduk yang agak melengkung, Warnanya beragam (coklat, hitan, putih atau konbinasi dari dua atau tiga warna tersebut).
Secara visual, kambing Kacang yang terdapat di scbagian Sunatera terutana Aceh, masih nurni terhadap pengaruh darah Etawah. Hal ini dapat dibuktikan de- ngan rnemperhatikan telinga dan profilnya. Kanbing Ka- cang yang te.lah nlengandung darah Etawah mengan-; nyai telinga yang agak menggantung serta profil yang agak melengkung.
\
peningkatan produktivitasnya. Ada beberapa cara un- tuk meningkatkan produktivitas kambing Kacang yaitu perbaikan mutu makanan ternak, perbaikan tatalaksa- na dan peningkatan mutu genetiknya. Dalam penelitian ini perhatian ditujukan pada peningkatan mutu gene- tik, sedang faktor lainnya dipertahankan tetap seper- ti kondisi tradisional.
Dalam pemuliaan dikenal beberapa metode untuk meningkatkan mutu genetik ternak yaitu biak-silang biak-tatar, dan mengganti semua ternak asLi dengan
ternak import, suatu cara yang akan menghadapi masa- lah daya adaptasi terhadap 1-ingkungan tradisional. Dapat pula dengan cara mengadakan program seleksi di dalam kelompok ternak as11 sendiri. Dalam ha1 ter- akhir ini, tidak dijumpai masalah adaptasi karene ter- nak telah sesuai dengan keadaan lingkungan. Diharap- k a n bahwa program seleksi, akan .mempercepat pertum- buhan kambing Kacang atau paling tidak dapat diper- oleh bobot badan yang lebih tinggi pada umur terten- tu, sehingga peternak dapat meraih nilai tambah yang lebih baik.
8. Tujuan Penelitian
cang yang berasal dari tetua yang dikawinkan seca-
<
ra acak tanpa rnernperlihatkan umur serta bobot te- tua.
2. Pola dan kecepatan pertumbuhan anak kambing Kacang yang berasal dari tetua yang telah terseleksi dan dikawinkan tidak secara acak (terpilih).
3. Nilai korelasi genetik dan fenotipik dari pasangan bobot tertentu.
TINJAUAN PUSTAKA
Asal-Usul Kanbing Kacanq
Kambing tergolong genus Capra. Ellernan dan Morison- Scott (1951) yang dikutip oleh Devendra dan Burn (1983) mem- bagi genus ini atas lima spesies yaitu : Capra hircus (ter- masuk Bezoar), Capra ibex, Capra caucasica, Capra pyrenica
(ibex Spanyol) dan Capra falconeri.
Menurut Herre dan Rohrs (1973) yang dikutip oleh De- vendra dan Nozawa (1976), kambing liar (Capra aegagrus)yang hidup dan menyesuaikan diri terutama di lingkungan pegu- nungan dan lingkungan yang agak kering (semiiarid) dapat dibagi atas tiga spesiGs yaitu : Bezoar atau Pasang (C,a. aeagrus) yang hidup di Asia Barat, Afrika Tinur dan Eropah, Markhol (C.a. falconeri) hidup liar di Afganistan dan Kash- nir-Karakorun. Tiap spesies terdiri dari beberapa sub-spe- sies.
Penjinakan kambing yang pada nulanya bertujuan hanya untuk produksi daging, sekarang ini ada beberapa bangsa kam- bing yang tclah ~~iemberikan manfaat yang lebih luas yaitu be- rupa susu, kulit, bulu dan rabuk (Horst, 1976).
Pada umumnya kambing piara berasal dari Bezoar dengan ciri warna bulu coklat dan menpunyai garis punggung hitam
Hilzheimer (1933) menduga bahwa telah terjadi infil- trasi darah Markhol pada kambing piara di Iran, Afganistan, India Utara, Asia Tengah dan Mongolia berdasarkan kenyata- an bahwa kambing piara dan Markhol dapat saling membuahi. Dugaan ini diperkuat karena terdapat karakteristik tanduk Markhol pada kambing piara di Asia Tengah sampai Mongolia. Devendra dan Nozawa (1976) mengemukakan bahwa kambing piara dari Asia Barat menyebar ke Timur melalui dua jalan utama. Pertana, dari Persia dan Afganistan melalui Turkes- tan k e Mongolia atau Cina Utara yang dinamakan "lintasan sutera" terjadi pada sekitar 2000 sM. Kedua, ke arah anal: benua India melalui Khyber-Pass. Jalan ini telah sangat tua, yaitu sejak orang-orang Indo-Aryan mengetahui pada se- kitar 2000 sM. Dengan demikian Mongolia, Cina dan India menerima kambing piara dari Barat dengan perantaraan para pengembara atau semi-pengernbara. Gambar 1 menunjukkan ja- lan migrasi kambing asli Asia dari wilayah penjinakan. Ja- lan ini diduya atas konfirmasi dari peninggalan-peninggal- an lama dan hasil penelitian (Devendra dan Nozawa, 1976).
1
kenal dengan sebutan kambing Kacang tersebar di pulau-pu- lau Indonesia terutama Jawa dan Sumatera.
Sumber : Devendra dan Nozawa (1976)
Gambar 1. Penyebaran Kambing Piara ke Asia Ti- mur dan Tenggara.
garis punggung berwarna hitam (ciri dari Bezoar) dan warna bulu hitam merupakan jumlah terbanyak dari kambing asli di Malaysia Barat dan Tinur (Shotake
- -
et al,! 1976). Hal yang sama juga terdapat di Philipina (Nozawa-
et-
al,, 1978), di Thailand (Nozawa, 1974) dan Taiwan (Nozawa dan Wanatabe, 1969). Penelitian yang dilakukan oleh Katsumate et al. (1981) di Sumatera Barat! Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kambing yang berwarna coklat dan hitam merupakan jumlah terbanyak,Devendra (1966) menyatakan bahwa kambing tipe kecil yang disebut kambing Kacang merupakan kambing pendatang pertama di Malaysia dari India dan akhirnya menjadi kambing asli Malaysia. Selanjutnya dinyatakan bahwa kambing yang ti-
>
penya sama telah menyebar di bagian lain dari Asia ~ e n g g a - ra sampai Taiwan dan kepulauan Jepang bagian Sel.atar~. Imi- grasi orang-orang Pakistan k e Thailand menyertakan kambing tipe dwiguna sehingga menyebabkan keragaman genetik yang tinggi pada kambing asli Thailand, namun tak dapat dike- sampingkan kemungkinan telah terjadi persilangan dengan bangsa-bangsa kambing Eropah seperti Saanen atau bangsa kambing lainnya.
Klasifikasi Bangsa
Fungsi utama kambing tipe kecil adalah penghasil daging, ti- pe sedang untuk daging dan susu, sedangkan tipe besar ditu- jukan untuk penghasil susu, Tipe kerdil (dwarf) sama seka- li tidak ideal sebagai penghasil daging karena pertumbuhan- nya sangat lanbat.
Tabel 1. Klasifikasi Bangsa Kambing (dewasa) Ber- dasarkan Tinggi Pundak Ban Bobot Hidup
Tipe
.
Tinggi Pundak (cm) Bobot Pundak (kg)Besar 6 5
Sedang-Besar 5 0
-
6 5 Kecil (dan ~ e r d i l ) 5 0Sumber : De Haas dan Horst (1979).
Devendra dan Burn (1983) menyatakan bahwa faktor ling- kungan sangat berpengaruh terhadap ukuran-ukuran serta bo- bot badan kambing, Dengan demikian suatu bangsa kambing yang tergolong tipe besar pada suatu lokasi akan tergeser k e tipe kerdil (dwarf) pada lokasi lainnya.
Klasifikasi dapat pula dilakukan dengan cara lain. Williamson dan Payne (1965) nengklasifikasikan kambing atas tiga tipe berdasarkan fungsinya yaitu tipe daging, perah dan wol. Dua tipe pertama sangat menyebar di seluruh dunia dan mempunyai konformasi tubuh berbeda-beda sesuai dengan keadaan lingkungan dan bangsanya.
Beberapa Ciri Kambing Kacang
Rumich (1967) mengernukakan bahwa kambing Kacang berba- dan relatif kecil dengan tinggi pundak dewasa rata-rata 50
tinggi sampai pinggul, Pinghul berkembang baik dan memben- tuk semacam lengkungan. Ekor kelihatan kecil dan tegang, Ambing kecil der~gan konformasi baik dengan puting yang be- sar. Bulu pendek serta kasar pada yang betina, tetapi pada yang jantan lebih panjang. Warna bulu tidak seragam yaitu coklat, hitam, putih atau kombinasi dari dua atau tiga war- na tersebut, ~ a m b i n g Kacang tahan hidup pada keadaan kon- disi lingkungan yang sangat beragam dan sanggup beradaptasi pada metode manajemen yang berubah-ubah dan sangat beragam. Umur ketika mencapai pubertas sekitar enam bulan pada yang jantan. Umur beranak pertama dicapai ketika umur 12-13 bulan. Biasanya kambing Kacang beranak kembar dua dimana kembar tiga jarang terjadi serta kembar empat pernah terja- di. Penggunaan kambing Kacang ditujukan terutama untuk pro- duksi $aging dan kulitnya. Karnbing Kacang sangat menyebar di Indonesia dan terdapat hampir di semua pulau.
Devendra dan Burn (1983) menyatakan bahwa profil kam- bing Kacang berbentuk lurus.
Metode Seleksi
tumbuhan, bobot lahir, produksi susu dan bobot sapih (Fal- coner, 1972). Sifat-sifat itu merupakan sifat yang memberi manfaat secara ekonomi disaniping harus.mempunyai daya me- waris yang tinggi yang dapat ditentukan dari nilai herita- bilitasnya.
Falconer (1972) mengemukakan bahwa ada tiga metode se- leksi yang sederhana, yaitu :
1. Seleksi individu (individual selection) adalah seleksi ekor per ternak sesuai dengan nilai fenotip yang dimili- kinya. Metode ini adalah yang paling sederhana daripa- da umumnya dan nenghasilkan respon seleksi yang capat, 2. Seleksi keluarga (family selection) adalah seleksi ke-
luarga per keiuarga sebagai kesatuan unit sesuai dengan nilai fenotip yang diniliki oleh keluarga bersangkutan. Individu tidak berperanan dalam metode seleksi ini, 3. Seleksi dalam keluarga (within-family selection) adalah
seleksi tiap individu di dalam keluarga berdasarkan ni- lai rata-rata fenotip dari keluarga asal individu ber- sangkutan.
Dari seleksi tersebut di atas diharapkan respon yang merupakan peningkatan mutu genetik ternak. Respon yang di- harapkan dari metode seleksi individu, seleksi keluarga dan 2
-
seleksi dalam-keluarga masing-masing adalah R = i 6 h,
RE -P
i bih; dan R w = i 6wh: dimana i adalah intensitas seleksi,
2
fFf
adalah simpangan baku dari rata-rata keluarga, h f ada- lah heritabilitas rata-rata keluarga,6"
adalah simpangan2
baku dari rata-rata keluarga, hw adalah heritabilitas da- lam keluarga.
Menurut Turner dan Young (1969) respon seleksi atau pe- ningkatan mutu genetik dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut :
-
-
2A G = y
-
x = h i 6 = 6*hi 0dimana, A G = respon seleksi atau peningkatan mutu gene- tik,
= rata-rata nilai suatu sifat tertentu dari anak yang berasal dari tetua yang terseleksi.
-
x = rata-rata nilai suatu sifat tertentu popu- 0
lasi yang belum terseleksi.
-
2sedangkan = ji + h2
(xl
-
x0) =X
+ h i 60 0
Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila AG telah diketahui dari suatu percobaan seleksi, maka heritabilitas dapat ditaksir dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Heritabilitas
Heritabilitas dari suatu sifat yang didefinisikan se- bagai rasio ragam genetik aditif (additive 'genetic varianae) terhadap ragam fenotip (phenotype variance),(Falconer, 1972). Secara singkat dapat ditulis sebagai berikut :
dimana h2 = heritabilitas, Va = ragam genetik aditif, dan V p = ragam fenotip.
Heritabilitas dapat didefinisikan dalam arti sernpit dan luas (Lush, 1940 yang dikutip oleh Turner dan Young (1969): Firchner, 1981: Warwick
- -
et a l , , 1983) Dalam arti luas, heritabilitas adalah rasio seluruh ragam aspek gene- tik terhadap ragam fenotip. Komponen ragam seluruh aspek genetik terdiri dari genetik aditif, dominan dan epistatik, sedangkan kornponen ragam seluruh aspek fenotip dari ragarn genetik, keadaan lingkungan dan interaksi anta- ra genetik dan lingkungan, Dalam arti sempit, heritabili- tas adalah rasio ragam genetik aditi-f terhadap ragam feno- tip seperti yang dikenukakan oleh Falconer (1972).Dalam teori, nilai heritabilitas terletak antara 0 dan + 1 (Lush, 1940 yang dikutip oleh Turner dan Young, 1969: Warwick et al., 1983). Angka ekstrem jarang diperoleh un- tuk sifat-sifat kuantitatif ternak, Suatu sifat dengan he- ritabilitas no1 adalah sifat dimana semua keragaman dise- babkan oleh pengaruh lingkungan. Sebaliknya heritabilitas satu akan menunjukkan suatu sifat kuantitatif dimana semua keragaman disebabkan oleh keturunan.
Turner dan Young (1969) menyatakan bahwa metode untuk menaksir nilai heritabilitas tergantung kepada tipe orga- nisma dan data yang tersedia. Beberapa metode yang sering digunakan dapat diringkas sebagai berikut :
a. Metode hubungan tetua-anak (parent-offsprinq),
i. Regresi anak terhadap satu tetua dengan satu anak per tetua (regression of offspring on one parent). 1. Regresi anak terhadap induk (regression of off-
sprinq on dam)
-
dengan rnengindahkan pejantan.2. Regresi anak terhadap induk tanpa mengindahkan pe jantan
.
ii. Korelasi antara anak dan satu tetua dengan satu anak per t'etua
.
iii. Regresi anak terhadap satu tetua dengan lebih dari satu anak per tetua.
2. Regresi anak secara individual terhadap tetua, de- ngan pengulangan nilai tetua sesuai dengan jumlah anaknya.
3. Regresi dengan pembobotan berdasarkan pada kore- lasi fenotip antara anak dalam 'tetua dan jumlah anak per tetua.
b. Metode sidik ragam
i. Saudara kandung (full-sib) 1. Jumlah sub-class sama
2. Jumlah sub-class tidak sama ii. Saudara tiri (half-sib)
Warwick et al. (1983) menyatakan bahwa card yang paling teliti untuk menentukan heritabilitas suatu sifat dari suatu spesies adalah melakukan percobaan seleksi untuk beberapa generasi dan menentukan kemajuan yang di- perolehnya, yang dibandingkan dengan jumlah keunggulan dari tetua terpilih dalam semua generasi dari percobaan itu. Pendekatan ini sangat berguna u t u k hewan-hewan laboratorium dan juga telah digunakan dalambeberapa per- cobaan dengan ternak. Percobaan seleksi ternak besar sangat mahal dan membutuhkan waktu beberapa generasi un- tuk mendapat hasil yang pasti. Lebih lanjut hasil yang diperoleh hanya berlaku khusus bagi populasi yang digu-
16 Tabel 2 menunjukkan nilai heritabilitas bobot badan pada umur 0 , 1, 2 dan 3 bulan yang dikemukakan oleh bebe- rapa peneliti.
Korelasi Genetik dan Fenotipik
Korelasi bertujuan untuk mengukur tingkat keerdtan hu- bungan antara dua peubah atau dua sifat. Untuk menentukan derajat hubungan itu digunakan koefisien korelasi (r),
Harga koefisien korelasi terletak antara -1 dan +1. Ji- ka r lebih besar dari nol, dikatakan hubungan antara kedua sifat tersebut merupakan hubungan linier positif, Artinya kalau nilai peubah atau sifat yang satu makin tinggi maka nilai peubah atau sifat yang lain juga makin tinggi. Demi- kian juga sebaliknya. Jika r = 1, dikatakan bahwa hubung- an tersebut linier sempurna. Jika r lebih kecil dari 0, dikatakan hubungan antara kedua peubah atau sifat tersebut merupakan hubungan linier negatif. Artinya makin tinggi nilai peubah atau sifat yang satu maka akan makin rendah ni- lai sifat yang lein atau sebaliknya.
Tabel 2. Heritabilitas Bobot Prasapih Beberapa Bangsa Kambing
Heritabilitas
Bangsa Kambing Peneliti
0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan
Angora Black Bengal Dainascus Malabari Saanen half- sib Beetal Bengal
9.21f0.07
-
-
0.17t0.04 Yalcin (1982)0.4 t0.24 -
-
-
Ali (1983)-
-
- 0.35t0.19 Mavrogenis(1986)
-
0.19f0.25 1.54t0.78 1.08t0.75 Mukundan etal. ( 1 9 8 3 7 -
-
0.12t0.24 0.09f0.22 0.03f0.18 Mukundan etal. (19865
-
Malik et al,
(1986)-
-
0,21+0,05 0,26+0.07 0.43+0,09 0.20t0.08 Malik et al.
(1986 )-
-
tipik. Korelasi fenotipik dapat dibagi menjadi bagian-bagi- an yang biasanya disebut korelasi bingkungan dan genetik, Korelasi genetik adalah korelasi dari pengaruh genetik adi- ti£ atau nilai pemuliaan antara kedua sifat itu. Korelasi lingkungan termasuk pengaruh lingkungan dan pengaruh genetik yang bukan aditif. Selanjutnya dinjratakan bahwh dalam popu- lasi yang kawin acak dan dalam keadaan keseimbangan, korela- si genetik terjadi bila gen yang sama mempengaruhi ekspresi dari dua sifat atau lebih. Gen-gen dengan pengaruh ganda ini dikatakan pleiotropik.
Dalam pemuliaan ternak, korelasi genetik dapat mengun- tungkan atau merugikan. Laju kenaikan bobot badan dan efi- siensi penggunaan makanan biasanya merupakan sifat yang di- inginkan dan hampir selalu berkorelasi genetik positif. Ja- di seleksi untuk satu sifat akan meningkatkan secara tak langsung sifat yang lain. Sebaliknya, korelasi. genetik ne- gatif seperti korelasi antara panjang wol dan kehalusan akan membatasi kemarnpuan yang dapat dicapai untuk kedua sifat itu secara bersamaan, Pada sapi potong, bobot lahir berkorelasi genetik positif berderajat sedang dengan bobot sapih, bobot umur satu tahun dan bobot umur dewasa.
untuk satu sifat tunggal dan mengukur perubahan-perubahan yang terjadi sebagai respon korelasi pada sifat yang lain. Korelasi genetik yang dihitung dari percobaan seleksi me- nunjukkan apa yang sebenarnya dihasilkan dari seleksi dan dapat lcbih menunjukkan keadaan biologis yang sebenarnya daripada korelasi genetik yang diduga dengan prosedur sta- tistik. Semua metode statistik untuk menaksir korelasi ge- netik adalah berdasarkan atas kemiripan di antara keluar- ga *
Becker (1969) menyatakan bahwa korelasi genetik, ling- kungan dan fenotipik antara dua sifat dapat didekati dengan metode yang sama seperti untuk menaksir ragam genetik. Ada dua rancangan yang dapat digunakan untuk menaksir korela-. si, yaitu rancangan tersarang dan rancangan berfaktor. Pa- da rancangan tersarang, tiap pejantan dikawinkan dengan be- berapa induk yang menghasilkan beberapa anak. Untuk me- naksir korelasi genetik, dapat dengan menggunakan rancang- an berfaktor, namun penggunaannya lebih ditekankan pada
tanaman.
Tabel 3. Korelasi Fenotipik antar Bobot Badan dan Sifat Pertumbuhan Kambing Beetal dan Black Bengal
Korelasi Fenotipe
Beetal Bobot lahir
(kg X1 0.33 + 0.07 0.23 2 0.08 0.17
r
0.02 -0.03 f 0.09 1 bulan X2 0.86*
0.04 0.75 r 0.06 0,69 f 0.06 2 bulan X3 0.88 f 0.04 0.84 f 0.053 bulan X4 0.98 f 0.02
Pertumbuhan Prasapih X5
Black Bengal Bobot lahir
(kg) 0.43 f 0.05 0.41 f 0.05 0,25 f 0.06 0.04 f 0.06 1 bulan X2 0.74 r 0.04 0.63 f 0.05 0.55 f 0.05 2 bulan X3 0.86
r
0.08 0.80 f 0.043 bulan X4 0.97 f 0.04
Pertumbuhan Prasapih X5
Penelitian yang dilakukan oleh Guha et al. (1968) yang berkenaan dengan pertumbuhan 234 kambing Black Bengal, men- dapatkan koefisien korelasi antar bobot-bobot badan 0 dan 16 minggu (rI2), 0 dan 36 minggu (r ) , 0 dan 52 minggu (rl,,),
Tabel 4. Korelasi G e n e t i k dan Fenotipik Bobot Lahir dengan Bobot-Bobot Badan Lain- nya pada Kambing Malabari d a n Pera- nakannya
Umur ( b u l a n ) Korelasi Malabar i Saanen x Malabari
16 dan 3 6 minggu (r23), 1 6 dan 5 2 ninggu (r2y)l 36 dan 5 2 minggu (r )I dirinci menurut jenis kelamin dan tipe kela-
3Y
hiran seperti tertera pada Tabel 5.
Tabel 5. Koefisien Korelasi Bobot Badan pada Berbagai Umur -yang Berbeda
Kelompok r
1 2 =13 r 1 Y r 2 3 r 2
Y
r 3YTunggal Kembar Dua Kembar Tiga Kembar Em- Pat
Gabungan
Tunggal Kembar Dua Kembar Tiga Kembar Em- Pat
Gabungan
Betina
0.715* 0,968+ 0.288* 0,528+ 0.163 0.790+
Jantan
*
P<0.05
+
P<O.Ol. 1 = bobot lahir 2 = bobot 16 minggu 3 = bobot 36 mingguy = bobot 5 2 minggu.
Sistem Perkawinan
Turner dan Young (1969) menyatakan bahwa ada beberapa sistem perkawinan yang biasa dilakukan pada domba yaitu :
1 , sistem perkawinan backcrossing, linebreedinq dan sistem untuk membentuk inbred-line sebagai bentuk dari silang da- lam: 2. top-crossinq dan persilangan antar inbred-line se- bagai bentuk dari silang luar: 3. persilangan antar bangsa (breed) atau strain sebagai bentuk dari silang luar: 4 . perkawinan setara positif (positive assortative matins) ya- ~ t u perkawinan antara yang terbaik dengan yang terbaik: 5. perkawinan setara negatif (negative assortative mating) ya- itu perkawinan antara dua ekstrem yang berlawanan misalnya perkawinan antara individu yang bobot badannya tinggi dengan individu yang bobot badannya rendah. Dinyatakan selanjut- nya bahwa perkawinan setara negatif dapat meningkatkan he- terozigositas. Pada umumnya perubahan susunan genotip pada perkawinan setara dengan perhatian pada lokus tunggal tidak secepat pada silang dalam atau silang luar.
tabilitas, Dengan demikian perkawinan netara .gositif da- pat digunakan dalam pemuliaan ternak.
McBride dan Robertson (1963) yang dikutip oleh Turner dan Young (1969) telah mengadakan penelitian dengan menggu- nakan Drosophila untuk membandingkan peningkatan genstik antara akibat kawin acak dengan perkawinan setara positif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan genetik pada perkawinan setara positif lebih cepat.
Stander dan Neale (1958) yang dikutip oleh Turner dan Young (1969) menggolong-golongkan pejantan dan induk dornba dalam enpat golongan mutu, kemudian mengawinkan pejantan mutu 1 dengan induk mutu 1, pejantan mutu 2 dengan induk mutu 2 dan seterusnya. Dari perkawinan itu didapatkan ha- sil yang lebih baik dari perkawinan acak, dimana hasil per- kawinan pejantan rnutu 1 dengan induk mutu a lebih baik dari hasil lainnya.
Menurut Turner dan Young (1969) cara seperti ini telah pula dicoba di USSR,
Pertumbuhan Ternak Unit Pertumbuhan
Menurut Campbell dan Lasley (1973) pertumbuhan diaki- batkan oleh meningkatnya ukuran sel (hipertrophy) dan jum- lah sel (hyperplasia), Dikatakan selanjutnya bahwa pada hewan dewasa terdapat tiga tipe sel. Pertama, sel tetap (permanent cell) yang berhenti membelah pada permulaan ke- hidupan pralahir sehingga jumlahnya tetap. Sebagai contoh yaitu sel-sel syaraf. Kedua, sel-stabil (stable cell) yang terus membelah dan bertambah selama sebagian besar masa pertumbuhan tetapi berhenti membelah dan junlahnya tetap ketika hewan mencapai umur dewasa. Contoh dari s e l - s e l stabil ini adalah sel-sel yang terdapat pada organ-organ. Ketiga, sel-sel tidak stabil (labile cell) yaitu sel-sel yang terdapat pada epitel dan jaringan epidermal. Sel-sel ini terus membelah dan bertambah selama hewan hidup, teta- pi ketika hewan dewasa pembelahan sel-eelnya terbatas ha- nya untuk menggantikan jaringan yang rusak.
Perkembangan Pralahir
Hafez (1963) menyatakan bahwa selama pertumbuhan em- brio, jumlah sel bertarnbah tanpa perubahan besar atau ukur- an sel. Pada perkembangan selanjutnya, berbagai organ fe- tus tumbuh dengan kecepatan yang berbeda sehingga terbentuk konformasi organisma. Pertumbuhan maksimum dalarn kehidup- an pralahir terjadi setelah membrana ekstra-embrionik ter- bentuk. Pertumbuhan relatif akan menurun setelah separuh masa bunting terlewati. Selanjutnya Hafez menyatakan bahwa zat-zat makanan yang diterima oleh fetus selama pralahir dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ukuran-ukuran fetus dapat dibagi atas empat tahap (Tabel 6). Selama tiga tahap pertama, ukuran-ukuran fetus hanya dipengaruhi oleh genotip bapak-induknya, Pada tahap keempat ukuran
-
ukuran fetus dipengaruhi selain faktor genotip, juga faktor keada- an lingkungan dimana fetus berada, yaitu pada uterus induk- nya. Rangka fetus tumbuh dengan teratur, tetapi beberapa bagian tumbuh lebih cepat daripada yang lain, dimana terda- pat perubahan proporsi tubuh, Pada kehidupan pralahir, ke- pala dan anggota badan tumbuh lebih cepat.Tabel 6. Tipe Makanan dan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Ukuran- ukuran pada Pertumbuhan Pralahir
Tahap Tipe Makanan Junlah Sel Ukuran Sel Faktor yang ~erpengaruh
Pra-Implantasi
Cleaved Ovum Deutoplaama
+
- Genotip FetalBlastocyst Sekresi Uterus
+
-
Genotip Fetalsecara difusi
Pasca-Implantasi
Embrio Terim Histotropik (sel +++ f Genotipe Fetal
trophoblast)
Fetus Hemotropik
++
+++
Genotip ~ e t a l ~Lingkungan Maternal b
Sumber : Hafez (1963)
+
= bertaalbah a = kerkurang k = tetapatermasuk genotip pejantan, induk dan interaksi pejantan x induk
Dickinson et al. (1962) telah melakukan penelitian yang berkenaan dengan pengaruh induk terhadap kecepatan pertum- buhan pralahir dan mendapatkan adanya korelasi yang posi- tif. Makin besar ukuran-ukuran induk maka makin besar pula ukuran-ukuran anaknya.
Hammond (1960) menyatakan bahwa keadaan nutrisi domba selama pertengahan kebuntingan dapat mempengaruhi bobot la- hir anaknya, Nutrisi yang tinggi protein dan energi yang diberikan selama sekitar dua bulan sebelum partus akan me- ningkatkan bobot lahir. Pemberian makanan tambahan pada akhir kebuntingan dapat meningkatkan pertumbuhan fetus dan juga pertumbuhan ambing.
Campbel dan Lasley (1973) melaporkan bahwa induk kuda Shetland kecil yang dikawinkan dengan pejantan Shire besar menghasilkan anak yang ukuran-ukuran lahirnya kecil. Seba- liknya bila induk Shire besar yang dikawinkan dengan pejan- tan Shetland kecil maka dihasilkan anak yang ukuran-ukuran lahirnya besar.
Bobot Lahir dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Menurut Hafez (1963), bobot lahir dan ukuran-ukuran ba- dan merupakan hasil dari suatu proses yang berkesinambungan yang dimulai dari fertilisasi sampai lahir.
Kassab (1964) telah melakukan penelitian yang berkena- an dengan hubungan antara induk dengan bobot lahir anak sa- pi dan mendapatkan bahwa bobot lahir dipengaruhi oleh lama bunting, bobot dan umur induk. Terdapat korelasi positif antara bobot induk dan bobot lahir anaknya. Peningkatan umur induk sampai umur tertentu akan meningkatkan pula bo- bot lahir anaknya.
Jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir, dimana bobot lahir anak jantan lebih tinggi daripada bobot lahir anak betina (Tabel 7 dan Tabel 8).
Tabel 7. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Bobot Lahir Beberapa Bangsa Kambing
Bobot Lahir (kg)
Bangsa Peneliti
Jantan Betina
Parbatsar 2.40 2 0.25 2.03
+
0,32 Mittal dan Ghosh (1985 )Jamunapari 2.92 2 1.06 2.68
+
1.06 Singh et al. (1984)- -
Black Bengal 1.82+
0.03 1.66 t 0.03 Malik et al. (1986)- -
Malabari 1.89+
0.063 1.69 2 0.004 Mukundan et al.(1981)
-
-
Pashmina 2.34+
0.70 2.25+
0.80 Mazumder dan Muzum-der (1983) Kambing Ka-
T a b e l 8 . P e n g a r u h T i p e K e l a h i r a n d a n K e l a r ~ ~ i n Anak T e r h a d a p B o b o t L a h i r Kambing
R a t a a n R o b o t L a h i r ( k g ) T i p e K e l a h i r a n
S a a S y r Neg Darn Ma1 App Faw Ang
T u n g g a l J J a n t a n 3.27 3.56 2 . 5 4 3 . 7 0 2 . 9 0 4 . 0 0 3.40 3 . 4 0
B B e t i n a 2.99 3.47 2 ' 3 2 3.30 2.40 3,70 3.20 3 . 7 0
K e n b a r Dua JJ J a n t a n 2 . 7 8 3 . 1 3 2.05 3 . 4 0 2 . 2 0 3 . 5 0 2.30 3.30
BB B e t i n a 2 . 7 1 2.00 1 . 4 6 3.00 2 . 1 0 3 , 2 0 2.10 3.10
J B J a n t a n 2.97 3.17 2.58 3 . 5 0
-
-
-
-
B e t i n a 2.78 2.95 2.66 3 . 3 0
-
-
-
-K e n b a r T i g a JJJ J a n t a n 2.67 3.17 -
-
- - 1.80 2.10BBB B e t i n a 2.50 2.38
-
--
-
1.70 1 . 7 0J J B J a n t a n 2.02
-
-
3.30 - --
-E e t i n a 2.60
-
- 2.80 - --
-JBB J a n t a n 2.70 -
-
-
--
--
B e t i n a 2.47
-
-
--
-
-
-
K e a b a r Empat JJJJ J a n t a n
-
-
-
--
-
-
2.50BBBB B e t i n a 2.0
-
--
- --
-
J J J B J a n t a n 2.35
-
-
-
-
-
-
-
B e t i n a 2.02 -
-
-
-
-
--
J J B B J a n t a n 2.39
-
-
--
-
-
-
B e t i n a 2 . 1 6
-
-
--
--
-
JEBB J a n t a n 2.43
-
-
-
--
-
-
B e t i n a 2.23 -
-
-
-
-
-
-
Surnber : E p s t e i n d a n H e r z ( 1 9 6 4 )
Epstein dan Herz (1964) rt~enyemukakan bahwa tipe kela- hiran menpunyai efek terhadap bobot lahir (Tabel 8). Pada tipe kelahiran tunggal, bobot lahir cenderung lebih tinggi daripada bobot lahir pada tipe kelahiran kembar dua, empat dan lima. Makin besar ukuran litter makin rendah bobot pa- hir per individu, baik pada anak jantan maupun pada anak betina. Hal yang sama telah pula dilaporkan oleh Guha
-
et al. (1968), Mittal (19791, Mukundan et al. (1981)) Sarma et-
- -
-
al. (1901), Singh dan Singh (1983), Singh et al. (1904),
-
- -
Nagpal dan Chawla (1985) dan Malik (1986).
Singh
- -
et al. (1985) melaporkan bahwa tipe kelahiran dipengaruhi oleh umux pejantan, bangsa dan musim kawin (Ta- be1 9).Mittal (1979) menyatakan bahwa faktor musim berpenga- ruh terhadap bobot lahir anak kambing (Tabel 10). Peneli- tiannya meliputi dua bangsa kambing dengan dua faktor mu- sim yaitu musim panas (summer) dan musin angin dan hujan (monsoon), Anak-anak kambing yang tetuanya kawin pada musim angin dan hujan mempunyai bobot lahir lebih tinggi dari anak-anak kanbing yang tetuanya kawin pada musim pa- nas. Hal ini berlaku pada kedua bangsa, baik yang terla- hir tunggal maupun yang terlahir kembar. Malik et al.
- -
T a b e l 9 . P e n g a r u h Unur P e j a n t a n , Bangsa d a n Musim Kawin T e r h a d a p T i p e Ke- l a h i r a n Rambing
J a r l ~ u n a p a r i B l a c k B e n g a l B e e t a l ~ J P ~ B B
T i p e K e l a h i r a n
A D C A B C A B C E C
Tunggal
Hujan & Angin
(Monsoon ) 30.57 58.82 70.00 78.57 80-00 25.00 30,00 25.00 62,50 100 50.00
P a n a s (Summer) 55.00 50.00 57.14 40.00 00.00 25.00 35.71 50,OO 25.00 0.0 0.00
Kernbar
Hujan & Angin
[Monsoon) 61.43 41.10 30.00 21.43 20.00 75.00 70.00 75,OO 37.50 0.0 50.00
Pailas (Summer) 45.00 50.00 42.06 60.00 100.00 75.00 64.29 50.00 75.00 100.0 100.0
Sumber : S i n g h
- -
e t a l . ( 1 9 8 5 )