• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian penentuan tingkat bahaya kebakaran menggunakan sistem fire weather index

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian penentuan tingkat bahaya kebakaran menggunakan sistem fire weather index"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN

MENGGUNAKAN SISTEM

FIRE WEATHER INDEX

DWI YOGA PRIMARTONO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

DWI YOGA PRIMARTONO.

Kajian Penentuan Tingkat Bahaya Kebakaran

Menggunakan Sistem

Fire Weather Index

. Dibimbing oleh

AHMAD BEY

dan

EDI SANTOSO .

Sistem

Fire Weather

Index (Sistem FWI) merupakan salah satu sub sistem

utama dari suatu sistem pemeringkat bahaya kebakaran regional yang berasal dari

Kanada. Sistem FWI tengah dicobakan sebagai sistem peringatan dini di kawasan

Asia Tenggara. Dalam penghitungannya beberapa komponen Sistem FWI

mempertimbangkan faktor panjang hari, Le, dan panjang hari terkoreksi, Lf. Lf

merupakan fungsi dari rataan bulanan suhu maksimum dan evapotranspirasi

potensial. Kanada dan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan perbedaan letak

lintang yang signifikan. Kondisi tersebut mengakibatkan Kanada dan Asia

Tenggara memiliki nilai Le, dan Lf yang tidak sama. Perbedaan tersebut selama

ini baru diantisipasi dengan merubah selang kelas bahaya kebakaran dari

komponen Sistem FWI.

Dalam penelitian ini selain dilakukan penghitungan komponen kode

kelembaban dari Sistem FWI berdasarkan adopsi dari persamaan asalnya, juga

dilakukan modifikasi, dengan cara memasukan nilai Le, dan Lf lokal. Komponen

kode kelembaban tadi meliputi komponen kode kelembaban pada sarasah

(FFMC), lapisan humus (DMC), dan lapisan organik padat (DC). Penggunaan

nilai Le dan Lf lokal dilakukan dengan harapan agar hasil yang didapat dari

penghitungan Sistem FWI akan lebih menggambarkan nilai-nilai sebenarnya dari

tingkatan potensi kebakaran relatif yang didasarkan pada data observasi cuaca

harian setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Sistem FWI

sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan mengenai penentuan selang

waktu periode kritis yaitu periode pada saat model bahan bakar di suatu daerah

memiliki resiko terbakar yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi

apakah perbedaan faktor – faktor tadi juga akan mengakibatkan perbedaan label

kelas bahaya kebakaran dari komponen FFMC, DMC, dan DC.

(3)

KAJIAN PENENTUAN TINGKAT BAHAYA KEBAKARAN

MENGGUNAKAN SISTEM

FIRE WEATHER INDEX

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

DWI YOGA PRIMARTONO

G02498008

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

RIWAYAT HIDUP

Dwi Yoga Primartono dilahirkan di Purbalingga pada 4 Maret 1980. Penulis

merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Aspono dan Ibu Tati Surati.

Penulis menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Purbalingga, dan

berhasil mas uk ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 1998 melalui jalur USMI.

(5)

PRAKATA

Bismillahir rahmanir rahim

Segala Puji bagi Allah SWT, Shalawat serta salam semoga terlimpahkan

kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Alhamdulillah,

setelah sekian lama, akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi

,

sungguh hanya

Alloh Maha Pengatur yang telah menata jalan hambaNya. Semua itu juga tidak

lepas dari berbagai pihak yang telah membantu jalannya penelitian ini. Untuk it u

penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1.

Bapak Prof. Dr. Ahmad Bey dan Dr. Edi Santoso, atas segala bimbingan

dan arahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

2.

Bapak dan Ibu yang selalu memberikan motivasi, serta dorongan material

dan spiritual

3.

Bapak Kusnadi Prabakusuma yang telah berkenan menampung penulis

4.

M. Taufik yang telah mengijinkan penulis mengakses data sekunder dari 5

buah stasiun AWS di Kaltim

5.

Seluruh Staff Pengajar dan Pegawai di Fakultas MIPA dan di Departemen

Geofisika dan Meteorologi

6.

Seluruh keluarga, dan teman-teman yang telah berkenan memberikan

dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini

Semoga segala bimbingan, motivasi, dan segala bantuan tadi diberikan balasan

yang berlipatganda. Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada

seluruh pihak yang telah terbebani oleh penulis selama penyusunan skripsi ini

berlangsung. Kebenaran hanya datang dari Allah SWT semata, sedangkan

kesalahan dan kekhilafan kembali kepada penulis. Semoga skripsi ini mampu

member ikan manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi pihak-pihak yang

berkenan membacanya, dan menjadi motivator untuk membuat karya yang lebih

berguna.

Akhirul kalam

, semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufik dan

hidayah serta limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Bogor, Januari 2006

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Waktu dan Tempat Penelitian ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Pengetahuan Dasar Kebakaran ... 2

Bahan Bakar ... 3

Lingkungan Kebakaran... 5

Kondisi Atmosfer dan Kebakaran ... 6

Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran... 8

Sistem FWI ... 8

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat ... 12

Asumsi ... 12

Pengisian Data Kosong ... 12

Penghitungan Sistem FWI dengan Formulasi Adopsi... 13

Penghitungan Le dan Lf ... 14

Penghitungan Sistem FWI dengan Penyesuaian Faktor Le dan Lf ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Daerah Kajian... 22

FFMC ... 23

DMC ... 24

DC ... 26

SIMPULAN ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Pengkelasan bahaya kebakaran ...

8

2

Tabulasi

time-lag

pada Sistem FWI ...

9

3

Interpretasi nilai-nilai FFMC ...

10

4

Interpretasi nilai-nilai DMC...

10

5

Interpretasi nilai-nilai DC ...

11

6

Interpretasi nilai-nilai FWI...

11

7

Lokasi pengamatan AWS...

12

8

Daftar nilai Lf asli ...

14

9

Daftar nilai Lf lokal...

15

10

Selang kelas pada beberapa komponen FWI...

23

11

Prosentase kelas FFMC di Tanjungredep...

23

12

Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungredep...

25

13

Perubahan nilai Le pada DMC...

25

14

Pebandingan prosentase kelas DC di Tanjungselor ...

26

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Konsep segitiga api (Borrow, 1951) ...

3

2

Distribusi vertikal dari komponen bahan bakar (Pyne, 1996) ...

5

3

Distribusi suhu sesuai ketinggian ...

6

4

Distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer ...

6

5

Struktur Sistem FWI ...

9

6

Skema penghitungan FFMC...

16

7

Skema penghitungan DMC ...

18

8

Skema penghitungan DC ...

19

9

Skema penghitungan ISI, BUI, FWI ...

21

10

Sebaran geografis daerah kajian

...

22

11

Perbandingan hasil penghitungan dari beberapa komponen Sistem

FWI...

22

12

Pengaruh Curah Hujan pada FFMC. ...

23

13

Hasil penghitungan DMC dengan menggunakan dua metode

berbeda. ...

24

14

Windowing

anomali curah hujan tahun 2000 sampai dengan 2002. ...

25

15

Windowing

DMC dan anomali curah hujan bulan Januari sampai

dengan Maret 2002. ...

26

16

Hasil penghitungan DC berdasarkan penggunaan dua metode

berbeda. ...

26

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Contoh format data mentah dari Statiun AWS di Loajanan...

29

2

Contoh format masukan data pada Sistem FWI untuk Stasiun

Loajanan...

30

3

Prosentase kelas FFMC di Loajanan...

31

4

Prosentase kelas FFMC di Marangkayu...

31

5

Prosentase kelas FFMC di Samuntai...

31

6

Prosentase kela s FFMC di Tanjungredep...

31

7

Prosentase kelas FFMC di Tanjungselor ...

31

8

Perbandingan prosentase kelas DMC di Loajanan ...

32

9

Perbandingan prosentase kelas DMC di Marangkayu ...

32

10

Perbandingan prosentase kelas DMC di Samuntai ...

32

11

Perbandingan prosentase kelas DMC di Tanjungredep ...

32

12

Perbandingan prosentase kelas DMC diTanjungselor ...

33

13

Perbandingan prosentase kelas DC di Loajanan...

33

14

Perbandingan prosentase kelas DC di Marangkayu ...

33

15

Perbandingan prosentase kelas DC di Samuntai...

33

16

Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungredep...

34

17

Perbandingan prosentase kelas DC di Tanjungselor ...

34

18

Perbandingan DMC di Loajanan. ...

35

19

Perbandingan DMC di Marangkayu ...

35

20

Perbandingan DMC di Samuntai...

36

21

Perbandingan DMC di Tanjungredep...

36

(10)

23

Perbandingan DC di Loajanan ...

37

24

Perbandingan DC d Marangkayu ...

38

25

Perbandingan DC di Samuntai...

38

26

Perbandingan DC di Tanjungredep...

39

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan di Indonesia seringkali terjadi, beberapa kejadian kebakaran besar diantaranya terjadi pada tahun 1982, 1983, 1991, 1994, 1997, 1998, 1999 sampai dengan awal tahun 2001 (Wardhani 2001). Kebakaran hutan tahun 1998 oleh Los Angeles Times edisi 23 Maret 1998 bahkan dinyatakan sebagai bencana yang telah merusak hutan hujan tropis terbesar di dunia. Bencana tersebut mengakibatkan sebagian kawasan Asia Tenggara diselimuti dengan asap, dan diperkirakan telah menyebabkan kerugian yang nilainya melampaui 9 milyar USD (www.encarta.msn.com). Selain Indonesia, beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura juga mengalami bencana asap dan kebakaran hutan.

Mengingat besarnya kerugian dan dampak negatif yang telah ditimbulkan ole h bencana tersebut, ke empat negara di kawasan Asia Tenggara tadi kemudian bersama -sama menyetujui untuk melakukan tindak pengawasan terhadap bahaya asap dan kebakaran. Salah satu langkah yang ditempuh yaitu melalui penerapan Sistem Fire Weather Index. (Sistem FWI). Sistem FWI merupkan salah satu sub sistem utama dari Fire Danger Rating Sytem (FDRS). FDRS merupakan suatu sistem pemeringkat bahaya kebakaran regional yang berasal dari Kanada, dalam hal ini sistem tersebut tengah dicobakan sebagai sistem perin gatan dini di kawasan Asia Tenggara.

Sistem FWI memberikan informasi tingkatan dari potensi kebakaran relatif berdasarkan data observasi cuaca harian. Beberapa komponen Sistem FWI juga mempertimbangkan faktor panjang hari, Le, dan panjang hari terkoreksi, Lf. Lf merupakan fungsi dari rataan bulanan suhu maksimum dan rataan bulanan evapotranspirasi potensial. Kanada dan Asia Tenggara merupakan kawasan dengan perbedaan letak lintang yang signifikan. Letak lintang merupakan salah satu faktor pengendali unsur–unsur cuaca dan iklim. Perbedaan letak lintang tentunya akan membuat perbedaan selang waktu penerimaan radiasi matahari pada kedua kawasan. Kondisi tersebut diantaranya mengakibatkan Kanada dan kawasan Asia Tenggara memiliki perbedaan panjang hari yang cukup besar . Perbedaan tersebut selama ini baru diantisipasi dengan merubah selang kelas

bahaya kebakaran dari komponen Sistem FWI.

Dalam penelitian ini selain dilakukan penghitungan Sistem FWI berdasarkan adopsi dari persamaan asalnya, juga akan dilakukan modifikasi, dengan cara memasukan nilai Le, dan Lf lokal menggantikan nilai Le dan Lf asalnya. Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar hasil yang didapat dari penghitungan Sistem FWI yang telah dimodifikasi tersebut akan lebih menggambarkan nilai-nilai sebenarnya dari tingkatan potensi kebakaran relatif yang berdasarkan pada data observasi cuaca harian setempat. Penelitian ini bertujuan untuk turut mengembangkan Sistem FWI sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan mengenai penentuan periode kritis yaitu selang waktu ketika model bahan bakar pada suatu daerah terindikasi memiliki resiko terbakar yang tinggi. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah perbedaan faktor – faktor tadi, juga akan mengakibatkan perubahan pada penentuan label kelas bahaya kebaka ran dari Sistem FWI.

Waktu dan Tempat

(12)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengetahuan Dasar Keba karan

Tanaman ataupun bagian-bagiannya merupakan komponen dari biomassa hutan yang paling banyak dilalap api. Komponen biomassa yang paling banyak terbakar tadi, pada umumnya berupa tumbuhan hijau yang mampu melakukan proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi reaksi kimia yang melibatkan karbondioksida, air dan energi dari matahari, hingga menghasilkan selulosa, lignin, amilum dan berbagai komponen kimia lainnya. Seluosa, lignin, amilum merupakan hasil fotosintesis yang dapat ditemukan pada set iap bagian tanaman. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa komponen tanaman merupakan bagian dari manifestasi energi kimia yang dihasilkan dalam proses fotosintesis.

Proses fotosintesis dan kebakaran memiliki hubungan yang unik. Kebakaran pada tanaman ataupun komponennya, akan melangsungkan perubahan energi. Energi kimia yang diwujudkan dari proses fotosintesis akan dirubah menjadi energi termal, energi radiasi, dan energi kinetik. Secara sepintas proses kebakaran dan fotosintesis, merupakan dua proses yang saling berkebalikan. Pada proses fotosintesis terjadi pemusatan energi, dalam hal ini terjadi pemusatan energi kimia yang berlangsung secara perlahan–lahan sedangkan dalam kejadian kebakaran, energi kerapkali dilepaskan secara spontan. Hubungan antara kedua proses tersebut dapat ditampilkan melalui formulasi berikut:

Fotosintesis

(

CH O

)

O O

H

CO2+ 2 +energimatahari→ 6 10 6n+

Kebakaran

(

C6H10O6

)

n+O+suhu pemicu→CO2+H2O+bahang

Reaksi bahan bakar dengan oksigen hanya akan berlangsung pada kondisi tertentu. Kondisi tersebut akan tercapai ketika komposisi kadar air yang terdapat pada bahan bakar mencapai suatu nilai yang mendukung terbakarnya bahan bakar tersebut. Sagala (1988) menyatakan agar suatu bahan bakar terbakar maka suhu bahan bakar tersebut harus ditingkatkan hingga mencapai suhu pemicu kebakaran yang lazim dikenal sebagai titik bakar. Titik bakar suatu bahan bakar bervariasi, namun Merril dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988) menyatakan nilai suhu tersebut berada pada kisaran nilai

350 °C. Pencapaian suhu kritis tadi terjadi setelah bahan bakar terlebih dahulu mendapatkan bahang yang cukup dari suatu sumber pemanasan. Sumber pemanasan bahan bakar dapat berupa petir, bunga api, api unggun, ataupun dari puntung rokok.

Merril dan Alexander (1987) dalam Alexander (1988) menyatakan meskipun banyak ahli melihat kebakaran hanya terdiri dari dua fase namun pada hakekatnya ia terdiri dari tiga fase atau lebih yang saling overlap. Ketiga fase tersebut adalah fase pra-pemanasan, fase destilasi, dan fase pembentukan arang. Sormin dan Hartono (1986) menyatakan kebakaran terbagi atas fase pemanasan, fase penguraian, dan fase pembakaran. Berbagai pendapat tadi sebenarnya menyatakan hal yang relatif sama

Proses kebakaran pada awalnya merupakan suatu reaksi yang bersifat endotermal karena ia membutuhkan energi. Dalam hal ini dibutuhkan pasokan bahang untuk meningkatkan suhu bahan bakar hingga suhu pemicu pengapian tercapai. Ketika pemanasan belum mencapai suhu pengapian, pada sebagian jenis bahan bakar hutan pemanasan akan terlebih dahulu mengakibatkan volatilisasi sejumlah resin yang bersifat atsiri. Zat astiri tadi memiliki titik didih disekitar suhu kamar. Pyne (1996) menyatakan hal tersebut merupakan salah satu sebab timbulnya bau yang khas pada ekosistem hutan. Selanjutnya peningkatan suhu yang terus terjadi seiring dengan berlangsungnya pemanasan bahan bakar akan mengakibatkan terjadinya pengeringan. Air yang terjerap pada bahan bakar secara bertahap akan terevaporasikan, dengan kata lain kelembaban bahan bakar akan terus berkurang.

(13)

Oksidasi tar, dan zat -zat dari keluarga hid rokarbon akan memicu timbulnya nyala api, selanjutnya oksidasi dari produk pirolisis lainnya akan menimbulkan bara api. Kedua proses tadi akan menyuplai bahang lebih banyak lagi. Pada tahap ini reaksi tidak lagi bersifat endotermal, akan tetapi telah bersifat eksotermal. Ketika api pada suatu bahan bakar telah terbentuk, peningkatan suhu tidak hanya berasal dari sumber pemanasan awal saja. Keberadaan api tadi juga akan turut berperan dalam menghasilkan bahang sendiri. Bahang yang dihasilkan selanjutnya akan turut berperan sebagai sumber pemanasan bagi bahan bakar lainnya melalui mekanisme radiasi, konduksi ataupun konveksi. Ketika bahan bakar mengalami kebakaran yang tidak sempurna, sebagian dari zat volatil yang dihasilkan akan menyisakan jelaga, selain itu juga dihasilkan partikel hasil pembakaran tidak sempurna yang melayang di udara yang dikenal sebagai asap. Api akan padam ketika bahan bakar tidak lagi tersedia ataupun ketika bahang yang tersedia tidak cukup lagi untuk mempertahankan kebakaran (Pyne, 199 6).

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan kebakaran digunakan konsep segitiga api. Konsep tersebut menyatakan terjadinya kebakaran dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu bahan bakar yang sesuai, kadar oksigen yang memadai, dan ju mlah bahang yang mencukupi untuk memulai kebakaran (Sullivan, 1997). Konsep segitiga api itu sendiri dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1 Konsep segitiga api (Borrow, 1951).

Dalam konsep segitiga api tersebut suatu daerah tidak akan mengalami kebakaran, ketika semua hal tadi tidak terkumpul secara bersamaan. Oleh karena itu syarat dari konsep

segitiga api tadi juga dapat digunakanan dalam tindak pencegahan kebakaran. Singkatnya, kejadian kebakaran akan dapat dihindarkan dengan mencegah terkumpulnya ketiga komponen dalam konsep segitiga api. Hal tersebut diantaranya adalah dengan mengurangi bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas yang mungkin timbul baik karena faktor alam ataupun manusia (Sormin dan Hartono, 1986).

Bahan Bakar

Bahan bakar dari tumbuhan tidak hanya berupa vegetasi yang masih hidup (living fuel), ia dapat pula berujud bahan bakar mati (dead fue l). Dead fuels adalah tanaman yang telah mati ataupun bagian dari tanaman yang telah terpisah. Bagian tanaman yang telah terpisah tadi dapat berupa dahan, ranting, daun, pucuk tanaman, ataupun buah yang telah berguguran, bisa pula berupa batang tanaman yang tumbang, juga potongan sulur, serta akar tanaman. Hal tersebut memperlihatkan variasi kondisi bahan bakar yang tampak sangat beragam baik dari segi jenis, ukuran, ataupun distribusinya. Menurut Clar dan Chatten (1954), hal -hal penting dari bahan bakar yang dapat mempengaruhi kebakaran meliputi ukuran bahan bakar, susunan bahan bakar, volume, jenis, kerapatan, dan kadar air dari bahan bakar. Pyne (1996) juga menyebutkan hal yang hampir senada dengan apa yang dinyatakan oleh Clar dan Chatten (1954). Pyne (1996) menyatakan jumlah bahan bakar, kepadatan, susunan, bentuk dan ukuran bahan bakar sebagai sifat ekstrinsik dari bahan bakar yang berpengaruh pada kebakaran selain sifat -sifat intrinsik seperti kadar zat kimia dan potensi bahang yang dimiliki oleh suatu jenis bahan bakar.

(14)

fuels. Fine fuels memang lebih mudah mengering, selain itu dibandingkan heavy fuels ia juga lebih mudah menyerap air. Karena sifatnya itu ketika fine fuels terbakar, api akan menyebar dengan cepat, akan tetapi kebakaran yang ditimbulkannya juga relatif lebih cepat padam, karena materi yang dapat terbakar yang ada padanya relatif sedikit. Pada umumnya fine fuels memegang peranan yang dominan pada periode awal kebakaran. Adapun kadar air yang terdapat pada heavy fuels relatif stabil. Heavy fuels relatif lebih sulit terbakar, akan tetapi ketika sudah tersulut api, heavy fuels mampu menimbulkan kebakaran dengan periode yang relatif lama.

Kerapatan bahan bakar menyatakan jarak antar partikel dari bahan bakar. Bahan bakar dengan kerapatan yang rendah akan lebih cepat bereaksi terhadap perubahan kelembaban, selain itu angin dengan mudah melakukan penetrasi dan turut berperan dalam mengurangi kelembaban bahan baka r. Ia juga memiliki potensi pasokan oksigen yang lebih banyak, karena memiliki lebih banyak ruang kosong sehingga dapat menampung lebih banyak oksigen. Dengan kata lain ia memiliki potensi jumlah oksigen yang lebih banyak pada setiap luasan penampangnya. Kebakaran akan merambat lebih cepat jika terjadi pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah. Penjalaran api pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang rendah akan berperilaku seperti halnya pada fine fuels, sedangkan penjalaran api pada bahan bakar yang memiliki tingkat kerapatan yang tinggi/padat akan berperilaku seperti halnya heavy fuels.

Susunan bahan bakar meliputi orientasi arah secara vertikal ataupun horisontal. Bahan bakar yang tersusun kontinyu akan semakin mempercepat perambatan api. Jika bahan bakar tersusun vertikal secara kontinyu kebakaran tajuk (aerial fire) akan terjadi lebih cepat, demikian pula bila terdapat kekontinyuan susunan bahan bakar dalam arah horisontal, dalam hal ini perambatan api secara horisontal lebih cepat terjadi. Berdasarkan distribusi vertikalnya, komponen bahan bakar dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu bahan bakar bawah (ground fuels), bahan bakar permukaan (surface fuels), dan bahan bakar tajuk (aerial fuels). Ground fuels meliputi semua bahan bakar yang terdapat di bawah lapisan sarasah.

Ground fuels didominasi oleh akar tanaman, dan bongkahan kayu yang tengah ataupun telah membusuk dan terkubur di dalam permukaan tanah. Jenis bahan bakar ini

lebih mungkin untuk menimbulkan kebakaran yang berupa bara api daripada nyala api. Ground fuels pada umumnya memiliki kadar air yang lebih banyak daripada surface fuels ataupun aerial fuels. Pada umumnya sebelum kadar air yang dikandung oleh ground fuels jumlahnya kurang dari 20% dari bobot keringnya, kebakaran akan susah timbul. Api pada umumnya berasal dari terbakarnya lapisan sarasah di atasnya, yang kemudian merambat membakar bahan-bahan organik yang berada pada lapisan di bawahnya. Begitu terjadi, kebakaran yang lazim disebut sebagai ground fire tersebut akan susah untuk dipadamkan.

Surface fuels meliputi seluruh sarasah yang terdapat pada lantai hutan. Pada umumnya surface fuels terdiri atas pucuk daun ataupun dedaunan, ranting, kulit kayu, buah, dan cabang kecil yang telah jatuh berguguran di permukaan tanah. Selain itu surface fuels juga meliputi rerumputan, semak belukar, dan bibit ataupun tumbuhan hutan yang masih muda. Pada umumnya sarasah akan membentuk suatu lapisan bahan bakar yang sangat mudah dilalap api. Komponen bahan bakar ini pada umumnya memiliki diameter yang besarnya kurang dari 0.5 inchi, sehingga dapat dikategorikan sebagai fine fuels. Kebakaran yang terjadi di permukaan tanah yang mengkonsumsi surface fuels dengan ketinggian maksimum 1.2 meter dikenal sebagai surface fire. Pada umumnya kebakaran ini tidak mencapai tajuk karena pohon-pohonnya jarang atau dari jenis yang sulit terbakar. Surface fuels yang tersusun secara kontinyu dan terekspos secara langsung dengan udara, seperti rerumputan dan semak belukar, ketika mati kadar kelembabannya akan sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca harian. Kadar kelembaban komponen bahan bakar tersebut sangat sensitif terhadap perubahan nilai suhu, angin dan kelembaban udara disekitarnya.

(15)

Gambar 2 Distribusi vertikal dari komponen. bahan bakar (Pyne, 1996).

Lingkungan Kebakaran

Kebakaran yang telah terbentuk akan saling berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Countryman (1972) menuliskan hubungan antara lingkungan dengan kebakaran yang terjadi. Konsep tersebut menggambarkan kondisi lingkungan sekitar yang mempengaruhi, merubah, dan menentukan perilaku api yang terjadi. Perilaku api didefinisikan oleh De Bano (1998) sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang terbentuk sebagai hasil interaksi api dengan lingkungannya. Baik Countryman (1972) maupun De Bano (1998) menyatakan kondisi dan perubahan komponen-komponen lingkungan sekitar akan mempengaruhi kebakaran. Komponen–komponen utama dari lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca, topografi, dan bahan bakar. Interaksi ketiganya dengan kebakaran yang ada juga akan menentukan karakteristik dan perilaku dari kebakaran.

Bahan bakar, topografi, cuaca dan interaksi ketiganya merupakan tiga buah komponen lingkungan yang sangat mempengaruhi perilaku kebakaran. Bahan bakar menentukan potensi penyebaran api, potensi kerusakan yang dapat terjadi, serta potensi hambatan dalam pengendalian kebakaran. Topografi suatu wilayah pada umumnya memiliki kondisi yang relatif lebih konstan. Secara alamiah kondisi topografi akan berperan dalam penentuan kondisi iklim di suatu wilayah. Topografi merupakan salah satu faktor pengendali unsur-unsur iklim dan cuaca. Perbedaan ketinggian, aspek dan kelerengan suatu daerah akan menimbulkan

keragaman nilai unsur-unsur cuaca, selain itu pada umumnya juga dijumpai kekhasan vegetasi di suatu daerah. Topografi juga berperan cukup penting pada proses penyebaran aerial fire, kelerengan yang terjal akan mempercepat penyebaran aerial fire. Akan tetapi ketika terjadi anomali cuaca seperti angin yang bertiup dengan kencang akan mampu membuat pengaruh topografi di suatu daerah tidak lagi mendominasi penyebaran aerial fire.

Cuaca menentukan kebakaran seperti apa yang terjadi, kecepatan penyebaran api, tingkat kerusakan aktual yang ditimbulkan, serta tingkat kesulitan dalam pengendalian kebakaran, singkatnya cuaca menentukan level dari kebakaran yang terjadi. Ketika tidak dijumpai bahan bakar, kebakaran memang tidak akan pernah terjadi. Akan tetapi ketersediaan bahan bakar saja tidak bisa menjamin terjadinya kebakaran. Meskipun di suatu daerah terdapat bahan bakar yang berlimpah, misalnya dijumpai timbunan sisa hasil penebangan hutan, akan tetapi ketika pada periode tersebut daerah itu senantiasa diguyur hujan maka lazimya di daerah tadi kebakaran pada periode itu tidak akan terjadi.

Kontrol terhadap bahan bakar relatif lebih mungkin dan mudah untuk dilakukan daripada tindak pengendalian unsur-unsur cuaca. Tindak management hutan dapat dilakukan guna mengontrol ketersediaan bahan bakar. Tindak penjarangan tanaman, pembuatan sekat bakar, bahkan pengaturan pola tanam dapat dilakukan pada kawasan agroforestri ataupun hutan, terutama pada kawasan hutan tanaman industri. Selain itu secara alamiah, perubahan ketersediaan bahan bakar yang signifikan berlangsung dengan lambat, kejadiannya mengikuti siklus hidup tumbuhan, yang juga dipengaruhi oleh iklim dan topografi setempat. Berbeda dengan hal tersebut, unsur-unsur cuaca kondisinya dapat berubah secara drastis dalam hitungan hari, jam bahkan dalam hitungan menit. Perubahan unsur cuaca tadi akan mempengaruhi kondisi bahan bakar, ataupun kondisi kebakaran itu sendiri baik secara langsung atau tidak (Brown dan Davis, 1975). Chandler (1983) menyatakan cuaca dan iklim mempengaruhi kebakara n melalui beberapa cara sebagai berikut:

• Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia.

(16)

• Cuaca menentukan kadar air/kelembaban bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar.

• Cuaca mempengaruhi proses pengapian dan penyebaran bahan bakar.

Kondisi Atmosfer dan Kebakaran

Cuaca adalah keadaan fisis atmosfer dan perubahannya di suatu tempat tertentu dalam selang waktu yang relatif pendek. Atmosfer sendiri dapat didefinisikan sebagai lapisan gas atau campuran gas yang menyelimuti dan terikat pada bumi oleh gaya gravitasi bumi. Campuran gas tersebut dinamakan udara. Di dalam atmosfer terdapat udara kering, uap air, dan aerosol.

Gas –gas lain yang membentuk udara kering di atmosfer kada rnya sangat kecil dalam hal ini campuran udara kering dan uap air tidak jenuh dikenal sebagai udara lembab. Meskipun kadar uap air di udara sangat kecil, uap air memainkan peranan yang penting di dalam proses termodinamika. Dalam kisaran suhu atmosfer, uap air dapat berubah fasa menjadi cair, atau padat. Uap air masuk ke atmosfer dari permukaan bumi melalui penguapan air di permukaan bumi, ataupun melalui transpirasi yang terjadi pada tanaman. Jika mengalami pendinginan, uap air berubah fasa menjadi padat (es), dan membentuk awan atau kabut yang kemudian turun ke permukaan sebagai gerimis, hujan, hujan deras, salju, ataupun batu es. Tidak jarang perubahan fasa uap air terjadi di permukaan bumi dan membentuk embun atupun embun beku.

Atmosfer dapat dibagi men jadi lapisan -lapisan yang berbeda berdasarkan perbedaan suhu pada berbagai ketinggian. Berdasarkan distribusi suhu dan ketinggiannya, atmosfer dapat dibagi menjadi 4 lapisan utama seperti dinyatakan dalam ilustrasi berikut:

Sumber: http://www.clas.ufl.e du

Gambar 3 Distribusi suhu sesuai ketinggian.

Dari ke empat lapisan tersebut lapisan troposfer merupakan satu-satunya lapisan tempat fenomena meteorologi terjadi.

Hampir semua pemanasan pada permukaan bumi dan atmosfer berasal dari radiasi matahari, meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan oleh matahari diterima bumi. Pendekatan distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer dapat dinyatakan sebagai berikut:

Sumber: http://www.clas.ufl.edu.

Gambar 4 Distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer.

Geiger (1959) menyatakan radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi, nilainya hanyalah setengah dari radiasi matahari yang diterima di puncak atmosfer. Sebagian dari radiasi matahari tersebut akan diserap, dan dipantulkan kembali ke angkasa luar oleh atmosfer bumi.

(17)

kelerengan/aspek, dan ketinggian lahan (Handoko, 1993).

Perbedaan penerimaan radiasi matahari mengakibatkan perbedaan pemanasan permukaan bumi. Fuller (1991) menyatakan perbedaan pemanasan oleh matahari pada permukaan bumi berperan dalam pembentukan keragaman iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran hutan karena bersama dengan angin penyinaran matahari memegang peranan yang penting pada perubahan suhu dan pengeringan bahan bakar. Jumlah panas yang dapat dikandung oleh suatu benda tergantung dari kapasitas panas benda tersebut C. Semakin besar kapasitas panas C semakin besar energi panas yang dapat dimiliki benda tersebut. Kapasitas panas merupakan fungsi dari massa mdan panas jenis suatu benda c. Udara memiliki panas jenis yang paling rendah bila dibandingkan dengan panas jenis tanah ataupun dengan panas jenis air,

1 1

K Jkg 800

cTanah = − − ,

1 1 Air 4200Jkg K

c = − − ,

. K Jkg 717

c 1 1

Udara

− −

= Meskipun nilai panas

jenis udara hampir sama dengan panas jenis tanah, massa tanah nilainya seribu kali massa udara karena kerapatan tanah nilainya hampir seribu kali kerapatan udara, 3

Tanah 1200kgm

ñ =

sedangkan, ñ 1,275kgm3.

Udara= Faktor

tersebut menjadikan udara sebagai penyimpan panas yang paling buruk ketika dibandingkan dengan ke dua zat tadi, oleh karena itu udara lebih cepat menjadi panas ataupun menjadi dingin dibandingkan dengan daratan dan lautan.

Rendahnya kapasitas panas udara menjadikan udara cukup peka terhadap perubahan energi di permukaan bumi. Permukaan bumi merupakan bidang aktif dalam hal penerimaan radiasi matahari. Hal tersebut menjadikan permukaan bumi sebagai pemasok panas pada udara, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah suhu nya (Prawirowardoyo, 1996). Karena sebab yang senada pula, maka suhu di permukaan bumi juga semakin rendah dengan bertambahnya letak lintang seperti halnya dengan penurunan suhu menurut ketinggian. Pada penyebaran suhu menurut lintang sumber pemasok bahang terasa berasal dari daerah tropika (Handoko, 1996).

Daerah dengan suhu yang tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar, ataupun mempermudah terjadinya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan perubahan suhu bahan bakar dicapai melalui

penyerapan radiasi matahari secara langsung ataupun melalui mekanisme konduksi, dan konveksi dari lingkungan termasuk dari udara di sekitar bahan bakar (Brown dan Davis, 1973).

Suhu udara menentukan kapasitas udara untuk menampung uap air. Semakin tinggi suhu udara maka kapasitas udara dalam menampung uap air akan semakin besar. Kapasitas udara untuk menampung uap air dinyatakan sebagai tekanan uap jenuh es,

sedangkan kadar/kandungan uap air aktual di udara dinyatakan dengan tekanan aktual ea.

Perbandingan antara tekanan uap aktual ea

dengan tekanan uap jenuh es pada suhu yang

sama dinyatakan sebagai kelembaban relatif

.

rh

Kelembaban relatif menunjukan derajat kejenuhan udara, ia menunjukan jauh dekatnya kondisi udara dari keadaan jenuhnya. Pada siang dan malam hari dengan tekanan uap aktual yang relatif tetap, nilai kelembaban relatif pada siang hari akan lebih kecil daripada kelembaban relatif pada malam hari. Hal tersebut diakibatkan karena kapasitas udara dalam menampung uap air akan membesar seiring dengan naiknya suhu udara, sedangkan pada pola suhu diurnal kondisi suhu udara pada siang hari pada umumnya lebih panas daripada suhu udara pada malam hari.

Selain kelembaban udara, kondisi kelembaban bahan bakar secara langsung dipengaruhi oleh adanya hujan. Hujan akan seketika itu juga membasahi permukaan bahan bakar, sehingga tidak memungkinkan timbulnya kebakaran. Semakin besar intensitas hujan semakin cepa t kelengasan bahan bakar mencapai nilai maksimumnya. Pola hujan di suatu daerah akan menentukan selang waktu terjadinya kebakaran. Selama periode atau musim penghujan kebakaran akan sangat sulit terjadi. Selama musim hujan walaupun hujan turun dengan intensitas yang rendah, pada umumnya ia terjadi pada selang waktu yang relatif panjang.

(18)

merupakan salah satu komponen penyebab terjadinya kebakaran. Selain itu Affan (2002) menyatakan bahwa angin juga menentukan arah penjalaran api. Kondisi cuaca yang mempengaruhi timbulnya api, perilaku kebakaran dan pengendalia n terhadapnya dikenal dengan cuaca kebakaran (fire weather), sedangkan periode ketika seringkali dijumpai kebakaran dahsyat yang menyebar dengan cepat, serta mengakibatkan kerusakan yang cukup parah disebut sebagai musim kebakaran (fire season) (The Glossary Team, 2002). Brown dan Davis (1973) juga menyatakan bahwa pola, selang waktu, dan intensitas dari musim kebakaran merupakan fungsi dari iklim, yang juga dipengaruhi oleh karakteristik bahan bakar.

Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran

Bahaya kebakaran merupakan suatu istilah yang komprehensif. Ia digunakan untuk menyatakan penilaian dari berbagai peubah-peubah lingkungan yang menentukan kemudahan terpicunya api (ease of ignition), laju penyebaran kebakaran, kesulitan dalam pengendalian api dan dampak dari kebakaran itu sendiri (Merrill, 1987 ). Peubah–peubah lingkungan, baik peubah bebas maupun peubah tak bebas terdiri dari komponen – komponen dalam konsep segitiga lingkungan yang menentukan terjadinya berbagai hal tadi.

Peringkat bahaya kebakaran merupakan sistem manajemen kebakaran yang mengintegrasikan dampak dari faktor –faktor lingkungan kebakaran tertentu ke dalam suatu daftar nilai atau peringkat nilai kualitatif. Pada umumnya unsur-unsur cuaca cukup diperhitungkan pada berbagai sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada (Pyne, 1996). Sistem klasifikasi bahaya kebakaran dinyatakan dalam kelas -kelas bahaya kebakaran dengan masing-masing kode warna yang khas. Contoh kelas -kelas bahaya kebakaran tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

Tabel 1. Pengkelasan bahaya kebakaran

Bahaya Kebakaran

Kelas Karakteristik

Kebakaran

Kesulitan Pemadaman Kebakaran

Rendah Api permukaan

merambat

Tak ada masalah pengendalian kecuali kebakaran dalam tanah

Sedang Api permukaan

bisa menyebar pesat atau dengan intensitas sedang

Api dapat dikendalikan dengan menggunakan peralatan sederhana dan air

Tinggi Menyebar cepat

atau intensitas api

Pengendalian api dengan menggunakan

sedang sampai tinggi

pompa air kuat dan/atau pembuatan sekat bakar menggunakan peralatan mekanis

Ekstrim Menyebar cepat

atau intensitas api tinggi

Sangat sulit untuk dikendalikan. Pemadaman

menggunakan drip

torches dari garis pengendalian dapat digunakan

Sumber: http://www.bmg.go.id

Peringkat dari penaksiran bahaya kebakaran dapat digunakan sebagai saran prakiraan yang digunakan untuk menilai resiko terjadinya kebakaran, penyebaran api serta kerugian yang dapat ditimbulkannya. Sehingga dalam aplikasinya ia dapat dijadikan sebagai acuan dalam sistem peringatan dini tentang adanya bahaya kebakaran. Salah satu sistem peringkat bahaya kebakaran yang ada adalah sistem indeks cuaca kebakaran atau Sistem Fire Weather Index, yang disingkat dengan Sistem FWI (Beck, 2002 ).

Sistem FWI

Sistem FWI telah digunakan di Kanada sejak tahun 1960an, meskipun dikembangkan di Kanada Sistem FWI telah diaplikasikan di daerah yang lain (contoh, di New Zealand, Alaska, Swedia, Argentina). Sistem FWI terdiri atas enam komponen yang menggambarkan pengaruh dari cuaca pada kelembaban bahan bakar dan perilaku kebakaran. Tiga komponen Sistem FWI yang pertama, merupakan kode kelembaban pada tiga model bahan bakar. Dua komponen Sistem FWI selanjutnya berupa petunjuk kualitatif dari laju penyebaran api dan tingkat ketersediaan bahan bakar, sedangkan komponen terakhir dari Sistem FWI berupa indikator kualitatif untuk intensitas ke bakaran.

Kode kelembaban merupakan suatu teknik perhitungan kadar kelambaban bahan bakar pada periode kering dan periode hujan. Adapun kadar kelembaban bahan bakar merupakan suatu perbandingan antara massa air yang terdapat pada bahan bakar dengan berat kering bahan bakar tersebut. Bahan bakar pada Sistem FWI dimodelkan terbagi atas tiga jenis model bahan bakar, yaitu fine fuel, lapisan humus/fermentasi tanah, dan lapisan organik padat.

(19)

padat. Kode kelembaban dalam Sistem FWI berbanding terbalik dengan kadar kelembaban pada model bahan bakarnya . Peningkatan nilai pada ketiga kode kelembaban menyatakan terjadinya pengeringan pada ketiga model bahan bakar. Kode-kode kelembaban dalam Sistem FWI nilainya akan berubah mengikuti laju pengeringan dari masing -masing model bahan bakar.

Kejadian hujan akan menambah kelembaban suatu model bahan bakar hanya ketika terjadi hujan yang lebih besar daripada ambang batas pembasahan model bahan bakar tersebut. Ambang batas pembasahan merupakan fungsi intersepsi dari lapisan yang ada di atas model bahan bakar. Kenaikan kadar kelembaban suatu model bahan bakar ditunjukkan dengan menurunnya kode kelembaban model bahan bakar untuk menyatakan menurunnya bahaya kebakaran pada model bahan bakar tersebut (Beck 2002).

Laju pengurangan kelembaban pada suatu model bahan bakar berlangsung secara eksponensial. Penurunan kadar kelembaban suatu model bahan bakar ditunjukkan dengan bertambah besarnya nilai kode kelembaban model bahan bakar untuk menyatakan terjadinya peningkatan peringkat bahaya kebakaran pada model bahan bakar tersebut . Selang waktu terjadinya proses pengurangan kelembaban bahan bakar sebesar 2/3 bagian dari kadar kelembaban aktualnya pada kondisi standar (kisaran suhu 21 °C, kelembaban relatif 45%, kecepatan angin 13 km/jam) yang konstan dikenal sebagai time lag. Time lag menyatakan kecepatan suatu model bahan bakar mencapai tingkat kesetimbangan kelembabannya . Kesetimbangan kelembaban merupakan suatu kondisi ketika kadar kelembaban bahan bakar sama dengan kondisi kelembaban lingkungannya. Setiap model bahan bakar dalam Sistem FWI memiliki nilai time lag yang berbeda. Besarnya time lag dan ambang batas pembasahan (wetting threshold) dari ketiga model bahan bakar tadi adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Tabulasi time lag pada Sistem FWI

Kode kelembaban

Model bahan bakar

Wetting threshold

Time lag

FFMC Sarasah 0.5 mm 18 jam

DMC Humus 1.4 mm 15 hari

DC Organik padat 2.8 mm 53 hari

Sumber : Alexander, 1988

Komponen -komponen dari Sistem FWI, dan hubungan diantara komponen-komponen tersebut, ditunjukkan pada gambar berikut:

Sumber: http://www.cwfis.cfs.nrcan.gc.ca Gambar 5. Struktur Sistem FWI.

Penghitungan setiap komponen didasarkan dari pengamatan harian beberapa parameter cuaca pada tengah hari waktu setempat. Parameter cuaca tersebut meliputi kecepatan angin pada ketinggian 10 meter dari permukaan tanah, suhu udara, kelembaban relatif, dan curah hujan yang terakumulasikan selama 24 jam. Selain itu juga diperlukan nilai dari komponen FWI hari sebelumnya, beserta informasi tanggal ketika pengukuran dilakukan. Gambaran umum dari setiap komponen FWI adalah sebagai berikut:

Fine Fuel Moisture Code

Fine Fuel Moisture Code (FFMC) merupakan peringkat numerik kadar kelembaban dari sarasah, lumut, reru mputan, paku-pakuan, dedaunan, cabang, batang, ranting dan bagian tanaman lainnya yang telah berguguran, yang lazim disebut sebagai bahan bakar halus (fine fuels). Fine fuels dimodelkan sebagai bahan bakar yang memiliki berat kering pada kisaran 0.25 kg m−2. FFMC dapat berperan sebagai indikator dari mudah tidaknya bahan bakar tersebut terbakar dan sebagai sumber penyalaan api, karena dari ketiga model bahan bakar yang ada, fine fuels merupakan bahan bakar yang paling mudah tersulut api.

(20)

setelah mengalami pengurangan nilai ketika terjadi hujan.

Bahan bakar pada model FFMC akan mengering dengan cepat. Time lag FFMC adalah 2/3 hari (18 jam). Nilai FFMC berada pada kisaran 0 sampai dengan 101. Kondisi suhu dan kecepatan yang tinggi, serta kelembaban relatif yang rendah akan mempercepat laju pengeringan model bahan bakar pada FFMC. Nilai -nilai FFMC dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

Tabel 3. Interpretasi nilai-nilai FFMC

Kelas Karakteristik Api Kesulitan

Pemadaman Api Rendah (0-36) Kecil kemungkinan dimulainya api Tidak ada masalah pengendalian Sedang (37-69)

Api yang merambat di permukaan Api dapat dikendalikan dengan serangan langsung menggunakan peralatan tangan dan air Tinggi (70-83)

Cepat menyebar atau intensitas api sedang sampai tinggi Pengendalian api menggunakan pompa air dan/atau pembuatan sekat bakar Ekstrim (>83)

Cepat menyebar atau intensitas api tinggi tergantung dari BUI

Sangat sulit dikendalikan. Serangan tidak langsung menggunakan drip torches dari jalur kontrol bisa dilakukan

Sumber: http://www.bmg.go.id dan Alexander, 1988

Duff Moisture Code

Duff Moisture Code DMC adalah peringkat numerik dari kelembaban rata-rata bagian atas lapisan duff dengan berat kering sekitar 5 −2

m

kg (Beck, 2002 ). Kode kelembaban ini memberikan indikasi konsumsi bahan bakar pada bagian atas lapisan duff dan materi berkayu yang berukuran sedang. Duff adalah lapisan yang tedapat diantara sarasah dan mineral tanah yang terdiri atas zat yang sedang ataupun telah terdekomposisi, yang seringkali dihubungkan dengan lapisan fermentasi dan lapisan humus pada lantai hutan (Beck, 2002).

Bahan bakar pada DMC dimodelkan memiliki time lag sekitar 15 hari. Pada sistem skala DMC, nilai terendah dibataskan pada 0, akan tetapi tidak dilakukan pembatasan pada skala nilai tertinggi dari sistem DMC.

Nilai-nilai DMC dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

Tabel 4. Interpretasi nilai-nilai DMC

Kelas Karakteristik

Api Kesulitan Pemadaman Api Rendah (0-19) Kecil kemungkinan dimulainya api pada tanah organik Tidak ada masalah pengendalian Sedang (20-29) Bahan bakar kerkayu dan tanah organik dapat terakar Api dapat dikendalikan dengan serangan langsung menggunakan peralatan tangan dan air Tinggi (30-39) Intensitas api sedang sampai tinggi karena konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi Pengendalian api memerlukan pompa listrik dan/atau pembuatan sekat bakar Ekstrim ≥40 Ada kemungkinan perilaku api yang ekstrim dan akan dipengaruhi oleh FFMC Sangat sulit dikendalikan. Serangan tidak langsung menggunakan drip torches dari jalur pengendali bisa dilakukan

Sumber: http://www.bmg.go.id dan Alexander, 1988

Drought Code

Drought Code (DC) merupakan peringkat numerik dari rataan kadar kelembaban pada model lapisan organik padat dan bongkahan kayu besar dengan berat kering 25 kg m−2

. Lapisan ini memiliki time lag sekitar 53 hari dan pada umumnya dijumpai sebagai lapisan terbawah dari ketiga model bahan bakar yang ada pada Sistem FWI. DC dapat digunakan sebagai parameter dari dampak kekeringan musiman pada bahan bakar hutan dan juga dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat kebakaran yang tidak disertai dengan penampakan nyala api (Alexander, 1988). Dengan kata lain kode ini adalah indikator penting dari dampak kemarau musiman pada bahan bakar hutan, dan banyaknya bara api dalam lapisan organik padat dan bongkahan kayu besar (http://www. bmg.go.id).

(21)

Tabel 5. Interpretasi nilai-nilai DC

Kelas Karakteristik

Api

Kesulitan Pemadaman Api Rendah

(0-199)

Kecil kemungkinan adanya api permukaan pada lahan gambut

Tidak ada masalah pembenahan

Sedang

(200-299)

Kemungkinan adanya nyala bara api pada gambut

Api sulit dimatikan dan dibenahi

Tinggi

(300-399)

Bara api menyala terus

Sangat sulit dikendalikan

Ekstrim

(≥400)

Kebakaran yang dalam dan lama

Api hanya dapat dimatikan dengan sendirinya atau dengan curah hujan tinggi

Sumber: http://www.bmg.go.id dan Alexander, 1988

Initial Spread Index, dan Buildup Index merupakan 2 buah komponen dari Sistem F W I yang dapat dikategorikan sebagai prasyarat yang diperlukan untuk menentukan nilai dari komponen terakhir dalam sistem tersebut. Initial Spread Index (ISI) merupakan peringkat numerik dari prakiraan laju penyebaran api. ISI memprediksi akibat dari angin dan FFMC pada laju penyebaran api, ia mengilustrasikan bagaimana kebakaran akan menjalar setelah api tersulut tanpa memperhitungkan pengaruh kuantitas dari variabel bahan bakar.

Buildup Index (BUI) adalah peringkat numerik dari tingkat bahan bakar yang akan dikonsumsi dan merupakan kombinasi dari DMC dan DC. BUI disebut juga sebagai indeks penumpukan, yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat pertumbuhan api berdasarkan total bahan bakar yang tersedia. Fire Weather Index (FWI) secara umum dapat disebut sebagai final indeks dari peringkat kebakaran yang ditinjau dari segi cuaca. FWI dituangkan dalam beberapa kelas bahaya kebakaran. FWI merupakan kombinasi dari ISI dan BUI, yang dapat digunakan sebagai peringkat numerik dari intensitas api. Nilai-nilai FWI dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

Tabel 6. Interpretasi nilai-nilai FWI

Kelas Karakteristik Api

Rendah

(0-1)

Intensitas api rendah. Api akan menyebar dengan perlahan, bahkan akan padam dengan sendirinya.

Sedang

(2-6)

Intensitas api sedang. Akan tetapi Api masih dapat dikendalikan dengan serangan langsung menggunakan peralatan tangan dan air

Tinggi

(7-13)

Intensitas api tinggi. Pengendalian api memerlukan pompa listrik dan/atau pembuatan sekat bakar

Ekstrim

(> 13)

Intensitas api sangat tinggi, kebakaran yang timbul sangat sulit dikendalikan.

(22)

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Penelitian ini mengguna kan data sekunder, yang berupa catatan data cuaca di beberapa titik kajian di Kalimantan Timur yang meliputi:

• data harian dari suhu maksimum, • data harian dari kelembaban relatif

minimum

• data rataan harian dari kecepatan angin pada ketinggian standar (10 m), • data harian akumulasi curah hujan 24

jam sebelumnya,

Data harian yang akan digunakan sebagai masukan pada sistem FWI tersebut, berasal dari pengamatan pada periode 1 Desember 2000 sampai dengan 15 September 2002. Titik–titik pengamatan dari data harian di daerah Kalimantan Timur berada di daerah: Loajanan, Marangkayu, Samuntai, Tanjungselor, dan Tanjungredep. Posisi daerah kajian dari data harian di daerah Kalimantan Timur tersebut yaitu:

Tabel 7. Lokasi pengamatan AWS

Lintang Bujur Ketinggian

(° ') (°BT) (m dpl)

Loa Janan 0°48'LS 117.2 102

Marang Kayu 0°24'LS 117.6 68

Samuntai 1°42'LS 116.2 53

Tanjungselor 0°54'LU 117.5 38

Tanjungredeb 2°28'LU 117.5 37

Nama Stasiun

Selain itu juga digunakan 2 jenis data sekunder rataan bulanan seperti:

• data rataan bulanan dari suhu maksimum,

• dan data rataan bulanan dari evapotranspirasi potensial.

Data rataan bulanan tersebut berasal dari daerah pengamatan Balikpapan, dan Temindung/Samarinda. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat komputer dengan program paket aplikasi Microsoft Office, Matlab, SPSS, dan Microsoft Visual Basic.

Asumsi

Data sekunder dari stasiun pengamatan cuaca otomatis, AWS, yang ada berisikan nilai maksimum, minimum serta akumulasi dan rataan dari unsur-unsur cuaca harian adapun contoh data sekunder dari AWS dapat dilihat pada lampiran 1. Pada sistem FWI, masukan unsur cuaca hariannya berasal dari pengamatan pada tengah hari waktu setempat. Perbedaan data tadi diasumsikan dapat diatasi

dengan melakukan substitusi unsur cuaca sejenis berdasarkan pola fluktuasi diurnal dari unsur–unsur cuaca tersebut. Selain itu digunakan awal waktu pengitungan yang bersamaan dengan menggunakan nilai awal standar (85 untuk FFMC, 6 untuk DMC, dan 15 untuk DC). Awal waktu penghitungan dipilih pada awal bulan Desember 2001 karena pada saat itu pada umumnya curah hujan dasarian sebelumnya di Kalimantan Timur telah melampaui 200 mm selain itu pada Wilayah Kalimantan Timur salju bukanlah suatu fenomena yang signifikan (bahkan tidak pernah dijumpai adanya salju), ditambah lagi dengan suhu rataan harian di daerah tersebut yang selalu lebih besar dari 12 °C. Berdasarkan fenomena tersebut asumsi asumsi yang digunakan diharapkan cukup falid dan mampu memenuhi semua syarat penentuan awal penghitungan.

Nilai panjang hari di suatu daerah, Daylength, dianggap sebagai fungsi dari letak lintang dalam radian, RadforLat, dan sudut deklinasi surya, Solardecl,. Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan persamaan: Daylength = (24 / 3.1415926) * Acos(-Tan(RadforLat) * Tan(Solardecl)). Selain itu juga diasumsikan kecilnya keragaman nilai rataan bulanan dari evapotranspirasi potensial dan suhu udara maksimum sehingga nilai adjusted day length atau panjang hari terkoreksi, Lf, untuk daerah Kalimantan Timur dapat diperoleh dari rerata nilai Lf dari daerah pengamatan Balikpapan, Temindung.

Pengisian Data Kosong

Sistem FWI membutuhkan data cuaca harian yang kontinyu. Ketika ditemukan kekosongan data pada suatu waktu/pe riode pengamatan, maka hal tersebut tidak dapat diabaikan. Kekosongan data tadi harus diisi dengan data yang representatif. Beberapa teknik pengisian data kosong yang terdapat pada Refference Information on The Canadian Forest Fire Danger Rating System edisi November 2001 yaitu:

1. dengan menggunakan nilai data/rataan data pada stasiun/beberapa stasiun pengamatan pada periode yang sama,

2. dengan menggunakan nilai rataan data dari hari sebelum ataupun sesudah pengamatan dari stasiun yang sama,

(23)

Pada data harian sekunder yang ada, juga ditemui beberapa waktu/periode kekosongan data. Data yang kosong tersebut dijumpai hamya pada stasiun Samuntai dari tanggal 6 Mei 2002 sampai dengan 4 Juni 2002, dan 27 Oktober 2002 sampai dengan 3 November 2002. Karena data harian yang ada relatif pendek, maka cukup riskan untuk meggunakan pengisian data menggunakan teknik yang ketiga, sedangkan teknik yang kedua akan lebih tepat digunakan ketika dijumpai kekosongan data yang hanya berdurasi satu hari, adapun kekosongan data pada kasus tersebut diharapkan dapat didekati dengan penggunaan teknik pengisian data yang pertama.

Penghitungan Sistem FWI dengan

Formulasi Adopsi

Penghitungan kompon en Sistem FWI harian dilakukan dengan berdasarkan pada persamaan yang bersumber pada Refference Information on The Canadian Forest Fire Danger Rating System, edisi November 2001. Metode asal/original dari penghitungan Sistem FWI tersebut adalah sebagai berikut: Fine Fuel Moisture Code

Proses penghitungan FFMC mengikuti kaidah berikut:

1. Nilai FFMC hari sebelumnya merupakan nilai FFMCPrev yang akan digunakan sebagai input penghitungan FFMC hari ini. 2. Hitung M0 berdasarkan nilai

ev

FFMCPr dengan

mempergunakan persamaan 1 3. Jika r0 >0.5 hitung rf berdasarkan

persamaan 2 Setelah itu hitung

r

M berdasarkan nilai dari rf, M0 dengan aturan sebagai berikut:

Jika M0≤150, gunakan persamaan 3a

Jika M0>150, gunakan persamaan

3b Nilai

r

M yang didapat tadi menjadi nilai M0 yang baru

4. Hitung Ed dengan mempergunakan

persamaan 4

5. Jika M0 >Ed hitung kd dengan

mempergunakan persamaan 6a dan 6b, kemudian hitung M dengan menggunakan persamaan 8

6. Jika M0 <Ed, hitung Ew dengan

mempergunakan persamaan 5 7. Jika M0<Ew (dan M0 <Ed) hitung

w

k dengan mempergunakan persamaan 7a dan 7b, kemudian hitung m dengan mempergunakan persamaan 9

8. Jika ternyata EdM0≥Ew maka

tetapkan nilai

M

sama dengan nilai 0

M

9. Hitung nilai F dengan mempergunakan persamaan 10, nilai tersebut merupakan nilai FFMC hari ini

Ada dua batasan yang digunakan dalam penghitungan FFMC: 1) Persamaan 3(a atau b) tidak digunakan ketika nilai r0 >0.5 mm, 2) M memiliki nilai batas atas 250, sehingga ketika persamaan 3(a atau b) menghasilkan nilai Mr yang lebih besar dari 250, maka tetapkan harga Mr tersebut pada batas atasnya (Mr=250).

Duff Moisture Code

Proses penghitungan D M C mengikuti kaidah berikut:

1. Nilai DMC hari sebelumnya merupakan nilai DMCPrev yang akan digunakan sebagai input penghitungan DMC hari ini. 2. Jika r0 >1.5 hitung re berdasarkan

persamaan 11

3. Hitung Mo berdasarkan nilai dari

ev

DMCPr dengan menggunakan persamaan 12

4. Hitung b dengan mempergunakan salah satu persamaan yang sesuai dari persamaan 13a, 13b, atau 13c 5. Hitung Mr dengan mempergunakan

persamaan 14

6. Rubahlah Mr menjadi Pr dengan persamaan 15, nilai Prtersebut merupakan nilai DMCPrev yang akan digunakan pada penghitungan selanjutnya

7. Tetapkan harga Le berdasarkan

panjang hari pada periode pengukuran, dari tempat pengukuran dilakukan

8. Hitung k dengan menggunakan persamaan 16

(24)

Ada tiga batasan yang digunakan dalam penghitungan DMC: 1) Persamaan 11 sampai dengan 15 tidak digunakan kecuali jika nilai

5 . 1

0 >

r . 2) Pr tidak boleh kurang dari nol, jika persamaan 15 menghasilkan nilai yang kurang dari nol, maka nilai tersebut kita rubah menjadi nol, karena secara teori nilai Pr tidak boleh berharga negatif. 3) Harga T yang digunakan sebagai inputan dalam persamaan 16 tidak boleh kurang dari -1.1, harga T yang lebih kecil dari batas tersebut akan dianggap bernilai -1.1.

Drought Code

Proses penghitungan DC mengikuti kaidah berikut:

1. Nilai DC hari sebelumnya merupakan nilai DCPrev yang selanjutnya akan digunakan sebagai input penghitungan DC hari ini. 2. Jika r0 >2.8 hitung rd berdasarkan

persamaan 18 3. Hitung

o

Q berdasarkan nilai dari ev

DCPr dengan menggunakan persamaan 19

4. Hitung Qr dengan mempergunakan persamaan 20

5. Rubahlah Qr menjadi Dr dengan

persamaan 21, nilai Drtersebut merupakan nilai DCP rev yang akan digunakan pada penghitungan selanjutnya

5. Tetapkan harga Lf berdasarkan tabel berikut:

Tabel 8. Daftar nilai Lf asli

Bulan LfS LfN

Januari 6.4 -1.6

Februari 5.8 -1.6

Maret 0.2 -1.6

April 0.4 0.9

Mei -1.6 3.8

Juni -1.6 5.8

Juli -1.6 6.4

Agustus -1.6 5.8

September -1.6 0.2

Oktober 0.9 0.4

November 3.8 -1.6

Desember 5.8 -1.6

LfN menyatakan nilai Lf di BBU LfS menyatakan nilai Lf di BBS Sumber: Van Nest 1999

6. Hitung V dengan menggunakan persamaan 22

7. Tentukan nilai DC dengan menggunakan persamaan 23

Ada empat batasan yang digunakan dalam penghitungan DC: 1) Persamaan 18 sampai dengan 21 tidak digunakan kecuali jika nilai

8 . 2

0 >

r . 2) Dr tidak boleh kurang dari nol,

jika persamaan 21 menghasilkan nilai yang kurang dari nol, maka nilai tersbut dirubah menjadi nol, karena secara teori nilai Dr tidak boleh berharga negatif. 3) Harga T tidak boleh kurang dari -2.8, jika ditemukan T yang nilainya kurang dari -2.8 maka tetapkan nilai T sebagai -2.8. 4) Jika persamaan 22 menghasilkan nilai yang kurang dari nol, maka tetapkan nilai V sama dengan nol, karena harga V tidak boleh negatif.

Fire Weather Index

Proses penghitungan ISI,BUI,FWI mengikuti kaidah berikut:

1. Hitung fW dan fF berdasarkan persamaan 24 dan 25

2. Hitung R berdasarkan persamaan 26, hasil yang didapat merupakan nilai ISI hari ini

3. Hitung U dengan mempergunakan persamaan 27a jika

, 4 . 0 DC

DMC≤ atau dengan

mempergunakan persamaan 27b jika ,

4 . 0 DC

DMC> nilai tersebut merupakan harga BUI hari ini 4. Hitung fD dengan menggunakan

persamaan 28a untuk nilai U≤80, jika U>80 gunakan persamaan 28b 5. Hitung B menggunakan persamaan

29

6. Jika B>1, hitung S dengan menggunakan persamaan 30a, ketika dijumpai nilai B≤1, tetapkan harga

B

S= sesuai denga n persamaan 30b, nilai yang didapat menyatakan nilai dari FWI hari ini

Penghitungan Le dan Lf

(25)

memperhitungkan nilai rataan bulanan evapotranspirasi V , dan nilai rataan bulanan dari suhu udara maksimum, T. Nilai ini didapat dengan menerapkan dasar persamaan 22, V=0.36×

(

T+2.8

)

+Lf.

Data yang digunakan pada persamaan tersebut berupa data rataan bulanan dari suhu maksimum, dan data rataan bulanan dari evapotranspirasi potensial yang diperoleh dari daerah pengamatan Balikpapan, dan Temindung. Karena tidak seragamnya periode pengamatan pada data yang dimiliki, maka dipilih teknik rataan terboboti (weighted average) dalam penentuan nilai Lf tadi. Nilai Lf yang dipergunakan dalam formulasi asli dari bulan Januari sampai Desember pada belahan bumi utara berturut turut adalah: -1.6, 1.6, 1.6, 0.9, 3.8, 5.8, 6.4, 5, 2.4, 0.4, 1.6, -1.6, untuk belahan bumi selatan adalah 6.4, 5, 2.4, 0.4, -1.6, -1.6, -1.6, -1.6, -1.6, 0.9, 3.8, 5.8, adapun nilai Lf dari masing -masing daerah adalah sebagai berikut:

Tabel 9. Daftar nilai Lf lokal

BULAN Lf Balikpapan Lf Temindung

JAN 1.57 2.61

PEB 1.76 3.24

MAR 2.52 4.09

APR 2.43 4.53

MEI 2.59 2.52

JUN 1.78 1.47

JUL 2.32 0.54

AGS 3.49 1.63

SEP 3.16 2.04

OKT 2.30 0.86

NOP 1.42 0.71

DES 1.05 2.45

Penghitungan Sistem FWI dengan

Penyesuaian Faktor Le dan Lf

(26)

Fine Fuel Moisture Code

Proses penghitungan FFMC dapat pada suatu hari diilustrasikan melalui gambar 6 berikut ini:

(27)

Data masukan pada proses penghitungan FFMC terdiri dari data FFMC hari sebelumnya, Fo/FFMCPrev/FFMCn-1, data akumulasi curah hujan satu hari sebelumnya, ro, serta data suhu udara,T, kelembaban relatif, H, dan kecapatan angin, W, yang semuanya itu merupakan data pengukuran pada tengah ha ri saat penghitungan dilakukan. Formulasi yang digunakan dalam penghitungan FFMC adalah:

(

)

(

Fo

)

Fo Mo + − = 5 . 59 101 2 .

147 ( 1 )

5 . 0

− =ro

rf ( 2 )

                      − −               − − + = rf mo rf Mo

Mr 1 exp 6.93

) 251 ( 100 exp 5 .

42 ( 3a )

(

)

2 0.5

150 0015 . 0 93 . 6 exp 1 ) 251 ( 100 exp 5 .

42 Mo rf

rf mo

rf Mo

Mr + −

                      − −               − − +

= ( 3b )

(

)

0.18(21.1 )(1 exp( 0.115 )

10 100 exp 11 942 .

0 0.679

H T

H H

Ed + − − −

  

 − +

= ( 4 )

(

)

0.18(21.1 )(1 exp( 0.115 )

10 100 exp 10 618 .

0 0.753

H T

H H

Ew= +  − + − − − ( 5 )

              − +               − = 8 5 . 0 7 . 1 100 1 0694 . 0 100 1 424 .

0 H W H

ko ( 6a )

(

T

)

ko

kd= ×0.581exp 0.0365 ( 6b )

              − − +               − − = 8 5 . 0 7 . 1 100 100 1 0694 . 0 100 100 1 424 .

0 H W H

kf ( 7a )

(

T

)

kf

kw= ×0.581exp 0.0365 ( 7b )

kd

Ed Mo Ed

m= +( − )×10− ( 8 )

kw

Mo Ew Ew

m= −( − )×10− ( 9 )

(

)

(

)

    + − = m m FFMCn 2 . 147 250 5 .
(28)

Duff Moisture Code

Proses penghitungan DMC pada suatu hari d apat digambarkan melalui alur pada gambar 7 berikut ini:

DMCPrev <= 33

DMC (17) DATA

RAIN>1.5 (11)re

Mo (12)

B (13a)

DMCPrev <= 65

B (13b)

B (13c)

Mr (14)

Pr (15)

Pr > 0

DMCPrev=Pr

DMCPrev=0

TEMP > -1. 1

k=0

k (16) Yes

Yes

Yes Yes

Yes

No

No No

No No

DMCPrev=DMCPrevData

Gambar 7. Skema penghitungan DMC.

Data masukan pada proses penghitungan DMC terdiri dari data DMC hari sebelumnya, DMCPrev/DMCn-1/Po, data akumulasi curah hujan satu hari sebelumnya, ro, serta data suhu udara, T, dan kelembaban relatif, H, yang semuanya itu merupakan data pengukuran pada tengah hari saat penghitungan dilakukan, selain itu juga digunakan data panjang hari Le pada daerah pengamatan.Formulasi yang dipergunakan dalam penghitungan DMC adalah:

27 . 1 92 .

0 −

= ro

re ( 11 )

   

     − +

=

43 . 43 6348 . 5 exp

20 Po

(29)

(

Po

)

B

3 . 0 5 . 0

100

+

= ( 13a )

Po

B=14−1.3ln ( 13b )

2 . 17 ln 2 .

6 −

= Po

B ( 13c )

(

)

  

 

+ +

=

re B re Mo

Mr

. 77 . 48

1000

( 14 )

) 20 ln( 43 . 43 72 . 244

Pr= − Mr− ( 15 )

6

10 ) 100 )( 1 . 1 ( 894 .

1 + − × −

= T H Le

k ( 16 )

100k Pr) Po(or

DMC= + ( 17 )

Drought Code

Proses penghitungan DC pada suatu hari dapat ditunjukkan pada gambar 8 berikut ini:

DATA

RAIN >2.8 (18)Rd

Yes

Yes

Yes

No

No No

LAT>0 Lf=f(LfN,Month)Lf

Lf Lf=f(LfS,Month

DRYINGFACTOR =Lf

Yes

No Qo (19)

Qr (20)

Dr

(21 ) Dr>0 DCPrev=Dr

DCPrev=0

TEMP>-2. 8 (22)V

V= DRYINGFACTOR

DC (23)

DCPrev=DCPrevData

(30)

Data masukan pada proses penghitungan DC terdiri dari data DC hari sebelumnya/DCPrev/DCn-1/ Do, data akumulasi curah hujan satu hari sebelumnya, ro, serta data suhu udara tengah hari saat penghitungan dilakukan, T, selain itu juga digunakan data panjang hari terkoreksi Le pada daerah pengamatan. Formulasi yang

dipergunakan dalam penghitungan DC adalah:

27 . 1 83 . 0 − = ro

Rd ( 18 )

      − = 400 exp 800 Do

Qo ( 19 )

Rd Qo

Qr= +3.937 ( 20 )

      = Qr

Dr 400ln 800 ( 21 )

Lf T

V=0.36( +2.8)+ ( 22 )

V

DC=Do(or Dr)+0.5 ( 23 )

Fire Weather Index

Data masukan pada ISI berupa nilai FFMC, dan data kecepatan angin saat penghitungan, W, masukan pada BUI berupa hasil penghitungan DMC dan DC saat penghitungan dilakukan, sedangkan masukan pada FWI berupa hasil penghitungan dari ISI dan BUI tadi. Formulasi yang digunakan dalam ketiga komponen tersebut adalah: ) 05039 . 0 exp( W

fWIND = ( 24 )

          × + −

= 7

31 . 5 10 93 . 4 1 1386 . 0 exp 9 .

91 Mo Mo

fF ( 25 )

fF fWIND

ISI=0.208 . ( 26 )

(

DMC DC

)

DC DMC U 4 . 0 . 8 . 0 +

= ( 27a )

(

)

[

0.92

(

0.0114

)

1.7

]

4 . 0 . 8 . 0 1 DMC DC DMC DC DMC DMC U +       + − −

= ( 27b )

2 626 .

0 0.809+

= U

fd ( 28a )

(

25 108.64exp( 0.023 )

)

1000

U fd

− +

(31)

fd ISI

B=0.1× × ( 29)

(

)

[

0.647

]

ln 434 . 0 72 . 2

exp B

S= ( 30a )

B

S= ( 30b )

Proses penghitungan ISI, BUI dan FWI dapat direpresentasikan melalui diagram alir pada gambar 9 berikut ini:

ISI DATA fWIND (24)

Mo (1)

fF (25)

ISI (26)

FWI DATA BUI<=80

fd (27b)

fd (27a)

B

(29) B>1

S=B

S (30a)

FWI=S

[image:31.792.67.465.124.388.2]
(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Daerah Kajian

Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 211.440 km² atau seluas satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura. Secara geografis Kalimantan Timur terletak antara 113º44’ dan 119º00’ Bujur Timur serta diantara 4º24’ Lintang Utara dan 2º25’ Lintang Selatan. Propinsi terluas kedua setelah Irian Jaya ini dibagi menjadi 8 kabupaten, 4 kota, 87 kecamatan dan 1.258 desa/kelurahan. Adapun sebaran geografis daerah kajian dapat diilustrasikan melalui gambar 10 berikut:

Sumber: http://www.encarta.msn.com

Gambar 10. Sebaran geografis daerah kajian. Daerah kajian disimbolkan dengan angka 1 sampai dengan 5, angka 1 untuk menandakan daerah Loajanan, 2 untuk Marangkayu, 3 untuk Samuntai, 4 untuk Tanjungredep, dan 5 untuk Tanjungselor. Secara umum propinsi Kalimantan Timur beriklim tropik basah dengan curah hujan berkisar antara 1500 – 4500 mm pertahun , dengan suhu rata-rata 26° C dengan perbedaan suhu siang dan malam antara 5 - 7° C. Suhu minimum umumnya dideteksi terjadi pada Oktober sampai dengan Januari dan suhu maksimum antara Juli sampai Agustus (http://www.diperta-kaltim.go.id).

Setelah dilakukan penghitungan dengan menggunakan ke dua metode tadi, selanjutnya akan dilihat apakah terjadi perubahan nilai yang merubah label kelas dari komponen FWI, yang dalam hal ini di fokuskan pada FFMC, DMC, DC. Ketiga komponen tersebut dipilih karena ketiganya merupakan indikator terjadinya kebakaran pada ketiga model bahan bakar yang ada pada sistem FWI. Hasil penghitungan dari semua komponen Sistem FWI yang telah mempergunakan faktor Le dan Lf, pada umumnya menghasilkan komponen-komponen Sistem FWI yang nilainya berbeda daripada komponen – komponen Sistem FWI ya ng dihasilkan dari

penghitungan yang mempergunakan formulasi aslinya. Perbedaan hasil tersebut dapat dilihat dari contoh hasil berikut:

Perbandingan FFMC di Tanjung Redep

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256

Julian

FFMC

FFMC_Tanjung Redep_Mod FFMC_Tanjung Redep_Ori

Perbandingan Nilai DMC di Tanjung Redep

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

336357 12 33 54 75 96 117 138 159180 201 222243 264 285306 327 348 4 25 46 67 88 109 130 151172 193 214235 256

Julian

Gambar

Gambar 1 Konsep segitiga api (Borrow,
Gambar 2 Distribusi vertikal dari komponen.
Gambar 4 Distribusi radiasi matahari pada sistem bumi-atmosfer.
Tabel 1. Pengkelasan bahaya kebakaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis menunjukkan bahwa hujan pemicu gerakan tanah di lokasi penelitian memiliki nilai kritikal minimum intensitas sebesar 40,59 mm/jam dengan durasi minimum

Manajemen ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan dengan menggunakan Angka Kredit terakhir yang dimiliki dan dapat ditambah dengan Angka Kredit dari

Apabila rasio antara tinggi struktur bangunan gedung dan ukuran denahnya dalam arah pembebanan gempa sama dengan atau melebihi 3, maka 0.1V harus dianggap beban

bahwa mengingat ketentuan Pasal 41 ayat (5) Undang- undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ditetapkan bahwa setiap penyertaan modal Pemerintah

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah data dari pengamatan langsung di instalasi rawat jalan bagian pendaftaran dan poliklinik lantai satu dan dua, yaitu

Sorgum merupakan tanaman serealia yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan tanaman serealia lain diantaranya mempunyai daya adaptasi yang relatif luas, tanaman sorghum

Dalam bidang bisnis, komputer dapat digunakan untuk memanajemen data yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga informasi yang dihasilkan dari sistem yang

Dalam eksepsinya Tergugat mengatakan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili perkara tersebut, karena secara nyata gugatan yang diajukan oleh para Penggugat berpijak pada